94261406 Fenomena Sosial Dalam Administrasi Publik
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika kehidupan masyarakat yang berubah begitu cepat di bidang
politik, ekonomi, dan sosial budaya, memerlukan langkah penyesuaian dan
akselerasi pembangununan sistem kinerja yang handal. Demikian halnya
perubahan paradigma masyarakat terhadap pemerintah, menuntut pemerintah
untuk secara konsisten mampu menampung dan berupaya menjawab semua
tantangan
perubahan
serta
mampu
tatanan
mengantisipasi
masyarakat
secara
arah
gerak
simultan.
perkembangan
Percepatan
dan
dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta munculnya paradigma
baru dalam masyarakat Indonesia erat kaitannya dengan kinerja aparatur
pemerintah yang harus diakui belum menampakkan hasil yang optimal. Tidak
mengherankan, bahwa perkembangan yang telah terjadi berlandaskan pada ilmu
pengetahuan dan keahlian, berdampak langsung pada perubahan internal
mengkait dengan penyiapan sumber daya manusia, upaya efisiensi, peningkatan
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, dan kreativitas dalam penciptaan
inovasi, serta intensitas kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintah kian
membentuk tingkat keabsahan/legitimasi yang tinggi terhadap pemerintahan.
Kualitas pelayanan yang diberikan oleh setiap Pemerintah Kabupaten ataupun
Kota,
mempunyai
kaitan
langsung
dengan
proses
pengangkatan
dan
penempatan yang dilakukan pada awal seseorang menduduki jabatan tertentu.
Pengangkatan dan penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan kebutuhan
akan menimbulkan pemborosan (inefisiensi dan inefektivitas) di sana-sini. Oleh
karena itu proses pengangkatan dan penempatan perlu menjadi perhatian
1
semua pihak, terutama pengambil kebijakan agar dalam menjalankan rencana
kerja suatu Pemerintah Kabupaten atau Kota terjadi efisiensi dan efektifitas kerja.
Konsekuensi
dari
hal
itu,
diperlukan
pegawai
yang
mempunyai
kemampuan, integritas tinggi dan sinergitas dukungan aparatur yang tangguh
dan sesuai kualifikasi, terutama untuk mengembangkan kreativitas pegawai
dalam melaksanakan berbagai tugas sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawabnya, serta menempatkan pegawai yang tepat pada tempatnya. Konsep
penemptan pegawai dengan prinsip the right on the right place or the right man
on the right job adalah suatu istilah yang tepat saat ini untuk menggambarkan
bagaimana semestinya para pegawai di suatu instansi baik itu pemerintahan
maupun
instansi
swasta
ditempatkan
pada
posisi
yang
sesuai
dengan
kemampuan dan kualifikasi pendidikannya sehinga mereka dapat menjalankan
tugas dengan baik, efisien dan efektif sebagaimana tujuan dari suatu organisasi.
Jika meminjam konsep Webber mengenai tipe ideal birokrasi maka dapat
diperoleh
suatu
gambaran
bagaimana
suatu
organisasi
memperhatikan
bagaimana tingkat spesialisasi pekerjaan dalam hal bagaimana kemudian para
pegawai ditempatkan pada posisi-posisi yang sesuai dengan bidang keahliannya
sehingga tercapai suatu kefektifan dan keefisienan dalam mengerjakan tugastugas organisasi itu sendiri. Selain itu menurut Webber bahwa untuk kemudian
menempati suatu posisi dalam organisasi dalam hal promosi ataupun kenaikan
jabatan harus melalui mekanisme-mekanisme yang selektif sehingga pegawaipegawai yang akan menempati posisi-posisi tersebut nantinya memiliki kualitas
dalam melaksanakan tanggung jawabnya akan tugasnya.
Penempatan sebagai bagian dari faktor yang mempengaruhi kualitas
layanan, lebih disebabkan karena proses penempatan tersebut berkaitan dengan
kesesuaian dan keseimbangan antara kemampuan yang dimiliki oleh pegawai
2
dengan jabatannya. Jabatan itu sendiri adalah kedudukan yang menunjukkan
tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam
satuan organisasi, sementara itu jabatan struktural
diartikan sebagai suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab,
wewenang dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam rangka memimpin suatu
satuan organisasi negara Karena itulah proses ini penempatan pegawai dalam
jabatan struktural merupakan titik awal dari keberhasilan layanan kepada
masyarakat di masa mendatang.
Pelaksanaan pengangkatan pegawai dalam jabatan struktural dalam
prakteknya sering tidak sesuai dengan peraturan. Hal inilah yang sering
menimbulkan masalah kepegawaian, beberapa faktor yang kemudian sering
terjadi menjadi akibat dari ketidak efektifan suatu pemerintahan dalam
penempatan para pegawainya antara lain konsekwensi pada saat suatu daerah
setelah melaksanakan pemilihan kepala daerah yang mana suatu fenomena baru
yang terjadi hampir disetiap daerah bahwa pemimpin baru cenderung memutasi
habis-habisan pegawai yang mereka anggap tidak mensupport mereka pada saat
pemilihan, walaupun dengan dalih untuk merefresh suasana pemerintahan
namun hal ini tentunya suatu yang tidak lazim, yang sangat mencederai citra
birokrasi di pemerintahan ini. Selain itu rasa tidak senang dengan pejabat yang
diangkat karena merasa pengangkatan tersebut tidak adil. Rasa tidak senang ini
sering kali berakibat menurunnya tingkat kerja sama dengan pejabat yang
bersangkutan sehingga akhirnya pekerjaan yang menjadi tanggung jawab
bersama antara pegawai yang bersangkutan dengan pejabat tersebut menjadi
kurang baik hasilnya. Selain itu sering ada rasa kurangpuas dari pegawai yang
lain yang akhirnya berakibat pada menurunnya prestasi kerja pegawai .
Dari deskripsi-deskripsi tersebut maka kami tertarik untuk mengetahui
lebih mendalam bagaimana penerapan konsep penempatan pegawai dengan
3
prinsip the right man in the right place/job pada saat ini, beberapa hal yang
berkaitan tentang konsep dasar, implementasi dan hal-hal yang dianggap perlu
untuk dijadikan bahan rekomendasi dalam pelaksanaan konsep the right man in
the right place/job.
B A B II
KERANGKA KONSEP
Konsep the right in the right place dan the right on the right job,
merupakan suatu yang identik dengan penempatan seorang atau beberapa
orang pegawai atau karyawan dalam suatu jenis atau posisi pekerjaan atau
jabatan dalam suatu organisasi. Beberapa ahli maupun teoritikus mencoba
menggambarkan bagaimana konsep penempatan pegawai yang ideal dalam
suatu organisasi.
Seperti yang di jelaskan oleh Max Webber dalam konsep idealnya
mengenai birokrasi, Webber menjelaskan bahwa tipe ideal birokrasi meliputi :
1. Pembagian kerja. Pekerjaan dari setiap orang dipecah-pecah sampai ke
pekerjaan-pekerjaan yang sederhana, rutin, dan ditetapkan dengan jelas.
2. Hierarki kewenagan yang jelas. Sebuah struktur multi tingkat yang formal,
dengan posisi hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan
yang lebih rendah di bawah supervisi dan kontrol dari yang lebih tinggi.
3. Formalisasi yang tinggi. Ketergantungan kepada peraturan dan prosedur yang
formal untuk memastikan adanya keseragaman dan untuk mengatur perilaku
pemegang pekerjaan.
4
4. Bersifat tidak pribadi (impersonal). Sanksi-sanksi diterapkan secara seragam
dan tanpa perasaan pribadi untuk menghindari keterlibatan dengan kepribadian
individual dan prferensi pribadi para anggota.
5. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas
kemampuan. Keputusan tentang seleksi dan promosi didasarkan atas kualifikasi
teknis, kemampuan, dan prestasi para calon.
6. Jejak karir bagi para pegawai. Para anggota diharapkan mengejar karir dalam
organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karir tersebut, para
pegawai mempunyai masa jabatan; artinya, mereka akan dipertahankan
meskipun mereka “kehabisan tenaga” atau jika kepandaiannya tidak terpakai
lagi.
7. Aktivitas organisasi menentukan kapasitas pegawai secara penuh. Beban
Pekerjaan yang akan dilakukan harus sesuai dengan jumlah pegawai yang
tersedia.
Dari beberapa yang dijelaskan oleh Webber terlihat bahwa sistem
pembagian kerja dalam suatu organisasi harus dirumuskan dengan baik, lebih
lanjut Webber, dalam buku teori organisasi (Robbins), menjelaskan bahwa
semestinya karyawan atau pegawai-pegawai ditempatkan dalam satu posisi
yang terspesialisasi dengan memperhatikan keahlian yang dimiliki oleh seorang
karyawan tersebut untuk mengerjakan tugas yang dianggap sesuai dengan
keahliannya tersebut. Sehingga pencapaian organisasi akan lebih efektif.
Stephen Robbins, dalam bukunya Teori organisasi juga menyinggung
mengenai tingkat spesialisasi pekerjaan, Robbins menjelaskan bahwa salah satu
komponen dalam membentuk suatu struktur organisasi ialah kompleksitas, di
dalam kompleksitas sendiri terdapat konsep spesialisasi pekerjaan dimana
dijelaskan bahwa para karyawan dibagi dalam beberapa unit organisasi dan
ditempatkan pada posisi-posisi sesuai dengan keahliannya.
5
Selanjutnya Frederick
W. Taylor, Menurut penelitiannya mengenai
hubungan antara pekerja dengan tugas yang diberikan melalui tahapan proses
untuk meningkatkan efesiensi. Taylor berasumsi bahwa semestinya para pekerja
dimasukkan ke dalam suatu jenis pekerjaan yang dianggap mampu untuk
mereka
kerjakan.
berdasarkan
Sedangkan
keahlian
dan
Smith
lebih
spesifik
penelitiannya
sebagai
menjelaskan
manajer
,
bahwa
perusahaan
manufaktur, Smith mengembangkan 4 dasar prinsip teori untuk meningkatkan
efesiensi di lingkungan dia bekerja yakni:
-
Mempelajari
cara
pekerja
dalam
melaksanakan
tugasnya
dengan
mengumpulkan informasi tentang pekerja tersebut, dan dengan melakukan
percobaan serta memberikan cara bagaimana suatu tugas dapat dilakukan
dengan baik.
- Menyusun metode baru dalam pelaksanaan tugas ke dalam peraturan tertulis
dan standart prosedur operasional
- Memilih pekerja secara selektif
sesuai dengan keahlian yang dimiliki dan
kemampuan yang sesuai dengan tugas kerja dan melatih mereka untuk
melaksanakan tugas berdasarkan prosedur dan peraturan yang ditetapkan, dan
- Menetapkan tingkatan dalam bekerja menurut tugas secara adil, melalui sistem
kompensasi gaji yang diberikan dalam bentuk penghargaan untuk keberhasilan
tugas yang dberikan.
Dari beberapa penjelasan yang telah dijelaskan beberapa pakar maka
kami menyimpulkan bahwa pada dasarnya penempatan pegawai atau karyawan
menjadi penting dalam rangkan pencapaian kinerja dari suatu perusahaan atau
organisasi
pemerintahan,
penempatan
pegawai
akan
menjadikan
suatu
perusahaan efektif dalam pencapaian tujuan perusahaan.
Untuk konteks pemerintahan khususnya Pemerintah Indonesia, dijelaskan
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor. 13 Tahun 2002
6
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural menyatakan
Baperjakat
Instansi
Pusat,
dan
Baperjakat
Instansi
Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada
Pejabat
Pembina
Kepegawaian
dalam
pengangkatan,
pemindahan
dan
pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah; pemberian
kenaikan
pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan
prestasi kerja luar biasa baiknya, atau menemukan penemuan baru yang
bermanfaat bagi negara; perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang
menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon II; dan
pengangkatan
pegawai
sekretaris
negeri
sipil
daerah
dalam
propinsi/kabupaten/kota.
jabatan
struktural
Pengangkatan
dilakukan
dengan
mempertimbangkan faktor-faktor pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi,
serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan
tertentu sampai dengan pensiun.
B A B III
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Konsep Penempatan Pegawai (The Right On The Right
Place/Job)
Pengakatan PNS dalam jabatan tentunya berdasarkan kompetensi yang
dimiliki dengan filosofi "The Right Man on The Right Place/Job" yaitu mendudukan
PNS yang tepat pada tempatnya atau jabatan yang tepat pula. Penataan
organisasi
dalam
lingkup
Pemprov
maupun
Pemerintah
Kabupaten/Kota,
termasuk penempatan PNS dalam jabatan struktural pada esensinya merupakan
bagian integral dari upaya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah
daerah untuk mewujudkan ‘good govermance' dan ‘clean government' di suatu
7
pemerintahan, yang bertumpu pada reformasi organisasi, sumber daya manusia
dan manajemen birokrasi.
Dilihat aspek reformasi organisasi, filosofinya adalah semua jenjang dan
strata organisasi pemerintah secara fundamental adalah berfungsi sebagai
instrumen
pelayanan
publik.
Dengan
demikian,
struktur
organisasi
dan
ketatlaksanaannya harus didesain secara tepat agar mampu merespons dan
adaptif terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks tersebut,
maka desain organisasi dengan prinsip "ramping struktur kaya fungsi" menjadi
pilihan
atau
alternatif
saat
ini,
yang
dianggap
tepat
dengan
mengimplementasikan konsep penyederhanaan atau pengurangan struktur
organisasi.
Dibalik penataan birokrasi di jajaran Pemerintahan daerah, tentunya harus
dipahami juga seseorang pejabat akan bekerja secara berdayaguna dan berhasil
guna apabila mengetahui dengan jelas posisinya dalam suatu organisasi kerja.
Kejelasan itu sangat penting artinya bagi setiap pejabat karena memungkinkan
mengetahui peranan dan sumbangan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan
kerja secara keseluruhannya. Seorang pejabat harus ditempatkan dengan posisi
dan peranannya yang lebih jelas di dalam organisasi kerja.
Dalam penempatan pejabat juga masih perlu diperhatikan persyaratan
kesesuaian antara minat, bakat, pengetahuan, ketrampilan dan keahlian pegawai
dengan jenis dan tingkat pekerjaan/jabatan yang dipercayakan kepadanya.
Dengan kata lain penempatan harus berpegang kepada prinsip "The Right Man
on The Right Place and The Right Man on The Right Job" yang artinya
penempatan orang-orang yang tepat pada tempat dan untuk jabatan yang tepat.
Dengan melakukan penempatan pejabat yang sesuai dengan prinsip tersebut di
8
atas diharapkan akan meningkatkan kinerja pegawai sehingga tujuan organisasi
dapat tercapai.
Dalam fungsi manajemen bahwa penempatan karyawan (pegawai) disebut
dengan staffing. Teori Manajemen Sumber Daya Manusia modern menekankan
bahwa penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru akan tetapi
berlaku pula bagi pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi. Hal ini
sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Siagian bahwa konsep penempatan
mencakup promosi, transfer, dan bahkan demosi sekalipun. Sebagaimana halnya
dengan pegawai baru, pegawai lamapun perlu direkrut secara internal, perlu
dipilih dan biasanya juga menjalani program pengenalan sebelum mereka
ditempatkan pada posisi baru dan melakukanpekerjaan baru pula. Menurut
Saydam bahwa :
“Penempatan pegawai merupakan mengisi lowongan pekerjaan yang tersedia
dalam organisasi, agar orang yang ditempatkan itu tidak terombang-ambing lagi
dalam menunggu tempat dan apa yang akan dikerjakan serta menempatkan
orang yang tepat pada posisi
dantempat yang tepat, agar organisasi dapat
bertindak efisien dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang berhasil
direkrut”.
Lebih lanjut Thoha menjelaskan bahwa : penempatan pegawai yaang telah
diterima dapat dibedakan atas penggunaan atau pengangkatan dalam jabatan,
perbantuan,
dipekerjakan kembali dan pejabat negara.Menempatkan pegawai
yang tepat pada jabatan
atau posisi yang tepat (the right man on the right
place) belakangan ini banyak menjadi
isu sentral dalam manajemen sumber
daya manusia. Terdapat adanya korelasi positifantara
penempatan pegawai
dengan peningkatan produktifitas kerja. Di samping itu, menempatkan pegawai
secara tepat dan benar pada dasarnya sebagai upaya untuk memotivasi pegawai
memeperoleh kepuasan dalam pekerjaannya. Siswanto menyatakan bahwa :
9
“Penempatan tenaga kerja adalah suatu proses pemberian tugas dan pekerjaan
kepada tenaga kerja yang lulus dalam seleksi untuk dilaksanakan secara
kontinuitas dengan wewenang dan tanggung jawab sebesar porsi dan komposisi
yang ditetapkan serta mampu
mempertanggungjawabkan segala risiko dan kemungkinan yangterjadi atas
fungsi dan pekerjaan, wewenang dan tanggung jawab tersebut.
Penempatan pegawai pada suatu jabatan tertentu, dapat merupakan
promosi bagi pegawai yang bersangkutan apabila jabatan yang dipangku saat ini
memiliki grade, tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar dibandingkan
dengan jabatan sebelumnya. Sebaliknya dapat merupakan demosi bila jabatan
yang dipangku saat ini memiliki grade, tanggung jawab dan wewenang yang
lebih kecil dibandingkan dengan jabatan sebelumnya. Penempatan pegawai
selain merupakan kewenangan atasan atau pimpinan sepenuhnya untuk mengisi
jabatan yang kosong, melainkan juga mengandung unsur promosi atau demosi.
Transfer, di samping merupakan kewenangan pimpinan, dapat pula atas
permintaan pegawai untuk dipindah ke suatu tempat yang lowong. Pada
prinsipnya, tranfer tidak mengadung unsur promosi maupun demosi serta tidak
diikuti oleh perubahan gaji dan tingkat jabatan (grade).
Penempatan pegawai yang tepat dan benar pada dasarnya sebagai upaya
untuk memotivasi pegawai, baik dengan uang, kebutuhan untuk berafiliasi,
kebutuhan untuk berprestasi dan ingin memberikan sesuatu yang berarti di
dalam pekerjaannya. Jadi jika penempatan pegawai pada jenjang jabatan secara
benar, dampaknya akan memberikan motivasi kepada pegawai lainnya serta
memberikan penilaian positif terhadap sistem yang
diterapkan oleh instansi. Metode yang terbaik untuk memotivasi pegawai adalah
memberikan penekanan pada kebutuhan sosialnya, oleh karenanya menjadi
tanggung jawab pimpinan untuk menjadikan pegawai lebih berguna dan merasa
10
dipentingkan dalam suatu jabatan, dengan cara memberikan fasilitas yang
memuaskan kebutuhan sosialnya melalui penempatan yang tepat dan benar. Hal
yang harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah adalah bahwa para pegawai
mulai menekankan bahwa pekerjaan perlu diintegrasikan secara efektif dengan
kebutuhan
manusia
untuk
pertumbuhan
pribadi,
harapan
keluarga,
dan
persyaratan etika masyarakat. Jadi karier merupakan serangkaian pengalaman
kerja yang sungguh-sungguh berurutan menuju ketingkat tanggungjawab,
status, kekuasaan, dan penghargaan yang lebih besar.
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor. 13 Tahun 2002
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural menyatakan
Baperjakat
Instansi
Pusat,
dan
Baperjakat
Instansi
Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada
Pejabat
Pembina
Kepegawaian
dalam
pengangkatan,
pemindahan
dan
pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah; pemberian
kenaikan
pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan
prestasi kerja luar biasa baiknya, atau menemukan penemuan baru yang
bermanfaat bagi negara; perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang
menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon II; dan pengangkatan
sekretaris daerah propinsi/kabupaten/kota. Pengangkatan pegawai negeri sipil
dalam jabatan struktural dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi, serta masa jabatan seorang PNS
sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun.
B. Implementasi Konsep The Right Man On The Right Place/Job
Megenai implementasi konsep penempatan pegawai dengan prinsip The
Right Man On The Right/Job, khususnya untuk konteks Indonesia hingga saat ini,
11
masih jauh dari harapan. Asumsi ini kemudian muncul dengan berbagai fakta
bahwa hampir di sebagian pemerintah daerah hingga hari ini baik itu pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota belum menempatkan pegawaipegawainya dalam posisi-posisi ideal atau pada jenis pekerjaan yang sesuai
dengan tingkat keahlian, pendidikan dan kompetensi yang dimilikinya. Yang
terjadi ialah mereka yang ditempatkan yang bukan pada kriteria-kriteria yang
telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai masalah pengangkatan
pegawai pada suatu posisi atau jabatan.
Beberapa contoh kasus yang menjadi indikator bahwa konsep The Right
Man On The Right Place/Job belum diterapkan dengan maksimal, khususnya di
Indonesia ialah sebagai berikut :
-
Di lingkup pemerintahan Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi
Barat, di temukan fakta bahwa dari 13 kecamatan yang ada, 10 camat
berlatarbelakang pendidikan sarjana pendidikan yang mana profesi
sebelum menjadi camat ialah sebagai kepala sekolah dan guru.
-
Di lingkup pemerintahan Kabupaten Kolaka Utara ditemukan fakta bahwa
Kepala Dinas kesehatan dijabat oleh seorang Sarjana Agama dan Kepala
Dinas Perhubungan dijabat oleh seorang sarjana pendidikan.
-
Di lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Majene ditemukan juga bahwa
kepala dinas pendidikan adalah seorang sarjana ekonomi, dan sekretaris
Bappeda adalah seorang dokter.
-
Mr.x , seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS) berjenis kelamin laki-laki,
berasal dari salah satu kota di Jawa, dan berpendidikan diploma akuntansi,
setahun yang lalu ditempatkan di BPS Provinsi Maluku Utara– tiba-tiba
menghilang tanpa kabar. Setelah 3 hari menghilang, diketahui kalau Mr. X
sudah berada di rumah orang tuanya di kota asalnya. Orang tuanya
12
mengatakan kalau Mr. X mengalami depresi dan harus konsultasi ke
psikolog.
-
Kasus yang sama terjadi sebelumnya, dimana seorang CPNS lulusan
Sekolah
Tinggi
Ilmu
Statistik
(STIS)
berjenis
kelamin
perempuan,
meninggalkan wilayah tugasnya di kantor salah satu BPS Kabupaten, dan
diketahui kembali ke kota asalnya di Jawa. Kondisinya sama yakni depresi.
Untuk
dua contoh kasus terakhir dapat terlihat bahwa Kasus ini
memunculkan beberapa pertanyaa,
seberapa siapkah CPNS ditempatkan di
suatu wilayah? Apa yang menyebabkan mereka depresi? Sistem seperti apa
yang tepat diterapkan dalam penempatan CPNS di suatu wilayah? Kebijakan
penempatan CPNS oleh BPS sebenarnya sudah tepat. Lulusan STIS ditempatkan
di BPS Kabupaten/Kota dengan harapan dapat menyebar luaskan serta
mengembangkan statistik disana. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan
bahwa di era otonomi, peran BPS Kabupaten/Kota menjadi sangat penting.
Sementara, CPNS yang berlatar belakang ilmu khusus (akuntansi, ekonomi, dll)
pada umumnya ditempatkan di BPS Provinsi untuk mendukung kegiatan teknis.
Dasar pertimbangan ini benar secara konseptual, tapi harus melalui suatu proses
yang optimal serta beberapa faktor pendukung. Menilik kasus X, proses
rekrutmen sebenarnya sudah menggaransi kesiapan penempatan tugas. Melalui
penyaringan administratif, tes akademi, tes kesehatan termasuk di dalamnya tes
psikologis, seorang CPNS juga dimintakan kesiapannya untuk ditempatkan
dimana saja. Penyaringan administratif, tes akademi dan tes kesehatan (fisik)
mungkin
tidak
terkait
dengan
depresi
seseorang,
persoalannya
dapat
dimungkinkan oleh lemahnya tes psikologis yang dilakukan. Seyogyanya, tes
psikologis mampu menjamin bahwa seorang CPNS benar-benar siap ditempatkan
dimana saja di suatu wilayah tugas, tidak hanya dinyatakan dalam satu lembar
pernyataan kesiapan. Yang terakhir ini tidak lebih dari suatu pembelaan lembaga
13
pemerintah kalamana seorang menolak pada saat ditempatkan. Tapi, kesiapan
disini harus juga menyangkut kesiapan mental seseorang kalamana ditempatkan
di suatu wilayah tugas.
Permasalahan yang muncul kemudian mengenai penerapan konsep The
Right Man On The Right Place/Job ialah dilema yang terjadi dalam pemerintahan
daerah itu sendiri. Dilema yang dimaksud ialah bahwa konsep The Right Man On
the Right Place/Job merupakan suatu konsep ideal yang akan efektif jika
diterapkan dengan baik oleh suatu organisasi ataupun pemerintahan. Konsep
yang diajukan oleh beberapa pakar ini khususnya oleh Max Webber ini kemudian
menjadi suatu penemuan yang eksis hingga saat ini. Hal yang perlu diingat ialah
bahwa konsep ini lebih ditujukan bagi negara-negara dunia pertama yang telah
memiliki tingkat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga
mungkin konsep ini mungkin mudah untuk diterapkan di beberapa Negara yang
sudah maju semacam Amerika, Inggris dan negara maju lainnya, namun untuk
konteks Indonesia mungkin masih sangat sulit dengan kondisi Negara kita yang
baru berkembang untuk bersaing dengan Negara-negara maju. Lepas dari
asumsi
itu
semestinya
kita
tidak
terjebak
dalam
dilema
konsep
ini,
bagaimanapun juga sebagai negara yang ingin mewujudkan pemerintahan yang
baik maka konsep ini semestinya bisa digunakan di Negara kita.
Sebagai Negara yang memperjuangkan semangat reformasi birokrasi, hal
yang perlu dilakukan ialah aktualisasi konsep penempatan pegawai pada
tempatnya dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Pemerintah sendiri
bukannya tidak menghendaki konsep The Right Man On The Right Place/Job lahir
di birokrasi kita, hal ini digambarkan dengan aturan tentang kepegawaian
tentang pengangkatan pegawai yang menjelaskan bahwa seorang pegawai yang
diangkat atau ditempatkan pada posisinya jika memiliki kompetensi, tingkat
14
pendidikan dan keahlian yang dimiliki sehingga mampu untuk menempati suatu
jabatan atau posisi dalam pemerintahan.
Dari pengamatan kami ada beberapa hal yang kemudian sulit untuk
mewujudkan konsep The Right Man On The Right Place/job di Negeri ini,
misalnya bahwa pengaruh poiltisasi sangat menghegemoni dalam penempatan
pegawai di beberapa pemerintahan yang ada di daerah. Hal ini kemudian terjadi
dikarenakan para PNS baik secara langsung maupun tidak dalam tanda kutip
dipaksa untuk berpolitik praktis dengan asumsi jika mereka tidak melakukan itu
maka bisa saja posisi mereka terancam dalam pemerintahan. Padahal seperti
yang diketahui bahwa PNS sangat tidak diperkenankan untuk terlibat dalam
masalah politik pemerintahan khususnya pemilihan kepala daerah. Hal yang
menakutkan bagi mereka ketika calon kepala daerah yang akan maju adalah
incumbent maka menjadi suatu yang mengharuskan mereka untuk setidaknya
mendukung incumbent dengan asumsi posisi mereka akan aman jika incumbent
akan menang. Namun yang menjadi musibah atau berkah ketika setelah
pemilihan, bagi mereka tidak mendukung tentunya akan mendapatkan posisi
yang aman bahkan kenaikan posisi jabatan yang lebih tinggi, namun bagi
mereka yang tidak mendukung siap-siap saja untuk dimutasi ke wilayah-wilayah
terpencil dan dinonjobkan. Hal inilah kemudian menjadi ironi di Negara kita saat
ini, atau dapat dikatakan bahwa salah satu dampak yang buruk dari pemilihan
kepala daerah ialah bagaimana sistem penempatan pegawai yang sangat
dipolitisasi.
Dari gambaran ini sebenarnya muncul suatu fenomena bahwa pada
dasarnya secara sadar atau tidak bentuk penempatan pegawai secara politik
atau dari imbalan politik adalah suatu sistem baru yang buruk yang berdampak
sistemik terhadap kinerja pegawai-pegawai yang impactnya kembali pada
daerah itu sendiri. Betapa tidak mereka yang diangkat atau ditempatkan pada
15
posisi-posisi dengan cara politisasi sudah tidak melewati proses atau kriteriakriteria yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang sebenarnya
dalam hukum sudah terjadi pelanggaran yang bisa untuk ditindaklajuti pula
secara hukum. Namun yang terjadi ialah fenomena ini sudah menjadi budaya
baru di pemerintahan kita khususnya di pemerintah-pemerintah daerah. Padahal
sebenarnya PNS atau pegawai yang bersangkutan mungkin saja tidak ingin
melakukan atau katakanlah memilih salah satu pasangan calon secara terpaksa
namun karena budaya ini telah menjadi teror dan pressur yang luar biasa maka
kenetralitasan pegawai hilang dengan sendirinya. Olehnya itu konsep netralitas
birokrasi sebagai komponen dari semangat reformasi birokrasi di Negara ini
dapat dikatakan gagal dalam hal penempatan pegawai.
Hal lain yang menjadi kendala dalam penempatan pegawai dengan prinsip
The right Man On The Right Place/Job di Negara ini ialah pembentukan daerah
baru dalam skop Pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi salah satu
faktor, hal ini digambarkan jika daerah baru tersebut berubah status dari
misalnya kecamatan menjadi suatu kabupaten tentunya membutuhkan beberapa
sumber daya dalam rangka proses jalannya pemerintahan. Nah hal yang
biasanya terjadi dalam kondisi ini ialah bagaimana pemerintah daerah yang baru
ini melakukan sistem penempatan pegawai pada posisi-posisi sentral katakanlah
untuk posisi kepala bidang, kepala bagian, maupun kepala seksi dari mereka
yang tidak memiliki keahlian dan kompetensi dalam bidang itu. Kenyataanya hal
ini dikarenakan sumber daya manusia yang diprioritaskan untuk mengisi posisiposisi tersebut belum ada. Adapun mereka yang kemudian mengisi posisi itu
ialah para tenaga pengajar ataupun kepala sekolah atau pegawai yang sudah
memiliki golongan minimal III A. Hal ini kemudian menjadi suatu fakta bahwa
daerah baru cenderung tidak menempatkan pegawai yang memiliki keahlian
dengan posisi kerjanya. Namun kejadian seperti itu bukanlah menimbulkan suatu
16
permasalahan pelik, kita tidak mungkin kembali untuk meributkan daerah yang
sudah berubah status tersebut dari kecamatan menjadi kabupaten dengan
alasan ketidaksiapan sumber daya aparatur, nah hal yang perlu diperhatikan
ialah bagaimana kondisi semacam ini bisa diantisipasi sebelumnya yakni dengan
lebih mengetatkan regulasi dalam pembentukan suatu daerah baru untuk lebih
siap dalam penyediaan sumber daya aparatur yang memiliki kompetensi dan
kualitas. Tentunya masalah ini adalah domain pemerintah untuk mengurus
masalah tersebut.
Hal yang menjadi masalah kemudian dalam pelaksanaan penempatan
pegawai dengan prinsip The right Man On The Right Place/Job di pemerintahan
kita ialah bagaimana ketersediaan dari para aparatur atau pegawai itu sendiri.
Harus kita sadari bahwa masalah kurang kompetitifnya sumber daya manusia
kita menjadi masalah klasik yang menyebabkan reformasi birokrasi hingga saat
ini masih kurang maksimal.
Selain budaya korupsi yang lagi ngetrend di Negara kita saat ini kapasitas
dan kualitas pegawai-pegawai kita yang ada saat ini masih kurang baik dalam
hal pemberian pelayanan publik. Masalah-masalah ataupun keluhan-keluhan
masyarakat khususunya bagi mereka yang terlibat dalam interaksi dengan
pegawai-pegawai negara dalam bidang pelayanan menjadi salah satu bukti
bahwa mental pegawai kita masih kurang baik. Satu hal yang kemudian menjadi
penyebab rendahnya mental pegawai dan ketidakmampuan untuk menjalankan
tugas dengan baik ialah sistem rekruitmen pegawai yang tidak transparan dan
sarat akan kolusi dan nepotisme, masalah ini kemudian hampir terjadi di
beberapa daerah dan hampir disetiap penerimaan pegawai yang menjadi budaya
buruk bangsa kita. Impactnya? Ya tentu saja terhadap kinerja pemerintahan itu
sendiri, di mana mereka yang terpilih untuk menjadi pegawai Negara dengan
17
hasil nepotisme dipastikan tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan suatu
tugas-tugas teknis pemerintahan.
C. Beberapa Hal Dalam Mewujudkan Konsep The right Man On The
right place/Job
Dengan melihat deskripsi mengenai masalah-masalah yang ada dalam
penempatan pegawai dengan prinsip The right Man On The Right place/Job maka
kami mencoba untuk menampilkan beberapa hal yang kemudian dapat menjadi
bahan rekomendasi dalam melaksanakan konsep tersebut.
Jika merujuk pada konsep Webber, Taylor dan Smith tentang spesialisasi
pekerjaan maka seharusanya para pegawai dalam suatu organisasi khususnya
organisasi pemerintah hendaknya ditempatkan pada posisi jabatan sesuai
dengan tingkat keahlian yang
dimilikinya. Keahlian yang dimaksud adalah
kemampuan para pegawai atau pekerja dalam melaksanakan tugasnya sesuai
denga tempat tugas mereka sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi yakni
efektivitas program-program dapat tercapai.
Sedangkan Jewell berpendapat bahwa dalam pengambilan keputusan
penempatan pegawai, ada empat strategi dasar alternatif yang dapat diakui
yaitu :
1. Tempatkan individu yang mampu dalam pekerjaan yang mempunyai prioritas
tertinggi.
2.
Tempatkan
individu
dalam
pekerjaan
yang
menunjukkan
probabilitas
keberhasilannya paling tinggi.
3. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang diharapkan dapat mengembangkan
kemampuannya.
4. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang disukainya diantara pilihan yang
dinilai paling cocok.
18
Pendapat Jewel di atas dilaksanakan setelah pemerintah mendapatkan
pegawai yang selektif dan memiliki kualitas dan kredibilitas yang tinggi.
Hal lain yang dapat dilakukan pemerintah maupun pemerintah daerah
ialah :
1. Sistem
rekruitmen
pegawai
yang
harus
lebih
selektif
dengan
mengedepankan kompetisi tanpa nepotisme atau hal-hal lain yang di
luar dari aturan yang ada.
2. Mereka yang kemudian terpilih ialah mereka yang memiliki tingkat
pendidikan dan keahlian yang kompetitif dan memiliki mental bekerja
yang baik.
3. Membuat aturan yang lebih jelas dan akurat mengenai penempatan,
promosi dan mutasi pegawai tanpa campur tangan politik
4. Pengawasan yang ketat dalam pendidikan pelatihan seperti prajabatan
dan Diklat-diklat tertentu sehingga pegawai lulus secara objektif.
5. Mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang sifatnya menambah pengetahuan para pegawai akan tugas pokok
dan fungsinya sebagai pegawai negeri.
6. Pemberian reward and punismant kepada mereka yang memiliki kinerja
yang baik diberikan penghargaan dan pemberian sanksi berupa
pemindahan (mutasi) jika tidak bekerja dengan baik dengan penilaian
objektif.
19
B A B IV
PENUTUP
Kesimpulan
-
Konsep Penempatan pegawai dengan prinsip the right on the right place or
the right man on the right job adalah suatu istilah yang tepat saat ini
untuk menggambarkan bagaimana semestinya para pegawai di suatu
instansi baik itu pemerintahan maupun instansi swasta ditempatkan pada
posisi yang sesuai dengan kemampuan dan kualifikasi pendidikannya
sehinga mereka dapat menjalankan tugas dengan baik, efisien dan efektif
sebagaimana tujuan dari suatu organisasi. Jika meminjam konsep Webber
mengenai tipe ideal birokrasi maka dapat diperoleh suatu gambaran
bagaimana
suatu
organisasi
memperhatikan
bagaimana
tingkat
spesialisasi pekerjaan dalam hal bagaimana kemudian para pegawai
ditempatkan pada posisi-posisi yang sesuai dengan bidang keahliannya
sehingga tercapai suatu kefektifan dan keefisienan dalam mengerjakan
-
tugas-tugas organisasi itu sendiri
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor. 13 Tahun 2002
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000
tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural
menyatakan Baperjakat Instansi Pusat, dan Baperjakat Instansi Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pertimbangan
kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan
dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah;
pemberian kenaikan
menunjukkan
pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural,
prestasi
kerja
luar
biasa
baiknya,
atau
menemukan
penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; perpanjangan batas usia
pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon
20
II;
dan
pengangkatan
sekretaris
daerah
propinsi/kabupaten/kota.
Pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural dilakukan
dengan
mempertimbangkan
faktor-faktor
pendidikan
dan
pelatihan
jabatan, kompetensi, serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan
pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun
-
Megenai implementasi konsep penempatan pegawai dengan prinsip The
Right Man On The Right/Job, khususnya untuk konteks Indonesia hingga
saat ini, masih jauh dari harapan. Asumsi ini kemudian muncul dengan
berbagai fakta bahwa hampir di sebagian pemerintah daerah hingga hari
ini baik itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota
belum menempatkan pegawai-pegawainya dalam posisi-posisi ideal atau
pada jenis pekerjaan yang sesuai dengan tingkat keahlian, pendidikan dan
kompetensi yang dimilikinya. Yang terjadi ialah mereka yang ditempatkan
yang bukan pada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan
pemerintah mengenai masalah pengangkatan pegawai pada suatu posisi
atau jabatan.
-
Hal yang dapat dilakukan pemerintah maupun pemerintah daerah dalam
aktualisasi penempatan pegawai dengan prinsip The Right Man On The
Right Place ialah :
1. Sistem
rekruitmen
pegawai
yang
harus
lebih
selektif
dengan
mengedepankan kompetisi tanpa nepotisme atau hal-hal lain yang di luar
dari aturan yang ada.
2. Mereka yang kemudian terpilih ialah mereka yang memiliki tingkat
pendidikan dan keahlian yang kompetitif dan memiliki mental bekerja
yang baik.
3. Membuat aturan yang lebih jelas dan akurat mengenai penempatan,
promosi dan mutasi pegawai tanpa campur tangan politik
4. Pengawasan yang ketat dalam pendidikan pelatihan seperti prajabatan
dan Diklat-diklat tertentu sehingga pegawai lulus secara objektif.
21
5. Mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang sifatnya menambah pengetahuan para pegawai akan tugas pokok
dan fungsinya sebagai pegawai negeri.
6. Pemberian reward and punismant kepada mereka yang memiliki kinerja
yang
baik
diberikan
penghargaan
dan
pemberian
sanksi
berupa
pemindahan (mutasi) jika tidak bekerja dengan baik dengan penilaian
objektif.
22
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika kehidupan masyarakat yang berubah begitu cepat di bidang
politik, ekonomi, dan sosial budaya, memerlukan langkah penyesuaian dan
akselerasi pembangununan sistem kinerja yang handal. Demikian halnya
perubahan paradigma masyarakat terhadap pemerintah, menuntut pemerintah
untuk secara konsisten mampu menampung dan berupaya menjawab semua
tantangan
perubahan
serta
mampu
tatanan
mengantisipasi
masyarakat
secara
arah
gerak
simultan.
perkembangan
Percepatan
dan
dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta munculnya paradigma
baru dalam masyarakat Indonesia erat kaitannya dengan kinerja aparatur
pemerintah yang harus diakui belum menampakkan hasil yang optimal. Tidak
mengherankan, bahwa perkembangan yang telah terjadi berlandaskan pada ilmu
pengetahuan dan keahlian, berdampak langsung pada perubahan internal
mengkait dengan penyiapan sumber daya manusia, upaya efisiensi, peningkatan
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, dan kreativitas dalam penciptaan
inovasi, serta intensitas kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintah kian
membentuk tingkat keabsahan/legitimasi yang tinggi terhadap pemerintahan.
Kualitas pelayanan yang diberikan oleh setiap Pemerintah Kabupaten ataupun
Kota,
mempunyai
kaitan
langsung
dengan
proses
pengangkatan
dan
penempatan yang dilakukan pada awal seseorang menduduki jabatan tertentu.
Pengangkatan dan penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan kebutuhan
akan menimbulkan pemborosan (inefisiensi dan inefektivitas) di sana-sini. Oleh
karena itu proses pengangkatan dan penempatan perlu menjadi perhatian
1
semua pihak, terutama pengambil kebijakan agar dalam menjalankan rencana
kerja suatu Pemerintah Kabupaten atau Kota terjadi efisiensi dan efektifitas kerja.
Konsekuensi
dari
hal
itu,
diperlukan
pegawai
yang
mempunyai
kemampuan, integritas tinggi dan sinergitas dukungan aparatur yang tangguh
dan sesuai kualifikasi, terutama untuk mengembangkan kreativitas pegawai
dalam melaksanakan berbagai tugas sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawabnya, serta menempatkan pegawai yang tepat pada tempatnya. Konsep
penemptan pegawai dengan prinsip the right on the right place or the right man
on the right job adalah suatu istilah yang tepat saat ini untuk menggambarkan
bagaimana semestinya para pegawai di suatu instansi baik itu pemerintahan
maupun
instansi
swasta
ditempatkan
pada
posisi
yang
sesuai
dengan
kemampuan dan kualifikasi pendidikannya sehinga mereka dapat menjalankan
tugas dengan baik, efisien dan efektif sebagaimana tujuan dari suatu organisasi.
Jika meminjam konsep Webber mengenai tipe ideal birokrasi maka dapat
diperoleh
suatu
gambaran
bagaimana
suatu
organisasi
memperhatikan
bagaimana tingkat spesialisasi pekerjaan dalam hal bagaimana kemudian para
pegawai ditempatkan pada posisi-posisi yang sesuai dengan bidang keahliannya
sehingga tercapai suatu kefektifan dan keefisienan dalam mengerjakan tugastugas organisasi itu sendiri. Selain itu menurut Webber bahwa untuk kemudian
menempati suatu posisi dalam organisasi dalam hal promosi ataupun kenaikan
jabatan harus melalui mekanisme-mekanisme yang selektif sehingga pegawaipegawai yang akan menempati posisi-posisi tersebut nantinya memiliki kualitas
dalam melaksanakan tanggung jawabnya akan tugasnya.
Penempatan sebagai bagian dari faktor yang mempengaruhi kualitas
layanan, lebih disebabkan karena proses penempatan tersebut berkaitan dengan
kesesuaian dan keseimbangan antara kemampuan yang dimiliki oleh pegawai
2
dengan jabatannya. Jabatan itu sendiri adalah kedudukan yang menunjukkan
tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam
satuan organisasi, sementara itu jabatan struktural
diartikan sebagai suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab,
wewenang dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam rangka memimpin suatu
satuan organisasi negara Karena itulah proses ini penempatan pegawai dalam
jabatan struktural merupakan titik awal dari keberhasilan layanan kepada
masyarakat di masa mendatang.
Pelaksanaan pengangkatan pegawai dalam jabatan struktural dalam
prakteknya sering tidak sesuai dengan peraturan. Hal inilah yang sering
menimbulkan masalah kepegawaian, beberapa faktor yang kemudian sering
terjadi menjadi akibat dari ketidak efektifan suatu pemerintahan dalam
penempatan para pegawainya antara lain konsekwensi pada saat suatu daerah
setelah melaksanakan pemilihan kepala daerah yang mana suatu fenomena baru
yang terjadi hampir disetiap daerah bahwa pemimpin baru cenderung memutasi
habis-habisan pegawai yang mereka anggap tidak mensupport mereka pada saat
pemilihan, walaupun dengan dalih untuk merefresh suasana pemerintahan
namun hal ini tentunya suatu yang tidak lazim, yang sangat mencederai citra
birokrasi di pemerintahan ini. Selain itu rasa tidak senang dengan pejabat yang
diangkat karena merasa pengangkatan tersebut tidak adil. Rasa tidak senang ini
sering kali berakibat menurunnya tingkat kerja sama dengan pejabat yang
bersangkutan sehingga akhirnya pekerjaan yang menjadi tanggung jawab
bersama antara pegawai yang bersangkutan dengan pejabat tersebut menjadi
kurang baik hasilnya. Selain itu sering ada rasa kurangpuas dari pegawai yang
lain yang akhirnya berakibat pada menurunnya prestasi kerja pegawai .
Dari deskripsi-deskripsi tersebut maka kami tertarik untuk mengetahui
lebih mendalam bagaimana penerapan konsep penempatan pegawai dengan
3
prinsip the right man in the right place/job pada saat ini, beberapa hal yang
berkaitan tentang konsep dasar, implementasi dan hal-hal yang dianggap perlu
untuk dijadikan bahan rekomendasi dalam pelaksanaan konsep the right man in
the right place/job.
B A B II
KERANGKA KONSEP
Konsep the right in the right place dan the right on the right job,
merupakan suatu yang identik dengan penempatan seorang atau beberapa
orang pegawai atau karyawan dalam suatu jenis atau posisi pekerjaan atau
jabatan dalam suatu organisasi. Beberapa ahli maupun teoritikus mencoba
menggambarkan bagaimana konsep penempatan pegawai yang ideal dalam
suatu organisasi.
Seperti yang di jelaskan oleh Max Webber dalam konsep idealnya
mengenai birokrasi, Webber menjelaskan bahwa tipe ideal birokrasi meliputi :
1. Pembagian kerja. Pekerjaan dari setiap orang dipecah-pecah sampai ke
pekerjaan-pekerjaan yang sederhana, rutin, dan ditetapkan dengan jelas.
2. Hierarki kewenagan yang jelas. Sebuah struktur multi tingkat yang formal,
dengan posisi hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan
yang lebih rendah di bawah supervisi dan kontrol dari yang lebih tinggi.
3. Formalisasi yang tinggi. Ketergantungan kepada peraturan dan prosedur yang
formal untuk memastikan adanya keseragaman dan untuk mengatur perilaku
pemegang pekerjaan.
4
4. Bersifat tidak pribadi (impersonal). Sanksi-sanksi diterapkan secara seragam
dan tanpa perasaan pribadi untuk menghindari keterlibatan dengan kepribadian
individual dan prferensi pribadi para anggota.
5. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas
kemampuan. Keputusan tentang seleksi dan promosi didasarkan atas kualifikasi
teknis, kemampuan, dan prestasi para calon.
6. Jejak karir bagi para pegawai. Para anggota diharapkan mengejar karir dalam
organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karir tersebut, para
pegawai mempunyai masa jabatan; artinya, mereka akan dipertahankan
meskipun mereka “kehabisan tenaga” atau jika kepandaiannya tidak terpakai
lagi.
7. Aktivitas organisasi menentukan kapasitas pegawai secara penuh. Beban
Pekerjaan yang akan dilakukan harus sesuai dengan jumlah pegawai yang
tersedia.
Dari beberapa yang dijelaskan oleh Webber terlihat bahwa sistem
pembagian kerja dalam suatu organisasi harus dirumuskan dengan baik, lebih
lanjut Webber, dalam buku teori organisasi (Robbins), menjelaskan bahwa
semestinya karyawan atau pegawai-pegawai ditempatkan dalam satu posisi
yang terspesialisasi dengan memperhatikan keahlian yang dimiliki oleh seorang
karyawan tersebut untuk mengerjakan tugas yang dianggap sesuai dengan
keahliannya tersebut. Sehingga pencapaian organisasi akan lebih efektif.
Stephen Robbins, dalam bukunya Teori organisasi juga menyinggung
mengenai tingkat spesialisasi pekerjaan, Robbins menjelaskan bahwa salah satu
komponen dalam membentuk suatu struktur organisasi ialah kompleksitas, di
dalam kompleksitas sendiri terdapat konsep spesialisasi pekerjaan dimana
dijelaskan bahwa para karyawan dibagi dalam beberapa unit organisasi dan
ditempatkan pada posisi-posisi sesuai dengan keahliannya.
5
Selanjutnya Frederick
W. Taylor, Menurut penelitiannya mengenai
hubungan antara pekerja dengan tugas yang diberikan melalui tahapan proses
untuk meningkatkan efesiensi. Taylor berasumsi bahwa semestinya para pekerja
dimasukkan ke dalam suatu jenis pekerjaan yang dianggap mampu untuk
mereka
kerjakan.
berdasarkan
Sedangkan
keahlian
dan
Smith
lebih
spesifik
penelitiannya
sebagai
menjelaskan
manajer
,
bahwa
perusahaan
manufaktur, Smith mengembangkan 4 dasar prinsip teori untuk meningkatkan
efesiensi di lingkungan dia bekerja yakni:
-
Mempelajari
cara
pekerja
dalam
melaksanakan
tugasnya
dengan
mengumpulkan informasi tentang pekerja tersebut, dan dengan melakukan
percobaan serta memberikan cara bagaimana suatu tugas dapat dilakukan
dengan baik.
- Menyusun metode baru dalam pelaksanaan tugas ke dalam peraturan tertulis
dan standart prosedur operasional
- Memilih pekerja secara selektif
sesuai dengan keahlian yang dimiliki dan
kemampuan yang sesuai dengan tugas kerja dan melatih mereka untuk
melaksanakan tugas berdasarkan prosedur dan peraturan yang ditetapkan, dan
- Menetapkan tingkatan dalam bekerja menurut tugas secara adil, melalui sistem
kompensasi gaji yang diberikan dalam bentuk penghargaan untuk keberhasilan
tugas yang dberikan.
Dari beberapa penjelasan yang telah dijelaskan beberapa pakar maka
kami menyimpulkan bahwa pada dasarnya penempatan pegawai atau karyawan
menjadi penting dalam rangkan pencapaian kinerja dari suatu perusahaan atau
organisasi
pemerintahan,
penempatan
pegawai
akan
menjadikan
suatu
perusahaan efektif dalam pencapaian tujuan perusahaan.
Untuk konteks pemerintahan khususnya Pemerintah Indonesia, dijelaskan
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor. 13 Tahun 2002
6
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural menyatakan
Baperjakat
Instansi
Pusat,
dan
Baperjakat
Instansi
Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada
Pejabat
Pembina
Kepegawaian
dalam
pengangkatan,
pemindahan
dan
pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah; pemberian
kenaikan
pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan
prestasi kerja luar biasa baiknya, atau menemukan penemuan baru yang
bermanfaat bagi negara; perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang
menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon II; dan
pengangkatan
pegawai
sekretaris
negeri
sipil
daerah
dalam
propinsi/kabupaten/kota.
jabatan
struktural
Pengangkatan
dilakukan
dengan
mempertimbangkan faktor-faktor pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi,
serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan
tertentu sampai dengan pensiun.
B A B III
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Konsep Penempatan Pegawai (The Right On The Right
Place/Job)
Pengakatan PNS dalam jabatan tentunya berdasarkan kompetensi yang
dimiliki dengan filosofi "The Right Man on The Right Place/Job" yaitu mendudukan
PNS yang tepat pada tempatnya atau jabatan yang tepat pula. Penataan
organisasi
dalam
lingkup
Pemprov
maupun
Pemerintah
Kabupaten/Kota,
termasuk penempatan PNS dalam jabatan struktural pada esensinya merupakan
bagian integral dari upaya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah
daerah untuk mewujudkan ‘good govermance' dan ‘clean government' di suatu
7
pemerintahan, yang bertumpu pada reformasi organisasi, sumber daya manusia
dan manajemen birokrasi.
Dilihat aspek reformasi organisasi, filosofinya adalah semua jenjang dan
strata organisasi pemerintah secara fundamental adalah berfungsi sebagai
instrumen
pelayanan
publik.
Dengan
demikian,
struktur
organisasi
dan
ketatlaksanaannya harus didesain secara tepat agar mampu merespons dan
adaptif terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks tersebut,
maka desain organisasi dengan prinsip "ramping struktur kaya fungsi" menjadi
pilihan
atau
alternatif
saat
ini,
yang
dianggap
tepat
dengan
mengimplementasikan konsep penyederhanaan atau pengurangan struktur
organisasi.
Dibalik penataan birokrasi di jajaran Pemerintahan daerah, tentunya harus
dipahami juga seseorang pejabat akan bekerja secara berdayaguna dan berhasil
guna apabila mengetahui dengan jelas posisinya dalam suatu organisasi kerja.
Kejelasan itu sangat penting artinya bagi setiap pejabat karena memungkinkan
mengetahui peranan dan sumbangan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan
kerja secara keseluruhannya. Seorang pejabat harus ditempatkan dengan posisi
dan peranannya yang lebih jelas di dalam organisasi kerja.
Dalam penempatan pejabat juga masih perlu diperhatikan persyaratan
kesesuaian antara minat, bakat, pengetahuan, ketrampilan dan keahlian pegawai
dengan jenis dan tingkat pekerjaan/jabatan yang dipercayakan kepadanya.
Dengan kata lain penempatan harus berpegang kepada prinsip "The Right Man
on The Right Place and The Right Man on The Right Job" yang artinya
penempatan orang-orang yang tepat pada tempat dan untuk jabatan yang tepat.
Dengan melakukan penempatan pejabat yang sesuai dengan prinsip tersebut di
8
atas diharapkan akan meningkatkan kinerja pegawai sehingga tujuan organisasi
dapat tercapai.
Dalam fungsi manajemen bahwa penempatan karyawan (pegawai) disebut
dengan staffing. Teori Manajemen Sumber Daya Manusia modern menekankan
bahwa penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru akan tetapi
berlaku pula bagi pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi. Hal ini
sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Siagian bahwa konsep penempatan
mencakup promosi, transfer, dan bahkan demosi sekalipun. Sebagaimana halnya
dengan pegawai baru, pegawai lamapun perlu direkrut secara internal, perlu
dipilih dan biasanya juga menjalani program pengenalan sebelum mereka
ditempatkan pada posisi baru dan melakukanpekerjaan baru pula. Menurut
Saydam bahwa :
“Penempatan pegawai merupakan mengisi lowongan pekerjaan yang tersedia
dalam organisasi, agar orang yang ditempatkan itu tidak terombang-ambing lagi
dalam menunggu tempat dan apa yang akan dikerjakan serta menempatkan
orang yang tepat pada posisi
dantempat yang tepat, agar organisasi dapat
bertindak efisien dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang berhasil
direkrut”.
Lebih lanjut Thoha menjelaskan bahwa : penempatan pegawai yaang telah
diterima dapat dibedakan atas penggunaan atau pengangkatan dalam jabatan,
perbantuan,
dipekerjakan kembali dan pejabat negara.Menempatkan pegawai
yang tepat pada jabatan
atau posisi yang tepat (the right man on the right
place) belakangan ini banyak menjadi
isu sentral dalam manajemen sumber
daya manusia. Terdapat adanya korelasi positifantara
penempatan pegawai
dengan peningkatan produktifitas kerja. Di samping itu, menempatkan pegawai
secara tepat dan benar pada dasarnya sebagai upaya untuk memotivasi pegawai
memeperoleh kepuasan dalam pekerjaannya. Siswanto menyatakan bahwa :
9
“Penempatan tenaga kerja adalah suatu proses pemberian tugas dan pekerjaan
kepada tenaga kerja yang lulus dalam seleksi untuk dilaksanakan secara
kontinuitas dengan wewenang dan tanggung jawab sebesar porsi dan komposisi
yang ditetapkan serta mampu
mempertanggungjawabkan segala risiko dan kemungkinan yangterjadi atas
fungsi dan pekerjaan, wewenang dan tanggung jawab tersebut.
Penempatan pegawai pada suatu jabatan tertentu, dapat merupakan
promosi bagi pegawai yang bersangkutan apabila jabatan yang dipangku saat ini
memiliki grade, tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar dibandingkan
dengan jabatan sebelumnya. Sebaliknya dapat merupakan demosi bila jabatan
yang dipangku saat ini memiliki grade, tanggung jawab dan wewenang yang
lebih kecil dibandingkan dengan jabatan sebelumnya. Penempatan pegawai
selain merupakan kewenangan atasan atau pimpinan sepenuhnya untuk mengisi
jabatan yang kosong, melainkan juga mengandung unsur promosi atau demosi.
Transfer, di samping merupakan kewenangan pimpinan, dapat pula atas
permintaan pegawai untuk dipindah ke suatu tempat yang lowong. Pada
prinsipnya, tranfer tidak mengadung unsur promosi maupun demosi serta tidak
diikuti oleh perubahan gaji dan tingkat jabatan (grade).
Penempatan pegawai yang tepat dan benar pada dasarnya sebagai upaya
untuk memotivasi pegawai, baik dengan uang, kebutuhan untuk berafiliasi,
kebutuhan untuk berprestasi dan ingin memberikan sesuatu yang berarti di
dalam pekerjaannya. Jadi jika penempatan pegawai pada jenjang jabatan secara
benar, dampaknya akan memberikan motivasi kepada pegawai lainnya serta
memberikan penilaian positif terhadap sistem yang
diterapkan oleh instansi. Metode yang terbaik untuk memotivasi pegawai adalah
memberikan penekanan pada kebutuhan sosialnya, oleh karenanya menjadi
tanggung jawab pimpinan untuk menjadikan pegawai lebih berguna dan merasa
10
dipentingkan dalam suatu jabatan, dengan cara memberikan fasilitas yang
memuaskan kebutuhan sosialnya melalui penempatan yang tepat dan benar. Hal
yang harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah adalah bahwa para pegawai
mulai menekankan bahwa pekerjaan perlu diintegrasikan secara efektif dengan
kebutuhan
manusia
untuk
pertumbuhan
pribadi,
harapan
keluarga,
dan
persyaratan etika masyarakat. Jadi karier merupakan serangkaian pengalaman
kerja yang sungguh-sungguh berurutan menuju ketingkat tanggungjawab,
status, kekuasaan, dan penghargaan yang lebih besar.
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor. 13 Tahun 2002
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural menyatakan
Baperjakat
Instansi
Pusat,
dan
Baperjakat
Instansi
Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada
Pejabat
Pembina
Kepegawaian
dalam
pengangkatan,
pemindahan
dan
pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah; pemberian
kenaikan
pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan
prestasi kerja luar biasa baiknya, atau menemukan penemuan baru yang
bermanfaat bagi negara; perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang
menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon II; dan pengangkatan
sekretaris daerah propinsi/kabupaten/kota. Pengangkatan pegawai negeri sipil
dalam jabatan struktural dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi, serta masa jabatan seorang PNS
sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun.
B. Implementasi Konsep The Right Man On The Right Place/Job
Megenai implementasi konsep penempatan pegawai dengan prinsip The
Right Man On The Right/Job, khususnya untuk konteks Indonesia hingga saat ini,
11
masih jauh dari harapan. Asumsi ini kemudian muncul dengan berbagai fakta
bahwa hampir di sebagian pemerintah daerah hingga hari ini baik itu pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota belum menempatkan pegawaipegawainya dalam posisi-posisi ideal atau pada jenis pekerjaan yang sesuai
dengan tingkat keahlian, pendidikan dan kompetensi yang dimilikinya. Yang
terjadi ialah mereka yang ditempatkan yang bukan pada kriteria-kriteria yang
telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai masalah pengangkatan
pegawai pada suatu posisi atau jabatan.
Beberapa contoh kasus yang menjadi indikator bahwa konsep The Right
Man On The Right Place/Job belum diterapkan dengan maksimal, khususnya di
Indonesia ialah sebagai berikut :
-
Di lingkup pemerintahan Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi
Barat, di temukan fakta bahwa dari 13 kecamatan yang ada, 10 camat
berlatarbelakang pendidikan sarjana pendidikan yang mana profesi
sebelum menjadi camat ialah sebagai kepala sekolah dan guru.
-
Di lingkup pemerintahan Kabupaten Kolaka Utara ditemukan fakta bahwa
Kepala Dinas kesehatan dijabat oleh seorang Sarjana Agama dan Kepala
Dinas Perhubungan dijabat oleh seorang sarjana pendidikan.
-
Di lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Majene ditemukan juga bahwa
kepala dinas pendidikan adalah seorang sarjana ekonomi, dan sekretaris
Bappeda adalah seorang dokter.
-
Mr.x , seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS) berjenis kelamin laki-laki,
berasal dari salah satu kota di Jawa, dan berpendidikan diploma akuntansi,
setahun yang lalu ditempatkan di BPS Provinsi Maluku Utara– tiba-tiba
menghilang tanpa kabar. Setelah 3 hari menghilang, diketahui kalau Mr. X
sudah berada di rumah orang tuanya di kota asalnya. Orang tuanya
12
mengatakan kalau Mr. X mengalami depresi dan harus konsultasi ke
psikolog.
-
Kasus yang sama terjadi sebelumnya, dimana seorang CPNS lulusan
Sekolah
Tinggi
Ilmu
Statistik
(STIS)
berjenis
kelamin
perempuan,
meninggalkan wilayah tugasnya di kantor salah satu BPS Kabupaten, dan
diketahui kembali ke kota asalnya di Jawa. Kondisinya sama yakni depresi.
Untuk
dua contoh kasus terakhir dapat terlihat bahwa Kasus ini
memunculkan beberapa pertanyaa,
seberapa siapkah CPNS ditempatkan di
suatu wilayah? Apa yang menyebabkan mereka depresi? Sistem seperti apa
yang tepat diterapkan dalam penempatan CPNS di suatu wilayah? Kebijakan
penempatan CPNS oleh BPS sebenarnya sudah tepat. Lulusan STIS ditempatkan
di BPS Kabupaten/Kota dengan harapan dapat menyebar luaskan serta
mengembangkan statistik disana. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan
bahwa di era otonomi, peran BPS Kabupaten/Kota menjadi sangat penting.
Sementara, CPNS yang berlatar belakang ilmu khusus (akuntansi, ekonomi, dll)
pada umumnya ditempatkan di BPS Provinsi untuk mendukung kegiatan teknis.
Dasar pertimbangan ini benar secara konseptual, tapi harus melalui suatu proses
yang optimal serta beberapa faktor pendukung. Menilik kasus X, proses
rekrutmen sebenarnya sudah menggaransi kesiapan penempatan tugas. Melalui
penyaringan administratif, tes akademi, tes kesehatan termasuk di dalamnya tes
psikologis, seorang CPNS juga dimintakan kesiapannya untuk ditempatkan
dimana saja. Penyaringan administratif, tes akademi dan tes kesehatan (fisik)
mungkin
tidak
terkait
dengan
depresi
seseorang,
persoalannya
dapat
dimungkinkan oleh lemahnya tes psikologis yang dilakukan. Seyogyanya, tes
psikologis mampu menjamin bahwa seorang CPNS benar-benar siap ditempatkan
dimana saja di suatu wilayah tugas, tidak hanya dinyatakan dalam satu lembar
pernyataan kesiapan. Yang terakhir ini tidak lebih dari suatu pembelaan lembaga
13
pemerintah kalamana seorang menolak pada saat ditempatkan. Tapi, kesiapan
disini harus juga menyangkut kesiapan mental seseorang kalamana ditempatkan
di suatu wilayah tugas.
Permasalahan yang muncul kemudian mengenai penerapan konsep The
Right Man On The Right Place/Job ialah dilema yang terjadi dalam pemerintahan
daerah itu sendiri. Dilema yang dimaksud ialah bahwa konsep The Right Man On
the Right Place/Job merupakan suatu konsep ideal yang akan efektif jika
diterapkan dengan baik oleh suatu organisasi ataupun pemerintahan. Konsep
yang diajukan oleh beberapa pakar ini khususnya oleh Max Webber ini kemudian
menjadi suatu penemuan yang eksis hingga saat ini. Hal yang perlu diingat ialah
bahwa konsep ini lebih ditujukan bagi negara-negara dunia pertama yang telah
memiliki tingkat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga
mungkin konsep ini mungkin mudah untuk diterapkan di beberapa Negara yang
sudah maju semacam Amerika, Inggris dan negara maju lainnya, namun untuk
konteks Indonesia mungkin masih sangat sulit dengan kondisi Negara kita yang
baru berkembang untuk bersaing dengan Negara-negara maju. Lepas dari
asumsi
itu
semestinya
kita
tidak
terjebak
dalam
dilema
konsep
ini,
bagaimanapun juga sebagai negara yang ingin mewujudkan pemerintahan yang
baik maka konsep ini semestinya bisa digunakan di Negara kita.
Sebagai Negara yang memperjuangkan semangat reformasi birokrasi, hal
yang perlu dilakukan ialah aktualisasi konsep penempatan pegawai pada
tempatnya dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Pemerintah sendiri
bukannya tidak menghendaki konsep The Right Man On The Right Place/Job lahir
di birokrasi kita, hal ini digambarkan dengan aturan tentang kepegawaian
tentang pengangkatan pegawai yang menjelaskan bahwa seorang pegawai yang
diangkat atau ditempatkan pada posisinya jika memiliki kompetensi, tingkat
14
pendidikan dan keahlian yang dimiliki sehingga mampu untuk menempati suatu
jabatan atau posisi dalam pemerintahan.
Dari pengamatan kami ada beberapa hal yang kemudian sulit untuk
mewujudkan konsep The Right Man On The Right Place/job di Negeri ini,
misalnya bahwa pengaruh poiltisasi sangat menghegemoni dalam penempatan
pegawai di beberapa pemerintahan yang ada di daerah. Hal ini kemudian terjadi
dikarenakan para PNS baik secara langsung maupun tidak dalam tanda kutip
dipaksa untuk berpolitik praktis dengan asumsi jika mereka tidak melakukan itu
maka bisa saja posisi mereka terancam dalam pemerintahan. Padahal seperti
yang diketahui bahwa PNS sangat tidak diperkenankan untuk terlibat dalam
masalah politik pemerintahan khususnya pemilihan kepala daerah. Hal yang
menakutkan bagi mereka ketika calon kepala daerah yang akan maju adalah
incumbent maka menjadi suatu yang mengharuskan mereka untuk setidaknya
mendukung incumbent dengan asumsi posisi mereka akan aman jika incumbent
akan menang. Namun yang menjadi musibah atau berkah ketika setelah
pemilihan, bagi mereka tidak mendukung tentunya akan mendapatkan posisi
yang aman bahkan kenaikan posisi jabatan yang lebih tinggi, namun bagi
mereka yang tidak mendukung siap-siap saja untuk dimutasi ke wilayah-wilayah
terpencil dan dinonjobkan. Hal inilah kemudian menjadi ironi di Negara kita saat
ini, atau dapat dikatakan bahwa salah satu dampak yang buruk dari pemilihan
kepala daerah ialah bagaimana sistem penempatan pegawai yang sangat
dipolitisasi.
Dari gambaran ini sebenarnya muncul suatu fenomena bahwa pada
dasarnya secara sadar atau tidak bentuk penempatan pegawai secara politik
atau dari imbalan politik adalah suatu sistem baru yang buruk yang berdampak
sistemik terhadap kinerja pegawai-pegawai yang impactnya kembali pada
daerah itu sendiri. Betapa tidak mereka yang diangkat atau ditempatkan pada
15
posisi-posisi dengan cara politisasi sudah tidak melewati proses atau kriteriakriteria yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang sebenarnya
dalam hukum sudah terjadi pelanggaran yang bisa untuk ditindaklajuti pula
secara hukum. Namun yang terjadi ialah fenomena ini sudah menjadi budaya
baru di pemerintahan kita khususnya di pemerintah-pemerintah daerah. Padahal
sebenarnya PNS atau pegawai yang bersangkutan mungkin saja tidak ingin
melakukan atau katakanlah memilih salah satu pasangan calon secara terpaksa
namun karena budaya ini telah menjadi teror dan pressur yang luar biasa maka
kenetralitasan pegawai hilang dengan sendirinya. Olehnya itu konsep netralitas
birokrasi sebagai komponen dari semangat reformasi birokrasi di Negara ini
dapat dikatakan gagal dalam hal penempatan pegawai.
Hal lain yang menjadi kendala dalam penempatan pegawai dengan prinsip
The right Man On The Right Place/Job di Negara ini ialah pembentukan daerah
baru dalam skop Pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi salah satu
faktor, hal ini digambarkan jika daerah baru tersebut berubah status dari
misalnya kecamatan menjadi suatu kabupaten tentunya membutuhkan beberapa
sumber daya dalam rangka proses jalannya pemerintahan. Nah hal yang
biasanya terjadi dalam kondisi ini ialah bagaimana pemerintah daerah yang baru
ini melakukan sistem penempatan pegawai pada posisi-posisi sentral katakanlah
untuk posisi kepala bidang, kepala bagian, maupun kepala seksi dari mereka
yang tidak memiliki keahlian dan kompetensi dalam bidang itu. Kenyataanya hal
ini dikarenakan sumber daya manusia yang diprioritaskan untuk mengisi posisiposisi tersebut belum ada. Adapun mereka yang kemudian mengisi posisi itu
ialah para tenaga pengajar ataupun kepala sekolah atau pegawai yang sudah
memiliki golongan minimal III A. Hal ini kemudian menjadi suatu fakta bahwa
daerah baru cenderung tidak menempatkan pegawai yang memiliki keahlian
dengan posisi kerjanya. Namun kejadian seperti itu bukanlah menimbulkan suatu
16
permasalahan pelik, kita tidak mungkin kembali untuk meributkan daerah yang
sudah berubah status tersebut dari kecamatan menjadi kabupaten dengan
alasan ketidaksiapan sumber daya aparatur, nah hal yang perlu diperhatikan
ialah bagaimana kondisi semacam ini bisa diantisipasi sebelumnya yakni dengan
lebih mengetatkan regulasi dalam pembentukan suatu daerah baru untuk lebih
siap dalam penyediaan sumber daya aparatur yang memiliki kompetensi dan
kualitas. Tentunya masalah ini adalah domain pemerintah untuk mengurus
masalah tersebut.
Hal yang menjadi masalah kemudian dalam pelaksanaan penempatan
pegawai dengan prinsip The right Man On The Right Place/Job di pemerintahan
kita ialah bagaimana ketersediaan dari para aparatur atau pegawai itu sendiri.
Harus kita sadari bahwa masalah kurang kompetitifnya sumber daya manusia
kita menjadi masalah klasik yang menyebabkan reformasi birokrasi hingga saat
ini masih kurang maksimal.
Selain budaya korupsi yang lagi ngetrend di Negara kita saat ini kapasitas
dan kualitas pegawai-pegawai kita yang ada saat ini masih kurang baik dalam
hal pemberian pelayanan publik. Masalah-masalah ataupun keluhan-keluhan
masyarakat khususunya bagi mereka yang terlibat dalam interaksi dengan
pegawai-pegawai negara dalam bidang pelayanan menjadi salah satu bukti
bahwa mental pegawai kita masih kurang baik. Satu hal yang kemudian menjadi
penyebab rendahnya mental pegawai dan ketidakmampuan untuk menjalankan
tugas dengan baik ialah sistem rekruitmen pegawai yang tidak transparan dan
sarat akan kolusi dan nepotisme, masalah ini kemudian hampir terjadi di
beberapa daerah dan hampir disetiap penerimaan pegawai yang menjadi budaya
buruk bangsa kita. Impactnya? Ya tentu saja terhadap kinerja pemerintahan itu
sendiri, di mana mereka yang terpilih untuk menjadi pegawai Negara dengan
17
hasil nepotisme dipastikan tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan suatu
tugas-tugas teknis pemerintahan.
C. Beberapa Hal Dalam Mewujudkan Konsep The right Man On The
right place/Job
Dengan melihat deskripsi mengenai masalah-masalah yang ada dalam
penempatan pegawai dengan prinsip The right Man On The Right place/Job maka
kami mencoba untuk menampilkan beberapa hal yang kemudian dapat menjadi
bahan rekomendasi dalam melaksanakan konsep tersebut.
Jika merujuk pada konsep Webber, Taylor dan Smith tentang spesialisasi
pekerjaan maka seharusanya para pegawai dalam suatu organisasi khususnya
organisasi pemerintah hendaknya ditempatkan pada posisi jabatan sesuai
dengan tingkat keahlian yang
dimilikinya. Keahlian yang dimaksud adalah
kemampuan para pegawai atau pekerja dalam melaksanakan tugasnya sesuai
denga tempat tugas mereka sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi yakni
efektivitas program-program dapat tercapai.
Sedangkan Jewell berpendapat bahwa dalam pengambilan keputusan
penempatan pegawai, ada empat strategi dasar alternatif yang dapat diakui
yaitu :
1. Tempatkan individu yang mampu dalam pekerjaan yang mempunyai prioritas
tertinggi.
2.
Tempatkan
individu
dalam
pekerjaan
yang
menunjukkan
probabilitas
keberhasilannya paling tinggi.
3. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang diharapkan dapat mengembangkan
kemampuannya.
4. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang disukainya diantara pilihan yang
dinilai paling cocok.
18
Pendapat Jewel di atas dilaksanakan setelah pemerintah mendapatkan
pegawai yang selektif dan memiliki kualitas dan kredibilitas yang tinggi.
Hal lain yang dapat dilakukan pemerintah maupun pemerintah daerah
ialah :
1. Sistem
rekruitmen
pegawai
yang
harus
lebih
selektif
dengan
mengedepankan kompetisi tanpa nepotisme atau hal-hal lain yang di
luar dari aturan yang ada.
2. Mereka yang kemudian terpilih ialah mereka yang memiliki tingkat
pendidikan dan keahlian yang kompetitif dan memiliki mental bekerja
yang baik.
3. Membuat aturan yang lebih jelas dan akurat mengenai penempatan,
promosi dan mutasi pegawai tanpa campur tangan politik
4. Pengawasan yang ketat dalam pendidikan pelatihan seperti prajabatan
dan Diklat-diklat tertentu sehingga pegawai lulus secara objektif.
5. Mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang sifatnya menambah pengetahuan para pegawai akan tugas pokok
dan fungsinya sebagai pegawai negeri.
6. Pemberian reward and punismant kepada mereka yang memiliki kinerja
yang baik diberikan penghargaan dan pemberian sanksi berupa
pemindahan (mutasi) jika tidak bekerja dengan baik dengan penilaian
objektif.
19
B A B IV
PENUTUP
Kesimpulan
-
Konsep Penempatan pegawai dengan prinsip the right on the right place or
the right man on the right job adalah suatu istilah yang tepat saat ini
untuk menggambarkan bagaimana semestinya para pegawai di suatu
instansi baik itu pemerintahan maupun instansi swasta ditempatkan pada
posisi yang sesuai dengan kemampuan dan kualifikasi pendidikannya
sehinga mereka dapat menjalankan tugas dengan baik, efisien dan efektif
sebagaimana tujuan dari suatu organisasi. Jika meminjam konsep Webber
mengenai tipe ideal birokrasi maka dapat diperoleh suatu gambaran
bagaimana
suatu
organisasi
memperhatikan
bagaimana
tingkat
spesialisasi pekerjaan dalam hal bagaimana kemudian para pegawai
ditempatkan pada posisi-posisi yang sesuai dengan bidang keahliannya
sehingga tercapai suatu kefektifan dan keefisienan dalam mengerjakan
-
tugas-tugas organisasi itu sendiri
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor. 13 Tahun 2002
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000
tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural
menyatakan Baperjakat Instansi Pusat, dan Baperjakat Instansi Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pertimbangan
kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan
dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah;
pemberian kenaikan
menunjukkan
pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural,
prestasi
kerja
luar
biasa
baiknya,
atau
menemukan
penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; perpanjangan batas usia
pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon
20
II;
dan
pengangkatan
sekretaris
daerah
propinsi/kabupaten/kota.
Pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural dilakukan
dengan
mempertimbangkan
faktor-faktor
pendidikan
dan
pelatihan
jabatan, kompetensi, serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan
pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun
-
Megenai implementasi konsep penempatan pegawai dengan prinsip The
Right Man On The Right/Job, khususnya untuk konteks Indonesia hingga
saat ini, masih jauh dari harapan. Asumsi ini kemudian muncul dengan
berbagai fakta bahwa hampir di sebagian pemerintah daerah hingga hari
ini baik itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota
belum menempatkan pegawai-pegawainya dalam posisi-posisi ideal atau
pada jenis pekerjaan yang sesuai dengan tingkat keahlian, pendidikan dan
kompetensi yang dimilikinya. Yang terjadi ialah mereka yang ditempatkan
yang bukan pada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan
pemerintah mengenai masalah pengangkatan pegawai pada suatu posisi
atau jabatan.
-
Hal yang dapat dilakukan pemerintah maupun pemerintah daerah dalam
aktualisasi penempatan pegawai dengan prinsip The Right Man On The
Right Place ialah :
1. Sistem
rekruitmen
pegawai
yang
harus
lebih
selektif
dengan
mengedepankan kompetisi tanpa nepotisme atau hal-hal lain yang di luar
dari aturan yang ada.
2. Mereka yang kemudian terpilih ialah mereka yang memiliki tingkat
pendidikan dan keahlian yang kompetitif dan memiliki mental bekerja
yang baik.
3. Membuat aturan yang lebih jelas dan akurat mengenai penempatan,
promosi dan mutasi pegawai tanpa campur tangan politik
4. Pengawasan yang ketat dalam pendidikan pelatihan seperti prajabatan
dan Diklat-diklat tertentu sehingga pegawai lulus secara objektif.
21
5. Mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang sifatnya menambah pengetahuan para pegawai akan tugas pokok
dan fungsinya sebagai pegawai negeri.
6. Pemberian reward and punismant kepada mereka yang memiliki kinerja
yang
baik
diberikan
penghargaan
dan
pemberian
sanksi
berupa
pemindahan (mutasi) jika tidak bekerja dengan baik dengan penilaian
objektif.
22