Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Yang Diajukan Oleh Jaksa (Analisa Terhadap Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

(1)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI UPAYA HUKUM PENINJAUAN

KEMBALI (PK)/

HERZIENING

YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA

(Analisa terhadap putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh : WINA FEBRIANI

060200266

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI UPAYA HUKUM PENINJAUAN

KEMBALI (PK)/

HERZIENING

YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA

(Analisa terhadap putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh : WINA FEBRIANI

060 200 266

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh; Ketua Departemen

Abul Khair, S.H., M.Hum NIP : 1996107021989031001

Pembimbing I Pembimbing II

Edi Yunara, S.H., M.Hum. Dr. Marlina Sari, S.H., M.Hum.

NIP : 196012221986031003 NIP : 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah upaya hukum luar biasa yang dilakukan dalam rangka pencapaian rasa keadilan. Fenonema yang muncul saat ini adalah upaya hukum peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa. Padahal dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah jelas dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah jaksa. Meskipun begitu, bukan berarti pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa tidak berdasarkan landasan hukum. Jaksa mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dengan berdasarkan pada pasal 23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakimann, selain itu, Pasal 263 Ayat (3) sendiri telah memberikan celah bagi Jaksa untuk kemudian mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Adanya putusan MA RI No. 55 Tahun 1996 kemudian dijadikan sebagai yurisprudensi bagi perkara-perkara upaya hukum peninjauan kembali selanjutnya.

Selain itu, jaksa diberikan wewenang untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dengan alasan demi kepentingan umum/negara. Tidak semua pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa diterima/dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Menurut Harifin Tumpa, hanya upaya hukum peninjauan kembali yang berkaitan dengan kepentingan umum/negara yang dapat diterima oleh Mahkamah Agung. Seperti perkara-perkara yang diterima dan menjadi fenomena saat ini adalah kasus Muchtar PakPahan, Pollycharpus ddan kasus Syahril Sabirin. Kasus –kasus tersebut menjadi sorotan publik dan sangat fenomenal.

Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening diatur dalam beberapa peraturan

perundang-undangan di Indonesia, yaitu antara lain sebagai berikut :

a) Pasal 263 Ayat (1) ayat (2) dan Ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana

b) Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 jo Undang-Undang No. 14 tahun 1970 jo

Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 23

c) Pasal 9 dan Pasal 10 PERMA No. 1 Tahun 1980

Mengenai peninjauan kembali telah diatur oleh mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun 1980, dan dalam Pasal 10 PERMA tersebut dengan terang telah menunjukkan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan oleh jaksa namun oleh karena pada tahun 1981 telah lahir Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang juga mengatur secara jelas mengenai Peninjauan Kembali maka seharusnya PERMA No.1 Tahun 1980 sudah tidak mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku lagi.

Selain itu mengenai upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening ini pernah

disidangkan di Mahkamah Konstitusi. Menurut analisa penulis berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebenarnya jaksa tidak berwenang untuk mengajukan PK, namun Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk menguji undang-undang terhadap undnag-undang maka Hakim Mahkamah Konstitusi pun menolak gugatan yang diajukan oleh pengacara Pollycharpus. Hal tersebut jelas dapat dilihat dalam allternatif penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan yang diajukan oleh pengacara Pollycharpus mengenai


(4)

pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening ke Mahkamah Agung

Berdasarkan alternatif tersebut , dapat disimpulkan bahwa penolakan permohonan Pollycarpus oleh Mahkamah Konstitusi yang dituangkan dalam Putusan Nomor 16/PUU-VI/2008 bukan berarti menunjukkan bahwa peninjauan kembali oleh jaksa merupakan hal yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Penolakan tersebut dilakukan Mahkamah Konstitusi karena sesungguhnya mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali merupakan hal yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan. Dan kewenangan atas pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang merupakan hak uji Mahkamah Agung bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi sehingga Mahkamah Konstitusi memandang permohonan tersebut ditolak agar sekiranya permohonan tersebut diajukan ke Mahkamah agung dan dibahas oleh Mahkamah Agung.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan penulis dalam pembahasan-pembahasan pada bab dua sampai bab tiga maka penulis menyimpulkan bahwa jaksa berwenag untuk mengajukan upaya hokum peninjauan kembali, namun hal itu dilakukan dengan pembatasn-pembatasan tertentu. Apabila bertujuan demi kepentingan umum/Negara maka jaksa

diberikan wewenang untuk mengajukan upaya hokum peninjauan kembali (PK)/Herziening.

Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Paustinus Siburian dalam artikelnya Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan Batasannya, ia menjelaskan bahwa Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa diberikan hak untuk mengajukan PK. Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam hal apa jaksa dapat mengajukan PK, yaitu dalam hal ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalam pertimbangannya menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak terhadap semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap jaksa berhak mengajukan PK. Selain beliau,Ketua MA Harifin A Tumpa juga membenarkan adanya PK oleh jaksa, prinsipnya peninjauan kembali oleh jaksa memang tidak dibolehkan. Kecuali jaksa bisa membuktikan dan meyakinkan hakim agung ada kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilindungi.

Alasan Hakim Agung menerima/mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa adalah karena dimungkinkannya hal tersebut

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada sebagaimana yang telah dipaparkan pada point kedua dalam kesimpulan ini. Selain itu, Hakim Agung menerima/mengabulkan

pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa karena peran hakim

yang tidak boleh menolak perkara yang diajukan terhadapnya, oleh karena itu hakim harus melakukan penemuan hukum bila peraturan perundang-undangan yang mengaturnya tidak jelas. Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pihak-pihak

yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening mengakibatkan

ketidakjelasan peraturan yang mengatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya

hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dan oleh karena itulah Hakim melakukan

penemuan hukum berdasarkan asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang ada dan doktrin-doktrin hukum. Berdasarkan penemuan hokum yang dilakukan oleh Hakim Agung mak ditemukan cukup alasan untuk menerima/mengabulkan upaya hokum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa penulis haturkan keharibaan nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat manusia dari masa kegelapan menuju jalan yang terang benderang.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis tercatat menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sejak Agustus 2006, sejak itulah penulis mendapatkan banyak pelajaran berharga dari pengalaman selama mengenyam pendidikan hukum. Ada suka, ada duka, ada berbagai prestasi yang diraih serta segala macam kesulitan yang merupakan tantangan dari perjalanan hidup selama menjadi mahasiswa S-1.

Penulis merasa banyak pihak-pihak yang berperan dalam membantu dan mensuport penulis dalam rangka menyelesaikan skripsi ini serta membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan pihak-pihak yang selama ini telah banyak membantu penulis, Allah lah yang kelak kan membalas kebaikan tersebut dengan kebaikan yang berlipat ganda, amin. Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga tidak lupa penulis sampaikan kepada :

1. Allah Swt, Tuhan semesta alam yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,. Atas

izinnya lah penulis dapat menghadapi segala tantangan yang ada, atas izinnyalah penulis dapat mnyelesaikan skripsi ini. Puji syukur tak terhingga kepada Allah Swt.

2. Ayahanda, Abuyar dan Ibunda, Hariyani atas perjuangan dan pengorbanannya selama

bertahun-tahun untuk mendidik dan mengasuh penulis selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat luas kepada kedua orang tua, kepada seluruh anggota keluarga yaitu kakanda Maya Novita Sari, abangda Trio Afdianto, Adinda Iqbal Firmansyah dan ananda Utama Ksatria Mario dan Alfath Ksatria Mario serta keluarga besar Alm. Misnan Sutejo/Rubinem dan keluarga besar Alm. Ustadz H. Abdul Hamid/Almh Siti Maisyaroh.

3. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Bapak Husni juga sudah penulis anggap seperti ayah pendidikannya selama penulis mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

4. Ibunda Dra. Rohainum Aldy dan Ibunda Nisma Hidayati yang telah banyak menguatkan hati penulis dalam ketegaran perjuangan menjalani berbagai masalah yang selama mengenyam pendidikan banyak dialami oleh penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara (USU) Medan yang telah banyak mempercayakan penulis untuk membawa nama besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam berbagai ajang kegiatan lomba baik ditingkat Universitas maupun ditingkat Nasional.

6. Bapak Edi Yunara, S.H., M.Hum dan Ibu Dr. Marlina Sari, S.H., M.Hum., selaku

dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Keduanya juga merupakan dosen pebimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Bapak Edi dan Ibu Marlina telah banyak membantu dalam bentuk arahan dan bimbingan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih buat Bapak dan Ibu yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.

7. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum USU, atas segala dukungan dan doanya

yang telah diberikan kepada penulis.

8. Kepada para sahabat dan teman-teman yang selama ini telah banyak membantu dan

mensuport penulis, yaitu Fidya aldy, Rika Kartika, Kharliana, Milki Irshad, Elfi Husnita, Lidya Martaulina, Irma Yulida, Achmad Fadil, Muhammad Hafid, Nina Rezkina Lubis, Keluarga dari abangda Ahmad Almaududi Amri, Abangda Dinal Fedrian, Yowa Abardani Lauta

9. Kepada teman-teman tim Debat Konstitusi MK, Tim MCC UII Yogyakarta, Tim MCC

UNDIP Semarang, dan seluruh teman-teman mahasiswa difakultas hukum USU maupun yang diluar fakultas Hukum USU yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Sebagai manusia biasa penulis menyadari segala kekurangan dalam penulisan tulisan ini, maka apabila ada kesalahan dalam penulisan ini kepada Allah penulis mohon ampun dan kepada pembaca penulis mohon maaf. Penulis juga sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar penulisan selanjutnya bisa lebih baik lagi.

Medan, Maret 2010 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI……… i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI……… iv

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah ……….. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………... 6

D. Keaslian Penulisan………. 8

E. Metode Penelitian ………. 8

F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Upaya Hukum dan Sejarah Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali………14

2. Macam-Macam Bentuk Upaya Hukum dalam Hukum Pidana Indonesia………. 25

3. Makna dari Upaya Hukum Peninjauan Kembali sebagai Upaya Hukum Luar Biasa dalam Hukum Pidana Indonesia ……….. 35

G. Sistematika Penulisan……….. 40

BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA……… 42

A. Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perspektif Hukum Acara Pidana di Indonesia………. 42

B. Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman……… 50

C. Pengaturan Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali dari Tinjauan Putusan Mahakamah Konstitusi No. 16/PUU/VI/2008 dan Kaitannya dengan SEMA No. 1 Tahun 1980……… 52


(8)

BAB III PERAN KEJAKSAAN RI DALAM PERSPEKTIF HUKUM

DI INDONESIA... 60

A. Tugas dan Wewenang Kejaksaan RI dalam Penegakkan Hukum di Indonesia…………. ……….. 60

B. Dasar Hukum Jaksa dalam Mengajukan Peninjauan Kembali ke MA RI……… 65

BAB IV ALASAN HAKIM AGUNG MA RI MENERIMA/MENGABULKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA………. 77

A. Peran Hakim dalam Penemuan Hukum……….. 77

B. Analisa Kasus………. 86

1. Kasus Posisi Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996………. 86

2. Kasus Posisi Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007………... 92

3. Kasus Posisi Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009……… 99

C. Alasan Hakim Agung MA RI Menerima dan Mengabulkan Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh Jaksa Berdasarkan Analisa Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996 Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009………... 110

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………123

B. Saran……… 127

DAFTAR PUSTAKA………. 129 LAMPIRAN


(9)

ABSTRAKSI

Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah upaya hukum luar biasa yang dilakukan dalam rangka pencapaian rasa keadilan. Fenonema yang muncul saat ini adalah upaya hukum peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa. Padahal dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah jelas dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah jaksa. Meskipun begitu, bukan berarti pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa tidak berdasarkan landasan hukum. Jaksa mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dengan berdasarkan pada pasal 23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakimann, selain itu, Pasal 263 Ayat (3) sendiri telah memberikan celah bagi Jaksa untuk kemudian mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Adanya putusan MA RI No. 55 Tahun 1996 kemudian dijadikan sebagai yurisprudensi bagi perkara-perkara upaya hukum peninjauan kembali selanjutnya.

Selain itu, jaksa diberikan wewenang untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dengan alasan demi kepentingan umum/negara. Tidak semua pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa diterima/dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Menurut Harifin Tumpa, hanya upaya hukum peninjauan kembali yang berkaitan dengan kepentingan umum/negara yang dapat diterima oleh Mahkamah Agung. Seperti perkara-perkara yang diterima dan menjadi fenomena saat ini adalah kasus Muchtar PakPahan, Pollycharpus ddan kasus Syahril Sabirin. Kasus –kasus tersebut menjadi sorotan publik dan sangat fenomenal.

Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening diatur dalam beberapa peraturan

perundang-undangan di Indonesia, yaitu antara lain sebagai berikut :

a) Pasal 263 Ayat (1) ayat (2) dan Ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana

b) Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 jo Undang-Undang No. 14 tahun 1970 jo

Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 23

c) Pasal 9 dan Pasal 10 PERMA No. 1 Tahun 1980

Mengenai peninjauan kembali telah diatur oleh mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun 1980, dan dalam Pasal 10 PERMA tersebut dengan terang telah menunjukkan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan oleh jaksa namun oleh karena pada tahun 1981 telah lahir Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang juga mengatur secara jelas mengenai Peninjauan Kembali maka seharusnya PERMA No.1 Tahun 1980 sudah tidak mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku lagi.

Selain itu mengenai upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening ini pernah

disidangkan di Mahkamah Konstitusi. Menurut analisa penulis berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebenarnya jaksa tidak berwenang untuk mengajukan PK, namun Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk menguji undang-undang terhadap undnag-undang maka Hakim Mahkamah Konstitusi pun menolak gugatan yang diajukan oleh pengacara Pollycharpus. Hal tersebut jelas dapat dilihat dalam allternatif penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan yang diajukan oleh pengacara Pollycharpus mengenai


(10)

pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening ke Mahkamah Agung

Berdasarkan alternatif tersebut , dapat disimpulkan bahwa penolakan permohonan Pollycarpus oleh Mahkamah Konstitusi yang dituangkan dalam Putusan Nomor 16/PUU-VI/2008 bukan berarti menunjukkan bahwa peninjauan kembali oleh jaksa merupakan hal yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Penolakan tersebut dilakukan Mahkamah Konstitusi karena sesungguhnya mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali merupakan hal yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan. Dan kewenangan atas pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang merupakan hak uji Mahkamah Agung bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi sehingga Mahkamah Konstitusi memandang permohonan tersebut ditolak agar sekiranya permohonan tersebut diajukan ke Mahkamah agung dan dibahas oleh Mahkamah Agung.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan penulis dalam pembahasan-pembahasan pada bab dua sampai bab tiga maka penulis menyimpulkan bahwa jaksa berwenag untuk mengajukan upaya hokum peninjauan kembali, namun hal itu dilakukan dengan pembatasn-pembatasan tertentu. Apabila bertujuan demi kepentingan umum/Negara maka jaksa

diberikan wewenang untuk mengajukan upaya hokum peninjauan kembali (PK)/Herziening.

Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Paustinus Siburian dalam artikelnya Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan Batasannya, ia menjelaskan bahwa Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa diberikan hak untuk mengajukan PK. Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam hal apa jaksa dapat mengajukan PK, yaitu dalam hal ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalam pertimbangannya menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak terhadap semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap jaksa berhak mengajukan PK. Selain beliau,Ketua MA Harifin A Tumpa juga membenarkan adanya PK oleh jaksa, prinsipnya peninjauan kembali oleh jaksa memang tidak dibolehkan. Kecuali jaksa bisa membuktikan dan meyakinkan hakim agung ada kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilindungi.

Alasan Hakim Agung menerima/mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa adalah karena dimungkinkannya hal tersebut

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada sebagaimana yang telah dipaparkan pada point kedua dalam kesimpulan ini. Selain itu, Hakim Agung menerima/mengabulkan

pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa karena peran hakim

yang tidak boleh menolak perkara yang diajukan terhadapnya, oleh karena itu hakim harus melakukan penemuan hukum bila peraturan perundang-undangan yang mengaturnya tidak jelas. Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pihak-pihak

yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening mengakibatkan

ketidakjelasan peraturan yang mengatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya

hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dan oleh karena itulah Hakim melakukan

penemuan hukum berdasarkan asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang ada dan doktrin-doktrin hukum. Berdasarkan penemuan hokum yang dilakukan oleh Hakim Agung mak ditemukan cukup alasan untuk menerima/mengabulkan upaya hokum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, tidak hanya didunia teknik industri dan perdagangan tetapi juga dalam perkembangan hukum. Perkembangan hukum pada masa ini terbukti dengan mulai direvisi dan diperbaharuinya beberapa peraturan perundang-undangan yang dipandang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat saat ini, misalnya, Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang tentang Otonomi Daerah yang telah direvisi beberapa kali.

Tertib masyarakat dapat tercapai apabila hukum bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang merupakan produk hukum harus mampu mengatur hal-hal yang saat ini memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena hukum dibentuk untuk menjamin terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban.1

Menurut Gustav Radbruch

Maka dari pada itulah, produk hukum yaitu peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan lagi segera direvisi dan diperbaharui agar sejalan dengan perkembangan masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat pada masa kini.

2

1

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: liberty, 1985), hlm. 80. 2

Muhammad Husni, Dalam Kuliah Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternatif Dispute Resolution), Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008.

, tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan, kemanfaatan dan memberikan kepastian hukum. Salah satu tujuan dari hukum adalah memberikan manfaat bagi masyarakat, dan oleh karena itulah hukum harus dinamis dan sesuai dengan


(12)

perkembangan pada masa ini agar tercapailah tujuan hukum yang dimaksud yaitu bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka penciptaan ketertiban dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Konstitusi yang merupakan dasar berpijak peraturan perundang-undangan lainnya yaitu Undang-Undang Dasar 1945 pun telah empat kali diamandemen. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian hukum terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat saat ini. Meskipun begitu, pembaharuan produk hukum tidaklah dilakukan dengan tergesa-gesa dan sewenang-wenang. Pembaharuan produk hukum tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati sehingga tidak mengakibatkan terjadinya tumpang tindih hirarki peraturan perundang-undangan dan pertentangan antara peraturan perundang-perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan lainnya serta tidak mengakibatkan kekacauan dalam penerapannya.

Perkembangan kebutuhan masyarakat atas pembaharuan hukum menimbulkan banyak fenomena-fenomena hukum yang muncul pada saat ini. Salah satunya adalah pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa, padahal selama ini masyarakat melihat dan mengetahui bahwa upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening hanya dapat diajukan oleh terpidana, penasehat hukumnya ataupun ahli

warisnya.3

Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa telah berulang kali

dilakukan Di Indonesia, dan hakim agung di Mahkamah Agung pun telah beberapa kali mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa tersebut. Bermula dari kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996 dan sejak saat itulah beberapa jaksa menjadikan hal tersebut sebagai salah satu acuan untuk dapat mengajukan upaya hukum

Hal tersebut jelas diatur dalam Hukum Acara Pidana Indonesia melalui KUHAP

bahwa upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dilakukan oleh terpidana (dapat

juga diajukan melalui penasehat hukumnya) ataupun ahli warisnya.

3


(13)

peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa semakin menarik perhatian publik dan masyarakat ketika upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa terekspose melalui media massa yaitu pada kasus pembunuhan aktifis HAM, Munir dan puncaknya adalah upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa yang terjadi pada kasus Tjoko Tjandra dan Syahril Sabirin. Kasus-kasus tersebut sempat sangat menarik perhatian masyarakat. Hingga saat ini tercatat ada beberapa putusan yang menerima/mengabulkan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa, antara lain : 4

1. No. 55 PK/Pid/1996 (Muchtar Pakpahan – Perkara Penghasutan),

2. No. 03 PK/Pid/2001 (Ram Gulumal – Perkara pemalsuan akte Gandhi Memorial

School)

3. No. 15 PK/Pid/2006 (Soetiyawati – Perkara Perusakan Barang berupa kunci rumah,

pintu rumah, kusen dan pintu wc)

4. No. 109 PK/Pid/2007 (Polycarpus – Pembunuhan alm. Munir)

5. No. 07 PK/Pidsus/2009 (Sjahril Sabirin) 6. No. 12 PK/Pidsus/2009 (Joko S Tjandra).

Masalah pengajuan permohonan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh

jaksa juga sempat disidangkan di Mahkamah Konstitusi dan menghasilkan Putusan MK No. 16/PUU/VI/2008. Begitu peliknya masalah upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa sehingga menimbulkan kontroversi diberbagai

kalangan. Karena begitu hebohnya, mengakibatkan sempat diadakannya pembahasan

4

Krupuk kulit, Putusan PK Syahril Sabirin dan Joko S Tjandra,24 Agustus 2009,


(14)

diskusi publik yang disiarkan melalui media massa dan dicantumkan dalam media cetak yang

membahas mengenai upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa.

Hal ini tentu menjadi tugas bagi para aparat penegak hukum dan para calon sarjana hukum untuk menjelaskan kepada masyarakat bagaimana sebenarnya upaya hukum peninjauan

kembali (PK)/Herziening dalam tatanan hukum Indonesia. Tentunya pengajuan upaya hukum

peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa ini menimbulkan banyak tanya bagi banyak kalangan, mulai masyarakat awam bahkan bagi para ahli hukum dan aparat penegak hukum sendiri.

Kontroversi dan Perdebatan mengenai boleh atau tidaknya jaksa mengajukan upaya

hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening masih menjadi tanda tanya dan oleh karena

itulah penulis hendak menganalisa beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening, menganalisa putusan

Hakim Agung yang berkaitan dengan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa untuk kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam hukum pidana Indonesia saat ini, dan penulis tidak hanya menganalisa dari aspek produk hukum tetapi juga melihat dari tujuan hukum itu sendiri apakah pengajuan

upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa merupakan perwujudan

keadilan, bermanfaat bagi masyarakat sesuai dengan perkembangan kehidupan saat ini dan menjamin adanya kepastian hukum.

Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa tujuan hidup bernegara bagi bangsa Indonesia adalah “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan


(15)

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”5

B. Rumusan Masalah

. Berdasarkan bunyi alinea keempat tersebut, maka hal apapun yang dilakukan dalam rangka kehidupan berbangsa haruslah mengarah pada tujuan tersebut. Lantas apakah Putusan Mahkamah Agung yang menerima pengajuan upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening oleh jaksa merupakan perwujudan dari pelaksanaan cita-cita/tujuan

kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang dimaksudkan dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tentu perlu kajian lebih dalam mengenai pembahasan tersebut.

Pelaksanaan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa ini dipandang oleh penulis sebagai bukti perkembangan hukum di Indonesia. Hal yang sangat mencolok ini kemudian menarik perhatian penulis untuk mengkaji mengenai aturan yuridis tentang upaya

hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa, serta menganalisa putusan Putusan

MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009, dengan harapan agar tulisan yang ditulis oleh penulis akan bermanfaat bagi perkembangan kemajuan hukum pidana di Indonesia.

1. Bagaimana Pengaturan hukum mengenai upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia ?

2. Apakah Jaksa Penuntut Umum berwenang untuk mengajukan upaya hukum

peninjauan kembali (PK)/Herziening Menurut Peraturan perundang-undangan di Indonesia ?

5


(16)

3. Mengapa Mahkamah Agung RI menerima/mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh Jaksa ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah Pengaturan hukum mengenai

upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui apakah Jaksa Penuntut umum berwenang untuk mengajukan

upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening menurut peraturan

perundang-undangandi Indonesia

3. Untuk mengetahui alasan-alasan yang dijadikan landasan berpijak oleh Hakim

Agung dalam menerima/mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh Jaksa.

Selain untuk mencapai tujuan, penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat secara umum yaitu bagi perkembangan kemajuan hukum di Indonesia. Secara khusus, penulisan skripsi ini diharapkanakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian yang kemudian dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan Hukum pidana di Indonesia secara umum, dan Hukum Acara Pidana mengenai upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening secara khusus. 2. Secara Praktis

Penelitian yang tertuang dalam penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi hukum di Indonesia terutama bagi jaksa, advocat, dan para Hakim Agung, sehingga


(17)

penegakkan hukum dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, diharapkan juga akan bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat umum secara luas guna menjawab kontroversi yang ada selama ini.

D. Keaslian penulisan

Penulisan karya ilmiah ini berjudul “Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum

Peninjauan Kembali (PK)/Herziening yang Diajukan Oleh Jaksa (Analisa terhadap putusan

Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007, Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)”, pada dasarnya penulis membuatnya dengan melihat pada sendi-sendi perkembangan hukum saat ini dan mengaitkannya dengan dasar-dasar hukum yang bersumber dari berbagai literatur. Penulisan karya ilmiah ini ditulis dengan menggunakan literatur-literatur dan bahan bacaan dari berbagai macam referensi yang diperoleh penulis dari perpustakaan maupun toko buku dan beberapa diantaranya diperoleh dari internet serta berita-berita yang tersiar melalui media masa. Penulis dapat menjamin keaslian penulisan karya ilmiah ini, penulis telah memastikan bahwa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak ada judul karya ilmiah yang dalam hal ini dimaksudkan untuk skripsi yang sama dengan apa yang ditulis oleh penulis. Keaslian tulisan ini adalah murni dari hasil karya penulis tanpa menjiplak karya tulis milik orang lain.

E. Metode Penelitian

Sebelum membahas mngenai hal-hal yang berhubungan dengan metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini, terlebih dahulu penulis paparkan pengertian dari penelitian hukum, menurut Soerjono Soekanto,

“Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. Disamping itu


(18)

juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap factor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.”6

1. Jenis penelitian

Hal-hal yang berkaitan dalam metode penelitian pada penulisan skripsi ini antara lain :

Dalam metode penelitian hukum dikenal ada dua jenis penelitian yaitu penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normative. Penelitian hukum empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum, dan efektivitas hukum (kaidah hukum, penegak hukum, sarana atau fasilitas, kesadaran hukum masyrakat) dan penelitian perbandingan hukum. Sedangkan penelitian hukum normative adalah penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.7

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normative dimana dilakukan penelitian terhadap studi kasus yang kemudian membahasnya dengan menggunakan bahan bacaan yang diperoleh dari berbagai sumber. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative, yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang berlaku berupa doktrin dan asas dalam ilmu hukum. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan membahas penelitian terhadap :8

a. Asas-asas hukum, yaitu suatu penelitian hukum yang bertujuan untuk

menemukan asas hukum atau doktrin hukum positif yang berlaku;

b. Penelitian terhadap sistematika hukum yang dilakukan terhadap peraturan

perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis;

6

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 18. 7

Ibid, hlm. 24. 8


(19)

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum, yang menjadi objek penelitian adalah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang ada sinkron atau serasi satu sama lainnya.

Penulis melakukan penelitian yuridis normatif terhadap ketiga aspek tersebut diatas, namun lebih menekankan penelitian pada sinkronisasi hukum yaitu aturan-aturan yang berkaitan dengan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening.

2. Sifat penelitin

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis, yaitu metode penelitian yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga

mampu menggali berdasarkan teori-teori hukum yang ada.9

3. Sumber Data Penelitian

Dalam penulisan ini hal tersebut dilakukan dengan menguraikan kasus pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Data adalah bahan yang dipakai dalam suatu penelitian. Data sangat berperan penting dalam suatu penelitian demi penemuan terbaru. Sumber data dalam penelitian terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber pertama, yakni perilaku individu atau masyarakat. Sedangkan data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber pertama. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, makalah, surat kabar dan lain-lain.10

9

Ibid, hlm. 223.

10


(20)

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari Data Sekunder, yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama secara langsung,11

3.1. Bahan Hukum Primer adalah semua dokumen yang mengikat keberlakuannya dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, contohnya segala macam bentuk peraturan perUndang-undangan, (sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 Undang-undang No. 10 Tahun 2004), bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum adat dan kebiasaan, yurisprudensi dan traktat. Dalam penulisan skripsi ini bahan hukum primernya antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang-Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 jo Undang-Undang No. 14 tahun 1970 jo Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, Undang-undang No. 10 Tahun 2004, Perma No. 1 Tahun 1969, Perma No . 1 tahun 1980 Tentang Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap, Putusan MK No. 16/PUU/VI/2008 Tentang Ketentuan Pihak-pihak yang Bersangkutan dapat Mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Tidak Bertentangan dengan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh Jaksa.

yang meliputi bahan hukum Primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum Tertier.

11


(21)

3.2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum primer, yaitu semua dokumen yang merupakan sumber informasi dan bahan referensi yang berasal dari media cetak dan media masa. Contohnya buku, artikel-artikel yang termuat dalam internet, koran dan majalah

3.3. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk

atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.

4. Tehnik pengumpulan data

Tehnik pengumpulan data dilakukan untuk mengumpulkan data dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dilakukanlah study pustaka (library research) atau penelitian keperpustakaan. Penelitian pustaka ini dilakukan dengan menelaah buku-buku, artikel-artikel ilmiah dan peraturan perUndang-undangan yang berlaitan dengan permasalahan yang ada pada skripsi ini. selain itu teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari dan menelaah artikel-artikel dan peraturan perundang-undangan dari internet.

5. Analisis data

Penelitian sosial umumnya mengenal dua macam analisis data yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisi kualitatif sering disebut dengan analisis penelitian yang mencari informasi sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya tentang aspek yang diteliti, dan mengkaji objek secara utuh. Sedangkan analisis kuantitatif pada dasarnya penyorotan terhadap usaha pemecahan yang dilakukan dengan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada aspek pengukuran yang ketat yang dilakukan dengan memecahkan objek penelitian kedalam


(22)

unsur-unsur tertentu untuk kemudian ditarik suatu generalisasi yang seluas mungkin ruang lingkupnya.12

Penelitian yang kemudian dituangkan dalam skripsi ini tidak hanya mengumpulkan data, dalam penulisan skripsi ini data yang telah diperoleh kemudian di analisis. Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analisis maka analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta

norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.13

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Upaya Hukum dan Sejarah Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening

1.1.Pengertian Upaya Hukum

Demi keadilan dan kebenaran maka putusan hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan. Oleh karena itu hukum menyediakan sarana atau upaya perbaikan atau pembatalan putusan guna mencegah atau memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan putusandan sarana atau upaya tersebut dinamakan sebagai upaya hukum. Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang berkepentingan, karena itu pula pihak yang bersangkutan sendiri yang harus aktif dengan mengajukannya kepada pengadilan yang diberi kekuasaan untuk itu jika ia menghendakinya. Pada kenyataan sata ini upaya hukum adalah cara atau jalan yang ditempuh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam memperjuangkan kepentingannya demi mendapatkan apa yang diharapkannya.

12

Ibid, hlm. 43-44.

13


(23)

Menurut Ibadur Rahman, yang dimaksud dengan upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.14

1.2.Sejarah Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening

Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening merupakan salah satu upaya hukum

yang banyak menuai kontroversi oleh karenanya patutlah bila upaya hukum peninjauan kembali disebut sebagai upaya hukum luar biasa. Mencuatnya persoalan mengenai upaya hukum peninjauan kembali dimulai sejak terjadinya kasus Sengkon dan Karta yang terjadi di Jawa Barat pada tahun 1977, kisah Sengkon dan Karta tentu masih melegenda hingga saat ini. Pada tahun 1974 telah terjadi perampokan dan pembunuhan terhadap pasangan suami-isteri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongan, Bekasi. Beberapa saat setelah kejadian tersebut, Polisi menangkap Sengkon dan Karta dan menetapkan keduanya sebagai tersangka. Sengkon dan Karta menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.15

Dalam dinginnya tembok penjara mereka bertemu seorang penghuni penjara bernama Gunel, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian. Sewaktu

14

Ibadur Rahman, Upaya Hukum, 26 November 2009,

15

Joe, Sengkon dan Karta, Sebuah Ironi Keadilan, 26 April 2009,


(24)

Sengkon sedang sekarat di LP Cipinang, seorang narapidana bernama Gunel merasa iba. Dengan jujur dan merasa berdosa ia minta maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya. Gunel kemudian mengaku bahwa ia bersama teman-temannya telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, bukan Sengkon dan Karta. Pengakuan Gunel, yang masuk LP Cipinang karena kasus lain itu, akhirnya diketahui media massa. Waktu itu para petinggi hukum dan para pelaksana di lapangan sigap. DPR juga ikut campur tangan. Media massa berpartisipasi aktif. Dan akhirnya Kejaksaan Agung lalu mengajukan Penangguhan Pelaksanaan Menjalani Hukuman bagi Sengkon dan Karta. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Meski begitu, hal tersebut tak lantas membuat Sengkon dan Karta bisa bebas. Sebab sebelumnya mereka tak

mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap.16 Untung

ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali.17

Berada di luar penjara tidak membuat nasib mereka membaik. Karta harus menemui kenyataan pahit keluarganya kocar-kacir entah ke mana. Dan rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah amblas untuk membiayai perkara mereka. Sementara Sengkon harus dirawat di rumah sakit karena tuberkulosisnya makin parah, sedangkan tanahnya yang selama ini ia andalkan untuk menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan. Walau hanya menanggung beban seorang istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani,

16

Bachtiar Sitanggang, Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu Perkara Pidana, 3 Februari 1997,

17


(25)

karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya.18

Sebelum KUHP dibentuk dan disahkan pada Tahun 1981 peninjauan kembali telah ada diatur. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pengaturan mengenai PK pertama kali diatur dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam pasal 15.

Sementara itu Sengkon dan Karta juga mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977.

19

Setelah diundangkannya UU No. 19/1964 tersebut, tak selang berapa lama keluar UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagai turunan dari UU 19/1964. Dalam UU ini kemudian dipertegas kembali

Pasal 15

Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan Undang-undang.

Penjelasan Pasal 15

Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau herziening.

Peninjauan kembali putusan merupakan alat hukum yang istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan dalam Hukum Acara. Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan, apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian.

18

Ibid. 19

Krupuk Kulit, Dilema Peninjauan Kembali Oleh Jaksa - Catatan Atas Putusan MA, 7 November


(26)

mengenai adanya lembaga Peninjauan Kembali, tak kurang dari 2 pasal yang menyatakan instrumen hukum ini, yaitu pada Pasal 31 dan pasal 52.20

Dari dua pasal di atas terlihat bahwa pengaturannya masih terlalu minim. Atas kondisi ini kemudian MA mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 6 Tahun 1967 tentang Permohonan

Peninjauan Kembali Putusan/Gugatan Secara “Request-Civiel. Inti dari SEMA ini adalah

menginstruksikan kepada pengadilan-pengadilan untuk tidak menerima permohonan PK, karena hingga saat itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai persyaratan, tata cara dan lain sebagainya. Namun mengingat ternyata cukup banyaknya permohonan yang diajukan ke pengadilan akhirnya dua tahun kemudian MA mencabut SEMA tersebut dan mengatur mengenai persyaratan dan tata cara permohonan PK melalui PERMA No. 1 Tahun 1969 (tanpa judul). PERMA yang terdiri dari 8 pasal ini kemudian yang menjadi kerangka dasar pengaturan mengenai PK selanjutnya, baik PK dalam hukum acara pidana maupun peradilan lainnya.

Pasal 31

Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.

Pasal 52

Mahkamah Agung mengadili tentang putusan-putusan yang dimohon peninjauan kembali untuk masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.

21

20

Ibid. 21

Ibid.

Khusus mengenai PK dalam perkara pidana diatur dalam pasal 3 dan 4 Perma tersebut.

Pasal 3

Mahkamah Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjaunya kembali suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap,atas dasar alasan:

a. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang menyolok;


(27)

b. apabila dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan itu dianggap terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;

c. apabila terdapat keadaan-keadaan baru, sehingga menimbulkan pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui pada waktu sidang yang masih berlangsung putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa perbuatan yang di tuduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan;

d. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pasal 4

(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan atau oleh Jaksa Agung.

(2) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.

(3) Permohonan harus diajukan secara tertulis,dengan menyebutkan sejelas jelasnya alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepanitraan Pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya.

(4) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia diperbolehkan menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan tersebut, yang akan memuat catatan tentang permohonan itu.

(5) Ketua Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirim surat permohonan atau catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya kepada Ketua Mahkamah Agung disertai dengan pertimbangannya.

(6) Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.

Dari pasal 3 di atas terlihat bahwa tedapat kesamaan antara pasal tersebut dengan pasal 263 UU No. 8 Tahun 1981. Berbeda dengan pasal 263 KUHAP dalam Perma ini memang diatur secara tegas bahwa Jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan juga untuk mengajukan PK (Pasal 4 ayat 1), namun tanpa menjelaskan dalam hal apa kewenangan tersebut dimungkinkan. Namun Perma ini sendiri ternyata tak berumur lama, karena tiga bulan kemudian MA mengeluarkan SEMA No. 18 Tahun 1969 yang pada intinya menunda pelaksanaan Perma tersebut hingga batas waktu yang tidak ditentukan.


(28)

Setahun kemudian UU No. 19/1964 digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembali masalah PK dicantumkan dalam UU ini, yaitu dalam pasal 21 (rumusan pasalnya dapat dilihat dibagian sebelumnya). Dalam pasal 21 ini khususnya bagian penjelasan dijelaskan bahwa untuk perkara pidana PK dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Namun seperti halnya UU sebelumnya, UU ini juga tidak mengatur secara detil persyaratan dan tata cara permohonan PK tersebut.

Atas terbitnya UU kekuasaan kehakiman yang baru tersebut Mahkamah Agung langsung menerbitkan lagi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1971. Perma ini intinya membatalkan berlakunya Perma No. 18/1969. Pembatalan tersebut dikarenakan pada masa itu sedang dibahas rancangan undang-undang yang akan mengatur hukum acara termasuk Peninjauan Kembali, sehingga MA berpandangan bahwa sebaiknya pelaksanaan pemeriksaan PK menunggu terbitnya UU tersebut. Namun hingga tahun 1976 ternyata rancangan undang-undang yang dimaksudkan tak kunjung terbit, hal ini kemudian mendorong MA untuk mencabut Perma No. 1 Tahun 1971 dan memberlakukan kembali Perma No. 18/1969 melalui Perma No. 1 Tahun 1976.

Pada tahun 1980 mengingat ternyata belum terbit juga undang-undang yang akan mengatur hukum acara peninjauan kembali MA berinisiatif untuk mengadakan rapat kerja dengan DPR mengenai masalah ini. Dalam rapat tersebut disepakati untuk sementara pengaturan PK diatur dalam Perma. Untuk itu maka MA menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1980. Dilihat dari pengaturannya Perma ini jauh lebih komperhensif dari Perma sebelumnya, yaitu Perma No. 1/1969. Jika Perma No. 1/1969 hanya mengatur 8 pasal dalam Perma 1/1980 ini terdapat 23 Pasal.


(29)

Salah satu perbedaan substansial dari Perma 1/1980 dengan Perma 1/1969 ini adalah dihapuskannya alasan PK karena adanya kekeliruan atau kekhilafan yang menyolok, baik dalam perkara Pidana maupun perkara Perdata.

Pasal 9

(1) Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar alasan:

a. apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;

b. apabila terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

(2) Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pasal 10

(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.

Pasal 16

Apabila terpidana meninggal dunia sebelum diajukan permohonan peninjauan kembali, permohonan tersebut dapat diajukan oleh yang berkepentingan termasuk ahli warisnya atau Jaksa Agung.

Berdasarkan ketentuan di atas terlihat bahwa memang jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK, namun tetap tanpa kejelasan untuk alasan yang mana Jaksa Agung dapat mengajukan PK. Jika dilihat dari pasal 9 terkesan bahwa khusus mengenai PK karena adanya novum (ayat 1 b) hak ini hanya dimiliki oleh terpidana dan ‘pihak yang berkepentingan’, namun jika dikaitkan dengan pasal 16 terlihat bahwa Jaksa


(30)

Agung memiliki hak juga untuk mengajukan PK atas dasar novum namun demi kepentingan terpidana itu sendiri.22

“Kesan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan justru demi kepentingan terpidana itu sendiri dapat terlihat juga dari ketentuan lainnya yaitu dalam pasal 11 dan 12. Dalam pasal 11 ini disebutkan bahwa dalam hal permohonan PK diajukan oleh Jaksa Agung maka permohonan tersebut (sekedar) diberitahukan juga kepada terpidana. Namun apabila permohonan diajukan oleh terpidana maka Jaksa Agung memberikan kesimpulan / pendapat atas permohonan tersebut (pasal 12). Tentunya jika Jaksa Agung dapat mengajukan PK yang dapat memberatkan terpidana maka terpidana juga diberikan hak untuk mengajukan pendapat atau kesimpulan atas permohonan dari Jaksa Agung tersebut, namun ketentuan semacam ini tidak terdapat dalam Perma ini. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan semata-mata demi kepentingan terpidana itu sendiri, atau karena alasan sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat 2, yang memang hanya mungkin diajukan oleh Jaksa Agung.Usia Perma ini ternyata tak berapa lama, karena setahun kemudian akhirnya terbit UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP ini beberapa ketentuan yang sebelumnya terdapat dalam baik Perma No. 1/1969 maupun 1/1980 menjadi hilang, yaitu kewenangan Jaksa Agung untuk mengajukan PK, termasuk kewenangannya dalam mewakili kepentingan terpidana itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 16 Perma 1/1980. Penghapusan kewenangan Jaksa tersebut juga terlihat dalam definisi Upaya Hukum yang diatur dalam pasal 1 KUHAP, dalam huruf 12 dinyatakan : Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini. Namun dengan dihapuskannya kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut menyisakan satu soal, siapa yang mungkin untuk mengajukan PK dengan alasan sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat 3.”23

Pada tanggal 15 Oktober 1997 Pemerintah dan DPR menerbitkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Entah apakah UU ini terpengaruh dari kejadian PK dalam kasus Muchtar Pakpahan atau tidak namun kenyataannya dalam ketentuan mengenai PK dalam perkara Pidana Militer seakan terjadi beberapa perbaikan yang lebih jelas. Hal ini terlihat dari

Setelah berlakunya KUHAP tesebut MA tidak pernah menerbitkan Perma maupun SEMA yang mengatur mengenai Peninjauan Kembali khususnya yang mengatur mengenai PK dalam perkara pidana

22

Ibid. 23


(31)

disisipkannya kata “oditur” dalam pasal 248 ayat 3 UU 31/1997, serta dalam pasal 1 huruf 41 a UU ini.24

a. dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak menerima

putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli warisnya atau Oditur untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;

Dengan pengaturan pasal 1 huruf 41 a dan pasal 248 ayat 3 tersebut menjadi jelas, bahwa (setidaknya) dalam peradilan pidana militer, oditur militer memiliki kewenangan untuk

mengajukan permohonan PK, namun kewenangan tersebut terbatas apabila “…dalam putusan

itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” (pasal 248 ayat 3).

Pengaturan PK dalam UU 31/1997 di atas seakan menjadi jembatan antara rumusan PK dalam KUHAP yang diatur dalam pasal 263 s/d 268 dengan Perma-Perma sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK. Namun demikian dalam UU ini pun ternyata pengaturan mengenai tata cara permohonan tersebut, khususnya apabila Oditur yang mengajukan PK serta bagaimana ketentuan selanjutnya ternyata tidak terjawab juga dalam UU ini.

2. Macam-Macam Bentuk Upaya Hukum dalam Hukum Pidana Indonesia

Hukum pidana sebagai hukum publik yang berhubungan dengan kepentingan umum masyarakat luas tentu menjadi hukum yang didambakan masyarakat untuk dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yaitu menciptakan suasana yang tertib dan aman. Dalam pelaksanaannya melalui hukum acara pidana, upaya hukum dalam penegakkan hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa,.

24


(32)

2.1. Upaya hukum biasa tercantum dalam Bab XVII yang terdiri dari:

- Pemeriksaan banding

- Pemeriksaan kasasi

2.1.1 Pemeriksaan Banding

Pemeriksaan banding diatur dalam Bab XVII KUHAP yaitu Pasal 233 sampai dengan 243. Banding merupakan upaya hukum yang diajukan oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau penuntut umum terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama dengan alasan tidak puasnya terpidana/kuasa hukumnya atau penuntut umum atas putusan hakim pada Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama yang dipandang tidak mencerminkan rasa keadilan. Menurut M. Yahya Harahap, pengertian banding dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu :25

1) Segi Institusi Peradilan

a) Pemeriksaan Tingkat kedua dan tingkat terakhir

b) Pengadilan Negeri merupakan peradilan tingkat pertama dan Pengadilan

Tinggi senagai Peradilan tingkat kedua untuk pemeriksaan perkara banding

2) segi yuridisnya

a) Dari segi yuridis formal, pemeriksaan banding merupakan upaya yang

dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding.

b) Sifatnya merupakan upya hukum biasa, upaya hukum bandingsecara

formal diperbolehkan oleh Undang-Undangsebagai upaya hukum biasa. Prosedur dan proses pemeriksaan tingkat banding adalah pemeriksaan

25

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hlm 428.


(33)

yang secara umum dan konvensional dapat diajukan terhadap setiap putusan peradilan tingkat pertama tanpa terkecuali.

c) Upaya hukum banding merupakan hak,permintaan/permohonan banding

merupakan bagi terpidana dan penuntut umum, maka terserah kepada para pihak apakah mereka mau atau tidak memanfaatkan haknya tersebut.

3) Segi tujuan, maksud dan tujuan pemeriksaan tingkat banding adalah :

a) Memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama

b) Mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan

c) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.

Upaya hukum banding diperiksa oleh Pengadilan Tinggi sebagai judex facti. Artinya

pemeriksaan diulang untuk semua aspek tapi pemeriksaan tersebut tanpa kehadiran para pihak sekalipun kehadiran itu dimungkinkan.26

1) Putusan bebas (vrijspraak);

Pengajuan permohonan upaya hukum banding harus dilakukan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terpidana yang tidak hadir (Pasal 233 ayat (1) dan (2) KUHAP). Bila masa tenggang waktu tujuh hari dilewatkan tanpa diajukan banding, maka para pihak yang bersangkutan dianggap telah menerima hasil putusan hakim pada pengadilan tingkat pertama (Pasal 234 ayat (2) KUHAP).

Terhadap pengajuan permohonan upaya hukum banding terdapat beberapa pengecualian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 67 KUHAP. Pengecualian tersebut antara lain :

2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan

hukum (onslaag);

26

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Surat-surat Resmi diPengadilan Oleh Advokat


(34)

3) Putusan Pengadilan dalam acara cepat. Pada pokoknya, banding memiliki dua tujuan yaitu :

1) Menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya;

2) Untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu, oleh karena itu banding sering disebut juga dengan revisi.27

Namun pada kenyataan saat ini, terhadap putusan hakim yang mnyetakan terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum telah dapat diajukan banding. Pengecualian terhadap hal tersebut sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 67 KUHAP telah disimpangi.

2.1.2 Pemeriksaan Kasasi

Kasasi berarti pembatalan, yaitu salah suatu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan Pengadilan-pengadilan lain.28 Kasasi merupakan Suatu pembatalan terhadap putusan hakim pada Pengadilan Tinggi karena putusannya dianggap tidak memenuhi rasa keadilan baik bagi pihak terpidana maupun pihak penuntut umum. Menurut Andi hamzah , “tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan Undang-Undang atau keliru dalam menerapkan hukum.”29

Perundang-undangan Belanda, menyatakan bahwa alasan untuk melakukan kasasi antara lain :

30

1) Apabila terdapat kelalaian dalam acara (Vormverzuim);

2) Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya;

27

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm.287. 28

Mr. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia (Bandung: Vorkink-Van Hoeve), hlm. 104.

29

Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 292 30


(35)

3) Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan Undang-undang.

Menurut Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP, pemeriksaan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak dengan alasan untuk menentukan :

1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan namun tidak

sebagaimana harusnya;

2) Apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang;

3) Apakah Pengadilan melampaui batas wewenangnya atau tidak.

Upaya Hukum Kasasi merupakan suatu upaya yang dilakukan atas penolakan terhadap putusan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding. Lain halnya dengan banding yang diajukan ke pengadilan tinggi, kasasi diajukan dan diperiksa oleh hakim agung di Mahkamah Agung.

Pengajuan permohonan untuk pemeriksaan kasasi diajukan dalam tenggang waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terpidana (Pasal 245 ayat (1) KUHAP).

2.2. Upaya Hukum luar biasa tercantum dalam Bab XVIII yang terdiri dari:

- Pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum

- Pemeriksaan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap

2.2.1 Pemeriksaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Kasasi demi kepentingan hukum dalam peraturan lama telah diatur bersama dengan kasasi biasa dalam Pasal 17 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa kasasi dapat dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan atau


(36)

atas permohonan Jaksa Agung karena dengan jabatannya. Dengan pengertian bahwa kasasi atas permohonan Jaksa Agung hanya semata-mata untuk kepentingan hukum dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Maka hanya didibedakan kasasi pihak dan kasasi karena jabatan Jaksa Agung. Kasasi karena jabatan inilah yang yang sama dengan

kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa menurut KUHAP.31

Pada umumnya, kasasi demi kepentingan hukum sama saja dengan kasasi biasa . Hanya saja dalam kasasi demi kepentingan hukum keberadaan penaehat hukum tidak lagi dilibatkan.

Kasasi demi kepentingan hukum diajukan bila sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dipakai, semacam upaya terakhir. Permohonan kasasi diajukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pada pengadilan yang telah memutus perkara terkait dalam tingkat pertama, disertai risalah yang menjadi landasan, kemudian panitera meneruskan kepada yang berkepentingan. Hal ini sebagamana yang diatur dalam Pasal 260 KUHAP. Salinan keputusan Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan disertai berkas perkara (Pasal 261 KUHAP).

32

2.2.2 Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap (PK)/Herziening

Pada dasarnya upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening tidak jauh berbeda

dengan upaya hukum pemeriksaan kasasi dalam hal pengajuannya, yaitu sama-sama diajukan ke Mahkamah agung selaku badan peradilan tertinggi di Indonesia yang memutusnya melalui Pengadilan Negeri. Bedanya hanya terletak pada waktu pengajuan permohonannya. Bila

31

Ibid, hlm. 297.

32


(37)

permohonan pemeriksaan kasasi diajukan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh para pihak, maka dalam peninjauan kembali tidak dikenal adanya batasan waktu dalam pengajuan permohonannya.

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang terakhir yang dapat dilakukan dalam

pemeriksaan perkara pidana. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dilakukan

terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap terhadap semua putusan Pengadilan baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah

Agung. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening tidak adapat diajukan terhadap

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP). Biasanya peninjauan kembali diajukan setelah adanya putusan kasasi atas suatu perkara pidana.

Ketentuan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dilakukan secara tertulis dengan alasan-alasan sebagai berikut :

a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan

itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkaraitu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,

akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.

c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu


(38)

Sesuai dengan hal tersebut diatas, syarat formil permohonan peninjauan kembali adalah adanya surat permintaan pengajuan peninjauan kembali yang memuat alasan yang menjadi dasar permohonan peninjauan kembali. Alasan yang mendasari pengajuan peninjauan kembali telah diuraikan diatas. Namun pada dasarnya alasan pokok yang dapat menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali adalah :33

a) Apabila terdapat keadaan baru atau novum. Keadaan baru yang dapat menjadi

landasan permintaan adalaha keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas yang menimbulkan dugaan kuat sebagai berikut :

1) Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan

dikemukakan pada waktu siding berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau

2) Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu siding

berlangsung dapat menjadi alasan dan factor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umm tidak dapat diterima, atau

3) Dapat dijadikan alasan dan factor untuk menjatuhkan putusan dengan

menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan yakni apabila : 1) Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,

2) Kemudian pernyaaan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu dijadikan

sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara,

33


(39)

3) Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.

c) Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan, hal ini tentu menunjukkan bahwa hakim hanyalah manusia biasa ciptaan Allah yang maha Besar, sehingga manalah mungkin hakim tidak pernah berbuat kesalahan maupun kekeliruan terkait dalam pengambilan putusan pada perkara-perkara yang ditanganinya.

Alasan diperbolehkannya pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening

sebagaimana yang diatur dalm Pasal 263 ayat (2) KUHAP tersebut sejalan dengan alasan

pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening menurut PERMA No. 1 Tahun

1980, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 1980 alasan diperbolehkannya mahkamah Agung melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah :

a) Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang

dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sam lain bertentangan.

b) Apabila terdapat suatu keadan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa

apabila keadan itu diketahui pada waktu siding masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

Pasal 9 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 1980 dijelaskan bahwa atas dasar alasan yang sama Mahkamah agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu


(40)

perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

3. Makna dari Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening sebagai Upaya Hukum Luar Biasa dalam Hukum Pidana Indonesia

Kata peninjauan kembali diterjemahkan dari kata “Herziening”, Mr. M. H. Tirtaamijaya menjelaskan herziening adalah sebagai jalan untuk memperbaiki suatu putusan yang telah menjadi tetap-jadinya tidak dapat diubah lagi dengan maksud memperbaiki suatu kealpaan hakim yang merugikan si terhukum…, kalau perbaikan itu hendak dilakukan maka ia harus memenuhi syarat, yakni ada sesuatu keadaan yang pada pemeriksaan hakim, yang tidak diketahui oleh hakim itu…, jika ia mengetahui keadaan itu, akan memberikan putusan lain.34

Upaya hukum peninjauan kembali disebut sebagai upaya hukum luar biasa adalah karena upaya hukum yang terakhir yang dapat ditempuh terhadap pemeriksaan suatu perkara. Upaya Hukum merupakan cara yang dapat dilakukan dalam pemeriksaan perkara yang diajukan ke pengadilan dengan harapan akan tercapainya tujuan hukum yaitu memperoleh keadilan mendapatkan manfaat atas penegakkan hukum yang diharapkan serta menjamin adanya

Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening merupakan salah satu dari upaya hukum

luar biasa dalam hukum pidana Indonesia. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening

dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVIII bagian kedua Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP yang merupakan penjabaran lebih jauh dari Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Jo Undang-UndangNo. 35 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

34


(41)

kepastian hukum terhadap penegakan hukum tersebut. Sedangkan peninjauan kembali adalah salah satu dari upaya hukum yang dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, peninjauan kembali dilakukan bila diketemukan adanya novum atau keadaan atau peristiwa baru yang sebelumnya tidak pernah diketemukan, dimana penemuan novum tersebut diduga dapat mempengaruhi perubahan putusan yang dijatuhkan. Sedangkan menurut Bachtiar Sitanggang, herziening atau peninjauan kembali adalah suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas suatu perkara pidana, berhubung dengan ditemukannya fakta-fakta yang dulu tidak diketahui oleh hakim yang akan menyebabkan dibebaskannya terpidana dari tuduhan.35

a) Peninjauan kembali Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 264 ayat (3) dan Pasal 268 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap memiliki ruang lingkup tertentu, adapun ruang lingkup tersebut antara lain :

b) Peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang memberikan pidana kepada terpidana.

c) Terhadap putusan bebas atau vrijspraak dan putusan pelepasan dari segala

tuntutan hukum atau onslag van alle rechtsvervolging tidak dapat diajukan

peninjauan kembali.

d) Permohonan pengajuan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka

waktu.

35

Bachtiar Sitanggang, Hakikat Peninjauan kembali Atas Suatu PerkaraPidana, Indonesia-P Kompas


(42)

e) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan ataupun menghentikan pelaksanaan dari putusan yang telah dijatuhkan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP maka yang dapat mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening adalah terpidana atau kuasa hukumnya atau ahli warisnya. Namun pada

kenyataannya telah terjadi paradigma baru dalam perkembangan hukum saat ini. dimana

pengajuan permohonan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening telah dilakukan

oleh jaksa dan diterima oleh Mahkamah Agung. Hal ini tentu menjadi pembahasan yang pro dan kontra dalam masyarakat, sebagian orang menganggap bahwa pengajuan permohonan peninjauan kembali oleh jaksa merupakan hal yang melampaui batas koridor hukum acara pidana di Indonesia, karena KUHAP sudah mengatur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1). Hal ini semakin menunjukkan bahwa upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening merupakan upaya hukum yang luar biasa. Namun pihak jaksa dan Hakim

Agung mempunyai landasan mengapa jaksa diperbolehkan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening.

Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa sudah dilakukan sejak tahun 1996 yaitu pada kasus Mochtar Pakpahan sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung No. 55 PK/Pid/1996. Adapun yang dijadikan sebagai landasan diperbolehkannya jaksa

mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah dengan menafsirkan

beberapa hal sebagai berikut ;

a) Pasal 244 KUHAP hanya menegaskan “Putusan bebas” tidak dapat dimintakan

kasasi. Dalam praktik ketentuan Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak


(43)

murni dapat dimintakan kasasi dan hal ini dijadikan sebagai yurisprudensi konstan.

b) Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No. 35 Tahun

1999 Jo. Undnag-undang No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dimana pihak berkepentingan ditafsirkan adalah kejaksaan yang tentunya berhak memohon pemeriksaan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung.

c) Pasal 263 ayat (3) KUHAP dimana ditafsirkan Pasal ini ditujukan pada jaksa

karena jaksa adalah pihak yang paling berkepentingan agar putusan hakim diubah sehingga putusan yang berisi pernyataan keasalahan terpidana, tetapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terpidana.

d) Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas “keseimbangan hak asasi” antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum, bangsa, dan Negara dilain pihak. Atas dasar keseimbangan penerapan hak asasi tersebut, maka disamping perseorangan (terpidana) juga kepentingan umum yang diwakili oleh kejaksaan dapat mengajukan peninjauan kembali.

e) Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi bertugas membina dan

menjaga agar semua Undang-Undangditerapkan secara tepat dan adil. Oleh karena itu, terjadi kekosongan hukum dalam KUHAP, maka Mahkamah Agung akan menciptakan hukum sendiri (yurisprudensi) untuk menjamin adanya kepastian hukum.


(44)

Hal-hal tersebutlah yang dijadikan sebagai landasan guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dalam perakra pidana.36

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu menguraikan isi penulisan dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, bab ini berisi uraian mengenai latar belakang yang merupakan

alasan mengapa penulis mengangkat masalah ini sebagai bahan penelitian untuk kemudian dituangkan dalam penulisan skripsi. Selain latar belakan pada bab ini juga berisikan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, tinjauan pustaka dan serta sistematika penulisan.

BAB II Menguraikan tentang bagaimana pengaturan terhadap upaya hukum peninjauan

kembali (PK)/Herziening dalam peraturan perUndang-undangan di Indonesia

dan sinkronisasi antara peraturan perUndang-undangan tersebut dalam hal

mengatur upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening.

36

Lilik Mulyadi,Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana dan Permasalahannya(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 250.


(45)

BAB III Membahas dan menjelaskan tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif Hukum di Indonesia, khusunya peran Jaksa dalam menegakkan hukum di Indonesia yang merupakan alasan bagi Jaksa untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening.

BAB IV Memaparkan landasan berpijak yang dijadikan pertimbangan oleh hakim untuk

menerima/mengabulkan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh jaksa.

BAB V Berisi kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bab terakhir dalam skripsi ini.

Kesimpulan yang dimuat adalah kesimpulan atas hal yang dibahas dan diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Kesimpulan ini merupakan hasil akhir atau jawaban atas permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini. Setelah meneliti dan menuangkan dalam tulisan maka penulis mengajukan saran-saran yang merupakan usulan terhadap kekurangan dikesimpulan dan pembahasan, saran ini diharapkan menjadi masukan bagi perkembangan kemajuan hukum acara pidana di Indonesia. Saran tersebut juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi akademisi maupun masyarakat bahkan aparat penegak hukum.


(46)

BAB II

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

C. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dalam Perspektif Hukum Acara Pidana di Indonesia

Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil atas adanya hukum pidana yang bersifat materil. Menurut Wirjono Projodikoro (Mantan Ketua Mahkamah Agung RI), “Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan adanya Hukum Pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus bertindak guna

mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.”37. Hukum acara merupakan

urat nadi kehidupan hukum materil yang memberikan tuntunan atau pedoman dalam pelaksanaan hukum materil sehingga dapat memeberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam rangka menegakan hukum dan keadilan, kalau tidak akan terjadi eigenrichting, maka dari pada itu hukum acara tidaklah boleh disimpangi dalam penegakannya karena hukum acara berfungsi mengontrol/mengawasi aparat penegak hukum

dalam mnegakkan hukum materil.38

Di Indonesia, rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum formil dari hukum pidana telah dikodifikasi dan diunifikasikan pada tahun 1981 yang kemudian diberi nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP tersusun atas 22 BAB

37

Mr. Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm. 13.

38

H.A.S. Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 9-10.


(1)

b. Kepentingan umum dan kepentingan Negara memang merupakan prioritas utama, yang terpenting adalah penegakan hukum dilakukan dengan jujur dan sebaik-baiknya demi terwujudnya tujuan hukum. Maka dari pada itu, integritas dan tanggung jawab dari para aparat penegak hukum adalah hal yang terpenting demi mewujudkan tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana yang diamanatkan dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c. Untuk membentuk hakim-hakim yang bijaksana dalam pengambilan keputusan, maka hendaknya selektifitas pemilihan calon hakim dilakukan dengan jujur, bertanggung jawab dan sebaik-baik mungkin, selain itu hendaknya Komisi Yudisial berperan aktif dalam mengawasi perilaku hakim terkait dengan tugas dan wewenangnya, sehingga penegakan hukum yang baik dapat terlaksana. Hal ini terkait dengan peran hakim dalam mengambil keputusan, baik hakim sebagai corong undang-undang maupun peran hakim dalam menciptakan dan menemukan hukum

d. Para calon hakim dan para calon jaksa hendaknya diberikan pembinaan yang sangat baik, agar mereka dapat menjadi aparat penegak hukum yang bijak dan arif serta berintegritas. Bahkan setelah mereka jadi hakim dan jaksa semestinya pembinaan dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan denga profesionalitas kerja mereka sebagai aparat penegak hukum lebih ditingkatkan lagi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Arif, Barda Nawawi, 2009, Reformasi Sistem Peradilan, artikel dimuat didalam buku Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Effendy, Marwan, 2005, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

_____________, 2005, Hukum Acara Pidana. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

Hamzah, Andi, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya, 1985, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.


(3)

________________, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Pembahasan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Bandung: Sinar Grafika.

Husein, Syahruddin, 1998, Pengantar Ilmu Hukum. Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU.

Ikhsan, Edy, 2008, Metode Penelitian Hukum. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Marpaung, Leden, 2004, Perumusan Memori Kasasi danPeninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno, 1985, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Mulyadi, lilik, 2007, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana dan Permasalahannya. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.

M. Karjadi dan R.Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan komentar. Bogor: Politeia.

Natabaya, H.A.S, 2008, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Pangaribuan, Luhut M.P, 2002, Hukum Acara Pidana, Surat-Surat Resmi di Pengadilan Oleh Advokat. Jakarta: Djambatan.

Prodjodikoro, Mr. Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung Vorkink-Van Hoeve.


(4)

Soetjipto, Andi Andojo, 2009, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali putusan MA, Artikel dimuat didalam buku Risalah Kasus Munir Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, Jakarta: CV. Rinama Antartika.

Sudirman, Antonius, 2007, Hati Nurani hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasca Amandemen IV

Undang No. 19 Tahun 1964 jo Undang No. 14 tahun 1970 jo Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung

Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Perma No. 1 Tahun 1969 Tentang Peninjauan Kembali Putusan Perkara Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Yang Tetap.


(5)

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 Tentang Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap.

Artikel

Kompas, Tata Hukum Pengajuan PK Oleh Jaksa dipertanyakan, Edisi 24 Juni 2009

Suara Karya, Kasus Bank Bali, Tafsir PK Sebaiknya Kembali ke UU, Edisi 24 Juni 2009.

Faiz, Elza, Diskusi Tentang PK, Peninjauan Kembali (PK) dalam Tata Hukum Indonesia, artikel dimuat didalam Bulletin Komisi Yudisial Vol. IV No. 1 Agustus 2009.

Internet

Ali, “Mahkamah Agung Tak Sembarangan Kabulkan PK Oleh Jaksa”, 3 Juli 2009, http:/

Blog, Dansur’s, Peranan Hakim Dalam Penemuan Hukum, 1 November 2006,

Joe, Sengkon dan Karta, Sebuah Ironi Keadilan, 26 April 2009, .

Jpnn, Kasus Cessie Bank Bali, 30 Juni 2009, http:/

Kulit, krupuk, “Putusan PK Syahril sabiri dan Joko S Tjandra”, 3 Juli 2009,


(6)

Rahman, Ibadur, Upaya Hukum, 26 November 2009, http://idnetblog.com/m-ibadur-rahman/blog/blogid=12684.

Radjah, Jimmy, “Penegakan Hukum Reformasi Mahkamah Agung Belum Optimal”, 21 Oktober 2009, http:/

Siburian, Paustinus, “Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan Batasannya”, 7 Agustus 2009, http:/

Sitanggang, Bachtiar, “Hakikat Peninjauan Kembali Atas Suatu Perkara Pidana”, http:/

Syahran, Abd. Halim, “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi Dan Transformasi”,


Dokumen yang terkait

Analisis Terhadap Perlindungan Investor Asing Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Sumatera Utara (Studi Putusan MA - RI No. 382 K/TUN/2010)

1 69 133

Tinjauan Yuridis Atas Pensertifikatan Tanah yang Berasal dari Hak Ulayat (Studi Kasus Putusan MA No. 274/K/PDT/2005)

3 52 113

Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Yang Diajukan Oleh Jaksa (Analisa Terhadap Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

2 111 125

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ditinjau dari UU No. 41 Tahun 1999 (Studi Putusan MA No. 68K/PID.SUS/2008)

4 78 338

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Analisis Kasasi Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas Judex Facti Yang Mengadili Tidak Sesuai Ketentuan Kuhap.(Putusan MA Ri No. 1112.K/Pid /2001)

0 21 85

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG YANG MEMBATALKAN PUTUSAN JUDEX FACTI (Studi Kasus Putusan MA RI No. 1112K/Pid/2001)

0 6 16

KAJIAN YURIDIS TENTANG KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH SUSUN (Studi Putusan MA RI No. 3145 K/Pdt/1999)

0 4 95

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERLAWANAN EKSEKUSI LELANG PUPN OLEH DEBITUR YANG WANPRESTASI DI BPD BALI CABANG NEGARA (Studi Putusan MA RI No. 2911 K/Pdt/2000)

0 4 96

Analisis Terhadap Perlindungan Investor Asing Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Sumatera Utara (Studi Putusan MA - RI No. 382 K/TUN/2010)

0 0 6