KOMPONEN PROBLEMATIKA DAN SIKAP TERHADAP
KOMPONEN PROBLEMATIKA DAN SIKAP TERHADAP FILSAFAT ILMU
PENGETAHUAN BERDASARKAN TEROI ARCHIE J. BAHM
Oleh:
Shinta Kurnia Dewi
12702251010
Tyas Pratama Puja Kusuma
13702251007
Kalfein M. Wuisan
13702251027
Yus Hariadi
13702251042
Nuur Wachid Abdul Majid
13702251059
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
WHAT IS SCIENCE
Pendahuluan
(Terminologi : Pengetahuan, Ilmu, Ilmu Pengetahuan dan Sains)
Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiaannya seperti perasaan, pikiran, pengalaman,
pancaindera dan intuisi mampu menangkap alam kehidupannya dan mengabstraksikan tangkapan
tersebut dalam dirinya dengan berbagai bentuk “ketahuan” umpamanya kebiasaan, akal sehat, seni,
sejarah dan filsafat. Terminologi ketahuan ini diartikan sebagai keseluruhan bentuk produk kegiatan
manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu. Apa yang kita peroleh dalam proses mengetahui
tersebut tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya kita masukkan ke dalam kategori yang
disebut “ketahuan/pengetahuan” ini. Dalam bahasa Inggris sinonim dari pengetahuan ini adalah
“knowledge”. Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi umum yang mencakup segenap
bentuk yang kita ketahui, seperti filsafat, ekonomi, seni bela diri, matematika dll. Jadi matematika
termasuk dalam ketahuan (“knowledge”), seperti juga ekonomi, fisika, dan seni. Untuk membedakan
tiap-tiap bentuk anggota kelompok ketahuan (knowledge) ini terdapat tiga criteria yakni: ontologism,
epistemology, axiologis.
Jadi seluruh bentuk dapat digolongkan ke dalam kategori ketahuan (knowledge) dan masing masing
bentuk dapat dicirikan oleh obyek ontologis, landasan epistemologis dan landasan axiologisnya.
Salah satu dari bentuk ketahuan (“knowledge”) ditandai dengan:
1) obyek ontologis: pengalaman manusia, yakni segenap ujud yang dapat dijangkau lewat
pancaindera atau peranti (“device”) yang membantu kemampuan pancaindera;
2) landasan epistemologis: metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan logika
induktif dengan pengajuan hipotesis, atau yang disebut metode deduct hypotetico-verifikatif;
3) landasan axiologis: kemaslahatan manusia, artinya secara segenap ujud ketahuan itu secara
moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia.
Bentuk ketahuan (“knowledge”) seperti ini dalam bahasa Inggris disebut “science”. Dengan demikian
maka masalahnya adalah terdapat perbedaan antara “knowledge” dan “science”; antara ketahuan yang
bersifat umum dan bentuk ketahuan yang spesifik yang mempunyai obyek ontologis, landasan
epistemologis dan landasan axiologis yang khas. Lalu apakah sinonim-sinonim “knowledge” dan
“science” dalam bahasa Indonesia?
Alternatif pertama adalah menggunakan “ilmu pengetahuan” untuk “science” dan “pengetahuan”
untuk “knowledge”. Pengetahuan ilmiah bisa diartikan “scientific knowledge” yang dalam bahasa
Inggris adalah sinonim dengan “science” sedangkan ke-ilmu-pengetahuanan rasanya terlampau
dibikin-bikin. Alternatif kedua berdasarkan kepada asumsi bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya
adalah kedua benda, yakni “ilmu” dan “pengetahuan”. Dalam hal ini maka yang lebih tepat kiranya
adalah penggunaan kata “pengetahuan” untuk “knowledge” dan “ilmu” untuk “science”. Dengan
demikian maka “social sciences” kita terjemahkan menjadi “ilmu-ilmu sosial” dan “natural sciences”
menjadi “ilmu-ilmu alam”. Ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial dan humaniora (seni filsafat, bahasa dan
sebagainya) tercakup dalam “pengetahuan” yang merupakan terminologi generik. Kata sifat dari
“ilmu” adalah ilmiah” atau “keilmuan”, metode yang dipergunakan dalam kegiatan ilmiah (keilmuan)
adalah metode ilmiah (keilmuan). Ahli dalam bidang keilmuan adalah ilmuwan.
Sains adalah
terminologi yang dipinjam dari bahasa Inggris, yakni dari “science”. Keberadaan kedua adalah bahwa
terminologi “science” dalam bahasa asalnya penggunaannya sering dikaitkan dengan “natural
science”, seperti kimia. “Economics”, sering dikonotasikan sebagai bukan “science”, melainkan
“social studies”, yang mencakup “social sciences” lainnya. Dengan demikian maka terminologi
“science” sering dikaitkan dengan “teknologi”. Hal ini meskipun tidak disengaja dan mungkin tidak
disadari, menimbulkan jurang antara ilmu-ilmu social dan ilmu-ilmu alam.
WHAT IS SCIENCE
(PROBLEM & SCIENTIFIC ATTITUDE)
Archie J. Bahm
Archie J. Bahm menulis artikel tentang ilmu pengetahuan ini karena beberapa alasan, yaitu
antara lain:
1. Makin kompleksnya ilmu pengetahuan dalam segala pengertiannya, termasuk kompleksitas
dalam setiap konteks yang lebih khusus, dan beragamnya pandangan tentang sifat dasar ilmu
pengetahuan (nature of science) yang membuat penentuan suatu sifat dasar ilmu
pengetahuan menjadi bermasalah.
2. Masyarakat ilmiah telah mengabaikan kebutuhan akan penyelidikan ilmu pengetahuan
tentang ilmu pengetahuan yang diandalkan (biasanya disebut “Filsafat Ilmu Pengetahuan”).
3. Sebagai bahan perdebatan dengan pihak yang mendefenisikan ilmu pengetahuan dengan
tidak mengikutsertakan aksilogi dan nilai-nilai yang lainnya.
4. Ketiga hal diatas bersifat penting terutama dengan perkembangan dewasa ini, yaitu dengan
semakin berkembangnya teknologi dan industralisasi yang terkait erat dengan ilmu
pengetahuan (Pure science and technologhy are not antagonistic but in the long perpective
of history reveal themselves to be mutually fructifying, complementary). Selain proses
tersebut diatas dapat menimbulkan efek-efek negative juga tidak dapat dibalikkan kembali.
Untuk maksud diataslah Bham menulis artikel tentang Pengetahuan dan menawarkan
pemikirannya tentang sifat dasar ilmu pengetahuan (the nature of science). Dalam deskripsi tentang
pemikirannya itulah maka banyak dijumpai berbagai posisi dari beragamnya ilmu pengetahuan yang
eksis sekarang ini, dan disitu Bahm mencoba untuk berusaha menanggapi, mensintesiskan,
mengkritik, mengusulkan normativitas, dan pada akhirnya mengambil posisinya sendiri diantara
keberagaman itu. Deskripsi tersebut adalah sebagai berikut :
I.
MASALAH (PROBLEM)
Tidak semua masalah dianggap ilmiah (scientific). Untuk dapat dikatakan bahwa suatu
masalah dikarakteristikkan sebagai ilmiah paling tidak harus memiliki 3 (tiga) hal yaitu :
Communicability (mampu untuk dapat dikomunikasikan), Sikap Ilmiah dan Metode Ilmiah.
‐
Archie J. Bahm Mengatakan, bahwa suatu masalah tidak layak untuk dikatakan ilmiah
(scientific) jika tidak dapat dikomunikasikan. Seorang ilmuan yang menemukan suatu
masalah dan kemudian menganalisanya secara pribadi untuk jangka waktu yang lama dan
tidak mengkomunikasikan kepada orang lain, belu bisa dikatakan ilmiah. Suatu masalah
untuk dapat mencapai status “Menjadi Ilmiah” (Scientific) harus dikomunikasikan.
‐
Suatu masalah dikatakan ilmiah bila dapat didekati dengan cara-cara sikap ilmiah
(Scientific Attitude).
‐
Suatu masalah dapat dikatakan ilmiah bila dilakukan dengan cara-cara metode ilmiah
(Scientific Method). Tidaklah dapat dikatakan ilmiah bila metode ilmiahnya tidak dapat
diterapkan.
Ilmu bermula dari pemecahan permasalah, tapi tidak semua permasalahan merupakan
masalah keilmuan. Persoalan ilmiah harus selalu dapat dikomunikasikan. Seorang ilmuwan
yang
menemukan
problem
dan
berusahaan
mencari
pemecahannya.
Kemudian
mengkomunikasikan kesimpulannya pada yang lain, hal ini menunjukkan tidak masuk akal
untuk menilai bahwa pekerjaan pribadinya tidak ilmiah. Komunikasi itu memadai. Tetapi
permasalahan yang tidak dapat dikomunikasikan tidak mencapai status "masalah ilmiah"
(scientific problem).
Kajian berikut ini akan dilihat secara berurutan dari keenam kompenen di atas. Mengapa
masalah merupakan komponen penting ? menurut Bahm, ilmu pengetahuan itu ada karena
masalah yang terpecahkan. Dengan kata lain tanpa masalah tidak akan ada ilmu pengetahuan,
tanpa masalah tidak ada solusi, dengan sendirinya tidak akan ada pengetahuan ilmiah.
Berangkat dari pandangan di atas akan muncul pertanyaan baru. Pertama apakah semua
masalah itu ilmiah? Apa yang menyebabkan masalah menjadi ilmiah? Jika jawaban pertama
adalah tidak semua masalah itu ilmiah, lalu apa yang menjadikan masalah menjadi ilmiah?
Meski para ilmuan berbeda-beda dalam menjawab pertanyaan di atas, namun Archie J. Bahm
mengajukan hipotesa bahwa masalah dianggap ilmiah jika memenuhi tiga ciri khas, yaitu
dapat dikomunikasikan, bisa didekati dengan sikap ilmiah dan metode ilmiah. Demikian pula
sebaliknya, jika masalah yang dimaksud tidak memenuhi tiga karakter di atas maka tidak
layak di anggap sebagai masalah ilmiah. Dengan demikian masalah yang dapat
dikomunikasikan, mampu didekati dengan sikap dan metode ilmiah, maka ia disebut sebagai
masalah yang ilmiah.
II.
SIKAP ILMIAH (SCIENTIFIC ATTITUDE)
Sikap ilmiah paling tidak mencakup 6 unsur utama yakni keingintahuan (curiosity), spekulatif
(speculativeness), kesediaan untuk bersifat obyektif (willingness to be objective),
berpandangan terbuka (open-mindedness), kesediaan untuk menangguhkan keputusan,
tentative (sifatnya sementara).
1. Keingintahuan (Curiosity), keingintahuan ilmiah menyangkut tentang bagaimana sesuatu
itu ada, sifat, fungsi serta hubungannya dengan yang lain.
Tujuan ilmiah adalah pemahaman. Aktivitas ini terus berlanjut dan berkembang melalui
pencarian, penelitian, pengujian, eksplorasi, penjajakan dan eksperimen.
Rasa ingin tahu ilmiah adalah memperhatikan rasa ingin tahu. Ini menyangkut tentang
bagaimana ada benda-benda, apa karakter dasarnya, bagaiman mereka berfungsi, dan
bagaimana mereka dihubungkan pada benda-benda lain. Rasa ini bertujuan untuk
pemahaman. Ini berkembang mendalam dan berkelanjutan yang mengarah pada
penyelidikan, penelitian, pengujian, eksplorasi, penjelajahan, dan eksperimentasi.
Seorang ilmuawan tidak akan dalam sikap ilmiah melampau bidangnya karena memang
mereka dilatih dalam sikap ilmiahnya untuk mengatasi persoalan sesuai dengan bidang
keilmuan yang dikuasainya. Sebagian ilmuwan menjadikan sikap ilmiah ini menjadi
bagian pandangan hidup mereka, sehingga mereka cenderung untuk ingin tahu akan
segala sesuatu.
2. Spekulasi (Speculativeness), untuk menjadi ilmiah seseorang harus mau mencoba untuk
memecahkan masalah, melakukan beberapa upaya dan solusinya dengan mangajukan satu
atau lebih hipotesis dengan resiko pendapatnya tidak diakui. Tetapi tetap harus dilakukan
hipotesis alternative secara berlanjut. Hipotesis awal memang sering spekulatif dan setap
hipotesis baru melibatkan beberapa spekulasi. Spekulasi ini memang disengaja dan sangat
perlu di dalam mengembangkan uji coba. Dengan denikian, spekulatif merupakan unsure
esensial sikap ilmiah.
3. Kesediaan untuk bersifat obyektif (willingness to be objective) mencakup kesediaan untuk
mengikuti keingintahuan ilmiah (scientific curiosity), kesediaan untuk dibimbing melalui
pengalaman dan akal (penalaran), kesediaan untuk menerima data sebagai apa adanya
serta tidak bias, kesediaan untuk diubah oleh objek karena adanya penambahan
pengetahuan baru artinya kesediaan untuk diubah oleh hasil-hasil penelitian ilmiah,
kesediaan untu mengakui kekeliruan dan bersedia melakukan perubahan (trial and error)
untuk mencapai keberhasilan final, kesediaan untuk terus berusaha memahami obyek atau
masalah hingga dicapai suatu pemahaman (willingness to persist).
Objektifitas adalah salah satu hal dari sikap subjektifitas. Objek selalu merupakan objek
dari subjek. Objektifitas bukan saja berhubungan erat dengan eksistensi subjek tetapi juga
berhubungan dengan kesediaan subjek untuk memperoleh dan memegang suatu sikap
objektif. Bahm menyatakan bahwa kesediaan untuk menjadi objektif meliputi beberapa hal
yaitu :
a. Kesediaan untuk mengikuti rasa ingin tahu ilmiah kemana saja rasa itu
membimbing.
Kesediaan ini mengisyaratkan keingintahuan dan kepedulian tentang penyelidikan
lebih lanjut yang dibutuhkan demi pengertian sampai tahap kebijaksanaan yang
dimungkinkan.
b. Kesediaan untuk dituntun oleh pengalaman dan rasio.
Bahms menunjukkan bahwa ada perbedaan yang besar antara kaum empirisis yang
ekstrim dan rasionalis yang ekstrim. Empirisis ekstrim memandang bahwa kita dapat
memperoleh pengetahuan hanya berdasarkan hal yang partikular yaitu pengalaman
partikular yang dapat ditangkap indera di mana data diintuisi. Rasionalis ekstrim
memandang bahwa kita hanya dapat memperoleh pengetahuan karena hal yang
universal dan deduksi yang valid untuk itu. Tetapi sesungguhnya, yang partikular dan
universal dalam hal ini baik empirisis maupun rasionalis saling berinteraksi dan saling
bergantung dalam pengalaman dan proses-proses dari investigasi ilmiah tergantung
pada hubungan yang terbangun antara keduanya. Khusus tentang rasio, ditunjukkan
oleh Bahms dua pengertiannya yang seringkali berbeda dan dipisahkan. Di satu sisi,
rasio diartikan sebagai persesuaian pada hukum rasional. Di sisi lain, rasio diartikan
sebagai kemampuan untuk memilih apa yang terbaik di antara dua atau lebih
kemungkinan. Sesungguhnya, kedua pengertian itu saling berhubungan, bagi mereka
yang meyakini bahwa menjadi rasional sebagai penyesuaian dengan hukum rasional
melakukan itu karena mereka percaya bahwa penyesuaian itu merupakan pilihan yang
terbaik. Artinya, untuk memilih yang terbaik di antara dua atau lebih alternatif,
pilihan terbaik itu adalah persesuaian dengan hukum rasional.
Kesediaan untuk dibimbing baik oleh akal maupun pengalaman termasuk di dalamnya
kesediaan untuk menjadi rasional dalam kedua cara itu, rasio dan pengalaman.
c. Kesediaan untuk mau menerima
Yang dimaksudkan Bahms di sini adalah penerimaan terhadap data. Data adalah
sesuatu yang sebagaimana adanya (given) dalam pengalaman ketika objek-objek
diamati, diterima sebagai evidensi yang relevan bagi suatu masalah untuk dipecahkan.
Sikap ilmiah menurutnya termasuk kesediaan untuk menerima data sebagaimana
adanya, tidak sebelum diinterpretasikan dengan penilaian-penilaian bias dari
pengamat.
Data yang ditampilkan sebagaimana adanya baru dapat diinterpretasikan secara
ilmiah ketika diperhadapkan dengan hipotesis yang dibangun. Jika interpretasiinterpretasi itu berhasil memecahkan masalah, maka akan merefleksikan struktur yang
nyata dari masalah itu. Dengan demikian, data dan hipotesis dilihat sebagai instrumen
untuk menerima kebenaran tentang objek itu sendiri, dapat mewujudkan kesediaan
menjadi objektif.
Walaupun demikian, tiap formulasi dari suatu hipotesis yang eksplanatory terkandung
di dalamnya dua hal yaitu penemuan (pengamatan fakta-fakta tentang objek atau
masalah) dan hasil dari penemuan (ide-ide yang bertujuan untuk membangun konsep
tentang objek atau masalah). Objektifitas berarti objek, bukan subjek, yang menjadi
otoritas, sumber pengetahuan yang dicari oleh para ilmuan.
d. Kesediaan untuk diubah oleh objek
Ketika seorang ilmuan menemukan sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, dia
menjadi dirubah oleh tambahan pengetahuan barunya itu. Penemuan-penemuan baru
menjadikan konsep-konsep lama tentang dirinya sebagaimana hal-hal lain direvisi dan
direkonstruksi. Ketika seseorang tidak bersedia untuk diubah dalam hal-hal yang
dibutuhkan oleh hasil-hasil dari investigasi ilmiah yang berhasil, maka dia tidak
memiliki kesediaan untuk menjadi objektif.
e. Kesediaan untuk melakukan kesalahan
Kesediaan untuk melakukan kesalahan ada dalam pengertian baik untuk menerima
kebenaran maupun untuk menyatakan kebenaran. Kesediaan itu ada dalam kajian
terus menerus dan ketika suatu kajian tidak menunjukkan hasil memuaskan, kajian
lain dapat dilakukan. Dalam hal ini, frustasi ilmiah sangatlah membantu untuk
menemukan jalan-jalan kebenaran.
f. Kesediaan untuk bertahan
Tidak ada aturan yang menyatakan berapa lama seorang ilmuan harus bertahan dalam
pergulatan dengan masalah yang alot. Kesediaan untuk tetap objektif mensyaratkan
kesediaan untuk terus melanjutkan dan bertahan selama mungkin dan mencoba
mengerti objek atau masalah sampai pengertian diperoleh.
4. Berpandangan terbuka (open-mindedness), kesediaan untuk mempertimbangkan semua
saran yang relevan sehubung dengan hipotesa, metodologi dan bukti sehubungan dengan
suatu masalah. Termasuk dalam hal ini adalah kesediaan untuk memberikan toleransi
gagasan-gagasan baru, tidak hanya gagasan-gagasan yang berbeda dari ilmuwan lain
tetapi juga gagasan-gagasan kontrdiktif dengan kesimpulannya sendiri. Berpandangan
terbuka berarti juga mau mendengarkan dan menguji pandangan ilmuwan lain.
5. Kesediaan untuk menunda keputusan (willingness to suspend judgment) hingga semua
bukti yang diperlukan ada artinya bersedia untuk tetap ragu-ragu (uncertain) atau tidak
pati terhadap keputusannya tetap. Oleh karena itu, penundaan kesimpulan tersebut
diperlukan kesabaran.
6. Kesediaan untuk bersikap bahwa semua kesimpulan ilmiah bersifat sementara
(tentativity), seorang ilmuwan harus tetap bertahan pada pendapat dan hipotesisnya
selama hipotesisnya memang yang terbaik. Sebaliknya, dia harus merasa tidak yakin lagi
bilamana kesimpulan atau hipotesisnya sudah tidak lagi memenuhi syarat atau tidak bisa
menjamin. Dalam kondisi yang demikian, seorang ilmuwan juga harus bersedia untuk
tetap gigih (tenacious).
Studi dalam sejarah ilmu menyediakan fakta-fakta sitematik ilmiah yang telah mapan dan hampi
disepakati secara umum dalam sebuah jaman, ditetapkan selalu tidak memadai dan yang akhirnya
memberikan jalan pada konsepsi revolusioner sebagai pemimpin untuk membangun kemampanan
system baru sebagai dasar perbedaan pengertian secara radikal. Fakta-fakta sejarah paling tidak
menunjukan bahwa pendirian yang kuat yang menjadi pegangan sekarang dan sebagian besar rumit
dan system interpretasi memadai tersebar merata sebelum memberikan jalan untuk sesuatu yang lebih
baik. Selama kemungkin ini tetap prospektif, saat ini dogmatisme dipandang kesimpulan tanpa dasar.
Sikap ilmiah menghendaki bersikap tentative (sementara) dalam memandang semua kesimpulan yang
dihasilkan ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan untuk tidak dogmatis mengenai metode, karena
perbedaan kesimpulan lebih banyak terletak pada perbedaan metode yang digunakan untuk
membangun pengetahuan. Interpretasi terdahulu mengenai sikap ilmiah, menyangkut potret ilmuwan
yang senantiasa mengalami ketegangan antara ketahanan dan kesementaraan. Disatu sisi, ia harus
tetap bersabar dalam penyelidikannya dan berpegang pada hipotesanya sepanjang yang bisa
diperolehnya. Disisi lain, ia harus tetap tidak yakin bahwa kesimpulan terbaiknya tidak sepenuhnya
terjamin. Sekalipun seorang ilmuwan mungkin sebenarnya sangat menderita, namun pada dasarnya, ia
memang harus berkemauan untuk mengalami berbagai ketegangan, dengan mewujudkan kemauan
ganda yaitu kemauan untuk bertahan dan kemauan untu tetap bersifat sementara.
KESIMPULAN
Knowledge, menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari
melalui pengalaman kesadaran, informasi. Sedangkan Science didalamnya terkandung adanya
pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum
mengenai obyek studi yang lebih bersifat fisis [natural]. Jadi, “knowledge” dapat dipahami sebagai
pengetahuan yang mempunyai cakupan lebih luas dan umum, sedangkan “science” dapat dipahami
sebagi ilmu yang mempunyai cakupan yang lebih sempit dan khusus dalam arti metodis, sistematis,
dan ilmiah. “Ilmu” membentuk daya intelegensia yang melahirkan adanya skill atau ketrampilan yang
bias mengkonsumsi masalah-masalah atau kebutuhan keseharian. Sedangkan “pengetahuan”
membentuk daya moralitas keilmuan yang kemudian melahirkan tingkah laku dan perbuatan yang
berkaitan dengan masalah-masalah yang tercakup di dalam tujuan akhir kehidupan. Maka secara
filosofis, tidaklah berlebihan jika dipilih nama” ilmu-pengetahuan”
Science secara substansial setidaknya mengandung enam komponen, yaitu: problem, sikap, metode,
aktivitas, kesimpulan, dan efek.
Dua dari komponen tersebut yaitu
1. Problem/masalah
Masalah yang bersifat ilmiah saja yang bisa disebut sebagai komponen permulaan sains. Masalah
ilmiah setidaknya memiliki tiga karakter: komunikabilitas, mampu dipecahkan dengan sikap dan
metode ilmiah.
2. Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah memiliki ciri: keingintahuan, bersifat spekulatif, kesediaan untuk objektif, kesediaan
untuk menunda judgement, dan sifat tentatif.
REFERENSI
Bahm, A. (1980). What is Science. Albuquerque, New Mexico: World books
Suhartono, S. (2005). Fisafat Ilmu. Depok Sleman, Yogyakarta : Ar. Ruzz
The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty.
PENGETAHUAN BERDASARKAN TEROI ARCHIE J. BAHM
Oleh:
Shinta Kurnia Dewi
12702251010
Tyas Pratama Puja Kusuma
13702251007
Kalfein M. Wuisan
13702251027
Yus Hariadi
13702251042
Nuur Wachid Abdul Majid
13702251059
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
WHAT IS SCIENCE
Pendahuluan
(Terminologi : Pengetahuan, Ilmu, Ilmu Pengetahuan dan Sains)
Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiaannya seperti perasaan, pikiran, pengalaman,
pancaindera dan intuisi mampu menangkap alam kehidupannya dan mengabstraksikan tangkapan
tersebut dalam dirinya dengan berbagai bentuk “ketahuan” umpamanya kebiasaan, akal sehat, seni,
sejarah dan filsafat. Terminologi ketahuan ini diartikan sebagai keseluruhan bentuk produk kegiatan
manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu. Apa yang kita peroleh dalam proses mengetahui
tersebut tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya kita masukkan ke dalam kategori yang
disebut “ketahuan/pengetahuan” ini. Dalam bahasa Inggris sinonim dari pengetahuan ini adalah
“knowledge”. Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi umum yang mencakup segenap
bentuk yang kita ketahui, seperti filsafat, ekonomi, seni bela diri, matematika dll. Jadi matematika
termasuk dalam ketahuan (“knowledge”), seperti juga ekonomi, fisika, dan seni. Untuk membedakan
tiap-tiap bentuk anggota kelompok ketahuan (knowledge) ini terdapat tiga criteria yakni: ontologism,
epistemology, axiologis.
Jadi seluruh bentuk dapat digolongkan ke dalam kategori ketahuan (knowledge) dan masing masing
bentuk dapat dicirikan oleh obyek ontologis, landasan epistemologis dan landasan axiologisnya.
Salah satu dari bentuk ketahuan (“knowledge”) ditandai dengan:
1) obyek ontologis: pengalaman manusia, yakni segenap ujud yang dapat dijangkau lewat
pancaindera atau peranti (“device”) yang membantu kemampuan pancaindera;
2) landasan epistemologis: metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan logika
induktif dengan pengajuan hipotesis, atau yang disebut metode deduct hypotetico-verifikatif;
3) landasan axiologis: kemaslahatan manusia, artinya secara segenap ujud ketahuan itu secara
moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia.
Bentuk ketahuan (“knowledge”) seperti ini dalam bahasa Inggris disebut “science”. Dengan demikian
maka masalahnya adalah terdapat perbedaan antara “knowledge” dan “science”; antara ketahuan yang
bersifat umum dan bentuk ketahuan yang spesifik yang mempunyai obyek ontologis, landasan
epistemologis dan landasan axiologis yang khas. Lalu apakah sinonim-sinonim “knowledge” dan
“science” dalam bahasa Indonesia?
Alternatif pertama adalah menggunakan “ilmu pengetahuan” untuk “science” dan “pengetahuan”
untuk “knowledge”. Pengetahuan ilmiah bisa diartikan “scientific knowledge” yang dalam bahasa
Inggris adalah sinonim dengan “science” sedangkan ke-ilmu-pengetahuanan rasanya terlampau
dibikin-bikin. Alternatif kedua berdasarkan kepada asumsi bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya
adalah kedua benda, yakni “ilmu” dan “pengetahuan”. Dalam hal ini maka yang lebih tepat kiranya
adalah penggunaan kata “pengetahuan” untuk “knowledge” dan “ilmu” untuk “science”. Dengan
demikian maka “social sciences” kita terjemahkan menjadi “ilmu-ilmu sosial” dan “natural sciences”
menjadi “ilmu-ilmu alam”. Ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial dan humaniora (seni filsafat, bahasa dan
sebagainya) tercakup dalam “pengetahuan” yang merupakan terminologi generik. Kata sifat dari
“ilmu” adalah ilmiah” atau “keilmuan”, metode yang dipergunakan dalam kegiatan ilmiah (keilmuan)
adalah metode ilmiah (keilmuan). Ahli dalam bidang keilmuan adalah ilmuwan.
Sains adalah
terminologi yang dipinjam dari bahasa Inggris, yakni dari “science”. Keberadaan kedua adalah bahwa
terminologi “science” dalam bahasa asalnya penggunaannya sering dikaitkan dengan “natural
science”, seperti kimia. “Economics”, sering dikonotasikan sebagai bukan “science”, melainkan
“social studies”, yang mencakup “social sciences” lainnya. Dengan demikian maka terminologi
“science” sering dikaitkan dengan “teknologi”. Hal ini meskipun tidak disengaja dan mungkin tidak
disadari, menimbulkan jurang antara ilmu-ilmu social dan ilmu-ilmu alam.
WHAT IS SCIENCE
(PROBLEM & SCIENTIFIC ATTITUDE)
Archie J. Bahm
Archie J. Bahm menulis artikel tentang ilmu pengetahuan ini karena beberapa alasan, yaitu
antara lain:
1. Makin kompleksnya ilmu pengetahuan dalam segala pengertiannya, termasuk kompleksitas
dalam setiap konteks yang lebih khusus, dan beragamnya pandangan tentang sifat dasar ilmu
pengetahuan (nature of science) yang membuat penentuan suatu sifat dasar ilmu
pengetahuan menjadi bermasalah.
2. Masyarakat ilmiah telah mengabaikan kebutuhan akan penyelidikan ilmu pengetahuan
tentang ilmu pengetahuan yang diandalkan (biasanya disebut “Filsafat Ilmu Pengetahuan”).
3. Sebagai bahan perdebatan dengan pihak yang mendefenisikan ilmu pengetahuan dengan
tidak mengikutsertakan aksilogi dan nilai-nilai yang lainnya.
4. Ketiga hal diatas bersifat penting terutama dengan perkembangan dewasa ini, yaitu dengan
semakin berkembangnya teknologi dan industralisasi yang terkait erat dengan ilmu
pengetahuan (Pure science and technologhy are not antagonistic but in the long perpective
of history reveal themselves to be mutually fructifying, complementary). Selain proses
tersebut diatas dapat menimbulkan efek-efek negative juga tidak dapat dibalikkan kembali.
Untuk maksud diataslah Bham menulis artikel tentang Pengetahuan dan menawarkan
pemikirannya tentang sifat dasar ilmu pengetahuan (the nature of science). Dalam deskripsi tentang
pemikirannya itulah maka banyak dijumpai berbagai posisi dari beragamnya ilmu pengetahuan yang
eksis sekarang ini, dan disitu Bahm mencoba untuk berusaha menanggapi, mensintesiskan,
mengkritik, mengusulkan normativitas, dan pada akhirnya mengambil posisinya sendiri diantara
keberagaman itu. Deskripsi tersebut adalah sebagai berikut :
I.
MASALAH (PROBLEM)
Tidak semua masalah dianggap ilmiah (scientific). Untuk dapat dikatakan bahwa suatu
masalah dikarakteristikkan sebagai ilmiah paling tidak harus memiliki 3 (tiga) hal yaitu :
Communicability (mampu untuk dapat dikomunikasikan), Sikap Ilmiah dan Metode Ilmiah.
‐
Archie J. Bahm Mengatakan, bahwa suatu masalah tidak layak untuk dikatakan ilmiah
(scientific) jika tidak dapat dikomunikasikan. Seorang ilmuan yang menemukan suatu
masalah dan kemudian menganalisanya secara pribadi untuk jangka waktu yang lama dan
tidak mengkomunikasikan kepada orang lain, belu bisa dikatakan ilmiah. Suatu masalah
untuk dapat mencapai status “Menjadi Ilmiah” (Scientific) harus dikomunikasikan.
‐
Suatu masalah dikatakan ilmiah bila dapat didekati dengan cara-cara sikap ilmiah
(Scientific Attitude).
‐
Suatu masalah dapat dikatakan ilmiah bila dilakukan dengan cara-cara metode ilmiah
(Scientific Method). Tidaklah dapat dikatakan ilmiah bila metode ilmiahnya tidak dapat
diterapkan.
Ilmu bermula dari pemecahan permasalah, tapi tidak semua permasalahan merupakan
masalah keilmuan. Persoalan ilmiah harus selalu dapat dikomunikasikan. Seorang ilmuwan
yang
menemukan
problem
dan
berusahaan
mencari
pemecahannya.
Kemudian
mengkomunikasikan kesimpulannya pada yang lain, hal ini menunjukkan tidak masuk akal
untuk menilai bahwa pekerjaan pribadinya tidak ilmiah. Komunikasi itu memadai. Tetapi
permasalahan yang tidak dapat dikomunikasikan tidak mencapai status "masalah ilmiah"
(scientific problem).
Kajian berikut ini akan dilihat secara berurutan dari keenam kompenen di atas. Mengapa
masalah merupakan komponen penting ? menurut Bahm, ilmu pengetahuan itu ada karena
masalah yang terpecahkan. Dengan kata lain tanpa masalah tidak akan ada ilmu pengetahuan,
tanpa masalah tidak ada solusi, dengan sendirinya tidak akan ada pengetahuan ilmiah.
Berangkat dari pandangan di atas akan muncul pertanyaan baru. Pertama apakah semua
masalah itu ilmiah? Apa yang menyebabkan masalah menjadi ilmiah? Jika jawaban pertama
adalah tidak semua masalah itu ilmiah, lalu apa yang menjadikan masalah menjadi ilmiah?
Meski para ilmuan berbeda-beda dalam menjawab pertanyaan di atas, namun Archie J. Bahm
mengajukan hipotesa bahwa masalah dianggap ilmiah jika memenuhi tiga ciri khas, yaitu
dapat dikomunikasikan, bisa didekati dengan sikap ilmiah dan metode ilmiah. Demikian pula
sebaliknya, jika masalah yang dimaksud tidak memenuhi tiga karakter di atas maka tidak
layak di anggap sebagai masalah ilmiah. Dengan demikian masalah yang dapat
dikomunikasikan, mampu didekati dengan sikap dan metode ilmiah, maka ia disebut sebagai
masalah yang ilmiah.
II.
SIKAP ILMIAH (SCIENTIFIC ATTITUDE)
Sikap ilmiah paling tidak mencakup 6 unsur utama yakni keingintahuan (curiosity), spekulatif
(speculativeness), kesediaan untuk bersifat obyektif (willingness to be objective),
berpandangan terbuka (open-mindedness), kesediaan untuk menangguhkan keputusan,
tentative (sifatnya sementara).
1. Keingintahuan (Curiosity), keingintahuan ilmiah menyangkut tentang bagaimana sesuatu
itu ada, sifat, fungsi serta hubungannya dengan yang lain.
Tujuan ilmiah adalah pemahaman. Aktivitas ini terus berlanjut dan berkembang melalui
pencarian, penelitian, pengujian, eksplorasi, penjajakan dan eksperimen.
Rasa ingin tahu ilmiah adalah memperhatikan rasa ingin tahu. Ini menyangkut tentang
bagaimana ada benda-benda, apa karakter dasarnya, bagaiman mereka berfungsi, dan
bagaimana mereka dihubungkan pada benda-benda lain. Rasa ini bertujuan untuk
pemahaman. Ini berkembang mendalam dan berkelanjutan yang mengarah pada
penyelidikan, penelitian, pengujian, eksplorasi, penjelajahan, dan eksperimentasi.
Seorang ilmuawan tidak akan dalam sikap ilmiah melampau bidangnya karena memang
mereka dilatih dalam sikap ilmiahnya untuk mengatasi persoalan sesuai dengan bidang
keilmuan yang dikuasainya. Sebagian ilmuwan menjadikan sikap ilmiah ini menjadi
bagian pandangan hidup mereka, sehingga mereka cenderung untuk ingin tahu akan
segala sesuatu.
2. Spekulasi (Speculativeness), untuk menjadi ilmiah seseorang harus mau mencoba untuk
memecahkan masalah, melakukan beberapa upaya dan solusinya dengan mangajukan satu
atau lebih hipotesis dengan resiko pendapatnya tidak diakui. Tetapi tetap harus dilakukan
hipotesis alternative secara berlanjut. Hipotesis awal memang sering spekulatif dan setap
hipotesis baru melibatkan beberapa spekulasi. Spekulasi ini memang disengaja dan sangat
perlu di dalam mengembangkan uji coba. Dengan denikian, spekulatif merupakan unsure
esensial sikap ilmiah.
3. Kesediaan untuk bersifat obyektif (willingness to be objective) mencakup kesediaan untuk
mengikuti keingintahuan ilmiah (scientific curiosity), kesediaan untuk dibimbing melalui
pengalaman dan akal (penalaran), kesediaan untuk menerima data sebagai apa adanya
serta tidak bias, kesediaan untuk diubah oleh objek karena adanya penambahan
pengetahuan baru artinya kesediaan untuk diubah oleh hasil-hasil penelitian ilmiah,
kesediaan untu mengakui kekeliruan dan bersedia melakukan perubahan (trial and error)
untuk mencapai keberhasilan final, kesediaan untuk terus berusaha memahami obyek atau
masalah hingga dicapai suatu pemahaman (willingness to persist).
Objektifitas adalah salah satu hal dari sikap subjektifitas. Objek selalu merupakan objek
dari subjek. Objektifitas bukan saja berhubungan erat dengan eksistensi subjek tetapi juga
berhubungan dengan kesediaan subjek untuk memperoleh dan memegang suatu sikap
objektif. Bahm menyatakan bahwa kesediaan untuk menjadi objektif meliputi beberapa hal
yaitu :
a. Kesediaan untuk mengikuti rasa ingin tahu ilmiah kemana saja rasa itu
membimbing.
Kesediaan ini mengisyaratkan keingintahuan dan kepedulian tentang penyelidikan
lebih lanjut yang dibutuhkan demi pengertian sampai tahap kebijaksanaan yang
dimungkinkan.
b. Kesediaan untuk dituntun oleh pengalaman dan rasio.
Bahms menunjukkan bahwa ada perbedaan yang besar antara kaum empirisis yang
ekstrim dan rasionalis yang ekstrim. Empirisis ekstrim memandang bahwa kita dapat
memperoleh pengetahuan hanya berdasarkan hal yang partikular yaitu pengalaman
partikular yang dapat ditangkap indera di mana data diintuisi. Rasionalis ekstrim
memandang bahwa kita hanya dapat memperoleh pengetahuan karena hal yang
universal dan deduksi yang valid untuk itu. Tetapi sesungguhnya, yang partikular dan
universal dalam hal ini baik empirisis maupun rasionalis saling berinteraksi dan saling
bergantung dalam pengalaman dan proses-proses dari investigasi ilmiah tergantung
pada hubungan yang terbangun antara keduanya. Khusus tentang rasio, ditunjukkan
oleh Bahms dua pengertiannya yang seringkali berbeda dan dipisahkan. Di satu sisi,
rasio diartikan sebagai persesuaian pada hukum rasional. Di sisi lain, rasio diartikan
sebagai kemampuan untuk memilih apa yang terbaik di antara dua atau lebih
kemungkinan. Sesungguhnya, kedua pengertian itu saling berhubungan, bagi mereka
yang meyakini bahwa menjadi rasional sebagai penyesuaian dengan hukum rasional
melakukan itu karena mereka percaya bahwa penyesuaian itu merupakan pilihan yang
terbaik. Artinya, untuk memilih yang terbaik di antara dua atau lebih alternatif,
pilihan terbaik itu adalah persesuaian dengan hukum rasional.
Kesediaan untuk dibimbing baik oleh akal maupun pengalaman termasuk di dalamnya
kesediaan untuk menjadi rasional dalam kedua cara itu, rasio dan pengalaman.
c. Kesediaan untuk mau menerima
Yang dimaksudkan Bahms di sini adalah penerimaan terhadap data. Data adalah
sesuatu yang sebagaimana adanya (given) dalam pengalaman ketika objek-objek
diamati, diterima sebagai evidensi yang relevan bagi suatu masalah untuk dipecahkan.
Sikap ilmiah menurutnya termasuk kesediaan untuk menerima data sebagaimana
adanya, tidak sebelum diinterpretasikan dengan penilaian-penilaian bias dari
pengamat.
Data yang ditampilkan sebagaimana adanya baru dapat diinterpretasikan secara
ilmiah ketika diperhadapkan dengan hipotesis yang dibangun. Jika interpretasiinterpretasi itu berhasil memecahkan masalah, maka akan merefleksikan struktur yang
nyata dari masalah itu. Dengan demikian, data dan hipotesis dilihat sebagai instrumen
untuk menerima kebenaran tentang objek itu sendiri, dapat mewujudkan kesediaan
menjadi objektif.
Walaupun demikian, tiap formulasi dari suatu hipotesis yang eksplanatory terkandung
di dalamnya dua hal yaitu penemuan (pengamatan fakta-fakta tentang objek atau
masalah) dan hasil dari penemuan (ide-ide yang bertujuan untuk membangun konsep
tentang objek atau masalah). Objektifitas berarti objek, bukan subjek, yang menjadi
otoritas, sumber pengetahuan yang dicari oleh para ilmuan.
d. Kesediaan untuk diubah oleh objek
Ketika seorang ilmuan menemukan sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, dia
menjadi dirubah oleh tambahan pengetahuan barunya itu. Penemuan-penemuan baru
menjadikan konsep-konsep lama tentang dirinya sebagaimana hal-hal lain direvisi dan
direkonstruksi. Ketika seseorang tidak bersedia untuk diubah dalam hal-hal yang
dibutuhkan oleh hasil-hasil dari investigasi ilmiah yang berhasil, maka dia tidak
memiliki kesediaan untuk menjadi objektif.
e. Kesediaan untuk melakukan kesalahan
Kesediaan untuk melakukan kesalahan ada dalam pengertian baik untuk menerima
kebenaran maupun untuk menyatakan kebenaran. Kesediaan itu ada dalam kajian
terus menerus dan ketika suatu kajian tidak menunjukkan hasil memuaskan, kajian
lain dapat dilakukan. Dalam hal ini, frustasi ilmiah sangatlah membantu untuk
menemukan jalan-jalan kebenaran.
f. Kesediaan untuk bertahan
Tidak ada aturan yang menyatakan berapa lama seorang ilmuan harus bertahan dalam
pergulatan dengan masalah yang alot. Kesediaan untuk tetap objektif mensyaratkan
kesediaan untuk terus melanjutkan dan bertahan selama mungkin dan mencoba
mengerti objek atau masalah sampai pengertian diperoleh.
4. Berpandangan terbuka (open-mindedness), kesediaan untuk mempertimbangkan semua
saran yang relevan sehubung dengan hipotesa, metodologi dan bukti sehubungan dengan
suatu masalah. Termasuk dalam hal ini adalah kesediaan untuk memberikan toleransi
gagasan-gagasan baru, tidak hanya gagasan-gagasan yang berbeda dari ilmuwan lain
tetapi juga gagasan-gagasan kontrdiktif dengan kesimpulannya sendiri. Berpandangan
terbuka berarti juga mau mendengarkan dan menguji pandangan ilmuwan lain.
5. Kesediaan untuk menunda keputusan (willingness to suspend judgment) hingga semua
bukti yang diperlukan ada artinya bersedia untuk tetap ragu-ragu (uncertain) atau tidak
pati terhadap keputusannya tetap. Oleh karena itu, penundaan kesimpulan tersebut
diperlukan kesabaran.
6. Kesediaan untuk bersikap bahwa semua kesimpulan ilmiah bersifat sementara
(tentativity), seorang ilmuwan harus tetap bertahan pada pendapat dan hipotesisnya
selama hipotesisnya memang yang terbaik. Sebaliknya, dia harus merasa tidak yakin lagi
bilamana kesimpulan atau hipotesisnya sudah tidak lagi memenuhi syarat atau tidak bisa
menjamin. Dalam kondisi yang demikian, seorang ilmuwan juga harus bersedia untuk
tetap gigih (tenacious).
Studi dalam sejarah ilmu menyediakan fakta-fakta sitematik ilmiah yang telah mapan dan hampi
disepakati secara umum dalam sebuah jaman, ditetapkan selalu tidak memadai dan yang akhirnya
memberikan jalan pada konsepsi revolusioner sebagai pemimpin untuk membangun kemampanan
system baru sebagai dasar perbedaan pengertian secara radikal. Fakta-fakta sejarah paling tidak
menunjukan bahwa pendirian yang kuat yang menjadi pegangan sekarang dan sebagian besar rumit
dan system interpretasi memadai tersebar merata sebelum memberikan jalan untuk sesuatu yang lebih
baik. Selama kemungkin ini tetap prospektif, saat ini dogmatisme dipandang kesimpulan tanpa dasar.
Sikap ilmiah menghendaki bersikap tentative (sementara) dalam memandang semua kesimpulan yang
dihasilkan ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan untuk tidak dogmatis mengenai metode, karena
perbedaan kesimpulan lebih banyak terletak pada perbedaan metode yang digunakan untuk
membangun pengetahuan. Interpretasi terdahulu mengenai sikap ilmiah, menyangkut potret ilmuwan
yang senantiasa mengalami ketegangan antara ketahanan dan kesementaraan. Disatu sisi, ia harus
tetap bersabar dalam penyelidikannya dan berpegang pada hipotesanya sepanjang yang bisa
diperolehnya. Disisi lain, ia harus tetap tidak yakin bahwa kesimpulan terbaiknya tidak sepenuhnya
terjamin. Sekalipun seorang ilmuwan mungkin sebenarnya sangat menderita, namun pada dasarnya, ia
memang harus berkemauan untuk mengalami berbagai ketegangan, dengan mewujudkan kemauan
ganda yaitu kemauan untuk bertahan dan kemauan untu tetap bersifat sementara.
KESIMPULAN
Knowledge, menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari
melalui pengalaman kesadaran, informasi. Sedangkan Science didalamnya terkandung adanya
pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum
mengenai obyek studi yang lebih bersifat fisis [natural]. Jadi, “knowledge” dapat dipahami sebagai
pengetahuan yang mempunyai cakupan lebih luas dan umum, sedangkan “science” dapat dipahami
sebagi ilmu yang mempunyai cakupan yang lebih sempit dan khusus dalam arti metodis, sistematis,
dan ilmiah. “Ilmu” membentuk daya intelegensia yang melahirkan adanya skill atau ketrampilan yang
bias mengkonsumsi masalah-masalah atau kebutuhan keseharian. Sedangkan “pengetahuan”
membentuk daya moralitas keilmuan yang kemudian melahirkan tingkah laku dan perbuatan yang
berkaitan dengan masalah-masalah yang tercakup di dalam tujuan akhir kehidupan. Maka secara
filosofis, tidaklah berlebihan jika dipilih nama” ilmu-pengetahuan”
Science secara substansial setidaknya mengandung enam komponen, yaitu: problem, sikap, metode,
aktivitas, kesimpulan, dan efek.
Dua dari komponen tersebut yaitu
1. Problem/masalah
Masalah yang bersifat ilmiah saja yang bisa disebut sebagai komponen permulaan sains. Masalah
ilmiah setidaknya memiliki tiga karakter: komunikabilitas, mampu dipecahkan dengan sikap dan
metode ilmiah.
2. Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah memiliki ciri: keingintahuan, bersifat spekulatif, kesediaan untuk objektif, kesediaan
untuk menunda judgement, dan sifat tentatif.
REFERENSI
Bahm, A. (1980). What is Science. Albuquerque, New Mexico: World books
Suhartono, S. (2005). Fisafat Ilmu. Depok Sleman, Yogyakarta : Ar. Ruzz
The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty.