AGRARIAN CONFLICT IN INDONESIA: A REFLECTION OF PALM OIL PLANTATION CONFLICT IN EAST KOTAWARINGIN

KONFLIK AGRARIA DI INDONESIA: CATATAN REFLEKTIF KONFLIK

PERKEBUNAN SAWIT DI KOTAWARINGIN TIMUR 1

AGRARIAN CONFLICT IN INDONESIA: A REFLECTION OF PALM OIL PLANTATION CONFLICT IN EAST KOTAWARINGIN

Imam Syafi’i

Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI imamsyafii.sej07@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini menjelaskan bahwa permasalahan konflik agraria di sektor perkebunan di Kabupaten Kotawaringin Timur merepresentasikan buruknya sistem tata kelola SDA di Indonesia. Berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh tumpang tindih kewenangan dan kebijakan dari level pusat hingga daerah menyebabkan munculnya berbagai pelanggaran hukum seperti pemalsuan dokumen, kriminalisasi, pengrusakan fasilitas. Sementara, negara cenderung memberikan fasilitas yang memudahkan laju ekspansi perusahaan perkebunan sawit yang ekstraktif. Hal ini kemudian mempercepat laju kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan dan marginalisasi kelompok masyarakat adat. Namun demikian, pascarezim otoritarian, munculnya FKKTDM-KT yang diinisiasi oleh DAD memperlihatkan bahwa institusi berbasis komunitas adat mulai memiliki peran dan posisi di dalam tata kelola sumber daya alam di wilayah mereka. Keberadaan FKKTDM-KT yang diperkuat melalui Peraturan Daerah baik di level provinsi maupun kabupaten tidak hanya memperkuat posisi mereka secara kultural juga posisi politik mereka. Hal ini dapat dikatakan sebagai bagian dari respon mereka untuk membangun strategi menghadapi perusahaan besar dan atau negara termasuk di dalamnya upaya-upaya penyelesaian konflik di sektor perkebunan.

Kata kunci: tata kelola sda, konflik perkebunan sawit, dan Masyarakat Adat

Abstract

This paper explains that the problem of agrarian conflict in the plantation sector in East Kotawaringin Regency represents poor natural resource management in Indonesia. Various problems caused by overlapping authority and policy from central to local level lead to numerous law violation, document forgery, criminalization, and facilities destruction. Meanwhile, the state tends to provide privilege for the palm oil plantation company to expand its capital. This might accelerate environmental damage because of land conversion and marginalization of local community. However, after the authoritarian regime, the emergence of FKKTDM-KT initiated by DAD shows that traditional community-based institutions is beginning to have a role and position in the management of natural resources in their territories. The existence of FKKTDM-KT reinforced through better regulation (Peraturan Daerah) at provincial and regency level not only strengthens their position culturally, but also politically. It can be considered as part of their response to develop strategies to cope with companies or government including efforts to resolve the conflict in the plantation sector.

Keyword: natural resources management, palm oil plantation conflict, local community

Pendahuluan

asimetris yang melibatkan aktor negara dan korporasi, yang dihadapkan secara langsung

dengan masyarakat. Pada banyak kasus, kehadiran penguasaan, pemanfaatan dan pengelolan sumber negara justru dipraktikkan ke dalam sebuah situasi daya alam (SDA) melalui pendekatan ekonomi

1 politik memperlihatkan kecenderungan hubungan relasional yang mendukung dan mengakomodasi kepentingan korporasi melalui rezim perizinan

1 Tulisan ini merupakan pengembangan dari (P2P)-LIPI. Penulis mengucapkan terima kasih kepada hasil penelitian Penyelesaian Konflik Agraria di Sektor

Irine H. Gayatri, S.Sos, M.A. sebagai koordinator tim Perkebunan Sawit di Kotawaringin Timur Kalimantan

serta seluruh anggota tim penelitian konflik sumber Tengah yang didanai oleh Pusat Penelitian Politik

daya alam (SDA) di P2P-LIPI.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

investasi asing untuk melakukan aktivitas pertambangan di Indonesia. Sementara, Undang-

Praktik ini kemudian menghasilkan sistem Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan monopolistik yang dilakukan oleh Negara baik di merupakan hukum induk yang mengatur unifikasi level

pusat maupun

daerah,

yang

hukum nasional kehutanan yang mengatur merepresentasikan warisan lama dari sistem kegiatan di bidang kehutanan termasuk aktivitas kolonial. Sistem yang monopolistik ini selalu pertambangan (bahan ekspor) yang berada di berkembang dan cenderung dipertahankan wilayah hutan Indonesia (Pasal 2 ayat 1 tentang terutama pada rezim otoritarian orde baru. SDA Hutan Negara; Pasal 3 ayat 2 tentang Hutan diposisikan sebagai basis industri komoditas yang “lucrative crops” seperti perkebunan dan Produksi untuk pembangunan, industri dan

ekspor). Dengan kata lain, ketiga Undang-undang pertambangan yang dianggap sebagai jalan keluar ini dapat dikatakan sebagai upaya pemerintahan untuk mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan Soeharto membuka pintu masuk selebar-lebarnya karena industri perkebunan dianggap memiliki untuk melakukan eksploitasi pertambangan oleh nilai ekonomi yang tinggi dan mampu menyerap perusahaan-perusahaan asing. banyak tenaga kerja (Colchestester, dkk., 2006:11-

29; Tadjoeddin, 2007: 11). Di sisi yang lain, pola- Jamal (2002) menyebutkan bahwa di era pola indutsri ini bersifat desktruktif karena

rezim Orde Baru, Soeharto tidak memiliki pengelolaan yang buruk justru memunculkan

perhatian yang lebih terhadap substansi masalah masalah baru yang saling berkelindan seperti

agraria. Bahwa kebijakan agraria di era ini hilangnya hak atas tanah dan pendapatan,

seringkali mengabaikan semangat reforma agraria kerusakan

yang terkandung di dalam UUPA No. 5 Tahun masyarakat lokal memunculkan konflik yang

1960. Sekalipun Soeharto menetapkan catur tertib melibatkan korporasi dan masyarakat (Tadjoeddin,

pertanahan (tertib hukum pertanahan, tertib 2007: 29).

administrasi, tertib penggunaan tanah dan tertib Di dalam prinsip “lucrative crops” pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup) namun praktik-praktik di lapangan tidak sepenuhnnya

pembangunan nasional ala rezim otoritarian orde berhasil karena mengabaikan kepentingan masyarakat baru ditandai dengan diterbitkannya tiga (3) demi kepentingan pribadi dan kelompok Undang-Undang sejak tahun 1967 (Undang- perusahaan besar. Dalam konteks ini, peran negara Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman sangat dominan melalui sistem birokratik otoritarian Modal Asing, Undang-Undang No. 5 tahun 1967 yang sentralistik yang mengecilkan eksistensi tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, Undang- daerah kecuali sebagai perpanjangan tangan Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan pemerintah pusat (Nordholt dan Klinken, 2007: Pokok Pertambangan) menjadi ciri khas pembangunan

ekonomi yang didasarkan atas dominasi kuat rezim militer dengan mengizinkan para kelompok

Pasca rezim otoritarian, semangat desentralisasi kapital melakukan upaya-upaya eksploitatif SDA

menentukan format hubungan pemerintah pusat dan dengan mengabaikan realitas kelompok-kelompok

daerah di dalam pengelolaan sumber daya alam. masyarakat yang lain. Ketiga Undang-undang ini

Namun demikian, semangat desentralisasi untuk memiliki keterkaitan yang kuat untuk mendukung

memberikan kesempatan lebih luas bagi daerah keinginan Pemerintahan Soeharto mencapai tujuan

memiliki arti pemindahan kewenangan pusat ekonominya. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun

kepada daerah secara sempit sangat terlihat 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Pasal 6

berbasis elit. Desentralisasi tidak dibangun dalam Ayat 1), aktivitas pertambangan tidak disebutkan

realitas masyarakat daerah dengan permasalahan- dari salah satu bidang yang dianggap sebagai

permasalahan mendasar yakni pengakuan, bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak.

kesetaraan, keadilan dalam bingkai kemajemukan Dengan kata lain, pertambangan bukan bidang

dan kesejahteraan bersama. Hasilnya, desentralisasi yang tertutup untuk investasi asing. Hal ini

hanya menjadi kendaraan elit menguasai segala didukung oleh Undang-Undang No. 11 tahunn

sumber daya alam lokal. Pada perkembangannya 1967 tentang Pertambangan (Pasal 10 ayat 3) yang

permasalahan-permasalahan desentralisasi, demokratisasi

416 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 416 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

melalui jalur hukum maupun upaya represif yang dalam perebutan SDA. Partisipasi masyarakat di

lain. Eskalasi konflik semakin terbuka yang tingkat lokal justru dibajak oleh predator lokal

melibatkan lebih banyak aktor baik dari yang justru melanggengkan eksploitasi SDA

pemerintah, perusahaan, aparat dan masyarakat. dengan cara-cara lama (Hadiz, 2010: 40, 49, 69).

Konflik tidak hanya menyebabkan kerugian materi, kerusakan, korban jiwa dan kekerasan

Situasi ini pada akhirnya menjadi salah yang berlangsung masif. Konflik agraria pada satu sumber utama konflik SDA yang seringkali akhirnya memiliki dimensi yang sangat luas baik disebut sebagai konflik agraria. Dalam tulisan ini, secara politik, ekonomi, dan sosial-kultur. Oleh penulis selanjutnya menggunakan istilah konflik karenanya, penyelesaian konflik juga harus agraria dikarenakan secara akademik maupun berangkat dari prasyarat pemahaman terhadap praktik (hukum) lebih banyak digunakan di dalam berbagai dimensi-dimensi itu. berbagai literatur yang merepresentasikan kompleksitas

fenomena konflik yang bersumber dari masalah- Salah satu kasus yang dapat memberikan masalah agraria sebagaimana definisi agraria di

gambaran yang jelas seperti yang diulas di dalam dalam UUPA No. 5 1960.

latar belakang di atas adalah konflik agraria di sektor perkebunan sawit. Konflik ini melibatkan

Konflik agraria terjadi di hampir seluruh korporasi dan masyarakat dengan banyak dimensi wilayah Indonesia terutama sejak runtuhnya rezim sosial, ekonomi, politik dan lingkungan yang otoritarian tahun 1998. Semangat desentralisasi bersumber pada permasalahan penguasaan lahan pada praktiknya tidak cukup untuk mengakomodasi oleh korporasi (Colchester, dkk, 2006; Cifor, 2016). tuntutan (akses) pengelolaan dan pemanfaatan

SDA oleh setiap warga negara. Kontestasi antar Palupi, dkk (2014), di dalam penelitiannya aktor tidak hanya memunculkan tumpang tindih

yang telah diterbitkan dengan judul, Industri kewenangan antar pemerintah pusat dengan

Perkebunan Kelapa Sawit dan Hak Asasi pemerintah daerah, dan antar instansi pemerintah

Manusia: Potret Pelaksanaan Tanggungjawab dalam bentuk saling silang peraturan pengelolaan

Pemerintah dan Korporasi terhadap Hak Asasi SDA. Saling silang ini karena setiap instansi

Manusia di Kalimantan Tengah menyoroti tentang mempertahankan ego sektoral sehingga makna

pelanggaran korporoasi besar perkebunan di dalam sumber daya alam diartikan secara sempit.

mengabaikan hak-hak masyarakat seperti perampasan Peraturan perundangan-undangan yang dibuat

lahan dan kerusakan lingkungan yang membuat inkonsistensi baik secara horizontal (setara)

masyarakat tidak dapat memanfaatkan potensi maupun vertikal (di atas dan di bawahnya) di

hutan dan lahan gambut sehingga mengurangi dalam pengelolaan sumber daya yang oleh BPN

kualitas hidup mereka. Selain itu, tulisan ini juga disebut sebagai jungle of regulation (Mulyani,

memperlihatkan sejauh mana korporasi mengabaikan 2014: 43).

hak-hak buruh perkebunan seperti jaminan kesehatan, sistem pengupahan, jam kerja dan

Kontestasi aktor, perubahan struktur sosial jaminan kecelakaan kerja (Palupi, 2014: 35-85). masyarakat dan inkonsistensi peraturan perundang-

undangan menjadi bagian dari faktor yang Astarya (2015), di dalam penelitian memunculkan tren konflik agraria semakin meningkat.

Tesisnya tentang konflik perkebunan di Kabupaten Pasca orde baru, masyarakat menerjemahkan

Landak Kalimantan Barat, memperlihatkan bahwa partisipasi mereka dengan upaya “reclaiming”

konflik terjadi dikarenakan perusahaan tidak untuk meminta kembali hak atas tanah mereka

melaksanakan tanggungjawab membangun perkebunan yang sebelumnya telah dirampas oleh negara dan

rakyat sebagai bagian dari hak yang harus diberikan atau pemilik modal. Malik, dkk (2003:197-203)

kepada masyarakat setempat. Ketidakmampuan negara menyebutkan rezim Orde Baru yang menumpukan

di dalam mengawal pelaksanaan kewajiban- kemajuan ekonomi negara dari usaha perkebunan

kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan dan pertambangan, memenuhi kebutuhan lahan

kemudian membuat konflik ini terus berlangsung yang luas bersumber dari legalisasi perampasan

tanpa ada kejelasan penyelesaiannya. tanah masyarakat oleh negara. Negara dan pemilik

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Laporan TUK Indonesia, WALHI dan dan secara bersamaan mereka masih tergantung ELSAM dalam siaran pers 6 November 2016,

dengan pola pertanian yang subsisten. menyebutkan bahwa permasalahan konflik yang

Liberalisasi ekonomi di Indonesia (masa melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit awal terbatas di Jawa dan Sumatera) semakin meliputi konflik lahan, degradasi lingkungan, intensif setelah diterbitkannya sebuah undang- konflik dalam skema kemitraan, dan konflik undang kolonial yang disebut sebagai Agrarische perburuhan. Menurut laporan ini, tata kelola Wet (AW) pada tahun 1870. Undang-Undang ini perkebunan sawit yang buruk mengakibatkan menjadi pintu masuk terhadap eksploitasi sumber penegakan hukum yang lemah dan tidak berpihak daya alam oleh kelompok-kelompok kapital dan kepada masyarakat sehingga banyak perusahaan melatar-belakangi kebijakan lanjutan yang dikenal perkebunan mengabaikan tanggungjawab sosial sebagai cultuurstelsel (kerja paksa) yang meluas dan tanggungjawab lingkungan. ke daerah lainnya seperti Sumbawa, Bali, Lombok

Salah satu konflik agraria di sektor dan sebagian wilayah Sulawesi dan Kalimantan perkebunan sawit yang terjadi di Indonesia adalah

(Kano, 1997: 36).

konflik perkebunan yang melibatkan masyarakat Sebelum dikeluarkannya AW, Pemerintah dan perusahaan perkebunan di Kabupaten Kolonial terlebih dahulu menerapkan peraturan Kotawaringin Timur. Studi kasus yang terjadi di yang disebut Regerings Reglement (RR) tahun wilayah ini penting untuk dielaborasi sehingga 1854 untuk mengundang para perusahaan- memberikan gambaran yang lebih variatif tentang perusahaan Eropa menanamkan modalnya di Jawa. kompleksitas konflik di sektor perkebunan. Anggelino (dalam Rajagukguk, 2007: 6) menyebutkan Berangkat dari studi kasus di Kabupaten bahwa dalam peraturan ini, Gubernur Jenderal Kotawaringin Timur, tulisan ini memperlihatkan dapat menyewakan tanah selama kurang lebih 20 konflik yang melibatkan masyarakat adat Dayak yang tidak dapat diperjual-belikan kecuali tanah dan Perusahan perkebunan seperti PT. Bangkit kecil untuk perluasan kota atau desa (Pasal 62). Giat Usaha Mandiri (PT. BUM), PT. Windu Sementara itu, Harsono (2008: 35-36) menyebutkan Nabatindo Sejahtera (PT. WNS), dan PT. Bumi bahwa RR yang dimuat dalam Algemeene Sawit Kencana (PT. BSK). Konflik ini tidak lepas Maatregel van Bestuur (AMVB) menjadi awal dari permasalahan penguasaan lahan oleh perusahaan dibukanya kembali kesempatan para perusahaan yang mengabaikan realitas lokal sehingga konflik besar menyewa tanah dari pemerintah kolonial tidak dapat dihindarkan. namun tidak serta merta memberikan kesempatan

yang lebih besar dikarenakan jangka waktu 20

Praktik Penguasaan Sumber Daya Alam di

tahun tidak mencukupi untuk pengusahaan tanaman

Sektor Perkebunan: Perspektif Historis

keras yang memerlukan waktu lebih lama. Selain Permasalahan agraria pada hakikatnya

itu, jangka waktu 20 tahun tidak cukup bagi telah berlangsung sangat lama. Secara historis,

perusahaan besar mendapatkan kredit dengan dapat dilacak sejak era kolonial melalui penerapan

jaminan hypotheek.

prinsip-prinsip liberal di dalam pengelolaan Dikeluarkannya RR ini pada awalnya sumber daya alam. Breman (1986:7-9) menyebut ditolak baik oleh kelompok liberal maupun bahwa sistem ini dibangun dengan memanfaatkan konservatif di parlemen Belanda. Ketentuan- pranata tradisional yang ada (masyarakat Jawa). ketentuan di dalam RR masih banyak yang Para elit setempat dijadikan sebagai perantara tumpang tindih antara kerja paksa, sewa tanah, tol, yang menghubungkan Pemerintah Kolonial hutan serta penyewaan tanah oleh Pemerintah dengan para petani penggarap untuk meningkatkan Kolonial dan penyewaan tanah dari pribumi. Pada produktivitas ekonomi. Sistem ini memosisikan pasal 57 disebutkan mengharuskan pemerintah para elit memiliki hak-hak istimewa, sementara meregulasikan kerja paksa namun pada pasal 71 petani semakin terjepit dengan berbagai mencegah campur tangan di dalam kehidupan kewajiban-kewajiban (pajak) yang harus dipenuhi. desa, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan jika Selain itu, sistem ini telah menciptakan ekonomi sistem tanam paksa diterapkan (Furnivall, 2009: dualistik karena masyarakat dipaksa untuk

menanam tanaman ekspor (commercial agriculture)

418 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Baik AW maupun RR, telah memosisikan sempat hilang oleh sistem Daendels maupun Pemerintah Kolonial semakin leluasa menguasai

Raffles. Hak-hak istimewa mereka dipulihkan tanah-tanah di Jawa seperti tanah-tanah yang

kembali dan menjadi bagian penting upaya eksploitasi terlantar dan tidak dipakai (woeste gronden) serta

tanah jajahan. Kolaborasi antara Negara Kolonial, tanah yang tidak memiliki kepemilikan pribadi

elit lokal dan kelompok kapital menciptakan (eigendom). Melalui Undang-undang ini juga,

distribusi kesejahteraan hanya mengalir kepada Pemerintah Kolonial mengeluarkan ijin kepada

mereka namun tidak kepada masyarakat petani perusahaan-perusahaan untuk menyewa tanah

yang selalu terancam kelaparan (Zanden, dkk., dengan sistem erpachtrecht selama 75 tahun

2012: 97-101).

(Rachman, 2012: 15). Namun demikian, AW tidak Di awal kemerdekaan, upaya untuk cukup mengakomodasi kepentingan perusahaan- melakukan dekonstruksi pengelolaan dan pemanfaatan perusahaan Eropa mengeksploitasi tanah-tanah di sumber daya alam oleh Presiden Soekarno melalui Jawa. Pemerintah masih mengalami kesulitan penerbitan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil dalam mengeluarkan ijin sewa karena masih (UUPBH No. 2 tahun 1960) dan Undang-Undang bersifat dualistis yakni mengakomodasi hukum Pokok Agraria (UUPA No. 5 tahun 1960). barat dan hukum adat (tanah ulayat). Menurut Soemardjan (1984: 106-107) prinsip

Pemerintah Kolonial kemudian mengeluarkan dasar yang terkandung di dalam UUPA No. 5 peraturan pelaksanaan yakni Agrarische Besluit

Tahun 1960. Pertama, Tanah pertanian seharusnya (AB) tahun 1870 (staatblad 1870 no 118) yang

ditujukan untuk petani penggarap. Kedua, Hak memungkinkan semua tanah yang tidak dapat

utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi dibuktikan sebagai hak eigendom statusnya

adalah khusus untuk warga negara Indonesia. menjadi milik negara. Peraturan pelaksanaan ini

Ketiga , Pemilikan guntai (absentee) yakni memosisikan sebagian besar tanah yang dikelola

pemilikan tanah pertanian yang pemiliknya dengan sistem adat dan kebiasaan setempat

bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak berganti menjadi tanah milik negara. Hal ini

tanah pertanian tersebut, tidak dibenarkan kecuali karena definisi praksis tentang status tanah

bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas berdasarkan hukum adat tidak sama dengan

negara dan dalam hal pengecualian lain. Keempat, definisi berdasarkan hak eigendom dalam hukum

petani-petani yang berada pada situasi ekonomi Eropa. Peraturan ini semakin menegasikan hak-

yang lemah, negara wajib melindungi dari hak masyarakat pribumi atas tanah yang telah

kelompok-kelompok yang memiliki kedudukan mereka miliki sejak lama. Sementara Pemerintah

ekonomi lebih kuat.

Kolonial semakin leluasa menyewakan tanah- Kedua Undang-undang ini kemudian tanah tersebut untuk dijadikan lahan-lahan menjadi legitimasi untuk mencabut segala perkebunan komersial. peraturan yang bersumber dari hukum kolonial di

Baik AW maupun AB merupakan titik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya awal kapitalisasi besar-besaran tanah jajahan.

alam sehingga bermanfaat terhadap kesejahteraan Sistem ini dianggap berhasil mengangkat

dan keadilan masyarakat. Pertama, UUPBH No. 2 perekonomian Belanda namun semakin membuat

tahun 1960 dibuat untuk mengatur perjanjian terpuruk ekonomi wilayah jajahan terutama di

antara tuan tanah dan penggarap atas dasar Jawa. Keterpurukan ini disebabkan beban para

keadilan dan kepastian hukum yang mampu petani semakin meningkat. Pertama, petani memiliki

melindungi hak dan kewajiban penggarap dan kewajiban memenuhi tuntutan Pemerintah Kolonial

pemilik tanah. Kedua, UUPA No. 5 tahun 1960 untuk penanaman produk-produk ekspor dan

merupakan langkah progresif untuk menggantikan tenaga kerja tambahan. Kedua, secara bersamaan

segala peraturan di sektor agraria yang bersumber petani diwajibkan memenuhi tuntutan dari elit

dari hukum kolonial. Undang-undang ini kemudian lokal sebagai pelaksana tugas sistem ini. Untuk

menjadi landasan hukum yang utama untuk faktor kedua, para kepala desa maupun kelompok

mengatur segala potensi sumber daya alam yang priyayi yang lain sebagai kelompok elit

dimiliki Indonesia secara adil lepas dari prinsip- diuntungkan dengan dilibatkannya kembali mereka

prinsip kolonial dan sisa feodalisme di dalam dalam sistem ekonomi kolonial yang sebelumnya

membangun ekonomi nasional. Upaya ini oleh

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Rachman (2012: 14) disebut dan lebih dikenal dan merepresentasikan karakter pemerintahan dengan land reform sebagai bagian dari revolusi

Soeharto dalam upayanya membangun ekonomi yang memiliki slogan utama ‘tanah tidak lagi

nasional yang didasarkan atas dominasi kuat rezim menjadi media penghisapan oleh yang kuat

asing terutama di sektor kehutanan dan terhadap yang lemah serta diperuntukkan untuk

pertambangan. Dalam konteks ini, Robison (2009: orang-orang yang secara nyata menggarap tanah.

30) menyebut Soeharto membangun kebijakan ekonomi nasional didasarkan atas empat

Sementara, Wiradi (2007: 9) menyebutkan paradigma besar yang saling berbenturan satu bahwa semangat land reform ini menjadi bagian sama lain yakni; nasionalisme, populisme, dari politik Soekarno untuk mewujudkan demokrasi terpimpin. Semboyan ‘berdaulat dalam birokratisme serta predatoris dan liberalisme.

politik, berdikari di bidang ekonomi dan Menurut Wiradi (2009: 10-11), terbitnya berkepribadian dalam budaya’ diterjemahkan

berbagai Undang-Undang ini menunjukkan watak Soekarno sebagai upaya pembaharuan sistem

rezim orde baru yang pragmatis dan tanpa agraria yang baik sebagai landasan pembangunan

idealisme. Land reform yang di era Soekarno Indonesia.

menjadi landasan dalam pembangunan nasional pemerintahan Soekarno mengeluarkan berbagai

Oleh karenanya sejak

ditinggalkan. Sebagai gantinya, Soeharto menerjemahkan peraturan dan membentuk berbagai lembaga

pembangunan agraria disesuaikan dengan semangat pendukung seperti panitia land reform, pengadilan

revolusi hijau yang pada waktu itu menjadi agenda land reform dan panitia pengukuran desa lengkap.

negara-negara di Asia. Melalui pembangunan 25 tahun, Soeharto membaginya ke dalam perencanaan

Namun demikian, pergantian rezim Orde pembangunan lima tahun (pelita). Namun demikian, Lama ke Orde Baru memunculkan rezim Soeharto semangat untuk menerjemahkan revolusi hijau dengan menerbitkan UU No. 1/1968 tentang dengan peningkatan aktivitas pertanian dapat Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan UU No. dikatakan tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri

(UU PMDN) sebagai legitimasi negara membuka Kegagalan ini disebabkan karena Soeharto kesempatan yang lebih luas terhadap para pemilik

mengabaikan gagasan reforma agraria sebagai modal. Kedua UU ini kemudian dicabut dan

basis pembangunan. Sekalipun produksi nasional digantikan oleh UU No. 25 Tahun 2007 yang pada

meningkat, namun keadilan sosial diabaikan. prinsipnya hanya menggabungkan dua UU

Dalam dekade 1980-an saat swasembada pangan terdahulu menjadi satu Undang-undang.

tercapai justru saat itulah berbagai macam konflik agraria mulai meluas. Hal ini memiliki makna

Pada perkembangannya, Negara semakin bahwa telah terjadi suatu kolaborasi besar yang memberikan perlindungan dan akses ekstra kepada melibatkan pemerintah dan pemodal asing. perusahaan-perusahaan besar dengan mengesahkan Eksploitasi SDA memasuki era baru di Indonesia Undang-undang No. 18 Tahun 2014 tentang yang memosisikan aktivitas pertambangan Perkebunan. Tidak berhenti di dua undang-undang menjadi yang utama dengan investasi modal asing tersebut, pemerintah Orde Baru kemudian sangat mendominasi. Secara bersamaan ekonomi menerbitkan tiga macam Undang-Undang sejak nasional dibangun bersumber atas keuntungan tahun 1967 yakni Undang-Undang Penanaman konsesi-konsesi pertambangan yang dilakukan Modal Asing No. 1 tahun 1967 dan Undang- oleh pemerintah dan pihak asing. Dari situasi ini, undang No. 11 Tahun 1970 tentang perubahan dan Soeharto berharap mampu mengubah ekonomi tambahannya serta Undang-undang No. 5 Tahun nasional yang bernilai rendah (pertanian) menjadi 1967 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan industri bernilai tinggi (pertambangan). Dibantu dan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang oleh birokrat yang patuh, proses merubah ekonomi Pertambangan. Namun penerbitan ketiga Undang- Undang ini dianggap sebagai “jalan pintas” yang nasional memiliki konsekuensi pengambilalihan

kembali tanah-tanah yang sebelumnya telah menjauh dari semangat reforma agraria (RA) yang diredistribusikan sebelumnya dan pembukaan sekalipun bertujuan meningkatkan pertumbuhan hutan untuk alasan pembangunan. Robinson ekonomi namun berdampak pada peminggiran (2009) menyebut para birokrat ini sebagai pemerataan dan keadilan sosial (Wiradi, 2009: 54) kelompok “birokratisme predatoris” yang paling

420 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 420 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebesar 85,85% pengadaan tanah.

(BPS, 2014). Palupi, dkk. (2014: 11-12) menyebutkan situasi ini memosisikan sektor perkebunan kelapa

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, praktik sawit memberikan pengaruh yang sangat kuat baik penguasaan SDA tidak terlepas dari semangat secara ekonomi, sosial dan budaya serta ekologi desentralisasi yang memosisikan peran daerah Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan oleh semakin besar. Hadiz (2010: 1-3) menjelaskan perluasan perkebunan kelapa sawit sejak tahun bahwa desentralisasi tumbuh sebagai gejolak 1993 tidak terkendali yang dilakukan dengan cara primordialisme daerah menuntut kekuasaan penuh mengkonversi lahan pertanian yang termasuk di di dalam mengelola kekayaan daerah yang selama dalamnya tanah ulayat, lahan garapan masyarakat ini didominasi oleh pemerintah pusat. Situasi ini adat, hutan adat dan lahan transmirgrasi. kemudian berkembang saling berkelindan antara

permasalahan desentralisasi, demokratisasi, dan Kabupaten Kotawaringin Timur menjadi globalisasi yang memunculkan predator-predator

salah satu Kabupaten yang menyumbang luas lokal yang memanfaatkan sistem lama. Sementara

perkebunan kelapa sawit paling tinggi di Nordholt (2005) menyebutkan bahwa desentralisasi di

Kalimantan Tengah. Pada tahun 2014, luas Indonesia memiliki makna sebagai desentralisasi

perkebunan kelapa sawit di wilayah ini mencapai korupsi, kolusi dan semangat Patrimonialisme

506.131 Ha atau 45% dari total luas perkebunan di yang dilakukan oleh elit-elit lokal setempat.

Kalimantan Tengah (BPS, 2014: 223) dan secara konsisten menjadi penyumbang Pendapatan Asli

Dalam konteks desentralisasi, Undang- Daerah (PAD) yang sebelumnya dihasilkan dari Undang Otonomi Daerah No. 22 dan 25 Tahun industri kayu. Dalam catatan Dinas Kehutanan dan 1999 menjadi peluang pasca rezim autoritarian di Perkebunan Kelapa Sawit, terdapat 47 perusahaan mana elit lokal memiliki kesempatan politik yang perkebunan yang telah beroperasi di atas lahan eks lebih luas untuk terlibat di dalam pengelolaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Tentunya hal ini SDA lokal. Pada tahun 2009 misalkan, pemerintah menggambarkan perubahan orientasi ekonomi di pusat mengeluarkan Undang-Undang No. 4 tahun daerah ini yang berubah dari komiditas hutan 2009 tentang Minerba yang memberikan peluang (kayu) menjadi kelapa sawit seperti terutama pasca daerah di dalam pengelolaan SDA mereka krisis ekonomi 1997. Sepanjang era desentralisasi, sekalipun pada praktiknya hal ini memunculkan HPH semakin mudah dikeluarkan oleh Pemerintah masalah baru terutama tumpang tindihnya Daerah (Pemda) dan menjadi pintu masuk utama berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. terhadap eksploitasi hutan dengan dalih peningkatan

PAD dengan mengabaikan aspek-aspel sosial dan

Kotawaringin Timur: Sebagai Arena Konflik

lingkungan seperti rusakhnya hutan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan

perdagangan satwa-satwa langka (Casson, 2001: Tengah mulai beroperasi sejak tahun 1993.

20; Palupi, 2014: 41)

Peraturan Daerah No. 3 tahun 1993 tentang Secara keseluruhan, data-data penggunaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), telah lahan di Kotawaringin Timur dapat dilihat dari memberikan peluang baru terhadap para investor data yang dirilis oleh WALHI yang menyebutkan memperluas perkebunan kelapa sawit di bahwa 440.285 Ha lahan hutan di Kotawaringin Kalimantan Tengah. Hal ini kemudian memberikan Timur dikuasai oleh perusahaan penguasaan hutan, pengaruh yang signifikan terhadap laju deforestasi 35.491 ha dikuasai oleh perusahaan pertambangan, hutan di Kalimantan Tengah. Dalam rentang dan 506.131 ha dikuasai oleh perusahaan waktu 10 tahun antara 1998 hingga 2008, rata-rata perkebunan sawit (Palupi, dkk, 2014: 40). Mengutip hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal kelapa sawit rata-rata seluas 65.349 Ha. Hingga (BKPM, 2015), dari total keseluruhan lahan hutan tahun 2014, perkebunan kelapa sawit di yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan sawit Kalimantan Tengah mencapai 11,12% total luas tahun 2014, sebesar 391.994 ha sudah digunakan, perkebunan sawit nasional yang terdiri dari sementara sisanya masih dalam proses pengalihan Perkebunan Rakyat (PR) sebesar 14,09%, fungsi lahan. Angka yang berbeda dikeluarkan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

kasus (45,55%) dan diikuti konflik agraria di Kotawaringin Timur seluas 646.017 ha yang

sawit di

Kabupaten

sektor perkebunan 185 kasus (39,19%) serta sektor dikuasi oleh hampir 77 perusahaan. Angka yang

kehutanan sebanyak 27 kasus (5,72%), pertanian berbeda juga ditunjukkan di dalam laman website

20 kasus (4,24%), pertambangan 14 kasus (2,97%), resmi Kabupaten Kotawaringin Timur yang

perairan dan kelautan sebanyak 4 kasus (0,85%), menyebutkan total luas perkebunan sawit pada

dan lain-lain 7 kasus (1,48%) (lihat KPA, 2014: tahun 2014 mencapai 461.273,3 ha yang terdiri

dari 404.360, 7 ha yang dimiliki oleh perusahaan Lebih lanjut, data-data yang telah dirilis oleh KPA besar swasta (PBS), dan perkebunan plasma dalam rentang waktu 10 tahun terakhir antara 2004 masyarakat seluas 56.876,6 ha. Perbedaan angka hingga penghujung tahun 2014, telah terjadi luas lahan perkebunan sawit ini pada akhirnya konflik agraria sebanyak 1.520 kasus dengan menjadi permasalahan mendasar sebagai salah luasan areal konflik 6.541.951 ha yang melibatkan satu sumber konflik akibat dari buruknya tata 977.103 KK. Dengan kata lain konflik agraria kelola perkebunan di Kabupaten Kotawaringin terjadi di areal seluas 1.792 Ha yang melibatkan Timur dan daerah-daerah perkebunan sawit lebih dari 267 KK terlibat konflik setiap harinya lainnya.

(KPA, 2014: 12).

Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Sepanjang tahun 2015, KPA kembali beberapa Non Government Organisation (NGO) merilis data konflik agraria yang mencapai 252 seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia kasus dengan luas areal konflik 400.430 ha dan (WALHI), Konsorsium Pembaharuan Agraria melibatkan sedikitnya 108.714 KK. Di tahun (KPA), dan Perkumpulan untuk Pembaharuan 2015, lebih banyak terjadi di sektor perkebunan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis yakni sebanyak 127 kasus (50%). Sementara, jika (HUMA) menyebutkan ekspansi perkebunan di tahun 2014 konflik agraria di sektor kelapa sawit memberikan sumbangan terbesar pembangunan infrastruktur berada paling tinggi, konflik agraria. HUMA. Data yang dikeluarkan namun di tahun 2015, konflik agraria di sektor ini oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sebanyak 70 kasus (28%). Kemudian disusul tren konflik agraria secara nasional terus konflik agraria di sektor kehutanan sebanyak 24 mengalami tren peningkatan terutama pasca kasus (9,6%), konflik agraria di sektor berakhirnya rezim otoritarian Orde Baru. pertambangan sebanyak 14 kasus (5,2%), konflik Sepanjang tahun 2014, data KPA memperlihatkan agraria di sektor pertanian, pesisir dan kelautan telah terjadi konflik agraria sebanyak 472 kasus sebanyak 14 kasus (5,2%), serta lain-lain sebanyak dengan cakupan luas lahan 2.860.977,07 ha dan

9 kasus (4%) (KPA, 2015: 4). melibatkan 105.887 Kepala Keluarga (KK).

Konflik agraria tertinggi di tahun 2014 terjadi di

422 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Gambar 1. Grafik Peningkatan Jumlah Konflik Agraria

Sumber: KPA (2014: 12)

Gambar 2. Grafik Peningkatan Luas Areal Konflik Agraria (Ha)

Sumber: KPA (2014: 14)

Tenggara sebanyak 16 kasus (6,4%). Sebaran Meskipun jumlah kasus konflik agraria di konflik agraria terjadi hampir di seluruh wilayah tahun 2015 menurun dibandingkan dengan jumlah Indonesia. Provinsi Riau tercatat memiliki intensitas kasus di tahun 2014, namun sebaran dan luasan yang paling tinggi di antara provinsi yang lain. konflik agraria masih mengalami peningkatan Dari keseluruhan konflik, Provinsi Riau memiliki yang konsisten. Data yang dirilis oleh KPA tahun intensitas konflik hingga 14,40%. Disusul Provinsi 2015 memperlihatkan konflik terjadi hampir di 35 Jawa Timur dengan 13,60% dan Provinsi Sumatera provinsi di Indonesia. Provinsi Riau memiliki Selatan dengan tingkat intensitas sebesar 9,20%. jumlah kasus yang paling tinggi dibandingkan Lebih lanjut sebaran konflik dapat dilihat di dalam wilayah lain sebanyak 36 konfllik (14,4%) disusul grafik di bawah (lihat Gambar 3). oleh Jawa Timur sebanyak 34 kasus (13,6%),

Sumatera Selatan 23 kasus (9,2%), Sulawesi

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Gambar 3. Sebaran Wilayah Konflik Agraria 2015 (tingkat provinsi)

Sumber: KPA (2015: 8)

Data-data yang dirilis oleh HUMA seperti yang Dalam beberapa laporan yang SW (2014), dikutip oleh Zakaria, dkk (2015: 16) menyebutkan

tren peningkatan konflik di sektor perkebunan dari konflik agraria yang terjadi di Indonesia telah

kelapa sawit terus mengalami peningkatan setiap melibatkan sekitar 91.968 orang dari 315

tahunnya. SW mencatat konflik terjadi disebabkan komunitas secara langsung sebagai korban

oleh munculnya sengketa lahan, ketidakjelasan berhadapan dengan perusahaan besar atau negara.

program kemitraan dan degradasi lingkungan yang Sementara itu, Provinsi Kalimantan Tengah

melibatkan perusahaan perkebunan, masyarakat menempati posisi paling atas yang memiliki

adat dan lokal, aparat keamanan dan pasukan intensitas konflik agraria di sektor perkebunan.

perusahaan masyarakat Hingga tahun 2013, HUMA mencatat 67 kasus

paramiliter binaan

terutama menyangkut sengketa/ ganti rugi lahan konflik perkebunan dengan luas lahan mencapai

(Palupi, 2014: dkk: 15). Adapun fase-fase konflik 254.671 Ha dan menurut catatan WALHI (2014),

di sektor perkebunan seperti yang telah dirilis oleh Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), sebagaimana satu wilayah yang memiliki intensitas konflik

di kuti oleh KPA menyebutkan terdapat empat agraria paling tinggi di antara kabupaten/ kota di

fase konflik di dalam sektor perkebunan yang Provinsi Kalimantan Tengah lainnya (lihat gambar

umum terjadi (Nurdin, 2015): 4).

424 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Gambar 4. Presentase Konflik Agraria Kalimantan Tengah 2014

Sumber: WALHI (2014)

kurang subur, luas lahan yang tidak sesuai, (1) Fase normatif. Fase ini menyangkut ijin lokasi daftar penerima fiktif, pemberian bibit yang dan ijin prinsip perkebunan yang dikeluarkan buruk, jumlah pokok tanaman yang sedikit, oleh bupati, gubernur hingga pemerintah pusat dan jumlah kredit yang tinggi. yang seringkali terjadi tumpang tindih. Luas

lahan yang tertera di dokumen-dokumen Fase produksi. Pada fase ini konflik terjadi

akibat pemotongan yang dilakukan oleh perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah perusahaan terhadap petani plasma dinilai pusat maupun pemerintah daerah tidak sesuai terlalu tinggi. Berdasarkan data yang dengan existing luas lahan di lapangan dikeluarkan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit dan/atau bersinggungan dengan lahan yang (SPKS), seperti yang dikutip oleh KPA, telah dikelola oleh masyarakat jauh sebelum pemotongan yang dilakukan oleh perusahaan ijin perkebunan dikeluarkan. dapat mencapai empat persen dalam seiap kali (2) Fase pembangunan perkebunan. Pada fase ini

panen.

konflik terjadi berawal dari kerjasama yang dilakukan oleh perusahaan melibatkan masyarakat

Temuan-temuan tim penelitian konflik untuk membangun kebun plasma. Kerjasama

SDA Pusat Penelitian Politik LIPI (Gayatri dan ini dibangun tidak seimbang sehingga

Syafi’i, 2015) yang juga mengkomfirmasi temuan masyarakat seringkali dirugikan di dalam

tim WALHI (2014), memperlihatkan konflik perjanjian ini. Dalam konteks ini, lahan yang

perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin disediakan oleh masyarakat untuk dijadikan

Timur berada pada fase pertama hingga fase ketiga kebun plasma justru dimasukkan ke dalam

yang melibatkan perusahaan perkebunan dengan lahan di dalam dokumen Hak Guna Usaha

masyarakat. Temuan-temuan tersebut memperlihatkan (HGU).

bahwa sejak awal perluasaan perkebunan kelapa (3) Fase konflik. Pada fase ini masih sangat

sawit menyisakan permasalahan tentang status terkait dengan fase kedua tentang kebun

kepemilikan lahan (kuasa lahan) seperti tumpang plasma. Seringkali perusahaan di dalam

tindih lahan, klaim sepihak, ganti rugi dan membangun kebun plasma tidak strategis

permasalahan kebun plasma dalam konteks seperti jauh dari lokasi tempat tinggal petani

kemitraan antara perusahaan dan masyarakat yang sulit diakses, lahan untuk kebun plasma

menyangkut mekanisme pembangunan kebun plasma,

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

konstelasi konflik di Kalimantan Tengah. Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 2011

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan

Pemda Kabupaten Kotawaringin Timur. Konflik (Bab I, Pasal 1, poin 46), konflik di sektor

Perkebunan yang terjadi lebih sering disebut perkebunan didefinisikan sebagai kondisi tidak

sebagai sengketa pertanahan. Hal ini dikarenakan normal yang terjadi antara perusahaan besar

sebagian besar kasus yang telah diproses oleh tim perkebunan dengan perusahaan perkebunan,

terpadu yang dibentuk oleh Pemda menyangkut perusahaan pertambangan, izin usaha pemanfaatan

permasalahan sengketa lahan yang disebabkan hasil hutan kayu yang selanjutnya disebut

oleh buruknya data pertanahan. Terlebih lagi di IUPHHK, dan dengan masyarakat/ masyarakat

wilayah Kalimantan Tengah terdapat dua adat. Merujuk kepada definisi tersebut, konflik

dokumen kepemilikan awal tanah yang diakui yang terjadi akibat dari situasi tidak normal yang

yakni Surat Keterangan Tanah (SKT) yang melibatkan perkebunan besar swasta (PBS) kelapa

dikeluarkan oleh Pemda dan SKT-A yang sawit dengan masyarakat adat dayak terutama

dikeluarkan oleh DAD. Sementara Badan yang tergabung di dalam komunitas “Dayak

Pertanahan Nasional (BPN) sendiri tidak Misik”. Penggunaan istilah masyarakat adat

mengakui keberadaan SKTA. Sejauh ini Tim “Dayak Misik” dianggap relevan dikarenakan di

terpadu upaya inventaris hanya dilakukan ketika dalam kasus konflik yang terjadi di Kabupaten

konflik pertanahan yang melibatkan beberapa Kotawaringin Timur adalah anggota “Daya Misik”

pihak telah muncul di permukaan. Sepanjang yang tergabung di dalam Forum Koordinasi

tahun 2014, Konflik pertanahan yang tercatat oleh Kelompok Tani “Dayak Misik” Kalimantan

Pemda Kabupaten Kotawaringin Timur melalui Tengah (FKKTDM-KT). Oleh karenanya,

Badan Pertanahan Setda mencapai 70 kasus yang seringkali mekanisme yang digunakan oleh piha-

dikategorikan ke dalam empat jenis konflik yakni; pihak yang terlibat di dalam konflik menggunakan

masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa mekanisme adat terutama dokumen kepemilikan

sawit sebanyak 60 kasus 86,96%, masyarakat lahan sengketa yang bersumber dari Surat

dengan masyarakat 8 kasus atau 10,14 perse serta Kepemilikan

masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan dikeluarkan oleh Dewan Adat Dayak di tingkat

Tanah –Adat (SKT-A)

yang

dengan perusahaan masing-masing 1 kasus atau desa dan kecamatan. Dalam konteks ini kemudian,

1,45% (lihat gambar 5).

Gambar 5

Sumber: Gayatri dan Syafi’i (2015)

426 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Di antara 60 kasus konflik yang melibatkan PBS 8,33% yang dianggap telah selesai (lihat Gambar sawit dengan masyarakat (adat) tidak semua kasus

6). Sayangnya, Badan Pertanahan Setda telah diupayakan penyelesaiannya oleh Tim

Kotawaringin Timur ini tidak melakukan Terpadu yang menangani konflik tersebut.

kategorisasi lebih lanjut terkait dengan prioritas Sebanyak 61,67% kasus masih dalam fase

kasus yang harus diselesaikan. Hal ini mungkin penyelesaian konflik, sebanyak 14 kasus atau

terjadi dikarenakan tim ini lebih memprioritaskan 23,33% dinyatakan masih dalam pantauan. Dari

penyelesaian konflik yang terjadi kepada

60 kasus tersebut hanya terdapat 5 kasus atau

mekanisme pengadilan.

Gambar 6

Sumber: Gayatri dan Syafi’I (2015)

Konflik Perkebunan Sawit di Kotawaringin

kemanfaatan bagi masyarakat dibandingkan dengan

Timur: Respon Masyarakat Adat Dayak

sistem kepemilikan yang sepenuhnya ditentukan

Terhadap

oleh negara. Mempertentangkan kepemilikan tradisional dan atau bahkan menghilangkan sama

Pasca berakhirnya rezim otoritarian, sekali hak guna tradisional serta mengganti dengan desentralisasi dan otonomi daerah memberikan sistem hukum formal justru kontraproduktif peluang kepada aktor-aktor lokal untuk (Angelsen, dkk, 2010:155) dan berpotensi menerjemahkan ulang konsep dan praktik menimbulkan konflik sosial (Haug, 2007: 30-32). pengelolaan SDA mereka yang sebelumnya merupakan Dalam konteks ini, yang seharusnya adalah wewenang pusat dan bersumber dari hukum pembangunan usaha perkebunan kelapa sawit tunggal negara. Aktor-aktor lokal kemudian tidak hanya bersumber pada hak-hak yang menuntut pengakuan dari kelembagaan-kelembagaan diberikan oleh hukum negara semata namun pertanahan yang berlaku di masyarakat (adat) yang mampu mengakomodasi hak-hak yang bersumber sebelumnya diabaikan oleh negara. pada pengakuan terhadap kepemilikan tanah dan

Gerakan kembali ke UUPA 1960 yang atau hutan adat di mana usaha perkebunan itu mengakui hak perorangan turun-temurun (erfelijk

dibangun.

individueel bezit ), hak komunal (communal bezit), Temuan-temuan tim LIPI menunjukkan hak milik-mutlak (eigendom), hak ulayat bahwa konflik agraria pasca rezim autoritarian (beschikkingsrecht), dan kelembagaan pertanahan menunjukkan bahwa buruknya rezim perizinan di tradisional lainnya menjadi relevan dengan asas dalam pengelolaan SDA sebagai warisan panjang

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

cara pandang dan hidup mereka dengan berbagai konflik agraria memiliki akar yang kuat terhadap

simbol-simbil kearifan lokal di dalam mengelola praktik-praktik ekonomi-politik sektor agraria

SDA (Syafi’i dan Gayatri, 2015). sejak era kolonial. Bahwa sejak Pemerintah

Dalam konteks ini, temuan-temuan tim Kolonial, pola penguasaan tanah yang koruptif P2P LIPI memperlihatkan respon masyarakat adat hanya bertujuan untuk kepentingan ekonomi Dayak untuk melakukan negosiasi dan adaptasi kolonial yang justru semakin memarginalkan terhadap transformasi ekonomi yang terjadi yakni masyarakat.

Temuan tim

ini

kemudian

dari ekonomi tradisional yang menggantungkan merekomendasikan bahwa membenahi persoalan sepenuhnya terhadap pengelolaan alam/hutan agraria (reforma agraria) berarti membenahi menjadi ekonomi ekstraktif yang bekerja sistem hukum, kebijakan dan kelembagaan terkait sebaliknya yang membuat degradasi lingkungan. dengan tata kelola agraria (Mulyani, 2014). Situasi ini kemudian yang melatarbelakangi

Selain itu, temuan-temuan Tim P2P LIPI munculnya sebuah organisasi dari komunitas lokal juga melihat bahwa konflik agraria pasca rezim

di Kalimantan Tengah yaitu FKKTDM-KT yang autoritarian merupakan bentuk respon masyarakat

diinisiasi DAD. Dengan demikian, FKKTDM-KT menyikapi upaya indutsri ekstraktif seperti indutsri

dapat dikatakan sebagai upaya masyarakat adat pertambangan dan perkebunan yang mengancam

Dayak di Kalimantan Tengah untuk beradaptasi kehidupan mereka. Studi pada level mikro yang

terhadap perubahan yang disebabkan oleh dilakukan Tim P2P LIPI di Bima Nusa Tenggara

keberadaan perkebunan besar yang berlangsung di Barat, dalam kasus konflik pertambangan

wilayah mereka. Dalam Surat Edaran yang misalnya, tim ini mengkonfirmasi temuan Tim

dikeluarkan oleh Dewan Adat Dayak, Nomor P2KK LIPI sebelumnya bahwa konflik yang

disebutkan latar terjadi memiliki dimensi persoalan hukum,

02/FKKTDM-KT/IX2014,

belakang pendirian forum ini sebagai berikut kebijakan dan kelembagaan terutama terkait

(Gayatri dan Syafi’i, 2015):

dengan carut marut pemberian ijin konsesi

“…keprihatinan bahwa tanah sebagai harta

eksplorasi tambang yang tidak transparan dan

yang sangat berharga bagi petani masyarakat

tidak memenuhi dokumen Analisi Mengenai

adat dayak yang lahir, hidup, mengusahakan

Dampak Lingkungan (AMDAL) yang berlanjut

dan bertempat tinggal di tanah adat tidak

kepada permasalahan

kriminalisasi

dan

mendapat pengakuan dan perlindungan oleh

pengrusakan fasilitas publik (Gayatri dan Adaba,

hukum/negara sebagai hak yang sah … fakta

terkini memperlihatkan bahwa tanah adat masyarakat dayak sudah semakin sempit dan

Pada kasus konflik agraria di sektor

terancam habis diambil oleh pihak lain dengan

perkebunan di Kotawaringin Timur Kalimantan

mudah.

Pengambil-alihan tanah adat

Tengah, menggambarkan permasalahan yang

masyarakat Dayak oleh pihak lain semakin

paling mendasar akibat dari tumpang tindih

Dokumen yang terkait

PENERAPAN PROGRAM MINAPOLITAN PERIKANAN TANGKAP DALAM MEMBERDAYAKAN NELAYAN KECIL DI KABUPATEN SUKABUMI THE IMPLEMENTATION OF MINAPOLITAN FISHERIES PROGRAM FOR EMPOWERING SMALL FISHERMEN IN SUKABUMI

0 1 14

PERANAN PELAUT DALAM REPRODUKSI WAWASAN KESATUAN GEO-BIO-SOSIAL-BUDAYA MARITIM NUSANTARA: BELAJAR DARI NELAYAN PENGEMBARA BUGIS-MAKASSAR DI SULAWESI SELATAN THE ROLE OF FISHERMEN IN THE REPRODUCTION OF NUSANTARA GEO-BIO-SOCIO-CULTURE UNITY INSIGHTS: LESSO

1 5 16

THE FREEDOM OF HUMAN’S INDIVIDUALISM IN THE TWENTHIETH CENTURY: SARTRE’S PHILOSOPHY OF EXISTENTIALISM

0 1 18

UPACARA SEBA BADUY: SEBUAH PERJALANAN POLITIK MASYARAKAT ADAT SUNDA WIWITAN SEBA BADUY CEREMONY: A POLITICAL JOURNEY OF SUNDA WIWITAN TRADITIONAL COMMUNITY

1 1 12

EKSPLORASI ATAS PRAKTIK DAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM KERAJAAN WAJO’ ABAD KE-1516 DAN KOMPATIBILITASNYA DENGAN SISTEM DEMOKRASI MODERN EXPLORATION ON DEMOCRATIC VALUES AND PRACTICES IN WAJO’ HISTORIC KINGDOM IN THE 15 TH AND 16 TH CENTURY AND THEIR COMP

0 0 16

AFIRMASI NILAI ESTETIKA, ETIKA, DAN SOSIAL KESENIAN GONG GUMBENG DI DESA WRINGINANOM, KECAMATAN SAMBIT, KABUPATEN PONOROGO AFFIRMATION AESTHETIC, ETHICS, AND SOCIAL VALUE OF GONG GUMBENG, WRINGINANOM, SAMBIT, PONOROGO

0 1 16

PROBLEMATIKA PRINSIP MANAJEMEN KOLABORATIF DALAM KERANGKA PENYELAMATAN DANAU RAWAPENING THE PROBLEMS OF COLLABORATIVE MANAGEMENT IN RAWAPENING LAKE

0 1 16

KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN KETAHANAN SOSIAL PADA EKOLOGI HUTAN YANG BERUBAH THE LIFE OF FOREST COMMUNITY AND THE SOCIAL RESILIENCE IN A CHANGING FOREST ECOLOGY

0 0 20

STRATEGI PENAMBANG MINYAK TRADISIONAL DI TENGAH MELUASNYA KONTROL NEGARA DALAM KONTEKS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA THE STRATEGY OF TRADITIONAL OIL MINING COMMUNITY AMID THE WIDESPREAD STATE CONTROL OVER NATURAL RESOURCES MANAGEMENT IN INDONE

0 0 14

EKONOMI POLITIK PENERBITAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN (IUP) DI INDONESIA: METODE DAN PROBLEM THE POLITICAL ECONOMY OF MINING BUSINESS LICENSE IN INDONESIA: METHODS AND PROBLEMS

0 0 20