4.1. Asal usul dan Pemaknaan Mangantar Dalam Perspektif Pastoral Budaya dan Konseling Multikultural - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mangantar: Menjembatani Proses Lamaran Menuju Pernikahan dalam Masyarakat Suku Lauje sebaga

BAB IV MANGANTAR DALAM PERSPEKTIF KONSELING MULTIKULTURAL, PASTORAL BUDAYA DAN PENDAMPINGAN PRAPERNIKAHAN Pada bab ini berisi pembahasan tentang kajian asal-usul, pemaknaan dan pelaksanaan

  proses Mangantar sebagai suatu pendekatan pendekatan prapernikahan bagi masyarakat suku Lauje. Dari kajian mengenai asal-usul dan pemaknaan menghasilkan sebuah landasan filosofis, sedangkan kajian tentang pelaksanaan menghasilkan nilai-nilai spiritual.

  

4.1. Asal usul dan Pemaknaan Mangantar Dalam Perspektif Pastoral Budaya dan

Konseling Multikultural

  Kabupaten Tolitoli dikenal sebagai kabupaten yang memiliki banyak pendatang untuk tinggal dan hidup di Tolitoli. Kedatangan mereka membuat penduduk Kabupaten Tolitoli terbagi atas beberapa suku, misalnya: suku Bugis, Minahasa, Sangir, Kaili, Gorontalo, Poso, Toraja dan Bali. Suku-suku pendatang ini hidup dengan cara dan budaya mereka sendiri. Dari pembagian suku-suku tersebut tidak menutup ruang untuk suku asli Tolitoli tetap hidup dan mempertahankan budaya mereka, karena setiap masyarakat pada suatu tempat atau daerah tertentu memiliki yang namanya budaya dan masing-masing budaya itu memiliki keunikannya sendiri, sehingga itulah yang membedakan budaya dari satu daerah dengan daerah lainnya.

  Kebudayaan merupakan ciri dalam suatu masyarakat, karena dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat untuk melakukan interaksi sosial kepada masyarakat lainnya. Sependapat dengan Kuntjaraningrat mengungkapkan bahwa masyarakat adalah kelompok terbesar dari makhluk-makhluk manusia yang hidup terjaring dalam suatu kebudayaan

  1

  dan merasakan kebudayaan itu. Salah satu contohnya adalah masyarakat suku Lauje. Suku ini dikenal sebagai suku anak dalam yang ada di kabupaten Tolitoli dan masih mempertahankan budaya serta keunikan mereka, sehingga melalui budaya yang ada terdapat nilai-nilai yang menjadi pegangan mereka untuk menjalin interaksi dengan sesama. Sekalipun mereka harus tinggal di hutan dengan keterbatasan tempat tinggal, mereka tetap hidup dan menjaga kebudayaan. Itulah yang menjadikan mereka unik dan mempunyai ciri khas yang berbeda dengan budaya lainnya.

  Masyarakat suku Lauje memaknai tradisi Mangantar sebagai sesuatu yang sakral, yang tidak bisa dinodai oleh apapun juga. Mangantar artinya perempuan telah diikat oleh laki-laki dan wajib untuk dibiayai serta wajib bagi perempuan menjaga pergaulannya dengan teman lelaki lainnya. Jika salah satu berlaku tidak setia, maka dikenakan denda adat yaitu bila laki-laki yang berkhianat, maka semua proses dari pinangan sampai Mangantar dianggap batal. Bila perempuan yang berkhianat, maka harus mengembalikan dua kali lipat dari apa yang telah diberikan oleh laki-laki. Proses ini menunjukkan betapa masyarakat suku Lauje menghargai dan memegang teguh apa yang sudah mereka ciri khas mereka, sekalipun itu bertentangan dengan kenyataan di jaman modern saat ini. Dalam melakukan konseling prapernikahan, konselor harus

  2

  memiliki kepekaan terhadap budaya, karena walaupun bertentangan proses konseling harus tetap berjalan. Satu kesimpulan yang bisa diambil dalam proses ini adalah jika kita mau menolong konseli, adat yang ada dalam budaya, bukanlah sesuatu yang penting untuk dipertanyakan atau dipermasalahkan. Dari pemahaman seperti inilah yang menghasilkan sebuah landasan filosofis yaitu Medunduluan atau gotong royong.

1 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, 100.

  Kehidupan masyarakat suku Lauje di dusun Kinapasan dapat digambarkan dengan kuatnya solidaritas diantara mereka. Relasi yang terjalin dalam masyarakat sangat baik, bahkan tidak ada diantara mereka yang tidak saling mengenal. Dalam kesederhanaan hidup, mereka masih mampu untuk saling tolong menolong, saling mendukung dan saling menopang satu dengan yang lainnya. Identitas mereka sebagai suku terasing membuat mereka dikenal karena tradisi adat yang masih mereka jaga sampai saat ini. Mereka percaya bahwa tradisi adat tersebut sudah ada sejak jaman leluhur sebelum mereka ada. Tradisi adat ini yang akhirnya membentuk nilai-nilai yang mereka anut dan mereka percayai dari generasi ke generasi. Untuk mempertahankan solidaritas mereka, ada landasan yang kukuh dan tetap dipertahankan sampai kapanpun. Medunduluan (gotong royong), itulah yang menjadi landasan filosofis masyarakat suku Lauje dalam bertingkah laku terhadap sesama.

  Medunduluan tidak hanya dapat diartikan sebagai gotong royong, tetapi dapat diartikan

  ke dalam hal mendukung, menopang, mendidik, dan saling mengingatkan satu dengan yang lainnya. Medunduluan tidak mengenal usia, tidak mengenal laki-laki dan perempuan, tetapi bagi mereka apapun pekerjaannya selalu dilakukan bersama-sama. Tradisi adat apapun, tetap dilakukan secara gotong royong. Susah dan senang dirasakan bersama. Tidak ada batasan dalam hubungan kebersamaan mereka, baik sebagai orang tua maupun sebagai anak, baik sebagai kakak maupun sebagai adik. Masyarakat suku Lauje hidup dalam kedamaian, bila ada masalah maka diselesaikan secara kekeluargaan dan adat. Dari landasan filosofis ini sudah terlihat bahwa proses pendampingan konseling pastoral dengan fungsi membimbing, menopang, dan

  3 memelihara untuk membantu meringankan dan memberdayakan manusia sedang berlangsung.

  Hal tersebut terlihat dari bagaimana seseorang tidak sekedar membawa orang keluar dari keterpurukan dan penderitaan hidupnya, tetapi mengembangkan potensi-potensi yang

  4 dimilikinya untuk memberdayakan dirinya dan orang lain.

  Untuk memberdayakan dirinya dan orang lain, tentunya membutuhkan interaksi yang saling bahu membahu dan berbagi dengan tujuan untuk saling menumbuhkan dan mengutuhkan.

  Karena menurut Van Beek pendampingan yang baik adalah bagaimana menempatkan baik pendamping maupun yang didampingi dalam kedudukan yang seimbang dan dalam hubungan

  5

  timbal balik yang serasi serta harmonis. Artinya tidak ada jarak antara keduanya. Inilah yang harus ditanamkan dalam pemahaman masyarakat suku Lauje, agar landasan ini semakin kuat.

  

4.2. Pelaksanaan Mangantar Dalam Perspektif Pastoral Budaya dan Pendampingan

Prapernikahan

  Pernikahan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita, atau atas dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang

  6

  sama, yaitu saling membahagiakan. Secara personal, kebahagiaan dan penderitaan kita ditentukan oleh dan di dalam keluarga. Manusia bisa saja memiliki segalanya dalam hidup, akan tetapi kalau kehidupan keluarganya hancur, pastinya ia akan menderita. Sebaliknya, jika keluarga itu biasa-biasa saja, tetapi kehidupan keluarganya harmonis dan bertumbuh sehat, keluarga itu pasti tidak jauh dari kebahagiaan. Kita tidak bisa memungkiri bahwa semua orang menginginkan

  7 agar melalui pernikahannya dapat dibina sebuah keluarga yang utuh.

  Kehidupan pernikahan dalam masyarakat suku Lauje dapat dikatakan bahagia, meskipun mereka menjalani kehidupan dengan kesederhanaan. Bagi mereka, kebahagiaan keluarga jauh lebih penting daripada apapun. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan sebenarnya 4 5 J.D. Engel, Materi Kuliah Pastoral Masyarakat, 10 Mei 2017. 6 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2.

  

Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga, 17. tidak pernah gagal, yang bisa gagal adalah orang-orang yang ada dalam pernikahan tersebut. Oleh karena itu, agar tidak mudah gagal maka perlu untuk belajar banyak tentang nilai-nilai yang paling penting melalui pengalaman di lingkungan keluarga dan di sekitar kita.

  Kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki latar belakang pengalaman hidup, karakter dan pendidikan yang berbeda-beda. Untuk menyatukan itu semua dibutuhkan proses yang cukup panjang dan bila proses tidak benar-benar dipahami secara mendalam dan tidak disadari oleh calon pasangan masing-masing, maka akan terjadi masalah besar dalam perjalanan

  8

  pernikahan mereka. Menyikapi permasalahan ini, maka seharusnya sebelum memasuki kehidupan pernikahan, penting untuk dilakukan konseling prapernikahan bagi calon pasangan.

  Benar bahwa yang membuat pernikahan gagal adalah orang-orangnya yang tidak mau menerima adanya perbedaan diantara mereka dan tidak mau saling mengenal satu dengan yang lain dalam proses berpacaran. Ini merupakan sebuah masalah yang harus diatasi melalui konseling prapernikahan. Pemahaman tersebut diterapkan juga dalam masyarakat suku Lauje dengan menanamkan nilai-nilai budaya dari setiap tradisi adat yang mereka lakukan. Kita bisa lihat itu dari dalam setiap tahap yang harus dilalui oleh pasangan.

  Mulai dari pinangan atau

  Mo’nyabi, yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan

  membawa sebungkus gula dan kopi. Sebelum meminang, mereka berdua telah menjalani hubungan pacaran dan saling mengenal satu dengan lainnya juga saling menerima kekurangan masing-masing serta saling melengkapi setiap perbedaan yang ada. Apabila diterima, maka dilakukanlah adat Mangantar atau lamaran/mengikat bagi laki-laki dan perempuan. Pada proses

  

Mangantar ada penyerahan hantaran dari laki-laki kepada perempuan dan dari barang hantaran

  yang diserahkan, menurut penulis inilah media konseling yang digunakan dalam adat

  

Mangantar. Barang-barang tersebut dianggap telah memenuhi apa yang menjadi kebutuhan

  perempuan dan awal dari tanggung jawab laki-laki. Ketika menyerahkan barang-barang ini, maka secara langsung perempuan sudah menjadi milik atau menjadi tanggung jawab laki-laki dan laki-laki harus membiayai segala kebutuhan dari perempuan. Dalam penyerahan barang- barang hantaran telah terjadi perubahan, namun walaupun terjadi perubahan, tetapi masih memiliki makna yang sama yaitu misalnya, piring yang dapat disimbolkan sebagai keperluan rumah tangga untuk makan dan juga dianggap sebagai kekuatan untuk membangun rumah

  9 tangga.

  Konseling prapernikahan merupakan bentuk konseling yang menitikberatkan perhatian pada hal-hal atau permasalahan seputar hubungan antar pribadi seorang pria dan wanita dalam tahap-tahap sebelum mereka menjadi suami-istri. Melalui konseling ini, pasangan dibantu untuk menilai hubungan mereka serta diperkenalkan kepada cara-cara mengusahakan pernikahan yang bahagia dan berhasil. Kalau dalam adat Mangantar ada percakapan antara kepala adat dari pihak laki-laki dan kepala adat dari pihak perempuan. Percakapan itu diawali dengan saling berbalasan pantun yang isinya menanyakan terlebih dahulu apakah anak perempuannya sudah pernah menikah atau belum. Karena menurut penulis, kemungkinan ada pasangan yang saling menutupi.

  Kemudian, membahas tentang silsilah keluarga. Percakapan ini dianggap penting untuk menghindari pernikahan satu darah atau masih terkait hubungan saudara, karena bisa berdampak terhadap keturunan atau anak yang akan dilahirkan nanti. Percakapan selanjutnya tentang

  Mo’ar atau mas kawin. Mo’ar dianggap sebagai persyaratan untuk memasuki pernikahan seperti piring, parang, harus memotong ayam dua ekor setelah itu dibakar.

9 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

  Moar dalam masyarakat suku Lauje dianggap sebagai pengganti dari surat nikah.

  Percakapan dilanjutkan dengan pemberian nasehat-nasehat dari kepala adat, tentang bagaimana mempertahankan hubungan ini sebelum memasuki tahap nikah adat. Percakapan yang terakhir yaitu tentang uang yang akan dipakai untuk proses Mokabing, bagi masyarakat suku Lauje uang yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 10.000.000. Pembicaraan tentang uang ini di luar dari pembicaraan adat dan baru ada pada jaman sekarang ini, karena jaman dulu belum ada

  10

  pembicaraan dan penentuan tentang uang. Pelaksanaan adat Mangantar ini merupakan salah satu bentuk konseling prapernikahan yang mempersiapkan mereka untuk membentuk satu keluarga.

  Melalui Mangantar, pasangan bisa saling menilai dan saling mengenal keluarga masing- masing. Setelah dilakukan adat Mangantar, biasanya dibutuhkan waktu yang lama untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu Mokabing. Karena baik laki-laki maupun perempuan harus mempersiapkan diri mereka. Kalau laki-laki dalam suku Lauje biasanya bekerja keras mengumpulkan uang untuk menikah dan untuk membiayai kebutuhan perempuan setiap bulannya. Sedangkan perempuan, dia harus belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik.

  Disinilah terlihat bentuk konseling dimana berbagai kesulitan yang biasa muncul dalam hubungan suami istri dibicarakan dan dipersiapkan secara matang. Agar kedepannya tidak ada kegagalan dalam bingkai rumah tangga mereka.

  Konseling prapernikahan memberikan kesempatan terbuka bagi pasangan untuk membicarakan diri mereka, teman hidup atau keluarga mereka atau dengan kata lain saling mengenal seutuhnya. Tidak banyak orang memiliki peluang untuk membicarakan masalah- masalah psikologis yang penting dalam pengambilan keputusan untuk keluarga. Konseling dapat menjadi pelepasan untuk mengatasi kesulitan seperti itu. Melalui konseling prapernikahan ini juga, pasangan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara emosional dan pribadi sehingga mereka ditolong dalam membentuk dasar yang teguh dalam kehidupan pernikahan. Selain itu, pasangan juga dibantu untuk memahami dan mengetahui apakah mereka sudah matang untuk

  11

  menikah atau belum juga apakah mereka sanggup memegang teguh komitmen yang sudah kita buat dalam tradisi Mangantar.

  Mangantar dianggap merupakan sebuah ujian dalam hubungan laki-laki dan perempuan

  untuk menuju ke pernikahan. Apabila laki-laki dan perempuan berhasil melewati proses ini, maka mereka masuk dalam tahap proses yang lebih serius dan tidak kalah pentingnya dari tahap sebelumnya. Tahap menikah adat (Mokabing) diawali dengan

  sorong Mo’ar (mahar) oleh kedua

  belah pihak, yang dilaksanakan pada malam hari sebelum adat pernikahan (Mokabing). Mahar dilakukan sebagai arti bahwa laki-laki telah mampu bekerja keras untuk membangun kehidupan rumah tangga kedepannya. Menurut penulis, konseling prapernikahan yang dijalani pada masa

  

Mangantar, telah memberikan banyak manfaat bagi mereka, sehingga laki-laki dan perempuan

telah matang untuk memasuki kehidupan rumah tangga.

  Manfaat tersebut mempengaruhi perubahan tingkah laku calon pasangan dan memungkinkan mereka betul-betul dapat mengerti serta mengenal apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka, juga tujuan ke depan yang mereka dambakan, sehingga mereka tidak saja melihat tujuan hidup mereka dalam tanggung jawab pasangan, tetapi juga terutama tanggung jawab dan relasi mereka dengan Tuhan, serta mencapai tujuan itu dengan kekuatan dan kemampuan. Selain itu pasangan juga belajar untuk merawat, menopang, menolong, memelihara

  12

  dan melindungi calon pasangan, sehingga mereka dapat mengembangkan potensi-potensi positif yang ada dalam diri mereka dan mengurangi hal-hal negative dalam diri mereka, agar tidak menjadi masalah dikemudian hari dalam pernikahan mereka dan membuat mereka memiliki pandangan ke depan yang lebih terarah. Ada juga manfaat lain yaitu, penyatuan visi dan misi, termasuk membantu memahami kedua keluarga masing-masing pasangan. Karena penting untuk membangun relasi yang baik dengan keluarga pasangan dan seiring berjalannya waktu ini juga akan mempengaruhi ketika sudah memiliki anak-anak. Dari manfaat ini, tentunya ada tujuan yang ingin dicapai yaitu membentuk keluarga yang bahagia.

  Dalam tulisan ini, penulis mendapatkan perbedaan antara konseling konvensional dengan konseling pranikah dalam masyarakat suku Lauje. Pertama, bagi sebagian orang memahami

  13

  bahwa ketika orang mau menikah perlu untuk diberikan materi khusus melalui bimbingan tentang persiapan menuju kehidupan pernikahan dibutuhkan lima atau enam kali pertemuan yang

  14

  berlangsung selama kurang lebih satu jam. Menurut penulis, cara tersebut tidak cocok diterapkan dalam masyarakat suku Lauje. Karena mereka lebih memahami melalui tradisi-tradisi yang ada. Tidak perlu harus dengan materi ataupun pertemuan-pertemuan, tetapi cukup dengan cara-cara tradisional, maka itu akan tertanam dalam hati dan pikiran mereka.

  15 Kedua, konseling dengan berorientasi pada percakapan dan wawancara. Menurut penulis,

  kedua bentuk konseling ini ada yang bisa digunakan, tetapi ada yang tidak. Konseling berbentuk percakapan bisa dilakukan, karena dalam percakapan mereka akan membahas beberapa hal penting. Untuk konseling dalam bentuk wawancara sangat tidak cocok untuk masyarakat suku 12 13 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 4-9. 14 Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, 18. 15 J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 40.

  Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 55-56. Lauje. Pengalaman saya, mereka tidak suka banyak bicara, namun lebih suka banyak berbuat. Muncul pertanyaan, kapan konseling dilakukan ? dan siapa yang menjadi konselor, siapa yang menjadi konseli ?

  Jika mengikuti teori konseling konvensional, tentunya harus ada konselor dan konseli yang saling bertemu untuk membantu menyelesaikan persoalan yang terjadi ataupun mengatasi sebelum terjadi permasalahan. Hal tersebut berbeda dengan konteks yang ada dalam masyarakat suku Lauje, dimana konseling itu telah berlangsung dari tahap pertama, yaitu peminangan atau

  

Mo’nyabi sampai dengan tahap terakhir yaitu potong nasi bungkus atau Mongkologe Alopa.

  Semua tradisi adat yang dilakukan, itulah proses konseling yang mempersiapkan memasuki kehidupan rumah tangga. Untuk menjawab pertanyaan siapa yang menjadi konselor dan konseli, maka jawabannya ialah, konselor adalah kepala adat yang melakukan tradisi-tradisi adat dan konseli adalah pasangan yang melakukan tradisi tersebut dan medianya adalah barang-barang hantaran yang diserahkan pada saat Mangantar.

  Adat Mangantar bisa terlaksana karena adanya dukungan dari masyarakat suku Lauje yang dalam diri mereka masing-masing memiliki kesadaran akan tanggung jawab untuk mendidik, mendukung, menopang, dan saling mengingatkan calon pasangan yang akan menikah. Mereka melakukan tanggung jawab tanpa ada paksaan dari pihak manapun, tetapi merupakan inisiatif yang timbul dalam diri sendiri. Dari landasan filosofis yaitu Medunduluan, maka ditemukanlah nilai-nilai spiritual yang bisa membantu pasangan untuk melangkah pasti menuju pernikahan dan membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia. Ada lima nilai spiritual yang penulis temukan, yaitu: a.

  Pengorbanan, ini berarti bahwa dalam melewati setiap proses mulai dari pinangan sampai dengan tahap melamar atau Mangantar. Ada banyak hal yang telah dikorbankan oleh laki-laki maupun perempuan, baik secara finasial maupun secara pribadi. Laki-laki harus berkorban tenaga untuk bisa bekerja keras memenuhi kewajibannya membiayai perempuan dan berkorban untuk menjaga dirinya agar tidak melanggar apa yang telah disepakati. Begitu juga perempuan, dia harus mengorbankan dirinya untuk mulai terbiasa akan kebiasaan-kebiasaan baru yang mungkin sulit diterima.

  b.

  Tanggung jawab, ini berarti ketika seorang laki-laki memutuskan untuk meminang dan melamar seorang perempuan, maka dari situlah tanggung jawab dimulai. Tanggung jawab yang dimaksudkan adalah bekerja mencari penghasilan untuk menghidupi wanita yang telah dipilih menjadi calon istri. Kemudian, tanggung jawab bila terjadi sesuatu dengan perempuan, entah dalam keadaan sakit ataupun keadaan lainnya.

  c.

  Kerjasama, nilai ini berarti dalam masa-masa perjuangan untuk menuju pernikahan dan membentuk sebuah keluarga, maka dibutuhkan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Keduanya bisa merasakan bagaimana berjuang bersama untuk mencapai tujuan yang disepakati pada saat Mangantar.

  d.

  Komitmen, ini berarti ketika laki-laki meminang dan melamar seorang perempuan, maka dituntut untuk memiliki komitmen bukan hanya laki-laki, tetapi perempuan pun harus memiliki komitmen. Diharapkan kedepannya mereka bisa menentukan arah hubungan mereka, sehingga tidak ada kegagalan.

  e.

  Menyatukan keluarga, artinya pada saat laki-laki dan perempuan menentukan pilihan untuk mengikat hubungan mereka, maka secara tidak langsung mereka juga telah menyatukan kedua keluarga, yaitu keluarga laki-laki dan keluarga perempuan menjadi satu keluarga besar yang akan mendukung mereka sampai pada proses akhir dari hubungan mereka. Untuk menyatukan kedua keluarga dibutuhkan pendampingan konseling pastoral untuk memulihkan/memperbaiki hubungan yang mungkin dulunya sempat rusak menjadi bersatu kembali, sehingga kedua keluarga bisa saling mendukung

  16 dan mengingatkan.

  Dari nilai-nilai spiritual yang ditemukan dalam adat Mangantar, maka menghasilkan lagi sebuah teknik pendekatan pastoral untuk membantu menyelesaikan permasalahan pastoral, sehingga tujuan dari Mangantar dapat tercapai yaitu untuk membantu pasangan membentuk sebuah keluarga yang harmonis. Teknik-teknik tersebut ialah:

  a.

   Melumbu waktu

  Dalam teknik ini, dibutuhkan pendampingan konseling pastoral yaitu memelihara/mengasuh. Mengapa harus fungsi ini ? karena Fungsi memelihara atau mengasuh memampukan pasangan untuk bisa mengembangkan potensi yang diberikan Tuhan kepadanya. Potensi ini dilihat sebagai sesuatu yang bisa dikembangkan dan dijadikan sebagai kekuatan dalam menjalankan hidupnya kedepan, sehingga pasangan didorong ke arah pertumbuhan dan perkembangan demi menemukan kembali makna

  17

  hidupnya serta bertahan dalam situasi baru. Dalam hal ini pasangan harus mampu bertahan pada sekarang, sebagaimana adanya dan akhirnya secara perlahan mulai menerima keadaan itu dengan lapang dada dan mengatur kembali kehidupannya yang

  18 16 baru. 17 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 8.

  J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 9.

  b.

   Motutu Mosou

  Dalam teknik ini, dibutuhkan pendampingan konseling pastoral yaitu menopang dimana dengan teknik ini menolong pasangan menghadapi keadaan sekarang sebagaimana adanya, dan menerima kondisi yang sedang dialami serta tetap berjuang

  19

  untuk menjalani hidup dengan baik, sehingga dapat berubah, bertumbuh dan berfungsi melalui tanggung jawab yang diembannya. Memikul tanggung jawab dalam keluarga bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi seorang laki-laki yang harus menjadi kepala keluarga yang harus memenuhi semua kebutuhan dari keluarganya.

  c.

   Medunduluan Kainkai

  Dalam teknik ini, dibutuhkan pendampingan konseling pastoral menopang dan memelihara/mengasuh. Alasannya karena dengan pendampingan konseling pastoral ini membantu pasangan untuk berjuang bersama melewati proses Mangantar menuju pernikahan dengan mengembangkan setiap potensi yang ada dalam diri keduanya sebagai

  20

  kekuatan untuk semakin bertumbuh bersama dalam sebuah keluarga. Selain itu dengan teknik Medunduluan Kainkai, tercipta komunikasi yang sehat antara keduanya yang memacu pasangan untuk lebih kreatif dan efektif mengekspresikan perasaan, keinginan dan aspirasinya.

  d.

   Mesau Sabian

  Teknik ini harus didukung dengan adanya pendampingan konseling pastoral yaitu 19 membimbing untuk pasangan bisa menentukan pilihan-pilihan dan memutuskan sesuatu, J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 5.

  21

  sehingga tidak terjadi kebingungan dan tertekan antara pikiran dan tindakan. Melalui teknik ini juga, terbentuklah tingkah laku baru. Konseling pastoral ternyata bisa dipakai sebagai media untuk menciptakan dan berlatih tingkah laku baru yang lebih sehat, terutama bagi pasangan yang ingin menghentikan semua kebiasaan buruk yang ada dalam dirinya.

  e.

   Mo’Osonge Songa

  Untuk teknik

  Mo’Osonge Songa dibutuhkan pendampingan konseling pastoral

  yang memulihkan/memperbaiki hubungan yang mungkin dulunya sempat rusak menjadi

  22 bersatu kembali, sehingga kedua keluarga bisa saling mendukung dan mengingatkan.

  Menyatukan kedua keluarga pastinya harus ditopang dengan adanya komunikasi yang sehat antara kedua keluarga dan antara pasangan dengan masing-masing keluarga.

  Keharmonisan dan kerukunan dalam keluarga bisa terlihat ketika pasangan sudah membentuk sebuah keluarga yang baru.

4.3. Rangkuman

  Dengan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari landasan filosofis

  

Medunduluan dapat menghasilkan nilai-nilai spiritual, yaitu pengorbanan, tanggung jawab,

  kerjasama, komitmen dan menyatukan keluarga. Dari kelima nilai tersebut, ternyata menghasilkan lagi teknik-teknik pendekatan yaitu Melumbu waktu, Motutu mosou, Medunduluan

  

kainkai, Mesau sabian, Mo’osonge songa yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan dan

  sasaran. Sasaran utama yang ingin disampaikan melalui adat Mangantar ini adalah bagaimana mengusahakan pemberdayaan dan keharmonisan keluarga. 21 22 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 4.

  J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 8.