Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Cerita Raja Sisingamangaraja I

(1)

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP CERITA RAJA SISINGAMANGARAJA I

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN OLEH

NAMA : JAFIER HASOLOAN S

NIM : 100703006

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN


(2)

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP CERITA RAJA SISINGAMANGARAJA I

SKRIPSI SARJANA

NAMA : JAFIER HASOLOAN S NIM : 100703006

LEMBAR PENGESAHAN Disetujui Oleh :

Pembimbing 1 Pembimbing II

Dra. Rosita Ginting, M.Hum.

NIP : 19590520 198601 2002 NIP : 19560911 198610 1001

Drs. Sumurung Simorangkir, SH, M.Pd.

Diketahui Oleh : Departemen Sastra Daerah

Ketua

NIP : 19620716 198803 1002 Drs. Warisman Sinaga, M. Hum


(3)

ABSTRAK

Jafier Hasoloan S, 2014. Judul Skripsi: Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Cerita Raja Sisingamangaraja I di Desa Simamora, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini, penulis membahas analisis SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP CERITA RAJA SISINGAMANGARAJA I. Masalah dalam penelitian ini adalah unsur intrinsik cerita Raja Sisingamangaraja I, nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung dalam cerita Raja Sisingamangaraja I, dan untuk memaparkan pandangan masyarakat desa Simamora terhadap cerita Raja Sisingamangaraja I. Cerita Raja Sisingamangaraja I merupakan salah satu bentuk cerita yang dimiliki masyarakat Batak Toba, tepatnya yang berada di Desa Simamora, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur cerita, mengetahui nilai-nilai sosiologi sastra cerita, dan untuk mengetahui pandangan masyarakat Desa Simamora terhadap cerita Raja Sisingamangaraja I. Susunan cerita dan peristiwa yang terjadi di dalam cerita Raja Sisingamangaraja I terstruktur dan diterjemahkan menjadi sebuah cerita serta menggali nilai budaya didalamnya.

Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori struktural dan teori sosiologi sastra. Adapun unsur-unsur intrinsik yang ada dalam cerita ini meliputi: tema, alur atau plot, latar atau setting, dan perwatakan atau penokohan. Cerita Raja Sisingamangaraja I, mengisahkan seorang pemimpin yang adil dan bijaksana dalam memimpin rakyatnya.


(4)

ab\s\terk\

jpiare\hsoloan\s\2014JdL\sikirpi\sianlissi\sosiaologiss \tertre\hdp\seritrjsisi<m<rjp

re\tmdidessimmorkesmtn\bk\tirjkBptne\hM\b^hsN\Dtn\tre\d iridrilimbb\|

dlm\penelitian\InipeNlsi\mme\bhs\snslissi\

sosiaologisas\tertre\hdp\seritrjsisi<m<rjpre\tmmslh\dlm \penelitian\Iniadlh\aN\sR\ani\tirni\ski\seritrjsisi<m<r jpre\tmnilInilIsosiaologiss\tery^tre\kn\D^dlm\seritrjsi si<m<rjpre\tmdn\aN\tK\mempr\kn\pn\d<n\msiyrkt\dessimmor tre\hdp\seritrjsisi<m<rjpre\tmseritrjsisi<m<rjpre\tmmeR pkn\slh\sTbne\tK\serity^dimilikimsiyrkt\btk\tobtept\[y^ berddidessimmorkesmtn\bk\tirjkBptne\hM\b^hsN\Dtn\peneli tian\Inibre\Tjan\aN\tK\me<etHIsiTrK\tR\seritme<etHInilI nilIsosiaologiss\terseritdn\aN\tK\me<tHIpn\d<n\msiyrkt\ dessimmortre\hdp\seritrjsisi<m<rjpre\tmSSnn\seritdn\per is\tiwy^tre\jdididlm\seritrjsisi<m<rjpre\tmtre\siTrK\tR \dn\ditre\jemh\kn\mne\jdiseBah\seritsre\tme^glinilIBdyd idlm\[|

metodey^dipre\Gnkn\dlm\me^anlissi\mslh\penelitian\Iniad lh\metodedse\kirpi\ti\de<n\tke\nki\penelitian\lp<n\pene litian\Inime^Gnkn\teaorisitK\Trl\dn\teaorisosiaologiss\ teradpN\aN\s


(5)

R\aN\sR\ani\tirni\ski\y^addlm\seritInimeliPtitemalR\atU pelto\ltr\atUste\ti^dn\pre\wtkn\atUpenokohn\seritrjsisi <m<rjpre\tmme<ish\kn\seor^pemmi\pni\y^adli\dn\bijk\sndl m\memmi\pni\rk\yt\[|


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi syarat untuk dapat menempuh ujian komprehensif untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Skripsi ini berjudul Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Cerita Raja Sisingamangaraja I. Judul ini penulis ambil berdasarkan sejarah dan cerita masyarakat Batak Toba yang terdapat di Desa Simamora, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Terwujudnya skripsi ini bukanlah semata-mata jerih-payah penulis sendiri, tetapi tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun material sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh dalam isi skripsi ini, penulis memaparkan rincian sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, anggapan dasar, dan gambaran umum lokasi penelitian. Bab II merupakan kajian pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan. Bab III merupakan metodologi penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi penelitian,


(7)

instrument penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab IV pembahasan mengenai isi cerita yang di dalamnya terdapat unsur-unsur intrinsik, nilai-nilai sosiologi sastra, dan pandangan masyarakat terhadap cerita Raja Sisingamangaraja I. Bab V berisikan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Untuk itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca terutama bagi penulis.

Medan, Oktober 2014

Penulis,

NIM : 100703006 Jafier Hasoloan S


(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, dukungan, dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1.

Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis baik dalam perkuliahan maupun menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum, selaku sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan nasihat, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Ibu Dra. Rosita Ginting, M.Hum, selaku dosen pembimbing akademik

penulis selama menjalani perkuliahan di Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai dosen pembimbing I penulis. Terimakasih atas waktu, saran dan pengetahuan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(9)

5. Bapak Drs. Sumurung Simorangkir, SH.M.Pd, selaku dosen pembimbing II yang telah banyak mengorbankan waktu dan tenaga serta memberikan perhatiannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang istimewa kepada kedua orang

tua saya Ayahanda Almarhum T. Sirait dan Ibunda S. Br Manurung yang telah merawat, mendidik dan membesarkan penulis hingga bisa menempuh pendidikan kejenjang perkuliahan. Doa mereka senantiasa mengiringi langkah dalam mewujudkan cita-cita penulis. Sungguh besar pengorbanan yang diberikan tak dapat penulis membalasnya.

7. Kepada kakak dan adik penulis, Murti Sirait, Andre Sirait, Yanti Sirait, Rut Sirait, yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Begitu juga kepada seluruh informan yang ada di Kecamatan Baktiraja yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan informasi tentang skripsi ini.

9. Kepada sahabat-sahabat terbaikku stambuk 2010, Fernando, Jenry, Esti, Hariyati, Fani, Cherly, Elpi, Andus, Desi, Breken, Jamalum, Jakop, Buha, Mariana, Masdaniati, Panji, Rio, Daniel dan teman-teman lainnya serta adik-adik junior stambuk 2011, 2012, 2013 dan 2014.

10.Semua yang tergabung dalam anggota IMSAD, rekan FIB, dan juga teman sekampus lainnya yang telah memberikan dorongan dan membantu penulis dalam studi, dan penyusunan skripsi ini.


(10)

11.Penulis juga mengucapkan terimakasih yang istimewa kepada istri penulis Desi Sipayung dan anak penulis Gopas Sirait serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan juga doa kepada penulis hingga dapat menyelesaikan perkuliahan ini, kiranya Tuhan yang disurgalah nantinya yang akan membalas.

12.Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada abangda Manguji Nababan, Risdo Saragih, serta alumni Sastra Daerah lainnya.

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak baik di Medan maupun diluar kota Medan telah membantu penulis. Pada kesempatan ini penulis memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa kiranya pertolongan yang mereka berikan, dan tidak mungkin penulis balas, kiranya Tuhanlah yang akan membalasnya kepada mereka sebagaimana layaknya.

Penulis,

Nim: 100703006 Jafier Hasoloan S


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Peneltian ... 3

1.5 Anggapan Dasar ... 4

1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 8

2.1.1 Pengertian Sastra ... 8

2.1.2 Pengertian Sosiologi ... 10

2.1.3 Pengertian Sosiologi Sastra ... 12

2.1.4 Pengertian Cerita Rakyat... 13

2.2 Teori yang Digunakan ... 15


(12)

2.2.2 Teori Sosiologi Sastra ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Metode Dasar ... 22

3.2 Lokasi Penelitian ... 23

3.3 Instrument Penelitian ... 23

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 23

3.5 Metode Analisis Data ... 24

BAB IV PEMBAHASAN ... 26

4.1 Unsur-unsur Intrinsik Cerita Raja Sisingamangaraja I ... 26

4.1.1 Tema ... 26

4.1.2 Alur atau Plot ... 28

4.1.3 Latar atau Setting ... 33

4.1.4 Perwatakan ... 36

4.2 Analisis Nilai-Nilai Sosiologi Sastra Cerita Raja Sisingamangaraja I .. 41

4.2.1 Sistem Kekerabatan ... 42

4.2.2 Tanggung Jawab ... 44

4.2.3 Kasih Sayang ... 46

4.2.4 Pertentangan ... 47

4.3 Pandangan Masyarakat terhadap cerita Raja Sisingamangaraja I ... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 51


(13)

5.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(14)

ABSTRAK

Jafier Hasoloan S, 2014. Judul Skripsi: Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Cerita Raja Sisingamangaraja I di Desa Simamora, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini, penulis membahas analisis SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP CERITA RAJA SISINGAMANGARAJA I. Masalah dalam penelitian ini adalah unsur intrinsik cerita Raja Sisingamangaraja I, nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung dalam cerita Raja Sisingamangaraja I, dan untuk memaparkan pandangan masyarakat desa Simamora terhadap cerita Raja Sisingamangaraja I. Cerita Raja Sisingamangaraja I merupakan salah satu bentuk cerita yang dimiliki masyarakat Batak Toba, tepatnya yang berada di Desa Simamora, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur cerita, mengetahui nilai-nilai sosiologi sastra cerita, dan untuk mengetahui pandangan masyarakat Desa Simamora terhadap cerita Raja Sisingamangaraja I. Susunan cerita dan peristiwa yang terjadi di dalam cerita Raja Sisingamangaraja I terstruktur dan diterjemahkan menjadi sebuah cerita serta menggali nilai budaya didalamnya.

Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori struktural dan teori sosiologi sastra. Adapun unsur-unsur intrinsik yang ada dalam cerita ini meliputi: tema, alur atau plot, latar atau setting, dan perwatakan atau penokohan. Cerita Raja Sisingamangaraja I, mengisahkan seorang pemimpin yang adil dan bijaksana dalam memimpin rakyatnya.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra adalah pengucapan atau ekspresi jiwa yang paling individu oleh seorang pengarang serta tinggi dan mulia sifatnya. Fananie (2000:32) mengatakan bahwa sastra adalah karya seni yang merupakam ekspresi kehidupan manusia.

Karya sastra itu tersendiri bukan hanya suatu tiruan hidup, tetapi merupakan penafsiran tentang alam dan kehidupan. Sastra merupakan bagian dari kebudayaan, yang artinya sastra dapat digunakan sebagai tempat penuangan ekspresi jiwa. Selain itu sastra juga mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan oleh pengarang mengenai kehidupan manusia. Berarti, sastra itu dapat menampilkan gambaran kehidupan sosial masyarakat.

Etnis Batak Toba merupakan salah satu etnis yang sudah mempunyai kebudayaan dan karya sastra sendiri. Secara garis besar sastra terbagi atas dua bagian yaitu : sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan dalam penyampaiannya adalah dari mulut ke mulut yang berisi cerita-cerita terhadap sesama (sastra oral) yang merupakan warisan turun-temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembang misalnya mitos, legenda, dongeng, cerita rakyat dan lain-lain. Sastra tulisan dalam penyampainnya adalah melalui tulisan yang sudah dibukukan dan dibaca orang banyak. Sastra tulisan ini banyak yang berasal dari sastra lisan misalnya dongeng yang diceritakan seseorang kemudian ditulis dan dibukukan oleh orang yang mendengarnya.


(16)

Sastra lisan merupakan kekayaan budaya, khususnya kekayaan sastra karena sastra lisan sebagai modal apresiasi sastra, sebab sastra lisan telah membimbing pendengar untuk melakukan apresiasi dan pemahaman gagasan. Sastra lisan merupakan dasar komuikasi antara pencipta, masyarakat dan peminat cerita yang dalam arti bahwa karya atau ciptaan yang didasarkan pada karya sastra akan lebih mudah untuk dipahami dan dihayati sebab unsur-unsurnya lebih mudah dikenal dan dilaksanakan oleh masyarakat.

Karya-karya sastra lisan tersebut telah banyak memberikan sumbangan yang berupa didaktis, filsafat, ilmu pengetahuan, dan lain-lain yang perlu diteliti dan diangkat ke permukaan melalui buku-buku yang menyangkut kepada karya sastra lisan tersebut agar masyarakat lain yang belum mengetahui menjadi mengenal. Banyak sastra lisan yang telah dibukukan, tetapi harus diakui juga masih banyak yang belum dibukukan. Sebagai suatu contoh sastra lisan Batak Toba adalah cerita rakyat.

Cerita rakyat adalah cerita pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya penulis mencoba mengangkat salah satu karya sastra berupa cerita rakyat. Misalnya cerita Raja Sisingamangaraja I yang mengisahkan seorang raja yang adil dan bijaksana memimpin rakyatnya dan juga menjadi pemangku adat, budaya dan agama. 1.2 Rumusan Masalah

Untuk menghindari pembahasan atau pembicaraan yang menyimpang dari permasalahan, penulis membatasi masalah agar pembahasan terarah dan terperinci. Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatan skripsi ini, karena


(17)

dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan. Bentuk perumusan adalah biasanya berupa kalimat pertanyaan yang menarik atau dapat mengubah perhatian.

Adapun masalah yang dibahas adalah :

1. Bagaimana unsur intrinsik cerita Raja Sisingamangaraja I?

2. Nilai-nilai sosiologi sastra apa saja yang terkandung dalam cerita Raja Sisingamangaraja I?

3. Bagaimana pandangan masyarakat Desa Simamora terhadap cerita Raja Sisingamangaraja I?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Memaparkan unsur-unsur intrinsik pembentuk cerita Raja Sisingamangaraja I.

2. Menguraikan nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung dalam cerita Raja Sisingamangaraja I.

3. Memaparkan pandangan masyarakat Desa Simamora terhadap cerita Raja Sisingamangaraja I.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca khususnya terhadap penulis untuk dijadikan sebagai :


(18)

2. Sebagai apresiasi Sastra Daerah khususnya apresiasi Sastra Batak terhadapa prosa rakyat (cerita rakyat).

3. Menyukseskan program pelestarian Sastra Daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

4. Menjadi sumber informasi bagi mahasiswa Departemen Sastra Daerah FIB USU.

1.5 Anggapan Dasar

Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu anggapan dasar. Menurut Arikunto (1996:65), “Anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas”. Maksud kebenaran disini adalah apabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Karena itu, penulis berasumsi bahwa cerita ini masih ada dalam masyarakat Batak Toba dan mengingatkan kepada pembaca, khususnya pada masyarakat Batak Toba supaya tidak memaksakan kehendaknya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik yang melanggar norma dan etika.

1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1.6.1 Letak Geografis Kecamatan Baktiraja

Kecamatan Baktiraja terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 2.231,9 Ha yang terletak pada titik koordinat 2°16’- 2° 23’ LU- 98°47’- 98° 58’ BT. Kecamatan Baktiraja terletak pada 500 - 1.500 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Baktiraja sendiri memiliki tujuh desa diantaranya adalah Desa Simamora, Siunongunong Julu, Sinambela, Simangulampe, Marbun Toruan, Marbun Tonga Marbun Dolok dan


(19)

Tipang. Kecamatan Baktiraja adalah daerah yang menjadi tempat penelitian tentang Cerita Raja Sisingamangaraja I. Jarak kantor Kecamatan Baktiraja ke kantor Bupati Humbang Hasundutan ±15 km dengan jumlah penduduk sekitar 7.639 jiwa.

Kecamatan Baktiraja terletak dengan batas wilayah :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sitiotio Kab. Samosir. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Doloksanggul. - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pollung.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Muara Kab. Tapanuli Utara.

Data tersebut bersumber dari kecamatan Baktiraja kabupaten Humbang Hasundutan


(20)

PETA KECAMATAN BAKTIRAJA

1.6.2 Keadaan Penduduk

Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di Desa Simamora adalah suku Batak Toba yang telah lama mendiami desa tersebut. Desa Simamora merupakan tanah ulayat marga Sinambela, Marbun, Simamora, Bakara, Sihite, dan Simanullang. Ke-6 kelompok marga tersebut membentuk satu kesatuan masyarakat adat yang dinamai sionom ompu (onom= enam; ompu= leluhur). Sedangkan marga yang lain adalah marga pendatang yang bermukim di Desa Simamora. Kelompok marga tersebut adalah suku Batak Toba yang merupakan bagian dari suku Batak. Penduduk yang berada di Desa Simamora rata-rata mata pencahariannya adalah bertani. Produk pertanian unggulan di desa ini adalah padi, kopi, bawang merah. Namun sebahagian kecil masyarakat yang tinggal di


(21)

pinggiran danau Toba juga yang bekerja sebagai nelayan. Namun demikian, tidak sedikit juga masyarakatnya yang bekerja pada instansi pemerintahan.

1.6.3 Budaya Masyarakat

Penduduk Desa Simamora mayoritas suku Batak Toba yang telah lama mendiami Baktiraja, dan terkenal akan budaya Batak Tobanya. Masyarakat Desa Simamora dapat dikatakan homogen, karena berasal dari satu suku yaitu suku Batak Toba yang mempunyai ciri khas pada budaya masyarakatnya.

1.6.3.1 Adat istiadat Masyarakat

Struktur masyarakat Batak Toba dikenal dengan sebutan dalihan na tolu, yang terdiri atas tiga makna yakni somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Dari falsafah dalaihan na tolu di atas, masyarakat Batak Toba menjalankan itu sebagai aturan dan norma dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, hubungan kekerabatan yang di miliki masyarakat sangat erat .

Masyarakat Desa Simamora secara khusus dalam kehidupan sehari-hari memakai bahasa Batak Toba karena lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Penggunaan bahasa Batak Toba sebagai alat komunikasi sesama suku Batak Toba, senantiasa berlangsung dalam hidup sehari-hari, misalnya dalam upacara adat, kebaktian gereja, rapat penatua adat. Dengan kata lain, bahasa daerah dipakai dalam membicarakan hal-hal yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama, dalam percakapan sehari-hari, termasuk dalam sastra lisan dan tulisan.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian, paparan atau konsep-konsep tersebut bersumber dari pendapat para ahli, emperisme (pengalaman penelitian), dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang sastra dan sosiologi sastra. Selain itu digunakan sumber bacaan lainnya tentang cerita Raja Sisingamangaraja I.

2.1.1 Pengertian Sastra

Banyak ahli mendefinisikan pengertian sastra sebagai berikut.

Wellek dan Warren (1986:3) mengatakan, sastra adalah suatu kegiatan kreatif dan sebuah kegiatan seni.

Teeuw (1984:23) mengatakan, kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta. Akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, dan memberikan petunjuk atau intruksi. Akhiran tra- biasanya menunjukkan alat dan suasana. maka sastra dapat berarti alat untuk mengajar atau buku petunjuk.


(23)

Damono (2003:1) mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

` Sumardjo dan Saini (1984:3) mengatakan, sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat keyakinan dalam bentuk konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Keseluruhan definisi sastra di atas adalah berdasarkan persepsi masing-masing dan sifatnya deskriptif, pendapat itu berbeda satu dengan yang lain. Masing-masing ahli menekankan aspek-aspek tertentu. Namun yang jelas, definisi tersebut dikemukakan dengan prinsip yang sama yaitu manusia, seni, dan lingkungan. Manusia menggunakan seni sebagai pengungkapan segi-segi kehidupan. Ini suatu kreatif bagi manusia yang mampu menyajikan pemikiran dan pengalaman hidup dengan bentuk seni sastra.

Dari beberapa batasan yang diuraikan di atas dapat disebut beberapa unsur batasan. Unsur-unsur itu adalah isi sastra berupa pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat kepercayaan, dan yang lainnya. Ekspresi atau ungkapan adalah upaya untuk mengeluarkan sesuatu dari dalam diri manusia. Bentuk diri manusia


(24)

dapat diekspresikan keluar dalam berbagai bentuk, sebab tanpa bentuk tidak akan mungkin isi disampaikan kepada orang lain. Ciri khas pengungkapan bentuk pada sastra adalah bahasa. Bahasa adalah bahan utama untuk mewujudkan ungkapan pribadi didalam suatu bentuk yang indah.

2.1.2 Pengertian Sosiologi

Secara etimologi, sosiologi berasal dari dua kata yaitu Socius dan Logos. Socius berarti kawan, dan Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi jika dilihat dari asal katanya, maka sosiologi itu berarti berbicara tentang masyarakat, atau dengan perkataan lain ilmu yang memperbincangkan tentang masyarakat.

Kata sosiologi adalah istilah yang mempunyai hubungan erat dengan masyarakat. Sosiologi pada dasarnya mempelajari kesatuan hidup manusia yang terbentuk hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok lain.

Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan berkelompok manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya yang secara umum disebut masyarakat. Sosiologi di sisi lain sebagai ilmu berbicara tentang aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk membicarakan sebuah karya satra.

Nilai-nilai sosiologi pada sebuah cerita dapat diwujudkan untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Ilmu sosiologi digunakan untuk masyarakat itu sendiri dan diciptakan oleh masyarakat demi terjalinnya hubungan yang harmonis antara satu anggota masyarakat dengan yang lainnya.


(25)

Sesuai dengan penjelasan diatas, kita dapat mengetahui nilai-nilai sosiologis sebuah cerita berdasarkan zamannya. Perubahan zaman dapat mengubah asumsi masyarakat mengenai nilai-nilai sosiologisnya.

Soekanto, (1982:12) mengemukakan sosiologi disebut sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi persyaratan suatu ilmu pengetahuan yakni:

1. Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan observasi dengan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.

2. Sosiologi bersifat teoritis, ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstrak dari hasil-hasil observasi tersebut sehingga merupakan kerangka pada unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat.

3. Sosiologi bersifat kumulatif, yang berarti bahwa teori-teori yang sudah ada diperbaiki dan diperluas.

4. Sosiologi bersifat non-etnis, karena tidak mempersoalkan baik buruk fakta melainkan hanya memperjelaskan fakta.

Menurut Laursen (1972) dalam Fananie (2000:133) terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu:

1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosiologi yang didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan.


(26)

3. Model yang dipakai karya sastra tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.

Sosiologi dalam kehidupan masyarakat dapat diartikan sebagai ilmu atau kelompok pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya serta proses pembudayaannya. Ilmu sosiologi dapat dipergunakan masyarakat untuk mencari tentang nilai-nilai sosiologi dalam sebuah cerita dapat diwujudkan untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Seperti yang diuraikan diatas bahwa dalam mencari nila-nilai sosial dalam sebuah cerita, dapat digunakan sebuah perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnnya. Perspektif sebagai cerminan status sosial dapat digambarkan bagaimana status sosial penulis dalam situasi cerita itu terjadi, sehingga dapat menyampaikan nilai-nilai sosial yang harus dipahami oleh pembaca terlebih kepada masyarakat penganutnya.

2.1.3 Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak pada pengarang. Menurut Semi, (1984:52), “Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari kritik sastra, ia mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Produk ketelaahan itu dengan sendirinya dapat digolongkan ke dalam produk kritik sastra”. Sedangkan Ratna (2003:25) mengatakan, “Sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dan keterlibatan struktur sosialnya”. Wellek dan Warren dalam (Semi, 1989:178) mengatakan, “Bahwa sosiologi sastra yakni mempermasalahkan suatu karya sastra yang menjadi pokok, alat tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan


(27)

apa tujuan serta amanat yang hendak disampaikan”. Ada 3 pendekatan yang digunakan dalam sosiologi sastra untuk megetahui nilai-nilai sosiologi karya satra yaitu sosiologi karya, sosiologi pebaca dan sosiologi pengarang.

Untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Wellek dan Werren dalam (Semi, 1986:53) mengatakan, “Sosiologi sastra yaitu mempermasalahkan suatu karya sastra yang menjadi pokok, alat tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan serta amanat yang hendak disampaikan”.

2.1.4 Pengertian Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan budaya suatu komunitas. Hampir dapat dipastikan bahwa tak ada satu pun komunitas yang tidak memiliki cerita rakyat, baik yang berupa legenda, mitos, atau pun sekedar dongeng belaka.

Cerita rakyat adalah cerita pada masa lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa yang memiliki budaya yang beraneka ragam mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing bangsa. Cerita rakyat merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi.

Menurut Prasetya, (1991:41) bila mempelajari dengan seksama, ternyata cerita rakyat yang hidup di kalangan masyarakat itu memiliki fungsi bermacam-macam. Setidaknya cerita rakyat memiliki tiga fungsi, yaitu 1) fungsi hiburan, 2) fungsi pendidikan, dan 3) fungsi penggalang kesetiakawanan sosial.


(28)

Cerita rakyat jelas merupakan suatu bentuk hiburan. Dengan mendengarkan cerita rakyat sepeti dongeng, mite atau legenda, kita sekan-akan diajak berkelana ke alam lain yang tidak kita jumpai dalam pengalaman hidup sehari-hari. Para penuturnya pun sering mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan cerita yang pernah didengarnya dengan jalan menuturkan fantasinya sendiri. Dengan demikian cerita itu pada satu pihak menyebar secara luas di kalangan masyarakat dalam bentuk dan isi yang relatif tetap karena kuatnya si penutur pada tradisi, tetapi pada lain pihak juga banyak mengalami perubahan, karena hasratnya untuk menyalurkan angan-angannya serta citarasanya sendiri. Dengan gaya penuturan sendiri pula. Hal yang terakhir inilah yang menjadi salah satu sebab lahirnya versi-versi baru dari cerita rakyat. Dan justru perubahan dari para penutur yang kemudian itulah cerita rakyat dapat mempertahankan kelestarian hidupnya.

Fungsi Cerita rakyat selain sebagai hiburan juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Sesungguhnya orang yang bercerita pada dasaranya ingin menyampaikan pesan atau amanat yang dapat bermanfaat bagi watak dan kepribadian para pendengarnya. Tetapi jika pesan itu disampaikan secara langsung kepada orang yang hendak dituju sebagai nasehat, maka daya pukau dari apa yang disampaikan itu menjadi hilang. Jadi pesan atau nasehat itu akan lebih mudah diterima jika dijalin dalam cerita yang mengasyikkan, sehingga tanpa terasa para pendengarnya dapat menyerap ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita itu sesuai dengan taraf dan tingkat kedewasaan jiwanya masing-masing.


(29)

Cerita rakyat juga memiliki fungsi sebagai penggalang rasa kesetia- kawanan diantara warga masyarakat yang menjadi pemilik cerita rakyat tersebut. Di atas telah dijelaskan bahwa cerita rakyat itu lahir ditengah masyarakat tanpa diketahui lagi siapa yang menciptakan pertama kali.

Fungsi lain lagi dari cerita rakyat adalah sebagai pengokoh nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dalam cerita rakyat terkadang ajaran-ajaran etika dan moral bisa dipakai sebagai pedoman bagi masyarakat. Di samping itu di dalamnya juga terdapat larangan dan pantangan yang perlu dihindari. Cerita rakyat bagi warga masyarakat pendukungnya bisa menjadi tuntunan tingkah laku dalam pergaulan sosial.

2.2 Teori yang Digunakan

Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani), berarti kebulatan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.

Pengertian teori menurut Pradopo, dkk (2001:35) ialah, “seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan atau menjelaskan suatu fenomena”. Untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam skripsi ini, penulis akan menggunakan teori struktural yaitu dengan melihat unsur-unsur intrinsiknya dari segi tema, alur, perwatakan, dan latar serta menggunakan teori sosiologi sastra yaitu dengan melihat unsur-unsur ekstrinsiknya, dalam hal ini akan dibatasi yakni hanya melihat nilai-nilai sosiologisnya saja.


(30)

2.2.1 Teori Struktural

Untuk melihat unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra diterapkan teori struktural. Teori struktural diharapkan mendapatkan sesuatu hasil yang optimal dari karya sastra yang akan dianalisis. Teew (1984:135) berpendapat, “Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh”.

Berdasarkan pendapat di atas, teori struktural adalah pendekatan yang bertujuan untuk menganalisis karya sastra berdasarkan unsur-unsur yang membangun karya tersebut dalam suatu hubungan antara unsur pembentuknya.

Pada dasarnya penelitian struktur, yaitu suatu penelitian yang membahas unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, alur, latar, dan penokohan yang terdapat dalam cerita Raja Sisingamangaraja I.

1. Tema

Staton (1965:88), tema adalah makna yang dikandung sebuah cerita. Tema juga merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung dalamnya menyangkut persamaan dan perbedaan. Kemudian Fananie (2000:84) mengatakan, “Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi karya sastra”. Selanjutnya Sudjiman (1978:74), “Tema adalah gagasan, ide atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun yang tidak terungkap”.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian tema adalah gagasan pokok yang mendasari cerita dan memiliki


(31)

kedudukan yang dominan sehingga dapat mempersatukan unsur secara bersama-sama membangun sebuah karya sastra.

2. Alur atau Plot

Semi (1984:45), “Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interksi khusus sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi”. Alur atau plot terbentuk dari rangkaian kisah tentang peristiwa-peristiwa yang disebabkan sesuatu dengan tahapan-tahapan yang melibatkan konflik atau masalah.

Alur atau plot terbentuk dari rangkaian kisah tentang peristiwa-peristiwa yang disebabkan sesuatu dengan tahapan-tahapan yang melibatkan konflik atau masalah.

Alur dalam cerita dapat dibagi atas beberapa bagian, seperti yang dikemukakan oleh Lubis (1981: 17), yaitu:

1. “Pengarang mulai melukiskan suatu keadaan (situation)

2. Peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak (generating circumtances) 3. Keadaan mulai memuncak (rising action)

4. Peristiwa mencapai puncak (climax)

5. Pengarang memberikan pemecahan soal dalam semua peristiwa (denoument)”

3. Latar atau Setting

Daryanto (1997:35), latar atau setting adalah jalan (aturan) memanjang rangkaian peristiwa yang berlangsung dalam karya fiksi. Selanjutnya, Sumarjo dan Saini (1991:76), menjelaskan bahwa setting bukan hanya berfungsi sebagai


(32)

latar yang bersifat fisikal untuk memuat sesuatu cerita menjadi logis. Latar juga memiliki unsur psikologis sehingga latar mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya.

Latar atau setting adalah tempat-tempat kejadian suatu peristiwa atau kejadian di dalam penceritaan karya sastra. Latar bukan hanya berupa daerah atau tempat namun waktu, musim peristiwa penting dan bersejarah, masa kepemimpinan seseorang di masa lalu.

4. Perwatakan/ Penokohan

Perwatakan atau karakter kadang-kadang disebut juga penokohan. Perwatakan/ penokohan adalah salah satu unsur intrinsik dari sebuah unsur-unsur yang membangun fiksi. Dalam sebuah karya sastra, alur dan perwatakan tidak dapat dipisahkan. Hal ini disebabkan alur meyakinkan watak-watak atau tokoh-tokoh beraksi dan bereaksi. Hubungan perwatakan dan alur menjadi penting karena perwatakan adalah sifat menyeluruh yang disorot, termasuk perasaan, keinginan, cara berpikir, dan cara bertindak. Bangun, dkk (1993:21), “Perwatakan/ tokoh cerita dapat dilihat melalui tiga aspek yaitu aspek psikologis, fisiologis, dan sosiologis.

Perwatakan adalah karakter dari tokoh. Dalam hal ini pengertian sifat atau ciri khas yang terdapat pada diri tokoh yang dapat membedakan antara satu tokoh dengan yang lainnya. Gambaran watak tokoh dapat diketahui melalui apa yang diperankan dalam cerita tersebut kemudian jalan pikirannya serta bagaimana penggambaran fisik tokoh.


(33)

Setiap cerita mempunyai tokoh dimana tokoh itu dianggap sebagai pembentuk peristiwa alur dalam cerita. Oleh karena itu, setiap tokoh mempunyai watak tersendiri yang dapat dianalisis dan diramalkan secara analisis yaitu dapat diterangkan secara langsung watak tokohnya, sedangkan secara dramatik yaitu dapat diterangkan secara tidak langsung tetapi mungkin melalui tindakannya dan lain-lain. Aspek perwatakan (karakter) merupakan imajinasi pengarang dalam membentuk suatu personalita tertentu dalam sebuah karya sastra. Pengarang sebuah karya sastra harus mampu menggambarkan diri seseorang tokoh yang ada dalam karyanya.

2.2.2 Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi merupakan istilah yang memiliki kaitan dengan masyarakat. Menurut Swingewood (1972:11), sosiologi merupakan pendekatan ilmiah yang menekankan analisis secara objektif tentang manusia dalam masyarakat, dan proses-proses sosial. Sementara sastra pada dasarnya juga menyoroti kehidupan masyarakat, adaptasi masyarakat terhadap kehidupannya, dan rasa ingin mengubah kehidupannya.

Selanjutnya dalam menganalisis Cerita Raja Sisingamangaraja I tersebut digunakan teori sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ratna (2004:339) model analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat dapat dilakukan meliputi tiga macam yaitu :

1) “Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang


(34)

pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.

2) Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antar struktur. Bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.

3) Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu”.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis yang pertama yakni dengan menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi sebelumnya.

Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra adalah termasuk unsur-unsur budaya. Unsur-unsur budaya yang dimaksud yakni :

a. Unsur Sistem Sosial

Sistem sosial meliputi sistem kekeluargaan, sistem politik, sistem pendidikan, dan sistem undang-undang. Struktur dalam setiap sistem ini dikenal sebagai institusi sosial, yaitu cara manusia yang hidup berkelompok mengatur hubungan antara satu dengan yang lainnya dalam jalinan bermasyarakat.

b. Sistem Nilai Ide

Sistem nilai dan ide yaitu sistem yang memberi makna kepada kehidupan masyarakat, bukan saja terhadap alam sekitar bahkan juga terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga menyangkut upaya bagaimana kita menentukan


(35)

sesuatu lebih berharga dari yang lain. Sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat.

c. Peralatan Budaya

Peralatan budaya yaitu penciptaan material yang berupa perkakas dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang keperluan.


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metode artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu; logos artinya ilmu pengetahuan. Sudaryanto (1982:2), “Metodelogi adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan”.

Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai dengan menyusun laporan. Jadi, metode penelitian adalah ilmu mengenai jalan yang dilewati untuk mencapai suatu pemahaman. 3.1 Metode Dasar

Metode yang dipergunakan dalam penganalisaan ini adalah metode analisis deskriptif dengan tehnik penelitian lapangan. Metode ini dilakukan agar dapat menyajikan dan menganalisis data secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerahnya.

Tujuan metode deskriptif ialah membuat pembahasan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerah tetentu. Secara harafiah, metode deskriptif adalah penelitian yang dimaksud dengan memaparkan secara lebih rinci hubungan antara suatu objek tertentu dengan populasi yang ada di daerah tersebut, demikian juga halnya dengan cerita Raja Sisingamangaraja I kepada masyarakatnya serta nilai-nilai sosial yang terkandung didalamnya.


(37)

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Desa Simamora, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Alasan penulis untuk memilih lokasi penelitian ini adalah karena cerita Raja Sisingamangaraja I tersebut berada di Desa Simamora, Kecamatan Baktiraja. Di desa ini penulis dapat memperoleh keterangan tentang cerita Raja Sisingamangaraja I. Bahkan sampai sekarang cerita ini masih diperbincangkan masyarakat yang berada di desa tersebut.

3.3 Instrumen Penelitian

Sumber data penelitian ini adalah data lapangan yang melalui wawancara dengan beberapa informan yang tinggal di desa itu. Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang diajukan penulis dalam melakukan wawancara dengan informan. Alat bantu yang digunakan yaitu :

1. Alat rekam (tape recorder). 2. Pulpen.

3. Buku tulis. 4. Quisener

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah sebuah cara penelitian dalam pengkajian data baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangannya.

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : a. Metode Observasi


(38)

Metode ini dilakukan untuk mengamati secara langsung daerah tempat penelitian untuk mendapatkan informasi yang mampu memberikan informasi data yang dibutuhkan, tehnik yang dipergunakan penulis adalah tehnik catat.

b. Metode Wawancara

Metode ini dilakukan untuk memperoleh keterangan lebih lengkap tentang cerita rakyat sebagai objek yang diteliti, sehingga didapatkan cerita secara sepenuhnya.

c. Metode Kepustakaan

Metode ini dilakukan untuk mendapatkan sumber acuan penelitian, agar data yang didapatkan dari lapangan dapat diolah semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan yang digariskan. Dalam metode ini penulis juga mencari buku-buku pendukung yang berkaitan dengan masalah dalam penulisan skripsi ini nantinya, dengan menggunakan teknik catat.

3.5 Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu. Untuk menganalisis data penelitian ini, penulis menggunakan metode struktural dan teori sosiologi sastra.

Dalam metode struktural dan teori sosiologi sastra penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mengumpulkan data yang diperoleh dari lapangan.


(39)

3. Menganalisis unsur-unsur intrinsik karya sastra pembentuk cerita Raja Sisingamangaraja I.

4. Menentukan nilai-nilai sosiologi yang terdapat dalam cerita Raja Sisingamangaraja I.


(40)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Unsur-unsur Intrinsik Cerita Raja Sisingamangaraja I 4.1.1 Tema

Tema adalah pokok pikiran, atau makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Tema juga merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalamnya yang menyangkut persamaan dan perbedaan.

Setiap karya sastra harus mempunyai dasar cerita dan tema yang merupakan sasaran tujauan dalam sebuah cerita. Sebuah karya sastra yang baik yang tertulis maupun secara lisan pasti mengandung tema, karena sebuah karya sastra pasti nmempunyai pokok pikiran utama atau isi pembicaraan yang hendak disampaikan kepada pembacanya atau pendengarnya.

Di dalam cerita ini, penulis menyatakan tema cerita adalah kisah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana dalam memimpin rakyatnya. Hal ini dapat dilihat dari sinopsis cerita :

“Sada tingki maritapian ma Boru Pasaribu tu aek manuruk na ditombak Sulusulu. Ditingki martapian Boru Pasaribu tarsonggot ma ibana ala tompu dibereng surusuruan jonjong di ginjang batu topi binanga i. Tung mansai mabiar do ibana, dungi didok surusuruan i ma tu Boru Pasaribu “unang sai tumatangis ho inang ai diboto Ompunta Mulajadi do na diarsakhonmu, dang sadia lelengnai tubu ma mataniari binsar na jogi jala na sangap di hamu. Alai diparsorang na sogot humuntal ma angka tano jala mallisik-lisik


(41)

ma ronggur, marpiu-piu alogo jala tompas ma udan, ima tanda-tanda ni partubu na. Andorang dang tubu ibana tu portibion baritahon ma tu angka jolma asa ditungkol undungundung na dohot sanggar jala dirahut baion loging asa dao angka mara sian sopona be, jala unang pola mabiar molo 17 bulan asa sorang na dibortian i. Ia dakdanak na tubu i nunga titir maripon jala marimbulu pangabas na. Alai ingot dang na lao tubu ibana molo so dipatupa pinggan pasu, lage, dohot ulos ragiidup. Dang na lao olo ibana mangallang sipanganon na di meme, jala Sisingamangaraja ma bahen goarna. Ibana ma gabe singa ni harajaon dohot uhum di halak sibirong mata. Dung lao surusuruan i, ditadinghon Boru Pasaribu ma inganan i”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Suatu hari Boru Pasaribu hendak mandi kesungai aek manuruk yang mengalir dari gunung dekat hutan Sulusulu. Ketika Boru Pasaribu mau mandi ia terkejut karena tiba-tiba melihat malaikat berdiri diatas batu yang terletak dipinggir sungai. Ia sangat ketakutan, kemudian mahluk itu berkata kepada Boru Pasaribu “ibu jangan selalu menangis karena Yang Maha Kuasa mengetahui apa yang kau pikirkan, tidak berapa lama lagi ibu akan melahirkan seorang anak laki-laki untukmu yang sakti dan bijaksana. Tapi pada waktu kamu melahirkan nanti akan terjadi gemuruh dan petir, angin akan berputar-putar dan akan datang hujan yang lebat sebagai tanda kelahirannya. Sebelum anak itu lahir, harus diberikan pengumuman kepada penduduk supaya masing-masing menopang rumahnya dengan gelagah dan


(42)

diikat dengan pandan duri supaya rumahnya jangan sampai tumbang dan ibu tidak usah takut kalau anak yang akan lahir itu 17 bulan di dalam kandungan. Anak yang lahir itu akan lengkap dengan giginya dan lidahnya berbulu. Ia tidak akan menerima makanan yang dimamah, dan engkau menamai anak yang lahir itu Sisingamangaraja, yang menjadi pola kerajaan dan hukum bagi yang bermata hitam. Setelah malaikat itu menghilang Boru Pasaribu meninggalkan tempat itu”

4.1.2 Alur / Plot

Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot. Alur atau plot merupakan rentetan peristiwa yang sangat penting dalam sebuah cerita. Tanpa alur kita tidak tahu bagaimana jalan cerita tersebut, apakah dia alur maju, alur mundur atau alur bolak-balik.

Alur atau plot dalam cerita Raja Sisingamangaraja I adalah sebagai berikut: 1). Pengarang mulai melukiskan suatu keadaan (situation)

Situasi merupakan tahap awal dari bagian cerita. Setiap awal cerita pembaca akan diperkenalkan terlebih dahulu tentang permulaan terjadinya sebuah cerita. Hal tersebut dapat dilihat dalam sinopsis cerita :

“Borhat ma Raja Bona Ni Onan manandinghon huta na, alai dang dipaboa manang dompak dia langkana tu inanta soripada ima Boru Pasaribu manang tu boruna ima na margoar Nasiap Natundal. Ia parborhaton ni Raja Bona Ni Onan marbonsir na mandele do ibana ala ni somarna adong sinuan tunas na”


(43)

“Dahulu Raja Bona Ni Onan pergi meninggalkan kampung halamannya dengan tidak memberitahu arah tujuannya, baik kepada isterinya yaitu Boru Pasaribu maupun kepada putrinya yang bernama Nasiap Natundal. Keberangkatan Raja Bona Ni Onan didorong oleh rasa kecewa berhubung karena dia belum memiliki seorang anak laki-laki menjadi penerusnya” 2). Peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak (generating circumstances)

Peristiwa selanjutnya mulai bergerak dimana ketika Boru Pasaribu berbadan dua dia mengharapkan sesuatu karena permintaan yang di dalam kandungannya. Hal ini dilihat dalam sinopsis cerita :

“Dung marumur 12 bulan na dibortian i, disuru Boru Pasaribu ma boru na i manjou Raja Bona Ni Onan asa dipatupa sipanganon lao panganon na. Alai dang olo Raja Bona Ni Onan patupahon pangidoan ni dongan saripena i, gabe tulang ni Nasiap Natundal ma ro patupahon. Dung dipangan Boru Pasaribu pinarsinta ni rohana, ro ma gorak tu angka datu dang sadia lelengnai lao ro ma angka pangunjunion tu hutana. Laho pasidingkon na naeng masa i, dipaingot angka datu ma asa ditungkol be undungundung na dohot sanggar jala dirahut dohot baion, songon tona na dijalo Boru Pasaribu di tombak Sulusulu”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Saat yang didalam kandungan berumur 12 bulan, Boru Pasaribu menyuruh anaknya memanggil Raja Bona Ni Onan supaya menyediakan makanan keinginan hatinya untuk dimakannya. Raja Bona Ni Onan tidak mau mengabulkan permintaan isterinya, akhirnya paman Nasiap Natundal yang


(44)

menyediakannya. Setelah Boru Pasaribu mendapat yang dia inginkan, para dukun mendapat firasat bahwa tidak berapa lama lagi kampung mereka akan diancam bencana alam. Untuk menghindarkan bahaya tersebut, pihak dukun menasehatkan supaya penduduk menupang rumahnya dengan teberau dan mengikatnya dengan pandan duri, sesuai dengan pesan yang di terima oleh Boru Pasaribu di hutan Sulusulu”

3). Keadaan mulai memuncak (rising action)

Pada tahap ini pengarang memunculkan maksud dan tujuan dalam cerita rakyat ini. Keadaan cerita ini mulai memuncak ketika Raja Sisingamangaraja pergi ke kampung bibinya, tetapi cacian dan hinaan dilontarkan oleh bibinya terhadap Sisingamangaraja I. Hal ini dilihat dalam sinopsis cerita :

“Dung marumur hurang lobi 12 taon ibana, marujung ngolu ma amongna, dung salpu taon nai muse marujung ngolu ma inong na jala dang marpiga leleng udut ma iboto na ima si Nasiap Natundal marujung ngolu. Alani gabe holan ibana na mangingani jabu na i, alai nang pe songon i tong do diparsangapi angka jolma na dihutana i dohot humaliang hutana i”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Setelah berusia lebih kurang 12 tahun, ayahnya yaitu Raja Bonani Onan meninggal dunia, tahun berikutnya ibunya juga menyusul dan beberapa tahun kemudian kakaknya yaitu Nasiap Natundal juga meninggal. Dengan demikian hanya dia sendiri saja yang menempati rumah mereka. Tetapi walaupun demikian ia selalu dihormati oleh seluruh penduduk didalam dan diluar kampung itu”


(45)

4). Peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya (climax)

Peristiwa mencapai puncak terjadi ketika Raja Sisingamangaraja I mengetahui bahwa Raja Uti mempunya gajah putih. Hal ini dilihat dalam sinopsis cerita :

“Dung diboto Sisingamangaraja adong gaja puti ni Raja Uti, tubu ma sangkap na mangido gaja puti i sian Raja Uti alana holan i do na dihabiaran ni namboruna Siboru Pande Marujar”.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Setelah Sisingamangaraja mengetahui bahwa Raja Uti mempunyai gajah putih, ia bermaksud meminta gajah putih dari Raja Uti karena hanya itulah yang ditakuti oleh bibinya Siboru Pande Marujar”

5) Pengarang memberikan pemecahan masalah soal dari semua peristiwa (climax) Penyelesaian pada tahap ini ketika Raja Uti memberikan tujuh pertanda pusaka kerajaan kepada Raja Sisingamangaraja I. Hal ini dilihat dalam sinopsis cerita :

“Dung i marpadan ma Sisingamangaraja na so paboaon na bohi ni Raja Uti tu halak na asing. Dilehon Raja Uti ma angka hatorangan pusaha harajaon i tu Sisingamangaraja”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Sesudah itu Sisingamangaraja berjanji tidak akan memberitahukan wajah Raja Uti kepada siapapun. Kemudian Raja Uti menyerahkan dan menjelaskan barang-barang pusaka kerajaan kepada Sisingamangaraja“


(46)

4.1.3 Latar atau Setting

Latar disebut juga istilah setting, yaitu tempat atau terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar atau setting adalah tempat berlangsungnya peristiwa dalam suatu cerita atau tempat kejadian yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Latar bukan hanya merupakan daerah atau tempat, namun waktu, peristiwa penting dan bersejarah. Dengan mengetahui dan memahami latar dalam sebuah karya sastra yang dituangkan menjadi cerita akan memudahkan pembaca untuk memahami latar dalam sebuah karya sastra yang dituangkan dalam bentuk cerita.

Dalam cerita Raja Sisinamangaraja I ini terdapat tiga latar yaitu: - Latar tempat

- Latar waktu - Latar sosial 1. Latar Tempat

Latar tempat dilihat dari sudut geografis, dimana kejadian itu berada yang menyangkut nama-nama tempat. Cerita Raja Sisingamangaraja I ini dilatarkan dalam enam tempat yaitu Bakara, Urat Pulau Samosir, dan Barus. Hal ini dilihat dalam sinopsis cerita.

Latar tempat di Bakara terdapat pada sinopsis cerita :

“Bakara do molo goar huta ni Raja Bona Ni Onan laos dison do bale partungkoan ni Raja Sisingamangaraja parjolo sahat tu na pasampuluduahon”


(47)

“Bakara itulah nama kampung Raja Bona Ni Onan dan disinilah tempat istana Raja Sisingamangaraja yang pertama sampai yang ke duabelas”

Latar tempat di Urat Pulau Samosir terdapat pada sinopsis cerita :

“ Adong do namboru ni Sisingamangaraja ima iboto ni Raja Bona Ni Onan na margoar Siboru Pande Marujar na marhamulian tu marga Sinaga Uruk di Urat Pulau Samosir”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Sisingamangaraja mempunyai bibi yaitu kakak dari Raja Bonani Onan bernama Siboru Pande Marujar kawin dengan seorang marga Sinaga Uruk di Urat Pulau Samosir”.

Latar tempat di Barus terdapat pada sinopsis cerita :

“Borhat ma Sisingamangaraja manadinghon Urat, dipardalanan dibege ibana ma sian angka panghallung barita ni Raja Uti, raja pomparan ni Pasaribu, raja na tumimbul, na so ra mate jala na so ra matua jala maringanan di Barus”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Sisingamangaraja meninggalkan Urat, diperjalanan dia mendengar dari para pedagang tentang riwayat Raja Uti, raja turunan dari Pasaribu, raja yang sangat mulia, yang tidak pernah mati dan tidak pernah tua, bertahta di Barus”

2. Latar Waktu

Uraian tentang cerita Raja Sisingamangaraja I merupakan nama-nama tempat dan zaman terjadinya suatu peristiwa. Latar yang terdapat cerita ini


(48)

menunjukkan suatu peristiwa pada zaman itu. Latar waktu terjadinya cerita ketika Raja Sisingamangaraja I pergi ke Barus saat itu air laut sedang terjadi pasang naik. Hal ini dilihat dalam sinopsis cerita :

“Dung jonok dompak Barus, pajumpang ma Sisingamangaraja dohot parmahan jala disungkun ibana ma “horas, idia do dalan tu huta ni tulanghu Raja Uti?” Dungi dibahen parmahan i ma pangalaho na sangap ala dung diboto halak ro i martulang tu Raja Uti. Tutu dang na boi pataruon ni halak i ibana tu inganan ni Raja Uti alana mabiar tu pinahan dohot tu Raja Uti. Ala na Sisingamangaraja pe holan mangido patuduhon dalan do gabe ditaruhon ma ibana tu adaran. Ia diparrona ima tingki lumindak-lindak laut”

Terjemahan kedalam bahasa Indonesia

“Setelah dekat ke Barus, Sisingamangaraja bersua dengan pengembala “Horas, manakah jalan ke kampung pamanku Raja Uti?” Lalu pengembala-pengembala itu segera menunjukkan sikap yang hormat setelah mengetahui bahwa orang asing itu berpaman kepada Raja Uti. Sudah tentu mereka tidak bisa mengantarkannya ke tempat Raja Uti takut kepada binatang dan Raja Uti sendiri, tapi karena Sisingamangaraja sendiri hanya meminta untuk menunjukkan jalan saja maka mereka mengantarkan sampai kepantai. Kebetulan pada saat itu sedang pasang naik”

3. Latar Sosial

Latar sosial menyarankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial mayarakat. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup


(49)

berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks yaitu berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, spiritual dan lain sebagainya. Latar sosial yang menyebabkan terjadinya cerita ini adalah keberadaan Raja Sisingamangaraja I yang membuat keadilan bagi masyarakat. Hal ini dilihat dalam sinopsis cerita :

“Sogot ni ari longang ma jolma alana eme di balian nunga asing sian na somal, uratna tu ginjang jala bulungna tu toru. Mulana i dirimpu jolma na uhum sian Debata do na masa on, alai dung diboto aha na diulahon ni anak ni si Boru Pasaribu di tombak Sulusulu, disungkun angka raja ma na malo asa dibereng sahat tudia do naeng hasaktion ni dakdanak i. Didok angka na malo ma ia dakdanak ido na gabe singa ni uhum, singa ni harajaon dohot singa ni hadatuon jala siboan lasniroha tu saluhut jolma”

Terjemahan kedalam bahasa Indonesia

“Pada hari berikutnya semua penduduk menjadi heran karena padi disawah sudah lain dari yang biasa, akarnya ke atas dan daunnya ke bawah. Pada mulanya penduduk menyangka kejadian itu merupakan hukuman dari Tuhan tetapi setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh anak si Boru Pasaribu dihutan Sulusulu, raja-raja meminta pertolongan dari orang pintar agar diperiksa lebih jauh dari hal kesaktian anak tersebut. Para orang pintar menegaskan bahwa anak itu akan menjadi pola dari hukum, pola dari kerajaan dan pola dari kedukunan serta akan membawa bahagia kepada penduduk”.


(50)

4.1.4 Perwatakan

Perwatakan dapat disebut juga sebagai penokohan. Perwatakan dapat digambarkan secara langsung dan tidak langsung dari tokoh-tokoh dalam cerita Raja Sisingamangaraja I. Perwatakan dalam cerita Raja Sisingamangaraja I ini dapat kita bagi berdasarkan sifat-sifat tokoh dalam cerita :

1. Raja Sisingamangaraja I 2. Raja Bona Ni Onan 3. Boru Pasaribu 4. Nasiap Natundal 5. Siboru Pande Marujar 6. Raja Uti

7. Istri Raja Uti

Skripsi ini akan membahas watak-watak tokoh cerita Raja Sisingamangaraja I yang sangat mendasar dalam cerita.

1. Raja Sisingamangaraja I

Raja Sisingamangaraja I merupakan pemeran utama dalam cerita Raja Sisingamangaraja I. Raja Sisingamangaraja I adalah putera dari Raja Bona Ni Onan yang mempunyai watak yang baik hati dan penolong. Watak dari Raja Sisingamangaraja I ini dapat dilihat dalam beberapa kutipan berikut:

“Ditingki marumur 10 taon Sisingamangaraja, nunga adong di ibana parrohaon na sabam jala tumimbul. Ditingki molo marbada angka dongan na pintor padameon na do i, molo adong na masapsap daging na, daonan na do i holan mandaishon tijur na. Dos songon angka raja na jolo,


(51)

Sisingamangaraja pe dang hatadingan marjuji. Alai nang sai monang ibana, dang hea diboan ibana hamonangan na tu jabu na jala dipaulak do hepeng na i tu na talu marjuji. Molo dang adong pe hepeng na, dang maol rohana mangaleon ugasanna lao manobus angka na tarutang”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Ketika Sisingamangaraja berusia 10 tahun, beliau sudah memiliki sifat-sifat pemimpin, bertindak adil dan bijaksana. Ketika teman-temannya sedang berkelahi dia akan segera memberhentikan dan diperdamaikan, jika ada yang sampai luka atau misalnya karena jatuh akan segera sembuh hanya dengan mengoleskan air ludahnya. Serupa dengan kebiasaan raja pada zaman dahulu, Sisingamangaraja juga tidak ketinggalan bermain judi dengan teman-temannya. Sekalipun ia selalu menang hasil kemenangannya tidak pernah dibawa ke rumah dan uangnya diberikan kepada yang kalah berjudi. Sekiranya tidak ada lagi uangnya, ia tidak segan memberikan barang-barangnya untuk menebus yang berhutang”

2. Raja Bona Ni Onan

Raja Bona Ni Onan adalah ayah dari Raja Sisingamangaraja I. Raja Bona Ni Onan mempunyai watak yang mudah putus asa. Watak dari Raja Bona Ni Onan ini dapat dilihat dalam kutipan Sinopsis cerita :

“Borhat ma Raja Bona Ni Onan manandinghon huta na, alai dang dipaboa manang dompak dia langkana tu inanta soripada ima Boru Pasaribu manang tu boruna ima na margoar Nasiap Natundal. Ia parborhaton ni


(52)

Raja Bona Ni Onan marbonsir na mandele do ibana ala ni somarna adong sinuan tunasna”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Pada suatu waktu Raja Bona Ni Onan pergi meninggalkan kampung halamannya dengan tidak memberitahu arah tujuannya, baik kepada isterinya yaitu Boru Pasaribu maupun kepada putrinya yang bernama Nasiap Natundal. Keberangkatannya didorong oleh rasa kecewa berhubung karena isterinya belum melahirkan seorang anak laki-laki menjadi penerusnya” 3. Boru Pasaribu

Boru Pasaribu adalah ibu dari Raja Sisingamangaraja I. Boru pasaribu mempunyai watak setia. Watak dari Boru Pasaribu ini dapat dilihat pada kutipan sinopsis cerita :

“Dung i didok Boru Pasaribu ma tu Raja Bona Ni Onan “ale amang siadopan, marhite tangan sampulu jari marsomba ahu mangasahon goar ni Ompunta Mulajadi dohot huaso ni portibi sai unang tarsonggot siboruadi molo longang ho ale amang mangida pamatang ni siboruadi. Alai tung tutu tulus do rohaku tu ho ale amang. Dipangido roha ni siboruadi asa bolonghon sude angka lomos ni roham. Dumenggan ma begeon ni damang sian borunta Nasiap Natundal aha na masa di tombak Sulusulu ima taringot tu boruadi. Borunta si Nasiap Natundal do sian najolo gabe songon hatuaon di rohanta na dua””


(53)

“Boru Pasaribu berkata pada suaminya “kakanda junjunganku, paduan tangan sepuluh jari menyembah kakanda. Demi Allah serta sekalian alam, semoga adinda tidaklah terkejut sekiranya kakanda merasa heran melihat tubuh saya tetapi sungguh benar saya senantiasa setia pada kakanda. Saya mengharapkan agar kakanda membuang segala prasangka buruk. Sebaiknya kakanda mendengar dari putri kita Nasiap Natundal yang dari dulu menjadi pengikat dan penyambung hati kita berdua”

4. Nasiap Natundal

Nasiap Natundal adalah kakak dari Raja Sisingamangaraja I. Nasiap Natundal mempunyai watak yang baik dan patuh terhadap orang tua. Watak dari Nasiap Natundal ini dapat dilihat dalam kutipan sinopsis cerita :

“Huhut maraburan iluna, sai tong do hot dipaboa Nasiap Natundal hatuluson ni inong na i. Ninna ibana ma “dang tutu angka na didok ni angka jolma i, alana manang tudia pe inong lao sai tong do rap ahu” Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Dengan air mata bercucuran Nasiap Natundal mengatakan kejujuran ibunya. Ia berkata “tuduhan yang dikatakan orang pada ibu sama sekali tidak benar karena emana saja ibu pergi aku selalu mendampingi”

5. Siboru Pande Marujar

Siboru Pande Marujar adalah saudara perempuan dari Raja Bona Ni Onan. Siboru Pande Marujar mempunyai watak yang pemarah dan kurang sabar. Watak dari Siboru Pande Marujar dapat dilihat dalam kutipan cerita :


(54)

“Ditingki parro nai manduda eme do namboruna, sidung marsijalangan mangido mangan ma ibana ala nunga mansai male. Alai tung mansai muruk do namboruna i ninna “mansai godang arta ditadinghon among mu, alai dipasuda ho do sude. Tung i pe dang na tu ho sambing alai tung mansai oto do ho. Di galar ho sude singir ni halak, tu halak i ma ho mangido mangan. Dang na lao sonduhon hu indahan tu ho asa mate ho”. Sai tong do marmuruk namboru na i nang pe nunga dipangido Sisingamangaraja asa disalpuhon angka na salpu i”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Pada waktu kedatangannya kebetulan bibinya sedang menumbuk padi, dan setelah bersalaman ia meminta makan karena sudah sangat lapar. Tetapi bibinya sangat marah padanya katanya “begitu banyak harta ditinggalkan ayahmu tetapi kau habiskan semuanya, itupun bukan untuk keperluanmu sendiri tetapi engkau terlalu bodoh. Kau pikul hutang orang lain, kepada merekalah engkau meminta makan. Aku tidak mau bertamak nasi untukmu biar kau mati”. Bibinya tetap marah-marah sekalipun Sisingamangaraja meminta supaya melupakan yang sudah lewat”

6. Raja Uti

Raja Uti merupakan raja yang sangat mulia dan sakti. Raja Uti mempunyai watak yang baik, tepat janji dan tidak mudah percaya pada orang lain. Watak dari Raja Uti ini dapat dilihat dalam kutipan sinopsis cerita :

“Dung dibereng Raja Uti na masaon, ipe asa porsea ibana molo Sisingamangaraja sahalak raja na tinongos ni Debata jala laos didokhon


(55)

Raja Uti ma tu dogan saripena asa dijou Sisingamangaraja ro manjumpangi ibana”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“Setelah menysaksikan kejadian itu barulah Raja Uti percaya bahwa Raja Sisingamangaraja seorang raja yang diutus Tuhan dan selanjutnya Raja Uti menyuruh isterinya supaya mempersilahkan Sisingamangaraja datang menjumpainya”

7. Isteri Raja Uti

Isteri Raja Uti mempunyai watak yang penakut. Watak dari isteri Raja Uti ini dapat dilihat dalam kutipan sinopsis cerita :

“Dung sahat Sisingamangaraja dibariba, tompu ma dibereng inanta soripada ni Raja Uti ma Sisingamngaraja, gabe tarsonggot jala mabiar ma ibana alana dang hea masa sisongon i. Dang adong manang aha na barani masuk tu huta i. Marlojong ma ibana tu jabu paboahon tu Raja Uti”

Terjemahan dalam bahasa indonesia

“Setelah Sisingamangaraja sampai ke seberang, tiba-tiba isteri Raja Uti melihat Sisingamangaraja, maka ia menjadi terkejut dan ketakutan karena tidak pernah terjadi hal seperti itu. Tidak ada yang berani datang ke kampungnya. Ia lari kerumah untuk memberitahukannya pada Raja Uti” 4.2 Analisis Nilai-Nilai Sosiologi Sastra Cerita Raja Sisingamangaraja I

Berdasarkan tinjauan dari unsur-unsur intrinsik di atas, dapatlah dianalisis nilai-nilai sosiologi sastra dalam cerita Raja Sisingamangaraja I dengan


(56)

menggunakan pendekatan sosiologi sastra tanpa menghilangkan konteks sastra karena tidak terlepas dari unsur-unsur karya sastra tersebut.

Karya sastra ini lebih menekankan pada pembahasan nilai-nilai sosiologi sastra maka objek bahasannya adalah interaksi dari pada tokoh-tokoh dalam cerita tersebut sehingga menghasilkan nilai-nilai sosiologis yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri.

4.2.1 Sistem Kekerabatan

Menurut Dannerius Sinaga (2003), kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut

Raja Sisingamangaraja I

“...Dung hundul Sisingamangaraja disungkun ibana ma inanta soripada ni Raja Uti, ai idia haroa tulang? Dung i dialusi inanta soripada Raja Uti ma “idope ibana laho dang huboto manang tudia, alai paima ma satongkin. Ai ise jala sian dia do tahe parro mu jala aha na ringkot? Ninna Sisingamngaraja ma “Sinambela do margaku, beremuna alana tinubuhon ni Boru Pasaribu do au. Molo goarhu Sisingamangaraja, singa mangalompoi jala singa na so halompoan”.


(57)

“...Setelah Sisingamangaraja duduk ia bertanya kepada isteri Raja Uti dimana rupanya paman Raja Uti? lalu isteri Raja Uti menjawab “ia baru keluar, aku tidak tahu kemana tetapi akan segera kembali, tunggulah sebentar. Tetapi siapa dan darimana anda datang dan apa rupanya yang sangat perlu?” Sisingamangaraja menjawab “margaku adalah Sinambela, keponakan anda karena aku adalah turunan dari Boru Pasaribu. Namaku adalah Sisingamangaraja, pola mengatasi dan pola yang tak dapat diatasi”

Kutipan di atas menunjukkan kepada kita bahwa hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba merupakan salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah. Dalam cerita Raja Sisingamangaraja I, sistem kekerabatan sangatlah terlihat jelas dimana ketika Raja Sisingamangaraja memanggil Raja Uti dengan sebutan paman. Begitupun ketika Sisingamangaraja mengatakan kepada isteri Raja Uti bahwa dia merupakan keponakan Raja Uti sebab Sisingamangaraja turunan dari Boru Pasaribu.

Siboru Pande Marujar

“...Adong do namboru ni Sisingamangaraja ima iboto ni Raja Bona Ni Onan na margoar Siboru Pande Marujar na marhamulian tu marga Sinaga Uruk di Urat Pulau Samosir

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“...Sisingamangaraja mempunyai bibi yaitu kakak dari Raja Bonani Onan bernama Siboru Pande Marujar kawin dengan seorang marga Sinaga Uruk di Urat Pulau Samosir”


(58)

Dalam kutipan di atas menunjukkan hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba sangat penting. Salah satu yang menjadi kesatuan adat Batak Toba adalah ikatan sedarah. Seperti halnya antara Raja Sisingamangaraja I dengan Siboru Pande Marujar, dimana Siboru Pande Marujar adalah saudara perempuan dari Raja Bona Ni Onan dan Raja Bona Ni Onan merupakan ayah dari Raja Sisingamangaraja I.

4.2.2 Tanggung Jawab

Tanggung Jawab adalah suatu kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya baik disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai wujutan atas perbuatannya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Raja Bona Ni Onan

“...Hata ni angka jolma na mangaroai goar ni dongan saripena i dang pintor mambahen muruk Raja Bona Ni Onan, alai dipeop do sude i bagas roha na jala dilului hasintongan ni hata-hata i, alana magopo ninna rohana ulaonna gabe disungkun ibana ma boru na ima si Nasiap Natundal atik boa do mula ni na masa i”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“...Bisikan orang yang pada umumnya menodai nama Boru Pasaribu tidak segera membawa Raja Bona Ni Onan naik darah tapi disimpan semuanya dalam hatinya untuk mencari kebenarannya, berhubung karena pekerjaannya sia-sia akhirnya ia menanyakan puterinya Nasiap Natundal bagaimana sebenarnya awal terjadinya”


(59)

Kutipan di atas menunjukkan kepada kita bahwa Raja Bona Ni Onan tidak langsung marah melihat apa yang terjadi dengan isterinya. Disini terlihat sebagai seorang kepala keluarga Raja Bona Ni Onan bertanggung jawab mencari kebenaran untuk melindungi keluarganya dari prasangka buruk orang lain.

Raja Uti

“...Lehononhu do sude na pinangidomi, alai parjolo ma hita marpadan “manang tu ise tung so boi paboaonmu bohingku, ho mandok au bona ni ari muna jala alani ho pinompar sian boru nami”. Dungi marpadan ma Sisingamangaraja na so paboaonna bohi ni Raja Uti tu halak na asing, dilehon Raja Uti ma angka hatorangan pusaha harajaon i tu Sisingamangaraja”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“...Semua yang kau minta akan kuserahkan, tetapi kita terlebih dahulu berjanji “engkau tidak boleh memberitahukan kepada siapapun tentang wajahku, kau sendiri telah mengatakan aku adalah bonaniari bagi kalian dan dengan demikian engkau adalah turunan dari anak perempuan kami. Sesudah itu Sisingamangaraja berjanji tidak akan memberitahukan wajah Raja Uti kepada siapapun. Kemudian Raja Uti menyerahkan dan menjelaskan barang-barang pusaka kerajaan kepada Sisingamangaraja

Kutipan di atas menunjukkan kepada kita bahwa Raja Uti sebagai seorang pemimpin bertanggungjawab memberikan pusaka kerajaan kepada diri Raja Sisingamangaraja I, dimana Raja Sisingamangaraja I merupakan keponakan Raja Uti.


(60)

4.2.3 Kasih Sayang

Kasih sayang adalah suatu perasaan cinta atau sayang dan akan menunjukan rasa perhatian yang mungkin akan berlebihan. Kasih sayang dalam cerita Raja Sisingamangaraja I terlihat ketika Nasiap Natundal membela Boru Pasaribu dan saat Sisingamangaraja membantu orang yang berhutang. Hal ini dilihat dalam kutipan berikut

Nasiap Natundal

“...Huhut maraburan iluna, sai tong do hot dipaboa Nasiap Natundal hatuluson ni inong na i. Ninna ibana ma “dang tutu angka na didok ni angka jolma i, alana manang tudia pe inong lao sai tong do rap ahu”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“...Dengan air mata bercucuran, Nasiap Natundal mempertahankan kejujuran ibunya. “Tuduhan yang dikatakan orang pada ibu sama sekali tidak benar, karena kemana saja ibu pergi aku selalu mendampingi katanya”

Dari kutipan di atas terlihat kasih sayang seorang anak (Nasiap Natundal) kepada ibunya (Boru Pasaribu) untuk membela kebenaran ibunya.

Raja Sisingamangaraja I

“...Alai alana tung burju ibana mangurupi angka jolma na hahurangan lapatanna manggalari singir na so singirna, gabe suda ma sude arta tadingtadinganni natuatuana nahian gabe mapogos ma ibana”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“...Akan tetapi oleh karena terlalu bermurah hati menolong orang-orang yang susah artinya membayar hutang yang bukan hutangnya sendiri,


(61)

akhirnya semua harta benda yang ditinggalkan oleh orang tuanya menjadi habis sehingga ia jatuh miskin”

Kutipan di atas menunjukkan Sisingamangaraja membayar utang orang lain. Sisingamangaraja sangat menyayangi semua orang dan rela menghabiskan hartanya dengan cara membantu orang yang sedang berhutang karena dia tidak ingin orang yang berhutang itu dihukum.

4.2.4 Pertentangan

Pertentangan dapat disebabkan oleh perbedaan pendapat, salah paham, tidak menerima kondisi dan keberadaan orang lain. Pertentangan juga dapat diartikan akibat perselisihan pihak yang satu dengan yang lain. Secara umum pertentangan itu adalah luapan emosional dari satu orang dengan orang lain karena kesalahan ataupun batasan emosional melebihi dari kesabaran yang dimilikinya.

Dalam cerita Raja Sisingamangaraja I ada beberapa pertentangan yang disebabkan oleh :

1. Pertentangan batin Boru Pasaribu dengan suaminya Raja Bona Ni Onan “...Dung i didok Boru Pasaribu ma tu Raja Bona Ni Onan “ale amang siadopan, marhite tangan sampulu jari marsomba ahu mangasahon goar ni Ompunta Mulajadi dohot huaso ni portibi sai unang tarsonggot siboruadi molo longang ho ale amang mangida pamatang ni siboruadi. Alai tung tutu tulus do rohaku tu ho ale amang. Dipangido roha ni siboruadi asa bolonghon sude angka lomos ni roham. Dumenggan ma begeon ni damang sian borunta Nasiap Natundal aha na masa di tombak Sulusulu ima taringot tu boruadi.


(62)

Borunta si Nasiap Natundal do sian najolo gabe songon hatuaon di rohanta na dua”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“...Boru Pasaribu berkata kepada suaminya “kakanda junjunganku, paduan tangan sepuluh jari menyembah kakanda. Demi Allah serta sekalian alam, semoga adinda tidaklah terkejut sekiranya kakanda merasa heran melihat tubuh saya. Tetapi sungguh benar saya senantiasa setia pada kakanda. Saya mengharapkan agar kakanda membuang segala prasangka buruk. Baiklah kakanda mendengar dari putri kita Nasiap Natundal yang dari dulu menjadi pengikat dan penyambung hati kita berdua”

2. Sikap Siboru Pande Marujar yang tidak mau menerima kondisi Raja Sisingamangaraja I.

“...Ditingki parrona i manduda eme do namboru na, sidung marsijalangan mangido mangan ma ibana ala nunga mansai male. Alai tung mansai muruk do namboruna i ninna “mansai godang arta ditadinghon among mu, alai dipasuda ho do sude. Tung i pe dang na tu ho sambing alai tung mansai oto do ho. Digarar ho sude singir ni halak, tu halak i ma ho mangido mangan. Dang na lao sonduhon hu indahan tu ho asa mate ho”. Sai tong do marmuruk namboru na i nang pe nunga dipangido Sisingamangaraja asa disalpuhon angka na salpu i”

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

“...Pada waktu kedatangannya kebetulan bibinya sedang menumbuk padi, dan setelah bersalaman ia meminta makan karena sudah sangat lapar. Tetapi


(63)

bibinya sangat marah padanya katanya “begitu banyak harta ditinggalkan ayahmu tetapi kau habiskan semuanya, itupun bukan untuk keperluanmu sendiri tetapi engkau terlalu bodoh. Kau pikul hutang orang lain, kepada merekalah engkau meminta makan. Aku tidak mau bertamak nasi untukmu biar kau mati”. Bibinya tetap marah-marah sekalipun Sisingamangaraja meminta supaya melupakan yang sudah lewat”

Dalam cerita ini terjadi pertentangan yang disebabkan oleh terjadinya kesalahpahaman antara Sisingamangaraja dengan bibinya. Bibinya menganggap kenapa Sisingamangaraja harus lebih mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.

4.3. Pandangan Masyarakat terhadap cerita Raja Sisingamangaraja I

Banyak yang sudah tau, bahkan dunia banyak mengenal namanya Raja Sisingamangaraja, Raja orang Batak. Beliau mengaturkan hukum, adat, ketetaprajaan dengan konsep wilayah (bius) yang disempurnakan. Beliau menegakkan hak azasi manusia, membebaskan orang dari pasungan, memberi pengampunan hukuman bagi yang bertobat dari kesalahan.

Raja Sisingamangaraja I merupakan pembuka dinasti kerajaan Raja Sisingamangaraja. Menurut masyarakat setempat, nenek moyang mereka percaya bahwa Raja Sisingamangaraja I merupakan utusan Yang Maha Kuasa untuk menjadi pola dari hukum, pola dari kerajaan dan pola dari kedukunan serta akan membawa bahagia kepada penduduk.

Upaya untuk melestarikan cerita kerajaan Raja Sisingamangaraja pertama sampai keduabelas pun berlanjut. Pemerintah mencoba untuk membangun istana


(64)

tersebut, keluarga dan masyarakat juga menyepakati tata krama kerajaan harus dipenuhi. Pada tahun 1975 komplek istana kembali dipugar oleh pemerintah yang saat itu masih masuk dalam pemerintahan kabupaten Tapanuli Utara. Penghargaan untuk kesakralan istana itu juga kembali dihidupkan kembali, dengan dimasukkannya istana Raja Sisingamangaraja dan semua jejak peninggalan Raja Sisingamangaraja seperti aek sipangolu, tombak sulusulu, hariara tungkot dan sebagainya kedalam lokasi wisata situs cagar budaya oleh pemerintah kabupaten Humbang Hasundutan.


(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Cerita Raja Sisingamangaraja I memaparkan secara khusus kisah hidup Raja Sisingamangaraja I. Dalam cerita ini, dikisahkan Raja Sisingamangaraja I merupakan utusan Yang Maha Kuasa untuk menjadi pola dari hukum, pola dari kerajaan dan pola dari kedukunan serta akan membawa bahagia kepada penduduk. Dalam cerita ini menceritakan sifat Raja Sisingamangaraja I yang baik, adil dan bijaksana dan juga kisah pertemuan Raja Sisingamangaraja I dengan Raja Uti, raja orang-orang pesisir turunan dari Pasaribu, raja yang sangat mulia, sakti, yang tidak pernah mati dan tidak pernah tua, bertahta disuatu pulau dekat barus dan memberikan pusaka kerajaan kepada Raja Sisingamangaraja I.

Penulis menggunakan pendekatan sosiologi dalam membahas cerita Raja Sisingamangaraja I, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Sosiologi dan sastra mempunyai hubungan yang erat karena lahir dari masyarakat dan untuk masyarakat. Sosiologi mempunyai objek dari berbagai kehidupan masyarakat yang terjadi dalam masyarkat begitu juga dengan sastra yang mempelajari masyarakat khususnya budaya.

2. Sebuah karya sastra dianalisis dengan menggunakan pendekatan struktural yaitu unsur-unsur pembentuk cerita (intrinsik).


(66)

3. Tema dalam Cerita Raja Sisingamangaraja I menggambarkan kisah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana dalam memimpin rakyatnya.

4. Perwatakan dalam cerita Raja Sisingamangaraja I ini terdiri dari beberapa tokoh yaitu : Raja Sisingamangaraja I, Raja Bona Ni Onan, Boru Pasaribu, Siboru Pande Marujar, dan Raja Uti.

5. Adapun nilai-nilai sosiologis yang ada dalam cerita Raja Sisingamangaraja I ini:

a. Sistem Kekerabatan b. Tanggung Jawab c. Kasih Sayang d. Pertentangan 5.2 Saran

Adapun saran yang penulis simpulkan dari penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut:

1. Dilakukan penelitian terhadap karya sastra tulisan dan lisan agar kelestariannya tidak punah dimakan perkembangan zaman.

2. Meramu hasil penelitian dalam bentuk buku-buku, audio, dan audovisual. 3. Pembugaran cagar budaya terhadap budaya-budaya tradisional agar tidak


(67)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, dkk. 2003. “Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra”. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Bangun, dkk. 1993. Analisis Sosiologis Terhadap Cerita Sibaun Pejel di Tapanuli Selatan. Medan.

Damono, Djoko, 2003. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta. Darma, Budi. 1990. :Perihal Studi Sastra”. Yogyakarta: Basisi, Agustus. Daryanto. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Apollo. Surabaya. Endswara, Suwardi. 2002. “Pengajaran Sastra Berbasis Kompetensi”.

Yogyakarta: Makalah Penataran Guru SLTP Bahasa Jawa, di SLTP 1 Pleret, tanggal 15 Oktober.

Fananie, Z. 2000. Telaah Sastra. Muhammadiyah University Pers. Surakarta.

Lubis, Muchtar. 1981/1983. Teknik Mengarang. Jakarta : PT. Kurnia Esa. L.Tobing, Adniel. 1959. Sejarah Sisingamangaraja. Medan.

Pradopo, Rachmad Djoko.1990. “Penelitian Sastra Indonesia”. Jakarta: Makalah Kongres Bahasa Indonesia V, pusat Bahasa.

Ratna. N.K. 2003. Sastra dan Cultural Studies Refrensi Fiksi dan Fakta. Pustaka Belajar. Yokyakarta : Pustaka Belajar.

--- 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta. Semi.1989. Pengantar Sosiologi. Jakarta. Gramedia.


(68)

---1984. Kritik Sastra. Angkasa Bandung.

Simanjuntak, Batara Sangti.1977. Sejarah Batak. Medan.

Sinaga, Dannerius. 2003. Sistem Kekerabatan Orang Batak Toba. Jakarta. Sinaga, Richard. 2010. Kamus Batak Toba - Indonesia (cet. Iv). Jakarta Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : UI-Press. Soeratno, Chammamah. 2001. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT.

Hanindita Graha Widia.

Wellek, Rene dan Austin Waren. 1989. Teori Kesusteraan. Terjemahan Melani. Budianto. Jakarta : Gramedia.


(69)

Lampiran 1: SINOPSIS CERITA

TURITURIAN RAJA SISINGAMANGARAJA I

Dituriturian didokhon do adong opat anakni Toga Sinambela ima Tuan Na Bolas, Raja Pareme, Raja Mongot Ni Ate dohot Raja Bona Ni Onan. Bakara do molo goar huta ni Raja Bona Ni Onan laos dison do bale partungkoan ni Raja Sisingamangaraja parjolo sahat tu na pasampuluduahon.

Borhat ma Raja Bona Ni Onan manandinghon huta na, alai dang dipaboa manang dompak dia langkana tu inanta soripada ima Boru Pasaribu manang tu boruna ima na margoar Nasiap Natundal. Ia parborhaton ni Raja Bona Ni Onan marbonsir na mandele do ibana ala ni somarna adong sinuan tunas na.

Sada tingki maritapian ma Boru Pasaribu tu aek manuruk na ditombak Sulusulu. Ditingki martapian Boru Pasaribu tarsonggot ma ibana ala tompu dibereng surusuruan jonjong di ginjang batu topi binanga i. Tung mansai mabiar do ibana, dungi didok surusuruan i ma tu Boru Pasaribu “unang sai tumatangis ho inang ai diboto Ompunta Mulajadi do na diarsakhonmu, dang sadia lelengnai tubu ma mataniari binsar na jogi jala na sangap di hamu. Alai diparsorang na sogot humuntal ma angka tano jala mallisik-lisik ma ronggur, marpiu-piu alogo jala tompas ma udan, ima tanda-tanda ni partubu na. Andorang dang tubu ibana tu portibion baritahon ma tu angka jolma asa ditungkol undungundung na dohot sanggar jala dirahut baion loging asa dao angka mara sian sopona be, jala unang pola mabiar molo 17 bulan asa sorang na dibortian i. Ia dakdanak na tubu i nunga titir maripon jala marimbulu pangabas na. Alai ingot dang na lao tubu ibana molo so dipatupa pinggan pasu, lage, dohot ulos ragiidup. Dang na lao olo


(1)

(bergendang) lalu meminta kesediaan putera Raja Sisingamangaraja untuk diangkat jadi raja berikutnya.

Dengan memakai pakaian ulos Jogia Sopipot, putera raja inipun dipersilahkan memulai acara, ia pun meminta gendang dan menyampaikan doa kepada Yang Maha Kuasa sambil putera raja ini menari. Kemudian pisau Gaja Dompak pun diserahkan kepadanya supaya dicabutnya dari sarungnya serta diangkatnya ke atas sambil menari. Pada saat menari itu langitpun akan menjadi mendung dan akhirnya turun hujan. Masyarakat sionom ompu pun menyambutnya dengan kata horas tiga kali. Pengangkatan putera raja Sisingamangaraja untuk menjadi Raja Sisingamangaraja berikutnya tidak harus putera tertua, tetapi siapa antara putera raja itu yang bisa melakukan hal-hal di atas dialah yang menjadi Raja Sisingamangaraja yang berikutnya.


(2)

Lampiran 2: Daftar Gambar Hasil Penelitian

Gambar 2.1. Tampak dari penatapan wilayah Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan.

Gambarr 2.2. Istana Sisingamangaraja di komplek Istana Sisingamangaraja, Desa Simamora Kecamatan Baktiraja.


(3)

Gambar. 2.3. Bale Partonggoan di komplek Istana Sisingamangaraja, Desa Simamora Kecamatan Baktiraja

Gambar. 2.4. Penulis berfoto didepan makam Raja Sisingamangaraja XI Komplek Istana Sisingamangaraja, Desa Simamora Kecamatan Baktiraja


(4)

Lampiran 3: Daftar pertanyaan.

1. Siapakah yang menciptakan Raja Sisingamangaraja I? 2. Bagaimana awal kisah kelahiran Raja Sisingamangaraja I?

3. Bagaimana perkembangan cerita Raja Sisingamangaraja I untuk dewasa ini?

4. Bagaimana tanggapan dan pandangan masyarakat desa Simamora dengan keberadaan Raja Sisingamangaraja I?

5. Apakah ada fakta yang membuktikan jika Raja Sisingamangaraja I ini pernah memerintah seperti yang diceritakan?


(5)

Lampiran 4: Daftar-daftar informan

1. Nama : Parningotan Bakara

Umur : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Bertani/ Kepala Desa Simamora Bahasa : Bahasa Batak Toba, bahasa Indonesia 2. Nama : Markoni Sinambela

Umur : 46 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Wiraswasta/ Penjaga Istana Sisingamangaraja Bahasa : Bahasa Batak Toba, bahasa Indonesia

3. Nama : Togar Simamora

Umur : 65 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Pensiunan PNS

Bahasa : Bahasa Batak Toba, bahasa Indonesia 4. Nama : Kornelius Bakara

Umur : 56 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Bertani


(6)

5. Nama : Lamhot Sinambela

Umur : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : PNS

Bahasa : Bahasa Batak Toba, bahasa Indonesia 6. Nama : Sintong Simamora

Umur : 63 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Bertani

Bahasa : Bahasa Batak Toba, bahasa Indonesia 7. Nama : Anton Simamora

Umur : 47 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Wiraswasta

Bahasa : Bahasa Batak Toba, bahasa Indonesia 8. Nama : Ringkot Purba

Umur : 51 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Bertani