INTERNALISASI PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DA
INTERNALISASI PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DAN POLITIK
MELALUI TEKNOLOGI “CERIA” PADA ANAK SEKOLAH DASAR
Oleh: Naufal Ilma
PENDAHULUAN
Secara yuridis formal Pendidikan Nasional sebagaimana tertuang dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu, pembentukan watak warga
negara menjadi hal penting dalam dunia pendidikan. Hal ini sebagaimana tujuan
yang di emban oleh Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik.
Menurut Handoyo (2009: 33) setidaknya terdapat 3 tujuan anti korupsi pertama,
pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai bentuk korupsi
dan aspek-aspeknya; kedua, perubahan sikap dan dan persepsi terhadap korupsi;
ketiga, pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk
melawan korupsi. Disisi lain, Sebagaimana pendapat yang pernah dilontarkan oleh
Ruslan (2000: 7) menyatakan bahwa pendidikan politik itu merupakan upaya
untuk menyiapkan kader bangsa dalam menghadapi persoalan sosial dalam medan
kehidupan dalam bentuk atensi dan pertisipasi, menyiapkan mereka untuk
mengembangkan tanggung jawab, dan memberi kesempatan yang memungkinkan
untuk mereka menunaikan hak dan kewajibannya. Harapan dan cita-cita besar
begitu jelas bawasannya melalui Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik
diharapkan mampu menciptakan Indonesia yang kuat dan bersih dengan karakter
unggulnya.
Namun, apabila kita mencermati perjalanan hidup bangsa Indonesia
beberapa dekade terakhir ini, begitu nampak bahwa tengah terjadi turbulensi
moralitas dalam kehidupan sosial-kultural yang kemudian mengendap dan
menyebabkan sebagian besar dari masyarakat cenderung berpikir apatis dan
pragmatis terhadap permasalahan bangsa. Sudah barang pasti hal ini disebabkan
oleh potret kehidupan politik Indonesia yang cenderung terintervensi oleh “tangan
elit politik” yang semakin jauh dari komitmen dan konsensus reformasi. Hal ini
senada dengan pendapat yang dilontarkan oleh Soegeng Koesman dalam buku
Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut dan Centang Perentang Krisis Multi
Dimensi di Era Reformasi, menyatakan bahwa citra politik telah bergeser dari
Idealisme menjadi politik kepentingan, politik merebut kekuasaan. Disisi lain
Handoyo mengungkapkan faktor politik merupakan salah satu yang menyebabkan
terjadinya korupsi, karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh money
politic. Lebih lanjut, Terrence Gomez (1994) melontarkan pendapat bahwa money
politik merupakan use of money and material benefits in the persuit of political
infuence. Dengan merujuk pada serangkain pendapat diatas, penulis tidak
menyangkal bahwa persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia di sebabkan oleh
faktor politik sebagai penyebab utama yang telah menjadi keniscayaan.
Merujuk pada data terakhir yang dilansir oleh Indonesian Corruption Watch
menunjukan bahwa perkembangan pemeberantasan korupsi di Indonesia belum
dapat menemukan hasil yang maksimal, karena Indonesia masih termasuk dalam
jajaran negara yang dipersepsikan terkorup, dengan skor IPK 3 dari 10. Indonesia
menempati peringkat ke-100 dari 183 negara, dimana skor tersebut sejajar dengan
Argentina, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Suriname, dan
Tanzania.
Menyingkap lebih dalam mengenai hal ini, korupsi bisa dikatakan telah
menjadi suatu keniscayaan dari berbagai faktor kebrutalan “bandit terpelajar” di
Indonesia, lebih dalam dari itu korupsi merupakan tindakan immoral yang
memiliki daya rusak yang luar biasa dalam tatanan kehidupan sosial secara
langsung menggerogoti sendi bangunan ekonomi dan politik suatu bangsa
(Sudjana 2008:89). Sedangkan Eko Handoyo dalam buku Pendidikan Anti
Korupsi melontarkan pandangan bahwa eksistensi korupsi di Indonesia bertalian
dengan sistem dan kultur yang tidak memberikan ruang gerak yang cukup bagi
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Penulis sendiri beranggapan
bahwa rasa-rasanya korupsi telah menjadi penyakit yang menggurita di tingkat
lembaga negara.
Berangkat dari pernyataan di atas, menunjukan bahwa diperlukan
pembangunan sumber daya manusia secara komprehensif-integral yang harus
dilakukan oleh semua pihak, dan salah satunya ialah melalui pendidikan, karena
pendidikan merupakan salah satu indikator utama pembangunan kualitas sumber
daya manusia. Dari pandangan tersebut, berbagai tantangan dan ancaman korupsi
setidak-tidaknya mampu direduksi bahkan dibumihanguskan dengan upaya
pendidikan yaitu diantaranya ialah melalui internalisasi atau penghayatan
Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik sejak dini. Secara kontektual,
manifestasi dari tawaran solutif tersebut ialah mampu diupayakan sebagai langkah
inovatif dan preventif untuk membangun generasi unggul dengan karakter anti
korupsi yang kuat. Sebagaimana menurut Ali Mustadi menyatakan bahwa
pendidikan tak cukup hanya untuk membuat anak pandai, tetapi juga harus
mampu menciptakan nilai luhur atau karakter bangsa, oleh karena itu, penanaman
nilai-nilai luhur atau karakter harus dilakukan atau dimulai sejak dini. Lebih lanjut
menurut Piaget, usia anak sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit,
karena usia ini
terbukti
sangat
menentukan kemampuan anak
dalam
mengembangkan potensinya. Sehingga dalam jangka panjang sebagaimana
pendapat yang dilontarkan oleh Muhammad Takdir Ilahi dalam buku
Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa: Paradigma Pembangunan dan
Kemandirian bangsa pendidikan menjadi tonggak determinasi dalam menopang
kemajuan suatu bangsa, terlebih-lebih generasi yang ada di dalamnya.
Bertolak dari berbagai pemikiran dan problematika di atas, penulis memiliki
tawaran solutif dalam mewujudkan Indonesia anti korupsi yaitu melalui
internalisasi (penghayatan) Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik pada
siswa sekolah dasar melalui teknologi Ceria (Cerdas-Inovatif-Arif).
Teknologi Ceria (Cerdas-Inovatif-Arif) merupakan gambaran teknologi yang
mampu diterapkan dalam internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan
Politik guna mencapai tujuan praktis terwujudnya Indonesia Anti Korupsi. Oleh
sebab itu, Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik harus segera digiatkan
yang mana hal ini merupakan ekualitas kita bersama karena korupsi dan
penyimpangan politik dengan kejahatan sistematisnya hanya mampu diatasi dan
dibumi hanguskan melalui dedication of life para generasi yang berdaya juang
tinggi dengan karakter dan idealismenya keunggulannya.
PEMBAHASAN
Internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik
Berbagai rentetan kasus tidakan politik yang menyimpang dengan
corruption culture yang sudah mengakar kini tengah menjakiti bangsa Indonesia
sehingga penting kaitannya dalam merubah paradigma lebih kepada keinginan
(will) kita ingin tetap bertahan dan diam atau melawan. Upaya yang diperlukan
sekarang ialah membuat suatu gebrakan-gebrakan penting yang berbentuk direct
of change dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang salah satunya yakni
melalui internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik. Sebelum
beranjak lebih jauh, kita harus menentukan scope dan sequence internalisasi
Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik terlebih dahulu dalam upaya
memperjelas tujuan dan fokus pembahasan. Aristoteles jauh-jauh hari pernah
berkata bahwa manusia merupakan zoon politikon (makhluk sosial atau makhluk
politik). Kemudian, disusul pandangan Merriam Budihardjo (2008) menyatakan
bahwa politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Merujuk dua
pandangan diatas penulis menguraikan bahwa politik merupakan suatu
keniscayaan yang akan dihadapi oleh setiap manusia tanpa terkecuali guna
mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebagaimana diungkapkan dimuka sebagai
faktor utama penyebab korupsi di Indonesia faktor politik, maka diperlukan
pemahaman mendalam (deep understanding) mengenai Pendidikan Anti Korupsi
dan Pendidikan Politik dari setiap elemen masyarakat sejak dini.
Uraian singkat di atas menunjukan bahwa penting kaitannya Pemahaman
mengenai apa sajakah yang perlu diinternalisasikan melalui Pendidikan Anti
Korupsi dan Pendidikan Politik. Sebab tanpa hal itu penanaman nilai-nilai anti
korupsi dan nilai-nilai etika politik yang bersih akan menjadi hal yang diidamkan
semata, yang sudah barang pasti nilai-nilai terebut harus kita realisasikan dalam
tataran praksis kehidupan. Pertama, sebagaimana diungkapkan dalam Dalam
Diktat Pendidikan Generasi Muda dan Kepramukaan yang dikeluarkan oleh
jurusan Politik dan Kewarganegaraan disebutkan bahwa Inti dari Pendidikan
Politik adalah pemahaman politik dan aspek-aspek politis dari setiap
permasalahan. Lebih lanjut, menurut Cecep Darmawan (2011), pendidikan politik
adalah sebuah upaya pembangunan karakter bangsa (nation character) yang akan
dipersiapkan untuk masa depan. Sehingga lewat internalisasi (penghayatan)
Pendidikan Politik diharapkan mampu menciptakan kader bangsa yang
memahami aspek politis dari setiap permasalahan.
Kedua, Hal ini inheren dengan focus Interest dari Pendidikan Anti Korupsi
yakni, fokus awal dari Pendidikan Anti Korupsi adalah siswa menghayati dan
memahami nilai moral, dan membentuk prilaku hingga nilai tersebut terbentuk
secara internal melalui pembiasaan (Handoyo, 2009:9). Selanjutnya korupsi
dilihat dalam konteks pendidikan adalah tindakan untuk mengendalikan atau
mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong generasigenerasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk
tindak korupsi (Buchori, Muchtar, 2007). Uraian dalam bagian ini menunjukan
bahwa dengan internalisasi (pengahayatan) Pendidikan Anti Korupsi memiliki
tekad untuk membekali individu untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi secara
kuat dan tegas.
Teknologi “Ceria” (Cerdas-Inovatif-Arif) Upaya Efektif dan Preventif
Mewujudkan Indonesia Anti Korupsi
Teknologi Ceria merupakan integrasi dari tiga komponen indikator praktis
yakni cerdas, inovatif, dan arif sebagai upaya solutif yang ditawarkan penulis
guna melakukan internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik
pada anak sekolah dasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia teknologi
merupakan metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis. Dewasa ini teknologi
berkembang begitu pesat sehingga Cepi Riyana pernah melontarkan pendapatnya
bahwa proses dan produk teknologi yang dihasilkan, tidak semuanya dapat
dimanfaatkan dan secara relevan dapat dimanfaatkan untuk pendidikan terutama
untuk proses dan hasil pembelajaran. Selanjutnya Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) memilliki tiga fungsi utama yang digunakan dalam kegiatan
pembelajaran, yaitu (1) teknologi berfungsi sebagai alat (tools); (2) Teknologi
berfungsi sebagai ilmu pengetahuan (science); (3) Teknologi berfungsi sebagai
bahan dan alat bantu untuk pembelajaran (literacy). Mengacu dari tiga fungsi
tersebut maka penulis berasumsi bahwa melalui teknologi “Ceria”, akan
terciptanya sebuah teknologi yang cerdas, inovatif, dan arif dalam upaya
internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik. Kemudian, ketiga
indikator teknologi tersebut dapat jabarkan sebagai berikut:
1. Cerdas, dalam hal ini teknologi dimaknai sebagai ilmu pengetahuan yang mampu
menggali potensi kecerdasan yang meliputi cerdas spiritual, emosional & sosial,
intelektual dan kinetik. Sebagai contoh dalam konteks permasalahan yang dibahas
ialah internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik melalui
pemanfaatan media Short Message Service (SMS) sebagai sistem tutor cerdas
(intelligent tutoring system) dalam menanamkan nilai anti korupsi. Sebagaimana
pendapat Varik, dkk., sistem tutor cerdas (intelligent tutoring system) sendiri
merupakan sebuah program software yang menyediakan instruksi untuk seorang
pelajar dengan cara membimbing seperti seorang guru.
2. Inovatif, secara sederhana menurut Dinn Wahyudin dan Rudi Susiliana, inovasi
dimaknai sebagai pembaruan atau perubahan dengan ditandai oleh adanya hal
baru. Bertitik tolak pandangan diatas, teknologi pembelajaran dengan berbagai
terobosannya diekspektasikan mampu memberikan inovasi baru dalam memintasi
berbagai masalah pendidikan yang bersifat mendesak. Sebagai contoh
kontekstualnya ialah dengan memanfaatkan game dalam menanamkan nilai anti
korupsi, baik itu bersifat statis maupun dinamis seperti: monopoli anti korupsi dan
ular tangga anti korupsi.
3. Arif, dalam konteks ini penggunaan teknologi dalam kependidikan perlulah
bersikap bijaksana dan mengusung local wisdom sebagaimana menurut Ilahi
(2012) local wisdom tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan nilai budaya
lokal, tetapi juga sebagai upaya mengapresiasi nilai budaya yang selama ini sudah
menjadi kebanggaan bangi bangsa Indonesia. Dalam konteks pembahasan penulis
memberikan contoh penanaman nilai anti korupsi melalui cerita-cerita rakyat yang
terintegrasi dalam film animasi modern atau digital.
Uraian singkat diatas menjelaskan bahwa internalisasi Pendidikan Anti
Korupsi
dan
Pendidikan
Politik
melalui
teknologi
Ceria
ini
mampu
mengekspolrasi segala kemampuan peserta didik. Penulis sendiri berpandangan
bahwa terlebih apabila teknologi ini diterapkan pada anak sekolah dasar dengan
segala karakteristiknya akan terjadi keefektifan yang signifikan. Selain itu
internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik melalui teknologi
Ceria (Cerdas-Inovatif-Arif) diekspektasikan mampu menjadikan teknologi yang
dimaksud berfungsi secara maksimal baik sebagai alat (tools), pengetahuan
(science), dan alat bantu pembelajaran (literacy).
Di luar takrifan di atas, teknologi apapun yang dilakukan dan diterapkan
dalam proses kegiatan belajar mengajar, pendidik harus mengerti bahwa peranan
guru ialah sangat penting dalam kaitannya pembentukan karakter peserta didik.
Setidaknya ada lima peran guru (starting point) yang harus dipenuhi menurut
Wiyani (2012) yakni 1) keteladanan; 2) inspirator; 3) Motivator; 4) Dinamisator;
5) Evaluator, guna menunjang teknologi yang telah ditawarkan di atas.
SIMPULAN
Pendidikan merupakan aset berharga dalam menentukan kemajuan suatu bangsa
karena melalui pendidikan nilai karakter dapat ditransformasikan dari suatu
generasi kepada generasi selanjutnya. Menghadapi permasalahan bangsa yang
berupa korupsi dan persoalan politik yang semakin kompleks maka dunia
pendidikan menjadi salah satu tawaran solutif diantara berbagai solusi yang lain.
Penulis mengungkapkan pentingnya pendidikan anti korupsi dan pendidikan
poltik yang harus dilakukan sedini mungkin untuk membentuk manusia Indonesia
yang berintegritas yaitu salah satunya pada pendidikan sekolah dasar. Penulis
berpandangan bahwa persoalan korupsi tidak bisa dilepaskan dari persoalan
politik, keduanya bagaikan dua sisi mata uang. Bertolak dari hal tersebutlah maka
upaya anti korupsi dan kecerdasan politik perlu dibangun. Dalam tulisan ini
penulis mengangkat internalisasi Pendidikan Anti korupsi dan Pendidikan Politik
pada anak sekolah dasar dengan metode ceria yang merupakan pengejawantahan
dari kata cerdas, inovatif, dan arif. Cerdas dicontohkan dengan metode short
message service berupa pesan-pesan tentang anti korupsi dan integritas, Inovatif
salah satunya bertumpu pada contoh aplikasi game anti korupsi dan arif
menekankan pada local wisdom yang berupa cerita rakyat yang dikombinasikan
dengan tranformasi modern. Melalui ketiga teknologi tersebut maka ada
internalisasi nilai karakter anti korupsi dan kecerdasan politik sehingga bangunan
karakter bangsa dapat terwujud sejak dini.
REFERENSI
Baca, dan cermati dalam Darmawan, Cecep, Urgensi Pendidikan Politik Pasca
Era Reformasi, , diunduh---- pada tanggal 3 November 2013
Cermati, Handoyo, Eko, Pendidikan Anti Korupsi (Semarang: Fakultas Ilmu
Sosial Unnes Press, 2010), hal 53
Lihat, Widadi, Apung, Masih Terkorup Juga, , diunduh pada tanggal 3
November 2013
MELALUI TEKNOLOGI “CERIA” PADA ANAK SEKOLAH DASAR
Oleh: Naufal Ilma
PENDAHULUAN
Secara yuridis formal Pendidikan Nasional sebagaimana tertuang dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu, pembentukan watak warga
negara menjadi hal penting dalam dunia pendidikan. Hal ini sebagaimana tujuan
yang di emban oleh Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik.
Menurut Handoyo (2009: 33) setidaknya terdapat 3 tujuan anti korupsi pertama,
pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai bentuk korupsi
dan aspek-aspeknya; kedua, perubahan sikap dan dan persepsi terhadap korupsi;
ketiga, pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk
melawan korupsi. Disisi lain, Sebagaimana pendapat yang pernah dilontarkan oleh
Ruslan (2000: 7) menyatakan bahwa pendidikan politik itu merupakan upaya
untuk menyiapkan kader bangsa dalam menghadapi persoalan sosial dalam medan
kehidupan dalam bentuk atensi dan pertisipasi, menyiapkan mereka untuk
mengembangkan tanggung jawab, dan memberi kesempatan yang memungkinkan
untuk mereka menunaikan hak dan kewajibannya. Harapan dan cita-cita besar
begitu jelas bawasannya melalui Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik
diharapkan mampu menciptakan Indonesia yang kuat dan bersih dengan karakter
unggulnya.
Namun, apabila kita mencermati perjalanan hidup bangsa Indonesia
beberapa dekade terakhir ini, begitu nampak bahwa tengah terjadi turbulensi
moralitas dalam kehidupan sosial-kultural yang kemudian mengendap dan
menyebabkan sebagian besar dari masyarakat cenderung berpikir apatis dan
pragmatis terhadap permasalahan bangsa. Sudah barang pasti hal ini disebabkan
oleh potret kehidupan politik Indonesia yang cenderung terintervensi oleh “tangan
elit politik” yang semakin jauh dari komitmen dan konsensus reformasi. Hal ini
senada dengan pendapat yang dilontarkan oleh Soegeng Koesman dalam buku
Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut dan Centang Perentang Krisis Multi
Dimensi di Era Reformasi, menyatakan bahwa citra politik telah bergeser dari
Idealisme menjadi politik kepentingan, politik merebut kekuasaan. Disisi lain
Handoyo mengungkapkan faktor politik merupakan salah satu yang menyebabkan
terjadinya korupsi, karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh money
politic. Lebih lanjut, Terrence Gomez (1994) melontarkan pendapat bahwa money
politik merupakan use of money and material benefits in the persuit of political
infuence. Dengan merujuk pada serangkain pendapat diatas, penulis tidak
menyangkal bahwa persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia di sebabkan oleh
faktor politik sebagai penyebab utama yang telah menjadi keniscayaan.
Merujuk pada data terakhir yang dilansir oleh Indonesian Corruption Watch
menunjukan bahwa perkembangan pemeberantasan korupsi di Indonesia belum
dapat menemukan hasil yang maksimal, karena Indonesia masih termasuk dalam
jajaran negara yang dipersepsikan terkorup, dengan skor IPK 3 dari 10. Indonesia
menempati peringkat ke-100 dari 183 negara, dimana skor tersebut sejajar dengan
Argentina, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Suriname, dan
Tanzania.
Menyingkap lebih dalam mengenai hal ini, korupsi bisa dikatakan telah
menjadi suatu keniscayaan dari berbagai faktor kebrutalan “bandit terpelajar” di
Indonesia, lebih dalam dari itu korupsi merupakan tindakan immoral yang
memiliki daya rusak yang luar biasa dalam tatanan kehidupan sosial secara
langsung menggerogoti sendi bangunan ekonomi dan politik suatu bangsa
(Sudjana 2008:89). Sedangkan Eko Handoyo dalam buku Pendidikan Anti
Korupsi melontarkan pandangan bahwa eksistensi korupsi di Indonesia bertalian
dengan sistem dan kultur yang tidak memberikan ruang gerak yang cukup bagi
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Penulis sendiri beranggapan
bahwa rasa-rasanya korupsi telah menjadi penyakit yang menggurita di tingkat
lembaga negara.
Berangkat dari pernyataan di atas, menunjukan bahwa diperlukan
pembangunan sumber daya manusia secara komprehensif-integral yang harus
dilakukan oleh semua pihak, dan salah satunya ialah melalui pendidikan, karena
pendidikan merupakan salah satu indikator utama pembangunan kualitas sumber
daya manusia. Dari pandangan tersebut, berbagai tantangan dan ancaman korupsi
setidak-tidaknya mampu direduksi bahkan dibumihanguskan dengan upaya
pendidikan yaitu diantaranya ialah melalui internalisasi atau penghayatan
Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik sejak dini. Secara kontektual,
manifestasi dari tawaran solutif tersebut ialah mampu diupayakan sebagai langkah
inovatif dan preventif untuk membangun generasi unggul dengan karakter anti
korupsi yang kuat. Sebagaimana menurut Ali Mustadi menyatakan bahwa
pendidikan tak cukup hanya untuk membuat anak pandai, tetapi juga harus
mampu menciptakan nilai luhur atau karakter bangsa, oleh karena itu, penanaman
nilai-nilai luhur atau karakter harus dilakukan atau dimulai sejak dini. Lebih lanjut
menurut Piaget, usia anak sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit,
karena usia ini
terbukti
sangat
menentukan kemampuan anak
dalam
mengembangkan potensinya. Sehingga dalam jangka panjang sebagaimana
pendapat yang dilontarkan oleh Muhammad Takdir Ilahi dalam buku
Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa: Paradigma Pembangunan dan
Kemandirian bangsa pendidikan menjadi tonggak determinasi dalam menopang
kemajuan suatu bangsa, terlebih-lebih generasi yang ada di dalamnya.
Bertolak dari berbagai pemikiran dan problematika di atas, penulis memiliki
tawaran solutif dalam mewujudkan Indonesia anti korupsi yaitu melalui
internalisasi (penghayatan) Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik pada
siswa sekolah dasar melalui teknologi Ceria (Cerdas-Inovatif-Arif).
Teknologi Ceria (Cerdas-Inovatif-Arif) merupakan gambaran teknologi yang
mampu diterapkan dalam internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan
Politik guna mencapai tujuan praktis terwujudnya Indonesia Anti Korupsi. Oleh
sebab itu, Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik harus segera digiatkan
yang mana hal ini merupakan ekualitas kita bersama karena korupsi dan
penyimpangan politik dengan kejahatan sistematisnya hanya mampu diatasi dan
dibumi hanguskan melalui dedication of life para generasi yang berdaya juang
tinggi dengan karakter dan idealismenya keunggulannya.
PEMBAHASAN
Internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik
Berbagai rentetan kasus tidakan politik yang menyimpang dengan
corruption culture yang sudah mengakar kini tengah menjakiti bangsa Indonesia
sehingga penting kaitannya dalam merubah paradigma lebih kepada keinginan
(will) kita ingin tetap bertahan dan diam atau melawan. Upaya yang diperlukan
sekarang ialah membuat suatu gebrakan-gebrakan penting yang berbentuk direct
of change dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang salah satunya yakni
melalui internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik. Sebelum
beranjak lebih jauh, kita harus menentukan scope dan sequence internalisasi
Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik terlebih dahulu dalam upaya
memperjelas tujuan dan fokus pembahasan. Aristoteles jauh-jauh hari pernah
berkata bahwa manusia merupakan zoon politikon (makhluk sosial atau makhluk
politik). Kemudian, disusul pandangan Merriam Budihardjo (2008) menyatakan
bahwa politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Merujuk dua
pandangan diatas penulis menguraikan bahwa politik merupakan suatu
keniscayaan yang akan dihadapi oleh setiap manusia tanpa terkecuali guna
mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebagaimana diungkapkan dimuka sebagai
faktor utama penyebab korupsi di Indonesia faktor politik, maka diperlukan
pemahaman mendalam (deep understanding) mengenai Pendidikan Anti Korupsi
dan Pendidikan Politik dari setiap elemen masyarakat sejak dini.
Uraian singkat di atas menunjukan bahwa penting kaitannya Pemahaman
mengenai apa sajakah yang perlu diinternalisasikan melalui Pendidikan Anti
Korupsi dan Pendidikan Politik. Sebab tanpa hal itu penanaman nilai-nilai anti
korupsi dan nilai-nilai etika politik yang bersih akan menjadi hal yang diidamkan
semata, yang sudah barang pasti nilai-nilai terebut harus kita realisasikan dalam
tataran praksis kehidupan. Pertama, sebagaimana diungkapkan dalam Dalam
Diktat Pendidikan Generasi Muda dan Kepramukaan yang dikeluarkan oleh
jurusan Politik dan Kewarganegaraan disebutkan bahwa Inti dari Pendidikan
Politik adalah pemahaman politik dan aspek-aspek politis dari setiap
permasalahan. Lebih lanjut, menurut Cecep Darmawan (2011), pendidikan politik
adalah sebuah upaya pembangunan karakter bangsa (nation character) yang akan
dipersiapkan untuk masa depan. Sehingga lewat internalisasi (penghayatan)
Pendidikan Politik diharapkan mampu menciptakan kader bangsa yang
memahami aspek politis dari setiap permasalahan.
Kedua, Hal ini inheren dengan focus Interest dari Pendidikan Anti Korupsi
yakni, fokus awal dari Pendidikan Anti Korupsi adalah siswa menghayati dan
memahami nilai moral, dan membentuk prilaku hingga nilai tersebut terbentuk
secara internal melalui pembiasaan (Handoyo, 2009:9). Selanjutnya korupsi
dilihat dalam konteks pendidikan adalah tindakan untuk mengendalikan atau
mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong generasigenerasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk
tindak korupsi (Buchori, Muchtar, 2007). Uraian dalam bagian ini menunjukan
bahwa dengan internalisasi (pengahayatan) Pendidikan Anti Korupsi memiliki
tekad untuk membekali individu untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi secara
kuat dan tegas.
Teknologi “Ceria” (Cerdas-Inovatif-Arif) Upaya Efektif dan Preventif
Mewujudkan Indonesia Anti Korupsi
Teknologi Ceria merupakan integrasi dari tiga komponen indikator praktis
yakni cerdas, inovatif, dan arif sebagai upaya solutif yang ditawarkan penulis
guna melakukan internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik
pada anak sekolah dasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia teknologi
merupakan metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis. Dewasa ini teknologi
berkembang begitu pesat sehingga Cepi Riyana pernah melontarkan pendapatnya
bahwa proses dan produk teknologi yang dihasilkan, tidak semuanya dapat
dimanfaatkan dan secara relevan dapat dimanfaatkan untuk pendidikan terutama
untuk proses dan hasil pembelajaran. Selanjutnya Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) memilliki tiga fungsi utama yang digunakan dalam kegiatan
pembelajaran, yaitu (1) teknologi berfungsi sebagai alat (tools); (2) Teknologi
berfungsi sebagai ilmu pengetahuan (science); (3) Teknologi berfungsi sebagai
bahan dan alat bantu untuk pembelajaran (literacy). Mengacu dari tiga fungsi
tersebut maka penulis berasumsi bahwa melalui teknologi “Ceria”, akan
terciptanya sebuah teknologi yang cerdas, inovatif, dan arif dalam upaya
internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik. Kemudian, ketiga
indikator teknologi tersebut dapat jabarkan sebagai berikut:
1. Cerdas, dalam hal ini teknologi dimaknai sebagai ilmu pengetahuan yang mampu
menggali potensi kecerdasan yang meliputi cerdas spiritual, emosional & sosial,
intelektual dan kinetik. Sebagai contoh dalam konteks permasalahan yang dibahas
ialah internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik melalui
pemanfaatan media Short Message Service (SMS) sebagai sistem tutor cerdas
(intelligent tutoring system) dalam menanamkan nilai anti korupsi. Sebagaimana
pendapat Varik, dkk., sistem tutor cerdas (intelligent tutoring system) sendiri
merupakan sebuah program software yang menyediakan instruksi untuk seorang
pelajar dengan cara membimbing seperti seorang guru.
2. Inovatif, secara sederhana menurut Dinn Wahyudin dan Rudi Susiliana, inovasi
dimaknai sebagai pembaruan atau perubahan dengan ditandai oleh adanya hal
baru. Bertitik tolak pandangan diatas, teknologi pembelajaran dengan berbagai
terobosannya diekspektasikan mampu memberikan inovasi baru dalam memintasi
berbagai masalah pendidikan yang bersifat mendesak. Sebagai contoh
kontekstualnya ialah dengan memanfaatkan game dalam menanamkan nilai anti
korupsi, baik itu bersifat statis maupun dinamis seperti: monopoli anti korupsi dan
ular tangga anti korupsi.
3. Arif, dalam konteks ini penggunaan teknologi dalam kependidikan perlulah
bersikap bijaksana dan mengusung local wisdom sebagaimana menurut Ilahi
(2012) local wisdom tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan nilai budaya
lokal, tetapi juga sebagai upaya mengapresiasi nilai budaya yang selama ini sudah
menjadi kebanggaan bangi bangsa Indonesia. Dalam konteks pembahasan penulis
memberikan contoh penanaman nilai anti korupsi melalui cerita-cerita rakyat yang
terintegrasi dalam film animasi modern atau digital.
Uraian singkat diatas menjelaskan bahwa internalisasi Pendidikan Anti
Korupsi
dan
Pendidikan
Politik
melalui
teknologi
Ceria
ini
mampu
mengekspolrasi segala kemampuan peserta didik. Penulis sendiri berpandangan
bahwa terlebih apabila teknologi ini diterapkan pada anak sekolah dasar dengan
segala karakteristiknya akan terjadi keefektifan yang signifikan. Selain itu
internalisasi Pendidikan Anti Korupsi dan Pendidikan Politik melalui teknologi
Ceria (Cerdas-Inovatif-Arif) diekspektasikan mampu menjadikan teknologi yang
dimaksud berfungsi secara maksimal baik sebagai alat (tools), pengetahuan
(science), dan alat bantu pembelajaran (literacy).
Di luar takrifan di atas, teknologi apapun yang dilakukan dan diterapkan
dalam proses kegiatan belajar mengajar, pendidik harus mengerti bahwa peranan
guru ialah sangat penting dalam kaitannya pembentukan karakter peserta didik.
Setidaknya ada lima peran guru (starting point) yang harus dipenuhi menurut
Wiyani (2012) yakni 1) keteladanan; 2) inspirator; 3) Motivator; 4) Dinamisator;
5) Evaluator, guna menunjang teknologi yang telah ditawarkan di atas.
SIMPULAN
Pendidikan merupakan aset berharga dalam menentukan kemajuan suatu bangsa
karena melalui pendidikan nilai karakter dapat ditransformasikan dari suatu
generasi kepada generasi selanjutnya. Menghadapi permasalahan bangsa yang
berupa korupsi dan persoalan politik yang semakin kompleks maka dunia
pendidikan menjadi salah satu tawaran solutif diantara berbagai solusi yang lain.
Penulis mengungkapkan pentingnya pendidikan anti korupsi dan pendidikan
poltik yang harus dilakukan sedini mungkin untuk membentuk manusia Indonesia
yang berintegritas yaitu salah satunya pada pendidikan sekolah dasar. Penulis
berpandangan bahwa persoalan korupsi tidak bisa dilepaskan dari persoalan
politik, keduanya bagaikan dua sisi mata uang. Bertolak dari hal tersebutlah maka
upaya anti korupsi dan kecerdasan politik perlu dibangun. Dalam tulisan ini
penulis mengangkat internalisasi Pendidikan Anti korupsi dan Pendidikan Politik
pada anak sekolah dasar dengan metode ceria yang merupakan pengejawantahan
dari kata cerdas, inovatif, dan arif. Cerdas dicontohkan dengan metode short
message service berupa pesan-pesan tentang anti korupsi dan integritas, Inovatif
salah satunya bertumpu pada contoh aplikasi game anti korupsi dan arif
menekankan pada local wisdom yang berupa cerita rakyat yang dikombinasikan
dengan tranformasi modern. Melalui ketiga teknologi tersebut maka ada
internalisasi nilai karakter anti korupsi dan kecerdasan politik sehingga bangunan
karakter bangsa dapat terwujud sejak dini.
REFERENSI
Baca, dan cermati dalam Darmawan, Cecep, Urgensi Pendidikan Politik Pasca
Era Reformasi, , diunduh---- pada tanggal 3 November 2013
Cermati, Handoyo, Eko, Pendidikan Anti Korupsi (Semarang: Fakultas Ilmu
Sosial Unnes Press, 2010), hal 53
Lihat, Widadi, Apung, Masih Terkorup Juga, , diunduh pada tanggal 3
November 2013