Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Culture Shock dan Adaptasi Budaya Mahasiswa Timor Leste di Universitas Kristen Satya Wacana T2 912013013 BAB IV
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL
4.1
Profil Universitas Kristen Satya Wacana
Universitas
semula
lahir
Pendidikan
Kristen
dengan
Guru
Satya
nama
Kristen
Wacana
Perguruan
Indonesia
(UKSW)
Tinggi
(PTPG-KI).
Diresmikan pada tanggal 30 November 1956 dengan
lima jurusan, yaitu Pendidikan, Sejarah, Bahasa
Inggris,
Hukum,
dan
Ekonomi.
PTPG-KI
Satya
Wacana berubah menjadi FKIP-KI pada tanggal 17
Juli 1959. Kemudian pada tanggal 5 Desember 1959
diresmikan
menjadi
Universitas
Kristen
Satya
Wacana dengan kehadiran Fakultas Ekonomi dan
Fakultas Hukum yang kemudian diikuti dengan
pembukaan beberapa Fakultas dan Program Studi
baru. Sebagai Perguruan Tinggi Swasta yang kini
melewati usia emasnya, Satya Wacana yang berarti
“Setia Kepada Firman Tuhan”, terus berkembang dan
35
mendapat
kepercayaan
baik
dari
masyarakat
maupun pemerintah. Pada saat ini UKSW memiliki
56 Program Studi yang terdiri dari 4 Program Studi
Diploma 3, 39 Program Studi Program Sarjana (S1),
10 Program Studi Program Magister (S2), dan 3
Program Studi Program Doktoral (S3) diakses dalam
http://www.uksw.edu/id.php/akademik/programstu
di/title/pendidikan-sejarah,
pada
tanggal
03
Desember 2014 pukul 16.00.
4.2
Karakteristik Informan
Sebelum
data
dianalisis,
peneliti
perlu
menyajikan karakteristik informan. Informan adalah
sekumpulan orang dimana peneliti bisa memperoleh
informasi
atau
data
yang
diperlukan
untuk
melakukan suatu penelitian. Adapun informan dalam
penelitian ini adalah mahasiswa asal Timor Leste
yang kuliah di UKSW Fakultas Ekonomika dan
Bisnis progdi Magister Manajemen dan Magister
36
Akuntansi yang terdiri dari enam orang mahasiswa
yaitu F dan M aktif sebagai mahasiswa semester 2. J
dan T aktif sebagai mahasiwa semester 3, R dan L
aktif
sebagai
mahasiswa
semester
4.
Adapun
karakteristik informan dalam penelitian ini dapat
dikategorikan berdasarkan faktor demografi yang
meliputi
usia,
perkawinan,
dan
tingkat
lamanya
pendidikan,
tinggal
di
status
Indonesia
(Salatiga).
Dari jumlah mahasiswa asal Timor Leste yang
dijadikan informan, jika di dasarkan pada umur
maka key informan atas nama J berusia 30 tahun, T
berusia 40 tahun, R berusia 33 tahun, L berusia 34
tahun, F dan M masing-masing berusia 31 tahun.
Selanjutnya jika didasarkan
pada jenjang
pendidikan: J S1 Manajemen kemudian melanjutkan
ke S2 pada jurusan manajemen, T S1 ambil jurusan
administrasi publik setelah itu melanjutkan S2 pada
jurusan manajemen, R S1 Manajemen kemudian
37
melanjutkan
pendidikan
manajemen,
L
S1
melanjutkan
S2
dengan
sedangkan
F
dan
M
S2
dengan
keperawatan
S1
jurusan
jurusan
kemudian
manajemen,
Akuntansi
kemudian
melanjutkan S2 dengan jurusan akuntansi. Dilihat
dari segi sumber daya manusia mahasiwa asal Timor
Leste
yang
diteliti
dalam
obyek
penelitian
ini
semuanya memiliki pengetahuan yang baik.
Ada dua jenis status keluarga dari mahasiswa
asal Timor Leste yang dijadikan narasumber dalam
penelitian
ini
yaitu
menikah
(Married)
yang
berjumlah 3 orang, 3 orang lainya berstatus singel.
Dan jika didasarkan pada lama mahasiswa asal
Timor Leste berada di Indonesia (Salatiga) antara 5-7
bulan berjumlah dua orang, 9-11 bulan berjumlah
dua orang, 12-15 bulan berjumlah dua orang. Selain
itu juga didasarkan pada pernyataan atau pengikut
dalam hal ini keluarga, informan tidak didampingi
38
keluarga walaupun tiga dari enam informan sudah
berstatus menikah.
4.3
Gambaran Kehidupan Mahasiswa Timor
Leste Di UKSW
Oberg (Ward, dkk 2001) ada 4 fase dalam
culture shock, yaitu fase honeymoon, fase culture
shock,
fase
recovery,
dan
adaptation.
Fase
honeymoon umumnya terjadi pada satu hingga dua
bulan setelah kedatangan individu ke tempat yang
baru. Pada saat itu individu akan sangat tertarik
dengan segala macam sesuatu dan ingin mencoba
semua hal baru yang ditemui di tempat baru
tersebut.
Hal serupa juga terjadi kepada enam orang
mahasiswa yang dijadikan informan. Mereka sangat
tertarik dengan segala macam hal tentang Indonesia
(UKSW) yang merupakan tempat yang asing bagi
39
mereka
sebagaimana
yang
diungkapkan
oleh
informan yang berinisial J berikut ini:
“dalam waktu tiga bulan pertama kali
saya menginjakan kaki di Salatiga
(UKSW) saya diliputi dengan perasaan
senang, dan bahagia.
Namun,
dalam
kenyataannya
tidak
semua
mahasiswa menyukai hal-hal yang baru yang ada di
tempat yang baru pula, yang tentunya berbeda
dengan tempat asalnya. Perbedaan itu dapat saja
menyebabkan
individu
mengalami
gegar
budaya
(culture shock). Seperti halnya yang diungkapkan oleh
informan yang berinisial M berikut ini:
“saya pernah adu mulut karena
perbedaan
pandangan
dalam
mengartikan sebuah maksud dan
tujuan.
Awalnya
kami
hanya
bercanda gurau dan kami sepakat
untuk berbagi pengalaman serta
kebiasaan hidup di daerah kami
masing-masing. Saking semangatnya
saya, saya pun tertawa dengan
volume yang agak kencang sampaisampai teman saya tersinggung
kemudian meninggalkan saya sendiri.
Bagi kami orang Timor Leste ini cuma
40
sekedar bercanda tidak ada maksud
untuk berantem, walaupun volume
suara yang agak kencang. Hal ini juga
yang membuat saya putus asa dalam
waktu
3-4
bulan
berlangsung,
sehingga tidak tahu harus berbuat
apa dan dengan siapa saya harus
bergaul.
Dari hasil wawancara diatas, terlihat bahwa
watak dan karakter individu sangat berpengaruh
dalam sebuah interaksi, apalagi berhadapan dengan
lawan bicara yang berasal dari negara yang berbeda
yang tentunya memiliki latar belakang budaya yang
berbeda pula.
Permasalahan-permasalahan seperti ini dapat
saja terjadi kepada siapa saja yang diakibatkan
adanya perbedaan cara hidup serta kebiasaan yang
dimiliki oleh setiap individu dalam suatu komonitas
tertentu. Hal ini sejalan dengan Gajdzik, 2005 yang
menemukan
bahwa
mahasiswa
manapun,
baik
sarjana maupun pasca sarjana, mahasiswa domestik
41
maupun asing, pasti mengalami sejumlah persolan
ketika memasuki perguruan tinggi.
Untuk
menghindari
perbedaan
itu
maka
keselarasan dan rasa saling menerima perbedaan
antara yang satu dengan lainnya sangat diharapkan.
Inilah yang disebut dengan fase recovery. Seperti
halnya yang dilakukan oleh informan yang berinisial
T berikut ini:
“dalam kurun waktu tiga minggu
pertama saya merasa sulit untuk
menyesuaikan diri. Tetapi saya tetap
berusaha untuk dapat melewati
masa-masa sulit tersebut. Adapun
upaya yang saya lakukan adalah
membangun hubungan persahabatan
dengan beberapa teman asal Timor.
Karena bagi saya, bergaul dengan
sesama orang Timor interaksi lebih
cepat nyambung.
Mahasiswa Timor Leste pada umumnya memiliki
logat serta watak atau karakter yang kedengarannya
kasar
atau
ketus.
Berbeda
dengan
mahasiswa
Indonesia (Salatiga) yang memiliki volume yang pelan,
lembut dan mendayu-dayu. Perbedaan-perbedaan
42
seperti ini dapat memberikan dampak negatif seperti
culture shock. Untuk menghindari culture shock maka
adaptasi (adjustment) perlu dilakukan. Hal serupa
juga dilakukan oleh informan yang berinisial L:
“saya
selalu
memperhatikan
kebiasaan
masyarakat
Indonesia
(Salatiga) kemudian saya mencoba
untuk meniru kebiasaan tersebut.
Karena ketika saya mencoba untuk
menggunakannya,
kayanya
ada
jembatan
yang
menghubungkan
sehingga interaksi lebih nyaman dan
lebih nyambung. Tujuan saya belajar
agar culture shock yang saya rasakan
tidak berkepanjangan.
Hal
yang
serupa
juga
diungkapkan
oleh
informan yang berinisial J berikut ini:
“stres yang saya rasakan tidak terlalu
berat, saya hanya mengalaminya
dalam waktu 3 minggu, selebihnya
saya rasa uda mendingan. Saya suka
dan sangat menikmati suasana
Salatiga. Salatiga memiliki udara yang
sejuk dan aman, pantas untuk
dijuluki sebagai kota pelajar karena
jaraknya jauh dari pusat keramaian
seperti
Semarang,
Solo,
dan
Yogyakarta. Selain itu biaya hidup
yang
murah
sehingga
saya
berkeinginan untuk tinggal berlama-
43
lama di Indonesia (Salatiga). Salatiga
merupakan surga kedua.
Dari hasil wawancara, diketahui bahwa enam
orang
mahasiswa
informan,
Timor
semuanya
Leste
yang
mengalami
dijadikan
culture
shock.
Dengan melewati empat tahapan adaptasi yaitu
honeymoon,
culture
shock,
recovery,
adjustment.
Terjadinya culture shock disebabkan karena adanya
perbedaan latar belakang budaya yang berbeda
seperti bahasa, karakter, logat atau dialek, dan
cuaca
antara
Timor
Leste
dengan
Indonesia
(Salatiga).
Perbedaan pemahaman serta pandangan dalam
mengartikan sesuatu disebabkan adanya perbedaan
budaya dalam hal ini, tradisi atau kebiasaan, bahasa,
logat
atau
dialek.
Culture
shock
dapat
saja
memberikan dampak yang negatif kepada siapa saja,
apabilah tidak ada kesiapan dari individu tersebut.
44
4.4 Dampak Negatif Dari Culture Shock
Culture shock dapat saja memberikan dampak
positif maupun negatif. Tetapi hampir semua dampak
culture shock berakibat pada hal yang negatif yang
dilatarbelakangi
oleh
perbedaan
budaya
seperti
bahasa, logat atau dialek. Hal ini juga yang dialami
oleh informan yang berinisial L berikut ini:
“saya pernak tidak diajak ngobrol
karena dianggap susah mengerti dan
menangkap isi pembicaraan mereka.
Saya kecewa hilang harapan dan
tidak tahu harus berbuat apa”.
Tidak hanya L saja yang mengalami putus asa,
informan yang berinisial F juga mengalami hal yang
sama berikut ungkapannya:
“saya stres, ketika saya berbicara
harus menyesuaikan dengan logat
serta watak dari teman yang saya
ajak bicara. Karena jika saya tidak
menyesuaikan dengan lawan bicara
saya, maka pembicaraan kami tidak
akan sejalan alias tidak nyambung.
Penyebab mahasiswa asal Timor Leste Culture
shock tidak hanya berasal dari perbedaan bahasa,
45
logat atau dialek, tetapi bisa juga berasal dari
perbedaan cuaca seperti yang dialami R berikut ini:
“saya mengalami demam, flu dan
pilek,
selama
dua
minggu
dikarenakan
Indonesia
(Salatiga)
memiliki
udara
yang
dingin,
sedangkan di negara kami memiliki
udara yang panas. Perbedaan cuaca
ini menyebabkan saya demam selama
satu minggu”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat
diketahui bahwa perbedaan bahasa, logat atau dialek
serta cuaca dapat menyebabkan individu mengalami
culture
shock.
Untuk
mengatasi
culture
shock
mahasiswa asal Timor Leste menyiapkan beberapa
strategi adaptasi.
46
4.5 Strategi
Mahasiswa
Timor
Leste
Dalam
Mengatasi Culture Shock Ketika Beradaptasi.
4.5. 1 Individual
4.5.1.1 Anticipatory Adjustment
Riady,
(2004)
strategi-strategi
dalam
proses
adaptasi sangat penting bagi individu yang memasuki
lingkungan baru, baik lingkungan alam maupun
lingkungan
sosial.
Salah
satu
bentuk
strategi
adaptasi individual adalah penyesuaian antisipatif
(anticipatory adjustment) dan belajar secara otodidak
(self efficacy). Adapun strategi adaptasi individual
adalah melakukan tindakan penyesuaian antisipatif
(anticipatory adjustment) dan belajar secara otodidak
(self efficacy) yang didasari dalam pernyataan Herbert
1984,
(dalam Riyandhiani 2013) yang dimulai
dengan tahap persiapan (Preparatory Stage), tahap
meniru dalam hal bertindak (Play Stage), tahap
kesiapan
dalam
bertindak
(game
stage),
tahap
penerimaan norma kolektif (generalized stage).
47
Tahapan
persiapan
terdiri
dari
2
faktor
yaitu
penyediaan pelatihan sebelum keberangkatan (predeparture
training)
dan
pengetahuan
serta
pengalaman tentang lingkungan yang dituju. Yang
dimaksud dengan tahapan persiapan yaitu individu
melakukan persiapan sebelum keberangkatan dan
sesudah tiba,
pelatihan.
dengan cara mengikuti kegiatan
Kegiatan pelatihan atau traning harus
disesuaikan dengan keadaan dimana mereka akan
ditugaskan. Sebab kondisi Negara yang dengan
Negara yang lain adanya perbedaan kultur dan
bahasa juga perbedaan iklim. Hal ini juga yang
menjadi harapan terbesar bagi mahasiswa asal Timor
Leste. sebagaimana yang diungkapkan T berikut ini:
“keberadaan kami (mahasiswa asal
Timor Leste) di UKSW dalam rangka
melanjutkan studi ke Strata 2,
merupakan program
pemerintah
daerah Timor Leste. Oleh karena itu
saya berharap adanya kegiatan
pelatihan sebelum keberangkatan dan
sesudah tiba perlu diberikan dari
pihak pemerintah Timor Leste dan
48
juga lembaga universitas tempat kami
belajar. Tetapi dalam kenyataannya
sampai saat ini pemerintah Timor
Leste dan lembaga Universitas Kristen
Satya Wacana juga belum pernah
melakukan training mengenai budaya
Indonesia (UKSW), sehingga kami
merasa kesulitan dengan budaya
baru.
Adapun upaya lain yang dilakukan mahasiswa
asal Timor Leste sebelum keberangkatan adalah
mencari informasi tentang Salatiga (UKSW) dari
berbagai literatur seperti, internet dan teman-teman
terdekat yang memiliki pengalaman tentang daerah
yang dituju. Hal ini juga yang dilakukan oleh F
berikut ini:
“saya melakukan persiapan sebelum
berangkat ke Salatiga (UKSW) dengan
cara mencari informasi tentang
Indonesia lebih khusus UKSW melalui
internet.
Tidak
hanya
F
yang
melakukan
persiapan
sebelum berangkat M juga melakukan hal yang sama
dalam ungkapan berikut ini:
49
“saya mencari informasi dengan cara
bertanya kepada teman-teman asal
Timor Leste yang suda duluan datang
ke Indonesia (UKSW) dalam rangka
belajar. Akibat hanya mengandalkan
informasi dari teman-teman saya
pernah
kena
tipu
pada
saat
berbelanja.
Mahasiswa
yang
memiliki
penyesuaian
antisipatif (anticipatory adjustment) akan lebih efektif
dalam
melakukan
penyesuaian
diri.
Namun,
berdasarkan hasil wawancara kepada enam orang
informan, diketahui bahwa semua informan tidak
pernah
menerima
keberangkatan
dengan
kegiatan
pelatihan
dan
sesudah
tiba.
pernyataan
keenam
orang
tersebut semuanya mengalami
melakukan
penyesuaian.
sebelum
Berdasarkan
mahasiswa
kesulitan dalam
Adanya
kesulitan
melakukan penyesuaian karena Negara Timor Leste
dengan
Indonesia
(Salatiga)
memiliki
perbedaan
budaya seperti bahasa, dialek atau logat, karakter,
dan cuaca.
50
4.5.1.2 Self Efficacy
Walaupun semua mahasiswa asal Timor Leste
mengalami kesulitan dalam penyesuain akan tetapi
semua
mahasiswa memiliki kemampuan untuk
mengelola setiap perbedaan budaya dan bahasa
dengan
cara
belajar
sendiri
(self
efficacy)
atau
otodidak yaitu mengenal budaya Indonesia (Salatiga)
melalui
berbagai
literatur
yang
dianggap
dapat
membantu mereka dalam melakukan adaptasi di
UKSW. Seperti yang diungkapkan J berikut ini:
Upaya yang saya lakukan adalah
mengamati kebudayaan atau tradisi
masyarakat Salatiga lebih kusus yang
berada
di
lingkungan
UKSW,
kemudian
saya
mencoba
menggunakan
budaya
serta
kebiasaan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan
bahwa walaupun para mahasiswa asal Timor Leste
mengalami
adaptasi
kesulitan
budaya
akan
dalam
tetapi
penyesuaian
mereka
atau
memiliki
51
kemampuan
untuk
mengelola
setiap
perbedaan
budaya dan bahasa dengan cara belajar sendiri (self
study) atau otodidak.
Selain itu mahasiswa asal Timor Leste juga
mempelajari
pengamatan
budaya
dengan
tentang
dengan
kebiasaan
melakukan
masyarakat
Indonesia (Salatiga) dalam hal ini mahasiswa yang
berada dalam lingkungan UKSW. Mahasiswa asal
Timor Leste juga berupaya untuk mempraktekan
budaya
meraka,
Indonesia
walaupun
dilakukan,
tetapi
(Salatiga)
pada
dalam
awalnya
mereka
keseharaian
sulit
berupaya
untuk
untuk
menyesuaikan diri dalam rangka menghindari culture
shock.
52
ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL
4.1
Profil Universitas Kristen Satya Wacana
Universitas
semula
lahir
Pendidikan
Kristen
dengan
Guru
Satya
nama
Kristen
Wacana
Perguruan
Indonesia
(UKSW)
Tinggi
(PTPG-KI).
Diresmikan pada tanggal 30 November 1956 dengan
lima jurusan, yaitu Pendidikan, Sejarah, Bahasa
Inggris,
Hukum,
dan
Ekonomi.
PTPG-KI
Satya
Wacana berubah menjadi FKIP-KI pada tanggal 17
Juli 1959. Kemudian pada tanggal 5 Desember 1959
diresmikan
menjadi
Universitas
Kristen
Satya
Wacana dengan kehadiran Fakultas Ekonomi dan
Fakultas Hukum yang kemudian diikuti dengan
pembukaan beberapa Fakultas dan Program Studi
baru. Sebagai Perguruan Tinggi Swasta yang kini
melewati usia emasnya, Satya Wacana yang berarti
“Setia Kepada Firman Tuhan”, terus berkembang dan
35
mendapat
kepercayaan
baik
dari
masyarakat
maupun pemerintah. Pada saat ini UKSW memiliki
56 Program Studi yang terdiri dari 4 Program Studi
Diploma 3, 39 Program Studi Program Sarjana (S1),
10 Program Studi Program Magister (S2), dan 3
Program Studi Program Doktoral (S3) diakses dalam
http://www.uksw.edu/id.php/akademik/programstu
di/title/pendidikan-sejarah,
pada
tanggal
03
Desember 2014 pukul 16.00.
4.2
Karakteristik Informan
Sebelum
data
dianalisis,
peneliti
perlu
menyajikan karakteristik informan. Informan adalah
sekumpulan orang dimana peneliti bisa memperoleh
informasi
atau
data
yang
diperlukan
untuk
melakukan suatu penelitian. Adapun informan dalam
penelitian ini adalah mahasiswa asal Timor Leste
yang kuliah di UKSW Fakultas Ekonomika dan
Bisnis progdi Magister Manajemen dan Magister
36
Akuntansi yang terdiri dari enam orang mahasiswa
yaitu F dan M aktif sebagai mahasiswa semester 2. J
dan T aktif sebagai mahasiwa semester 3, R dan L
aktif
sebagai
mahasiswa
semester
4.
Adapun
karakteristik informan dalam penelitian ini dapat
dikategorikan berdasarkan faktor demografi yang
meliputi
usia,
perkawinan,
dan
tingkat
lamanya
pendidikan,
tinggal
di
status
Indonesia
(Salatiga).
Dari jumlah mahasiswa asal Timor Leste yang
dijadikan informan, jika di dasarkan pada umur
maka key informan atas nama J berusia 30 tahun, T
berusia 40 tahun, R berusia 33 tahun, L berusia 34
tahun, F dan M masing-masing berusia 31 tahun.
Selanjutnya jika didasarkan
pada jenjang
pendidikan: J S1 Manajemen kemudian melanjutkan
ke S2 pada jurusan manajemen, T S1 ambil jurusan
administrasi publik setelah itu melanjutkan S2 pada
jurusan manajemen, R S1 Manajemen kemudian
37
melanjutkan
pendidikan
manajemen,
L
S1
melanjutkan
S2
dengan
sedangkan
F
dan
M
S2
dengan
keperawatan
S1
jurusan
jurusan
kemudian
manajemen,
Akuntansi
kemudian
melanjutkan S2 dengan jurusan akuntansi. Dilihat
dari segi sumber daya manusia mahasiwa asal Timor
Leste
yang
diteliti
dalam
obyek
penelitian
ini
semuanya memiliki pengetahuan yang baik.
Ada dua jenis status keluarga dari mahasiswa
asal Timor Leste yang dijadikan narasumber dalam
penelitian
ini
yaitu
menikah
(Married)
yang
berjumlah 3 orang, 3 orang lainya berstatus singel.
Dan jika didasarkan pada lama mahasiswa asal
Timor Leste berada di Indonesia (Salatiga) antara 5-7
bulan berjumlah dua orang, 9-11 bulan berjumlah
dua orang, 12-15 bulan berjumlah dua orang. Selain
itu juga didasarkan pada pernyataan atau pengikut
dalam hal ini keluarga, informan tidak didampingi
38
keluarga walaupun tiga dari enam informan sudah
berstatus menikah.
4.3
Gambaran Kehidupan Mahasiswa Timor
Leste Di UKSW
Oberg (Ward, dkk 2001) ada 4 fase dalam
culture shock, yaitu fase honeymoon, fase culture
shock,
fase
recovery,
dan
adaptation.
Fase
honeymoon umumnya terjadi pada satu hingga dua
bulan setelah kedatangan individu ke tempat yang
baru. Pada saat itu individu akan sangat tertarik
dengan segala macam sesuatu dan ingin mencoba
semua hal baru yang ditemui di tempat baru
tersebut.
Hal serupa juga terjadi kepada enam orang
mahasiswa yang dijadikan informan. Mereka sangat
tertarik dengan segala macam hal tentang Indonesia
(UKSW) yang merupakan tempat yang asing bagi
39
mereka
sebagaimana
yang
diungkapkan
oleh
informan yang berinisial J berikut ini:
“dalam waktu tiga bulan pertama kali
saya menginjakan kaki di Salatiga
(UKSW) saya diliputi dengan perasaan
senang, dan bahagia.
Namun,
dalam
kenyataannya
tidak
semua
mahasiswa menyukai hal-hal yang baru yang ada di
tempat yang baru pula, yang tentunya berbeda
dengan tempat asalnya. Perbedaan itu dapat saja
menyebabkan
individu
mengalami
gegar
budaya
(culture shock). Seperti halnya yang diungkapkan oleh
informan yang berinisial M berikut ini:
“saya pernah adu mulut karena
perbedaan
pandangan
dalam
mengartikan sebuah maksud dan
tujuan.
Awalnya
kami
hanya
bercanda gurau dan kami sepakat
untuk berbagi pengalaman serta
kebiasaan hidup di daerah kami
masing-masing. Saking semangatnya
saya, saya pun tertawa dengan
volume yang agak kencang sampaisampai teman saya tersinggung
kemudian meninggalkan saya sendiri.
Bagi kami orang Timor Leste ini cuma
40
sekedar bercanda tidak ada maksud
untuk berantem, walaupun volume
suara yang agak kencang. Hal ini juga
yang membuat saya putus asa dalam
waktu
3-4
bulan
berlangsung,
sehingga tidak tahu harus berbuat
apa dan dengan siapa saya harus
bergaul.
Dari hasil wawancara diatas, terlihat bahwa
watak dan karakter individu sangat berpengaruh
dalam sebuah interaksi, apalagi berhadapan dengan
lawan bicara yang berasal dari negara yang berbeda
yang tentunya memiliki latar belakang budaya yang
berbeda pula.
Permasalahan-permasalahan seperti ini dapat
saja terjadi kepada siapa saja yang diakibatkan
adanya perbedaan cara hidup serta kebiasaan yang
dimiliki oleh setiap individu dalam suatu komonitas
tertentu. Hal ini sejalan dengan Gajdzik, 2005 yang
menemukan
bahwa
mahasiswa
manapun,
baik
sarjana maupun pasca sarjana, mahasiswa domestik
41
maupun asing, pasti mengalami sejumlah persolan
ketika memasuki perguruan tinggi.
Untuk
menghindari
perbedaan
itu
maka
keselarasan dan rasa saling menerima perbedaan
antara yang satu dengan lainnya sangat diharapkan.
Inilah yang disebut dengan fase recovery. Seperti
halnya yang dilakukan oleh informan yang berinisial
T berikut ini:
“dalam kurun waktu tiga minggu
pertama saya merasa sulit untuk
menyesuaikan diri. Tetapi saya tetap
berusaha untuk dapat melewati
masa-masa sulit tersebut. Adapun
upaya yang saya lakukan adalah
membangun hubungan persahabatan
dengan beberapa teman asal Timor.
Karena bagi saya, bergaul dengan
sesama orang Timor interaksi lebih
cepat nyambung.
Mahasiswa Timor Leste pada umumnya memiliki
logat serta watak atau karakter yang kedengarannya
kasar
atau
ketus.
Berbeda
dengan
mahasiswa
Indonesia (Salatiga) yang memiliki volume yang pelan,
lembut dan mendayu-dayu. Perbedaan-perbedaan
42
seperti ini dapat memberikan dampak negatif seperti
culture shock. Untuk menghindari culture shock maka
adaptasi (adjustment) perlu dilakukan. Hal serupa
juga dilakukan oleh informan yang berinisial L:
“saya
selalu
memperhatikan
kebiasaan
masyarakat
Indonesia
(Salatiga) kemudian saya mencoba
untuk meniru kebiasaan tersebut.
Karena ketika saya mencoba untuk
menggunakannya,
kayanya
ada
jembatan
yang
menghubungkan
sehingga interaksi lebih nyaman dan
lebih nyambung. Tujuan saya belajar
agar culture shock yang saya rasakan
tidak berkepanjangan.
Hal
yang
serupa
juga
diungkapkan
oleh
informan yang berinisial J berikut ini:
“stres yang saya rasakan tidak terlalu
berat, saya hanya mengalaminya
dalam waktu 3 minggu, selebihnya
saya rasa uda mendingan. Saya suka
dan sangat menikmati suasana
Salatiga. Salatiga memiliki udara yang
sejuk dan aman, pantas untuk
dijuluki sebagai kota pelajar karena
jaraknya jauh dari pusat keramaian
seperti
Semarang,
Solo,
dan
Yogyakarta. Selain itu biaya hidup
yang
murah
sehingga
saya
berkeinginan untuk tinggal berlama-
43
lama di Indonesia (Salatiga). Salatiga
merupakan surga kedua.
Dari hasil wawancara, diketahui bahwa enam
orang
mahasiswa
informan,
Timor
semuanya
Leste
yang
mengalami
dijadikan
culture
shock.
Dengan melewati empat tahapan adaptasi yaitu
honeymoon,
culture
shock,
recovery,
adjustment.
Terjadinya culture shock disebabkan karena adanya
perbedaan latar belakang budaya yang berbeda
seperti bahasa, karakter, logat atau dialek, dan
cuaca
antara
Timor
Leste
dengan
Indonesia
(Salatiga).
Perbedaan pemahaman serta pandangan dalam
mengartikan sesuatu disebabkan adanya perbedaan
budaya dalam hal ini, tradisi atau kebiasaan, bahasa,
logat
atau
dialek.
Culture
shock
dapat
saja
memberikan dampak yang negatif kepada siapa saja,
apabilah tidak ada kesiapan dari individu tersebut.
44
4.4 Dampak Negatif Dari Culture Shock
Culture shock dapat saja memberikan dampak
positif maupun negatif. Tetapi hampir semua dampak
culture shock berakibat pada hal yang negatif yang
dilatarbelakangi
oleh
perbedaan
budaya
seperti
bahasa, logat atau dialek. Hal ini juga yang dialami
oleh informan yang berinisial L berikut ini:
“saya pernak tidak diajak ngobrol
karena dianggap susah mengerti dan
menangkap isi pembicaraan mereka.
Saya kecewa hilang harapan dan
tidak tahu harus berbuat apa”.
Tidak hanya L saja yang mengalami putus asa,
informan yang berinisial F juga mengalami hal yang
sama berikut ungkapannya:
“saya stres, ketika saya berbicara
harus menyesuaikan dengan logat
serta watak dari teman yang saya
ajak bicara. Karena jika saya tidak
menyesuaikan dengan lawan bicara
saya, maka pembicaraan kami tidak
akan sejalan alias tidak nyambung.
Penyebab mahasiswa asal Timor Leste Culture
shock tidak hanya berasal dari perbedaan bahasa,
45
logat atau dialek, tetapi bisa juga berasal dari
perbedaan cuaca seperti yang dialami R berikut ini:
“saya mengalami demam, flu dan
pilek,
selama
dua
minggu
dikarenakan
Indonesia
(Salatiga)
memiliki
udara
yang
dingin,
sedangkan di negara kami memiliki
udara yang panas. Perbedaan cuaca
ini menyebabkan saya demam selama
satu minggu”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat
diketahui bahwa perbedaan bahasa, logat atau dialek
serta cuaca dapat menyebabkan individu mengalami
culture
shock.
Untuk
mengatasi
culture
shock
mahasiswa asal Timor Leste menyiapkan beberapa
strategi adaptasi.
46
4.5 Strategi
Mahasiswa
Timor
Leste
Dalam
Mengatasi Culture Shock Ketika Beradaptasi.
4.5. 1 Individual
4.5.1.1 Anticipatory Adjustment
Riady,
(2004)
strategi-strategi
dalam
proses
adaptasi sangat penting bagi individu yang memasuki
lingkungan baru, baik lingkungan alam maupun
lingkungan
sosial.
Salah
satu
bentuk
strategi
adaptasi individual adalah penyesuaian antisipatif
(anticipatory adjustment) dan belajar secara otodidak
(self efficacy). Adapun strategi adaptasi individual
adalah melakukan tindakan penyesuaian antisipatif
(anticipatory adjustment) dan belajar secara otodidak
(self efficacy) yang didasari dalam pernyataan Herbert
1984,
(dalam Riyandhiani 2013) yang dimulai
dengan tahap persiapan (Preparatory Stage), tahap
meniru dalam hal bertindak (Play Stage), tahap
kesiapan
dalam
bertindak
(game
stage),
tahap
penerimaan norma kolektif (generalized stage).
47
Tahapan
persiapan
terdiri
dari
2
faktor
yaitu
penyediaan pelatihan sebelum keberangkatan (predeparture
training)
dan
pengetahuan
serta
pengalaman tentang lingkungan yang dituju. Yang
dimaksud dengan tahapan persiapan yaitu individu
melakukan persiapan sebelum keberangkatan dan
sesudah tiba,
pelatihan.
dengan cara mengikuti kegiatan
Kegiatan pelatihan atau traning harus
disesuaikan dengan keadaan dimana mereka akan
ditugaskan. Sebab kondisi Negara yang dengan
Negara yang lain adanya perbedaan kultur dan
bahasa juga perbedaan iklim. Hal ini juga yang
menjadi harapan terbesar bagi mahasiswa asal Timor
Leste. sebagaimana yang diungkapkan T berikut ini:
“keberadaan kami (mahasiswa asal
Timor Leste) di UKSW dalam rangka
melanjutkan studi ke Strata 2,
merupakan program
pemerintah
daerah Timor Leste. Oleh karena itu
saya berharap adanya kegiatan
pelatihan sebelum keberangkatan dan
sesudah tiba perlu diberikan dari
pihak pemerintah Timor Leste dan
48
juga lembaga universitas tempat kami
belajar. Tetapi dalam kenyataannya
sampai saat ini pemerintah Timor
Leste dan lembaga Universitas Kristen
Satya Wacana juga belum pernah
melakukan training mengenai budaya
Indonesia (UKSW), sehingga kami
merasa kesulitan dengan budaya
baru.
Adapun upaya lain yang dilakukan mahasiswa
asal Timor Leste sebelum keberangkatan adalah
mencari informasi tentang Salatiga (UKSW) dari
berbagai literatur seperti, internet dan teman-teman
terdekat yang memiliki pengalaman tentang daerah
yang dituju. Hal ini juga yang dilakukan oleh F
berikut ini:
“saya melakukan persiapan sebelum
berangkat ke Salatiga (UKSW) dengan
cara mencari informasi tentang
Indonesia lebih khusus UKSW melalui
internet.
Tidak
hanya
F
yang
melakukan
persiapan
sebelum berangkat M juga melakukan hal yang sama
dalam ungkapan berikut ini:
49
“saya mencari informasi dengan cara
bertanya kepada teman-teman asal
Timor Leste yang suda duluan datang
ke Indonesia (UKSW) dalam rangka
belajar. Akibat hanya mengandalkan
informasi dari teman-teman saya
pernah
kena
tipu
pada
saat
berbelanja.
Mahasiswa
yang
memiliki
penyesuaian
antisipatif (anticipatory adjustment) akan lebih efektif
dalam
melakukan
penyesuaian
diri.
Namun,
berdasarkan hasil wawancara kepada enam orang
informan, diketahui bahwa semua informan tidak
pernah
menerima
keberangkatan
dengan
kegiatan
pelatihan
dan
sesudah
tiba.
pernyataan
keenam
orang
tersebut semuanya mengalami
melakukan
penyesuaian.
sebelum
Berdasarkan
mahasiswa
kesulitan dalam
Adanya
kesulitan
melakukan penyesuaian karena Negara Timor Leste
dengan
Indonesia
(Salatiga)
memiliki
perbedaan
budaya seperti bahasa, dialek atau logat, karakter,
dan cuaca.
50
4.5.1.2 Self Efficacy
Walaupun semua mahasiswa asal Timor Leste
mengalami kesulitan dalam penyesuain akan tetapi
semua
mahasiswa memiliki kemampuan untuk
mengelola setiap perbedaan budaya dan bahasa
dengan
cara
belajar
sendiri
(self
efficacy)
atau
otodidak yaitu mengenal budaya Indonesia (Salatiga)
melalui
berbagai
literatur
yang
dianggap
dapat
membantu mereka dalam melakukan adaptasi di
UKSW. Seperti yang diungkapkan J berikut ini:
Upaya yang saya lakukan adalah
mengamati kebudayaan atau tradisi
masyarakat Salatiga lebih kusus yang
berada
di
lingkungan
UKSW,
kemudian
saya
mencoba
menggunakan
budaya
serta
kebiasaan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan
bahwa walaupun para mahasiswa asal Timor Leste
mengalami
adaptasi
kesulitan
budaya
akan
dalam
tetapi
penyesuaian
mereka
atau
memiliki
51
kemampuan
untuk
mengelola
setiap
perbedaan
budaya dan bahasa dengan cara belajar sendiri (self
study) atau otodidak.
Selain itu mahasiswa asal Timor Leste juga
mempelajari
pengamatan
budaya
dengan
tentang
dengan
kebiasaan
melakukan
masyarakat
Indonesia (Salatiga) dalam hal ini mahasiswa yang
berada dalam lingkungan UKSW. Mahasiswa asal
Timor Leste juga berupaya untuk mempraktekan
budaya
meraka,
Indonesia
walaupun
dilakukan,
tetapi
(Salatiga)
pada
dalam
awalnya
mereka
keseharaian
sulit
berupaya
untuk
untuk
menyesuaikan diri dalam rangka menghindari culture
shock.
52