KejahatanPerang di SuriahdenganMenggunakanSenjata KimiaTerhadapWarga Sipil Ditinjau dari Hukum Internasional

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN PERANG
A.

Perang dalam Hukum Humaniter Internasional
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), perang adalah suatu

permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) atau
pertempuran bersenjata anta dua pasukan tentara dan laskar. Dalam arti tersebut
dapat kita jabarkan pengertian perang dalam 4 arti, anatara lain: 33
1. Permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dsb);
2. Pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara,
laskar, pemberontak, dsb.);
3. Perkelahian; konflik;
4. Cara mengungkapkan permusuhan.
Dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dijelaskan bahwa perang adalah
kekerasan terhadap kehidupan orang, khususnya pembunuhan dari segala jenis,
pemotongan anggota tubuh, perlakuan kejam, dan penyiksaan. Perang juga
diartikan suatu kesengajaan melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau
serangan terhadap gedung material, satuan, angkutan dan lain-lain. 34
Perang adalah suatu aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah

kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih
kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.
Perang secara purba dimaknai sebagai pertikian bersenjata, di era modern, perang

33

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan
ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 854
34
Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Elsam, Jakarta, 2000, hal. 15

17
Universitas Sumatera Utara

18

lebih mengarah pada surperioritas teknologi dan insudtri, hal ini tercermin
dari doktrin angkatan perangnya seperti “Barang siapa menguasai ketinggian
maka menguasai dunia”, hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian
harus dicapai oleh teknologi. 35

Dahulu kala perang memang merupakan suatu pembunuhan besar-besaran
antara kedua belah pihak yang berperang. Pembunuhan besar-besaran ini hanya
merupakan salah satu bentuk perwujudan daripada naluri untuk mempertahankan
diri, yang berlaku baik dalam pergaulan antara manusia, maupun dalam pergaulan
antara bangsa.
Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Suatu
kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis,
umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Tidaklah mengherankan
apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum
yang berdiri sendiri dimuali dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang. 36
Dalam hukum internasional aturan yang mengatur masalah perang biasa
disebut dengan Hukum Humaniter, dimana menurut Mochtar Kusumaatmadja
hukum humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur

35

“Perang”, dimuat dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang, diakses pada tanggal 3
Desember 2016, pukul 07.15. WIB
36

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah th.1949, Binacipta,
Bandung, 1986, hal 9.

Universitas Sumatera Utara

19

perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu
sendiri. 37
Haryomataram membagi hukum Humaniter menjadi dua aturan-aturan
pokok, yaitu: 38
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws);
2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan
penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai
berikut: 39
1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi

menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (condact of war).
Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.
b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi
korban perang. Ini lazimnya disebut The Genewa Laws.
Dalam melakukan peperangan Hukum humaniter memberikan 3 azas yang
harus dijunjung tinggi oleh pihak-pihak yang berperang, antara lain: . 40
37

Makdin Amrin Munthe, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, USU Press,
Medan, 2008, Hal 2.
38
Haryomataram, sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press,
Surakarta. 1994, Hal 1.
39
Haryomataram, Hukum Humaniter, C.V. Radjawali, Jakarta, 1994, hal 2-3.

Universitas Sumatera Utara

20


1. Asas Kepentingan Militer (military necessity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya
tujuan dan kebrhasilan perang.
2. Asas Perikemanusiaan (humanity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk
memperhatikan

perikemanusiaan,

dimana

mereka

dilarang

untuk

menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan

atau penderitaan yang tidak perlu.
3. Asas Kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam
tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari
sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang
dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untukk
memanusiawikan perang.
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam
berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut: 41
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil
dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering.
40
41

Makdin Amrin Munthe, Op, Cit, hal 7
Ibid, hal 8.


Universitas Sumatera Utara

21

2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka
yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh
harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai
tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.
Disini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.
G.P.H. Djatikoesoemo mengatakan bahwa sebab-sebab perang terletak
dalam kenyataan bahwa perkembangan manusia sangat berhubungan erat dengan
perkembangan nasional dari negara-negara. 42
Khusus mengenai sebab-sebab terjadinya konflik bersenjata, dalam
paragraf 4 Protocol I tahun 1977, konflik bersenjata digambarkan sebagai
perjuangan suatu bangsa untuk melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing
dan rezim rasialis dalam memenuhi hak mereka meentukan nasib sendiri, seprti
tercantum dalam Piagam PBB dan Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum
Internasional yang berhubungan dengan hubungan bersahabat dan kerjasama antar

negara. 43
Dari Uraian tersebut dapat dilihat bahwa sebab-sebab dari terjadinya
konflik bersenjata antara lain:
1. Perjuangan melawan dominasi kolonial;
2. Melawan penduduk asing;
3. Melawan rezim rasialis;

42

Djatikoesoemo, Hukum Internasional Bagian Perang, Pemandangan, Jakarta, 1956,

43

Haryomataram, GPH, Hukum humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 118-119,

hal. 13

Universitas Sumatera Utara

22


4. Memenuhi hak untuk menentukan nasib sendiri;
Selain ke 4 sebab diatas, terdapat sebab lain terjadinya perang, antara lain:

1.

Perbedaan ideologi

2.

Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan

3.

Perbedaan kepentingan

4.

Perampasan sumber daya alam (minyak, hasil pertanian, dll)


44

B. Kejahatan Perang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejahatan adalah perilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah
disahkan oleh hukum tertulis (hukum pidana). 45
Perkataan kejahatan menurut pengertian tata bahasa adalah suatu tindakan
atau perbuatan yang jahat adalah pembunuhan, pencurian, perampokan, dan lain
sebagainya yang dilakukan oleh manusia. Para pakar ilmu kriminologi banyak
membuat rumusan tentang kejahatan. Antara lain seperti yang diungkap oleh
W.A. Bonger (1963), seperti yang dikutip oleh Soedjono mengemukakan bahwa
kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi
daari rumusan-rumusan hukum mengenai kejahatan. Pengertian ini sama dengan
yang diutarakan oleh Sutherland yang menekankan bahwa ciri pokok dari
kejahatan ialah perilaku yang dilarang oleh negara dan perbuatan tersebut dapat

44

“Perang”, dimuat dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang, diakses pada tanggal 3
Desember 2016, pukul 07.30. WIB

45
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit. Hal 344

Universitas Sumatera Utara

23

menimbulkan reaksi dari negara, yaitu dengan hukuman sebagai suatu upaya yang
ampuh. 46
Kejahatan perang adalah segala pelanggaran terhadap hukum-hukum perang
atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab kriminal
individu. Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg mendefinisikan
kejahatan perang sebagai “pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan hukum”,
termasuk pembunuhan, perlakuan buruk, atau deportasi penduduk sipil dalam
wilayah yang telah diduduki, pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tahanan
perang, pembunuhan sandera, perampasan barang-barang publik atau harta milik
pribadi; perusakan tanpa alasan atas kota-kota; dan penghancuran tanpa
kepentingan militer. 47
Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum
internasional,

terhadap hukum

perang oleh

satu

atau

beberapa

orang,

baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang.
Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan
perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu
bisa dianggap kejahatan perang.

48

46

Soedjono D. Soekamto, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Bandung,
1986, cet. Ke-11, hal 21.
47
Steven R.Ratner, Kategori Kejahatan Perang, dalam Roy Gutman dan David Reff, ed.,
Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi, 2004,
hal 426.
48
“Kejahatan Perang” dimuat dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_perang,
diakses tanggal 3 Desember 2016, pukul 08.00. WIB

Universitas Sumatera Utara

24

Penegakan hukum atas kejahatan perang yang sifatnya internasional bukanlah
hal yang mudah, meskipun sejak zaman Yunani kuno, pemikiran untuk mengadili
pelaku kekejaman dalam perang sudah ada. 49
Perang dunia 1 menjadi awal penuntutan terhadap pelaku kejahatan perang
secara individu terhadap tentara Jerman, meskipun pada akhirnya mengalami
kegagalan. Penuntutan secara nyata dengan dasar Konvensi Den Haag baru
terlaksana pada pengadilan Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia ke II.
Setelah itu dibentuk beberapa tribunal ad hoc yaitu, Internasional Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan Internasional Criminal Tribunal
for Rwanda (ICTR), pengadilan di beberapa negara seperti majelis luar biasa
Kamboja, pengadilan Siera Lone, Chili dan Pengadilan Hak Asasi Manusia di
Timor Timur. Terakhir dibentuk Statuta Roma yang menjadi hukum yang represif
terhadap kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan lainya. 50
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang
telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk
pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah
mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian
itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.
Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga
bisa

dianggap

sebagai

kejahatan

perang. Pembunuhan

massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang,

49

Eddy O.S Hiariej, “Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Seruis terhadap HAM”,
Erlangga, Jakarta, 2010 Hal. 26.
50
Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Pidana Internasional”, Refika Aditama,
Bandung, 2000, Hal 4-8.

Universitas Sumatera Utara

25

walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini secara
luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan perang dapat dilakukan oleh anggota militer 51 terhadap anggota
militer musuh atau penduduk sipil musuh, atau, oleh penduduk sipil terhadap
anggota militer musuh atau penduduk sipil musuh. Akan tetapi, kejahatan yang
dilakukan oleh anggota militer, terhadap anggota militernya sendiri (anggota
militer yang berada dalam satu pihak), apapun kewarganegaraannya, tidak
merupakan kejahatan perang. Hal ini dinyatakan dalam kasus Pilz 52 dalam
DutchSpecial Court of Cassation sebagaimana dinyatakan juga dalam Motosuke 53
oleh Temporary Court Martial of Netherlands East Indies, di Amboina

54

Kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer terhadap anggota militernya
sendiri, walaupun bukan merupakan kejahatan internasional, tetap diatur di bawah
lembaga hukum militer oleh pihak terkait.55

51

Dalam hal ini, anggota militer yang dimaksud meliputi semua individu yang
berpartisipasi dalam konflik bersenjata
52
Dalam kasus ini, seorang Belanda di negeri Belanda yang sedang dikuasai, terjebak
dalam wajib militer Jerman. Saat ia mencoba melarikan diri dari kesatuannya, ia ditembak dan
terluka. Pilz, seorang dokter Jerman yang melayani tentara Jerman dengan pangkat
Haupsturmfuhrer, memerintahkan penahanan bantuan medis atau bantuan lain yang diberikan oleh
seorang dokter dan rumah sakit, terkait dengan ‘penyalahgunaan otoritasnya sebagai superior’ Pilz
telah memerintahkan atau menginstruksikan bawahannnya untuk membunuh orang terluka tersebut
dengan sarana senjata api. Hal ini berakibat pada kematian orang Belanda tersebut. Pengadilan
memutuskan bahwa tindakan ini bukanlah sebuah kejahatan perang karena orang yang dilukai
adalah bagian dari pasukan yang menguasai wilayah tersebut dan kewarganegaraan orang ini tidak
relevan. Hal ini dikarenakan, berdasarkan hukum, ketika orang tersebut terdaftar menjadi anggota
militer, ia telah meletakkan dirinya di bawah hukum pasukan tersebut. Akibat dari tindakan
tersebut, kejahatan yang terjadi padanya merupakan sesuatu yang berada di bawah pengaturan
hukum internal Jerman.
53
Motosuke, seorang perwira Jepang, telah dituntut, antara lain, telah memerintahkan
pengeksekusian dengan penembakan seorang kewarganegaraan Belanda bernama Barends, yang,
selama pendudukan wilayah Ceram oleh pasukan bersenjata Jepang, telah bergabung dengan
Gunkes, sekelompok pejuang relawan yang terbentuk dari mayoritas orang pribumi Indonesiayang
melayani tentara Jepang. Pengadilan memutuskan bahwa dengan bergabung dengan pasukan
Jepang, Barends telah kehilangan kewarganegaraannya. Pembunuhannya oleh pasukan Jepang
bukanlah sebuah kejahatan perang.
54
Amboina, Moluccas, sekarang dikenal dengan Ambon, Maluku.
55
Antonio Cassese, “International Criminal Law”, Oxford University Press, Oxford,
2003, hal.48

Universitas Sumatera Utara

26

Kejahatan perang juga memiliki unsur-unsur, antara lain adalah unsur
kontekstual, unsur actus reus, dan mens rea. 56
Konflik bersenjata (armed conflict) merupakan unsur yang diperlukan untuk
terjadinya suatu kejahatan perang. Hal ini telah diakui dan dinyatakan dalam
begitu banyak kasus di pengadilan internasional. Terdapat dua jenis konflik
bersenjata, yaitu konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata
noninternasional yang akan dijelaskan lebih lanjut. 57
Actus reus adalah tindakan fisik yang diperlukan untuk terjadinya suatu
kejahatan. Actus reus bisa dipenuhi oleh satu orang atau banyak orang secara
bersama-sama. Actus reus tidak harus selalu dipenuhi dengan tindakan secara
fisik. Seseorang yang tidak melakukan apa-apa atau tidak bertindak sama sekali
(omisi) dapat juga memenuhi actus reus dari sebuah kejahatan. Salah satu contoh
pemenuhan actus reus dengan cara omisi adalah dengan membiarkan seseorang
yang terluka berat dengan tidak melakukan apa-apa sehingga orang tersebut mati
walaupun sebenarnya ada yang dapat kita lakukan.
Actus reus dalam sebuah kejahatan mempunyai dua bentuk. Yang pertama
adalah actus reus dimana tindakan yang dilakukan oleh si pelaku adalah tindakan
yang dilarang oleh hukum. Sedangkan yang kedua adalah actus reus dimana yang
dilarang hukum bukanlah tindakannya tetapi akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan tersebut. 58

56

Knut Dormann, “Elements of Crimes under the Rome Statute of the International
Criminal Court”, : Cambridge University Press, Cambridge, 2003, hal.10
57
Sylvain Vite, “Typology of Armed Conflicts in International Humanitarian Law: Legal
Concepts and Actual Situations”, International Review of the Red Cross, 2009, hal 90
58
“Actus Reus Lecture” dimuat dalam http://www.lawteacher.net/PDF/Actus%, diakses
tanggal 3 Desember 2016, pukul 09.56. WIB

Universitas Sumatera Utara

27

Tidak seperti unsur kontekstual yang selalu sama untuk setiap kejahatan
perang, yaitu unsur konflik bersenjata, Actus reus dari setiap kejahatan perang
berbeda-beda. Mengenai actus reus spesifik dari kejahatan-kejahatan perang akan
dibahas kemudian ketika dalam sub-bab macam-macam kejahatan perang. 59
Unsur Mens Rea, pada dasarnya tidak ada definisi yang pasti dan yang
diterima sebagaihukum kebiasaan internasional dari Mens Rea. Satu pengecualian
adalah Pasal 30dari Statuta Roma International Criminal Court,namun pasal ini
cenderung memberikan definisi mens rea yang khusus untuk kejahatan dalam
jurisdiksi International Criminal Court dibanding menjadi suatu definisi yang
sudah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. 60
Mens rea diambil dari adagium dalam hukum Latin, actus non facit reum
nisi mens sit rea.

61

Adagium ini digunakan untuk menunjukan unsur

mental,moral, atau psikologis dari kejahatan. Secara harafiah mens rea berarti
kehendakbersalah. Tanpa unsur mens rea, seseorang tidak dapat dinyatakan atas
sebuahkesalahan.
Walaupun masih terdapat definisi dan pemahaman yang belum seragam
mengenai mens rea, tetapi terdapat pendekatan yang mendasar yang cenderung
sama dalam sistem hukum di dunia. Pendekatan ini adalah sebagai berikut: 62
1. Intention atau niat, yaitu keinginan untuk mencapai kejadian
tertentu. Bagian ini biasa disebut intent, dol, vorsatz, atau

59

Unsur kontekstual dari kejahatan perang selalu berbentuk unsur konflik bersenjata,
namun konflik bersenjata ini dapat berupa konflik bersenjata internasional atau konflik bersenjata
non-internasional.
60
Antonio Cassese, Op.Cit, hal.160
61
Terdakwa tidak bersalah tetapi pikirannya bersalah.
62
Ibid, hal 161

Universitas Sumatera Utara

28

dolus.

63

Contohnya adalah “saya menggunakan pistol untuk

menembak orang karena saya mau membunuhnya.”
2. Awareness atau kesadaran bahwa dengan melakukan suatu tindakan
terdapat suatu kemungkinan atau resiko yang menimbulkan
konsekuensi yang membahayakan. Bagian ini biasa disebut
recklessness, dol eventual,eventualvorsatz, eventualdolus, bedingter
vorsatz, dolus eventualis. 64 Contohnya adalah “saya sadar akan
resiko bahwa dengan menggunakan suatu senjata tertentu saya dapat
membunuh ratusan penduduk sipil yang tak bersalah akan tetapi
saya tidak menghiraukan keberadaan resiko ini.”
3. Kegagalan untuk memberikan perhatian yang cukup atau untuk
memenuhi standar tertentu yang diterima secara umum dan
kegagalan tersebut membahayakan orang lain ketika pelaku percaya
bahwa konsekuensi yang membahayakan dari tindakannya tidak
akan terjadi karena tindakan yang telah atau akan ia lakukan.
Bagian ini biasa disebut sebagai advertent atau culpablenegligence,
negligence consiente, bewusste fahrlassigkeit. 65 Contohnya ketika
seorang pembantu di rumah sakit jiwa menyebabkan kematian
seorang pasien dengan melepaskan aliran air mendidih ke dalam
bak mandi; atau ketika satu dari dua orang bermain dengan pistol
beramunisi dan mengarahkannya ke orang yang satunya dan
menarik pelatuknya dengan kepercayaan bahwa pistol tersebut tidak
akan menembak karena tidak ada peluru yang terlihat di sisi laras
63

Yang secara harafiah berarti niat, Ibid
Yang secara harafiah berarti kesadaran,Ibid
65
Yang secara harafiah berarti kelalaian yang dapat dipersalahkan, Ibid
64

Universitas Sumatera Utara

29

pistol (dalam pikiran orang ini pistol tidak akan menembak karena
menurutnya dengan tidak adanya peluru di sisi laras berarti pistol
tersebut tidak beramunisi). Namun, karena pistol tersebut adalah
pistol revolver, maka pistol tersebut menembak dan membunuh
orang yang satunya. Singkatnya, orang ini sadar akan kemungkinan
menembak, ia memastikan dengan caranya yang berada di bawah
standar umum, dan akhirnya ia mengarahkan pistol tersebut serta
menembakannya pada orang lain.
4. Gagal untuk menghormati standar bertindak yang diterima secara
umum

tanpa

kesadaran

bahwa

tindakan

tersebut

dapat

membahayakan. Bagian ini biasanya disebut inadvertent negligence,
negligence consiente, unbewusstefahrlassigkeit. 66
Kejahatan perang meliputi macam-macam tindakan yang dilakukan dalam
konflik bersenjata. Macam-macam tindakan ini terbagi menjadi dua, yaitu grave
breaches of the Geneva Conventionsof 1949 dan violations of the laws or customs
of war. Grave breaches of theGeneva Conventions of 1949 terdiri dari: (1) wilful
killing; (2) torture or inhumantreatment, including biological experiments; (3)
wilfully causing great suffering or serious injury to body or health; (4) extensive
destruction and appropriation ofproperty, not justified by military necessity and
carried out unlawfully andwantonly; (5) compelling a prisoner of war or a
civilian to serve in the forces of ahostile power; (6) wilfully depriving a prisoner
of war or a civilian of the rights offair and regular trial; (7) unlawful deportation
or transfer or unlawfulconfinement of a civilian; (8) taking civilians as

66

Yang secara harafiah berarti kelalaian secara sadar, Ibid

Universitas Sumatera Utara

30

hostages.10 Violations of the lawsor customs of war terdiri dari: (1) employment
of poisonous weapons or otherweapons calculated to cause unnecessary
suffering; (2) wanton destruction ofcities, towns or villages, or devastation not
justified by military necessity; (3) attack, or bombardment, by whatever means, of
undefended towns, villages,dwellings, or buildings; (4) seizure of, destruction or
wilful damage done toinstitutions dedicated to religion, charity and education, the
arts and sciences,historic monuments and works of art and science; (5) plunder of
public or privateproperty. 67
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan perang
terbentuk dari unsur actus reus, mens rea, dan unsur kontekstual. Unsur
kontekstual ini adalah keadaan konflik bersenjata, suatu unsur yang membedakan
kejahatan perang dengan kejahatan lainnya. Kejahatan perang hanya dapat
dilakukan kepada anggota militer musuh. Kejahatan perang juga memiliki
berbagai macam bentuk perbuatannya seperti yang disebutkan di atas.
Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan
internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu
pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan
ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas
Yugoslavia dan Pengadilan ,Kejahatan Internasional untuk Rwanda yang dibentuk
oleh Dewan Keamanan PBBberdasarkan pasal VII Piagam PBB.
Pada 1 Juli 2002, Pengadilan Kejahatan Internasional, yang berbasis di Den
Haag, Belanda, dibentuk untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi pada atau
setelah

tanggal
67

tersebut.

Beberapa

negara,

terutama Amerika

Statuta dari International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Psl.3

Universitas Sumatera Utara

31

Serikat, Tiongkok dan Israel, menolak untuk berpartisipasi atau mengizinkan
pengadilan tersebut menindak warga negara mereka.
Beberapa mantan kepala negara dan kepala pemerintahan yang telah diadili
karena kejahatan perang antara lain adalah Karl Dönitz dari Jerman, mantan
Perdana Menteri Hideki Tojo dari Jepang dan mantan Presiden Liberia Charles
Taylor. Pada awal 2006 mantan Presiden Irak Saddam Hussein dan mantan
PresidenYugoslavia Slobodan Milošević juga diadili karena kejahatan perang.
Keadilan perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu
peperangan, karena beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap
sebagai kejahatan perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang
dilakukan Amerika

Serikat

pada Perang

Dunia I dan Perang

Dunia II;

penggunaan bom atom terhadap Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II;
serta pendudukan Timor Timur oleh Indonesia antara tahun 1976 dan 1999.
Bagi tujuannya sendiri, Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Bekas
negara Yugoslavia ICTY atau Internasional Criminal Tribunal for the former
Yugoslavia) mendevinisikan sebagai sesuatu yang berkonsekuensi berat bagi
korbannya dan melanggaraturan yang melindungi nilai-nilai penting. Cntoh
kecilnya, membakar hasil panen sebuh desa merupakan suatu pelanggaran serius,
tetapi mencuri sepotong roti bukanlah sebuah pelanggaran serius. 68
Tindakan ilegal yang paling serius adalah pelanggaran-pelanggaran berat atas
konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949. Tindakan ilegal mencakup; penggunaan
cara dan metode peperangan yang dilarang, termsuk racun atau senjata lain yang
68

Ewen Allison dan Robert K.Goldman, Tindakan Ilegal dan dilarang (Ilegal or
Prohibited Acts), dalam Roy Gutman & David Reff, ed., Kejahatan Perang yang Harus Diketahui
Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi-Interviews Europe, 2004. Hal.231.

Universitas Sumatera Utara

32

terhitung menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya; serangan curang yang
tidak melibatkan penyalahgunaan lambang yang dilindungi atau lambang maupun
seragam negara-negara netral; gagal mengenakan suatu seragam untuk
mengidentifikasi diri sendiri sebagai kombatan yang sah; penjarah; terorisme;
campurtangan dalam kiriman kapal untuk bantuan kemanusiaan; perusakan serius,
yang tidak dibenarkan terhadap harta milik;

serangan atau pembombardiran

terhadap kota yang tidak dipertahankan, pemukiman, atau bangunan-bangunan;
tindakan perusakan sengaja dilakukan terhadap lembaga-lembaga kebudayaan
tertentu, seperti bangunan yang diperuntukkan untuk keagamaan, pendidikan,
amal, seni, ilmu pengetahuan, atau monument sejarah dan karya seni; tindakan
balasan terhadap orang atau objek yang dilindungi; dan tiap bentuk pelanggaran
kesepakatan gencatan senjata.
Protokol tambahan I tahun 1977 memperluas wilayah proteksi Konvensi
Jenewa untuk konflik internasional dengan memasukkan hal-hal berikut sebagai
pelanggaran perang antara lain, eksperimen medis tertentu, membuat penduduk
sipil atau suatu tempat sebagai obyek atau korban serangan yang tidak dapat
dihindarkan, berlaku curang dalam penggunaan lambang palang merah
internasional, apartheid, dan mencabut hak seorang yang dilindungi dari
pengadilan yang adil. 69
Kejahatan perang terbagi menjadi empat kategori, yang merefleksikan evolusi
historis dari subjek dengan membedakan antara kejahatan yang dilakukan pada
saat konflik internasional dan pada saat konflik bersenjata internal. Kategori
pertama –pasal 8 (2) (a) – meliputi semua “pelanggaran berat” konvensi Jenewa,
69

Steven R.Ratner , Loc. Cit

Universitas Sumatera Utara

33

1949, kategori kedua – pasal 8 (2) (b) – meliputi ‘pelanggaran yang berat terhadap
hukum dalam kerangka hukum Internasional’. Kategori ini meliputi serangan atas
pasukan penjaga perdamaian atau mereka yang memberikan bantuan kemanusiaan
di bawah naungan PBB; serangan yang dilakukan dengan sengaja dan mengetahui
bahwa serangan tersebut dapat menimbulkan kematian atau cidera terhadap
penduduk sipil; serangan secara sengaja terhadap target non militer seperti tempat
ibadah, museum, rumah sakit, dan tempat-tempat bersejarah atau memiliki nilai
kebudayaan. Kategori ketiga – pasal 8 (2) (c) – memperluas yuridiksi atas konflik
bersenjata internasional yaitu serangan tidak manusiawi kepada warga sipil atau
orang yang sedang sakit atau prajurit yang sudah menyerah. Dan kategori keempat
– pasal 8 (2) (e)- kejahatan yang mencakup penggunaan anak-anak sebagai tentara
atau keterlibatan dalam kejahatan seksual.
C. Bentuk-Bentuk Kejahatan Perang
Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal atau dilarang
berdasarkan aturan-aturan hukum humaniter yang dilanggar atau berdasarkan
konsekuensinya bagi si pelaku. Beberapa tindakan tersebut melibatkan cara atau
metode peperangan yang dilarang (menurut “hukum Den Haag”, yaitu hukum
yang berasal dari konvensi-konvensi Den Haag thun 1899 dan 1907). Tindakan
lainnya adalah tindakan yang menyakiti orang-orang yang dilindungi yang sakit
dan terluka, korban kapal karam atau rakyat sipil (menurut “hukum jenewa”, yaitu
hukum yang berasal dari Konvensi-konvensi Jenewa).
Tindakan ilegal inilah yang akhirnya disebut suatu kejahatan perang, dimana
kejahatan perang dapat dikategorikan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

34

a)

Kejahatan perang pada jiwa dan raga, seperti pmbunuhan’ perlakuan
kejam dan penganiayaan kepada tawanan perang (termasuk
eksperimen medis); perkosaan; tindakan sengaja yang menyebabkan
penderitaan berat atau luka serius pada tubuh atau kesehatan; dan
mutilasi.

b) Kejahatan perang pada harta dan benda, seperti membakar hasil
panen; perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi;
perusakan pada kota-kota tanpa ada alasan; penghancuran tanpa
kepentingan militer; serangan atau pembombardiran terhadap kota
yang tidak dipertahankan, pemukiman, atau bangunan-bangunan;
tindakan perusakan sengaja dilakukan terhadap lembaga-lembaga
kebudayaan tertentu.
c)

Kejahatan perang pada kehormatan dan keadilan, seperti deportasi
penduduk sipil dalam wilayah yang telah diduduki; memaksa
tahanan perang atau penduduk sipil untuk masuk angkatan bersenjata
dari penguasa musuh; dengan sengaja menghilangkan hak tawanan
perang atau warga sipil yang dilindungi untuk mendapat pengadilan
reguler yang adil; dan eksekusi tanpa pengadilan.

d) Kejahatan perang pada aturan dalam peperangan, seperti berlaku
curang dalam penggunaan lambang Palang Merah Internasional;
penggunaan senjata beracun atau senjata lain yang terhitung
menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya.
Selain 4 bentuk-bentuk kejahatan perang diatas, terdapat 2 macam kejahatan
perang yaitu:

Universitas Sumatera Utara

35

A. Grave Breaches of the Geneva Conventions of 1949
Seperti yang dijabarkan sebelumnya, kejahatan perang yang merupakan grave
breaches of the Geneva Convention of 1949 mempunyai bermacam-macam
bentuk antara lain:
a. Wilful killing
Kejahatan wilful killing terjadi ketika sang korban mati sebagai hasil dari
tindakan yang dilakukan oleh pelaku, dimana tindakan tersebut dimaksudkan
untuk membunuh, atau mencederai secara serius yang dapat secara aman
diasumsikan bahwa ia paham bahwa tindakan mencederai tersebut dapat
berakibat kematian, dan tindakan yang ia lakukan ini dilakukan terhadap
orang yang dilindungi dalam Konvensi Jenewa 1949. 70 Istilah ‘wilful killing’
berasal dari keempat Konvensi Jenewa, yaitu: Pasal 50 Konvensi Jenewa I,
Pasal 51 Konvensi Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, dan Pasal 147
Konvensi Jenewa IV.
b. Torture or Inhuman treatment, including biological experiments
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan
International Criminal Tribunal for Rwanda telah mengadopsi definisi dari
kejahatan torture yang sejalan dengan Convention Against Torture (CAT)
yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut: menyebabkan penderitaan atau
sakit yang parah, dalam bentuk fisik ataupun mental, melalui suatu tindakan
atau omisi; tindakan atau omisi tersebut memang dimaksudkan (intentional);
tindakan atau omisi tersebut harus terjadi dengan maksud untuk mendapatkan
informasi atau pengakuan, atau untuk menghukum, mengintimidasi atau

70

ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez, 17 Desember 2004, par. 36

Universitas Sumatera Utara

36

memaksa korban atau pihak ketiga, atau untuk mendiskriminasi atas dasar
apapun, terhadap korban atau pihak ketiga. 71
c. Wilfully causing great suffering or serious injury to body or health
Wilfully causing great suffering or serious injury to body or health terjadi
ketika sebuah tindakan atau omisi yang dimaksudkan (intentional) yang
diarahkan kepada orang yang dilindungi di bawah Konvensi Jenewa 1949.
Tindakan ini menyebabkan penderitaan atau cedera mental atau fisik serius,
dengan tingkatan penderitaan atau cedera yang dibutuhkan untuk memenuhi
unsur dapat dibuktikan. 72
d. Extensive destruction and appropriation of property, not justified by
military necessity and carried out unlawfully and wantonly
Kejahatan ini terjadi ketika unsur-unsur umum dari Grave Breaches of
Geneva

Convention

1949

telah

terpenuhi,

yaitu

unsur

konflik

bersenjatainternasional dan nexus. Unsur-unsur berikutnya yang harus
dipenuhi adalahkerusakan berlebihan pada benda, dan kerusakan berlebihan
ini terjadi pada bendayang memiliki perlindungan di bawah Konvensi Jenewa
1949 atau kerusakanberlebihan yang terjadi tidak benar-benar dibutuhkan dan
harus dilakukan dalamoperasi militer terkait dengan benda yang terletak di
wilayah yang dikuasai. Sangpelaku bertindak dengan maksud (intent)
menghancurkan benda ini atau dengantidak hati-hati (reckless) tidak
menghiraukan kemungkinan kehancuran bendatersebut. 73
e. Compelling a prisoner of war or a civilian to serve in the forces of a
hostile power
71

ICTY, Trial Chamber, Prosecutor v. Brdjanin, 1 September 2004, par.481
ICTY, Trial Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez , 26 Februari 2001, par.245
73
ICTY, Trial Chamber, Prosecutor v. Naletilic and Martinovic, 31 Maret 2003, par.577
72

Universitas Sumatera Utara

37

Kejahatan ini terjadi ketika pelaku melakukan pemkasaan terhadap satu
orang atau lebih, melalui tindakan atau ancaman, untuk bergabung dalam
operasi militer terhadap warga negara atau pasukan negaranya sendiri, atau
dipaksa melayani dalam pasukan musuh. 74
f. Wilfully depriving a prisoner of war or a civilian of the rights of fair and
regular trial
Kejahatan ini terjadi ketika pelaku merampas hak untuk diadili secara fair dan
wajar (fair and regular trial) dari satu orang, yang dilindungi di bawah
Konvensi Jenewa 1949, atau lebih, dengan menolak jaminan yudisial seperti
yang dinyatakan dalam Konvensi Jenewa III dan IV tahun 1949. 75
g. Unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of a civilian
Unlawful deportation atau forcible transfer adalah pemindahan individu
dengan tekanan atau paksaan dari tempat tinggal mereka ke tempat yang
bukan pilihan mereka. Unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah unsur umum
dari GraveBreaches of Geneva Conventions 1949, adanya tindakan atau
omisi, yang dilakukan bukan dengan alasan keamanan dari populasi dan
bukan atas dasar kepentingan militer yang memaksa, yang membuat
perpindahan seseorang dari wilayah yang dikuasai atau dalam wilayah yang
dikuasai. Tindakan ini dilakukan dengan maksud (intent) pelaku untuk
memindahkan seseorang dari satu wilayah. Intent ini menggambarkan
keinginan dari pelaku untuk orang yang sudah berpindah tidak kembali. 76
h. Taking civilians as hostages

74

Elements of Crimes dari Statuta Roma International Criminal Court, Psl.8(2)(a)(v)
Elements of Crimes dari Statuta Roma International Criminal Court, Psl.8(2)(a)(vi)
76
ICTY, Trial Chamber, Prosecutor v. Naletilic and Martinovic, 31 Maret 2003, par.519-

75

521:

Universitas Sumatera Utara

38

Unsur penting dalam taking civilians as hostages adalah penggunaan
ancaman terhadap tahanan yang ditujukan untuk mendapatkan kepatuhan atau
mendapatkan keuntungan. Situasi penawanan terjadi ketika seseorang
menguasai atau menahan dan mengancam untuk membunuh, mencederai,
atau meneruskan penahanan dengan maksud memaksa pihak ketiga untuk
melakukan atau untuk tidak melakukan sesuatu sebagai kondisi pelepasan.
Kejahatan ini dilarang dalam Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa 1949, Pasal
34 dan 147 dari Konvensi Jenewa IV, dan Pasal 75(2)(c) Protokol Tambahan
I. 77
B. Violations of the Laws or Customs of War
Berikut ini adalah macam-macam bentuk violations of the laws or customs of
war dalam hukum humaniter internasional, antara lain:
a. Employment of poisonous weapons or other weapons calculated to cause
unnecessary suffering
Kejahatan penggunaan senjata semacam ini merupakan tindakan
penggunaan senjata yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Unsurunsur ini dapat dilihat dari Pasal 8(2)(b)(xviii-xix) Elements of Crimes dari
Statuta Roma yang memerlukan pelaku untuk menggunakan senjata yang
dilarang dan senjata yang dilarang itu menyebabkan penderitaan yang tidak
perlu, dan sang pelaku menyadari akan kemungkinan senjata tersebut akan
menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Pelaku mengetahui tindakan ini
dilakukan dalam konteks konflik bersenjata dan terdapat nexus antara
tindakan dan konflik bersenjata.78
77
78

ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Blaskic, 29 Juli 2004, par.639
ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Blaskic, 29 Juli 2004, par.639

Universitas Sumatera Utara

39

b. Wanton destruction of cities, towns or villages, or devastation not justified
by military necessity
Kejahatan ini terjadi ketika kehancuran benda terjadi dalam skala besar,
kehancuran tersebut tidak dapat dijustifikasi dengan kepentingan militer
(military necessity), dan pelaku melakukan tindakan tersebut dengan
keinginan (intent) untuk menghancurkan benda, atau secara ceroboh
(reckless) tidak menghiraukankemungkinan kehancuran dari benda tersebut.
Apabila benda tersebut terletakdalam wilayah musuh, maka benda tersebut
tidak dilindungi dalam Konvensi Jenewa 1949 dan oleh sebab itu benda
tersebut hanya dilindungi oleh Pasal 3Bersama Konvensi Jenewa 1949. 79
c.

Attack, or bombardment, by whatever means, of undefended towns,
villages, dwellings, or buildings
Pada dasarnya kejahatan ini merupakan violation of the laws or customs

of war. Oleh karena ia adalah violation of the laws or customs of war maka
seranganyang dilakukan harus merupakan suatu sarana atau cara berperang
yangmenyebabkan kematian dan/atau cedera badan yang serius dalam
populasipenduduk sipil atau memberikan kerusakan pada harta benda
penduduk sipil. 80
d.

Seizure of, destruction or wilful damage done to institutions dedicated to
religion, charity and education, the arts and sciences, historic
monuments and works of art and science

79

ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez, 17 Desember 17 2004,

80

ICTY, Trial Chamber, Prosecutor v. Simic, Tadic, and Zaric, 17 Oktober 2003, par.54

par.74

Universitas Sumatera Utara

40

Pelarangan terhadap tindakan ini berasal dari Konvensi Hague IV
1907.104 Kejahatan ini merupakan merupakan pelanggaran terhadap nilainilai terutama nilai-nilai yang dilindungi oleh masyarakat internasional.
e. Plunder of public or private property
Tindakan ini adalah semua bentuk apropriasi properti yang tidak sah
dalam konflik bersenjata yang terkait dengan tanggung jawab pidana
individu, termasuk juga apa yang disebut dengan pillage. Berdasarkan pada
Konvensi Jenewa, publicproperty dan private property tidak dibedakan. 81

81

ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez, 17 Desember 2004,

par.79,84

Universitas Sumatera Utara