Varian Pluralisme Hukum dalam Perfektif

Varian Pluralisme Hukum dalam Perfektif Untuk
Menentukan Hukum Nasional Indonesia

Untuk memenuhi tugas hukum adat nasional yang di berikan dosen
pengampu Dr Hari Purwadi S.H., M.Hum

Oleh :
Abdul Natar

E0014002

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

Varian Pluralisme Hukum dalam Perfektif Untuk
Menentukan Hukum Nasional Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.456 pulau, yang 1/3nya
merupakan daratan, dari ujung sabang hingga ujung marauke di pisahkan oleh lautan, dengan
berbagai suku bangsa yang sangat bervariasi dengan menghormati nilai-nilai luhur yang sejak

dulu berkembang hidup di masyarakat, di dalamnya sangat terikat dalam suatu sistem tatanan
hukum masyarat yang berbeda-beda. Dengan adanya norma kesopanan dan kesusilaan
memiliki keterikatan dan tradisi yang berbeda-beda.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undangundang (Pasal 25A UUD 1945), dalam melihat sejarah indonesia pernah memegang kendali
dalam urusan kemaritiman nusantara pada masa kerjaan sriwijaya dan kerajaan mataram
dengan hukum adat dahulu, tetapi dalam masa kolonial belanda terjadi westernisasi hukum
yang masuk dalam negara republik indonesia dengan peraturan yang merungikan rakyat dan
mengesampingkan hukum kedaerahan. Tetapi kenyataannya hukum barat yang masuk di
indonesia sampai sekarang masih menganut hukum barat yang di bawa belanda dengan
adanya aturan peralihan dalam pasal II ‘’Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini’’.
yang artinya hukum lama yang ada di indonesia masih berlaku sampai adanya peraturan yang
mengatur.
Indonesia merupakan 89% penduduknya menganut agama islam, sehingga dalam
tindak tanduknya berpengaruh dalam ketentuan hukum islam (syariah). Walaupun indonesia
sebagian besar beragama islam dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan indonesia adalah negara hukum. Oleh karenanya negara kita buka berdasarkan
hukum islam melainkan hukum negara, tetapi dalam keyataannya hukun indonesia
terpengaruh oleh hukum islam itu sendiri yang terdapat UU No 7 tahun 1974 tentang

Perkawinan yang di dalamnya menganut asas monogami, dan hukum islam itu sendri
berpengaruh banyak atas peraturan hukum positif di indonesia dalam UU No 11 Tahun 2011
tentang Peraturan PerUndang-Undangan. Dengan adanya sifat hukum dan sumber-sumber
yang memegaruhi isi materiil hukum positif indonesia itu sendiri yang terjadi adanya

Prulalisme Hukum yang sangat menentukan keteraturan dalam hidup berbangsa dan
bernegara.
Teori pluralisme hukum Menurut j. Grifith kemajemukan hukum dapat dikatakan ada
apabila dalam bidang sosial tertentu dapat dibedakan perilaku yang berhubungan dengan
lebih dari satu tertib hukum (……the presence in a social field of more than one legal order.)
Menantang asumsi bahwa “hukum itu bentukan negara (law is a product of the state), yang
artinya hanya ada satu hukum yang harus di patuhi oleh setiap masyakat yaitu hukum formal,
oleh karenanya hukum agama, hukum adat dan hukum yang hidup di masyarakat tidak harus
di patuhi, karena negara sudah membuat hukum itu sendiri untuk mensejahterakan rakyatnya
demi kemakmuran yang menciptakan keadilan itu sendiri, sehingga kemudian masing-masing
negara hanya memiliki satu sistem hukum (each state has only one legal system)”;
Sebaliknya, masyarakat dapat memiliki sistem hukum yang jamak (multiple legal systems),
lebih dari itu juga memiliki beberapa aturan hukum “resmi” pada tingkatan negara.
Pluralisme merupakan prinsip dasar kehidupan yang diarahkan pada pengakuan akan
perbedaan. Dan pengakuan terhadap perbedaan tersebut diarahkan pada terwujudnya nilainilai kemanusiaan universal, seperti kebebasan, koeksistensi damai, egalitarianisme, kasihsayang, amar ma’ruf-nahy munkar, fastabiqul khaerat, dan keadilan. Hukum dunia mengakui

adanya system hukum yang beraneka ragam, oleh sebab itulah teori pluralisme hukum
berkembang pesat adanya pengaruh dan timbal balik hukum yang saling berhubungan di tiaptiap negara. pluralisme hukum sendiri menawarkan hukum yang jamak, yang ditandai oleh
tertib hukum yang dikelolah dan bekerja efektif di masing-masing ruang sosial. Misalnya,
masyarakat adat membuat hukumnya sendiri, komunitas bisnis memiliki hukum sendiri,
sementara masyarakat internasional memiliki hukum internasional yang berlaku lintas batas
negara. Karena itu, pluralisme hukum selain sebagai sebuah persoalan empirik juga
merupakan perdebatan pemikiran hukum. Artinya, jika pluralisme hukum mau dijadikan
pertimbangan dalam pembentukan hukum nasional, maka upaya itu sama dengan meninjau
kembali (review) konsep pembentukan sistem hukum modern yang selama ini merupakan
acuan dalam pembentukan hukum nasional. Sebagai sistem, hukum nasional sejak awal
dirancang agar tertulis dan dikumpulkan dalam satu kitab (dikodifikasi) dan berlaku dari
Sabang sampai Merauke dimana tidak ada lagi dualisme, apalagi pluralisme hukum
(unifikasi). Dalam konsep ortodoks inilah, masalah dimulai.

Secara historis, pencangkokan (transplantation) konsep unifikasi dan kodifikasi ke
dalam pembentukan sistem hukum nasional, merupakan warisan politik hukum kolonial yang
secara kultural dan struktural berbeda dengan proses yang terjadi di semua komunitas tua (old
existing natives) di kepulauan Nusantara. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2006), di
negeri asalnya di Prancis, kodifikasi dan unifikasi tidak mengalami persoalan berarti karena
hukum-hukum yang ditulis berangkat dari kehidupan sehari-hari masyarakat Prancis dan dari

hukum raja-raja yang sudah terserap dalam keseharian warga. Di Indonesia, kodifikasi dan
unifikasi dilakukan di atas kehidupan hukum yang sangat plural. Tidak hanya hukum Belanda
yang diangkut sejak jaman kolonial itu tetapi juga hukum adat, hukum agama dan bahkan
dalam seabad terakhir ditambah dengan hukum Internasional. Unifikasi hukum, menurut
Soepomo hanya bisa dilakukan secara selektif yakni terhadap hukum yang sifatnya universal.
Namun, Soepomo lupa, universalitas seringkali muncul dari suatu nilai tertentu yang kadang
hanya bercokol dalam satu ruang sosial atau kepentingan tertentu, sementara di ruang yang
lain belum tentu nilai itu diterima, sehingga universalitas menjadi relatif. Ucapan terima kasih
dalam bentuk pemberian hadiah merupakan kemuliaan dalam hukum agama tetapi boleh jadi
menjadi suap atau gratifikasi dalam hukum negara, tetapi negara selanjutnya menjadikan
konsep suap sebagai norma yang berlaku universal. Artinya, ada begitu banyak pertentangan
jika kita secara semena-mena menggunakan kata universal sebagai alat ukur untuk
melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum.
Legislasi maupun administrasi pemerintahan sebagai tempat terbentuknya hukum.
Tetapi dalam konsep pluralisme hukum, semua ruang sosial yang ada bisa membentuk
hukumnya sendiri. Artinya, tantangan pembentukan hukum nasional tidak hanya pluralisme
sebagai norma tetapi pluralisme kelembagaan (struktural). Dalam hal ini, pluralisme hukum
sesungguhnya merombak kepercayaan para pengikut hukum modern bahwa pabrik hukum
tidak hanya di tangan DPR, hakim maupun pejabat administrasi negara tetapi juga di tangan
berbagai lembaga lain. Tantangannya, dengan demikian, tidak hanya persoalan yuridis tetapi

juga berimbas ke ruang politik yang telah menganggap baku konsep lembaga pembentuk
hukum dalam negara modern. Dengan demikian, memikirkan konsep pluralisme hukum
sebagai pertimbangan dalam pembentukan hukum nasional juga sekaligus memikirkan ulang
konsep negara modern tentang hukum bahkan tentang negara modern itu sendiri. Sebuah
pekerjaan berat yang diharapkan menjawab pertanyaan dasar, mau kemana hukum dan negara
hukum Indonesia ke depan.

Masyarakat adat tentu tidak mau hukum adatnya dipaksakan berlakunya oleh polisi.
Di Aceh, hukum agama dipaksakan berlakunya oleh polisi syariah, bukan polisi nasional.
Ikatan kultural dan struktural sangat kuat sebagai faktor determinan efektitivitas dan
kepatuhan terhadap hukum. Kodifikasi dan unifikasi tanpa pertimbangan yang memadai
terhadap faktor-faktor ini akan membuat hukum menjadi formalisme belaka yang sekedar
digerakan oleh aparatus hukum negara. Kita sudah dan sedang merasakan akibatnya ketika
hukum tidak lagi berakar dalam budaya dan struktur pendukungnya, dia menjadi macan
kertas yang hebat di atas pasal tetapi memble dalam implementasi. Oleh karenanya indonesia
mengadopsi hukum adat, hukum islam, hukum barat ataupun hukum yang berkembang di
masyarakat di kodifakasikan sebagai kesatuan hukum yang menyatukan segala hukum yang
ada di dalam masyarakat di berbagai wilayah masyarakat, di pertegas dengan adanya
ketentuan hukum positif di indonesia antara lain :
1. Tap MPR IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004

(berdasarkan Pasal 3, Tap MPR I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan
Status Hukum Tap MPRS dan MPR RI Tahun 1960 Sampai dengan Tahun 2002
dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum
tahun 2004), pada butir ke-2 ditegaskan :
“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundangundangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk
ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui
program legislasi.”
2. LAMPIRAN PERPRES 5/2010 TENTANG RPJM TAHUN 2010-2014 (BUKU II,
BAB VIII), DITEGASKAN :
“Untuk itu, pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum
dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan
pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian, dan perlindungan
hukum dan hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum
yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka
penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing
global.”

3. UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa negara mengakui kesatuan
masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang tidak bertentangan

dengan peraturan pemerintah yang berlaku.
4. UU No 5 Tahun 1960 tentang Pertanahan (Undang-undang Pokok Agraria) dalam
salah satu pasalnya menyebutkan bahwa UU Pokok Agraria Nasional adalah
berdasarkan dan berlandaskan hukum adat.
5. UU No 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan) dalam salah satu pasalnya
menyatakan bahwa setiap perkawinan baru dinyatakan sah apabila dilaksanakan
sesuai dengan agama dan kepercayaan masyarakat itu sendiri.
6. UU Kehutanan juga dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa mengakui adanya
hutan adat dan hak-hak masyarakat adat untuk memungut hasil hutan.
Varian (model) pluralisme represent the idology that “law is and should be the law of the
state, uniform for all person, exclusive of all other law, and administered by a single set of
state institution’’.

Maka hukum adalah satu yaitu hukum negara, dari kemajemukan

masyarakat dan kebergaman tata kelola harus sesuai dengan hukum sistem huku negara.
konsep klasik dari John Grifiths, yang mengacu pada adanya lebih dari satu tatanan
hukum dalam suatu arena sosial. “By ‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of
more than one legal order” (Griffiths, 1986: 1). melakukan identifikasi atau pemetaan
terhadap keanekaragaman hukum dalam bidang sosial tertentu (mapping of legal universe).

Pengertian pluralisme hukum dicirikan sebagai adanya hukum negara di satu sisi, dan hukum
rakyat di sisi yang lain. Hukum rakyat dalam hal ini adalah hukum yang pada prinsipnya
tidak berasal dari negara, yaitu hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan atau
kesepakatan dan konvensi sosial lain yang dipandang mengikat sebagai hukum. Pandangan
pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara
bersama-sama mengatur suatu bidang kehidupan atau perkara.
Dalam konteks apakah orang memilih aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ia
memilih aturan hukum lain atau kombinasi dari beberapa aturan hukum, dalam kehidupan
sehari-hari atau penyelesaian sengketa.
Selanjutnya Griffiths membedakan adanya dua macam pluralisme hukum yaitu: weak
legal pluralism dan strong legal pluralism (1986). Anne Griffiths menyebutnya sebagai
“juristic” atau “classic” (Griffiths, 2005) Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah itu
adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme

hukum, tetapi tetap berpegang pada souveregnity hukum Negara, hukum-hukum yang lain
disatukan dalam hierarki di bawah hukum negara. Contoh dari pandangan pluralisme hukum
adalah konsep yang diajukan oleh Hooker : “The term legal pluralism refers to the situation
in which two or more laws interact” (Hooker, 1975: 3). Meskipun mengakui adanya
keanekaragaman sistem hukum, tetapi ia masih menekankan adanya pertentangan antara apa
yang disebut sebagai municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan

servient law yang menurutnya inferior seperti kebiasaan dan hukum agama.
Dekan demikian Varian Pluralisme hukum untuk menentukan hukum nasioanal yang
menurut konsep James M ‘’Plural legal system, parts interconnected with modules’’ yang
artinya hukum yang ada di sekitar kita berupakan saling berhubungan secara langsung
ataupun tidak, sehingga hukum yang saling berhubungan itu menjadikan hukum nasional
indonesia. Perkara hukum yang datang dari barat, hukum agama, dan hukum adat merupakan
bagian dari hasil hukum nasional yang di tambah dengan Traktat internaional. Dengan
adanya varian pluralisme hukum menjadikan hukum indonesia berfungsi sebagai hukum yang
berkeadilan, berkepastian dan kebermanfaatan bagi seruluh tumpah darah indonesia.