Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Leste T2 912010015 BAB II
12
BAB II
RERANGKA TEORITIS
2.1 PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian terdahulu telah menemukan bahwa eksptriat melakukan penyesuaian terhadap tiga dimensi adaptasi yang disebut in-country adjustment
diantaranya work adjustment, general adjustment dan
interaction adjustment (Hill, 2001; Black et al, 1999; Vance and Paik, 2006). Penelitian ini mengatakan bahwa Ketika ekspatriat melakukan penyesuaian terhadap ke tiga dimensi diatas maka individu akan mengalami 4 tahap dalam adaptasi yaitu: honeymoon, culture shock, recovery dan adjustment yang disebut “the U curve theory of adjustment” (Oberg., 1960;
black et al, 1991; Hofstede, 1960, 1991; Lysguard, 1955; Black & Mendenhall, 1990; Unsunier, 1998). Lihat table 2.2.2
Hal yang sama juga diungkapkan oleh
Emyliana Tanggulungan (2009) bahwa para
ekspatriat yang tinggal di Indonesia (Salatiga) juga melakukan penyesuaian terhadap tiga dimensi adaptasi yaitu : work adjustment, interaction adjustment dan general adjusment. Dalam melakukan penyesuaian terhadap ketiga dimensi para ekspatriat
(2)
13
telah mengalami tiga tahap adaptasi yaitu tahap
honeymoon, cultur shock dan adjustment.
Selanjutnya J. Selmer (1999) juga meneliti
culture shock di China (Chinese mainland), terhadap 150 ekspatriat (western expatriat business managers/ WEBMs) yang berasal dari Francis, Australia, Jerman dan Britani. Diketahui bahwa para eksptraiat melakukan penyesuaian terhadap pekerjaan (work adjustment), interaksi (interaction adjustment) dan umum (general adjustment). Dalam tahap adaptasi ini ekspatriat mengalami tahapan adaptasi yang sama yaitu goncangan budaya (culture shock experience)
2.2 DEFENISI TENTANG EKSPATRIAT
Terdapat sejumlah definisi tentang ekspatriat seperti yang dikutip oleh penulis dari beberapa sumber. Menurut Hornby, (1987) Ekspatriat adalah orang atau seseorang yang pergi meninggalkan negaranya ke negara lain. Defenisi tersebut dipandang secara lebih luas dan mendalam oleh Hiil, (2001) dalam definisinya ekspatriat adalah warga negara dari sebuah negara dimana perusahaan berasal dan sedang kerja pada salah satu cabang perusahaan diluar negeri. Selain itu, Desler, (2002) juga mengatakan bahwa ekspatriat adalah non warga negara dimana mereka sedang bekerja. Adapun
(3)
14
pendapat lain yang mengungkapkan bahwa
ekspatriat adalah seorang pekerja yang bekerja diluar negara asalnya (Gross, 2005) sedangkan menurut Czinkota, Ronkainen dan Moffet (2002) ekspatriat adalah warga asing (karyawan Negara asal dan karyawan Negara ketiga) bukan warga negara tuan rumah.
Business expatriates are sojourners sent to a foreign country by multinational with the intent to control the company operations and to provide technical and administrative services (Torbiorn, 1982). Demikian pula Enderson (1977) mengatakan bahwa umumnya para ekspatriat dikirim ke luar negeri
biasanya karena keahliannya yang diperlukan
perusahaan tidak tersedia secara lokal atau karena
perusahaan ingin memiliki pengendalian pada
perusahaannya dan ingin untuk memiliki seseorang yang diketahui dan dipercayai dapat mengelola operasi perusahaan di luar negeri.
Berdasarkan definisi diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ekspatriat adalah seseorang yang sedang tinggal dan bekerja pada salah satu perusahaan diluar negeri yang tidak terdaftar sebagai warga negara.
(4)
15 2.3 ADAPTASI EKSPATRIAT
Adaptasi dinegara tujuan ekspatriat dapat dilakukan dengan banyak cara (hodgetts, 2000).
Gudykunst dan Kim (dalam Liliweri, 2004)
mengartikan adaptasi sebagai perubahan dari suatu masyarakat atau sub masyarakat kepada masyarakat mengangkut perbedaan kebudayaan yang disebabkan oleh perpindahan seseorang dari suatu sistem kebudayaan menuju kebudayaan lainnya.
Adaptasi dilakukan oleh ekspatriat secara perorangan terhadap pekerjaan, budaya organisasi, sosialisasi serta terhadap hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. cara yang ditempuh tersebut dilakukan untuk menghasilkan derajat adaptasi yang sesuai dengan keinginan ekspatriat secara perorangan ataupun organisasi. Young Yun Kim (dalam Mulyana 2003) mengemukakanya setiap individu pendatang untuk jangka waktu pendek ataupun panjang harus beradaptasi dengan tuan rumah.
Ekspatriat akan mengalami kesulitan akibat dari perbedaan budaya tersebut. Masalah juga akan
muncul dari rekan kerja, dimana terjadi
kesalahpahaman yang akan menyebabkan frustasi, serta ekspatriat akan menerima perilaku yang tidak baik. Jika ekspatriat sadar sebelumnya dengan
(5)
16
adanya berbagai variasi budaya, serta merubah perilaku mereka dalam berinteraksi, maka ekspatriat dapat terhindar dari kesalahpahaman dan dapat menjalankan tugas dengan baik (Black and Porter 1990).
Sebab adaptasi budaya adalah suatu proses kognitif sosial yang mana mengurangi ketidakpastian
dan suatu proses afektif yang mengurangi
kecemasan: hasil adaptasi budaya termasuk
kesejahteraan psikologi dan kepuasan serta
kompetensi sosial (Gao and Gudy Kunst.,1990; ward and Kennedy.,1992)
Oleh karena itu, riset yang dilakukan atas kemampuan para ekspatriat menunjukkan secara
jelas, bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas
ekspatriat tergantung pada pemilikan kecakapan (skill) tertentu, yaitu: kecakapan pribadi, kecakapan bergaul, dan kecakapan persepsi (Mendenhall and Oddou, 1985). Kecakapan pribadi yang dimiliki
individu menyangkut kematangan mental dan
emosional seseorang. Seseorang yang memiliki kemampuan individu akan lebih mudah beradaptasi dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain, khususnya dengan orang asing (Harris dan Moran 1979).
(6)
17
2.3.1 FAKTOR PENDUKUNG ADAPTASI
Dalam proses adaptasi ada beberapa faktor
yang mendorong ekspatriat untuk melakukan
adaptasi, berikut ini adalah sebuah model yang dikembangkan oleh black dan mendenhall (1990 dalam hodgetts dan Luthans,2000) yang mengulas faktor-faktor pendukung adaptasi yang dilakukan ekspatriat:
(7)
18
Gambar 2.3.1
Theoretical Model for Explaining International Adjusment of expatriates (In-country Adjusment)
Organization Socialization
1. Socialization Tactics 2. Socialization Content
Individual
1. Self-eficacy 2. Relation Skills 3. Perception Skills
Mode of Adjustment
Job
1. Role Clarity 2. Role discretion 3. Role Novelty 4. Role Conflict
Organization Socialization
1. Socialization Tactics 2. Socialization Content
Degree of Adjustment
1. General Adjustment 2. Work Adjustment 3. Interaction Adjustment
Non-work Adjustment
1. Culture Novelty
2. Family-spouse adjustment
(8)
19 1. Individual
- Self efficacy merupakan kemampuan dan
kemauan individu untuk melakukan
penyesuaian diri dengan lingkungan.
Ekspatriat dapat melakukan pencarian
informasi sendiri melalui literature, kursus, mencari keterangan dari orang-orang setempat, dan lain-lain.
- Relation skill yang merupakan kemampuan untuk membangun hubungan atau relasi dengan seseorang.
- Perception skill merupakan kemampuan
ekspatriat untuk membentuk cara
pandangannya dilingkungan yang baru.
2. Organization socialization
Organisasi atau perusahaan dapat menbantu proses adaptasi dengan melakukan sosialisasi dengan orang dan lingkungan ekspatriat yang baru.
Lewat proses yang terus menerus seseorang
ekspatriat akan dapat menyesuaikan diri terhadap
organisasinya sehingga mampu mengerti dan
menerima nilai-nilai, norma-norma dan kepercayaan yang dilakukan oleh orang lain dalam perusahan. Adapun hal-hal yang perlu untuk diperhatikan sebagai berikut:
(9)
20
- Socialization tactics adalah bagaimana cara
yang ditempuh oleh organisasi atau
perusahaan dalam melakukan sosialisasi.
- Socialization content adalah apa isi dari sosialisasi itu sehingga sosialisasi tersebut mencakup seluruh informasi yang dibutuhkan oleh ekspatriat untuk melakukan penyesuaian.
3. Job
Adaptasi dengan pekerjaan lalu berinteraksi dengan rekan kerja dan juga dengan lingkungan kerja keseluruhan sangat perlu dilakukan. Dalam faktor mancakup:
- Role clarity, kejelasan tugas sehingga pekerjaan dapat melakukan tugasnya dengan baik apabila
mengetahui dengan pasti tugas dan
tanggungjawabnya. Hal ini dapat diantisipasi oleh ekspatriat apabila mempunyai description
yang jelas.
- Role discretion, keleluasaan kerja yang diberikan kepada pekerjaan khussnya dalam
hal ini untuk mengerjakan tugas dan
tanggungjawab dengan bebas sesuai dengan kebijaksanaan.
- Role novelty, pemberian tugas-tugas baru
kepada para ekspatriat, sehingga dapat
mempelajari dan beradaptasi dengan pekerjaan baru dan lingkungan kerja yang baru
(10)
21
- Role conflict, ekspatriat diberikan peran atau tugas yang berbeda dengan peran atau tugas sebelumnya. Biasanya para tenaga kerja harus menghadapi peran dan tanggungjawab yang lebih besar dari peran dan tanggungjawab sebelumnya.
4. Organization culture
Setiap organisasi mempunyai budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu ekspatriat pun dituntut untuk dapat beradaptasi dengan budaya organisasi atau perusahaan dimana ekspatriat bekerja. Hal ini tentunya sangat berpengaruh pada hasil kerja dari seseorang ekspatriat. Faktor dari
organization culture ini mencakup.
- Organization culture novelty, memperkenalkan budaya organisasi yang baru kepada para ekspatriat. Dengan begitu maka para ekspatriat akan dapat mengetahui dan memahami cara kerja, perilaku kerja apa yang diharapkan dan apa yang tidak harapkan dalam cara kerja dari organisasi atau perusahaan tersebut.
- Social support, mencankup bantuan yang diberikan oleh perusahaan dengan mendukung ekspatriat secara sosial seperti dengan
memperkenalkan beserta keluarga yang
(11)
22
- Logistical help, mencakup penyediaan kebutuhan logistik dari ekspatriat yang dapat dilakukan hanya pada saat awal kedatangan ekspatriat. Dengan kata lain ekspatriat
tersebut telah mengetahui dimana dan
bagaimana memperoleh kebutuhan logistiknya.
5. Nonwork
- Adaptasi dengan budaya yang baru
- Adaptasi keluarga dan pasangan ekspatriat. Dengan didukung oleh faktor-faktor yang mendorong proses adaptasi ekpatriat lingkungan yang baru, maka ekpatriat tidak akan merasa terasing dalam lingkungan baru.
6. Mode of Adjustment
Untuk membantu proses adaptasi maka
ekspatriat dapat melakukan 2 macam cara yaitu: - Melalui bantuan yang diberikan perusahan dan
luar atau rekan orang disekitar lingkungan tersebut
- Secara otodidak atau belajar sendiri hal in
dapat ditempuh bila ada motivasi dari
ekspatriat untuk melakukan pengenalan dari
situasi, karateristik dan kondisi dari
lingkungan yang baru
(12)
23
Setelah ekspatriat melakukan adaptasi,
diharapka dari proses tersebut dari hasil sebagai berikut :
a. Work adjustment, setelah ekspatriat dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja tugas dan tanggungjawab, diharapkan ekspatriat dapat bekerja secara efektif dan efisien, serta dapat meningkatkan kemampuan dalam bekerja
b. Interaction adjustment, diharapkan para ekspatriat dapat berhubungan dan berinteraksi secara timbal balik dengan orang-orang sekitar ekspatriat.
c. General adjustment, diharapkan agar adaptasi ekspatriat berhasil secara menyeluruh baik adaptasi dengan pekerjaan, budaya perilaku hidup, sehingga ekspatriat dapat hidup secara normal.
2.3.2 TAHAPAN ADAPTASI
Berikut ini sebuah model yang dikembangkan oleh Oberg (1960) yang menyatakan bahwa ada 4 tahap proses adaptasi ekspatriat. Yaitu honeymoon, culture shock, recovery and adjustment.
(13)
24
Table 2.3.2 Tahap Adaptasi Budaya
Sumber : Oberg, (1960)
Adapun tahapan ini dimulai dari tahap bulan madu (honey moon) dalam waktu beberapa hari atau minggu yang ditandai dengan perasaan terpesona, antusias, senang, adanya hubungan yang baik dengan tuan rumah (host country). Lalu tingkat krisis yang disebut Culture shock, tahap ini dimulai jika individu atau group tersebut telah menetap dalam
waktu yang lama. Terdapat bermacam-macam
kesulitan untuk dapat hidup ditempat yang baru seperti kesulitan bekerja secara optimal, tidak dapat mengekspresikan perasaannya dalam bahasa lisan (bahasa verbal) yang benar, kesulitan dalam bergaul karena persoalan bahasa, adanya nilai-nilai yang
Culture Shock
Recovery
Honeymoon Adjustment
Positive Mood
Mood Changes
Negative Mood
(14)
25
berbenturan dengan kepercayaan atau kebiasaan yang dianut. Tingkat berikutnya adalah tahap penyembuhan (recovery), dalam tahap ini krisi dapat dipecahkan jika sudah menguasai bahasa, budaya tuan rumah yang bersangkutan. Dengan ini sudah membuka jalan ke lingkungan yang baru individu sudah mulai beradaptasi dan bersahabat dengan lingkungan yang baru. Yang terakhir adalah tingkat penyesuaian (adjustment), anda mulai menikmati dan
menerima lingkungan atau budaya tersebut
meskipun masih mengalami sedikit ketegangan dan kecemasan.
Selain itu Deena dan Adelman pada tahun 1993 juga membuat penelitian terhadap adaptasi budaya baru dengan menekankan pada karakteristik yang berbeda pada setiap tahap yang dilewati.
Penelitian tersebut menghasilkan pola yang
dinamakan pola W, adapun tahapannya sebagai berikut:
1. Honeymoon period
Pada tahap ini orang asing pada awalnya akan tertarik dan terkesan dengan segala hal yang terlihat dalam budaya baru.
2. Culture shock
Individu-individu mulai bersentuhan dengan
(15)
26
transportasi, kepegawaian, belanja serta bahasa. Kelelahan mental akan dialami dan menyebabkan ketegangan untuk mengerti bahasa dan budaya baru.
3. Initial Adjustment
Kegiatan sehari-hari yang dilakukan bukan lagi merupakan masalah utama tetapi individu telah mampu mengekspresikan ide-ide dasar serta perasaan.
4. Mental Isolation
Individu-individu bekerja jauh dari keluarga dan teman baik sehingga rasa kesepian itu dialami, ini bisa menimbulkan rasa frustrasi dan hilangnya rasa percaya diri.
5. Acceptance and Integration
Individu sudah bisa menyesuaikan diri dengan budaya baru serta bisa menerima perbedaan yang ditemui.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Marx (1999), berbeda dan mengeritik bahwa tidak semua individo melakukan tahap adaptasi sesuai dengan model atau teori kurva Oberg dkk. Marx melakukan penelitian dengan membagi kuesioner pada 73 manajer di seluruh dunia yang sudah bertugas selama 6 bulan pada penugasan pertama. Dalam penelitiannya mengatakan bahwa adaptasi
(16)
27
dimulai dari tahap hanoymoon, culture shock,
recovery, culture shock dan breaking through.
Table 2.3.3 Tahap Adaptasi
2.4 CULTURE SHOCK
Culture shock mengacu pada reaksi psikologis yang dialami ekspatriat karena berada ditengah kultur yang berbeda dengan kulturnya sendiri. Kebanyakan ekspatriat mengalaminya bila memasuki kultur yang baru dan berbeda. Sebagian dari culture shock ini timbul karena perasaan terasing dan
Sumber : Marx, (1999) Positive
Mode
Mode Changes
Negative Mode
Culture Shock
Recovery Culture Shock
Recovery Culture Shock
Breaking Trough
Phases of Adaptation
Honeymoon Phase
(17)
28
berbeda dari yang lain. Bila ekspatriat kurang mengenal adat kebiasaan masyarakat yang baru, maka ekspatriat tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Dalam prakteknya banyak ekspatriat kembali lebih awal ke negara asalnya dikarenakan kegagalan dari ekspatriat atau keluarga ekspatriat untuk menyesuaikan diri dengan budaya baru.
Pertama kali, istilah ini dipakai Oberg antropolog kebudayaan America yang tinggal di brazil. Menurut Kalvero Oberg (dalam Mulyana dan Rahmat, 2003) culture shock adalah suatu penyakit atau gejala yang berhubungan dengan aksi yang diderita oleh individu atau group yang secara tiba-tiba harus berpindah ke sebuah lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungannya selama ini. Adler (2002) mengungkapkan bahwa culture shock adalah goncangan yang dialami oleh ekspatriat ketika
dipindahkan keluar negeri. Adapula yang
menyatakan culture shock adalah perubahan yang menimbulkan goncangan-goncangan pada unsur-unsur atau nilai-nilai yang tengah berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan terjadi pada tantangan kehidupan suatu masyarakat yang tengah menghadapi berbagai perubahan (Amry,2007).
Mulyana dan J. Rahmat (1993) menyebutkan 6 aspek dari culture shock, yaitu pertama ketegangan (Strain) menujuk usaha yang dituntut untuk
(18)
29
membuat adaptasi secara psikologis. Kedua, rasa kehilangan dan perasaan tersebut, dalam hal teman-teman, status, profesi dan hak milik. Ketiga, menolak atau merasa ditolak oleh anggota-anggota sebuah lingkungan atau budaya yang baru. Keempat, merasa kebingungan atau bingun dalam (Role), perang yang diharapkan (role expectation), nilai-nilai (values), perasaan (feeling) dan identitas diri (self Identity). Kelima, merasa kaget, cemas, jengkel setelah sadar akan perbedaan budaya. Dan keenam, merasa menjadi lemah (feeling of impotence) karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
Disebutkan pula oleh Chandra (2004) bahwa
culture shock disebabkan oleh kegelisahan yang dihasilkan oleh hilangnya ciri-ciri keakraban dan simbol-simbol dari hubungan sosial, baik saat hidup
maupun bekerja dilingkungan budaya yang
berlainan. Ditinjau dari sisi psikologis, culture shock
merupakan gejala gangguan jiwa yang dihubungkan dengan konflik-konflik akibat budaya. culture shock
juga dapat diartikan sebagai ketidaknyaman fisik dan emosional yang di alami ekspatriat ketika datang dan tinggal di negara lain atau disuatu tempat yang berbeda dari tempat asal (Ivancevich dan Soo Hoon, 2002)
(1)
24
Table 2.3.2 Tahap Adaptasi Budaya
Sumber : Oberg, (1960)
Adapun tahapan ini dimulai dari tahap bulan madu (honey moon) dalam waktu beberapa hari atau minggu yang ditandai dengan perasaan terpesona, antusias, senang, adanya hubungan yang baik dengan tuan rumah (host country). Lalu tingkat krisis yang disebut Culture shock, tahap ini dimulai jika individu atau group tersebut telah menetap dalam waktu yang lama. Terdapat bermacam-macam kesulitan untuk dapat hidup ditempat yang baru seperti kesulitan bekerja secara optimal, tidak dapat mengekspresikan perasaannya dalam bahasa lisan (bahasa verbal) yang benar, kesulitan dalam bergaul karena persoalan bahasa, adanya nilai-nilai yang
Culture Shock
Recovery
Honeymoon Adjustment
Positive Mood
Mood Changes
Negative Mood
(2)
25
berbenturan dengan kepercayaan atau kebiasaan yang dianut. Tingkat berikutnya adalah tahap penyembuhan (recovery), dalam tahap ini krisi dapat dipecahkan jika sudah menguasai bahasa, budaya tuan rumah yang bersangkutan. Dengan ini sudah membuka jalan ke lingkungan yang baru individu sudah mulai beradaptasi dan bersahabat dengan lingkungan yang baru. Yang terakhir adalah tingkat penyesuaian (adjustment), anda mulai menikmati dan menerima lingkungan atau budaya tersebut meskipun masih mengalami sedikit ketegangan dan kecemasan.
Selain itu Deena dan Adelman pada tahun 1993 juga membuat penelitian terhadap adaptasi budaya baru dengan menekankan pada karakteristik yang berbeda pada setiap tahap yang dilewati. Penelitian tersebut menghasilkan pola yang dinamakan pola W, adapun tahapannya sebagai berikut:
1. Honeymoon period
Pada tahap ini orang asing pada awalnya akan tertarik dan terkesan dengan segala hal yang terlihat dalam budaya baru.
2. Culture shock
Individu-individu mulai bersentuhan dengan budaya baru baik itu dalam hal perumahan,
(3)
26
transportasi, kepegawaian, belanja serta bahasa. Kelelahan mental akan dialami dan menyebabkan ketegangan untuk mengerti bahasa dan budaya baru.
3. Initial Adjustment
Kegiatan sehari-hari yang dilakukan bukan lagi merupakan masalah utama tetapi individu telah mampu mengekspresikan ide-ide dasar serta perasaan.
4. Mental Isolation
Individu-individu bekerja jauh dari keluarga dan teman baik sehingga rasa kesepian itu dialami, ini bisa menimbulkan rasa frustrasi dan hilangnya rasa percaya diri.
5. Acceptance and Integration
Individu sudah bisa menyesuaikan diri dengan budaya baru serta bisa menerima perbedaan yang ditemui.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Marx (1999), berbeda dan mengeritik bahwa tidak semua individo melakukan tahap adaptasi sesuai dengan model atau teori kurva Oberg dkk. Marx melakukan penelitian dengan membagi kuesioner pada 73 manajer di seluruh dunia yang sudah bertugas selama 6 bulan pada penugasan pertama. Dalam penelitiannya mengatakan bahwa adaptasi
(4)
27
dimulai dari tahap hanoymoon, culture shock,
recovery, culture shock dan breaking through.
Table 2.3.3 Tahap Adaptasi
2.4 CULTURE SHOCK
Culture shock mengacu pada reaksi psikologis yang dialami ekspatriat karena berada ditengah kultur yang berbeda dengan kulturnya sendiri. Kebanyakan ekspatriat mengalaminya bila memasuki kultur yang baru dan berbeda. Sebagian dari culture shock ini timbul karena perasaan terasing dan
Sumber : Marx, (1999) Positive
Mode
Mode Changes
Negative Mode
Culture Shock
Recovery Culture Shock
Recovery Culture Shock
Breaking Trough
Phases of Adaptation Honeymoon
(5)
28
berbeda dari yang lain. Bila ekspatriat kurang mengenal adat kebiasaan masyarakat yang baru, maka ekspatriat tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Dalam prakteknya banyak ekspatriat kembali lebih awal ke negara asalnya dikarenakan kegagalan dari ekspatriat atau keluarga ekspatriat untuk menyesuaikan diri dengan budaya baru.
Pertama kali, istilah ini dipakai Oberg antropolog kebudayaan America yang tinggal di brazil. Menurut Kalvero Oberg (dalam Mulyana dan Rahmat, 2003) culture shock adalah suatu penyakit atau gejala yang berhubungan dengan aksi yang diderita oleh individu atau group yang secara tiba-tiba harus berpindah ke sebuah lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungannya selama ini. Adler (2002) mengungkapkan bahwa culture shock adalah goncangan yang dialami oleh ekspatriat ketika dipindahkan keluar negeri. Adapula yang menyatakan culture shock adalah perubahan yang menimbulkan goncangan-goncangan pada unsur-unsur atau nilai-nilai yang tengah berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan terjadi pada tantangan kehidupan suatu masyarakat yang tengah menghadapi berbagai perubahan (Amry,2007).
Mulyana dan J. Rahmat (1993) menyebutkan 6 aspek dari culture shock, yaitu pertama ketegangan (Strain) menujuk usaha yang dituntut untuk
(6)
29
membuat adaptasi secara psikologis. Kedua, rasa kehilangan dan perasaan tersebut, dalam hal teman-teman, status, profesi dan hak milik. Ketiga, menolak atau merasa ditolak oleh anggota-anggota sebuah lingkungan atau budaya yang baru. Keempat, merasa kebingungan atau bingun dalam (Role), perang yang diharapkan (role expectation), nilai-nilai (values), perasaan (feeling) dan identitas diri (self Identity). Kelima, merasa kaget, cemas, jengkel setelah sadar akan perbedaan budaya. Dan keenam, merasa menjadi lemah (feeling of impotence) karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
Disebutkan pula oleh Chandra (2004) bahwa
culture shock disebabkan oleh kegelisahan yang dihasilkan oleh hilangnya ciri-ciri keakraban dan simbol-simbol dari hubungan sosial, baik saat hidup maupun bekerja dilingkungan budaya yang berlainan. Ditinjau dari sisi psikologis, culture shock
merupakan gejala gangguan jiwa yang dihubungkan dengan konflik-konflik akibat budaya. culture shock
juga dapat diartikan sebagai ketidaknyaman fisik dan emosional yang di alami ekspatriat ketika datang dan tinggal di negara lain atau disuatu tempat yang berbeda dari tempat asal (Ivancevich dan Soo Hoon, 2002)