Reformulasi Pendidikan Sains pada Pergur
Kata Pengantar
Prof. Dr. H. Ishak abdulhak, MPd.
(Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia)
P seorang guru. Dalam bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan pasal
endidikan profesi guru menjadi hal yang strategis dikaitkan dengan semangat peningkatan bidang pendidikan di Indonesia. Undang- Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 menggarisbawahi tugas strategis
39 ayat 2 disebutkan bahwa ”pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.
Sejak keluarnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi calon guru semakin di tuntut dan keberadaannya semakin kuat karena guru di posisikan oleh pemerintah sebagai tenaga profesional. Dalam ayat 4 Undang-Undang No. 14 tahun 2005 Bab I tentang Ketentuan Umum dijelaskan bahwa yang dimaksud profesional adalah ”pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”. Pekerjaan profesional guru dalam Undang-Undang No. 14 tahun
iii
Kata Pengantar Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, MPd
2005 pada Bab I tentang Ketentuan Umum ayat 1 dideinisikan sebagai ”... pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”
Jauh sebelum lahirnya UU No. 14 tahun 2005, dalam rangka memenuhi tuntutan profesional seperti yang dituntut undang-undang di atas, ISPI (Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / h.III / Desember 2004) pernah membahas dan menentukan perlunya hal-hal berikut : a) standar profesionalitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, b) hierarki profesional kependidikan, c) persyaratan pendidikan pra-jabatan profesional tenaga pendidik berderajat profesional, d) standar pendidikan profesional tenaga kependidikan, e) sertiikasi profesional tenaga kependidikan. Dengan demikian kebijakan profesionalisme guru merupakan respon yang telah lama di baca oleh pemerintah berdasarkan desakan atas pentingnya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia agar dapat lebih bersaing (competitive) dan bersanding (comparative).
Dalam kajian-kajian mutakhir, pendidikan guru mulai digiring ke arah apa yang di sebut oleh Cranton, dkk (2004) sebagai authentic ield based paedagogy. Dalam hal ini Cranton mendeinisikan authentic sebagai “the cluster of values related to self-awareness and bringing that self into teaching, understanding of learners and out relationship with them, a positioning of ourselves within a context and taking stance on issues and norms in the workplace and in our social world, and inally, engaging in critical relection on each of these components” (sekumpulan nilai berkaitan dengan kesadaran diri yang terbawa dalam proses pengajaran, pemahaman siswa serta hubungan dengan mereka, memposisikan diri kita dalam sebuah kontek dan bersatu terhadap isu-isu dan norma-norma di dalam tempat kerja dan lingkungan sosial kita, akhirnya terlibat dalam releksi kritis atas masing-masing komponen). Menjadi otentik adalah adalah kesadaran terhadap self, other, relationship dan context melalui critical relection (Cranton, dkk. 2004).
Menjadi otentik berarti menjadi pemilik keotonomian diri sendiri (self- authorship). Dalam konteks pendidikan guru menjadi seseorang yang memiliki self-authorship berarti harus memenuhi tiga prinsip pedagogik (paedagogical principles); a) kemampuan mendukung pembelajar sebagai orang yang tahu (learner are validated as “knower”), b) proses pembelajaran disituasikan
iv
Kata Pengantar Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, MPd
didalam pengalaman mereka (learning is situated within their experience), c) belajar itu sendiri dikonseptualisasikan sebagai pembentukan pengetahuan secara timbal balik (learning itself is conceptualized as mutually constructing knowledge) (Kreber, dkk. 2007).
Sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pembinaan profesi guru selayaknya di tangani secara serius dan menjadi tanggungjawab seluruh stakeholder pendidikan. Tanggung jawab paling besar peningkatan profesionalisme guru terutama berada di perguruan tinggi penyelenggara pendidikan guru atau LPTK termasuk didalamnya Fakultas Tarbiyah yang dikelola oleh PTAIN/ PTAIS yang mempersiapkan calon guru profesional yang menguasai materi kependidikan dan keguruan serta materi bidang studi. Penguasaan terhadap kompetensi kependidikan dan keguruan serta kompetensi bidang studi yang diampu oleh setiap calon guru profesional menuntut penyediaan kurikulum dan pembelajaran serta sistem penilaian yang betul-betul mampu mengukur tingkat keberhasilan proses pendidikan calon guru.
Saya bergembira karena dalam sejumlah pertemuan akademik dengan Mahasiswa S3 UPI Program Studi Pengembangan Kurikulum, yang memiliki ikatan batin sangat kuat dengan pengembangan Fakultas Tarbiyah IAIN telah muncul suatu kesadaran pentingnya revitalisasi peran Fakultas Tarbiyah dalam mempersiapkan calon guru. Di sebut revitalisasi karena Fakultas Tarbiyah dalam pemahaman teman-teman ini mesti memiliki paradigma yang transformatif dalam upaya mempersiapkan calon pendidik Islam. Temen- temen dari IAIN ini mulai digerogiti semangat darlingisme (mengacu kepada Linda Darling-Hammond) terutama bukunya “Preparing Teacher For A Changing World”.
Tidak mudah untuk melakukan diseminasi gagasan-gagasan transformatif dalam pendidikan guru, namun demikian keberanian saudara Muslihudin dan kawan-kawan untuk mendiskusikannya dalam suasana keterbukaan dan keramahan akademik Universitas Pendidikan Indonesia pada Mata Kuliah Pengembangan dan Manajemen Kurikulum Pendidikan Tenaga Kependidikan yang saya asuh patut diapresiasi selayaknya. Tentu saja upaya ini hanyalah salah satu dari sekian usaha dengan pendekatan yang bersifat akademik untuk melengkapai berbagai ikhtiar lain yang sedang digarap oleh sejumlah pakar.
Keistimewaan dari upaya saudara Muslihudin dan kawan-kawan adalah mencoba menangkap dan menampilkan suasana kebatinan Fakultas
Kata Pengantar Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, MPd
Tarbiyah IAIN yang dituangkan dalam pemikiran kritis serta pemahaman mutakhir. Saudara Muslihudin dan kawan-kawan mengistilahkannya dengan ‘menyiapkan guru berkarakter’. Istilah ini mencoba menggambarkan upaya untuk menampakan sesuatu yang selama ini masih tersembunyi berupa; nilai, ethos, teori atau ajaran menjadi membatin (being) dan artikulatif dalam pribadi seorang guru, atau boleh jadi di inspirasi oleh bukunya Linda Darling Hammond, “Preparing Teachers”.
Betapapun buku ini masih belum sempurna, namun upaya yang telah dirintis oleh kawan-kawan Mahasiswa Program Studi Pengembangan Kurikulum dapat menjadi inspirasi awal dan menjadi amal shalih. Amiin.
Bandung, 31 Januari 2011
vi
Daftar ISI
Kata Pengantar Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, MPd — v
Daftar ISI — vii Kata Pengantar
Quo Vadis Pendidikan Guru Di Indonesia? — ix
Bagian Pertama PenDIDIKan gUrU DI InDOneSIa; Analisis Filosois dan Historis
Pendidik Dan Calon Pendidik Dalam Islam — 17 Critical Review Penyelenggaraan LPtk. — 29 Pendidikan Guru Sekolah Dasar — 61 Pendidikan Guru SmP Dan Sma Di Indonesia; Historical Review — 77 Profesionalisme keguruan — 91
Bagian Kedua PengeMBangan KUrIKULUM PenDIDIKan gUrU; Pendekatan dan Model
Pendidikan Profesi Guru — 103 Pengelolaan kurikulum Ptk — 135 kurikulum Pendidikan tenaga kependikan — 155 Pengembangan kurikulum LPtk — 175 Prosedur Pengembangan kurikulum tenaga kependidikan — 191
vii
Datar Isi
model kurikulum Pendidikan tenaga kependikan — 225 Cbte / Pbte; Pendidikan Guru berbasis kompetensi/kinerja — 243 kontruksi Penyelenggaraan Calon Guru PaI — 267 Reformulasi Pendidikan Sains Pada PtaI — 285
Bagian Ketiga SertIfIKaSI gUrU
Sertiikasi Guru meningkatkan kualitas kompetensi dan mutu Saku — 315
InDeKS — 339
viii
Kata Pengantar Quo Vadis Pendidikan guru Di Indonesia?
P menempati posisi menentukan dalam keberhasilan pendidikan (Gopinathan,
endidikan guru telah menarik perhatian berbagai kalangan sejak lama. Hal ini tidak terlepas dari semakin meluasnya kesadaran mengenai strategisnya pendidikan guru terkait dengan kualitas pendidikan. Guru
2006) . Penelitian di berbagai negara mengenai peningkatan kualitas pendidikan, menunjukkan kontribusi guru menentukan keberhasilan pendidikan
mencapai lebih dari 32% (Fatah, 2001: 32). Posisi guru menjadi semakin penting dalam konteks pendidikan di negara berkembang. Di negara maju, kontribusi peran guru terhadap prestasi peserta didik tidaklah sebesar yang terjadi di negara berkembang. Supriadi (1998; 75), merangkum hasil penelitian mengenai kualitas pendidikan selama dua dasawarsa terakhir menyimpulkan, di negara berkembang, pengaruh faktor sekolah dan kualitas guru terhadap prestasi belajar lebih besar dibandingkan dengan pengaruh faktor tersebut di negara maju. Hal ini disebabkan karena negara berkembang, pengaruh latar belakang keluarga terhadap prestasi belajar lebih kecil dibandingkan dengan pengaruh faktor tersebut di negara maju (Supriadi, 1998; 75). Di negara maju, ketersediaan fasilitas pembelajaran yang lebih lengkap dan dukungan iklim pembelajaran lebih kondusif.
Dalam upaya pembenahan pendidikan, pembinaan serius terhadap guru menjadi hal yang perlu diperhatikan. Apabila pemerintah benar-benar
ix
Menyiapkan Guru Berkarakter
ingin melihat terjadinya peningkatan kualitas pendidikan pada semua jenis dan jenjangnya, perhatian yang lebih besar untuk menambah wawasan dan keterampilan guru mutlak diperlukan. Guru dan pendidikan guru merupakan dua hal yang tidak mungkin dipisahkan. Keberadaannya ibarat dua keping mata uang, yang ketidaan salah satu sisinya, menjadikan sisi lain menjadi tidak bernilai. Mengharapkan guru yang berkualitas, dengan mengabaikan pembenahan-pembenahan yang diperlukan dalam pendidikan guru hanya akan memperbesar kekecewaan dalam dunia pendidikan. Karenanya, membahas pendidikan tanpa memberikan ruang proporsional terhadap kedudukan guru dan persiapannya, dapat dipandang sebagai sebuah sudut pandang yang pincang. Sebab, pilihan menjadi guru menuntut sejumlah kompetensi yang tidak dicapai secara alamiah semata. Terlebih dengan menguatnya tuntutan profesionalisasi guru, keberadaan lembaga pendidikan guru sebagai salah satu simpul strategis perlu mendapat perhatian dalam kerangka pikir reformasi pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan guru, menjadi prasyarat penting dalam mempersiapkan guru yang memenuhi persyaratan yang diperlukan (Madya, 2007). Dapat diungkapkan, Indonesia memiliki 2.783.21 guru yang tersebar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (termasuk SLB, MI, MTs, dan MA). Dari jumlah itu, sebagian besar (1.739.484 guru atau 62, 50%) berlatar pendidikan di bawah S-1. dari jumlah tersebut, 25, 95% masih berpendidikan SLTA (Fachrudin; 2009; 17)
Profesionalisasi guru merupakan imperatif yang menuntut tindakan nyata. Tuntutan profesionalisasi guru, sebagaimana diamanahkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah No. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan harus mendapat perhatian yang serius. Undang-undang Sisdiknas, Bab XI yang mengatur mengenai Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 39 ayat (2) menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (Depag, 2008). Selain itu, d alam landasan-landasan yuridis tersebut, diungkapkan bahwa guru sebagai jabatan profesional menuntut terpenuhinya kualiikasi akademik dan sejumlah kompetensi lainnya. Adapun kompetensi yang diinginkan meliputi, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
Ka t a Pe n g a n t a r
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Depag, 2008; 6). Sehubungan dengan hal tersebut, Soedijarto (2008: 5) mengungkapkan;
Lahirnya UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya bagian tentang guru adalah suatu pembaharuan pendidikan guru yang revolusioner. Melalui UU ini jabatan guru secara resmi didudukkan sebagai jabatan professional. Mungkin ada yang bertanya “Apakah jabatan guru selama ini belum berstatus jabatan professional? Dalam pengertian “Profesi sebagai pekerjaan/jabatan yang memerlukan “Advanced Education and Special Training”, selama ini pekerjaan guru sesungguhnya belum berstatus sebagai jabatan professional .
Sebagai jabatan professional, guru dituntut memiliki persyaratan profesional. Seorang pakar pendidikan guru yang telah menulis puluhan artikel dan sejumlah buku mengenai praktik pendidikan guru di berbagai negara, Linda-Darling Hammond, menyatakan bahwa diperlukan setidaknya tiga unsur kunci yang dapat dijadikan indikator guru profesional yang mampu menjawab tantangan masa depan; kompetensi terhadap disiplin ilmu, kemampuan menguasai pola interaksi dengan peserta didik, serta kemampuan paedagogis yang menyangkut pemahaman terhadap kompleksitas pengajaran (2006; 304). Secara sederhana, hal tersebut dalam dilihat dalam desain grais berikut ini;
Sumber: Hammond (2006; 307) Dengan demikian, tuntutan profesionalisme guru menuntut adanya
langkah nyata dari lembaga pendidikan. Diperlukan strategi yang terukur dan sistematis, sehingga ke depan polemik mengenai rendahnya kualitas pendidikan tidak lagi hanya sekedar menjadi wacana diskusi dalam seminar dan lokakarya.
xi
Menyiapkan Guru Berkarakter
Tetapi memicu kalangan LPTK merumuskan rencana dan program yang tepat guna. Kesadaran mengenai pentingnya guru berkualitas, menuntut perhatian pada keberadaan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Sebab, kualitas profesional guru, salah satu faktor determinannya terkait persiapan yang diterimanya. Dengan kata lain, pendidikan calon guru memainkan peran strategis dan menentukan dalam lulusan yang akan menjalankan tugas sebagai pendidik. Tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan tenaga kependidikan memerlukan solusi-solusi cerdas, sehingga mampu berperan dalam perbaikan citra dan kualitas pendidikan nasional. Dengan kompleksitas persoalan tersebut, rekonseptualisasi LPTK menjadi penting dilakukan. Tanpa perubahan yang serius secara paradigmatik dan praktik, maka LPTK hanya akan menjadi bagian dari masalah pendidikan, dan bukan menjadi bagian dari penyelesaian carut-marut pendidikan nasional.
Kebijakan pendidikan nasional, khususnya terkait peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru masih mengindikasikan sejumlah persoalan serius. Data dan fakta di lapangan yang kerap disajikan media massa menunjukkan langkah-langkah pembenahan kualitas guru di tanah air belum menunjukkan perubahan signiikan. Paradigma pendidikan guru yang lebih diorientasikan pada kuantitas, belum dibarengi secara berimbang dengan tekanan pada kualitas. Meningkatnya jumlah lembaga pendidikan tenaga kependidikan tidak berjalan seiring dengan kualitas lulusan yang mempunyai kompetensi dan dedikasi yang diperlukan. Akibatnya, kualitas pembelajaran, yang pada gilirannya menyebabkan kualitas pendidikan di tanah air masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain; baik secara regional dan internasional. Pada sisi lain, faktor yang kurang mendapat perhatian para pengambil kebijakan yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan berkaitan dengan perhatian terhadap nasib guru. Meskipun dalam berbagai pertemuan formal para pejabat mendengung-dengungkan posisi sentral guru dalam menunjang keberhasilan pendidikan, tetapi dalam kenyataannya langkah konkrit dalam pemberdayaan guru masih menyisakan tanda tanya besar. Sebagai contoh, hingga saat ini kejelasan nasib ribuan guru kontrak yang tersebar diseluruh Kabupaten/Kota yang sering tertunda gajinya, menjadi contoh nyata perhatian pemerintah terhadap problematika yang dihadapi guru.
Kesejahteraan guru seakan telah menjadi hal klasik dalam diskursus pendidikan di Indonesia. Tantangan dan tugas berat yang diemban guru dalam mengemban tugas mulianya sepertinya belum mampu membuka
xii
Ka t a Pe n g a n t a r
mata hati para pengambil kebijakan untuk memberikan penghargaan yang setimpal. Sangatlah tepat, Iwan Fals melukiskan kegalauan hatinya dalam lirik lagunya, Oemar Bakri yang menyatakan, nasib guru seakan dikebiri, sehingga profesi ini lebih banyak makan hati. Dengan kata lain, guru dituntut untuk bekerja secara maksimal dalam mempersiapkan generasi muda, tetapi pada saat bersamaan tuntutan guru untuk peningkatan taraf hidup yang lebih layak kurang mendapat perhatian semestinya. Padahal secara jujur harus diakui, tingkat kesejahteran yang rendah berkorelasi positif dengan kinerja guru dalam mendidik (Zamroni, 2001).
Tulisan-tulisan yang di kumpulkan dalam buku ini merupakan salah satu wujud kepedulian mengenai langkah-langkah yang diperlukan dalam pembenahan pendidikan tenaga kependidikan di tanah air. Tinjauannya mencakup kilas balik perjalanan sejarah pendidikan guru, dan sejumlah kebijakan yang diterapkan. Pandangan-pandangan kritis yang terdapat dalam paparan-paran yang disajikan sejumlah penulis, merupakan bagian dari kepedulian untuk mencari solusi terhadap problematika pendidikan tenaga kependidikan di tanah air. Selamat membaca.
[Muslihudin & Al Musanna]
Daftar Pustaka
Hammond, Linda Darling, (2006). “Constructing 21 st Century Teacher Education” dalam Journal of Teacher Education, Vol. 57, No. 3. Fachruddin, Fuad (2008). “Guru, Sertiikasi dan Mutu Pendidikan” dalam
Media Indonesia, edisi Senin, 11 Mai 2009. Gopinathan,(2006). “Challenging the Paradigm: Notes on Developing an
Indigenized Teacher Education Curriculum” dalam Improving School Journal Volume 9 Number 3. Pp. 261–272
Soedijarto (2008). “Pendidikan Guru Masa Depan Yang Bermakna Bagi Peningkatan Mutu Pendidikan” dalam www.ispi-banyumas.blogspot.com. [on line] di akses tanggal 12 Juni 2009
xiii
Menyiapkan Guru Berkarakter
Buchori, Mochtar (2007). Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool Sampai ke IKIP: 1852-1998. Yogyakarta: Insist Press.
Departemen Pendidikan Nasional (2008). Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru. Jakarta: Depdiknas
Departemen Agama (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depag
Departemen Agama (2006). Undang-Undang Nomor 14 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depag
Nanang Fatah, Analisis Biaya dan Manajemen Pendidikan, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001).
Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, cet. I, (Yogyakarta: Adi Cita, 1998)
Madya, Suwarsih, Ed. (2007). Reforming Teacher: Towards Educational Quality and Equality. Jakarta: Ministry of National Education
xiv xiv
A. Pendahuluan
Sains dideinisikan sebagai pengembangan dan sistematisasi dari ilmu pengetahuan positif yang berkaitan dengan alam semesta (Encyclopaedia of Knowledge, 1993). Sedangkan secara umum, Lord Rutherford mendeinisikan Sains sebagai “apa-apa yang dilakukan oleh para ilmuwan”. Dalam perkembangannya kemudian, sains sulit dilepaskan dari pertumbuhan peradaban barat. Sains modern telah berkembang dan matang dalam lingkungan barat. Sebagai produk kebudayaan dan tradisi intelektual barat, sains modern jelas berkiblat ke barat. (Sardar, 1985).
Pandangan-pandangan homas S. Kuhn, seorang ilosof sains, dalam bukunya he Structure of Scientiic Revolutions (1960) memiliki dampak langsung dan luar biasa pada pemikiran kontemporer, membuat seluruh generasi ilmuwan barat meninjau kembali disiplin ilmu mereka. Gagasan terpenting yang dikembangkan oleh Kuhn adalah konsep sebuah paradigma yang menolak deinisi tertentu. Sekalipun demikian, ia bisa diambil sebagai model teoretis dasar yang diterima kalangan luas yang mendukung cabang sains tertentu atau sub-cabangnya. Satu hal terpenting yang dilakukan Kuhn adalah membawa konsep nilai ke dalam tubuh sains (Butt, 1996).
Karya homas Kuhn dan para kritikus sains lainnya memberi pengaruh terhadap para ilmuwan dan cendekiawan muslim untuk memasukkan semangat nilai-nilai Islam sebagai pandangan dunia dan peradaban Islam ke dalam sains. Salah satu gagasan alternatif sains Islam terhadap sains barat adalah seperti yang pernah diajukan oleh Sayid Hossein Nasr dalam he Encounter
Menyiapkan Guru Berkarakter
of Man and Nature (1968). Dia mengajukan hal itu karena memandang isi dan penerapan sains barat telah terpisah dari ilmu pengetahuan wahyu akibat dari proses sekularisasi, sehingga seluruh rangkaian sains menjadi salah dan teramat berbahaya. Berkaitan dengan perlunya merekonstruksi sains dan membentuk apa yang disebut dengan sains Islam, diungkapkan oleh Sardar (1996) dalam kutipan berikut :
"Kita membutuhkan sains Islam karena kaum muslimin merupakan komunitas yang selalu diwajibkan untuk “menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran” sekaligus untuk menunjukkan bahwa sains dapat menjadi kekuatan positif di dalam masyarakat. Kita membutuhkan sains Islam karena kebutuhan-kebutuhan, prioritas-prioritas dan perhatian masyarakat- masyarakat muslim berbeda dari apa yang dimiliki oleh peradaban barat. Akhirnya kita membutuhkan sains Islam karena suatu peradaban tidak akan sempurna tanpa memiliki suatu sistem objektif untuk memecahkan masalah yang terkerangka sesuai dengan paradigmanya sendiri. Tanpa sains Islam masyarkat muslim hanya akan menjadi bagian dari kebudayaan dan peradaban barat. Singkatnya, kita tidak akan memiliki masa depan yang jelas tanpa sains Islam."
Adapun pendidikan sains ditujukan untuk mengembangkan pemahaman tentang sains, baik dari kandungan isi maupun metode atau proses yang dilakukan untuk menghasilkan kandungan sains tersebut. Satu tujuan penting dalam pendidikan sains adalah pemahaman tentang interaksi antara sains, teknologi, dan masyarakat. (Encyclopaedia of Knowledge, 1993). Pendidikan sains yang sesuai dengan perspektif Islam harus dimulai dan memiliki pandangan kosmos yang qurani sebagai latar belakang di setiap jenjang pendidikannya. (Nasr, 1987).
Berkenaan dengan Perguruan Tinggi Islam, Sardar (1996) mengemukakan bahwa hampir semua intelektual muslim menganggap bahwa konsep Islam mengenai ilmu pengetahuan, ‘ilm, harus membentuk basis struktur teoritis dan institusional dari sebuah universitas Islam. Yang membuat sebuah universitas bersifat Islami adalah kenyataan bahwa ia didasarkan pada gagasan Islam yang sesungguhnya mengenai ilmu pengetahuan, yakni memadukan pencarian ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai, menggabungkan pengetahuan faktual dengan concern metaisik, dan memajukan suatu wawasan mengenai sintesis yang seimbang dan sejati. Kenyataannya, model-model universitas sebagaimana ditawarkan oleh Bilgram dan Ashraf (1985) pasca Konferensi Pendidikan Islam Internasional di Mekkah, 1977, dalam praksisnya justru masih menghasilkan
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
gambaran yang dikotomis tentang dunia, tidak jauh berbeda dengan model universitas barat. Dalam masa sekarang, universitas-universitas Islam hanya baru merupakan model-model eksperimental yang harus dipahami dalam fase formatif.
Diharapkan hasil kajian ini akan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dasar bagi pengembangan pendidikan sains di PTAIN dan IAIN serta perguruan tinggi Islam sejenis di Indonesia.
B. Hakikat Sains
Untuk membahas hakikat sains, diperlukan sebuah kajian kritis yang tentunya akan membawa konsekuensi pada cara pandang manusia dalam menanggapi dan menghayati sains. Cara pandang yang sempit tentang sains akan mempengaruhi warna yang diberikan kepada para siswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran sains. Terlepas dari materi apa yang diajarkan, model pendidikan dan pembelajaran sains akan sangat dipengaruhi oleh persepsi para pendidik tentang sains itu sendiri.
Untuk membahas hakikat sains, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, sehingga para memungkinkan para pendidik untuk memahami pengertian sains secara lebih luas. 1
1. Sains sebagai kumpulan pengetahuan Sebagai kumpulan pengetahuan, sains mengacu pada berbagai konsepsi
sains yang sangat luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai pengetahuan yang terkini dan terbaru. Pengetahuan tersebut berupa fakta, konsep, teori dan generalisasi yang menjelaskan tentang alam semesta.
2. Sains sebagai suatu proses penelusuran ( investigasi) Sebagai suatu proses penelusuran, sains pada umumnya merupakan suatu
pandangan yang Menghubungkan gambaran sains yang berhubungan erat dengan kegiatan laboratorium beserta perangkatnya. Sains dipandang sebagai suatu displin ilmu yang ketat dari kegiatan pengamatan, inferensi, hipotesis dan percobaan tentang alam semesta.
3. Sains sebagai kumpulan nilai Sebagai kumpulan nilai, sains berhubungan erat dengan penekanan sains
1 R. Rohandi, Memberdayakan Anak melalui Penddikan Sains, dalam Sumaji, Pendidikan Sains Yang Humanitis, Penerbit Kanisius. Jakarta. 1998. hal. 113-115
Menyiapkan Guru Berkarakter
sebagai proses. Bagaimanapun juga, pandangan ini menekankan pada aspek nilai ilmiah yang melekat dalam sains, termasuk di dalamnya nilai kejujuran, rasa ingin tahu (curiousity), dan keterbukaan akan berbagai fenomena yang baru sekalipun
4. Sains sebagai cara untuk mengenal dunia Proses sains dipengaruhi oleh cara manusia memahami kehidupan dan
dunia di sekitarnya. Dalam konteks ini, Sains dipahami sebagai salah satu cara manusia mengerti dan memberi makna pada dunia di sekitar mereka. Diyakini, bahwa sains merupakan hal sangat penting dan karenanya dipandang sebagai suuatu cara untuk memahami alams emesta. Namun demikian, disadari pula bahwa sians memiliki keterbatasan sebagai suatu keumpulan pengetahuan dan strategi untuk memahami dunia secara komprehensif.
5. Sains sebagai Institusi Sosial Sains seharusnya dipandang dalam pengertian sebagai kumpulan para
profesional dan ilmuwan, dimana para melalui sains para ilmuwan dilatih dan diberi penghargaan akan karya yang dihasilkannya, didanai, dan diatur dalam masyarakat, dikaitkan dengan unsur pemerintah, bahkan dipengaruhi dalam politik. Kenyataannya, saat ini banyak para ilmuwan mengembangkan sains berkaitan dengan kepentingan negara ataupun tendensi tertentu.
6. Sains sebagai Hasil Konstruksi Manusia Pandangan ini menunjuk pada pengertian bahwa sains sebenarnya
merupakan penemuan dari suatu kebenaran ilmiah mengenai hakikat alam semesta yang tidak lain merupakan akumulasi kebenaran yang diperoleh. Hal pokok dalam pandangan ini adalah sains merupakan kontruksi pemikiran manusia, yang karenanya apa yang dihasilkan bisa jadi memiliki sifat bias dan sementara.
7. Sains sebagai Bagian dari Kehidupan Sehari-hari Manusia menyadari bahwa apa yang dipakai dan digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sangat dipengaruhi oleh sains. Hal ini tidak semata-mata dalam wujud produk teknologi sebagai hasil dari metode ilmiah dalam sains, tetapi juga berupa bagaimana cara manusia berpikir mengenai situasi sehari-hari yang sangat kuat dipengaruhi oleh pendekatan ilmiah.
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
C. Kritik terhadap Sains Modern dan Urgensi Sains Islam
Memang benar bahwa Barat telah memperoleh kemajuan yang sangat besar baik di bidang sains maupun teknologi, menurut terminologi mereka, sejak mereka memisahkan aspek metaisik dari pemikiran dan kehidupan mereka. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan sains dan teknologi tersebut diikuti pula oleh berbagai dampak negatif yang semakin besar manakala kehilangan ikatan aspek metaisiknya. Dalam pandangan Ziauddin Sardar, sebagian besar sains modern yang ada sekarang ini menyebar karena dominasi Barat di bidang ini, dan tumbuh dengan akar budaya, illusi, etos atau sistem nilai Barat, maka mudahlah dipahami bahwa sains modern atau sains Barat tidak mungkin bersifat universal, netral dan bebas nilai. Dalam kerangka ini, sains seringkali dikembangkan untuk mengejar keuntungan dan jumlah produksi, untuk pengembangan militer dan perlengkapan- perlengkapan perang, serta untuk dominasi suatu ras manusia terhadap ras lainnya, sebagaiman juga untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam semesta. Sejauh mana sains modern bersifat universal, tidak netral, dan bebas nilai, para ilmuwan muslim sendiri masih memiliki keragaman pendapat.
Sementara itu, Sayid Hossein Nasr memandang bahwa isi dan penerapan sains barat telah terpisah dari ilmu pengetahuan wahyu akibat dari proses sekularisasi, sehingga seluruh rangkaian sains menjadi salah dan teramat berbahaya. Naquib Al-Attas mengidentiikasikan nilai-nilai zaman pencerahan (Renaissance) sebagai nilai-nilai dari sains dan teknologi modern. Dia mengakui bahwa Islam pada tahap awal evolusinya telah memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap sains dan teknologi Barat, “tetapi ilmu pengetahuan dan semangat ilmiahnya yang rasional telah disusun dan dibentuk kembali untuk disesuaikan dengan wadah peradaban Barat sehingga ia mengalami peleburan dan amalgamasi dengan semua elemen-elemen lain yang membentuk karakater dan personalitas peradaban Barat. 2 Karenanya, Sardar memandang perlu untuk merekontruksi sains dan membentuk apa yang disebut dengan sains Islam.
D. Pro dan Kontra Seputar Sains Islam dan Islamisasi Sains
Dalam majalah Nature (vol. 282/22, 1979), Ziauddin Sardar melaporkan hasil perjalanannya ke delapan negara muslim (Tunisia, Mesir, Turki, Syiria, Arab Saudi, Pakistan, dan Malaysia) yang dipilihnya sebagai negara kunci
2 Sardar, Jihad Intelektual, Risalah Gusti, Jakarta. 2000. hal. 124-125
Menyiapkan Guru Berkarakter
yang mewakili pendapat dan sikap ilmuwan-ilmuwan muslim di dunia Islam terhadap sains modern dan teknologi modern. Sardar mengklasiikasikan pendapat tersebut menjadi empat pandangan dan sikap yang membentuk suatu spektrum luas sikap ilmuwan muslim terhadap sains modern. 3
Pandangan yang pertama, menganggap sains itu bersifat universal, netral dan bebas nilai, karenanya hanya ada satu sains. Pandangan ini sebenarnya merupakan pandangan yang dominan di kalangan ilmuwan Barat dan juga para ilmuwan Tunisia yang diwakili oleh Ali El-Hilli. Bahkan El-Hilli mengungkap, “Kita tidak dapat mengkompromikan rasionalitas dasar dari sains dengan urusan-urusan keagamaan. Jika kita kompromikan obyektivitas dan netralitas sains dengan nilai-nilai dan etika Islam, maka kita akan menghancurkan landasan terdasar dari sains itu sendiri. Pandangan ini juga dianut oleh sebagian ilmuwan di Mesir, Syiria dan Turki
Pandangan kedua, banyak dianut di Iran dan di Arab Saudi, seperti diungkap oleh Abdulah Umar Nassef, “Sains sekarang adalah sains Barat yang tumbuh dengan akar-akar budaya, etos, ilusi dan nilai-nilai Barat. Karenanya, harus direkontruksi dengan sains Islami. Dalam Islam, Sains harus tunduk di bawah tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan umat Islam adalah mempererat persaudaraan, mengurangi konsumsi dan meningkatkan kesadaran spiritual”. Jelas bahwa pendapat ini menghendaki Islamisasi Sains bukan saja pada tujuan Sains tetapi juga landasan ilosoisnya.. Karenanya, Waqar S. Hussaini mengungkapkan bahwa “sains Islami tidak dapat dipisahkan secara ontologis maupun etimologis dari konsep Islam tentang Tuhan. Sains Islam adalah sains untuk ummat dan bekerja di dalam parameter-parameter konsep Islam tentang maslahat dan memajukan serta menjaga “Dhoruriyyat al Khomsah”.
Diantara kedua kutub pendapat di atas terdapat dua pendapat lain. Pendapat Ketiga, misalnya seperti diungkap dari Ali Kattani, “Sains Islam tidak berbeda secara radikal terhadap sains Barat. Hanya saja prioritas riset dan penekanannya berbeda sehingga baik kuantitas maupun kualitas isinya juga berbeda. Begitu pula tujuan-tujuan pemakaiannya.”
Pandangan Keempat, merupakan pandangan ilmuwan Pakistan dan Malaysia yang menganggap isi sains bersifat bersifat universal, tetapi penerapannya harus untuk tujuan-tujuan Islami.
Di samping itu, terdapat pula pandangan lain yang pada prinsipnya lebih menitikberatkan pada sains natural (sains alam), seperti diungkap oleh Maurice
3 Nurhadi, Krisis Metafisik Sains Modern. Makalah Seminar " Islamisasi Sains dan Ilmu Pengetahuan. t.t.
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
Bucaille. 4 Ia beranggapan bahwa sains modern sekarang ini sudah Islami justru karena unversalitasnya. Buktinya, banyak penemuan-penemuan sains modern
sudah diisyaratkan oleh Al Qur’an. Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat spektrum sudut pandang yang
cukup luas dimulai dari universalisme sains yang konservatif, pandangan Islamisasi moderat yang tidak menganggap perlu Islamisasi ilsafat sains, universalisme liberal yang mengizinkan Islamisasi tujuan penerapan sains, dan akhirnya baik tujuan maupun landasan ilsafatnya perlu diislamisasikan, serta paham Bucaillisme yang lebih menitikberatkan pembuktian sains dengan Al Qur’an.
E. Paradigma Sains Islam
Sains Islam, menurut Sardar, sebagaimana dibuktikan oleh sejarahnya, jelas-jelas berusaha untuk menjunjung dan mengembangkan nilai-nilai dari pandangan dunia dan peradaban Islam, tidak seperti sains Barat yang berusaha untuk mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai. Ciri yang unik dari sains Islam berasal dari penekanannya pada kesatuan agama dan sains, pengetahuan dan nilai-nilai, isika dan metaisika. Sedangkan menurut Osman Bakar, kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber semangat ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan.
Dalam pandangan Islam, cakupan sains tidaklah terbatas pada aspek material yang bertebaran di jagat raya, sebagaimana pandangan Barat selama ini. Islam memberikan ruang lingkup yang lebih luas terhadap sains yang meliputi tiga aspek. Pertama, aspek metaisik yang dibawa oleh wahyu. Aspek ini menjawab pertanyaan-pertanyaan abadi yang selalu muncul dalam jiwa manusia, yaitu dari mana, ke mana, dan bagaimana. Dengan memahami jawaban pertanyaan-pertanyaan ini menjadikan manusia tahu akan dirinya, tahu perjalanan dan misinya, dan tahu pula akan Tuhannya. Menurut Islam, ilmu inilah yang menempati tempat tertinggi. Kedua, aspek humaniora, dan studi-studi yang berkaitan dengannya, meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Ketiga, aspek material, yang mencakup ilmu matematika dan ilmu alam, ilmu Falak, kedokteran, teknik, dan lain-lain. Tegasnya segala ilmu yang dibangun di atas observasi dan
4 Pandangan ini dikenal dengan Bucaillisme, dimana upaya utama dari pandangan ini adalah membuktikan kemukjizatan Al Qur’an secara ilmiah, seperti terdapat pada karya utamanya Bible, Qur’an dan Sains Modern
Menyiapkan Guru Berkarakter
eksperimen. Ketiga aspek ini, menurut Islam tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena disinilah letak kekuatan dan kesatuan ilmu dalam Islam seperti diisyaratkan Al Qur’an dalam surat Fusshilat ayat 53 berikut :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.”
Dalam upaya mendeinisikan nilai-nilai pijakan sains Islam, sebuah seminar tentang “Science and Values” telah dilaksanakan pada September 1981 di Stockholm. Para peserta seminar merekomendasikan bahwa realisasi kontemporer dari sains Islam harus didasari oleh kerangka nilai yang merupakan karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan Islam. Kerangka nilai tersebut terdiri atas sepeuluh konsep islami yang secara bersama-sama membentuk kerangka nilai Islam. Kesepuluh nilai tersebut adalah Tauhid, Khilafah, Ibadah, ‘Ilm, Halal dan Haram, ‘Adl (keadilan sosial), Zhulm (kezaliman), Istishlah (kemaslahatan umum), dan Dhiya’ (kecerobohan), yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut : 5
Tauhid Khilafah ibadah 'ILM
Tauhid Tauhid Khilafah
Khilafah ibadah
ibadah
Sebuah deinisi mengenai sains Islam kini bisa diformulasikan dalam terma kerangka nilai-nilai Qur’ani. Paradigma-paradigma sains Islam adalah konsep- konsep Tauhid, khilafah, ibadah. D idalam paradigma-paradigma ini, sains islam bekerja melalui perantaraan ‘ilm untuk memajukan keadilan sosial (‘adl) dan kepentingan umum (istishlah). Oleh karena itu, sains Islam bertanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan cara dalam mencari ilmu pengetahuan; memperhatikan relevansi
5 Butt, op.cit. hal. 71
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
sosial dalam pencarian maupun penerapan ilmu pengetahuan; serta menolak netralitas ilmu pengetahuan obyektif. Berbeda dengan sains Barat yang berupaya memperkembangkan nilai-nilai kebudayaan Barat dan peradaban Barat, sains Islam mengembangkan nilai-nilai pandangan dunia Islam.
Dari deinisi mengenai Sains Islam di atas, dapatlah dilihat bahwa tidak semua sains Barat berada di luar kerangka nilai-nilai Islam. Sebagai contoh, dapat diungkap bahwa gagasan tentang teknologi tepat guna, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya energi yang dapat diperbaharui, semuanya cukup sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan sains Islam. Lebih dari itu, semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk memajukan keadilan sosial dan kemaslahatan, seperti misalnya penelitian kedokteran untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan manusia, penelitian dan pengembangan pertanian untuk menanggulangi kelaparan dunia, konservasi alam dan lingkungan, serta upaya-upaya untuk mengantisipasi dampak negatif teknologi, secara otomatis akan membentuk sebagian dari sains Islam. 6
F. Perbandingan Sains Barat dan Sains Islam
Untuk memperjelas gambaran tentang Sains Islam, menarik untuk diungkap upaya komparasi yang dilakukan oleh Sardar, seperti terdapat pada tabel berikut : 7
Sains Barat Sains Islam
1 Percaya pada Rasionalitas Percaya pada Wahyu
2 Sains untuk Sains Sains adalah sarana untuk mendapatkan keridloan Allah sebagai bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan so- sial
3 Satu-satunya metode, cara Banyak metode, berlandaskan akal dan untuk mengetahui realitas
wahyu
4 Netralitas emosional sebagai Komitmen emosional sangat penting prasyarat kunci menggapai untuk mengangkat usaha sains spiritual rasionalitas
maupun sosial
5 Tidak memihak; seorang il- Pemihakan pada Kebenaran: sebagai muwan harus peduli hanya bentuk ibadah, ilmuwan harus peduli pada produk pengetahuan pada produk dan akibat dari penemuan- baru
nya
6 Sardar, op.cit, hal. 130 7 Sardar, Exploration in Islamic Science, 95-97, sebagaimana dikutip dari Butt, hal. 73-77
Menyiapkan Guru Berkarakter
6 Tidak adanya bias : validitas Adanya subjektivitas: arah sains diben- pernyataan-pernyataan sains tuk oleh criteria subjektivas: validatas hanya tergantung pada bukti suatu pernyataan sains bergantung baik penerapannya, dan bukan pada bukti-bukti pelaksanaanya mau- ilmuwan yang menjalankan- pun pada tujuan dan pandangan orang nya
yang menjalankannya; pengakuan pil- ihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.
7 Penggantungan pendapat : Menguji pendapat : pernyataan- pernyataan-pernyataan sains pernyataan sains selalu dibuat atas dasar hanya dibuat atas dasar bukti bukti yang tidak meyakinkan; menjadi yang meyakinkan
seorang ilmuwan adalah menjadi se- orang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meya- kinkan sehingga ketika bukti yang meya- kinkan dikumpulkan barangkali terlam- bat untuk mengantisipasi akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang.
8 Reduksionisme : cara yang Sintesis : cara yang dominan meningkat- dominan untuk mencapai kan kemajuan sains; termasuk sintesis kemajuan sains
sains dan nilai-nilai.
9 Fragmentasi : sains adalah Holistik : sains adalah sebuah aktivitas sebuah aktivitas yang ter- yang terlalu rumit yang dibagi ke dalam lalu rumit, karenanya harus lapisan yang lebih kecil; ia adalah pema- dibagi ke dalam disiplin dan haman interdisipliner dan holistik. sub disiplin
10 Universalisme : meskipun Universalisme : buah sains adalah bagi sains itu universal, namun seluruh umat manusia dan ilmu penge- hanya bagi mereka yang tahuan dan kebijaksanaan tidak dapat mampu membelinya, dengan ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak demikian bersifat memihak bermoral.
11 Individualisme : ilmuwan Orientasi masyarakat : penggalian sains harus menjaga jarak dengan adalah kewajiban masyarakat (fardu permasalahn sosial, politik kifayah), baik ilmuwan atau masyarakat dan ideologis
memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya independensi antara keduanya.
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
12 Netralitas : sains adalah ne- Orientasi nilai : seperti halnya aktivitas tral
manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat.
13 Loyalitas kelompok : hasil Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya : pengetahuan baru melalui hasil pengetahuan baru merupakan cara penelitian merupakan ak- memahami ayat-ayat Tuhan dan harus tivitas terpenting dan perlu diarahkan untuk meningkatkan kualitas dijunjung tinggi
ciptaan-Nya : manusia, hutan dan ling- kungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan karenanya harus didukung sebagai tindakan umum, bukan usaha golongan tertentu.
14 Kebebasan absolut : setiap Manajemen sains merupakan sumber pengekangan atau pengua- yang tidak terhingga nilainya: tidak saan penelitian sains harus boleh dibu-ang-buang dan digunakan dilawan
untuk tindak kejahatan; ia harus dikelola dan direnca-nakan dengan baik dan har- us dipaksa oleh nilai etika dan moral.
15 Tujuan Membenarkan Sara- Tujuan tidak membenarkan sarana : tidak na : karena penelitian ilmiah ada perbedaan antara tujuan dan sarana adalah mulia dan penting sains : keduanya semestinya diperboleh- bagi kesejahteraan manusia kan (halal), yakni, dalam batas-batas secara keseluruhan, maka etika dan moralitas. pemanfaatan seluruh sarana dibenarkan demi penelitian sains
G. Hakikat Pendidikan Sains
Sains dari aspek dan epistemologi, dideinisikan sebagai “Suatu deretan konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksprementasikan lebih lanjut”. Sebagai disiplin ilmu, sains diidentikkan dengan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang terediri atas physical sciences dan life sciences. Termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi, mineralogi, meteorologi, dan isika. Sedangkan life sciences meliputi biologi, zoologi, dan isiologi. Hal ini sejalan dengan pendeinisian yang diberikan dalam Encyclopaedia of Knowledge, 1993, dimana Sains / IPA dideinisikan sebagai pengembangan dan sistematisasi dari ilmu pengetahuan
Menyiapkan Guru Berkarakter
positif yang berkaitan dengan alam semesta. Perkembangan IPA ditunjukkan tidak hanya oleh kumpulan fakta saja, melainkan juga oleh timbulnya metode ilmiah (scientiic method) dan sikap ilmiah (scientiic attitude). 8
Sementara itu, A.N. Whitehead menyatakan bahwa sains dibentuk karena pertemuan dua orde pengalaman, yaitu orde observasi yang dididasarkan pada hasil observasi terhadap gejala/fakta alam, dan orde konsepsional yang didasarkan pada konsep manusia mengenai alam semesta. 9
Dengan demikian, Sains berupaya membangkitkan minat manusia agar mau menigkatkan kecerdasan dan pemahaman tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak habis-habisnya, yang pada akhirnya akan memperdekat rentang jarak antara sains dengan teknologi sebagai terapannya.
Pendidikan Sains tentunya berbeda dengan sains itu sendiri, tetapi memiliki hubungan yang sangat erat. Bila Sains ditujukan untuk mengembangkan Sains itu sendiri, tetapi pendidikan sains ditujukan agar manusia mengerti dan mengembangkan atau mengembangkan aplikasi dari sains. Lain halnya dengan para saintis (ilmuwan), para praktisi dalam pendidikan sains dituntut harus memperhatikan aspek-aspek psikologis, sosial dan kultural.. 10
Meskipun pendidikan sains seringkali disamakan dengan pengajaran sains, namun pendidikan sains dapat dibedakan lebih jauh dari pengajaran sains. Dalam pengajaran sains, para siswa terutama dilatih untuk memahami hubungan antar (dan peran masing-masing) peubah dalam gejala dan peristiwa alam, serta kondisi yang perlu bagi terjadi atau tidak terjadinya gejala itu melalui mekanisme tertentu. Sementara itu, pendidikan sains lebih ditujukan memberikan kearifan, menanamkan rasa tanggung jawab dan mendewasakan pertimbangan serta sikap moral etis. Dengan demikian, pendidikan sains lebih menitik beratkan pada pada aspek afektif, dan pengajaran sains lebih terfokus pada segi-segi kognitif dan psikomotorik.. 11
Dalam kaitannya dengan disiplin ilmu, sains (dan matematika) dapat dinyatakan memiliki daerah bersama (irisan) dengan ilmu-ilmu lain dimana,
8 Abu Su’ud, 1993. Peranan Program MKDU dalam Upaya Memadukan Konsep-konsep IPA dan IPS di Perguruan Tinggi. Mimbar Pendidikan. No. 4/XII. IKIP Bandung. Bandung. hal. 18-19
9 Sumaji, Dimensi Pendidikan IPA dan Pengembangannya sebagai Disiplin Ilmu dalam Sumaji, dkk. Pendidikan Yang Humanitis, Kanisius, . Jakarta, 1998. hal. 31-32
10 Y. Marpaung,. Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains. dalam Sumaji, Pendidikan Sains Yang Humanitis, 1998. hal.248-249
11 Liek Wilardjo, Secercah Pandangan tentang Pengajaran Sains, dalam Sumaji, Pendidikan Yang Humanitis, hal. 50-53
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
sains itu sendiri merupakan disiplin pokok yang berkaitan erat dengannya. Pendidikan sains tidak dapat terlepas dari psikologi, pedagogi, epistemologi, sosiologi, antropologi, bahasa dan lain-lain.. 12 Hubungan erat antar disiplin ilmu sebagaimana dimaksud tersebut, dapat dilukiskan seperti pada diagram berikut:
Sains PENDIDIKAN
Psikologi Pedagogi
SAINS dll.
Gambar 1. Hubungan antara Pendidikan Sains dengan Disiplin ilmu lain
Keterkaitan erat antara Sains dengan didiplin ilmu lainnya dalam Pendidikan Sains, berimplikasi pada pengembangannya sebagai disiplin ilmu yang relatif masih berkembang ini. Dimensi Pendidikan Sains, dengan sendirinya, sekurang-kurangnya mengandung unsur atau nilai sosial budaya, etika moral dan agama. 13
H. Beberapa Prinsip Dasar Pendidikan Sains Islam
Sebagaimana bidang keilmuan lainnya, pengembangan Pendidikan Sains juga dapat dilakukan dengan memperhatikan perspektif Islam tentang Pendidikan dan Sains. Sebagai acuan dasar bagi pengembangan Pendidikan
12 Y. Marpaung, Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains. dalam Sumaji dkk, Pendidikan Sains Yang Humanitis, hal. 248-249
13 Sumaji, op.cit. hal. 37-39
Menyiapkan Guru Berkarakter
Sains dalam perspektif Islam tersebut, Nasim Butt mengajukan 3 prinsip dasar sebagai berikut : 14
1. Iman dan Nilai dalam Pendidikan Sains Iman dan nilai tidak dapat diabaikan begitu saja, dan sudah semestinya