Model Pendidikan Sains di Perguruan Tinggi Agama Islam
I. Model Pendidikan Sains di Perguruan Tinggi Agama Islam
Upaya untuk mencari model yang tepat bagi Pendidikan Sains tidak terlepas dari keberadaannya sebagai suatu sistem pendidikan yang mencakup ruang lingkup yang luas pula. Sistem Pendidikan dimaksud, dapat digambarkan dalam bagan sederhana sebagaimana terlihat pada gambar 2. 16
Masukan Alat (Instrumental
Input )
Masukan
Hasil Akhir Mentah
Proses Pen -
(Ulimate Out- (Raw Input)
didikan
Hasil Langsung
Gambar 2. Pendidikan sebagai Sebuah Sistem
Dari bagan tersebut, yang dimaksud dengan Masukan mentah (raw input) adalah peserta didik, yaitu mahasiswa (peserta didik). Masukan alat (instrumental input) terdiri atas unsur-unsur seperti : a) tujuan pendidikan;
b) kerangka, tujuan dan materi kurikulum ; c) fasilitas dan media pendidikan ;
16 Diadopsi dari Sumaji, Dimensi Pendidikan IPA dan Dimensi Pengembangannya Sebagai Disiplin Ilmu dalam Sumaji dkk, Pendidikan Sains Yang Humanitis, hal.40
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
d) sistem administrasi; e) sistem penyampaian; f) tenaga pengajar (pendidik);
g) sistem evaluasi ; h) bimbingan dan penyuluhan. Adapun lingkungan terdiri atas lingkungan ekologi dan masyarakat (termasuk lingkungan keluarga) yang dapat mempengaruhi proses pendidikan. Sementara itu, proses pendidikan sendiri dimaksudkan sebagai proses interaksi antar unsur masukan untuk mencapai tujuan pendidikan. Adapun hasil langsung pendidikan (intermediate outcome) adalah perilaku (behaviour) peserta didik setelah mereka mengalami proses pendidikan. Sedangkan hasil akhir pendidikan (ultimate outcome) adalah perilaku peserta didik setelah mereka terjun dalam kehidupan masyarakat luas (termasuk melanjutkan sekolah) sebagai hasil dari proses pendidikan.
Berkenaan dengan bagan sistem pendidikan diatas, upaya perbaikan dan pembaharuan dapat lebih dilakukan dengan memperhatikan masukan instrumental dan proses pendidikan yang berlangsung. Untuk itu, dalam hal upaya pembenahan terhadap model pendidikan sains yang saat ini telah berlangsung, perlu dilakukan rekonstruksi dan reformulasi untuk memperoleh hasil yang optimal. Pembenahan tersebut, dalam kaitannya dengan masukan mentah diantaranya meliputi reorientasi visi, misi dan tujuan pendidikan sains; reformulasi kurikulum pendidikan sains yang telah ada; reorientasi tenaga pendidik dan pengajar sains; serta peningkatan fasilitas dan saran pendidikan sains. Pembenahan pada aspek instrumental input tersebut diimbangi dengan pembenahan pada proses pendidikan dan pembelajaran sains yang dilakukan.
1. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Sains Visi, Misi, dan Tujuan dari sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam sudah
seharusnya dijabarkan menjadi Visi, Misi dan Tujuan bagi setiap Jurusan dan Program Studi yang ada di bawah naungannya. Dalam hal penentuan Visi, Misi dan Tujuan dari pendidikan sains pada STAIN dan IAIN, seperti Pendidikan IPA Biologi pada IAIN Syekh Nurjati Cirebon, harus mempertimbangkan kedudukan dan kekhasan dari institusi pendidikan dimaksud. Kedudukan sebagai Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) meniscayakan adanya pengentalan dan pengokohan nilai dan prinsip-prinsip dasar Islam. Sedangkan keberadaan program Pendidikan Sains pada Jurusan ataupun Fakultas Tarbiyah, mencirikan kekhasan sebagai salah insititusi pengemban fungsi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang diharapkan dapat menghasilkan tenaga pendidik dan pengembang pendidikan.
Menyiapkan Guru Berkarakter
Filosoi VISI
MISI
TUJUAN KURIKULUM
Gambar 3. Hubungan antara Visi Pendidikan Sains dengan Kurikulum Sains
Visi sebuah lembaga pendidikan adalah bayangan atau prognosa untuk melihat ke depan berdasarkan pada kondisi waktu dan ruang di mana insitutusi tersebut berada, termasuk masyarakat akademisnya, sekarang berada. Visi hendaklah menggambarkan cita-cita yang tinggi sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki, serta keterbatasan dan kenyataan yang ada. Kontekstualitas visi akan mengarahkan rencana dan strategi, serta mewarnai misi dan norma yang dianut, untuk menghadapi tantangan masa depan secara realistis. Visi yang dicanangkan hendaknya menggambarkan keunggulan dan kemajuan yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu, mengandung landasan nilai ataupun norma yang mewarnainya, yang nantinya akan dijabarkan ke dalam misi, strategi pencapaiannya baik secara taktis maupun operasional.
Tujuan pengajaran akan mempengaruhi kandungan dari bahan pengajaran dan juga metode yang akan digunakan. Secara garis besar terdapat tiga aspek yang saling bergantian mendapat penekanan pada pengajaran sains. Penetapan tujuan pada program Pendidikan Sains pada PTAIN, hendaknya tetap mengacu upaya penyeimbangan aspek teoretis, yaitu menekankan pada struktur keilmuan; terapan, yaitu menekankan pada sains dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari; dan kontekstual, menekankan pada sejarah perkembangan dan implikasi kultural dari sains.
Penyesuaian tujuan, sebagaimana visi 17 dan misi, dengan kekhasan lembaga pendidikan yang berlandaskan Islam dimungkinkan, mengingat bahwa tujuan
setiap lembaga pendidikan tersebut bervariasi sesuai dengan kondisi sosial
17 Secara umum, Komaruddin Hidayat mencanangkan Visi STAIN 2010 : “Think Globally but Act Locally”. Ajuan tentang visi ini dapat dilihat pada Visi STAIN 2010, PERTA Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam Vol. IV/
No.01/2001, hal. 4-10
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
masyarakat yang melingkupinya. 18 Hal ini sejalan pula dengan ajuan K. Hidayat (2001) agar masing-masing PTAIN merumuskan visi dan misinya secara jelas
sesuai dengan kebutuhan intern dan ekstern masyarakatnya. 19
2. Kurikulum Pendidikan Sains Sebagai contoh kasus berkaitan dengan kurikulum pendidikan sains
pada Perguruan Tinggi Agama Islam, dapat diajukan dari Kurikulum yang sekarang diberlakukan seperti terdapat pada Program Studi Pendidikan IPA- Biologi pada Jurusan Tarbiyah STAIN Cirebon, 20 sebagaimana terlampir pada lampiran 1 dan 2. Kurikulum yang diberlakukan tersebut masih memerlukan penyempurnaan, terutama berkaitan dengan upaya mengintegrasikan nilai- nilai Islam secara sistematis dan upaya memanusiawikan sains dalam proses pembelajaran.
Dalam hal penyempurnaan kurikulum pendidikan sains ini, perlu memperhatikan banyak faktor. Menurut Anderson (1992), sebagaimana dikutip oleh Djohar, 21 reformasi kurikulum mencakup : 1) pengembangan materi pelajaran; 2) identiikasi pendekatan instruksional terhadap materi baru tersebut; 3) implementasi proses pembelajaran dari materi baru dan pendekatan baru ini dalam praktek yang dapat dipertahankan keberlangsungannya; 4) penilaian ketepatan reformasi kurikulum itu dengan kehidupan sosial. Oleh karena itu, mempersoalkan kurikulum tidak hanya terbatas pada persoalan perubahan materi ajar saja, tetapi melibatkan permasalahan yang kompleks. Karenanya, setiap perubahan kurikulum harus didasarkan pada hasil penelitian dan kajian yang memadai.
Berkaitan dengan Penentuan dan Pengembangan Kurikulum, Konsorsium Ilmu Pendidikan membagi unsur-unsur pendidikan pra jabatan guru ke dalam empat unsur sebagai berikut : 22
a. Umum; yang berlaku bagi setiap program studi di jenjang pendidikan (mata kuliah dasar umum – MKDU)
18 John Nellist & B. Nicholl, The ASE Science Teacher’s Handbook, Hutchinson, hal. 4 19 Ditbibperta, Visi STAIN 2010, PERTA Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam Vol. IV/No.01/2001, hal. 4 20 Kurikulum yang sekarang digunakan pada Program Studi IPA Biologi, Jurusan tarbiyah STAIN Cirebon
dikutip dari dengan Pedoman Pendidikan STAIN Cirebon, berdasarkan SK Ketua STAIn Cirebon No. STA.5/ PP.00.9/114/2001
21 Djohar, Reformasi Pendidikan Sains. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains. No. 1-2/ I. FPMIPA IKIP Yogyakarta. Yogyakarta 1996, hal. 64,
22 B. Soehendro, Fungsi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Menjelang Tahun 2020, Mimbar Pendidikan No. 1/XV/1996
Menyiapkan Guru Berkarakter
a. Bidang ilmu sebagai bahan ajar (mata kuliah keahlian bidang studi – MKK bidang studi), yang dalam hal ini adalah bidang ilmu sains
b. Pemahaman mendalam atas peserta didik (mata kuliah dasar kependidikan – MKDK kependidikan)
c. Teori dan keterampilan keguruan (mata kuliah keahlian keguruan – MKK keguruan) Dalam implementasinya pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK), B. Soehendro (1996) mengungkapkan bahwa kurikulum pendidikan tersebut dapat dilakukan secara bersusun ataupun integratif. Kurikulum Pendidikan secara bersusun dapat dimulai dengan unsur b (MKK bidang studi), yaitu pendidikan bidang ilmu murni, dalam hal ini adalah bidang ilmu sains sebagai core curriculum, dan setelah selesai dilanjutkan dengan komponen (a), (c), dan (d), yang berarti mirip dengan pendidikan akta mengajar. Sedangkan pada Kurikulum Pendidikan integratif, keempat unsur diajarkan secara serentak.
Berbeda dengan model pelaksanaan kurukulum di atas, P.S. Akbar (1992) justru menyarankan agar mata kuliah dasar (baik MKDU dan MKDK) diberikan pada tahun pertama (semester I dan II), sedangkan mata kuliah keahlian bidang studi diberikan pada semester III sampai dengan semester VIII. 23 Berdasarkan unjuk kerja lulusan LPTK di lapangan selama ini, dari keempat unsur tersebut, yang lebih mendesak memerlukan perbaikan adalah MKK (baik itu MKK bidang studi dan MKK keguruan), yaitu penguasaan bidang ilmu (baca : sains sebagai kurikulum inti) dan pemahaman proses pembelajaran sebagai untuk menjadi guru nantinya. Perlu dipertimbangkan agar penguasaan bidang ilmu yang dimiliki lulusan program pendidikan sains setara dengan minimal
6 semester program sarjana, kalaupun belum memungkinkan disetarakan penguasaan ilmu bidang studi sainsnya dengan program sarjana sains (FMIPA). Karenanya, proporsi yang memadai bagi MKK bidang studi (sains) yang setara dengan program 6 semester tersebut adalah sekitar 80 % atau 100 – 110 SKS. 24
Dalam upaya untuk memperkuat landasan nilai dan iman-Islami pada kurikulum yang dibentuk, dan sekaligus untuk memenuhi kekhasannya sebagai PTAI, maka bidang studi keIslaman dapat ditempatkan sebagai MKDU dan MKDK. Menurut hemat penulis, termasuk ke dalam MKDU dan MKDK tersebut adalah mata kuliah yang diorientasikan pada upaya Islamisasi Ilmu
23 PS. Akbar, Prospektif Pendidikan Guru : Dalam Pemikiran dan Praktek, Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan No. 59/XIV/1992
24 B. Soehendro, op.cit. hal. 29-30
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
Pengetahuan dan Sains. Hal ini dapat dipandang merupakan bagian dari upaya mengintegrasikan kurikulum tersebut dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus sebagai pengantar untuk memahami Islamisasi Sains.
Adapun untuk memasukkan unsur humaniora dan memanusiawikan sains, perlu diperhatikan 3 prinsip utama, yaitu : 1) dalam proses pendidikan, pengembangan pikiran dan hati harus berjalan bersama; 2) peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan; dan 3) dalam proses pendidikan harus ada kerja sama erat antara pendidik dan peserta didik serta antara teori dan praktek. 25 Dalam pandangan penulis, sebagian dari prinsip memanusiawikan pengajaran sains (terutama prinsip pertama dan kedua) dapat sekaligus dicapai dengan dimasukkannya nilai-nilai dan iman-Islami dalam kurikulum sains. Di samping itu, pengembangan segi-segi manusiawi dalam pengajaran sains juga dapat ditempuh dengan pembahasan sejarah perkembangan suatu konsep sains, yang di dalamnya terungkap pergulatan perjuangan para ilmuwan dalam usaha mengungkap misteri alam semesta. 26 Dalam konteks ini, pengenalan akan ilmuwan-ilmuwan muslim dan prestasi prestasi ilmiah yang berhasil mereka capai akan membantu para peserta didik memahami pergulatan para ilmuwan muslim dalam sains di masa kejayaannya.
Sebagai pelengkap, muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah dimana PTAIN tersebut berada, dapat dirancang sekaligus sebagai bagian dari pendekatan S-T-M (Sains-Teknologi-Masyarakat).
3. Pendidik dan Pengajar Sains Dalam masyarakat industri modern sekarang ini, dibutuhkan sosok
para pendidik yang menguasai sains dan teknologi dan sekaligus sosok personiikasi moral dan keyakinan agama. Dia adalah gabungan ciri-ciri seorang profesioanl, saintis, ulama dan mungkin pula seniman. 27 Perubahan pandangan yang dirasa penting dari setiap pendidik sains dewasa ini adalah agar para pendidik berusaha mengetahui hal-hal yang dibutuhkan peserta didik untuk dipelajari, agar setelah berlangsungnya proses pembelajaran betul- betul dirasakan manfaatnya bagi peserta didik tersebut. Hal ini tidaklah berarti bahwa struktur keilmuan sains tidak diperhatikan sama sekali, akan tetapi perlu dilakukan penelaahan dan pemilihan kedalaman pembahasan konsep-
25 T. Sarkim, op.cit, hal. 128-129 26 ibid, hal. 142 27 PS. Akbar, 1992. Prospektif Pendidikan Guru : Dalam Pemikiran dan Praktek. Media Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan. No. 59/XIV. IKIP Surabaya. Surabaya, hal. 73
Menyiapkan Guru Berkarakter
konsep yang tercantum dalam kurikulum. 28 Untuk itu, para pendidik sains harus mampu melihat jauh ke depan dalam merancang program pengajaran
agar dapat memenuhi tuntutan masa depan. 29 Apabila peningkatan kualitas pembelajaran sains hendak dijadikan
sebagai prioritas, maka kualitas tenaga pendidik menjadi faktor penentu bagi berlangsungnya upaya tersebut. Dalam rangka peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan menghadapi era millennium ketiga sekarang ini, Komite Reformasi Pendidikan merekomendasikan agar para pendidik di perguruan tinggi minimal memiliki ijazah S-2. 30 Rekomendasi tersebut sesungguhnya telah banyak disuarakan oleh banyak kalangan. Sebelumnya B. Soehendro (1996) telah menyarankan agar para pendidik tersebut mengikuti program pasca sarjana di PT non LPTK ataupun pelatihan-pelatihan khusus yang setara. Diharapkan jumlah dosen dengan kualiikasi tersebut mencapai 60 % dari tenaga pendidik yang ada sesuai dengan proporsi MKK bidang studi. Bila mengacu pada Visi besar STAIN 2010 yang dicanangkan oleh Komaruddin Hidayat (2001), dimana salah satu modal minimal yang harus dimiliki, dimiliki kualiikasi tenaga pengajar dosen dipatok tanpa kompromi : harus S-3, sementara S-2 hanya menjadi asisten dosen, maka hal ini menjadi tantangan yang sangat berat untuk diupayakan, namun harus terus diupayakan. 31 Kualiikasi maksimal seperti ini, sesungguhnya telah sejak l971 direkomendasikan oleh USAID sebagai hasil survey tentang Pendidikan Sains di Indonesia, dimana dalam jangka panjang harus diupayakan
25 % dari pengajar sains memiliki kualiikasi Ph.D. 32 Disamping itu, dalam upaya peningkatan profesionalisme perlu diikuti
dengan peningkatan kemampuan mengenal lapangan lebih baik. Sebagai staf pengajar pada program studi pendidikan di LPTK, diperlukan agar senantiasa mengikuti perkembangan permasalahan pendidikan sains yang ada di sekolah- sekolah dan madrasah. Dalam kaitan ini, B. Soehendro (1996) menyarankan agar setiap tenaga dosen di LPTK memiliki pengalaman mengajar di sekolah, ataupun bila memungkinkan, secara berkala ditugaskan untuk memperbaharui pengetahuan dalam pengenalan lapangan ke berbagai sekolah. 33 Tentunya, upaya peningkatan profesionalisme sebagaimana disebutkan di atas sudah seharusnya ditunjang oleh peningkatan kesejahteraan yang memadai.
28 Anna Poedjidadi, op.cit, hal. 59 29 M. Nur, op.cit, hal. 11 30 Komite Reformasi Pendidikan, op.cit, hal. 21 31 Ditbinperta, Visi STAIN 2010, PERTA Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam Vol. IV/No.01/2001, hal. 4 32 USAID, Summary Report Indonesian Science Education Survey 1971, hal. 39
33 B. Soehendro, op.cit, hal. 31
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
4. Proses Pembelajaran Sains Sebagai ujung tombak utama keberhasilan pendidikan terletak pada proses
pembelajaran yang berlangsung, dimana pilar utamanya adalah terletak pada cara para pendidik mengajar. Interpretasi terhadap sains sangat tergantung pada cara pendidik mengajar sains, yang berarti melekat dengan cara peserta didik belajar sains. Dagher dan Cossman (1992) pernah melakukan penelitian tentang cara verbal pengajar mengajar sains, dan diperoleh sepuluh macam cara, yakni (1) Analogik, (2) Anthropomorik, (3) Fungsional, (4) Genetik, (5) Mekanik, (6) Metaisik, (7) Praktis, (8) rasional, (9) Tautologik, dan (10) Teleologik. Masing-masing cara verbal mengajar sains tersebut akan menentukan masing- masing proil bagaimana siswa menginterpretasikan hakikat sains. Ternyata ditemukan bahwa cara yang terbanyak dilakukan oleh para pendidik sains adalah cara genetik, yang berarti guru mengajar sains sekedar menyampaikan apa adanya (faktual) tanpa mengungkapkan mengapanya. Hal ini berdampak pada interpretasi peserta didik bahwa sains adalah sekedar ilmu hafalan, ilmu tentang fakta. Untuk itu, kecenderungan pengajaran sains harus diubah ke arah sistem yang lebih mendorong interaksi Subyek-Obyek. 34
Sebagai alternatif solusi, dan upaya untuk merealisasikan pendekatan STM, ada 3 pendekatan yang dapt dilakukan. 35 Pendekatan pertama, adalah
melaksanakan program STM berdasarkan unit atau topik, sehingga tidak mengikuti GBPP yang biasa berlaku. Pembelajaran dilakukan melalui sekelompok topik yang telah disusun sedemikian rupa sehingga apabila topik- topik itu digunakan secara berurutan, sebenarnya telah terhimpun kumpulan konsep yang hendak ditanamkan pada peserta didik, misalnya untuk jangka waktu satu semester. Pendekatan ini dilakukan dengan strategi memperkenalkan konsep-konsep sains pada peserta didik melalui isu ataupun topik yang di sekitar kehidupan peserta didik yang merupakan aplikasi sains.
Pendekatan kedua, adalah dengan menyajikan topik-topik yang relevan dengan konsep-sains yang terdapat dalam GBPP, dimana program STM merupakan suplemen GBPP. Yang paling mudah adalah dengan menggunakan pendekatan ketiga, sebagaimana yang diajukan oleh A. Poedjiadi (1994), yaitu dengan mengajak peserta didik untuk berikir dan menemukan aplikasi konsep sains dalam industri atau produk teknologi yang ada di masyarakat di sela-sela kegiatan pembelajaran berlangsung. Contoh-contoh adanya aplikasi konsep sains
34 Djohar, Reformasi Pendidikan Sains, Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains No. 1-2/I/1996 35 Anna Poedjiadi, op.cit, hal. 58-59
Menyiapkan Guru Berkarakter
ini juga dapat dilakukan pada awal pokok bahasan tertentu untuk meningkatkan motivasi peserta didik mempelajari konsep-konsep tertentu atau mengalihkan perhatian didik kepada materi yang akan dibahas sebagai apersepsi. 36
Metode pembelajaran apapun yang hendak diterapkan, akan berlangsung efektif manakala para peserta didik tidak lagi dipandang sekedar sebagai obyek pengajaran. Pemberdayaan para peserta didik dalam pembelajaran sains dapat dilakukan dengan melatih peserta didik untuk aktif mencari berbagai informasi dan data yang dibutuhkan untuk mengkaji suatu permasalahan sains.
5. Pengembangan Sarana dan Pra Sarana Sarana dana Pra Sarana yang dibutuhkan dalam pendidikan sains pada
dasarnya tidak banyak berbeda dengan pendidikan bidang studi lainnya. Fasilitas utama yang menjadi ciri khas dalam pendidikan sains adalah penggunaan laboratorium yang memadai sebagai media pengajaran. Untuk itu, pengembangan kualitas laboratorium secara isik, instrumen maupun struktur pengelolaannya menjadi sebuah kemestian.
Keterbatasan sarana dan anggaran bagi pendidikan sains hendaknya disiasati dengan kreatiitas dan inovasi dari para pendidik sains untuk mendaya gunakan lingkungan sekitar sebagai laboratorium alami, tanpa menghilangkan fungsi eksperimentasi kurikulum yang telah ada.
6. Pengelolaan Kelembagaan dan Institusi Pendidikan Sains Adanya suatu lembaga yang secara khusus memiliki tugas mengembangkan
dan membina pendidikan sains secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan, menjadi kebutuhan yang mendesak untuk direalisasikan. Lembaga dimaksudkan menjadi semacam Pusat Pendidikan Sains yang memiliki jaringan kerja sama antar Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN dan STAIN) yang memiliki Program Studi Pendidikan IPA. 37 Lebih jauh, upaya kerja sama dengan Perguruan Tinggi Umum yang memiliki program Pendidikan Sains akan mendorong percepatan PTAIN dalam mengejar ketertinggalannya.
Sebagai model, lembaga ini dapat dibayangkan seperti Pusat Antar Universitas (PAU) yang terdapat pada Perguruan Tinggi Umum Negeri. Dengan
36 Anna Poedjiadi, op.cit, hal. 59 37 Sampai saat ini, STAIN yang memiliki Program Studi Pendidikan Sains, adalah STAIN Cirebon (IPA-Biologi dan
Matematika), STAIN Malang (IPA-Biologi dan Matematika), dan STAIN Mataram (IPA), disamping IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Data sebaran program studi di seluruh STAIN di Indonedia diperoleh dari PERTA, Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam Vol. IV/No.01/2001,
Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI
demikian penanganan dan pengembangan pendidikan sains di Perguruan Tinggi Agama Islam dapat dilakukan secara terpadu.
Pusat Pendidikan Sains sebagaimana dimaksudkan di atas, dapat dibentuk di salah satu IAIN ataupun STAIN yang memiliki Program Studi Pendidikan Sains, dan dapat digambarkan memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Penelitian dan Pengembangan; meliputi penelitian dan pengembangan materi ajar, strategi dan metode pengajaran, prototipe media pengajaran, dan sistem pengukuran dan evaluasi pengajaran. Termasuk dalam fungsi ini adalah pengintegrasian sains dengan displin ilmu keislaman yang dibutuhkan sebagai penunjang, dan integrasi IPA dan Matematika sebagai rumpun disiplin ilmu yang berdekatan.
b. Pendidikan dan Latihan; meliputi pendidikan dan latihan bagi guru dan calon guru sains, dan tenaga kependidikan lainnya. Secara khusus, fungsi ini sekaligus akan mempertajam program Praktek Perkuliahan Lapangan (PPL) bagi peserta didik pada tahun terakhir perkuliahannya.
c. Pelayanan dan Konsultasi; meliputi pelayanan dan konsultasi model pengajaran topik-topik tertentu, media, alat evaluasi, bagi sekolah-sekolah dan madrasah yang memerlukannya.
d. Pengkajian dan diseminasi; meliputi pengkajian dan diseminasi hasil penelitian dan pengembangan pendidikan sains yang dicapai oleh pusat sejenis, lembaga lain, ataupun individu dan kelompok.
e. Pusat Informasi dan Komunikasi; meliputi informasi pendidikan sains, forum komunikasi akademik bagi para pakar bidang pendidikan sains, serta pengelolaan jurnal ilmiah pendidikan sains.