Analisis Sosiologi Sastra Cerita Rakyat Pulau Si Kantan

  

LAMPIRAN

Lampiran 1

Cerita Rakyat Pulau Si Kantan

  Pulau Si Kantan diambil dari nama seorang anak muda pada zaman dahulu, konon katanya Si Kantan mendapatkan murka dari Allah karena dia menjadi anak yang durhaka. Si Kantan adalah seorang anak muda mempunyai orang tua yang sudah tua renta. Mereka tinggal disebuah desa yang berada di Labuhan Bilik, dulunya sungai itu bernama sungai durhaka karna kurang sedap didengar maka diubah menjadi sungai merdeka.

  Dinamakan dengan sungai dughhaka adalah dolunya ada seoghang anak muda yang dughhaka kapada kadua oghang tuanya (namanya Sikantan), talobih lagi kepada amaknya yang udah tua ghenta. Dia malu mengakui amaknya yang miskin satolah dia manjadi kaya ghaya kaghena menikahi anak seorang Raja, lalu Allah mananggolamkan salughuh kapal oghang en dan manjadi sabuah pulo. Sejak enenlah desa ika dinamakan sungai dughhaka, namun desa ika dighubah oleh panduduk satompat manjadi sungai maghdeka, karena kesan namanya indak enak didongagh.

  Manughut caghita, Pulo Si Kantan dolunya indak ada. Namun, ghatusan tahun yang lalu telah taghjadi sabuah paghistiwa yang sangat luagh biasa,sahingga pulo ika muncul di tongah- tongah Sungai Baghumun. Paghistiwa taghsobut dicaghitakan dalam sabuah caghita ghakyat yang sangat taghkonal di kalangan masyaghakat Labuhanbatu. Caghita rakyat ika mangisahkan tontang saoghang pamuda baghnama si Kantan yang menjelma manjadi sabuah pulo.

  Pada zaman dolu kala, di topi sabuah sungai di daeghah Labuhanbatu, Sumatera Utara (sakitagh Desa Sungai Dughhaka, Labuhan Bilik),hiduplah saoghang janda tua baghsama saoghang anak laki-lakinya baghnama si Kantan. Megheka tinggal disabuah gubuk kocil yang sudah gheot. Ayak si Kantan, udah lama maninggal dunia. Sojak ika, amak si Kantanlah yang haghus bakoghja koghas untuk mamonuhi kabutuhan hidup magheka. Si Kantan seoghang anak yang tampan, ghajin dan tokun bakoghja. Satiap haghi ia mambantu amaknya mancaghi kayu bakagh di hutan untok dijual ka pasagh.

  Pada suatu malam, amak si Kantan baghmimpi didatangi oleh saorang atok tua yang indak dikonalnya. Dalam mimpinya, atok tua ika manyughuhnya pogi manggali tanah di sabuah tompat didalam hutan. Pada pagi haghinya, ia mancaghitakan mimpinya tasobut kepada si Kantan. “Ai mak, enen mimpi bagus en, Mak! Cocoknya kita laksanakan patunjuknya en. Siapa tau ika bisa mangubah nasib kita,” kata si Kantan. Maka, amak dan anak ika pogi ka hutan dengan mambawa linggis. Sasampenya di hutan, amak si Kantan baghusaha mangingat-ingat patunjuk yang ditaghima dari atok tua didalam mimpinya. “Botul, Kantan! Tompatnya poghsis di sika!” kata amak Kantan dengan yakinnya. “Baiklah, Mak! Samoga ingatan Amak indak salah,” kata si Kantan. Si Kantan pun mulai manggali tanah di bawah sabuah pohon yang bosagh dengan ponuh samangat. Satolah manggali sadalam dua kaki, si Kantan pun manomukan sabuah bonda yang tagh bungkus kain putih yang sudah bughuk. “Mak, Kantan manomukannya!” “Bonda apa en, Nak?”tanya sang amak panasaran. “Ontahlah, Mak!” jawab si Kantan.

  Tanpa baghpikir panjang, bonda panjang yang taghbungkus kain ika sagogha dibukanya. Taghnyata bonda ika sabuah tungkat omas yang baghhiaskan paghmata. “Tengoklah, Mak! Bondaka botul-botul hebat !“ “Bonagh, Anakku! Baghangkali Tuhan ingin mangubah nasib kita ka yang udah lama mandaghita ka.” Setolah ika, mereka pun pulang dengan mambawa tungkat omas ika. Sesampenya di gubuk, sang amak menghendaki agagh bonda ika dijual sijo. Hasilnya akan digunakan untok mamboli ghumah baghu dan untok kabutuhan sahaghi-haghi.

  “Tapi, Mak! Siapa na sanggup memboli bonda yang sangat bahaghga ka?” tanya si Kantan. “Botul jua katamu, Nak! Panduduk desa ka ghata-ghata hanya patani biasa ja, pandapatannyapun pas-pasan sijo. Bagaimana kalo ko jual sijo kapulo lain?” usul amak si Kantan. Si Kantan maneghima usulan amaknya dengan sonang hati. Namun, di sisi lain, ia sangat sodih kaghena akan maninggalkan amaknya yang udah tua itu sandighian.

  Keesokan haghinya, si Kantanpun bapamitan kapada amaknya. “Jaga dighi baik-baik, na Mak! Satolah bondaka tajual, Kantan akan sagogha balek manomui Amak,” ucap si Kantan kapada amaknya. “Baiklah, Anakku! Baghangkatlah dan hati-hati di jalan! Jangan lupa copat pulang kalo udah baghasil,” seru sang amak. “Baiklah, Mak! Kantan baghangkat!” pamit si Kantan sambil mencium tangan amaknya. Tiba-tiba suasana haghu manyalimuti hati ibu dan anak ika. Tak taghasa, sang amak maneteskan aigh mata, lalu dipoluknya anak satu-satunya ika dengan eghat-eghat. “Nak, Jangan lupakan Amakmu di sika. Copatlah balek!” pesan sang amak. “Iya, Mak! Kantan bajanji balek sacopatnya”. Jawab si Kantan mambalas polukan amaknya.

  Satolah ika, beghangkatlah si Kantan dengan sabuah tungkang manyusughi Sungai Baghumun manuju laut lopas, manuju Malaka. Baghhaghi-haghi udah si Kantan taghombang- ambing oleh galombang ditongah laut. Meskipun paghjalanan ika mangughas tanaga dan mambosankan, namun hal ika indaklah mambuat niat si Kantan sughut. Ia yakin bahwa hasil daghi panjualan tungkat omas ika akan mangubah nasibnya manjadi lobih baik. Satibanya di Malaka, ia pun sagogha manawaghkan kapada pagha padagang disana. Salughuh padagang di kota ika udah ia tawaghi, namun tak saoghang pun yang sanggup mambolinya. Ia pun beghniat kambali ke kampung halamannya tampa mambawa hasil.

  Dalam perjalanan menuju ke pelabuhan, ia bertemu dengan beberapa hulu balang dari Kerajaan Malaka yang sedang berkeliling ronda di kota itu. “Hai, Anak Muda! Benda apa yang sedang kamu bawa itu?” tanya salah seorang hulu balang. “Tongkat Emas, Tuan!” jawab si Kantan. Lalu ia menceritakan maksud kedatangannya ke kota itu. “Bagaimana jika benda itu kamu tawarkan kepada raja kami. Siapa tahu beliau tertarik.” Hulu baling lainnya menawarkan.

  Si Kantan menerima tawaran itu. Ia kemudian dibawa untuk menghadap kepada sang raja. Setibanya di istana, para hulu balang melaporkan kepada raja, bahwa pemuda miskin itu ingin menjual sebuah benda yang sangat berharga. Sang Raja kemudian mengamati benda itu. “Aduhai, istimewa sekali benda ini,” gumam Baginda Raja. Setelah itu, ia berkata kepada si Kantan, “Hai, Anak Muda! Aku sangat tertarik dengan tongkat emas engkau ini. Tapi, aku tidak ingin membelinya dengan uang. Bagaimana jika engkau tinggal di istana ini dan aku jadikan menantuku?” sang Raja menawarkan. ”Ampun,Baginda! Jika itu kehendak Baginda, hamba menerima tawaran itu,” jawab si Kantan sambil memberi hormat. Seminggu kemudian, si Kantan pun dinikahkan dengan putri raja yang cantik jelita. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan sangat meriah.

  Sejak itu, si Kantan resmi menjadi anggota keluarga istana Kerajaan Malaka. Ia bersama istrinya hidup bahagia di istana. Kehidupan yang serba mewah membuat si Kantan lupa kepada ibunya yang sudah tua dan hidup sendirian di kampung. Sementara itu, sang istri selalu mendesak ingin bertemu mertuanya dan ingin melihat kampung halaman suaminya. “Kanda” ! Kapan Kanda akan mengajak Dinda untuk menemui ibu di kampung?” tanya sang istri. Mula- mula si Kantan enggan mengabulkan permintaan istrinya dengan alasan sibuk mengurus istana.

  Namun, karena didesak terus oleh istrinya dan direstui oleh Baginda Raja, maka si Kantan pun tidak bisa mengelak lagi. “Baiklah, Dinda! Besok pagi kita berangkat” janji si Kantan kepada istrinya.

  Dengan menggunakan kapal pribadinya yang besar dan mewah, si Kantan dan istrinya beserta puluhan prajurit istana berlayar menuju Pulau Sumatera. Setelah berhari-hari mengarungi Selat Malaka, akhirnya kapal si Kantan berlabuh di kota kecil, Labuhan Bilik, yang terletak di muara Sungai Barumun. Penduduk setempat sangat terkejut dengan kehadiran kapal sebesar itu.

  Mereka pun berdatangan ke pelabuhan ingin melihatnya dari dekat.

  “Woiiii, mogah kali kapal enen! Tapi, siapa ja pamiliknya?” kata seoghang panduduk panasaghan. “Oiii, lihat enen!” seru panduduk lainnya sambil menunjuk ka arah saoghang laki- laki gagah baghsama seoghang wanita cantik baghdighi di anjungan kapal. “Indak ja jantan enen si Kantan?” tanya saoghang panduduk mangonali si Kantan. “Osahmu! enen si Kantan, lajang na tinggal di gubok di topi sungai enen”, kata seoghang panduduk yang juga mangonal si Kantan

  Maka taghsiaghlah kabagh bahwa si Kantan tolah menjadi kaya-ghaya, bagai seoghang raja dengan kapalnya yang bosagh dan megah. Akhighnya, kabagh kadatangan si Kantan pun tadongagh oleh amaknya. Parampuan tua ika sangat sonang, kaghena anak yang ditunggu- tunggunya salama baghtahun-tahun tolah kambali. Saat managhima baghita ika, ia mamutuskan untok manunggu anaknya dengan sabagh di gubok reotnya. Namun, satolah bebeghapa lama manunggu, anak yang dighindukannya tak kunjung datang. Akhighnya, ibu tua ika mamutuskan untuk manyusul anaknya di palabuhan. Dengan menggunakan sampan, janda tua ika manyusuri Sungai Baghumun manuju palabuhan tompat kapal si Kantan baghlabuh.

  Ia udah indak sabagh lagi ingin mamoluk anak yang sangat disayanginya ika. Dengan sakuat tanaga, ia mengayuh sampannya lobih copat lagi. Akhighnya, nampaklah daghi kejauhan sabuah kapal bosagh sodang baghsandar di palabuhan. “Kalo bonagh kata oghang en, kapal en pasti punyanya si Kantan anakku,” pikigh janda tua ika.

  Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia teghus mangayuh sampannya mendekati kapal mogah ika. Ketika sampan yang dinaiki udah samakin dokat dengan kapal bosagh ika, ia sagogha mamanggil anaknya. “Kantaaan!!! Kantaaan!!! Kantan anakkuuuuu !!!” Mandongagh suagha taghiakan daghi luagh kapal, istri si Kantan pun baghtanya kepada si Kantan, “Kanda! Suara siapakah yang memanggil-manggil nama Kanda?” “Ah, itu hanya orang gila,” jawab si Kantan (pura-pura tidak peduli, walaupun sebenarnya ia sangat mengenal bahwa suara itu adalah suara ibunya). Namun, ia malu mempeghkenalkan istghinya dengan ibunya yang miskin lagi tua itu.

  Panggilan si amaknua kembali taghdongagh samakin dokat. “Kantan, Anakku!!! Ko dimana?”.“Ika amakmu datang, Nak!” taghiak sang amak. Maka samakin yakinlah istri si Kantan, kalau yang mamanggil suaminya ika adalah maghtuanya. Ia samakin panasaghan ingin melihat ibu maghtuanya yang sudah lama ia ghindukan. Ia pun sagogha laghi kaluagh kapal, tapi disusul oleh si Kantan. Daghi anjungan kapal, nampaklah oleh magheka saorang perempuan tua yang sodang mandayung sampan ka arah kapalnya. “Kantaaan, Anakku! Aku ka amakmu yang ko tinggalkan dolu,” tariak amak tua ika.“Hei, perempuan jelek! Enak sijo mangaku-ngaku sebagai amakku. Aku indak punya amak saburuk kau!” caci si Kantan dengan kesal. “Tenang, Kanda! Siapa tahu wanita itu benar ibu Kanda, Sepertinya ia sangat mengenal Kanda,” sahut sang istri menenangkan suaminya. Seburuk apapun dia, bukanlah suatu masalah yang besar kanda, aku tidak merasa keberatan dan malu mengakuinya sebagai mertuaku, aku yakin dia ibumu karena dia sangat mengenalimu. “Tidak, Istriku! Ia bukan ibuku. Ibuku masih muda dan cantik,” bantah si Kantan. “Hei, orang tua gila! Jangan dekati kapalku. Dasar perempuan pembawa sial!” si Kantan kembali mencaci-maki amaknya. “pengawal!, usir dia dari sini !” perintah si kantan.

  Satolah babaghapa pangawal mangusigh perempuan tua ika, si Kantan kambali mamaghintahkan pangawalnya untok mamutagh haluan kapal dan kambali ka Malaka.

  Sementagha ika, perempuan tua ika bagai disambagh petigh melihat peghilaku anak kesayangannya, yang sungguh di luagh dugaan. Dadanya teghasa sesak, aigh matanya pun tak taghbendung lagi. Dengan sisa tanaganya, ia mangayuh sampannya kambali ke guboknya dengan peghasaan hancugh-lebugh. Ia sangat sodih kaghena telah, Diusigh oleh anak kandungnya sendighi

  Dengan deghaian aigh mata, ia pun beghdoa, “Ya Tuhan, budak en udah dughaka sama amaknya yang malahighkan mambosaghkannya ka. Boghi ia palajaghan, agagh ia manjadi anak nan tau babakti pada oghang tua!”

  Baghu sijo ucapan ika lopas daghi mulut sang amak, tiba-tiba potigh manyambagh, hujan badai yang sangat dahsyat pun datang. Tak baghapa lama, aigh Sungai Baghumun pun bagulung- gulung lalu menghantam kapal si Kantan dengan baghtubi-tubi. Kapal bosagh yang mogah ika pun tanggolam ka dasagh Sungai Baghumun. Salughuh awak kapal tak dapat menyelamatkan dighi, taghmasuk si Kantan dan istghinya.

  Satolah kapal ika udah indak nampak lagi, suasana kembali tenang sepeghti samula. Bebeghapa haghi kamudian, muncullah sabuah pulo kocil di tompat kajadian ika, yaitu topatnya ditongah-tongah Sungai Baghumun dan beghhadapan dengan kota Labuhan Bilik dan tanjung saghang olang. Kamudian pulo ika oleh masyaghakat satompat dibeghi nama Pulo Si Kantan. Dan istghinya beghubah menjadi monyet putih, dan di pulo ika taghdapat pohon mangga yang aneh, kaghena memiliki dua sisi ghasa, dalam satu buah memiliki ghasa manis dan asam. Dan sampai saat ika di pulo ika taghdapat makam kghamat yang dibeghi kelambu, bagi pengunjung yang memiliki hajat sering beghdoa di makam ika, dan sampai saat en juga di sungai Baghumun taghdapat buaya kuning yang disebut masyaghakat sebagai buaya penjaga pulo si Kantan. Dan akan mencelakai oghang-oghang yang beghniat jahat.

  Lampiran 2

  Daftar nama-nama informan : 1. : Tamri Tambusai

  Nama Umur : 40 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Kepala Desa

  2. : Ina Astuti Nama

  Umur : 59 Tahun J. Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Wiraswasta

  3. : Dahren Nama

  Umur : 52 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani dan Buruh

  4. : Nasli

Nama

  Umur : 54 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Nelayan

  5. : Bahran Nama

  Umur : 55 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Nelayan

  6. : Abdullah

Nama

  Umur : 60 Tahun J.Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Pedagang dan Nelayan

  Lampiran 3

  Foto Pulau Si Kantan