Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam Al G (1)

“ Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazali ”
MATA KULIAH SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Dosen :Bpk. Dr. Muhammad Idris Tunru,M.Ag
Disusun oleh :
Nur Islah Uwen
Nim : 15.2.3.102

PRODI PAI I (SEMESTER V)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO
1439 H / 2017 M

1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….........i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….......ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………......iii
A. Latar belakang………………………………………………………………...1
B. Rumusan masalah…………………………………………………………......2
C. Tujuan………………………………………………………………………....2

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………….........3
A. Riwayat hidup Imam Al-Ghazali……………………………………………...3
B. Pemikiran pendidikan Imam Al-Ghazali…………………………………......6
C. Pemikira-pemikiran Imam Al-Ghazali………………………………………20
D. Karya-Karya Imam Al-Ghazali……………………………………………...26
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………28
A. Kesimpulan…………………………………………………………………..30
B. Kritik dan saran………………………………………………………………30
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….31

2

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi allah SWT yang telah memberikan nikmat Iman dan Islam
kepada kita semua, sehingga kita dapat berkumpul dalam pertemuan yang Insya Allah
dimuliakan oleh Nya.
Shalawat dan Salam semoga tetap terlimpah curah kepada junjunan kita Nabi
Muhammad SAW. Kepada para sahabatnya para Tabi‟it Tabi‟innya dan semoga
kepada kita selaku ummatnya mendapatkan syafa‟atul udzma di Yaumil Jaza. Amin
Sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak

Muhammad idris tunru, selaku dosen yang telah memberikan kami kesempatan
menjelaskan sejarah pemikiran pendidikan islam mengenai Al-Ghazali. Suatu
kebanggaan bagi kami yang telah diberi kepercayaan oleh bapak pengampu untuk
menjelaskan hal tersebut.
Maka dari itu, kami sebagai pihak yang diberkan tugas, mencoba memaparkan
beberapa ilmu yang kami ambil dari beberapa sumber, dalam bentuk makalah yang
akan kami presentasikan ini. Sekian dari kami, mohon maaf bila terdapat kesalahan
baik dalam segi penulisan maupun dalam redaksi. Kritik dan saran sangat kami
harapkan. Billahi fi Sabililhaq Pastabiqul Khairot.

3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian sejarah pemikiran Islam, Al-Ghazali adalah seorang figur
kharismatik, seorang filosof, teolog, ahli hukum dan sufi yang di Eropa lebih dikenal
dengan sebutan Al-Gazel.1 Pemikiran-pemikiran Beliau sangat perlu diketahui pada
zaman sekarang ini yang semakin kompleks sebagai solusi untuk mengapai
“ketenagan diri”.

Beliau adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai algazel
di dunia Barat pada abad pertengahan.
Perkembangan filsafat tidak hanya berkembang di yunani, di dunia islampun
filsafat berkembang dengan pesat. Filsafat yang muncul dalam kehidupan islam yang
banyak dibicarakan oleh oaring-orang arab dan sudah konvensi para pemikir islam.
Kelahiran ilmu filosof yang terkenal dan memiliki pengaruh besar terhadap filsafat
Islam adalah Al-ghazali.
Al-ghazali merupakan salah seorang pemikir besar Islam yang dianugrahi gelar Hujjat
Al-islam (bukti kebenaran ajaran islam) dan Zayn ad-din (perhiasan agama), ia
merupakan seorang ulama dan pemikir besar islam yang sangat produktif dalam
menulis. Ia banyak menulis kitab dan buku yang meliputi berbagai bidang ilmu yang
popular pada zamannya, diantaranya tentang tafsir Al-quran, ilmu kalam, ushul fiqh,
fiqh, tasawuf, mantik, falsafah, dan lain-lain.
Al-ghazali terkenal dalam sejarah filsafat islam, namun Al-ghazali sendiri tidak
menganggap dirinya filuf dan tidak suka dianggap sebagai filsuf. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan fakta-fakta yang ada, ini semua dibuktikan dalam buku
karangannya “Tahufut Al-Falasifah” dan “Munqidz Min Al-Dhalal” yang menentang
1Suwito dan Fauzan,Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung: angkasa, 2003),h 157

4


para filosof, bahkan menempelkan label kekufuran kepada para filosof, telah
menimbulkan sikap pro dan kontra terhadap dirinya.
B. RumusanMasalah
1. Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Ghazali?
2. Bagaimana pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan?
3. Bagaimana pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali?
4. Apasaja karya-karya yang pernah dikarang oleh Imam Al-Ghazali?
C. Maksud dan tujuan penulis
1. Mengetahui riwayat hidup Imam Al-Ghazali!
2. Mengetahui pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan!
3. Mengetahui pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali!
4. Mengetahui karya-karya yang pernah dikarang oleh Imam Al-Ghazali!

5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad al-Ghazali ath-Thusi al-Syafi‟i. Beliau lahir di sebuah kota kecil
yang terletak dekat kota Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada
tahun 1058 M/450 H, kira-kira bersamaan dengan pengangkatan Sultan alArsalan pada singgasana Seljuk dan wafat pada tahun 1111 M/14 Jumadil Akhir
505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah desa dekat Thus. Thus adalah salah satu
di antara kota-kota yang terkenal di Khurasan pada zaman dahulu. Saat ini ia
sudah bukan lagi sebuah desa, tetapi termasyhur karena hubungannya dengan
penyair terkenal Firdausi yang meninggal di sana pada tahun 1020 M.2
Beliau adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai
algazel di dunia Barat pada abad pertengahan.Iaberkuniah Abu Hamid karena
salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi
berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan
tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran).
Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.
Beliau hidup miskin bersama ayahnya. Ayah Ghazali gemar mempelajari ilmu
tasawuf, karena ayah Ghazali hanya mau makan dari hasil usaha tangannya
sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo‟a agar
anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajal tidak
memberikan kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya
sesuai do‟a yang ia panjatkan. Namun, cita-cita ayah Ghazali terbukti dengan
keberhasilanImam Al-Ghazali menjadi filosof dan teolog muslim terkemuka

pada zamannya.
2 Ahmad Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka Setia) h.102

6

Awal mula Al-Ghazali mengenal tasawuf adalah ketika sebelum ayahnya
meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:3
1. Ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali kepada saudaranya yang bernama
Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan
dibimbing dengan baik.
2. Ayahnya menitipkan Al-Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang
sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu.
Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah
guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad
Ibn Muhammad Al-Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di
Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu
pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam AlHaramaîn Al-Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An-Nizhâmiyah
Nisyapur. Al-Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan
ilmu-ilmu alam.4[1]

Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al-Juwaini
kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). AlGhazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal
dunia pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm AlMâlik di kota Mu‟askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar,
sehingga ia tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat
menjadi guru di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan
sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan
bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyyah, Ismâiliyyah,
golongan filsafat dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di

3 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia,2011), h. 97
4[1]Ahmad Syadani,Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia.1997), h. 178.

7

Baghdad, Syam dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus
pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al-Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang
ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis
buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak selamanya
mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaanpertanyaan batinnya mulai muncul,5 „Inikah ilmu pengetahuan yang sebenarnya?‟,

„Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?, Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan?‟,
dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bermacam-macam
pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera
dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia menyingkir dari
kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus
dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak lagi
mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang dilimpahkan
Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut kebenaran.
Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di Thus. Di
sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai ia
dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 52-53 tahun dengan meninggalkan beberapa anak
perempuan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54/55
tahun.6[2]

5 Chairul Anwar, Reformasi Pemikiran (epistemology pemikiran Al-Ghazali), (Bandar Lampung:
2007), h. 221.
6[2]Yunasril Ali,Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) h. 67.


8

B. Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali
Dalam pandangan Al-Ghazali yang dikutipoleh Mahmud dalam bukunya
pemikiran pendidikan islam mengatakan bahwa sentral dalam pendidikan adalah
hati sebab hati adalah esensi dari manusia. Menurutnya subtansi manusia
bukanlah terletak pada unsure-unsur yang ada pada fisiknya melainkan berada
pada hatinya sehingga pendidikan diarahkan pada pembentukan akhlak yang
mulia.7
Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing,
mengarahkan,meningkatkan dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada
Allah.Jadi peranan guru disini tidak hanya mentransfer ilmu melainkan mendidik.
a. Tujuan pendidikan menurut Al-Ghozali
Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran
akal dan hati dalam membinaruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan
adalah

kesempurnaan

akhlak


manusia,

dengan

membinaruhnya.

Secararingkas, tujuanpendidikan Islam menurut Al Ghazali dapat di
klasifikasikan kepada tiga, yaitu :8
1. Tujuan

mempelajari

ilmu

adalah

membentuk

insan


kamil

(manusiasempurna) dengan tedensimen dekatkan diri kepada Allah.
2. Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah.
b. Materi pendidikan menurut Al-Ghozali
Adapun mengenai materi pendidikan, Al Ghazali berpendapat bahwa Al
Qur‟an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahun. Dalam hal
ini Al Ghazali membagi ilmu pada dua macam, yaitu : Pertama, Ilmu
Syar‟iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, Ilmu Ghair
7 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2011), h.87
8 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri kajian Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 110

9

Syar‟iyyah; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual
muslim.
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap
bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu
sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya, menguasai ilmu baginya
termasuk tujuan pendidikan. Dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan
karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan
di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu
pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di
mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat
menuju pendekatan kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.
Walaupun disisi lain Al-Ghazali juga menyebutkan bahwasanya ada ilmu yang
deketahui melalui ilham. Ilham disini adalah suatu cara untuk menangkap ilmu
secara langsung sebagai imbangan dari cara menangkap ilmu dengan cara
berpikir. Kata al-ilham mengandung makna mengajari secara rahasia dan
langsung. Al-Ghazali juga menyebutnya dengan istilah al-ta‟alum al-rabbani, dan
ilmu yang diperoleh disebut sebagai al-„ilm al-ladunni. Tidak diusahakan disini
adalah tidak diperoleh melalui perantara, seperti melalui relasi konsep-konsep.
Untuk dapat memperoleh ilmu dengan jalan ilham manusia harus berusaha
membuat kondisi, sehingga jiwanya memenuhi syarat untuk menerima ilham,
yaitu dengan membersihkan jiwa secara menyeluruh dari selain Tuhan dan
memenuhi jiwa dengan mengingat Tuhan.
Pandangan al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pandangannya akan
keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang memilikinya, pembagian ilmu, etika
belajar dan mengajar. Namun dalam penjelasan berikutnya akan disajikan
sebagaimana unsur-unsur dalam pendidikan yang ada saat ini.

10

Pada dasarnya Al-Ghazali sendiri belum memberikan definisi yang jelas
mengenai pendidikan. Namun, jika dilihat dari unsur-unsur pendidikan dapatlah
diambil dari beberapa pernyataan yang selanjutnya disusun menjadi pengertian
dari pendidikan berikut ini: “ sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan
diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian
malaikat dan berhampiran dengan malikat tinggi ...”
“… Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui
pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”9
Pada kutipan pertama, kata „hasil‟ menggambarkan proses, kata „mendekatkan
diri kepada Allah‟ menunjukkan tujuan, dan kata „ilmu‟ menunjukkan alat.
Sedangkan pada kutipan kedua dijelaskan perihal sarana penyampaian ilmu yaitu
melalui pengajaran.
Mengenai keberlangsungan proses pendidikan, al-Ghazali menerangkan bahwa
batas awal berlangsungnya pendidikan adalah sejak bersatunya sperma dan ovum
sebagai awal kejadian manusia. Adapun mengenai batas akhir pendidikan adalah
tidak ada karena selama hayatnya manusia dituntut untuk melibatkan diri dalam
pendidikan sehingga menjadi insan kamil. Ditambahkan pula bahwa pendidikan
dapat dipahami sebagai satu-satunya jalan untuk menyebarluaskan keutamaan,
mengangkat harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran dan kejayaan suatu bangsa sangat
bergantung pada sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan
pengajaran. Selain itu, pengajaran dan pendidikan harus dilaksanakan secara
bertahap, disesuaikan dengan perkembangan psikis dan fisik anak.
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan
cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang
berkaitan dengan pendidikan.

9 Abdul Qayyum, Surat-surat Al-Ghazali (Bandung: Mizan. 1983), h. 136

11

1. Tujuan Pendidikan
Menurut al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada
pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insan, mengarahkan manusia
untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat.
Al-Ghazali berkata:10 “Hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri
kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri dengan para
malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah kebesaran,
pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri.”
Menurut al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan.
Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu sendiri tidak akan dapat diperoleh manusia
kecuali melalui pengajaran.
Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga
tentang tujuan pendidikan, yaitu :
1) Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan
kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
2) Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3) Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan
dengan sebaik-baiknya.
4) Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan
budi dan sifat-sifat tercela.
5) Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia
yang manusiawi.
Dengan demikian, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi
tercapainya suatu tujuan. Selanjutnya, tujuan pendidikan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

10 Abuddin Nata, Pemikiran Para tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 170

12

1) Tujuan Jangka Panjang
Tujuan pendidikan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah.
Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan
dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan Pencipta alam.
2) Tujuan jangka Pendek
Menurut al-Ghazali, tujuan pendidikan jangka pendek ialah diraihnya profesi
manusia sesuai dengan bakat dan kemapuannya. Syarat untuk mencapai
tujuan itu, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
pengiriman para pelajar dan mahasiswa ke Negara lain untuk memperoleh
spesifikasi ilmu-ilmu kealaman demi kemajuan Negara tersebut, menurut
konsep ini, tepat sekali. Sebagai implikasi untuk menegakkan urusan
keduniaan atau melaksanakan tugas-tugas keakhiratan tidak harus dan tidak
terbatas kepada negara-negara Islam, akan tetapi boleh di mana saja, bahkan
di negara anti Islam sekalipun.11
Berhubung dengan tujuan pendidikan jangka pendek, yakni terwujudnya
kemampuan manusia melakukan tugas-tugas keduniaan dengan baik, al-Ghazali
menyinggung masalah pangkat, kedudukan, kemegahan, popularitas, dan
kemuliaan dunia secara naluri. Semua itu bukan menjadi tujuan dasar seseorang
yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Seorang penuntut, seorang yang
terdaftar sebagai siswa atau mahasiswa, dosen, guru dan sebaginya, mereka akan
memperoleh derajat, pangkat, dan segala macam kemuliaan lain yang berupa
pujian kepopularitasan, dan sanjungan manakala ia benar-benar mempunyai
motivasi hendak meningkatkan kualitas dirinya melalui ilmu pengetahuan; dan
ilmu pengetahuan itu untuk diamalkan. Karena itulah, al-Ghazali menegaskan
bahwa langkah awal seseorang dalam belajar adalah untuk mensucikan jiwa dari
kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk
menghidupkan syari‟at dan misi Rasulullah, bukan untuk mencari kemegahan
11 Abdul Munir Mulkhan, Mencari tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan (Jakarta: Bumi Aksara,
1991),h.222

13

dunia, mengejar pangkat, atau popularitas. Seorang guru baru dapat merumuskan
suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya.
Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan
lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan
jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua
sebagaiman disampaikan Fathiyah Hasan Sulaiman yang dikutib Suwito dan juga
Abuddin Nata, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara
pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 12

Karena itu, beliau bercita-cita

mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan
akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral,
tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Akan tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik
pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan
tersebut sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran
pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai
pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu.
Keutamaan itulah yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada
Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak.13 Oleh karena itu, menguasai ilmu
bagi beliau termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta
kenikmatan yang diperoleh manusia padanya. Itulah yang akan membentuk
manusia shalih, yaitu manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan
kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada
manusia sebagai hamba-Nya.

12 Ahmad Daudy, Filsafat Islam(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989),h.123
13 Al-Ghazali, Mutiara (Bandung: Mizan, 2003),h. 89

14

2. Kurikulum
Kurikulum dalam arti yang sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan
oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan yang telah
dirumuskan. Pandangan al-ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari
pandangan mengenai ilmu pengetahuan. Menurut Al-Ghazali, secara garis besar
ilmu dibagi menjadi dua bagian yaitu ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah.
Ilmu mu’amalah adalah pengetahuan yang dapat ditulis secara matematis dan
berhubungan dengan kata-kata yang dapat diterima dan dipelajari orang lain. Ilmu
mukasyafah adalah pengetahuan yang abstrak yang berada di alam ide,
pengetahuan ini sulit dilukiskan denganlisan atau tulisan, tidak terjangau oleh
panca indera bahkan tidak mampu difikirkan dengan akal.
Selanjutnya Fathiyah Hasan Sulaiman membagi ilmu kedalam beberapa corak:
1. Berdasarkan pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang:
a. Ilmu syari‟at sebagai ilmu terpuji, terdiri atas:
 Ilmu ushul (ilmu pokok): ilmu al-qur‟an, sunah nabi, pendapat-pendapat
sahabat dan ijma.
 Ilmu furu‟ (cabang): fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
 Ilmu pengantar (mukaddimah) ilmu bahasa dan gramatika.
 Ilmu pelengkap (mutammimah).
b. Ilmu bukan syari‟ah terdiri atas:
 Ilmu terpuji : ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.


Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan); kebudayaan, sastra, sejarah,
puisi.

 Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian
tertentu dari filsafat.
2. Berdasarkan objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok.
a. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak
seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.

15

b. Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau
banyak lebih terpuji, seperti ilmu agama dan tentang ilmu beribadat.
c. Ilmu pengetahuan yang kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya
tercela, seperti dari sifat naturalisme.
3. Berdasarkan setatus hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya
dan dapat digolongkan kepada:14
a. fardu „ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, ilmu agama dan
cabang-cabangnya.
b. fardu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus
ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun
diantara kaum muslimin dan kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud,
maka mereka akan berdosa. Contohnya; ilmu kedokteran, hitung, pertanian
dll.
Pembagian ini bukan berarti terjadi pembatasan dalam menuntut ilmu
pengetahuan, hanya sebagai identifikasi dalam pengenalan berbagai macam
disiplin yang ada.
3. Pendidik
Dalam proses pembelajaran, menurutnya pendidik merupakan suatu keharusan.
Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses
pendidikan anak. Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan dapat
dikatakan bahwa pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih dibandingkan
kedua orang tuanya. Sejalan dengan hal itu beliau berpendapat bahwa pendidik
secara umum hendaklah cerdas dan sempurna intelegensinya, terpuji akhlak dan
jasmaninya. Dengan kesempurnaan intelegensi dapat memiliki berbagai ilmu
pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlak yang baik dapat menjadi
contoh dan teladan bagi peserta didik, sedangkan dengan sehat jasmani dapat
melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan peserta didik.
14 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan,
2002),h.114

16

4. Peserta Didik
Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta‟lim.
Dalam hal pendidikan, orang (manusia) yang bergantung disebut murid/peserta
didik, sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru/pendidik. Murid
dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.
Dalam menjelaskan peserta didik Al-Ghazali menggunakan dua kata yakni,
Al-Muta‟allim (pelajar) dan Tholib Al-Ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Namun,
bila kita melihat peserta didik secara makna luas yang dimaksud dengan peserta
didik adalah seluruh manusia mulai dari awal konsepsi hingga manusia usia lanjut.
Selanjutnya, karena dalam pembahasan ini hanya terkonsentrasi pada wilayah
pendidikan formal maka bahasa peserta didik terbebani hanya bagi mereka yang
melaksanakan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah.
Pemikiran Al-Ghazali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen
keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep peserta didik
menurutnya peserta didik adalah manusia yang fitrah. Konsepnya berlandaskan
pemahamannya terhadap menafsirkan firman Allah pada surat Ar-Rum ayat 30:

‫َف ٗ ۡم َف َف ِهَّلل ِهَّلل َف َف َف ِهَّلل َف َف َف ۡم َف َف َف ۡم َف‬
‫َف َف ۡم َف ۡم َف َف‬
‫د‬
‫ِقين حنِقيفا ۚ ِقطرت ٱِق ٱ ِق فطر ٱاا عليها ۚ َل تب ِقديل‬
‫ك ِق وجهم ل ِقل ِق‬
‫َف ۡم ِهَّلل َف َٰ َف د ُن ۡم َف د ُن َف َف َٰ ِهَّلل َف ۡم َف‬
‫َف َف ۡم َف ُن َف‬
‫َف‬
‫ِهَّلل‬
‫كن أكَث ٱ ِق‬
٣٠ ‫اا َل يعلمون‬
‫ِقِلل ِقق ٱِۚق ذل ِقم ٱِقين ٱلي ِق ول ِق‬

30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.15
Adapun kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung
pengertian yang sangat luas. Al-Ghazali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam
beberapa pokok sebagai berikut:
15 A. Heirs Hermawan dan Yayan Sunarya, Filsafat.(Bandung: CV Insan Mandiri 2011),h.130

17

1. Beriman kepada Allah.
2. Kemampuan dan kesedian untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar
kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
3. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya
untuk berfikir.
4. Dorongan biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting.
5. Kekuatan lain lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan
disempurnakan.
Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghazali dalam memahami
peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam
hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia. Hanya saja, dalam hal
ini pandangan Al-Ghazali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar
merupakan salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba
yang tetap dekat (taqarrub) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta
didik harus berusaha mensucikan jiwanya dari akhlak yang tercela.
Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong
kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syaratsyarat tersebut antara lain:16
a. Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak
takabur. Hal ini sejalan dengan pendapat al- ghazali yang menyatakan bahwa
menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan
yang tinggi dan bimbingan dari pendidik.
b. Peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya dan
sebagai satu bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi dan
menolong serta berkasih sayang sesamanya.
c. Peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang
dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran

16 Nurcholish Madjid, Ensiklopedia Islam,(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001),h.87

18

d. Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat,
melainkan ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguhsungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tesebut tercapai.
Abidin ibnu Rusn, dalam bukunya menjelaskan syarat-syarat yang seharusnya
dipenuhi oleh peserta didik dengan mengacu dari pemahaman pemikiran AlGhazali sebagai berikut:
a) Belajar merupakan proses jiwa.
b) Belajar menuntut konsentrasi
c) Belajar harus didasari sikap tawadhu‟
d) Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
e) Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
f) Belajar secara bertahap
g) Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang
dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini
berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu
berkedudukan sebagai murid.
5. Metode Dan Media
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran,
menurut al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis
dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh
monoton,

demikian

pula

media

atau

alat

pengajaran.

Metode yang bisa digunakan, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan
riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli
dan aqli serta bimbingan dan nasihat, dan tidak kalah pentingnya adalah dengan
keteladanan. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan

19

hukuman,

disamping

keharusan

menciptakan

kondisi

yang mendukung

terwujudnya akhlak mulia.17
Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang
mempelajarinya kepada dua macam, yaitu : Ilmu Fardlu Kifayah, yaitu ilmu yang
cukup dipelajari oleh sebagian muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan
masalah duniawi misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri,
dan sebagainya.
Ilmu Fardlu „Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim yang
bersumber dari kitabullah.
Sedangkan ditinjau dari sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi kepada dua, yaitu :
ilmu yang terpuji (mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah). Ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu
yang fardhu „ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu „ain adalah ilmu yang
diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai
akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu
lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu „ain,
lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
1. Metode pendidikan menurut Al-Ghozali
Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan
jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni. (1) Ilmu kasbi dapat
diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik dan metodik yang
dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan,
penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana memperolehnya dapat
menggunakan pendekatan ta’lim insani. (2) Ilmu ladunni dapat diperoleh
orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada
umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam

17 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme,(Jakarta: Bulan Bintang 1978),h.113

20

qalbu, yang mana memperolehnya adalah menggunakan pendekatan ta’lim
rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam
pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang
murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan
jika melanggar hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi gaya al-Ghazali
tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang
memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan
simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan
uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Disamping itu, ia juga
mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para
pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan
menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini
adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh
kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.
Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan
anak didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah
sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu
guru dan murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode
pengajaran yang utama dan sangat penting dalam pandangannya.
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata sebagai suatu proses
yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa,
yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid berjalan di jalan
mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling
mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran
sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan
yang terakhir dapat mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang
didapatkannya.

21

2. Pendidik menurut Al-Ghozali
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha
membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati
sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian
yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini
tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik

ikhwalnya

adalah

yang

dikatakan

berupa

ilmu

pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit.
Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada
orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang
menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang
memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara
yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi tugas
mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam
bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga
haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat.
Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria
khusus, yaitu:
1. Memperlakukan murid dengan penuh kasih saying.
2.

Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.

3. Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada
Allah SWT.
4. Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik,
halus tanpa cacian, makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan
murid didepan umum.
5. Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan
keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya.

22

6. Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan
memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7. Memahami perbedaan bakat, tabi‟at dan kejiwaan murid sesuai dengan
perbedaan usianya.
8. Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya
merealisasikannya sedemikian rupa.
3. Peserta didik menurut Al-Ghozali
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu
murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk
yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah
SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian
manusia yang tabi‟at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid
(islam). Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut
agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya
sebagai manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat
banyak, yang dapat disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2. Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya
sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak
terpuji kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4.

Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.

5. Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat
mengetahui hakikatnya.
6. Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu
akhirat.

23

7. Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan
sesuatu yang akan mengantarkannya kepada Allah SWT.
C. Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali
1. Filsafat Al-Ghazali
Sebagaimana kecenderungan umum pemikir filsafat yang selalu bergerak di
antara manusia, alam, dan Tuhan, maka hampir seluruh pemikiran Islam terpusat
pada masalah usaha manusia memahami dirinya sendiri, alam sekitarnya dan
kemudian Tuhan. Manusialah di antara makhluk yang paling mampu
menganalisis dirinya sendiri. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk
selain manusia termasuk malaikat dalam tradisi pemikiran Islam.
Usaha manusia untuk mengerti tidak hanya berhenti

pada objek dirinya

sendiri, akan tetapi bahkan ia ingin mengungkapkan rahasia segala sesuatu yang
„ada‟, termasuk mencoba mengerti Tuhan.18
Dalam tradisi pemikiran Islam, dunia dan alam semesta ini justru diciptakan
karena Allah mencipta manusia. Manusia yang menjadikan alam dunia ini
mempunyai makna dan berfungsi. Untuk maksud tersebut Tuhan menjadikan
manusia sebagai pemimpin dan khalifah di muka bumi.
Namun segera sebuah pertanyaan dapat diajukan mengenai siapa manusia itu
sesungguhnya. Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang cukup pelik
untuk dijawab. Akan tetapi tingkat kesadaran manusia terhadap eksistensinya
sendiri yang bertaraf lebih tinggi daripada makhluk Tuhan lainnya telah
menuntun manusia menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban-jawaban yang
hampir mendekati kebenaran.
Kehampiran terhadap penemuan kebenaran di atas menyebabkan manusia
sangat bersemangat untuk mencapainya. Akan tetapi, pengalaman sejarah
menunjukkan bahwa ternyata sepanjang sejarah itu sendiri manusia belum selesai
dan mencapai apa yang dicarinya. Di sinilah manusia selalu terdorong untuk

18 Ahmad Syadani,Filsafat Umum,(Bandung: Pustaka Setia 1997,h.103-104

24

bersikap kreatif dan kritis namun juga menyebabkan sebagian orang bersikap
skeptis dan pesimistis.
Di samping sikap tersebut di atas, sebagian lain kemudian menyebutkan
bahwa kebenaran pengetahuan manusia itu relatif. Bahkan akhir-akhir ini
sebagian mereka menyebutkan bahwa apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah
haruslah berupa suatu proposisi yang menimbulkan keraguan. Akankan demikian
pemikiran Islam dan Imam Al-Ghazali? Yang pasti berbeda adalah keyakinan
mereka terhadap adanya suatu kebenaran mutlak. Kesanalah setiap pemikir
muslim mengarahkan kegiatan pemikiran mereka.19[3]
Berdasarkan pandangan tentang alam dan manusia, Imam Al-Ghazali
menempatkan roh dalam kerangka metodologi untuk memperoleh dan memahami
kebenaran Islam. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali memandangan bahwa
penempatan roh dalam struktur kepribadian dan tindakan adalah merupakan
problem utama konsistensi manusia terhadap hakikat keberadaannya.
Bagi Imam Al-Ghazali, hanya menempatkan rohsebagai substansi eksistensi
secara fungsional, manusia akan memiliki kekuatan dan keberanian untuk
bersedia menyerah secara mutlak kepada kebenaran. Hal itu disebabkan hanya
roh yang memilki kebebasan sebagai landasan mengatasi dunia objektif yang
dimensional. Hanya roh yang memiliki kemampuan membebaskan diri dari
keterbatasan penguasaan terhadap objek duniawi dalam arti yang kesekarangan
yang kedekatan serta pendek. Dengan demikian maka hanya roh yang memiliki
peluang untuk memahami dan mencapai masa depan yakni kebebasan, kelepasan
dan kebahagian. Inilah salah satu pemikiran Imam Al-Ghazali dalam berfilsafat.
1. Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam tasawufnya memilih tasawuf sunni yaitu berdasarkan
dengan Al-Qur‟an dan Sunnah serta ditambah dengan doktrin Ahlus Sunnah
19[3]Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuan Jalan Kebebasan (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), hlm. 71-73.

25

wal Jama‟ah.Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan
pendidikan moral yang dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya‟ullum
Al-Din, Minhaj Al-„Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi‟raj AlSalikin, Ayyuhal Walad. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia
sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia
menyodorkan paham baru tentang ma‟rifat, yakni pendekatan diri kepada
Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya:
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma‟rifat
Menurut Al-Ghazali, ma‟rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk
memperoleh ma‟rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan
roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi
(kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga
yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma‟rifat.
b. PandanganAl-Ghazali tentang As-As‟adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah
melihat Allah (ru‟yatullah), di dalam kitab Kimiya As-Sa‟adah, ia
menjelaskan bahwa As-Sa‟adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak
(tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya
mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya
telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
Al-Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada kebenaran semua
sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptis.

20 [4]

Dia pernah

mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siapa yang
menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen20[4]Ahmad Mustofa., Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 224.

26

argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian
luas.... Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam
hati sanubari seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya
pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi AlGhazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan
dengan Tashawuf.21[5] Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan
ilmu kalam dan filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di
Madrasah Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu
menara Masjid Umawi di Damaskus.
Tashawuf Al-Ghazali berbeda dengan tashawuf yang berkembang saat itu. Ia
tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karyakaryanya tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak
berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut,
tasawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
c. Filsafat Etika/AkhlakImam Al-Ghazali
Akhlak sebagai bidang studi pada saat ini, sangat diperlukan di dalam proses
sosialisasi. Hubungan manusia kepada „Alam pada kenyataannya kurang
dapat dikatakan bagus. Kerusakan-kerusakan yang ada pada dunia ini,
semuanya itu bermula dari ulahnya manusia yang kurang bertanggung jawab.
Maka mengkaji secara mendalam “Akhlak” sangat diperlukan sebagai
pedoman dalam bersosialisasi dengan „alam secara baik.
Menurut Al-Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini,
terdapat persamaan antara Imam Al-Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa

21[5]HarunNasution,Filsafat dan Mistisme (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 31.

27

akhlâq harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifatsifatnya. Karena ia merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.
Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof lainnya, Al-Ghazali
membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an-nafs albahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an-nafs as-sabû‟iyyah) dan
jiwa berfikir (an-nafs an-nâthiqah) yang berasal dari ruh Tuhan yang tidak
akan hancur. Al-Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok, yang terdiri
dari empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan
keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi.
Dan untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif
bagi terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan syari‟at berfungsi efektif
untuk terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al-Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash-shirât al-mustaqîm)
yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada
mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat dicapai dengan penggabungan
antara akal dan wahyu.
Ihyâ` „Ulûm Ad Dîn merupakan salahsatu karya Al-Ghazali yang mengupas
tentang pemikiran filsafat etikanya. Maka, yang dikatakan bahwa filsafat etika
Al-Ghazali adalah Tashawuf Al-Ghazal, bertujuan pokok:Maksudnya bahwa
manusia semampunya dapat meniru keteladanan sifat-sifat ketuhanan, seperti
pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), serta sifat-sifat yang disukai
Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya
pengendalian amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri
insani serta latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun
tujuan dari akhlâq luhur adalah menahan diri dari mencintai dunia wujud dan
mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai Allah SWT.
Al-Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah
seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya.
28

Sebagaimana prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta
yang berkuasa dan sangat memelihara dan menjadi rahmatan lil „âlamîn.
Untuk taqarrub pada Allah, yang terpenting adalah muqârabah dan muhâsabah.
Adapun kesenangan menurut Al-Ghazali ada dua, yaitu kepuasan (ladzdzât)
ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan (sa‟âdah) ketika
mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri
(ma‟rifatullâh disertai musyâhadah al-qalb).22[6]
D. Karya-karya Imam Al-Ghazali
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani maupun dari
pendapat-pendapat filosof Islam, Al-Ghazali mendapatkan argumen-argumen
yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh
karena itu, Al-Ghazali menyerang argumen filosof Yunani dan Islam dalam
beberapa persoalan. Di antaranya, Al-Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang
azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak
mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia
pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab
akibat semata-mata, mustahil adanya penyelewengan.23[7]
Al-Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya
yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah
dan kaum filosof. Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa.
Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut
beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap
pemikiran umat Islam:24[8]

22[6]Magniz Franz Suseno, Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20(Yogyakarta: Kanisius,2000), hlm. 33.
23[7]Yunasril Ali,Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam(Jakarta: Bumi Aksara,1991), hlm. 68.
24[8]A. Heris Hermawan dan Yaya Sunarya,Filsafat(Bandung: CV Insan Mandiri,2011) hlm. 91-92.

29

 Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang
berisi masalah-masalah filsafat.
 Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika
jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al-Ghazali mengecam filsafat
para filosof dengan keras.
 Mi‟yâr Al „Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
 Ihyâ` „Ulûm Ad Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan
karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah
antara damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi panduan antara
fiqih, tasawuf dan filsafat.
 Al Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah
perkembangan alam pikiran Al-Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap
beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
 Al Ma‟ârif Al „Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
 Misykat Al Anwâr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlâq
tashawuf.
 Minhaj Al „Âbidîn (jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
 Al Iqtishâd fî Al I‟tiqâd (moderasi dalam akidah).
 Ayyuhâ Al Wa