JURNAL ILMIAH BAGAIMANA HOAX MEMPENGARU

JURNAL ILMIAH - BAGAIMANA HOAX MEMPENGARUHI KEJIWAAN
DAN SOSIAL MASYARAKAT
Oleh : Ilham Satria Utama
Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pasundan
Abstrak
Hoax adalah suatu kata yang pada umumnya digunakan untuk menunjukan sesuatu yang
palsu atau usaha untuk menipu orang lain supaya mereka memercayainya, padahal sudah
jelas berita itu palsu, kasus hoax biasanya mengenai klaim suatu kejadian tertentu dengan
sebutan yang berbeda dengan kejadian sebenarnya. hoax di berbagai negara erat kaitannya
dengan April Mop yang umumnya dirayakan setiap tanggal 1 April.Sejarah penggunaan kata
hoax sendiri berasal dari filsuf asal Inggris, Robert Nares. Menurut Nares, Hoax berasal dari
kata “Hocus”, yang berarti menipu. Hocus sendiri merupakan mantra sulap yang merupakan
kependekan dari “Hpcus Pocus”. Populernya kata hoax bermula sejak pemutaran film The
Hoax yang dibintangi Richard Gere pada tahun 2006. Film yang disutradarai oleh Lasse
Hallstrom yang skenarionya ditulis oleh William Wheeler ini diangkat dari sebuah buku yang
berjudul sama karya Clifford Irving. Hoax akan sangat berpengaruh pada kejiwaan
masyarakat, terutama orang-orang yang tidak kritis dan labil sehingga mudah percaya dan
merasa perlu untuk menyebarkannya, akan fatal akibatnya bila hoax tersebut dipercayai oleh
banyak orang karena akan ada pihak yang dirugikan, ketelitian dan pencarian sumber berita
menjadi hal penting dalam klarifikasi sebuah berita demi menjaga diri agar tidak mudah

tertipu oleh sesuatu yang belum jelas kebenarannya.
Kata kunci: Hoax, kejiwaan masyarakat
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, kabar hoax alias palsu
bertebaran di media social. Mulai dari soal
agama, astronomi, hingga masalah politik. Di
Indonesia, hoax paling kental adalah soal politik
yang berkaitan dengan agama. Fenomena itu
ternyata bukan hal baru. Menurut Masyarakat
Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), produksi
kabar hoax di Indonesia mulai marak sejak
pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012.
Dua tahun kemudian makin meningkat saat
pemilihan presiden. Hingga kini, jelang Pilkada
Serentak 2017, khususnya pemilihan Gubernur
DKI Jakarta.
Situs-situs hoax itu biasanya dilatari oleh dua
kepentingan, yaitu motif ekonomi untuk meraup
uang dan motif politik. Dengan hoax yang
sensasional untuk mengundang pembaca, situssitus itu berharap memanen trafik para

pengunjungnya.
Selanjutnya,
pendapatan
mengalir masuk dari pemasangan iklan,
penyebarannya di media sosial dilakukan oleh

beberapa influencer dan buzzer. Ketika beritaberita ini dibagikan dibagikan di Facebook atau
Twitter, influencer ini bisa mendorong trafik
yang luar biasa besar, mencapai ribuan atau
puluhan ribu klik. Dari segi psikologis,
masyarakat cenderung membaca berita yang
disukainya atau berasal dari tokoh yang
memiliki pandangan yang sama.
Rumusan Masalah
1. Pengertian hoax
2. Sebab terjadinya hoax
3. Dampak hoax terhadap kejiwaan
masyarakat
4. Cara bijak dalam mencegah hoax
Tujuan

1. Mengetahui pengertian hoax
2. Mengetahui penyebab terjadinya hoax
3. Mengetahui dampak buruk hoax
terhadap kejiwaan masyarakat
4. Mencari cara dalam pencegahan hoax

PEMBAHASAN
Hoax didefinisikan sebagai penyalahgunaan
informasi dengan berisikan fakta yang salah dan
dengan sengaja disebarluaskan untuk menipu
atau membohongi publik, hoax ini sudah sering
ditemukan yang utamanya setelah media sosial
menjamur. Pembaca sekaligus menjadi loper
media, turut menjajakannya di linimasa.
Korbannya pun tak pandang bulu, mulain dari
orang awam hingga kaum intelektual, fenomena
hoax tidak hanya memperlihatkan karakter
masyarakat informasi yang belum teredukasi
dengan baik. Bisa juga terjadi pada masyarakat
yang sudah teredukasi baik tetapi belum bijak

dalam menyikapi informasi, penelitian yang
dilakukan
Kementrian
Komunikasi
dan
Informatika (kemenkominfo) menunjukkan tren
mengkhawatirkan soal pengaruh berita palsu
alias hoax. Kaum intelektual dengan gelar doctor
dan professor ternyata ikut menjadi korban
berita-berita bohong tersebut. “pengaruh media
sosial memang luar biasa, tinggal dikasih foto
dan judul langsung menyebar berita hoax
tersebut. Mereka yang percaya pada kabar
tersebut sebagian besar adalah generasi transisi”,
ujar Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid (Hilmar,
2017,
from
http://www.republika.co.id/berita/koran/
halaman-1/17/01/05/ojam016-kaum-intelektualtak- kebal-hoax). Generasi transisi adalah
generasi yang semasa kecilnya belum

bersinggungan dengan teknologi dan ketika
dewasa mulai kenal dengan teknologi. Hal itu
berdasarkan penelitian yang dilakukannya
bersama dengan Kemenkominfo pada 2015.
Dari hasil penelitian tersebut, malah yang
menjadi korban berita bohong di media sosial
maupun pesan singkat penipuan malah orangorang yang mempunyai tingkat intelektualitas
yang tinggi. Anak-anak yang lahir sudah
bersinggungan dengan teknologi tidak mudah
percaya dengan kabar bohong yang beredar,
malah mereka lebih selektif karena bisa melacak
sumber berita itu dengan teknologi. Kabar
bohong tersebut kerap dimanfaatkan sebagian
orang untuk membenarkan opininya terhadap
suatu hal, mereka bukan mencari informasi,
melainkan
konfirmasi.
hoax
dianggap
mempunyai potensi memecah belah bangsa

karena suatu peristiwa yang terjadi dimanipulasi

sedemikian rupa sehingga menimbulkan
perbedaan pandangan dan biasanya menebar
kebencian karena mungkin memang itu yang
diinginkan dari para pembuatnya, ancaman
berita-berita palsu yang marak belakangan juga
diiyakan Panglima TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo. ‘Penyebab informasi dan beritaberita bohong (hoax) melalui media sosial juga
dapat menyebabkan perpecahan, membahayakan
persatuan dan kesatuan, Ke-Bhineka Tunggal
Ika-an dan munculnya radikalisme’ pembuat
hoax menyebarkan beritanya melalui media
sosial seperti Twitter, Facebook, BBM, dan WA.
Hukum yang tentang hoax pun sudah diatur
dalam pasal 28 ayat 2 UU tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan terancam dengan
hukuman 6 tahun penjara, pelaku juga terancam
denda maksimal Rp. 1 miliar.
Sebab terjadinya hoax

Para pembuat hoax biasanya dilatari dua jenis
kepentingan, yaitu motif meraup uang dan
kepentingan politik, meski masih banyak latar
belakang pembuatan hoax namun kedua motif
tersebut menjadi yang paling sering mendasari
pembuatan hoax.
- Dari kepentingan politik, hoax mulai menjadi
tren ketika adanya pihak-pihak yang terganggu
atau mulai merasa diganggu secara politik.
Gangguan ini dianggap membahayakan bagi
status quo atau keharmonisan pihak tertentu,
berita
tentang
pihak
yang
dianggap
membahayakan dibuat tidak sesuai faktanya
demi
membuat
masyarakat

kehilangan
kepercayaan pihak tersebut sehingga proses
yang diinginkan pihak pembuat hoax berjalan
tanpa hampatan dari pesaingnya.
- Dari kepentingan Ekonomi, Hoax yang
menjadi viral pada suatu situs akan dilirik iklaniklan karena dianggap sebagai ladang promosi,
satu konten berita palsu yang tayang 1.000 kali
akan dibayar US$1 atau US$0,04 per klik,
dengan kurs Rp.13.300 per dolar AS, satu berita
hoax nilainya bisa mencapai Rp.1,33 juta.
Nilainya makin bertambah seiring viralnya
berita palsu tersebut. Dalam setahun, situs-situs
seperti itu, penghasilannya bisa mencapai
hamper semiliar rupiah dalam setahun.
Salah satu situs yang ditutup Kementrian
Komunikasi dan Informatika, punya 300 ribu
kunjugan per hari. Jumlah ini setara dengan
membuat kampanye politik. Tentu ini menjadi

pendapatan yang menggiurkan sehingga berita

hoax semakin menjamur dan sulit dibendung.
Faktor lain penyebab dan tujuan pembuatan
hoax antara lain :
- Bosan
Manusia pada dasarnya mudah bosan melihat
yang itu-itu saja. Dalam peristiwa besar, berharihari orang mendapat berita yang mirip dan
serupa,
membuat
banyak yang jenuh
membacanya. Padahal, dalam pemuatan suatu
berita, media punya banyak kepentingan dan
banyak pertimbangan sebelumnya. Maka, sering
kali dalam peristiwa heboh, orang mencari berita
alternatif. Rasa ingin tahu mendapat berita yang
berbeda inilah yang menjadi salah satu pemicu
orang iseng untuk membuat berita yang berbeda
dari yang sudah ada. Apalgi sekarang, begitu
mudahnya membuat akun media sosial, maka
ketika terjadi peritiwa besar, banyak orang yang
membuat berita iseng atau hoax semaunya. Tak

pelak lagi, begitu banyak berita iseng dan
HOAX, yang disebar setiap hari. Dan untuk
membantu penyebarannya tidak mesti terikat
oleh perusahaan atau etika jurnalistik sama
sekali.
- Kepopuleran
Kepopuleran bisa membawa banyak dampak
besar bagi seseorang, pihak maupun media.
Entah bisa untuk meraup keuntungan finansial,
kepuasan, atau sekedar ingin dikenal saja. Tidak
mudah untuk bisa menjadi populer, harus punya
bakat, uang, koneksi dan lain lain. Nekat
menjadi orang gila juga salah satu cara untuk
menjadi populer. Di dunia internet sekarang,
seakan semua sudah tidak ada batas lagi. Yang
mana berita-berita luar negeri dengan mudah
bisa didapat, tanpa harus pergi ketempat
kejadian. Namun secara nyatanya kita tetap
terkendala oleh jarak dan bahasa. Jadi jarak yang
secara nyatanya sangat jauh ditempuh,

perbedaan bahasa dan kemudahan mendapat
berita luar negeri, bisa menjadi penyebab yang
membuat berita hoax semakin banyak
bertebaran. Dengan kemampuan bahasa, sedikit
edit dan mengutak atik tulisan berita luar negeri,
ditambah lagi dengan gambar gambar yang
diberi keterangan sesuai kehendak penulisnya,
maka jadilah berita hoax dianggap nyata. Untuk
yang sepaham dengan penulisnya, tentu berita
yang seperti inilah yang dinanti nanti. Dan berita
yang seperti inilah yang sekarang semakin

diminati orang. Sebuah berita alternatif yang
aneh. Maka berpijak dari situlah, mengapa
banyak orang, pihak atau media yang ingin cepat
populer dengan cara menampilkan atau
membuat berita-berita hoax. Untuk meraih
populer, mereka memang sengaja membuat
berita hoax. Mereka memang tidak malu dan
tidak perduli jika dicemooh banyak orang.
Semakin banyak orang yang baca, semakin
banyak orang yang mencemooh, yang marah,
memaki dan menghujat, justru membuat mereka
semakin senang. Mereka puas, senang karena
misinya menjadi populer sudah tercapai. Mereka
rela membayar kepopuleran dengan caci maki
dan hujatan terhadap dirinya. Hanya saja sangat
miris jika melihat mereka menggunakan berita
tentang konflik dan musibah kemanusiaan
sebagai berita hoax. Yang akhirnya bisa
mengundang konflik lain bahkan bisa memicu
kebencian sara.
- Rating
Di saat arus deras informasi, setiap saat orang
ingin secepatnya mendapat berita terkini. Maka,
ketika terjadi sebuah ledakan peristiwa,
merupakan panen raya bagi media guna
menaikan ratingnya. Sehingga media berlomba
lomba secepatnya meng-update data. Media
yang terlambat meng-update data akan segera
ditinggalkan penggunanya. Maka dalam
beberapa peristiwa, banyak media yang hanya
menampilkan beritanya cuma beberapa kalimat
saja. Jurnalis sangat paham, bahwa judul berita
membuat daya tarik yang paling besar minat
orang untuk membaca atau setidaknya mengklik.
Maka untuk menaikan rating, sering kali media
atau penulis membuat judul tulisan seheboh
mungkin, sedangkan isi tulisan jauh berbeda dari
judulnya.
Dampak hoax terhadap kejiwaan masyarakat
Hoax memiliki dampak yang massiv karena
penyebarannya yang begitu cepat, dengan
banyaknya berita palsu yang beredar tentunya
memiliki dampak terhadap kejiwaan masyarakat,
yang mana orang-orang akan merasa bahwa
dirinya sangat tahu dengan masalah yang
beredar, tetapi sebenarnya sama sekali tidak,
dalam psikologi dikenal dengan DunningKruger
effect,
yaitu suatu bias kognitif ketika seseorang yang
tidak
memiliki
kemampuan
mengalami superioritas ilusif, artinya ia merasa

kemampuannya lebih hebat daripada orang lain
pada umumnya. Bias ini diakibatkan oleh
ketidakmampuan
orang
tersebut
secara metakognitif untuk mengetahui segala
kekurangannya (Morris,1999:6) Kompetensi
yang nyata bisa melemahkan kepercayaan diri,
karena orang-orang yang kompeten bisa saja
salah mengira bahwa orang lain memiliki
pemahaman yang sama. David Dunning dan
Justin
Kruger
dari Cornell
University menyimpulkan bahwa, "kesalahan
dalam menilai orang yang inkompeten berawal
dari kesalahan menilai diri sendiri, sedangkan
kesalahan dalam menilai orang yang sangat
kompeten berawal dari kesalahan menilai orang
lain. Masyarakat menjadi percaya diri dan
merasa harus menyebarkan informasi yang
didapatnya tanpa menelusuri sumber-sumber
terpercaya, dan bila mereka diragukan maka
otomatis mereka melakukan pembelaan dengan
kabar hoax lain yang serupa. Selain itu, ada
faktor kemampuan membaca. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa berhadapan dengan internet
butuh
kemampuan
membaca
secara
komprehensif. Penelitian di Amerika Serikat
yang melibatkan 11 orang anak setingkat SD itu
menyatakan, keberhasilan menarik informasi
dari internet melalui membaca, butuh
kemampuan
kompleks.
Misalnya
butuh
pengetahuan yang diperoleh sebelumnya,
mampu menarik kesimpulan dengan argumen
yang tepat secara rasional, dan proses membaca
yang terkendali. Kemampuan-kemampuan itu,
mensyaratkan tingkat literasi yang tinggi.
Semakin rendah kemampuan literasi seseorang,
semakin sulit membedakan mana yang hoax dan
bukan.
Hal ini juga bisa dikarenakan
penggunaan teknologi yang tidak dibarengi
dengan budaya kritis melihat persoalan. "Kita itu
termasuk lima besar pengguna smartphone
dunia, tapi tingkat literasinya kedua terbawah
setelah Botswana di Afrika," ujar Septiaji
(Septiaji,
2017,
dari
http://tekno.kompas.com/read/2017/01/08/
11083377/kenapa.orang.indonesia.doyan.sebar.h
oax.di.medsos.). penyebaran hoax saat ini jauh
lebih masif lantaran didorong oleh media sosial.
Di internet, penyebar hoax merasa "aman"
karena tidak berhadapan langsung dengan pihak
lain yang dijadikan sasaran hoax. Jonah Berger,
profesor bidang marketing dari University of

Pennsylvania yang mengkhususkan diri pada
soal getok tular (word of mouth) dan pengaruh
sosial mendeteksi, pilihan konten mempengaruhi
cepatnya penyebaran sebuah konten. Berger
meneliti empat jenis muatan konten; marah,
humor, sedih, dan senang.
Hasilnya ditemukan, konten marah paling cepat
menyebar (viral). "Sama halnya saat kita marah,
kita lebih mudah berteriak," tulisnya dalam buku
bertajuk Contagious. Tak heran, konten-konten
yang memancing kemarahan mudah menyebar
dari pada konten yang memancing respons lain.
Hoax adalah hal berbahaya yang akibatnya bisa
sangat merugikan bagi pihak yang menjadi
korban, mulai dari kehilangan reputasi, materi,
bahkan juga bisa mengancam nyawa. Selain itu,
penyebaran hoax berdampak negatif bagi
masyarakat sehingga menimbulkan kekerasan,
kebingungan, rasa tidak aman, bahkan
menyebabkan konflik suku, agama, ras antar
golongan (SARA). Masyarakat menjadi pribadi
yang terlewat percaya diri dan merasa paling
benar dalam kasus yang terjadi, meski
sumbernya belum mereka telusuri. Penyebaran
hoax pun memiliki konsekuensi serius terhadap
kehidupan sosial dan politik yang mana meliki 4
poin akibat dari menyebarnya berita palsu
terseut, yaitu :
Pertama, berita bohong atau hoax sebetulnya
melanggar etika komunikasi dan secara spesifik
dalam dunia jurnalistik melanggar etika
jurnalistik. Alasannya adalah informasi yang
disebarluaskan sering tidak berdasarkan fakta
atau mendistorsi fakta (Van Dijk, 2006). Dalam
dunia jurnalisme, sebuah berita harus
menyampaikan informasi yang dapat diverifikasi
dan dibuktikan secara empiris, bukan hanya
sekedar informasi yang berdasarkan pada asumsi
pribadi penulis/wartawan yang tidak dapat
diverifikasi kebenarannya.
Kedua, peran media sosial seperti facebook dan
twitter yang sifatnya borderless (tanpa batas)
menyebabkan efek distorsi fakta/realitas oleh
hoax bisa menjangkau audiens dengan jumlah
yang sangat luas. Selain itu, semua orang bisa
menjadi
wartawan,
editor,
dan
bisa
menyebarluaskannya (share). web atau secara
umum media sosial memiliki dampak positif
dalam hal keterjangkauan informasi dan
pengetahuan yang dapat diakses oleh semua

orang selama mereka memiliki akun dan data
internet, namun di sisi lain juga memiliki dark
side (sisi buruk) yaitu penyebarluasan informasi
atau berita bohong yang dapat mempengaruhi
persepsi publik tentang sesuatu isu.
Ketiga, karena sifat berita, baik benar atau
bohong, menyediakan informasi dan sebentuk
pengetahuan kepada khalayak, maka hoax
sebagai suatu diskursus publik bisa menjadi alat
yang efektif untuk memanipulasi pikiran
(cognitive
manipulation)
publik
untuk
mempercayai sesuatu yang salah sebagai suatu
kebenaran (believing a falsity as a truth). Istilah
manipulasi kognitif sengaja diangkat sebagai
bagian dari judul artikel ini sebab inti dari
penyebarluasan hoax adalah memanipulasi dan
mengontrol pikiran pembaca yang selanjutnya
dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya.
manipulasi wacana (contonya melalui hoax)
selalu bersifat sosial, kognitif, dan diskursif.
Bersifat sosial, sebab hoax diproduksi dan
disebarluaskan dengan sengaja oleh suatu
kelompok atau aktor sosial kepada individu atau
kelompok sosial lain; bersifat kognitif karena
dapat memanipulasi pikiran audiens ; dan
bersifat diskursif karena manipulasi atau
kebohongan dikonstruksi dalam teks dan pesanpesan visual. Sifat manipulatif hoax ini
dikonstruksi dengan sengaja oleh aktor sosial
tertentu berdasarkan kepentingan ideologisnya
dan yang menjadi persoalan besar jika informasi
dalam hoax yang bersifat ideologis justru
dipahami oleh publik sebagai informasi yang
alamiah.
Keempat, efek dari manipulasi kognitif ini
adalah pikiran publik diajak untuk mengaitkan
satu isu dengan isu lain atau biasa dikenal
dengan rantai wacana dalam kajian analisis
wacana kritis. Dalam pendekatan sosio-historis,
suatu wacana di masa lampau dapat dihadirkan
kembali pada teks atau genre teks yang berbeda
dan dalam konteks yang berbeda pula (Wodak
and Reisigl, 1999). Teks-teks historis di masa
lampau bisa didaurulang dalam bentuk teks
masa kini pada waktu dan tempat yang berbeda
dengan tujuan-tujuan ideologis tertentu.
Cara bijak dalam mencegah hoax
Perdebatan yang mengemuka akibat berita hoax
makin meresahkan. Kelompok gabungan yang
menamakan dirinya sebagai Masyarakat Anti
Fitnah Indonesia (Mafindo) menjabarkan

beberapa langkah yang bisa diterapkan
pengguna internet untuk mengetahui sebuah
informasi layak dikonsumsi atau tidak. Dalam
buku panduan yang dirilis Mafindo setidaknya
ada 5 cara yang patut diperhatikan
mengantisipasi kualitas informasi.
Memeriksa ulang judul berita provokatif.
Judul berita kerap dipakai sebagai jendela untuk
mengintip keseluruhan tulisan. Namun tak
jarang hal itu dimanfaatkan para penyebar berita
palsu dengan mendistorsi judul yang provokatif
meski sama sekali tak relevan dengan isi berita.
Mafindo
menyarankan
pembaca
untuk
mengecek sumber berita lain agar informasi
yang diterima bukan hasil rekayasa.
Meneliti alamat situs web. Dewan Pers
memiliki data lengkap semua institusi pers resmi
di Indonesia. Data yang terhimpun itu bisa
digunakan oleh pembaca sebagai referensi
apakah sumber berita yang dibaca telah
memenuhi kaidah jurnalistik sesuai aturan
Dewan Pers. Cukup mengetik nama situs berita
di kolom data pers, pembaca dapat mengetahui
status media yang mereka konsumsi berdasarkan
standar Dewan Pers.
Membedakan fakta dengan opini. Mafindo
menganjurkan pembaca tidak menelan mentahmentah ucapan seorang narasumber yang dikutip
oleh situs berita. Sering kali hal itu luput dari
pembaca karena pembaca terlalu cepat
mengambil kesimpulan. Semakin banyak fakta
yang termuat di sebuah berita, makin banyak
kredibel berita itu.
Cermat membaca korelasi foto dan caption
yang provokatif. Persebaran foto provokatif
dengan imbuhan tulisan yang telah disunting.
Cara termudah menguji keabsahan informasi
dari foto yang diterima, pembaca bisa membuka
Google Images di aplikasi penjelajah lalu
menyeret foto yang dimaksud ke kolom
pencarian.
Ikut serta dalam komunitas daring.
Menurut Mafindo, setidaknya ada empat
komunitas yang getol memerangi berita palsu di
Indonesia. Keempatnya itulah yang menjelma
menjadi
Mafindo.
Dengan
model
crowdsourcing,
komunitas
itu
berusaha

menyaring dan mengklarifikasi informasi yang
meragukan kebenarannya.1
Kesimpulan
Hoax didefinisikan sebagai penyalahgunaan
informasi dengan berisikan fakta yang salah dan
dengan sengaja disebarluaskan untuk menipu
atau membohongi publik, penyebaran hoax terus
terjadi dikarenakan penyebarnya memiliki
kepentingan dari segi ekonomi maupun politik,
bahkan ada dari mereka yang menyebarkan
hoax demi memuaskan dirinya sendiri melihat
masyarakat yang dengan cerobohnya percaya
dan menyebar luaskan berita palsu tersebut
tanpa mengkaji dan menelusuri sumber berita
tersebut. Fenomena hoax tidak hanya
memperlihatkan karakter masyarakat informasi
yang belum teredukasi dengan baik. Bisa juga
terjadi pada masyarakat yang sudah teredukasi
baik tetapi belum bijak dalam menyikapi
informasi, maka dari itu korban hoax ada mulai
dari orang awam hingga kaum intelektual.
Penyebaran hoax yang sifatnya massif akan
mempengaruhi
kejiwaan
dan
perilaku
masyarakat, terutama bagi mereka yang
memiliki edukasi dalam mengolah berita yang
rendah. Untuk menangkis banyaknya kabar
bohong tersebut, perlu dilakukan literasi media.
Perlu
disebarkan
pengetahuan
kepada
masyarakat untuk memilah mana yang berita
palsu dan yang bukan serta situs yang
memberitakannya kredibel atau tidak. Bila
terdeteksi hoax, masyarakat bisa melaporkan
kepada kelompok yang menghimpun hoax agar
penyebarannya tidak terus berlanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Rochmi, Muhammad Nur. 2016. Kenapa hoax
mudah tersebar. Diakses tanggal 4 Januari 2017.
https://beritagar.id/artikel/berita/kenapa-hoaxmudah-tersebar
Eko, Muhammad Firman. 2016. Berita hoax,
mesin pencetak uang dan kegaduhan. Diakses
tanggal
4
Januari
2017
1 http://www.cnnindonesia.com/teknologi /201612012
00807-185-176705/lima-cara-antisipasi-berita-hoax-dimedia-sosial/ diakses 5 januari 2017

http://Katadata.Co.Id/Telaah/2016/12/15/SitusBerita-Hoax-Mesin-Pencetak-Uang-DanKegaduhan/1
Agung, Bintoro. 2016. Lima Cara Antisipasi
Berita Hoax di Media Sosial. Diakses tangga 4
Januari
2017
http://www.cnnindonesia.com/teknologi/201612
01200807-185-176705/lima-cara-antisipasiberita-hoax-di-media-sosial/
Agung, Bintoro. 2016. Cara mudah mengenali
situs Hoax. Diakses tangga 4 Januari 2017
http://www.cnnindonesia.com/teknologi/201612
14171142-185-179610/cara-mudah-mengenalisitus-hoax/
Lee, chris. 2016. Revisiting why incompetents
think they’re awesome. Diakses tangga 5 Januari
2017.
http://arstechnica.com/science/2016/11/revisitin
g-why-incompetents-think-theyre-awesome/
Zamzami, Fitriyan. 2017. Kaum Intelektual tak
kebal Hoax. Diakses tangga 5 Januari 2017
http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman
-1/17/01/05/ojam016-kaum-intelektual-takkebal-hoax
Antara, Agregasi. 2017. Pengaruh medsos,
Profesor dan Doktor pun percaya berita hoax.
Diakses pada tanggal 5 Januari 2017.
http://news.okezone.com/amp/2017/01/04/65/15
83195/pengaruh-medsos-profesor-dan-doktorpun-percaya-berita-hoax
Morris, Errol (20 June 2010). "The
Anosognosic's Dilemma: Something's Wrong but
You'll Never Know What It Is (Part 1)". New
York Times. Diakses tanggal 4 Januari 2017.
Kruger, Justin; David Dunning (1999).
"Unskilled and Unaware of It: How Difficulties
in Recognizing One's Own Incompetence Lead
to Inflated Self-Assessments". Journal of
Personality and Social Psychology 77 (6): 1121–
34
Reyssent, Mike. 2015. Dilema berita hoax.
Diakses
tanggal
5
Januari
2017

http://www.kompasiana.com/mikereys/dilemaberita-hoax_565b94361fafbd9a23436fd6