HUKUM AGRARIA Studi Kasus Sengketa Lah

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanah adalah salah satu kekayaan Indonesia yang memiliki fungsi yang luar biasa.
Tanah disini diartikan sebagai lahan yang bisa ditempati dan digunakan untuk berbagai
macam kepentingan. Misalnya tanah pertanian, tanah perkebunan, tanah usaha, tanah untuk
bangunan dan lain-lain. Kepemilikan Tanah pun perlu dijaga dan dilegalisasi melalui
mekanisme tertentu dengan lembaga yang berwenang. Dengan kepemilikan dan
pengaturannya yang sedemikian rupa, untuk itu dalam sejarahnya Hukum tentang tanah
mengalami perkembangan yang cukup banyak.
Perkembangan pengaturan hukum tanah di Indonesia di awali dengan adanya
agraricsh wet pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu Hukum Tanah terbagi menjadi dua
dengan ketentuan Dualistis dari Belanda. Hukum dualistis mengakui Hukum Barat sebagai
Hukum pada penjajah dan mengakui Hukum adat sebagai hukum milik pribumi. Pada masa
itu pula kepemilikan tanah masih berpedoman pada klasifikasi hukum perdaya. Yakni
golongan barat, golongan timur asing dan golongan Pribumi. Dama agraricsh Wet, hukum
adat diakui namun ada beberapa batasan yang membuat dualisme tersebut lebih mengarah
pada Hukum Barat.
Dualisme hukum yang tercantum pada agraricsh wet telihat semakin tidak konsisten

dengan adanya asas domein verklaring. Asas tersebut menyatakan bahwa siapapun boleh
memiliki Tanah sepanjang dapat membuktikan. Jika tidak dalam hal ini tidak dapat
membuktikan tanah tersebut miliknya, maka Negara yang berhak memiliki. Dalam Hukum
Barat juga dikenal dengan hak eigendom yaitu Hak milik secara mutlak. Negara memiliki
tanah sehingga dapat melakukan apapun terhadap tanah itu.
Selain asas domein verklaring, dalam ketentuan hukum tanah kolonial terdapat hakhak atas tanah yang tidak menguntungkan pribumi. Antara lain adalah hak opstal dan hak
erfpach. Kedua hak tersebut memberikan penderitaan bagi rakyat karena jenjang waktu sewa
yang diberikan pada investor mencapai 75 tahun.
Dengan adanya ketentuan yang begitu menyksa rakyat, Agraricsh Wet diganti
dengan hukum transitoir selama pasca kemerdekaan. Namun hukum trnasitoir ini juga tidak

terlalu menguntungan rakyat karena lebih banyak menggunakan hukum Belanda meskipun
dibatasi yakni asal tidak bertentangan dengan kepentingan Masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1960 merupakan tonggak sejarah yang besar bagi masyarakat Indonesia
dan pada perkembangan Hukum Agraria. Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Hukum
Tanah Nasional sendiri dengan ketentuan yang disesuaikan dengan kepentingan Rakyat.
Hukum Tanah Nasional tersebut adalah Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang
peraturan dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih sering disebut UUPA.
Konstruksi Hukum tanah dalam UUPA berbeda dengan hukum tanah pada masa
kolonial. Pada UUPA menghapus Dualisme Hukum menjadi satu Hukum Nasional, peraturan

yang terkandung di dalamnya memihak kepentingan Rakyat. Serta menyatakan bahwa Tanah
di Indonesia melekat pada seluruh bangsa Indonesia selama Indonesia masih ada.
Hak –hak atas tanah dalam UUPA berbeda dengan hak atas tanah pada hukum
kolonial. Hak atas tanah dalam UUPA berprinsip pada asas fungsi sosial yakni
mengedepankan kepentingan masyarakat atau bersama. Dengan adanya ketentuan sedemikian
rupa, siapapun dapat memperoleh hak atas tanah.
Dengan adanya perkembangan hukum yang siginificant, membuat masyarakat
banyak yang memiliki hak atas tanahnya. Hak atas tanah tersebut beragam bentuknya. Dalam
UUPA hak atas tanah terbagi atas hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang akan
dicantumkan pada peraturan yang terpisah.
Meskipun peraturan tentang Tanah telah diperbarui, sengketa tentang tanah tidak
berhenti sampai pada pembuatan UUPA. Sengketa yang berobjekkan tanah semakin banyak
dan beragam bentuknya. Salah satu kasus yang terjadi di Purwokerto desa Darmakradenan
kecamatan Ajibarang. Serikat Petani meminta pada Pemerintah untuk mencabut Hak guna
Usaha milik PT Rumpun Sari Antan. Pada awalnya, lahan yang dipakai PT Rumpun Sari
Antan tersebut pada masa Kolonial adalah lahan milik Petani. Namun seiring berjalannya
waktu dan perubahan peraturan, Tanah pertanian tersebut dikelola oleh Pemerintah.
Kemudian tanah tersebut di sewa oleh PT Rumpun Sari Andan hingga tahun 2018. Hal ini
membuat pada petani merasa hak nya telah dikurangi bahkan dihilangkan.

Dengan permasalahan itu, maka perlu dikaji lebih dalam tentang hak guna usaha dan
hak atas tanah yang lain.
B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan para pihak dalam kasus sengketa tanah Hak Guna Usaha
antara Petani dengan PT. Rumpun Sari Andan?
2. Bagaimana Penyelesaian sengketa tanah Hak Guna Usaha tersebut ditinjau dari
instrumen Hukum agraria Indonesia?

C. TUJUAN

Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji kedudukan para pihak dalam kasus sengketa tanah Hak Guna
Usaha.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis penyelesaian sengketa tanah Hak Guna Usaha
dilihat dari ketentuan Hukum Agraria.

D. MANFAAT


Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis, yaitu sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan bagi perkembangan
Hukum Agraria di Indonesia.
2. Manfaat Praktis, yaitu terdiri dari beberapa komponen yakni:
a. Pemerintah, yaitu agar Pemerintah mengetahui dan merespon permasalahan
sengketa tanah Hak Guna Usaha yang belum terselesaikan.
b. Masyarakat, yaitu agar masyarakat mengetahui hukum agraria khususnya
tentang hak-hak atas tanah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM KASUS SENGKETA TANAH
HAK GUNA USAHA DARMAKRADENAN
Dalam kasus ini terdapat beberapa pihak yang terkait dalam sengketa yang kemudian
dapat dibagi menjadi tiga yaitu: pihak Petani dan warga Darmakradenan sebagai pihak yang
memohonkan serta mengklaim kepemilikan dari lahan sengketa; pihak Tentara Nasional
Indonesia (TNI), KODAM Diponegoro, sebagai pihak yang mengambilalih kepemilikan
tanah ketika terjadi kekosongan kepemilikan dan dikemudian hari menyewakan tanah kepada
PT RSA dengan menggunakan Hak Guna Usaha (selanjutnya disebut HGU); dan pihak PT
RSA sebagai pihak yang menguasai tanah sengketa dengan menggunakan HGU.

Kasus sengketa tanah HGU Darmakradenan ini sebelumnya berawal dari jaman
penjajahan Belanda dengan kronologis singkat sebagai berikut1:
a. Tahun 1890 lahan seluas 227 hektar di Desa Darmakradenan Kecamatan
Ajibarang tersebut adalah milik warga Darmakradenan.
b. Saat itu Berdasarkan Undang-undang Agrarische wet de wall 1870 Belanda,
petani diberikan sertifikat tanah, namun dengan pajak yang sangat tinggi.
c. Karena mahalnya pajak tersebut, dengan persetujuan semua warga, lahan
disewakan kepada pengusaha Belanda (Tuan Maryon) menggunakan hak
erfpacht dengan jangka waktu selama 75tahun dari tahun 1890-1967
d. Tn. Maryon kemudian menyewakan kembali kepada pengusaha Belanda lain
(Tuan Volls)
e. Tahun 1930 Tuan Volls menyerahkan lahan kepada Pengusaha Tionghoa
(Babah Thong Pho perusahaan Ho Tong Po & co)
f. Dipegang oleh pengusaha Tionghoa dari Babah Thong Pho kemudian beralih
kepada Tan Giok Kien hingga tahun 1965.
g. Sampai tahun 1965, warga masih diberi perkebunan garapan seluas 10-20ha di
lahan tersebut.
h. Saat terjadi peristiwa GESTAPU, Tan Giok Kien melarikan diri sehingga
terjadi kekosongan pemilik dari lahan tersebut.
i. Ketika petani ingin mengklaim tanah tersebut, petani malah dianggap sebagai

komunis oleh pemerintah pasca G30SPKI.
1

Sumber berasal dari berbagai artikel berita

j. Dengan alasan pengamanan TNI mengambil alih dan dipercayakan kepada
kolonel Ngaspin (KODAM Diponegoro)
k. Dari Kolonel Ngaspin dilimpahkan kepada Kapten Subur Sunaryo
l. Kepala Desa Darmakradenan diperintah TNI untuk menandatangani surat
yang tidak diketahui isinya, namun ditolak.
m. Tahun 1967 ketika masa sewa (efpracht) telah berakhir, tanah tidak
dikembalikan pada rakyat sebagaimana mestinya.
n. Tahun 1956-1976, Yayasan Rumpun Diponegoro (YARDIP) bentukan
KODAM Diponegaoro mengelola perkebunan dengan bekerjasama dengan PT
Rumpun Sari Antan (RSA)
o. Salah satu tanah yang disewakan oleh YARDIP kepada PT RSA adalah lahan
Darmakradenan dengan menggunakan Hak Guna Usaha.
p. HGU tersebut dipegang oleh PT RSA selama 20 tahun dan masih akan
berlangsung hingga tahun 2018
Berdasarkan kronologis tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang kemudian

timbul, diantaranya adalah tuntutan dari rakyat Darmakradenan yang menuntut dihapuskan
atau dicabutnya HGU PT. RSA dan dikembalikannya hak atas tanah tersebut kepada rakyat
Darmakradenan.
Kedudukan para pihak yang terkait dengan sengketa tersebut terhadap tanah sengketa
kemudian akan diuraikan sebagai berikut.
1. Petani dan Warga Darmakradenan
Petani dan warga Darmakradenan mengklaim bahwa lahan sengketa adalah
milik mereka sejak jaman penjajahan Belanda. Berdasarkan kronologis yang diposting
dalam suatu website yang mengawali perkembangan sengketa ini, pada tahun 1890
oleh pemerintah Belanda, warga telah diberikan sertifikat tanah dengan pajak yang
sangat tinggi yang mengakibatkan warga bersepakat untuk menyewakan tanah
tersebut kepada pengusaha Belanda, praktek yang banyak terjadi pada saat itu.
Jika kronologis ini diasumsikan sebagai benar terjadi maka pada jaman itu,
Pemerintah Belanda telah memberikan suatu hak atas tanah kepada petani dan warga
Darmakradenan atas tanah yang mereka miliki. Sehingga ketika tanah tersebut
disewakan kepada pengusaha Belanda, hak atas tanah yang menjadi dasarnya adalah
hak erfpracht atau recht van erfpacht dengan nomor surat Hak erphact No. 1 tanggal

15 Juli 1892 VERPONDING No. 5 seluas areal 230,10 Ha, tanggal expirasi 15 Juli
1967.

Hak Erfpacht
Hak erfpacht adalah hak atas tanah yang berlaku sebelum adanya Undangundang Nomor 50 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut sebagai UUPA) yang diatur dalam pasal 720 Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW). Menurut pasal
tersebut, hak erfpacht adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan
kegunaan suatu barang tidak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban membayar
upeti tahunan kepada pemilik sebagai pengakuan atas kepemilikannya, baik berupa
uang, berupa hasil atau pendapatan 2. Milik orang lain disini mempunyai dua
pengertian, yaitu sebagai tanah eigendom orang atau sebagai tanah eigendom negara
(tanah domein negara)3.
Hak Erpacht dibagi menjadi tiga jenis4:
a. Hak untuk perkebunan dan pertanian besar, maksimum 500 bahu dengan
harga sewa maksimum lima florint per bahu;
b. Hak untuk perkebunan dan pertanian kecil bagi orang Eropa "miskin" atau
perkumpulan sosial di Hindia Belanda, maksimum 25 bahu dengan harga sewa
satu florint per bahu (tetapi pada tahun 1908 diperluas menjadi maksimum 500
bahu);
c. Hak untuk rumah tetirah dan pekarangannya (estate) seluas maksimum 50
bahu.
KUHPerdata tidak menetapkan batas waktu dari hak erpacht dan biasanya hak
erpacht berlaku untuk waktu yang diperjanjikan, sehingga ada kemungkinan berlaku

untuk selama-lamanya5. Dalam kasus sengketa Darmakradenan ini, lahan yang
disewakan warga kepada pengusaha Belanda tersebut memiliki jangka waktu 75 tahun
yaitu dari tahun 1890 hingga tahun 1967 (Hak erphact No. 1 tanggal 15 Juli 1892
VERPONDING No. 5). HGU ini dapat diberikan atas tanah hak eigendom maupun
tanah domein negara dengan melalui perjanjian6.
Lihat pasal 720 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Arie S. Hutagalung,dkk, 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Pustaka
Larasan, Bali, hlm. 145
4
Harsono B, 1995, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Jakarta.
5
Muhadjirin, 2003, Konflik Penguasaan Tanah Negara Bekas Hak Erfpaahht, Masters
thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
6
Arie S. Hutagalung, Opa.Cit. hlm. 155
2
3

Konversi Hak Barat menjadi Hak UUPA

Saat ini, setelah adanya unifikasi dan penyatuan peraturan mengenai tanah di
Indonesia dengan UUPA, hak-hak tanah Belanda seperti hak eigendom, hak opstal
dan hak erfpracht tidak lagi digunakan dan dikonversikan menjadi hak-hak menurut
UUPA. Konversi atau perubahan terjadinya karena hukum (“van rechtswege”) dan
secara serentak sejak tanggal 24 September 1960. Ini berarti bahwa terhitung sejak
tanggal tersebut tidak berlaku lagi lembaga-lembaga atau hak-hak atas tanah yang
diatur oleh Hukum Tanah Barat maupun Hukum Tanah Adat7. Hak erfpracht sendiri
dikonversikan menjadi Hak Guna Usaha atau HGU.
Hak atas tanah yang melekat pada tanah Darmakradenan adalah tanah dengan
Hak eigendom yang dibebani hak erfpracht. Ada lima cara konversi Hak Barat yang
diberikan di atas Tanah Hak Eigendom yang dibebani Hak Erfpacht/Hak Opstal/Hak
Hipotik, yaitu8:
a. Hak Eigendomya dikonversi menjadi Hak Milik, sedangkan Hak
Erfpacht/Hak Opstal dikonversi menjadi HGB selama jangka
waktunya dan paling lama 20 tahun.
b. Hak Eigendomnya tidak dapat dikonversi menjadi Hak Milik,
melainkan hanya dapat dikonversi menjadi HGB saja karena
eigenaarnya

hanya


menguasai

secara

yuridis

saja,

ia

tidak

menggunakan tanahnya. Hal ini berarti eigenaar tersebut tidak
memenuhi kewajibannya untuk menggunakan tanah sesuai dengan
fungsi tanahnya (menurut pasal 6 UUPA, tanah berfungsi sosial). Oleh
karenanya tidak dikonversi dan dinyatakan gugur menjadi tanah negara
dan kelak dapat diberikan kembali HGB sampai dengan tanggal 24
September 1980 (pasal 2 PMA nomor 7/1965).
c. Hak Eigendomnya dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Hipotik yang diberikan kepada sesuatu Bank atau orang selaku
kreditor. Hak Eigendom itu dikonversi menjadi Hak Milik atau Hak
Guna Bangunan sedangkan Hak hipotik tersebut dikonversi menjadi
Hak Tanggungan (pasal 1 ayat 6 KK). Jika hak Eigendom itu
dinyatakan hapus menjadi tanah negara, maka Hak Hipotiknya menjadi

7
8

Ibid. hlm. 188
Ibid. hlm. 192

hapus pula. Sedangkan perjanjian utang piutangnya tetap berlangsung
terus.
d. Menurut ketentuan pasal I ayat 6 Ketentuan Konversi, Tanah Hak
Eigendom dapat pula dibebani Hak Servituut atau Erfdientsbaarheid,
maka hak itu ikut pula dikonversi menjadi Hak Pakai.
e. Hak Eigendom yang dibebani Hak Sewa maka Hak Sewa tersebut
dikonversi pula menjadi Hak Sewa.
Hak Erfpacht dikonversi menjadi dua jenis yaitu9;
a. Hak Guna Bangunan apabila:
 Berdasarkan Pasal I ayat (4) Ketentuan-Ketentuan Konversi
UUPA Jo. Pasal 12 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun
1960 tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan UUPA, hak
Erfpacht itu membebani hak Eigendom yang bersangkutan
selama sisa waktu hak Erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya
20 tahun.
 Berdasarkan Pasal V Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA,
hak Erfpacht itu untuk perumahan, berlangsung selama sisa
waktu hak Erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
b. Hak Guna Usaha apabila:
 Sejak berlakunya UUPA, yang mempunyainya memenuhi
syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 30 UUPA.
 Berdasarkan Pasal III ayat (1) Ketentuan-Ketentuan Konversi
UUPA,

hak

Erfpacht

untuk

perkebunan

besar,

yang

berlangsung selama sisa waktu hak Erfpacht tersebut, tetapi
selama-lamanya 20 tahun.
Hak Guna Usaha
Hak guna usaha menurut pasal 28 ayat (1) UUPA, adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu
sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau
peternakan. PP No. 40 Tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan10.

Lihat Undang-undang Nomor 50 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agararia
10
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media Group,
Jakarta, hlm.99
9

Luas Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar
dan luas maksimalnya 25 hektar. Sedangkan untuk badan hukum luas minimalnya 5
hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (Pasal 28
ayat (2) UUPA jo. Pasal 5 PP No. 40 tahun 1996).
Didalam ketentuan UUPA pasal 28 ayat (2) menyebutkan luas yang dapat
dimiliki adalah 25 hektar atau lebih, harus memakai investasi modal yang layak dan
teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Kemudian dalam
pasal 5 PP No. 40 tahun 1996 dijelaskan pula luas maksimum tanah yang dapat
diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri
dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha
yang bersangkutan11.
Dalam kasus sengketa ini, lahan yang menjadi sengketa adalah lahan seluas
227 hektar yang terletak di desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang.
Asal Tanah HGU adalah tanah negara 12, apabila tanah tersebut berupa tanah
hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh
pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang Hak Guna
Usaha dan selanjutnya mengajukan permohonan pemberian Hak Guna Usaha kepada
Badan Pertanahan Nasional. Kalau tanahnya berasal dari kawasan hutan, maka tanah
tersebut harus dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan (Pasal 4 PP No. 40 Tahun
1996).
HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 28 ayat (3) UUPA
jo. Pasal 16 PP No. 40 Tahun 1996), dengan cara pewarisan yang harus dibuktikan
dengan adanya surat wasiat atau suraat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang. Hak ini juga dapat dialihkan kepada pihak lain yang
memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha , bentuk nya dapat berupa jual
beli, tukar-menukarm hibah, penyertaan dalam modal perusahaan yang harus
dibuktikan dengan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang ditunjuk oleh BPN.
Sedangkan lelang harus dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh
pejabat dan kantor lelang13.
Peralihan ini wajib didaftarkan kepada kantor pertanahan kabupaten/kota
setempat untuk dicatat dalam buku Tanah dan dilakukan perubahan nama dalam
11
12
13

Ibid., hlm.99
Ibid.
Ibid. hlm. 102

sertifikat dari pemegang hak guna usaha yang lama kepada pemegang hak guna usaha
yang baru.
Dalam kasus ini terjadi beberapa kali peralihan hak guna usaha, peralihan
pertama yaitu pada masa penguasaan tanah oleh pengusaha Belanda Tuan Maryon
yang melakukan perjanjian dengan masa sewa selama 75 tahun (15 Juli 1892-15 Juli
1967) dimana lahan tersebut dijadikan perkebunan karet. Kemudian peralihan kedua
kepada Tuan Volls. Peralihan ketiga terjadi sekitar tahun 1930an dari pengusaha
belanda kepada pengusaha Tionghoa yang bernama babah tong pho yang kemudian
dialihkan lagi kepada Tan Giok Kien pada tahun 1965. Pada saat ini terjadi peristiwa
GESTAPU, dimana Tan Giok Kien meninggalkan tanah nya dan kemudian tana
tersebut diambil alih oleh KODIM Diponegoro. Mulai tahun 1956-1975 KODIM
memuat perjajian HGU dengan PT. RSA , hingga sekarang tanah tersebut masih di
HGU kan kepada PT tersebut dan di kelola sebagai lahan perkebunan coklat (cocoa)14
Jika dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Darmakradenan, tanah yang
menjadi sengketa merupakan tanah berhak milik yang dikuasai oleh masyarakat
dalam hal ini adalah

petani dan buruh tani yang dikuatkan dengan dikeluarkan

sertifikat tanah oleh pemerintah belanda kepada petani dan buruh tani 15. Hal inilah
yang kemudian memicu terjadinya sengketa atas tanah HGU tersebut. Petani
mengklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah berhak milik yang menyebabkan HGU
yang diberikan kepada PT RSA tidak sah dan harus dicabut.
2. PT. Rumpun Sari Antan
PT Rumpun Sari Antan (PT. RSA) adalah pihak yang menjadi subyek HGU
lahan sengketa, Menurut pasal 30 UUPA jo Pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996 yang dapat
mempunyai hak guna usaha adalah:
a. Warga Negara Indonesia
b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia (badan hukum Indonesia)
Dalam hal ini, PT. Rumpun Sari Antan (RSA) dapat secara sah dikatakan sebagai
subyek HGU, karena merupakan badan hukum yang bergerak di bidang perkebunan
coklat (cacao). Berdasarkan pasal pasal 14 PP No. 40 Tahun 1996, pemegang Hak
Guna Usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan
Ibid. hlm. 103
Permasalahan Tanah dan Sengketa Lahan Darmakradenan, dikutip pada http://
Darmakradenan.desa.id, 20 Oktober 2014
14
15

Hak Guna Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan,
perikanan dan peternakan. Penguasaan dan penggunan sumber air dan sumber daya
alam lainnya diatas tanah dilakukan untuk oleh pemegang Hak Guna Usaha16.
Jangka waktu Hak Guna Usaha PT. RSA adalah 20 tahun. Hal ini berdasarkan
kesepakatan dengan KODIM daerah tersebut, yang jangka waktu nya akan berakhir
pada tahun 2018. Hak guna usaha mempunyai jangka waktu untuk pertama kalinya
paling lama 35 dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun
(Pasal 29 UUPA).
Pasal 8 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur jangka waktu Hak Guna Usaha adalah
untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan
diperbarui paling lama 35 tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau
pembaruan Hak Guna Usaha diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut. Perpanjangan atau pembaruan
dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Syaratsyarat perpanjangan jangka waktu atau pembaruan Hak Guna Usaha adalah17:
a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan
pemberian hak tersebut;
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
HGU hanya dapat terjadi dengan adanya penetapan pemerintah. Permohonan
pemberian HGU dimintakan oleh pemohon kepada Badan Pertanahan Nasional.
Apabila semua persyaratan yang ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi,
makan Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak
(SKPH). SKPH ini wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat
untuk dicacat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti hak
nya. Pendaftaran SKPH tersebut menandai lahirnya HGU (Pasal 31 UUPA jo. Pasal 6
dan Pasal 77 PP No. 40 Tahun 1996)18.
3. Tentara Nasional Indonesia
Sebagai pihak yang mengambilalih ketika terjadi kekosongan kepemilikan
terhadap tanah Darmakradenan, militer dalam hal ini TNI memegang peranan penting
Urip Santoso, Opa.Cit., hlm. 100
Ibid. hlm.102
18
Urip Santoso, Ibid. hlm. 100
16
17

dalam sengketa tanah HGU ini. Karena adanya peristiwa GESTAPU pada tahun
(tahun gestapu), Tan Giok Kien, pengusaha Tinghoa yang saat itu memegang hak
erfpracht atas tanah Darmakradenan melarikan diri karena Serikat Buruh Republik
Indonesia (SARBUPRI) yang mayoritas buruh perkebunan di bubarkan oleh TNI
yang mengakibatkan adanya kekosongan kekuasaan selama hampir satu bulan.
Kemudian dengan alasan pengamanan perkebunan dikuasai TNI yang dipercayakan
kepada kolonel Ngaspin dari KODAM Diponegoro dan selanjutnya dilimpahkan
kepada Kapten Subur Sunaryo19.
Pada saat itu lahan diambil alih oleh militer dengan alasan pengamanan dari
penguasaan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu adalah ancaman besar
terhadap negara. Pengamanan dilakukan karena pada sekitar tahun 1950-1953 PKI
memiliki strategi nasional anti imperialisme dan taktik kerusuhan agraris yang
sasarannya adalah perkebunan asing20, sehingga ketika militer berusaha menghentikan
PKI dan menumpas akar-akarnya, semua pemilik perkebunan asing dianggap sebagai
pihak PKI sehingga sebagian besar melarikan diri. Tanah yang kehilangan pemiliknya
kemudian diambil alih oleh militer.
Banyak tanah perkebunan sejak setelah Proklamasi Kemerdekaan dikuasai
oleh tentara Republik Indonesia karena pemerintah kekurangan tenaga manusia yang
handal untuk mengelola perkebunan tersebut yang ditinggalkan pemiliknya. Di sinilah
awal mulanya tentara mengelola bisnis (perkebunan) yang oleh John Robison dalam
bukunya The Rise of Capitalism dianggap sebagai awal mula bangkitnya kapitalisme
di kalangan militer. Setelah pengambilalihan tersebut militer sering bentrok dengan
aktivis petani (kiri) karena perebutan lahan perkebunan21.
Berdasarkan

kedudukan

masing-masing

pihak

tersebutlah

maka

warga

Darmakradenan meyakini areal perkebunan yang di klaim KODAM Diponegoro adalah hak
milik rakyat dan harus di kembalikan. Prosedur Yayasan Diponegoro dalam menganeksasi
tanah dinilai rakyat tidak benar dan menyalahi aturan. Pada peringatan ulang tahun STAN
Ampera ke-13, warga kemudian menuntut:
1. Hapuskan HGU beserta rekomendasinya milik PT Rumpun Sari Antan
19

Kronologi Kasus Sengketa Tanah Perkebunan Darmakradenan 2014, dikutip pada
desa.bloggerbanyumas.net pada tanggal 20 Oktober 2014
20
Kuntowijoyo, 1993, Radikalisasi Petani, Bentang Intervisi Utama, Yogyakarta, hlm.12
21
Achmad Sodiki, 2012, Kebijakan Pertanahan dalam Penataan Hak Guna Usaha untuk
Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Makalah dalam Seminar Nasional Konsorsium
Pembaruan Agraria, Jakarta, hlm. 2

2. Kembalikan tanah perkebunan kepada Rakyat dan laksanakan reforma
agrarian
HGU sebagai salah satu hak atas tanah dapat dihapuskan berdasarkan pasal pasal 34 UUPA
yang menyatakan bahwa hak guna usaha hapus salah satu nya karena beberapa hal, yaitu:
1. Jangka waktunya berakhir
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat tidak dipenuhi.
3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir,
4. Dicabut untuk kepentingan umum
5. Diterlantarkan
6. Tanahnya musnah
7. Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2)

B. PENYELESAIAN SENGKETA TANAH HAK GUNA USAHA DILIHAT
DARI KETENTUAN HUKUM AGRARIA
Dalam sengketa HGU terdapat beragam penyelesaian, yaitu baik dengan cara nonlitigasi seperti musyawarah maupun dengan cara litigasi atau pengadilan.
Terhadap suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh
Badan Pertanahan Nasional, solusi penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan tahapan
sebagai berikut22:
1. Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus
Pengaduan disampaikan melalui Loket pengaduan.
Dilakukan Register terhadap pengaduan yang diterima.
Penyampaian informasi, digolongkan menjadi :
 Informasi rahasia : Perlu ijin Kepala BPN RI atau Pejabat yang ditunjuk.
 Informasi Terbatas : Diberikan pada pihak yang memenuhi syarat.
 Informasi Terbuka untuk umum : Diberikan pada pihak yang membutuhkan.
2. Pengkajian Kasus
Untuk mengetahui faktor penyebab.
Menganalisis data yang ada.
Menyusun suatu rekomendasi penyelesaian kasus.
3. Penanganan Kasus
Penanganan suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan
ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional RI dilakukan dengan tahapan :
 Pengolahan data pengaduan, penelitian lapangan/koordinasi/investigasi.
 Penyelenggaraan gelar kasus/penyiapan berita acara.
 Analisis/Penyusunan Risalah Pengolahan Data/surat keputusan.
 Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan kasus.
Untuk suatu kasus pertanahan tertentu yang dianggap strategis, dilaksanakan
pembentukan tim penanganan kasus potensi konflik strategis.
4. Penyelesaian Kasus
Penyelesaian suatu kasus pertanahan dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
 Penyelesaian melalui jalur hukum/pengadilan.
 Penyelesaian melalui proses mediasi.
http://www.bpn.go.id/Program-Prioritas/Penanganan-Kasus-Pertanahan diakses pada 24
Oktober 2014 pukul 1:04 WIB
22

Dalam skema ini jelas bahwa ada dua jalan penyeleseaian sengketa yaitu dengan cara
non-litigasi maupun dengan cara litigasi. Namun dalam prakteknya, tuntutan melalui
pengadilan seringkali tidak dilakukan oleh rakyat terutama karena kurangnya bukti formal
terutama berupa sertifikat sebagai bukti tertulis paling kuat atas kepemilikan tanah.
Yang paling sering dilakukan oleh rakyat adalah dengan melalui jalur non-litigasi,
tekanan massa ataupun dengan lobbying politik melalui wakil-wakil rakyat di DPR atau
DPRD. Sebagaimana yang juga dilakukan oleh warga Darmakradenan, karena kurangnya
bukti formal, sehingga dalam caranya untuk menuntut pembebasan HGU adalah dengan
meminta bantuan pihak eksekutif, wakil rakyat dari daerah Banyumas sehingga Pemerintah
Daerah.
Karena kurangnya bukti formal yang harus hadir dalam pengadilan, maka opsi
penyelesaian sengketa secara litigasi tidak dapat diambil oleh warga Darmakradenan
sehingga untuk seterusnya langkah yang harus diambil adalah dengan menggunakan metode
non-litigasi. Ada beberapa metode penyelesaian sengketa non litigasi yang dapat ditempuh
yaitu:
1. Mediasi
2. Konsiliasi
3. Arbitrase
4. Konsultasi
5. Negosiasi
6. Pemberian Pendapat Hukum
Dalam menyelesaikan sengketa-sengketa pertanahan yang terjadi diberbagai daerah di
Indonesia, penggunaan alternatif penyelesaian sengketa biasanya tergantung pada kasus yang
dihadapi. Terutama pada kasus-kasus tanah adat dan ulayat, maka langkah yang ditempuh
oleh pemerintah dimasing-masing daerah berbeda sesuai dengan keadaan dan kebutuhan.
Sebagian besar langkah tersebut dengan menggunakan pemerintah sebagai lembaga penyedia
mekanisme penyelesaian sengketa.
Untuk kasus sengketa tanah HGU Darmakradenan ini yang paling baik dilakukan
adalah dengan melakukan mediasi.
Mediasi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang mencoba menawarkan
kemenangan yang sedapat mungkin diperoleh oleh para pihak serta menemukan kepentingan
semua pihak yang dapat dirundingkan guna memperoleh kesatuan pandangan atau keputusan

yang baik. Mediasi tersebut dilakukan dengan pertemuan-pertemuan dan perundingan dengan
cara musyawarah untuk mencapai mufakat antara kedua belah pihak23.
Mediasi dapat terjadi di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan. Mediasi yang
terjadi di dalam pengadilan diatur dalam Peraturan MA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu
menempuh proses mediasi. Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan
bantuan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus (mediator)24.
Dalam rangka menangani dan menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara
pertanahan secara khusus, penyelesaian melalui Alternative Dispute Solution (ADR) telah
secara inplisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional dimana dalam struktur organisasi BPN terdapat satu kedeputian
bernama Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan yang
berfungsi untuk melaksanakan alternatif penyelesaian masalah melalui bentuk mediasi,
fasilitasi, dan lain-lain25.
Kemudian secara efektif telah ditetapkan sebuah Keputusan Kepala Badan Pertanahan
RI No.11 Tahun 2009 Tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN RI Menangani dan
Menyelesaikan Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan Tahun 2009. Mediasi juga diatur
dalam Petunjuk Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 05/JUKNIS/
D.V/2007 (Keputusan Kepala BPN RI No.34 Tahun 2007) tentang Mekanisme Pelaksanaan
Mediasi yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2007. Putusan mediasi ini bersifat
mengikat dan dapat langsung dilaksanakan (landasan hukumnya Pasal 1338 dan Pasal 1320
KUH Perdata)26.
Berdasarkan Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007 Petunjuk Teknis No.
05/JUKNIS/D.V/2007

berikut adalah mekanisme pelaksanaan mediasi yang seharusnya

dilakukan oleh warga Darmakradenan dengan pihak PT RSA:
1. Mediasi dilaksanakan oleh pejabat/pegawai yang ditunjuk dengan surat tugas/surat
perintah dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasionai, Kepala Badan Pertanahan Nasionai Republik Indonesia.
Alo Liliweri, 2005, Prasangka dan KonflikkKomunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 357.
24
Riduan Syahrani. 2004, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, PT Alumni,
Bandung, hlm. 75
25
Naomi Helena Tambuan, 2010, Peran Lembaga Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa
Tanah, Master Thesis, Program Pascasarjana Kenotariatan, Universitas Indonesia, hlm. 39
26
A Tampubolon, 2011, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Snegketa di Bidang
Pertanahan, Master Thesis, Program Pascasarjana Hukum, Universitas Sumatera Utara,
BAB II hlm. 1
23

2. Mediator yang melakukan mediasi tersebut adalah termasuk tipe Authoritative
Mediator atau pejabat yang berwenang.
3. Para pihak yang bersengketa harus mempunyai kepentingan langsung terhadap
masalah yang dimediasikan.
4. Persiapan: mengetahui pokok permasalahan, menyiapkan bahan, menentukan
waktu dan tempat mediasi.
5. Undangan: disampaikan kepada pihak yang berkepentingan dan instansi terkait
6. Kegiatan mediasi: mengatasi hambatan antar pihak, mencairkan suasana antara
pihak, penjelasan peran mediator, klarifikasi para pihak, menyamakan
pemahaman, identifikasi kepentingan, generalisasi opsi para pihak, penentuan opsi
yang dipilih, negosiasi akhir, dan formalisasi kesepakatan penyelesaian sengketa.
Selain dengan menggunakan mediasi, terdapat jalur lain yang paling sering dilakukan
oleh masyarakat yang terlibat dalam sengketa pertnahan ketika jalur-jalur lain tidak berhasil.
Menurut Prof. Sodiki terdapat cara lain yang digunakan oleh rakyat apabila jalur non-litigasi
dan jalur litigasi tersebut buntu. Cara yang ditempuh ini adalah jalur ilegal yang kemudian
akan berproses menjadi semi legal dan akhirnya akan menjadi legal.
Cara ini jika diuraikan akan sebagai berikut27:
a. Rakyat awalnya akan melakukan pendudukan massal secara paksa yang
merupakan sebuah tindakan ilegal. Namun jika dalam prosesnya aparat hukum
tidak melakukan tindakan apapun dan rakyat dapat mempertahankan keadaan
tersebut dalam waktu yang lama maka keadaan akan berubah menjadi semi
ilegal dimana walaupun rakyat tidak memiliki tanah secara formal tetapi dapat
menikmati dengan menanam dan mengambil hasilnya.
b. Keadaan ini kemudian dipertahankan dengan menggunakan Keputusan
Presiden Nomor 32 tahun 1979 yang menyatakan bahwa tanah tanah HGU
hanya dapat diperpanjang masa haknya apabila di areal tersebut tidak terjadi
sengketa atau diduduki oleh rakyat. Dengan adanya pengaturan ini, apabila
rakyat mampu mempertahankan kondisi semi ilegal tersebut diatas, maka
hanya bagian HGU yang bebas konflik dapat dimohonkan perpanjangannya.
c. Tahap selanjutnya ialah menunggu masa habisnya HGU. Begitu habis masa
HGU dan tanah jatuh ke tangan negara, sehingga kesempatan rakyat untuk
memperoleh hak atas tanah semakin dekat, karena dalam ketentuan Keppres
no 321 tahun 979 juga ditentukan jika tanah HGU yang diduduki rakyat itu
27

Achmad Sodiki, Opa.Cit , hlm.. 8

telah menjadi desa yang tertata rapi, maka hal itu akan sangat memungkinkan
diberikan kepada rakyat. Ketika tahap ini selesai, maka akan terjadi finalisasi
dalam bentuk legal yang dimaksud dalam proses tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alo Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik;Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Arie S. Hutagalung,dkk. 2012. Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia. Bali: Pustaka
Larasan.
Harsono B. 1995. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Hukum Tanah Nasional.
Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama.
Riduan Syahrani. 2004. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung: PT Alumni.
Urip Santoso. 2010. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media
Group.
Penelitian Terdahulu
A Tampubolon.

2011.

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Snegketa di Bidang

Pertanahan. Master Thesis Program Pascasarjana Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Achmad Sodiki. 2012. Kebijakan Pertanahan dalam Penataan Hak Guna Usaha untuk
Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat. Makalah dalam Seminar Nasional Konsorsium
Pembaruan Agraria. Jakarta.
Muhadjirin. 2003. Konflik Penguasaan Tanah Negara Bekas Hak Erfpacht. Masters thesis,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Naomi Helena Tambuan. 2010. Peran Lembaga Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa
Tanah. Master Thesis Program Pascasarjana Kenotariatan. Universitas Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 50 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agararia
Internet
Permasalahan Tanah dan Sengketa Lahan Darmakradenan, dikutip pada http://
Darmakradenan.desa.id, 20 Oktober 2014

Kronologi Kasus Sengketa Tanah Perkebunan Darmakradenan 2014, dikutip pada
desa.bloggerbanyumas.net pada tanggal 20 Oktober 2014
http://www.bpn.go.id/Program-Prioritas/Penanganan-Kasus-Pertanahan
Oktober 2014 pukul 1:04 WIB

diakses

pada

24

MAKALAH HAK GUNA USAHA
(Studi Kasus Sengketa Lahan Hak Guna Usaha Warga Darmakradenan dengan PT
Rukun Sari Antan)
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Agraria
Kelas : D

Oleh :
KELOMPOK IV
M. Arie Herdianto

115010100111124

Harits Jamaludin

115010100111125

Nury Annisa

115010101111001

Hana Setiawati Anggono

115010101111002

Anisatul Istiqomah

115010101111026

Yulia Permatasari

115010101111050

Kania Galuh Savitri

115010101111051

Sarah Nurainy Bouty

115010101111056

Lana Septiana

115010101111061

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2014

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215