Budaya nusantara seni budaya ambon

Sekilas tentang Orientasi Kebudayaan Indonesia 1

Sahrul Aksa 2

Bocah-bocah lali tela pohung, uwi gembili. Nek ora kentucky fried chicken, emoh. Nganggo pakean, nek udele ora ketok isis, emoh. Musik nek ora jreng-jrengan nganti mobat-mabit, emoh. (Ki Manteb Sudarsono)

Walau kita menuju ke era yang lebih maju, kita perlu mengekalkan ciri ketimuran kita, tradisi melayu kita, sebab itulah jatidiri kita. … Kalau semuanya, segala-galanya sudah kita tukar dengan yang asing,

untuk sekadar menjadi orang modern, berarti kita telah melepas jati diri kita yang sebenarnya. (Siti Nurhaliza)

Pengantar

Saya hendak memulai pembahasan ni dengan menguti sebuah pernyataan panjang yang saya dapat di blog Agung Waskito. Komentarnya diunggah pada 3 Januari 2002, saya kutip untuk memberi gambaran mengenai betapa persoalan kebudayaan di negeri ini begitu rumit dan tidak habis-habis dibahas. Berikut komentarnya:

Salam Kebudayaan buat semua, Membicarakan tentang Kebudayaan Indonesia, pada hakikatnya sarat dengan

kejanggalan, dan kompleksitas (we are alien in our land). Karena tanpa sadar ternyata „kita‟ dapat begitu saja terpeleset pada persepsi „politis‟ (yang lebih disukai)

daripada budayawi/manusiawi. Benak kita telah penuh dengan prasangka, gagap nilai, tanpa pengalaman yang alami tentang diri dan lingkungan, terisolir dari/takut akan, dan berbagai cap (sehingga cenderung ngegampangin) ketika kita mulai menyuarakan tentang manusia, masyarakat dan lingkungan Indonesia. Mengapa? Dari mana asal

1 Paper ini adalah salah satu bab dari tugas akhir kuliah S-1 pada Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta, ditulis pada tahun 2002. Pandangan dalam paper ini menurut saya masih

sangat sederhana dan sangat tidak lengkap. Hal itu disebabkan oleh kapasitas penulis ketika itu, dan juga lingkup disiplin studi saya yang “kurang relevan”. 2

Staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta. Belajar Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kritik dan saran bisa melalui: tika_lalang@yahoo.co.id .

kata „Indonesia‟? Bagaimana keadaannya hari ini? Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong keluar banyak kedunguan dari dalam benak kita masing-masing (karena

kita ternyata telah begitu „westernized‟ dibandingkan Malaysia yang sengaja mau menjadi „Barat‟ dan bingung dengan kemelayuannya) dan nervous. Begitu banyak peristiwa kultural yang terjadi (di daerah dan „pusat‟), terlalu sering ditanggapi secara „politis‟ atau tidak proporsional (apriori, sinis, berlatar oportunis, menyepelekan soal, dll.). Semua ini mengembangbiakkan kesalahkaprahan yang massif, sehingga tidak tahu lagi apa, bagaimana, dan di mana inti dari permasalahan Kebudayaan Indonesia itu, apakah itu seperti bawang yang tidak berinti dan terdiri dari beberapa lapisan daging, atau duren yang sebagian digilai tapi berduri namun yang membenci baunya memuakkan (seperti fenomena KKN), atau apa? (tengok saja pengalaman yang lalu dari polemik kebudayaannya Sutan Takdir Alisjahbana). Setidaknya saya ingin sepakat dalam satu hal, yakni, marilah kita menata batin, pikiran, dan tenaga kita bersama. Agar dapat melakukan upaya musyawarah dalam memformulasikan kesalahan dan jatidiri Indonesia (kata yang kita gunakan bersama di wilayah teritori

terasebut, sejauh kita masih mengakuinya), lalu „melakukan kerja‟ dan „menghasilkan‟ sesuatu untuk mengisi kosa makna dari Kebudayaan yang hanya bisa exist bila „kita‟ memang „berkeringat‟ dan „berdarah‟ untuknya (Kebudayaan Indonesia). Tanpa upaya itu, sebaiknya „kita‟ berhenti bicara (walaupun ngomong nggak bayar, kan!), dan pikir. Apa yang termaktub dalam penyampaian tentang Kebudayaan Indonesia terkesan bombastis, namun nyata (saya pernah mengalaminya di Sumatera Utara dan Riau, contoh sentimen terhadap bangsa Jawa oleh bangsa-bangsa di Sumatera), bertolak dari persepsi masyarakat urban.

Sekali lagi, dari sekian banyaknya peristiwa budaya yang terjadi di tanah dan air „kita‟ ini, sebiji kata pun „kita‟ belum belajar tentang apa makna Kebudayaan daripada

keindonesiaan „kita‟ ini! Sementara, per detik di „bumi‟ ini terjadi pemerosotan, pemusnahan, penyimpangan genital, dari setiap benih perbendaharaan/kekayaan mahluk dan alam yang ada.

Perekat jelas tak ada, yang tersisa adalah pekerjaan teramat besar, yakni merestorasi, membelokkan arah kehidupan ke jalan yang benar untuk memperkecil kerugian (dahsyat), dan menyusun kalimat ampunan kepada sang Khalik dan anak cucu kita, karena apa yang dinamakan Indonesia, sebagai personifikasi sudah tak terampuni, kecuali mukjizat untuk bertobat.

Identitas adalah identitas (yang pasti akan dikenal empu-nya), dan kerusakan adalah kerusakan (yang pasti harus diperbaiki empunya), apakah kita akan melakukan sesuatu untuk salah satu (atau dua) dari hal di atas. Yakni terus mencari identitas diri, dan, atau memperbaiki kerusakan. Atau bahkan lompatan, “Ini dadaku, mana dadamu”, yang analog dengan “We are American-man.”

Indonesia dari generasi ke generasi semakin asing bagi saya, dari hari ke hari. Saya sebagai pribadi jelas takkan mampu berbuat sesuatu, tapi saya yakin ada banyak orang Indonesia dari generasi ke generasi semakin asing bagi saya, dari hari ke hari. Saya sebagai pribadi jelas takkan mampu berbuat sesuatu, tapi saya yakin ada banyak orang

Akhirnya, saya minta maaf apabila dalam tanggapan ini mengandung pelampiasan yang subyektif, dan berharap yang terbaik untuk Indonesia, termasuk para manusianya yang bertelaga jernih dan terus mengaliri air bagi kehidupan di manamun mereka berada.

Salam, Agung Waskito, 3 Januari 2002. Ada beberapa bentuk keresahan yang diungkapkan Agung Waskito melalui

laman blognya di media maya. Waskito menuturkan kegelisahannya, mulai dari persoalan identitas ke-Indonesi-an, orientasi budaya yang tidak pernah jelas sampai ke ekses disorientasi yang melahirkan bermacam prasangka. Menarik untuk meletakkannya sebagai pokok analisis pada bagian ini. Ketiadaan orientasi budaya bagi Waskito menjadikan ia ibarat mahluk asing di tanah kebudayaan yang ternyata adalah bangsanya sendiri “we are alien in our land”. Ketika ingin berseru “inilah aku anak Indonesia” ternyata yang ingin kita ungkapkan bukan lagi keindonesiaan kita, tetapi identitas seragam yang dibikin oleh Amerika. Lalu mana keindonesiaan kita. Kita telah mengalami westernisasi, terseret dalam pusaran global yang mengaburkan identitas yang kebetulan memang kita tidak miliki. Waskito juga tertarik dengan model perdebatan kebudayaan Indonesia beberapa puluh tahun lalu, walaupun keberhasilannya tidak nampak tapi setidaknya membuat kita merasa butuh tentang orientasi tersebut. Sekarang pembicaraan mengenai kebudayaan tak lepas dari persoalan politik, digunakan untuk memperoleh kekuasaan, sehingga kebudayaan sendiri tenggelam olehnya, kalaupun ada tinggal menjadi seremonial pembuka upacara diplomasi. Kalau dikatakan sinis, memang begitulah kenyataannya.

Kesinisan Waskito juga mengajak kita untuk bertanya lagi bagaimana sebenarnya kebudayaan dibentuk dan diintegrasikan sehingga menjadi nilai yang dihayati oleh segenap anak bangsa, kemudian bagaimana kondisi kebudayaan Indonesia sendiri dikaitkan dengan orientasi tersebut.

Pengertian konsep budaya beraneka macam dan terdapat banyak sekali definisi yang dikemukakan untuk menggambarkannya secara ideal. Alfred L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn pada dekade 50-an mengidentifikasi lebih dari dua ratus definisi tentang

kebudayaan dari pendekatan antropologi maupun ilmu-ilmu sosial. 3 Salah satu yang dikemukakan oleh Sir Edward Taylor mengatakan: “That complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a

3 William A. Haviland, Cultura l Anthropology, University of Vermont, 1975, hlm. 10.

member of society”. 4 Penjelasan Taylor menyebutkan bahwa kebudayaan merupakan kompleksitas yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, aturan moral,

adat istiadat dan kebiasaan lainnya yang digunakan manusia untuk bertahan dalam masyarakatnya.

Sementara di Indonesia meskipun menunjukkan tingginya tingkat keragaman tetapi pengertian kebudayaan tidak jauh berbeda, misalnya seperti yang dikemukakan Daoed Joesoef, kebudayaan adalah hal-hal atau segala sesuatu yang mempunyai ciri atau sifat budaya, dimana budaya merupakan sistem nilai yang dihayati. Sedangkan yang dimaksud dengan budaya nasional adalah sistem nilai yang dihayati oleh suatu bangsa. Dengan demikian, budaya Indonesia adalah sistem nilai yang dihayati oleh bangsa

Indonesia. 5 Sampai di sini pengertian kita tentang kebudayaan mulai jelas, bahwa kebudayaan menyangkut semua aspek hidup yang dihayati bersama dan menjadi nilai kehidupan suatu bangsa. Hanya saja seperti dikemukakan sebelumnya bahwa di Indonesia terdapat banyak kerancuan terhadap pemaknaan kebudayaan. Misalnya, dipahami sebagian saja dan biasanya menyangkut kesenian, atau unsur-unsur lainnya. Sementara di bangku sekolah pengajaran tentang kebudayaan sendiri juga sering bias dengan informasi sebatas perilaku yang baik, cinta kasih dan sebagainya. Sampai sekarang pengajaran kebudayaan belum sampai pada implementasi kebudayaan dalam membangus suatu bangsa, menjadii nilai dan pandangan hidup.

Secara etimologi, kebudayaan lebih tepat berasal dari dua kata yaitu buddha dan daya. Bodhi artinya adalah kekosongan, budhi artinya adalah akal dalam atau lubb atau Intelek, sementara budha artinya adalah pencerahan. Maka dari itu melihat bentuk kebudayaan itu sendiri pada mulanya lebih tepat untuk melihatnya sebagai bentukan

dari kata budha dan daya yang artinya adalah daya pencerahan. 6 Pemahaman ini merupakan konsep timur yang diambil dari tradisi india. Di dunia barat sering disebut sebagai culture yang berasal dari bahasa latin yaitu cultura dan cultus. Awalnya digunakan sebagai kata sifat yang bermakna pemeliharaan seperti pada konotasi pemujaan. Contoh yang dapat dilihat pada istilah agriculture yang berarti pemeliharaan tanaman atau pertanian. Selanjutnya dengan akar pengertian demikian kata culture kemudian berubah menjadi kata benda. Pergantian ini berakibat pada perubahan bentuk pencapaian. Kalau pada bentuk awalnya sebagai kata sifat maka proses pencapaiannya menyangkut hal-hal immaterial, setelah berganti menjadi kata benda, menyangkut hal-

4 Ibid, hal. 10. 5 Daoed Joesoef dalam Onny S. Prijono dan A.W.M. Pranarka (peny), Pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan Implementasi , CSIS Jakarta, 1996, hlm. 10.

6 Alfathri Adlin dan Iwan Suryolaksono, Reduksi Konsepsi Ma nusia; Manusia dalam Perspektif Barat

Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Posmodernisme , http//www.paramartha.org Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Posmodernisme , http//www.paramartha.org

Perbedaan dua konsep tersebut dapat kita lihat pada pemaknaan sex antara budaya di timur dan budaya di barat. Timur memahami sex dalam konsep ars erotica, yakni seni erotis yang memandang sex sebagai seni dan pengalaman unik, bukan sesuatu yang kotor dan memalukan. Penghayatan ini banyak ditemukan di India, Arab, Cina dan sebagian besar belahan timur. Ars erotica menganggap bahwa sex akan kehilangan kenikmatan dan kemisteriusannya apabila telah diverbalisasikan. Konsep sex di barat

dimaknai sebagai scientia sexualis, sesuatu yang harus dibeberkan secara terbuka. 7 Ritual sex bagi orang barat menjadi pengalaman yang harus diakui, dibeberkan. Ini dipengaruhi oleh ritual pengakuan dosa umat katolik yang mayoritas di barat. Akibatnya ritual sex di timur menjadi sesutu yang tertutup, menyimpan banyak misteri seperti yang tersimpan dalam kitab Kamasutra karya Begawan Vasyayana. Kitab Kamasutra merupakan buku tentang misteri tubuh yang berhubungan dengan jalur-jalur sex, wilayah rangsangan yang berhubungan dengan siklus alam. Hampir sama dengan pemahaman Yunani klasik tentang Aphrodesia sebagai bentuk pengelolaan gairah sex melalui pengenalan tubuh dan pola konsumsi makanan. Dalam artefak representasi sex biasanya diwujudkan dalam bentuk terdistorsi atau tidak sesuai ukuran aslinya dan menjadi eksistensi tersendiri. Ini dapat dilihat misalnya pada arca Lingga dan Yoni di Candi Sukuh, Jawa Tengah.

Sementara ekspresi scientia sexsualis menganggap bahwa sex adalah suatu yang terberi, sama dengan aktivitas manusia lainnya, bukan sesuatu yang istimewa, sehingga dalam penggambaran kelamin menampakkan bentuk realis dengan skala proporsional seperti pada patung Venus dan Apollo. Demikianlah, terdapat dua kutub penghayatan tentang kebudayaan yang memberikan implikasi yang berbeda-beda.

Namun bagaimanapun tidak ada cara pandang yang membantah bahwa kebudayaan adalah bagaimana keseluruhan hidup dijalani yang dilandasi oleh satu

7 Donny Gahral Adian, Menabur Kuasa Menuai Wacana , Basis edisi 01-02 tahun ke-51, Januari- Februari 2002.

pijakan ideologi tertentu. Dengan demikian kebingungan dari surat di awal pengantar di atas dapat kita hubungkan dengan apa yang sering dikemukakan dengan nation and caracter building. Dalam tataran ideologi, pemahaman budaya menyangkut sebagal sesutu yang membangun sikap dan pemaknaan terhadap bentuk sebuah bangsa. Kemudian makna kedua yang dapat ditangkap dari terminologi tersebut adalah sebuah kebudayaan adalah sebuah rekayasa yang direncanakan bersama menyangkut arah dan orientasi hidup sebuah bangsa. Ketika era demokrasi terpimpin dan Soekarno sebagai pemimpin Bangsa, pemaknaan kebudayaan sebagai sebuah ideologi yang harus dihayati oleh sebuah bangsa sering sekali dikumandangkan. Dalam konteks itulah jargon semacam “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” tak lain dari sebuah penegasan ideologi yang ingin membebaskan diri dari pengaruh ideologi asing. Soekarno sesungguhnya ingin menegaskan arah Indonesia ke depan, sampai menetapkan karakter manusianya yang harus menjiwai ke-Indonesia-an tersebut. Apa yang diharapkan dari sosok manusia Indonesia selalu diumpamakannya dengan sosok Marhaen, sebuah alter ego yang diumpamakannya sebagai sosok manusia Indonesia yang sadar asal usul dan orientasinya ke depan. Sehingga tidak heran apabila tahun 60-an Soekarno banhkan melarang diperdengarkannya musik-musik yang berada di bawah pengaruh asing. Terlepas dari persoalan pertarungan politik, pelarangan tersebut meneguhkan sebuah upaya sungguh-sungguh untuk menegaskan kebudayaan Indonesia yang harus berbeda dari kebudayaan barat.

Dalam konteks cara pandang itulah bab ini ingin menelusuri (meskipun tidak menyeluruh) pergulatan orientasi kebudayaan Indonesia yang tidak pernah menemukan kata putus.

A. Bagaimana Kebudayaan Diintegrasikan

Kalau seperti di atas pemahaman kita tentang kebudayaan, tentu ada mekanisme tidak mudah yang harus diupayakan sebagai langkah rekayasa menuju penemuan tersebut. kebudayaan adalah sebuah upaya yang direncanakan dengan matang dan melewati fase perkembangan kehidupan manusia. Van Peursen menggolongkan perkembangan kebudayaan ke dalam tiga fase, yakni fase mitis, ontologis dan

fungsional. 8 Fase mitis adalah sebuah rentang waktu ketika manusia masih mengalami

interaksi langsung dengan alam sebagai pusat kehidupan. Ketika itu seluruh kebutuhan

8 C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius Yogyakarta, 1976, hlm. 19.

manusia sepenuhnya disediakan alam. Di satu sisi belum muncul kesadaran akan keterbatasan alam menyiapkan keperluan manusia di masadepan.

Pada waktu-waktu tertentu, muncul fenomena alam yang diluar pengetahuan manusia. Timbulnya bencana sebagai contoh, lama kelamaan menumbuhkan kesadaran manusia untuk mulai mengelola alam dengan baik. Manusia kemudian membuat aturan yang cukup memadai menurut keperluan mereka saat itu. Aturan dibuat dengan maksud untuk menjaga interaksi manusia dengan alam tetap harmoni. Kemudian aturan dibuat juga untuk menjaga keaslian alam supaya tidak menimbulkan kemurkaan di kemudian hari.

Fase ini kemudian dikenal sebagai masa transisi dari mitos ke logos, atau dalam istilah Levi Strauss disebut masa peralihan dari pola natur ke pola kultur. Fase peralihan ketika manusia mulai meninggalkan kehidupan barbarian menuju kehidupan yang berbudaya. Type manusia yang hidup pada masa transisi ini adalah manusia yang langsung berhubungan dengan daya-daya alam yang serba rahasia, suatu alam yang belum dikacaukan oleh teknik yang diperoleh dari penafsiran manusia terhadap alam.

Seiring dengan perkembangan kebutuhan untuk memahami alam yang bertemu dengan fenomena dan peristiwanya yang sering tidak dipahami, manusia kemudian melakukan penandaan tehadap gejala yang dialamatkan alam kepada manusia dalam proses kerja hukum alam tersebut. Manusia mulai menemukan sistem tanda atau semacam siklus yang bisa dipahami, misalnya proses pergantian musim dan bagaimana menyiasatinya supaya bisa bertahan dalam perubahan tersebut. Masa-masa peralihan semacam ini mengantarkan manusia memasuki fase ontologis.

Fase ontologis adalah masa ketika manusia mulai menggunakan pengetahuan yang diperoleh melalui upaya-upaya ilmiah untuk berinteraksi dengan alam. Pada tahap ini manusia tidak serta merta meninggalkan pemikiran mitos atau berpikir logis melulu.

Emosi-emosi, harapan sosial dan keyakinan agama tetap berpengaruh. 9 Sejarah pemikiran antologis banyak dipelopori oleh bangsa Yunani yang pertama memasuki era kemajuan ilmu pengetahuan. Bangsa Yunani berhasil mengaktualisasikan kondisi batiniah yang berinteraksi dengan alam kemudian diolah melalui pemikiran-pemikiran logis. Di samping itu masyarakatnya pun mampu menghadirkan keadaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Artefak-artefak sebagai jejak peninggalan masa klasik menunjukkan betapa peradaban Yunani sudah sangat maju dibanding bangsa lain ketika itu. Pesatnya

9 Ibid, hlm. 55.

perkembangan kebudayaan Yunani banyak dipengaruhi oleh hasil pemikiran para filosof dan ilmuwan yang produktif ketika itu. Selain itu eksistensi ilmuwan mendapat pengakuan negara yang banyak mengintegrasikan hasil pemikirannya dengan sistem penyelenggaraan negara. Tidak heran bila sampai sekarang masih banyak ditemukan peninggalan berupa bangunan kuno dan karya seni realistik yang memperlihatkan tingginya mutu kehidupan mereka di masa lalu. Faktor lain yang membuat peradaban Yunani begitu pesat terletak pada kemampuan pengintegrasian antara kehidupan religius, eksplorasi penetahuan, institusi negara yang mengadopsi kedua nilai tersebut dan bagaimana mereka meletakkan alam sebagai pusat kehidupan manusia. Sehingga tercipta irama yang serasi antara daya kreasi manusia dengan interaksi harmonis dengan alam.

Keteraturan harmoni antara alam batin dan alam fisik kemudian direpresentasikan dalam karya seni seperti keagungan karya patung Apollo dan Venus menggambarkan sosok manusia sempurna sepanjang masa. Seni realistik tumbuh subur sebagai perwujudan keterpaduan dua alam tersebut. Hal ini dimungkinkan karena fungsi pemikiran ontologis adalah membuat peta segala sesuatu yang mengatasi manusia. Maksudnya adalah mendamaikan antara potensi jiwa tak terbatas dengan lingkaran etika dalam ruang sosial. Dunia pemikiran ontologis berusaha menampakkan dunia transenden yang mampu mengatasi manusia dan menjadikannya sesuatu yang dapat

dimengerti. 10 Fase ontologis kemudian mencatat Yunani sebagai personifikasi masyarakat ideal. Dengan prakondisi inilah kebudayaan kemudian memasuki fase fungsional.

Fase fungsionil ingin menggambarkan masa pembebasan manusia yang diperolehnya ketika menemukan puncak pencapaian ilmu pengetahuan sebagai jawaban terhadap fenomena alam. Kalau pada masa mitis manusia menjadi bagian yang terkandung di dalam alam, sehingga alam meresapi semuanya. Kemudian pada fase ontologis manusia dengan alam terdapat distansi, jarak sebagai upaya mencari pengertian-pengertian alam. Pada fase fungsionil, manusia berupaya untuk melepaskan diri dan memilih penjarakan. Dengan penegasan pada jarak itulah manusia mengambil realitas dari kosmosnya menjadi serangkaian obyek yang bisa didekati dan ditafsirkan. Manusia kemudian mengenal instrumen-instrumen untuk mengenali obyek, meskipun instrumen ciptaan manusia tersebut bukan realitas itu sendiri. Realitas tetap pada posisi das ding an sich sementara obyek adalah realitas pucat yang terlepas dari konteksnya yang mandiri. Pada fase antologi inilah manusia menemukan pencerahan (aufklarung), keadaan ketika manusia dibimbing oleh terang ilmu pengetahuan.

Fase perkembangan yang dikemukakan Van Peursen ingin mengungkapkan perjalanan tahapan peradaban manusia yang terjadi di Eropa. Fakta yang dikemukakannya menjelaskan penemuan manusia sejak kejayaan Yunani ketika daya manusia, kekuatan alam dan pengetahuan manusia terintegrasi dalam kehidupan dengan baik. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa perkembangan kebudayaan barat dibagi dalam tahapan masa kejayaan Yunani dan Romawi; Dominasi doktrin agama selama masa abad pertengahan; dan masa fajar ilmu (renaissance), ketika ilmu pengetahuan kembali bisa bebas dari doktrin agama.

Walaupun abad pertengahan sering disebut sebagai masa panjang yang suram di bawah kungkungan doktrin agama. Tetapi sejarah juga mencatat bahwa banyak temuan baru yang tetap bertahan sampai sekarang justeru mulai diterapkan sejak abad gelap tersebut. Lahirnya sekolah, misalnya banyak disokong oleh penerapan pola pendidikan gereja. Thomas Aquinas, salah satu theolog besar ketika itu menganggap bahwa pola- pola pengajaran a la gereja penting diadopsi pada pengajaran ilmu pengetahuan. Aquinas kemudian dikenal sebagai pendiri aliran skolastik yang mengintegrasikan kegiatan-kegiatan pengajaran ke dalam sekolah.

Perkembangan kebudayaan selalu mencatat perkembangan ilmu pengetahuan sebagai salah satu indikator kemajuan peradaban. Abad pertengahan berakhir dan memasuki masa renaissance juga oleh perlawanan terhadap pengekangan pengetahuan oleh doktin gereja. Demikian juga dengan keadaan saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan berhasil mengantarkan beberapa negara menemukan kejayaan. Ilmu pengetahuan yang terintegrasi dengan baik sampai ke masyarakat dapat mengantarkan masyarakat tersebut ke peradaban yang lebih maju. Budaya barat yang hidup, tumbuh dan berkembang begitu rupa hingga mendunia, terjadi berkat ketekunan orang-orang eropa mengembangkan salah satu unsur budaya yang mereka hayati, yaitu dari pengetahuan menjadi pengetahuan ilmiah, melalui renungan filosofis, pikiran pedagogis, keterpelajaran yang sistematis dan sistem pendidikan serta penelitian yang terarah

selama berabad-abad. 11

Kebudayaan Eropa mulai menemukan bentuknya yang lebih maju setelah memasuki abad XVI setelah berhasil melakukan reorganisasi perguruan dan melakukan upaya sungguh-sungguh dalam pencetakan buku-buku. Jauh sebelum itu, dunia timur (Mesir, Arab, Cina dan India) sebenarnya lebih dahulu memperlihatkan kemajuan. Beberapa kebutuhan untuk penulisan pertama kali ditemukan di benua Timur seperti

10 Ibid, hlm. 59. 11 Daoed Joesoef dalam Onny S. Prijono dan A.W.M. Pranarka (peny), Op Cit, hlm. 11.

penemuan papirus di Mesir dan Cina. Bahkan beberapa ilmu pasti dipelajari langsung dari ilmuwan bangsa Arab ketika itu. Hanya saja, bangsa-bangsa Timur enggan menata kembali institusi pendidikan serta buku-bukunya. Sehingga lambat laun kebudayaan Timur terutama bidang pendidikan lambat laun mengalami kemerosotan.

Benua Eropa dan Amerika Serikat serta beberapa negara di Asia, kemudian berhasil mencapai tingkat peradaban yang tinggi melalui sinar ilmu pengetahuan. Negara maju tersebut berhasil mengintegrasikan pendidikan dalam segenap aspek kehidupan melalui pendekaan empat sektor kemasyarakatan: Akademik, pemerintah, Swasta dan Penduduk.

Pada sektor akademik, ilmu pengetahuan diperlakukan atas asas keingintahuan, martabat akademis pribadi, disertai keterbukaan dan pembeberan hasil penelitian yang ditemukan pada masyarakat ilmiah. 12 Orang-orang yang terlibat dalam kelompok ini adalah para individu berbakat di lingkungan masyarakat ilmiah yang seminimal mungkin terlibat pada sektor masyarakat lainnya yang mendapat penilaian dan diakui oleh sesama ilmuwan. Para ilmuwan yang bertugas menjaga dan mengembangkan ilmu pengetahuan akademik dibiarkan hidup di atas menara gading, jauh dari komentar-komentar subyektif. Mereka ibarat hidup dalam sebuah laboratorium dan dilingkupi oleh etika ilmu. Tugasnya hanya melakukan penelitian dan reflksi ilmiah untuk terus menerus menghasilkan pengetahuan baru. Mereka juga senantiasa dianjurkan untuk melakukan promosi ilmu pengetahuan baru secara terus menerus.

Contoh komunitas akademik yang menjaga pengetahuan paling banyak dikenal adalah “Akademi Perancis”. Institusi ini merupakan sebuah kelompok ilmuwan

berwibawa yang terdiri dari ilmuwan pilihan. Keanggotaannya seumur hidup dan dijamin penuh oleh negara. Tugasnya adalah sebagai penjaga kualitas bahasa Perancis. Mereka selalu menyaring dan menelaah serta menyosialisasikan setiap kata-kata baru yang benar dan sebaiknya digunakan masyarakat. Akademi Perancis adalah institusi berwibawa karena selalu menghasilkan kajian obyektif yang jauh dari pengaruh kepentingan di luar persoalan yang ditekuninya.

Sektor kedua dari bagian integrasi pendidikan adalah sektor pemerintah. Dalam kerangkan penentuan orientasi pendidikan sebagai landasan utama membangun kebudayaan integrasi pemerintah dalam hal ini sangat penting terutama dalam penyusunan kebijakan dan good will (niat baik). Pada kasus tertentu kerjasama antara akademisi dengan pemerintah biasanya untuk penanganan persoalan khusus. Sebagai contoh kerjasama antara ilmuwan dengan penguasa Nazi jerman pada tahun 30-an serta

12 Op Cit, hlm. 26-27.

sejarah perang dunia II juga mencatat kerjasama tersebut. Sekarang yang diutamakan adalah bagaimana pemerintah sebagai penyusun kebijakan memiliki orientasi yang bisa menumbuhkembangkan agenda pendidikan sebagai kunci utama kemajuan kebudayaan bangsa.

Sektor ketiga, adalah ilmu pengetahuan swasta. Ilmu pengetahuan yang terintegrasi ke sektor swasta menghendaki sebuah keterkaitan antara pola industri yang dikembangkan oleh swasta memiliki tujuan yang sama dengan apa yang dikehendaki oleh semangat kebudayaan dan good will pemerintah. Daya dukung lain yang diharapkan juga adalah kepedulian sektor swasta untuk mengembangkan penelitian dan pengembangan sumber daya manusia mengingat dunia swasta mengutamakan professionalisme. Sektor swasta juga selalu diharapkan ikut memacu pengintegrasian ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat. Sebagai contoh bagaimana ilmuwan dan ahli komputer di India berhasil merancang perangkat komputer yang bersahabat dan mudah diperoleh masyarakat.

Sektor keempat dan paling menentukan adalah sektor masyarakat atau ilmu pengetahuan masyarakat. Golongan ini terdiri dari kaum yang tidak terlibat langsung serta kepentingan pada ketiga sektor lainnya. Masyarakat hanya berpikir pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan menerima hasil dari pengembangannya. Masyarakat yang masuk dalam sektor ini senantiasa menyampaikan aspirasinya terhadap perbaikan-perbaikan yang diperlukan untuk mendapatkan kualitas pengetahuan dan kemajuan kebudayaan.

Melalui empat sektor yang bekerja beriringan menuju orientasi kemajuan bersama, kebudayaan melalui pendidikan dapat mencerahkan sebuah bangsa. Harus ada saling mendukung dan kerjasama antar empat sektor kalau ingin memperoleh orientasi kebudayaan yang jelas di masa depan. Ketimpangan salah satunya sangan besar pengaruhnya terhadap kesinambungan agenda kebudayaan. Bagaimanapun juga kejelasan konsep kebudayaan baik dalam sebuah visi maupun melalui gerakan yang mengakar di masyarakat menjadi kunci utama pembangunan kebudayaan.

B. Perdebatan Seputar Orientasi Kebudayaan Indonesia

Dalam konteks Indonesia, pembicaraan seputar kebudayaan sebenarnya tidak pernah menemukan titik temu, atau tidak punya orientasi yang memadai sebagai arah yang akan dituju bersama. Dalam catatan sejarah, wacana kebudayaan lebih banyak diramaikan oleh polemik, celakanya aneka perdebatan tersebut tidak pernah sampai pada satu kesimpulan bersama. Yang kelihatan justeru semangat saling mematikan antara satu keyakinan dengan pemahaman lainnya.

Kerancuan polemik kebudayaan Indonesia juga dipengaruhi oleh tarik ulur politik, terutama pada fase-fase tertentu ketika perdebatan kebudayaan jadi ramai justeru setelah dimulai oleh pertentangan politik. Di samping itu catatan awal juga menampakkan bahwa perdebatan kebudayaan indonesia banyak diwarnai oleh perjuangan kelas sebagai akibat dari bertahtanya kolonialisme selama berabad-abad. Nampaknya kolonialisme di Indonesia juga banyak mewarnai perdebatan tersebut antara kehendak mengikuti pola pengintegrasian budaya ala barat dengan usaha keras untuk menemukan nilai-nilai murni yang terangkum dalam ke-Indonesia-an.

1. Wacana Budaya lewat Perlawanan Kelas

Perdebatan kebudayaan Indonesia dimulai dengan perlawanan kelas. Gerakan ini bisa jadi disebabkan oleh semangat untuk memutus penetrasi kolonialisme yang bercokol lama di Indonesia. Oleh para aktivis pergerakan perlawanan kelas ditempuh melalui upaya komunikasi dan pendidikan. Mereka menganggap bahwa dua aspek tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap keterpurukan mental kaum pribumi.

Untuk kali pertama, perjuangan kelas dapat dilihat pada gerakan Djawa Dipa yang memulai gerakannya pada tahun 1914 di Surabaya dipelopori oleh redaktur suratkabar Oetosan Hindia, Tjokrosoedarmo dan Tjokrodanoedjo, keduanya juga

adalah pimpinan Sjarekat Islam Surabaya. 13

Gerakan ini berangkat dari satu pemikiran bahwa hirarki dalam bahasa Jawa yang dipraktikkan dalam keseharian menyebabkan mental orang Jawa menjadi penakut, merasa menjadi budak, rendah diri dan tidak pernah berani menyuarakan hak-haknya, apalagi menyuarakan kebenaran. Struktur bahasa Jawa dianggap sebagai faktor pelembagaan feodalisme di tanah Hindia. Embrio gerakan ini melalui pergaulan antara pegawai rendahan pemerintahan kolonial Belanda dengan tokoh pergerakan masa itu. Ide persamaan kemudian ditularkan, sehingga para pegawai tersebut menganggap bahwa tidak ada alasan untuk mempertahankan hirarki bahasa Jawa, kecuali kalau tetap ingin berada dalam kungkungan mental budak yang terjajah.

Membongkar hirarki bukanlah persoalan mudah, gerakan ini dengan cepat mendapat tentangan dari kalangan pejabat pemerintah kolonial dan para priyayi. Mereka menganggap bahwa penghancuran hirarki bahasa Jawa bukan hanya menghancurkan kebudayaan Jawa yang adiluhung, tetapi juga akan mengganggu tatanan sosial yang sudah sekian lama dipertahankan. Perjuangan ini juga jelas akan mengancap pola

13 Alexander Supartono, Lekra Vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950 – 1965, Skripsi pada STF Driyarkara, Jakarta, 2000.

patronase yang sudah menguntungkan para petinggi Belanda dan Priyayi. Untuk melawan gerakan ini, para elit kolonial dan priyayi kemudian menyelenggarakan Konggres Keboedajaan Djawa pada tahun 1918. mereka mengeluarkan pernyataan bahwa gerakan Djawa Dipa merupakan gerakan yang tidak nasionalis Jawa dan mengganggu hubungan kawula – gusti.

Di luar dugaan, ternyata gerakan Djawa Dipa mendapat sambutan hangat dari beberapa golongan terpelajar. Dua orang tokoh cukup berpengaruh dari kalangan kelas menengah dan ningrat ikut bergabung dan mengembangkan organisasi ini. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Kedua tokoh ini bergabung karena melihat bahwa upaya Djawa Dipa merupakan sebuah usaha membangun kekuatan untuk lepas dari kolonialisme. Karena semangat persamaan dan perjuangan bahasa yang diemban oleh gerakan ini, akhirnya Soewardi Soerjaningrat mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Pada awalnya Tjipto Mangoenkoesoemo enggan untuk masuk ke dalam gerakan ini karena menganggap bahwa gerakan Djawa Dipa akan melemahkan pengaruh priyayi, berarti juga mengancam eksistensi pribadinya yang berasal dari darah biru. Tetapi lambat laun Tjipto melihat perkembangan pesat gerakan ini yang banyak diterima kalangan luas. Akhirnya Tjipto mau bergabung. Boleh jadi sikap Tjipto cenderung oportunis, namun bagaimanapun keikutsertaannya memberi dukungan besar bagi gerakan ini.

Sementara Ki Hadjar Dewantara melihat Djawa Dipa sebagai sebuah gerakan yang bisa menyatukan segenap elemen masyarakat. Ki Hadjar yang anti feodal dan kolonial mendambakan sebuah upaya yang bisa membangkitkan kesadaran ke- Indonesia-an, hal itu dapat didapat setelah elemen masyarakat merasa setara, kemudian memperoleh hak sama atas pendidikan dan pengajaran. Untuk itulah Djawa Dipa bagi Ki Hadjar bisa menjadi penghubung atas cita-citanya memberi pengajaran bagi siapapun tanpa memperhatikan status sosial seperti sistem pendidikan feodalistik yang dipraktikkan para penjajah.

Tetapi lambat laun, gerakan ini mengalami kemandekan justeru ketika isu Djawa Dipa mulai meningkat menjadi Hindia Dipa yang mencakup wilayah Nusantara. Menurunnya gaung gerakan ini karena tidak ada transformasi gagasan dan temuan ide- ide baru setelah cakupan wilayah dan wacananya semakin luas. Waktu masih memperjuangkan Djawa Dipa, perlawanan lewat kesetaraan bahasa masih relevan, mengingat kultur Jawa yang mengenal stratifikasi bahasa. Tetapi ketika telah meluas menjadi usaha untuk menyatukan nusantara sebagai wilayah yang berada di baah kekuasaan kolonial, isu bahasa tidak lagi relevan. Kondisi Jawa jelas beda dengan daerah lain, demikian pula struktur bahasanya. Transformasi ide-ide baru tidak dilakukan (tidak Tetapi lambat laun, gerakan ini mengalami kemandekan justeru ketika isu Djawa Dipa mulai meningkat menjadi Hindia Dipa yang mencakup wilayah Nusantara. Menurunnya gaung gerakan ini karena tidak ada transformasi gagasan dan temuan ide- ide baru setelah cakupan wilayah dan wacananya semakin luas. Waktu masih memperjuangkan Djawa Dipa, perlawanan lewat kesetaraan bahasa masih relevan, mengingat kultur Jawa yang mengenal stratifikasi bahasa. Tetapi ketika telah meluas menjadi usaha untuk menyatukan nusantara sebagai wilayah yang berada di baah kekuasaan kolonial, isu bahasa tidak lagi relevan. Kondisi Jawa jelas beda dengan daerah lain, demikian pula struktur bahasanya. Transformasi ide-ide baru tidak dilakukan (tidak

Perjuangan kelas kemudian beralih ke isu pendidikan. Lewat tangan Ki Hajar Dewantara yang berupaya mewujudkan massifikasi pendidikan. Ki Hajar kemudian mendirikan sekolah liar (Wilde Schoolen) tahun 1922. sekolah liar merupakan inspirasi yang memadukan antara upaya penyadaran secara massal lewat pendidikan yang telah diupayakan selama bergabung di Djawa Dipa dengan model pendidikan Shantiniketan yang dirintis oleh Rabinranat Tagore di India.

Pertemuan Ki Hajar dengan ide-ide pendidikan rakyat boleh dikatakan dimulai dar i sebuah tragedi. Tahun 1913 Ki Hajar pernah menulis sebuah pamflet “Seandainya Aku Orang Indonesia.” Pamflet tersebut ingin menyindir sikap pemerintah kolonial

Belanda yang memperingati 100 tahun pembebasannya dari kekuasaan Perancis. Pamflet itu menyatakan bahwa orang Belanda sebagai bangsa yang tidak tahu malu yang merayakan hari pembebasan di tanah jajahan. Akibatnya ia dan beberapa sahabatnya ditangkap dan diasingkan ke Belanda.

Selama dalam pembuangan inilah Ki Hajar mulai belajar tentang sistem pendidikan Eropa, memberikan perhatian pada aktivitas kultural, sembari memikirkan kemungkinan penerapannya di Hindia Belanda. Pada masa itu pula Ki Hajar mulai terpengaruh dan menyadari bahwa satu-satunya cara untuk membangitkan kesadaran rakyat Hindia Belanda adalah lewat pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai

kebudayaan asli. 14 Pengalamannya berinteraksi dan bekerja dengan berbagai kelompok di dalam

dan luar negeri, memberinya keyakinan bahwa sistem pendidikan kolonial tidak hanya konservatif dan anti demokrasi, tetapi membunuh pertumbuhan kebudayaan asli. Sistem ini menciptakan strata kelas dalam masyarakat, dimana masyarakat Belanda dan kalangan bangsawan yang mendapatkan pendidikan terbaik, sedangkan sebagian besar rakyat hanya mendapat pendidikan alakadarnya, bahkan tidak memperoleh sama sekali.

Akhirnya lewat Taman Siswa, Ki Hadjar ingin memassakan pendidikan, dengan demikian usaha pencerahan akan melingkupi segenap masyarakat di Nusantara. Hanya dengan demikian masyarakat akan menemukan jati dirinya, membangun peradaban, dan mewujudkan kemerdekaan yang hakiki.

Selanjutnya, upaya membanguun kebudayaan Indonesia memasuki fase polemik atau pertarungan orientasi yang makin ramai.

14 Ibid.

2. Polemik Ideologis: Antara Barat atau yang Asli

Pasca Taman Siswa, wacana kebudayaan Indonesia memasuki babak perjuangan ideologis. Kalau pada fase sebelumnya perjuangan dan perdebatan kebudayaan Indonesia bercorak perjuangan kelas, sehingga perlu sebuah institusi kuat untuk memperjuangkannya. Maka pada fase ideologis, perdebatan wacana kebudayaan Indonesia lebih diramaikan oleh persoalan orientasi kebudayaan yang ingin dituju, terutama dalam penetapan agenda utama yang ingin dikedepankan. Polemik kebudayaan tahun 1935 juga sering disebut sebagai pertarungan antara kubu modernis dengan kubu tradisionalis, antara yang pro Barat dengan yang ingin mempertahankan keaslian Indonesia.

Tahun 1935, penting dicatat dalam sejarah perdebatan kebudayaan Indonesia. Lewat sekelompok pemuda yang menamakan dirinya Angkatan Pujangga Baru dan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai tokoh sentralnya memulai sebuah polemik tentang arah kebudayaan Indonesia modern. Polemik pertama dimulai lewat tulisan STA “Menudju Masjarakan dan Keboedajaan Baroe” menawarkan pendapat bahwa

bangsa Indonesia harus berguru kepada bangsa barat kalau ingin maju. Ia selalu menghantam pemikiran yang masih terpaku pada kebudayaan masa lalu. Bagi STA, sejarah Indonesia dimulai abad ke-20. baru pada masa itulah muncul suatu generasi baru, sebuah generasi yang secara sadar berniat merambah jalan baru bagi bangsanya.

Suatu generasi yang telah menikmati pendidikan ala barat. 15

Menurut STA sejarah selama ini diklaim milik Indonesia seperti kejayaan Sriwijaya, Majapahit sebenarnya adalah sejarah Pra Indonesia, milik kerajaan itu masing- masing. Sebab ketika mereka berjuang, toh mereka tidak pernah memikirkan kerajaan lainnya, tetapi memikirkan kerajaan masing-masing. Dalam karangan itu, dengan tajam STA menekankan bahwa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit bukanlah kerajaan Indonesia, sebab tidak menjelmakan pengertian kesadaran bangsa Indonesia yang hendak bersatu seperti termaktub dalam Sumpah Pemuda.keduanya adalah hasil perkembangan salah satu daerah dan bangsa dalam lingkup kepulauan yang luas, yang menaklukkan bangsa- bangsa dan suku-suku yang lain semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri. Belum

ada semangat kebangkitan dan kesatuan Indonesia modern. 16

15 Ibid. 16 Sutan Takdir Alisjahbana, Polemik Kebudayaan, Sesudah 50 Tahun, Tempo, Edisi 17 Mei 1986.

STA kemudian mempertentangkan masa Pra Indonesia – Indonesia, kemudian menegaskan bahwa sudah saatnya Bangsa Indonesia mengubur ingatan masa pra Indonesia, sebab semuanya harus berubah menuju kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh. Untuk menjalani fase itu, semua unsur kebudayaan daerah itu harus melalui transformasi. Misalnya bagaimana bahasa Melayu ditransformasi dari kebudayaan Melayu menjadi kebudayaan Indonesia yang dipahami dan dianut bersama. Sehingga bangsa Indonesia harus mau mengubur masa lalu, kemudian mulai memikirkan kebudayaannya sendiri, yaitu kebudayaan Indonesia Modern yang dibangun oleh pendidikan dan meniru cara negara-negara barat membangun peradabannya.

Tulisan STA kemudian mendapat tanggapan serius dari Sanusi Pan dan Dr. Poerbatjaraka. Keduanya menyatakan bahwa tetap ada perbedaan antara nilai-nilai yang dianut negara Barat dengan Indonesia. Secara geografis jelas sudah berbeda, sehingga perlu dicari lagi kelebihan masing-masing untuk dijadikan orientasi ke depan. Tawaran kedua tokoh ini agak kompromis, ingin melihat Indonesia maju tetapi jangan sampai lupa akan sejarah aslinya.

Pada dasarnya tidak terjadi pertentangan substansi terlalu jauh. Intinya kedua belah pihak ingin membuat awal dan akar kebudayaan untuk memulai sebuah kebudayaan Indonesia baru. Sanusi Pane dan Poerbatjaraka tetap menganggap penting

menjadikan kebudayaan “pra Indonesia” sebagai acuan atau awal berangkat. Tinggal bagaimana kebudayaan lama tersebut diolah menjadi kebudayaan Indonesia. Sementara STA tetap tegas bahwa kita harus memutus sejarah lama itu, kemudian memulai dengan sesuatu yang sama sekali baru yaitu pendidikan yang berorientasi Barat. Tidak penting mengingat sejarah dan kebudayaan lama, sebab itu hanyalah milik kerajaan pra Indonesia yang tidak bisa dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku. Tampaknya semangat STA banyak disokong oleh gelora Sumpah Pemuda yang beberapa tahun sebelumnya berhasil diperjuangkan.

Polemik kedua, kembali dimulai STA dalam Konggres Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo tanggal 8 – 10 Juni 1935. STA memulai kembali lewat tulisan “Sembojan jang Tegas”, kemudian ia presentasikan sebagai kritik terhadap penyelenggaraan acara tersebut. Peserta lain seperti dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Hadjar Dewantara dan lain-lain menganggap bahwa apa yang dikemukakan STA melalui pendidikan gaya Barat justeru akan melahirkan individu yang hanya memperhatikan intelektual, individualisme, materialisme serta egoisme.

Bagaimanapun juga penilaian Ki Hadjar berdasarkan pengalaman pengembaraannya selama pembuangan di negeri Belanda yang menemukan bahwa Bagaimanapun juga penilaian Ki Hadjar berdasarkan pengalaman pengembaraannya selama pembuangan di negeri Belanda yang menemukan bahwa

sebab hanya akan menciptakan pertempuran ego antara aku dengan aku yang lainnya. 17 Tetapi bagi STA tetap tegas dengan mengemukakan lima poin penting untuk

membangun manusia Indonesia baru, yakni:  Dalam rumusannya yang berapi-api, otak orang Indonesia harus diasah

menyamai otak Barat!  Individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya!

 Keinsyafan akan kepentingan diri harus disadarkan se-sadar-sadarnya!  Bangsa Indonesia harus dianjurkan mengumpulkan harta dunia sebanyak-

banyak mungkin!  Kesegala jurusan bangsa Indonesia harus berkembang. 18

Bagi STA kekhawatiran kubu tradisionalis terhadap dampak pendidikan Barat terlalu berlebihan dan tanpa alasan. Bagi sebagian bangsa Indonesia kurang memahami betul apa arti kebudayaan Modern itu. Sehingga menimbulkan sikap enggan terhadapnya. Kebudayaan Modern sering diidentifikasi dengan ekses-ekses dunia modern seperti dilihat dalam hiburan yang dangkal penuh dengan sex dan kekerasan, sikap individualisme dan anarki yang tidak peduli dengan orang lain dalam masyarakat. Orang takut dengan kerusakan moral bangsa kita, terutama angkatan muda. Pada hakekatnya pemahaman itu hanya ekses yang ditimbulkan oleh ulah sekelompok kecil orang modern yang memakai kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan dunia modern untuk mengatasi kebosanan hidup dalam pekerjaan yang monoton di pabrik dan sektor

lain. 19 Mengenai perlunya mengumpulkan harta dunia tidak sekadar dimaknai sempit

sebagai mental materialisme yang egoistik. Bagi STA maksud dari kehendak

17 Ibid. 18 Sutan Takdir Alisjahbana, Semboyan yang Tegas: Kritik terhadap beberapa Pare Advis Konggres

Permusjawaratan Perguruan Indonesia , dalam Alexander Supartono, Op Cit. 19 Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di tengah Laju Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi , Prisma, Edisi 11, November 1981.

mengumpulkan harta dunia sebanyak-banyaknya adalah untuk menumbuhkan ekonomi bangsa memasuki pergaulan dunia yang akan semakin global. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada:

 Perkembangan ekonomi berdampak langsung pada perolehan sumberdaya materi, sumberdaya manusia serta pengelolaan negara lainnya;  Perkembangan ekonomi dapat mengenalkan bentuk inisiatif baru berupa investasi, kualitas manusia dan tumbuhnya perusahan swasta sebagai bentuk

perekonomian baru;  Perkembangan ekonomi dapat mewujudkan kerjasama saling menguntungkan

antar negara. 20

Dengan pencapaian itu bangsa Indonesia diharapkan untuk terus menerus maju mengejar ketertinggalannya dari negara Barat dan ikut serta dalam perkembangan budaya modern. Dengan modal materi dan intelek bangsa Indonesia bisa maju bersama bangsa lain. Sebab sebelumnya sudah muncul beberapa orang yang bisa menjadi contoh pribadi yang berpikiran maju seperti Kartini, Cipto mangunkusumo dan tokoh-tokoh lainnya.

3. Era Kemerdekaan, Perdebatan Kebudayaan di Arena Politik

Memasuki masa persiapan dan tahun-tahun awal kemerdekaan, wacana kebudayaan mulai surut, karena disibukkan dengan persoalan kemerdekaan serta diplomasi internasional untuk memperoleh kedaulatan penuh.

Perdebatan kebudayaan kembali ramai (paling ramai) setelah memasuki dekade 50-an sampai masa-masa teakhir kekuasaan presien Soekarno. Masa sekitar 15 tahun itu merupakan perdebatan antara kubu humanisme universal dengan kaum realisme sosialis. Paham humanisme universal ditegaskan oleh para pencetus manifes kebudayaan, sedangkan aliran realisme sosialis diperjuangkan oleh para penggagas Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang sering disalahfahami sebagai organisasi yang berafiliasi pada Partai Komunias Indonesia. Banyak studi yang berusaha menggambarkan keadaan perdebatan kebudayaan yang terjadi ketika itu (Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya, 1972; Keith Foulcher, Social Commitment in Literature an the Arts: The Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965, 1986; juga beberapa tulisan dari beberapa pelaku yang sifatnya saling melakukan klarifikasi seperti tulisan Goenawan Mohamad salah seorang Manikebuis, Peristiwa “Manikebu”: Kesusasteraan

20 Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia: Social and Cultural Revolution, Oxford University Press London, 1966, hlm. 120.

Indonesia dan Politik di tahun 1960-an, 1988; Joebar Ajoeb, Sekjen Lekra, Mocopat Kebudayaan Indonesia, 1990)

Perdebatan dimulai dengan diterbitkannya “Surat Kepercayaan Gelanggang” (SKG) pada 18 Februari 1950. paragraf awal dari surat ini selalu dianggap sebagai sebuah penegasan tentang jati diri pada pemikir kebudayaan yang menganggap bahwa merekalah pewaris sah kebudayaan dunia.

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengetian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur darimana dunia-dunia

baru yang sehat dapat dilahirkan. 21

Kalau memperhatikan isi paragraf awal SKG kita teringat dengan penegasan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada polemik kebudayaan 1955. boleh dikata antara pemikiran dengan STA dengan SKG searah. Setidaknya di sana tercantum kebudayaan dunia, serta semangatnya untuk melahirkan sebuah konsep kebudayaan baru. Analog dengan pernyataan STA mengenai pentingnya menggagas kebudayaan Indonesia Baru. Apa yang dimaksud dengan keindonesiaan bagi kubu SKG adalah: