DAPATKAH AKUAKULTUR MEMBERIKAN MANFAAT B

AFP ini dipublikasikan di jurnal AQUACULTURE, Volumes 418 –419, 1 January 2014, ELSEVIER ISSN: 0044-8486

Proyek AFP dilakukan selama rentang waktu 3 tahun yaitu dimulai pada tahun 2007 dan berakhir pada tahun 2009. Proyek AFP mencoba untuk memberdayakan masyarakat etnis Adivasi di Banglades yang termarjinalkan secara sosial dengan kondisi ekonomi yang buruk melalui intervensi pilihan mata pencaharian – dalam hal ini adalah sektor perikanan seperti budidaya ikan, pemasaran ikan, serta usaha pendukung seperti penyediaan sarana produksi budiddaya ikan.

Melalui publikasi yang dilakukan, dapat diketahui bahwa proyek AFP memberikan manfaat positif bagi masyarakat Adivasi sehingga menarik perhatian penerjemah untuk mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan publikasi hasil penelitan ini bertujuan untuk memberikan gambaran kepada kita sampai sejauh mana sector budidaya ikan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang sangat miskin sehingga mereka bisa berdaya dan memiliki posisi tawar yang tinggi di antara masyarakat lainnya.

Akhir kata semoga buku terjemahan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Januari 2014

Penerjemah

Dapatkah akuakultur memberikan manfaat bagi orang yang sangat miskin? - Terjemahan Oleh : Arif Rahman Hakim, S.St.Pi - 2014

BAB IV. PERUBAHAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA DAN TABUNGAN .................................................................. 22

4.1 Pendapatan Rumah Tangga .................................................. 22

4.2 Tabungan ............................................................................ 24

BAB V. KEAMANAN PANGAN DAN GIZI............................................ 26 BAB VI. ASPEK SOSIAL DAN KELEMBAGAAN ................................... 29 BAB VII. MEMPERTAHANKAN INTERVENSI AKUAKULTUR

DI KOMUNITAS ADIVASI : PELUANG DAN ISU-ISU ............. 31 BAB VIII. KESIMPULAN ....................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 38

Dapatkah akuakultur memberikan manfaat bagi orang yang sangat miskin? - Terjemahan Oleh : Arif Rahman Hakim, S.St.Pi - 2014

iii iii

Gambaran Umum Kondisi Masyarakat Adivasi ........................ 3

Gambar 2.

Suasana di Pedesaan Adivasi ................................................ 4

Gambar 3.

Masyarakat Adivasi Melakukan Pemanenan Ikan .................... 6

Gambar 4.

Peta Banglades, menunjukkan cakupan geografis Proyek Perikanan Adivasi ....................................... 11

Gambar 5.

Suasana Sekolah Lapang (FFS) Masyarakat Adivasi ................ 12

Gambar 6.

Pasar Hewan Masyarakat Adivasi .......................................... 17

Gambar 7.

Becak Adalah Salah Satu Aset Penting Masyarakat Adivasi ...... 19 Gambar 8. Kepemilikan Telepon Selular di Masyarakat Adivasi Meningkat Selama Periode Proyek ......................................... 20

Gambar 9.

Kelompok Pembudidaya Ikan Memanen Ikan Hasil Budidaya ... 23 Gambar 10. Aktivitas Masyarakat Adivasi Menyiapkan Bahan Pangan Untuk Keluarga ................................................................... 26 Gambar 11. Seorang Ibu Warga Adivasi Menyuapi Anaknya ...................... 27 Gambar 12. Pertemuan Pembinaan Rutin di Masyarakat Adivasi ................ 33 Gambar 13. Salah Satu Warga Adivasi Sedang Memanen Benih Ikan

yang Dipelihara di Karamba .................................................. 34 Gambar 14. Warga Adivasi Menjual Ikan Hasil Budidaya ........................... 35

Dapatkah akuakultur memberikan manfaat bagi orang yang sangat miskin? - Terjemahan Oleh : Arif Rahman Hakim, S.St.Pi - 2014

iv iv

Pilihan Mata Pencaharian Berbasis Rantai Nilai Akuakultur Rumah Tangga Adivasi Dengan Basis Sumber Daya ................ 11

Tabel 2.

Dukungan yang diberikan kepada rumah tangga Adivasi untuk pengembangan aset penghidupan (US $ / rumah tangga) ......................................................... 13

Tabel 3.

Distribusi rumah tangga (%) berdasarkan ukuran kepemilikan tanah (desimal) dengan kelompok intervensi.

2 1 desimal = 40.47m ........................................................... 16

Tabel 4.

Perubahan ukuran kepemilikan ternak (n) berdasarkan tahun di kelompok yang diintervensi ..................................... 18

Tabel 5.

Proporsi Perubahan (%) Kepemilikan Aset Fisik Rumah Tangga Yang Dipilih Oleh Kelompok Intervensi ...................... 21

Tabel 6.

Perubahan Pendapatan Rumah Tangga (US $) oleh Kelompok Intervensi ............................................................ 24

Tabel 7.

Perubahan Tabungan (US $) Rumah Tangga Adivasi oleh Kelompok Intervensi ..................................................... 25

Tabel 8.

Perubahan dalam ketahanan pangan dan gizi rumah tangga Adivasi, yang diukur dengan frekuensi makan/bulan ......................................................... 28

Tabel 9.

Proporsi Rumah Tangga Adivasi (%) Dengan Keanggotaan Dalam Organisasi Masyarakat (n = jumlah kasus) .................. 30

Tabel 10.

Keberlanjutan perikanan budidaya dan kegiatan rantai nilai budidaya ikan dari Proyek Perikanan Adivasi oleh kelompok Sekolah Lapang di lokasi terpilih ..................... 32

Dapatkah akuakultur memberikan manfaat bagi orang yang sangat miskin? - Terjemahan Oleh : Arif Rahman Hakim, S.St.Pi - 2014

Karya ini memberikan kontribusi untuk Program Penelitian Sistem Pertanian Akuatik CGIAR dan didanai oleh Uni Eropa. Penulis berterima kasih kepada Dr.

Michael Phillips untuk saran berharga dalam mempersiapkan tulisan ini, Dr. Mohammad Mahfujul Haque dan Mr. Bilash Mitra atas bantuan mereka dalam manajemen data, dan Dr.Madhav K. Shrestha untuk sarannya dalam melaksanakan analisis statistik.

The Adivasi Fisheries Project, bertujuan untuk melakukan diversifikasi mata pencaharian bagi masyarakat etnis Adivasi yang miskin sumberdaya di Bangladesh bagian Utara dan Barat Laut yang dilaksanakan pada tahun 2007 – 2009. Budidaya perikanan dan teknologi yang berkaitan dengannya diperkenalkan kepada 3594 rumah tangga etnis Adivasi yang miskin sumberdaya. Baseline dan end-line survey yang dilakukan bertujuan untuk menilai perubahan dalam kehidupan mereka setelah intervensi dilakukan. Pendapatan rumah tangga sasaran project ini naik secara signifikan (p≤0.01) yang disebabkan oleh peningkatan pangsa akuakultur dan perusahaan terkait dari 15% pada tahun 2007 menjadi hamper 30% pada tahun 2009 dalam hal pendapatan rumah tangga tahunan. Sebaliknya, kontribusi akuakultur bagi pendapatan rumah tangga tetap tidak berubah (p>0.05) bagi masyarakat yang bukan sasaran proyek. Frekuensi konsumsi bulanan terhadap ikan, daging, dan telur meningkat selama tahun 2007 – 2009 (p≤0.01), hal ini meningkatkan kemanan pangan dan gizi bagi peserta sasaran proyek. Meskipun demikian konsumsi ikan masyarakat yang bukan sasaran proyek juga sedikit meningkat secara signifikan tetapi lebih rendah (p≤0.01) daripada para peserta proyek. Hasil penelitian ini bertentangan dengan pandangan bahwa akuakultur (budidaya ikan) tidak pantas bagi orang yang tidak memiliki lahan, orang yang terpinggirkan secara social, dan masyarakat yang sangat miskin dengan menunjukan relevansinya dengan peningkatan mata pencaharian, asalkan diikuti dengan pendekatan yang beragam dan intervensi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan rumah tangga sasaran.

© 2013 The Authors. Published by Elsevier B.V. All rights reserved.

Masyarakat etnis minoritas, yang umumnya dikenal ―Adivasi‖ merupakan bagian yang paling termarjinalkan di Banglades. Terdapat lebih dari 45 komunitas dengan identitas kultural yang berbeda. Mereka diklasifikasikan menjadi ―Adivasi dari daratan‖ dan ―Pahari‖ atau ―Jumma‖ (suku bukit). Komunitas pertama terdistribusi di daratan utara dan timur laut, sedangkan yang kedua terkonsentrasi di bukit Chittagong ( Barkat et al., 2009).

Gambar 1. Gambaran Umum Kondisi Masyarakat Adivasi

Selama beberapa generasi, etnis Adivasi telah mempraktekan beberapa strategi mata pencaharian dengan menggabungkan tanaman dan ternak, kegiatan perikanan di lahan basah (untuk ikan dan hewan air lainnya, termasuk krustasea dan moluska), serta berburu hewan darat kecil dan burung ( Barkat et al., 2009).

Tidak seperti masyarakat Bengali kebanyakan, Adivasi awalnya merupakan daerah yang jarang penduduknya dengan akses yang tersedia terhadap sumberdaya. Meskipun memiliki system kepemimpinan social yang kuat dan tingkat koherensi social yang tinggi, mata pencaharian etnis Adivasi semakin terancam karena kombinasi factor social, ekonomi, dan, ekologi yang meliputi insiden perampasan lahan dan penggusuran tanah leluhur ( Barkat et al., 2009; Kapaeeng Foundation, 2011); penurunan sumberdaya perikanan (yang merupakan sumber utama protein hewani), karena penangkapan ikan yang berlebihan dan degradasi lingkungan; serta marginalisasi social dan pengucilan dari sejumlah program jaring pengaman social (misalnya, proyek Amader) ( NETZ, 2011). Dengan meningkatnya tingkat kehilangan lahan, pilihan mata pencaharian yang tersedia bagi mereka adalah bekerja sebagai buruh pertanian atau menjadi pekerja musiman di kota.

Gambar 2. Suasana di Pedesaan Adivasi

Inilah yang menjadi penyebab mayoritas masyarakat terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang bersifat multidimensi ( OPHI, 2011). Lebih dari 60% dari populasi etnis Adivasi di daerah utara dan timur laut jatuh di bawah garis kemiskinan absolut dibandingkan dengan perkiraan rata-rata nasional 39,5% dari Inilah yang menjadi penyebab mayoritas masyarakat terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang bersifat multidimensi ( OPHI, 2011). Lebih dari 60% dari populasi etnis Adivasi di daerah utara dan timur laut jatuh di bawah garis kemiskinan absolut dibandingkan dengan perkiraan rata-rata nasional 39,5% dari

Ada apresiasi yang berkembang tentang peran akuakultur (budidaya ikan) dalam penganekaragaman mata pencaharian penduduk di pedesaan. Lebih dari 85% produksi perikanan budidaya global berasal dari negara-negara berkembang di Asia, di mana sistem akuakultur didominasi oleh usaha skala kecil yang dimiliki, dikelola dan dioperasikan oleh keluarga ( De Silva and Davy, 2010). Bukti empiris menunjukkan bahwa budidaya ikan skala kecil, dipromosikan dengan memperhatikan konteks sosial, ekonomi dan lingkungan dan dibingkai dalam pemahaman bersama tentang aset penghidupan dan manajemen risiko, dapat secara substansial meningkatkan mata pencaharian masyarakat miskin, rentan dan terpinggirkan, termasuk etnis minoritas ( Barman and Little, 2006, 2011; Bhujel et al., 2008; CGIAR, 2007; Haylor and Khemaria, 2007; Hüsken and Holvoet, 2010; Pant et al., 2012). Namun demikian, baru-baru ini dinyatakan bahwa pekerjaan dalam rantai nilai, bentuk pelayanan terhadap budidaya ikan komersial, mungkin memiliki potensi yang lebih besar untuk mengurangi kemiskinan di Banglades daripada budidaya ikan skala kecil semi-subsisten yang telah dipromosikan secara luas sebagai alat pengentasan kemiskinan di masa lalu ( Belton et al., 2012). Selain itu, pendekatan konvensional, menekankan promosi teknologi dan penyediaan layanan penyuluhan yang ditargetkan tidak selalu berhasil dalam memberikan manfaat kepada orang yang tidak memiliki tanah, masyarakat terpinggirkan secara social dan sangat miskin, karena komunitas ini dibatasi oleh terbatasnya akses mereka dan control atas tanah dan sumberdaya air dan sering memiliki keterbatasan, modal sosial dan ekonomi serta perjuangan untuk mengakses sumber daya pembangunan, input dan layanan lainnya untuk akuakultur ( ADB, 2004; Belton and Little, 2011; Lewis, 1997).

Gambar 3. Masyarakat Adivasi Melakukan Pemanenan Ikan

Keterbatasan ini telah membuat beberapa orang berpendapat bahwa akuakultur merupakan pilihan mata pencaharian yang tidak pantas untuk orang yang sangat miskin dan orang-orang yang terpinggirkan secara social ( Lewis, 1997).

Tulisan ini menantang pandangan itu, berdasarkan hasil yang terkait dengan pelaksanaan Adivasi Fisheries Project, proyek yang berfokus pada keamanan pangan yang bertujuan untuk diversifikasi mata pencaharian bagi masyarakat yang miskin sumber daya, masyarakat terpinggirkan etnis Adivasi di Utara dan Barat Laut Banglades selama 2007-2009. Daripada mengadopsi pendekatan ‗onesize-fits-all‘ proyek ini ditetapkan untuk merancang dan mengadaptasi pilihan teknologi budidaya dan perusahaan terkait untuk mencocokkan basis aset fisik dan manusia yang ada serta konteks social-ekonomi dan aspirasi masyarakat etnis Adivasi. Setelah seluruh proses partisipatif dari proyek ini (dari pemetaan dan analisa rantai nilai budidaya ikan dan analisis situasi untuk merancang opsi intervensi yang tepat, implementasi dan evaluasi hasil) berfokus pada pembangunan aset mata pencaharian produktif, pengetahuan dan keterampilan, mempertimbangkan kebutuhan spesifik, sumber daya dan kemampuan rumah tangga Adivasi. Proyek ini adalah yang pertama dari jenisnya untuk secara Tulisan ini menantang pandangan itu, berdasarkan hasil yang terkait dengan pelaksanaan Adivasi Fisheries Project, proyek yang berfokus pada keamanan pangan yang bertujuan untuk diversifikasi mata pencaharian bagi masyarakat yang miskin sumber daya, masyarakat terpinggirkan etnis Adivasi di Utara dan Barat Laut Banglades selama 2007-2009. Daripada mengadopsi pendekatan ‗onesize-fits-all‘ proyek ini ditetapkan untuk merancang dan mengadaptasi pilihan teknologi budidaya dan perusahaan terkait untuk mencocokkan basis aset fisik dan manusia yang ada serta konteks social-ekonomi dan aspirasi masyarakat etnis Adivasi. Setelah seluruh proses partisipatif dari proyek ini (dari pemetaan dan analisa rantai nilai budidaya ikan dan analisis situasi untuk merancang opsi intervensi yang tepat, implementasi dan evaluasi hasil) berfokus pada pembangunan aset mata pencaharian produktif, pengetahuan dan keterampilan, mempertimbangkan kebutuhan spesifik, sumber daya dan kemampuan rumah tangga Adivasi. Proyek ini adalah yang pertama dari jenisnya untuk secara

2.1 Penjajakan dan Studi Diagnostik

Sebuah studi pra-proyek dilakukan oleh tim ilmuwan interdisipliner dan pengembangan professional dari World Fish and project partners Caritas (NGO Internasional) dan Forum Penelitian Perikanan Banglades (konsorsium perguruan tinggi nasional, pemerintah dan lembaga lainnya yang melakukan penelitian pada sector perikanan di Banglades) untuk menilai konteks mata pencaharian awal masyarakat Adivasi dan mengidentifikasi intervensi apa yang memiliki potensi yang tinggi. Konsultasi dengan masyarakat Adivasi dan pemangku kepentingan lainnya dibuat di seluruh wilayah oleh tim peneliti. Penelitian diagnostik khusus difokuskan pada pemahaman mata pencaharian dan konteks sumber daya dasar, mengembangkan kriteria untuk pemilihan lokasi dan rumah tangga proyek, serta mengidentifikasi pilihan budidaya ikan dan mata pencaharian terkait yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Mitra dengan pengalaman dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan di komunitas Adivasi juga dikonsultasikan di tingkat pusat dan daerah. Sebanyak 42 dan 93 pemangku kepentingan yang mewakili berbagai Lembaga Pemerintah / LSM dikonsultasikan di tingkat kabupaten dan kecamatan, masing-masing, di lima kabupaten di Utara dan Barat Laut Daerah Banglades. Pertemuan juga dihadiri oleh perwakilan dari komunitas Adivasi. Pertemuan itu diikuti oleh lokakarya stakeholder di Kantor Regional Caritas, Dinajpur, Northwestern Region, dan di Kantor Regional Caritas, Mymensingh, Kawasan Utara. Sebuah lokakarya awal proyek diadakan di Dhaka, di mana hasil dari lokakarya konsultasi pemangku kepentingan daerah disajikan.

2.2 Perekrutan Peserta Proyek Dan Pemilihan Opsi Teknologi

Sensus terhadap 5.337 rumah tangga Adivasi dilakukan di lima kabupaten di Utara dan Barat Laut Banglades pada tahun 2007. Lebih dari dua - pertiga rumah tangga ini, dikategorikan sebagai sangat miskin berdasarkan peringkat kesejahteraan, dipilih sebagai peserta proyek. Secara total, 3.594 rumah tangga yang dipilih dari 120 komunitas di dua belas kecamatan Sherpur, Netrakona, Rangpur, Dinajpur dan Kabupaten Jaypurhat (Gambar 1; Tabel 1). Sebanyak tujuh pilihan intervensi mata pencaharian dalam produksi budidaya ikan atau rantai nilai budidaya ikan diidentifikasi sebagai mata pencaharian yang cocok diberikan pada basis sumber daya dan konteks sosial ekonomi yang diidentifikasi selama proses konsultasi partisipatif (Tabel 1). Pemilihan rumah tangga sasaran proyek didasarkan pada pendapatan, ukuran kepemilikan tanah dan status ketahanan pangan. Rumah tangga dengan kepemilikan atau akses ke aset yang cocok untuk budidaya ikan, seperti kolam, sawah dan sumber daya air, dipilih untuk intervensi produksi perikanan budidaya. Rumah tangga yang tidak memiliki lahan tanpa sumber daya fisik dan ekonomi yang dipilih untuk dimasukkan dalam intervensi usaha rantai nilai-akuakultur dari hulu ke hilir, seperti pemasaran benih dan pakan ikan serta jarring apung.

2.3 Baseline Dan End-Line Surveys

Baseline survey dilakukan terhadap 657 rumah tangga, dipilih secara acak dari total rumah tangga sasaran proyek (3594), dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur pada aset-dasar dan portofolio mata pencaharian rumah tangga yang berpartisipasi. Lulusan baru di bidang perikanan dipekerjakan sebagai pencacah dan dilatih untuk mengelola kuesioner. End-line survey dilakukan setelah selesainya proyek pada tahun 2009 terhadap rumah tangga yang telah berpartisipasi dalam baseline survey untuk menilai sifat dan tingkat perubahan yang dihasilkan dari intervensi proyek. 148 rumah tangga etnis Adivasi yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam proyek atau tinggal di desa-desa terdekat juga disurvei dalam rangka untuk memungkinkan perbandingan antara hasil rumah tangga yang diintervensi dan rumah tangga non-intervensi yang akan dibuat. Kelompok ini tidak dapat dianggap kontrol dalam arti ketat, namun, karena Baseline survey dilakukan terhadap 657 rumah tangga, dipilih secara acak dari total rumah tangga sasaran proyek (3594), dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur pada aset-dasar dan portofolio mata pencaharian rumah tangga yang berpartisipasi. Lulusan baru di bidang perikanan dipekerjakan sebagai pencacah dan dilatih untuk mengelola kuesioner. End-line survey dilakukan setelah selesainya proyek pada tahun 2009 terhadap rumah tangga yang telah berpartisipasi dalam baseline survey untuk menilai sifat dan tingkat perubahan yang dihasilkan dari intervensi proyek. 148 rumah tangga etnis Adivasi yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam proyek atau tinggal di desa-desa terdekat juga disurvei dalam rangka untuk memungkinkan perbandingan antara hasil rumah tangga yang diintervensi dan rumah tangga non-intervensi yang akan dibuat. Kelompok ini tidak dapat dianggap kontrol dalam arti ketat, namun, karena

Studi tentang

Proyek AFP dilakukan pada tahun 2012, 30 bulan setelah proyek berakhir. Sebuah tim peneliti interdisipliner kembali mengunjungi komunitas yang dipilih secara acak di Wilayah Barat Laut. Alat dan tekniki partisipatif termasuk Focus Group Discussions (FGD) dengan petani anggota sekolah lapang (FFS), Informan kunci (KIIs) mewawancarai tokoh masyarakat dan fasilitator FFS, observasi, dan konsultasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Tujuannya adalah untuk menilai apakah peserta proyek melanjutkan produksi perikanan budidaya dan kegiatan rantai nilai yang terkait akuakultur lainnya yang diperkenalkan oleh proyek ini, apakah berkelanjutan adopsi variasi kegiatan yang dipromosikan oleh proyek, penyebab setiap variasi serapan, dan kemungkinan hasil di masa depan. Evaluasi ex-post yang dilakukan oleh donor proyek pada tahun 2010 memberikan data kualitatif tambahan pada keberlanjutan proyek.

keberlanjutan

intervensi

Proses partisipatif dilakukan pada seluruh pelaksanaan proyek. Peserta proyek diperkenalkan dengan kegiatan potensial yang diidentifikasi melalui studi kelayakan dan mereka diizinkan untuk memilih mana yang terbaik yang sesuai dengan sumberdaya dan kepentingan mereka. Sebagian besar rumah tangga, baik yang memiliki lahan atau dengan akses terhadap lahan memutuskan untuk berlatih budidaya ikan di kolam atau budidaya ikan system minapadi. Sebagian besar rumah tangga yang tidak memiliki lahan mengadopsi usaha yang terkait dengan budidaya ikan seperti jual-beli pakan ikan atau benih atau jarring apung atau memilih untuk berlatih budidaya di kolam pribadi atau masyarakat dengan bantuan proyek untuk mengamankan akses atas nama mereka. Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (PHBM) dan restorasi sumber daya juga terpilih sebagai pilihan mata pencaharian oleh satu kelompok yang terdiri dari petani yang tidak memiliki tanah dan rumah tangga kecil.

Gambar 4. Peta Banglades, menunjukkan cakupan geografis Proyek Perikanan Adivasi. Kabupaten proyek dalam oranye dan kecamatan ditandai dengan font

warna merah

Tabel 1. Pilihan Mata Pencaharian Berbasis Rantai Nilai Akuakultur Rumah Tangga Adivasi Dengan Basis Sumber Daya

2.4 Pendekatan Sekolah Lapang Bagi Petani (FFS)

Pendekatan Sekolah Lapang Bagi Petani (FFS) yang merupakan pendekatan yang efektif dalam mengembangkan analisis masalah dan penyebabnya secara partisipatif dan mengidentifikasi solusi dalam berbagai macam intervensi pertanian ( Banu and Bode, 2002; Feder et al., 2004) dipilih untuk mengembangkan kapasitas dan memberdayakan rumah tangga Adivasi untuk merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi intervensi diversifikasi mata pencaharian. Metodologi Sekolah Lapang (FFS) yang digunakan dalam proyek ini dikembangkan dari Sekolah Lapang yang diterapkan oleh berbagai lembaga pembangunan termasuk Department of Agriculture Extension (DAE), CARE and Rangpur –Dinajpur Rural Service (RDRS). Sebanyak 120 Sekolah Lapang di lima kabupaten.

Gambar 5. Suasana Sekolah Lapang (FFS) Masyarakat Adivasi

Staf proyek terpilih dibekali dengan kursus Training of Trainers (ToT) tentang Sekolah Lapang (FFS). Di setiap Sekolah Lapang (FFS) peserta mempraktekan setiap kegiatan yang dipromosikan oleh proyek dimana yang dipilih sebagai ―Lead Enterprenuers‖ (LEs) bertanggung jawab untuk memimpin dan mengkoordinasikan sesi Sekolah Lapang (FFS) dan dibekali dengan pelatihan selama 2-4 hari. Anggota Sekolah Lapang (FFS) Perempuan didorong untuk menjadi ―Lead Enterprenuers‖ (LEs) dan itu dibuat wajib setidaknya harus ada satu wanita yang menjadi LE dalam setiap Sekolah Lapang (FFS). Anggota FFS bertemu setiap dua minggu, dan LE memulai mejalankan sesi FFS sementra staf proyek memfasilitasi seluruh proses. Selain pertemuan rutin, para petani juga melakukan pertukaran kunjungan, ―field day‖, dan demonstrasi hasil yang diorganisir oleh proyek. Para anggota FFS juga berpartisipasi dalam Pekan Nasional Ikan tahunan.

2.5 Dukungan Untuk Pengembangan Aset

Karena peserta proyek berasal dari masyarakat yang tidak memiliki lahan dan terpinggirkan, dukungan yang diberikan untuk memperoleh masukan atau membangun aset produktif (misalnya penggalian kolam, atau renovasi dan modifikasi petak sawah untuk minapadi) untuk mengkatalisis proses adopsi, terutama pada tahun pertama. Selain pemberian uang tunai sebagai modal operasional untuk jual-beli benih dan pakan ikan, dukungan juga diberikan untuk pengembangan aset yang umumnya diberikan dalam bentuk barang (Tabel 2). Upaya juga dilakukan untuk memastikan agar peserta tidak menjadi tergantung terhadap subsidi/bantuan.

Tabel 2. Dukungan yang diberikan kepada rumah tangga Adivasi untuk

pengembangan aset penghidupan (US $ / rumah tangga)

2.6 Analisis Ketahanan dan Keberlajutan Pangan dan Gizi

Ketahanan pangan dan gizi adalah dua indicator utama dari perubahan kesejahteraan masyarakat miskin, dinilai dari perubahan jumlah makanan dengan sumber utama energi harian, termasuk beras, roti dan sumber makanan hewani yaitu, ikan, daging dan telur. Keberlanjutan jangka panjang dari penerapan pilihan mata pencaharian yang dipromosikan oleh proyek dan faktor-faktor yang mempengaruhi retensi mereka dinilai menggunakan data yang dikumpulkan secara cepat selama penilaian pasca proyek yang dilakukan terhadap kelompok FFS yang dipilih di Dinajpur pada tahun 2012 dan proyek pemantauan ex-post (Hasil Pemantauan Berorientasi, ROM) yang dilakukan oleh donor proyek (UE) pada akhir tahun 2010 ( Tim, 2010).

2.7 Sumber dan Analisis Data

Sebagian besar data yang digunakan dalam analisis dihasilkan oleh baseline dan end-line survey proyek. FGD tambahan, KIIS dan peserta observasi yang digunakan sebagai sumber informasi kualitatif, seperti penilaian keberlanjutan pasca proyek. Data dianalisis menggunakan Paket Statistik untuk Ilmu Sosial (SPSS 18.0) untuk Microsoft Windows. Uji statistik umumnya termasuk ukuran pemusatan dan analisis varians (ANOVA). Uji Post Hoc, setidaknya perbedaan yang signifikan (LSD), dilakukan ketika ANOVA menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Kerangka analisis yang digunakan di seluruh tulisan didasarkan pada pendekatan penghidupan yang berkelanjutan (SLA) yang dipromosikan oleh Department for International Development ( DFID, 2001). SLA didirikan pada prinsip bahwa meningkatkan akses (kepemilikan atau hak untuk menggunakan) terhadap aset penghidupan atau modal alam, fisik, sosial, keuangan dan manusia, sangat penting untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat marjinal miskin sumber daya ( DFID, 2001).

3.1 Kepemilikan Tanah dan Kolam

Tanah merupakan salah satu asset mata pencaharian yang paling penting, tidak hanya karena manfaat langsung untuk rumah tangga tetapi juga karena merupakan salah satu indikator utama dari perasaan masyarakat tentang kesejahteraan sosial di pedesaan Banglades. Pada saat awal proyek tahun 2007, hampir setengah dari peserta tidak memiliki tanah (yaitu, memiliki <50 desimal (1 desimal = 40.47 m2) tanah) (Tabel 3). Ini jauh lebih tinggi dari tingkat rata-rata masyarakat umum di Banglades yang tidak memiliki tanah (Hossian and Bayes, 2009; Mainuddin et al., 2011).

Peserta proyek yang memilih pilihan intervensi teknologi sebagian besar berdasarkan status pemilikan tanah mereka. Sekitar dua-pertiga dari peserta kegiatan rantai nilai akuakultur terkait kelompok (kelompok jaring apung serta pedagang ikan dan benih) dan kelompok KJA yang memiliki lahan <25 desimal. Pembudidaya ikan di kolam dan minapadi relatif lebih baik, dengan sekitar setengah dari mereka memiliki >100 desimal Tren serupa telah diamati oleh Belton et al. (2012) sehubungan dengan kepemilikan kolam dan oleh Nabi (2008) sehubungan dengan minapadi.

Berbeda dengan tren umum peningkatan lahan di Banglades ( Hossian dan Bayes, 2009), proporsi rumah tangga yang tidak memiliki lahan di antara peserta proyek tercatat telah sedikit menurun pada tahun 2009, terlepas dari kelompok intervensi (Tabel 3). Hal ini tampaknya sebagai hasil peserta Berbeda dengan tren umum peningkatan lahan di Banglades ( Hossian dan Bayes, 2009), proporsi rumah tangga yang tidak memiliki lahan di antara peserta proyek tercatat telah sedikit menurun pada tahun 2009, terlepas dari kelompok intervensi (Tabel 3). Hal ini tampaknya sebagai hasil peserta

Hampir semua rumah tangga dalam kelompok budidaya ikan di kolam, memiliki kolam. Sebaliknya, hanya sebagian kecil dari rumah tangga yang terlibat dalam perdagangan ikan, perdagangan benih atau yang menjadi anggota kelompok jarring apung memiliki kolam pada tahun 2007, hal ini lebih disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar dari mereka tidak memiliki tanah atau hampir tidak memiliki tanah. Namun, pada tahun 2009 terjadi sedikit peningkatan terkait kepemilikan kolam antara kelompok- kelompok yang tidak memiliki lahan. Selain itu, sejumlah rumah tangga, khususnya mereka yang terlibat dalam pemasaran pakan ikan dan benih serta kelompok jaring apung ditemukan telah memperluas basis aset mereka dengan menyewa kolam untuk pendederan.

Tabel 3. Distribusi rumah tangga (%) berdasarkan ukuran kepemilikan tanah

(desimal) dengan kelompok intervensi. 1 desimal = 40.47m 2

3.2 Ternak dan Unggas

Ternak dan unggas merupakan hal yang penting bagi rumah tangga miskin sumber daya karena ternak dan unggas dapat segera dijadikan uang, sehingga berfungsi sebagai 'jaring pengaman' ekonomi. Proporsi rumah tangga yang memelihara ternak kerbau dan domba/kambing di tahun 2007 diperkirakan mencapai 67% dan 45%. (Tabel 4). Sebagian besar dari anggota kelompok budidaya ikan di kolam dan minapadi memiliki sapi/kerbau. Rata-rata, rumah tangga memiliki ternak 2,5 ekor sapi/kerbau dan 2,2 ekor domba/kambing. Proporsi mereka yang memelihara ternak Ternak dan unggas merupakan hal yang penting bagi rumah tangga miskin sumber daya karena ternak dan unggas dapat segera dijadikan uang, sehingga berfungsi sebagai 'jaring pengaman' ekonomi. Proporsi rumah tangga yang memelihara ternak kerbau dan domba/kambing di tahun 2007 diperkirakan mencapai 67% dan 45%. (Tabel 4). Sebagian besar dari anggota kelompok budidaya ikan di kolam dan minapadi memiliki sapi/kerbau. Rata-rata, rumah tangga memiliki ternak 2,5 ekor sapi/kerbau dan 2,2 ekor domba/kambing. Proporsi mereka yang memelihara ternak

Namun demikian, peningkatan kecil tercatat dalam proporsi rumah tangga ternak babi dan ayam/bebek selama 2007-2009, menunjukkan bahwa rumah tangga Adivasi yang miskin sumber daya beralih ke hewan yang dapat diternakan di rumah. Tidak seperti sapi/kerbau dan domba/kambing (peternakan yang memakan waktu karena mereka memerlukan perhatian khusus) babi dan ayam/itik dapat diternakan bersama kegiatan mata pencaharian lainnya, termasuk budidaya ikan dan perusahaan terkait lainnya. Pemeliharaan Babi dan unggas merupakan strategi yang baik untuk meningkatkan keuntungan per-unit dan portofolio diversifikasi mata pencaharian.

Gambar 6. Pasar Hewan Masyarakat Adivasi

Tidak ada variasi yang signifikan secara statistik (p > 0,05 ) dalam proporsi rumah tangga yang beternak babi dan ayam/bebek di antara kelompok intervensi teknologi.

Tabel 4. Perubahan ukuran kepemilikan ternak (n) berdasarkan tahun di kelompok yang diintervensi

3.3 Aset Fisik

Proporsi rumah tangga yang memiliki aset fisik kunci pada tahun 2007 dan 2009 disajikan pada Tabel 5. Becak, sepeda, dan ponsel adalah aset penghidupan penting yang terkait dengan akuakultur, sementara yang lain termasuk sumur tabung, mesin jahit, radio, televisi dan furnitur, khususnya kursi dan lemari. Secara umum, proporsi rumah tangga dengan aset-aset ini meningkat antara tahun 2007 dan 2009, meskipun perbedaan antara kelompok intervensi juga diamati. Menariknya, peningkatan jelas terjadi dalam kelompok yang paling miskin sumber daya, yaitu jarring apung, pemasaran ikan dan benih, dan budidaya KJA, yang sebagian besar anggotanya tak memiliki tanah atau hampir tidak memiliki tanah.

Gambar 7. Becak Adalah Salah Satu Aset Penting Masyarakat Adivasi

Sepeda dan becak adalah aset penghidupan penting dari rumah tangga miskin di Banglades. Sejumlah kecil kelompok rumah tangga Adivasi tanpa intervensi teknologi memiliki becak pada tahun 2007, angka tersebut sedikit berubah pada tahun 2009. Secara keseluruhan, ada beberapa peningkatan jumlah rumah tangga yang memiliki sepeda selama periode proyek (33,5% pada tahun 2007, 38,5% pada tahun 2009) (Tabel 5). Sepeda adalah cara Sepeda dan becak adalah aset penghidupan penting dari rumah tangga miskin di Banglades. Sejumlah kecil kelompok rumah tangga Adivasi tanpa intervensi teknologi memiliki becak pada tahun 2007, angka tersebut sedikit berubah pada tahun 2009. Secara keseluruhan, ada beberapa peningkatan jumlah rumah tangga yang memiliki sepeda selama periode proyek (33,5% pada tahun 2007, 38,5% pada tahun 2009) (Tabel 5). Sepeda adalah cara

Salah satu perubahan penting adalah dalam kepemilikan telepon selular. Proporsi rumah tangga yang memiliki telepon seluler jelas meningkat di kedua intervensi proyek dan kelompok kontrol selama periode proyek (Tabel 5). Meskipun pemasar ikan dan benih dan kelompok jarring apung adalah yang paling miskin, penggunaan ponsel meningkat pesat antara tahun 2007 dan 2009, mungkin karena usaha mereka memerlukan komunikasi yang lebih daripada yang lain.

Gambar 8. Kepemilikan Telepon Selular di Masyarakat Adivasi Meningkat Selama

Periode Proyek

Tabel 5. Proporsi Perubahan (%) Kepemilikan Aset Fisik Rumah Tangga Yang Dipilih Oleh Kelompok Intervensi

4.1 Pendapatan Rumah Tangga

Pendapatan tahunan rata-rata rumah tangga Adivasi yang ditargetkan adalah sekitar US $ 350 pada tahun 2007, jumlah ini tumbuh secara signifikan (p ≤ 0,01), mencapai lebih dari US $ 570 pada tahun 2009. Hal ini setara dengan laju pertumbuhan inflasi disesuaikan dengan suku bunga tahunan sekitar 8% per tahun. Peningkatan yang substansial seperti pendapatan merupakan indikasi situasi penghidupan yang lebih baik dari peserta proyek secara umum, meskipun pendapatan mereka tetap jauh di bawah estimasi pendapatan rata-rata US $ 1.702 untuk rumah tangga pedesaan di Banglades pada tahun 2010 (BBS, 2011). Peningkatan total pendapatan tahunan dicatat dalam semua kelompok intervensi teknologi (Tabel 6). Perubahan pendapatan rumah tangga tahunan mencerminkan suksesnya diversifikasi portofolio mata pencaharian oleh rumah tangga Adivasi.

Ada peningkatan yang signifikan (p ≤ 0,01) dalam kontribusi proporsional dari budidaya ikan atau kegiatan rantai nilai lainnya yang terkait dengan pendapatan rumah tangga di semua kelompok intervensi pada tahun 2009, mencapai 29% (Tabel 6). Diperkirakan hanya sekitar 15% dari total, agak rendah pada tahun 2007. Namun, kenaikan tersebut tidak tampak jelas dalam kasus rumah tangga non-proyek.

Variasi kontribusi akuakultur atau perusahaan yang berkaitan dengan pendapatan rumah tangga oleh kelompok intervensi juga terlihat pada tahun

2009 (p ≤ 0,01), yang tidak terjadi pada tahun 2007 (p > 0,05). Kontribusi proporsional akuakultur terhadap pendapatan budidaya KJA dan rumah tangga non-proyek tidak berubah. Sebaliknya, kelompok rantai nilai budidaya ikan, terutama yang terdiri dari pemasar ikan dan benih, menunjukan kenaikan substansial (p ≤ 0,01) dalam kontribusi relatif dari kegiatan ini untuk pendapatan rumah tangga, membenarkan relevansi tumbuhnya penghidupan. Kelompok budidaya ikan di kolam dan minapadi juga memperlihatkan kontribusi yang signifikan lebih tinggi dari akuakultur untuk pendapatan rumah tangga mereka (p ≤ 0,01) dibandingkan dengan kelompok kontrol, tetapi tetap lebih rendah (p ≤ 0,01) dibandingkan dengan kelompok pemasar ikan dan benih (Tabel 6).

Gambar 9. Kelompok Pembudidaya Ikan Memanen Ikan Hasil Budidaya

Tabel 6. Perubahan Pendapatan Rumah Tangga (US $) oleh Kelompok Intervensi

4.2 Tabungan

Sesuai dengan total pendapatan tahunan (Tabel 6), tabungan rumah tangga Adivasi meningkat tajam antara tahun 2007 dan 2009. Rata-rata, rumah tangga menabung hanya sekitar 9% dari total pendapatan pada tahun 2007, yang diperkirakan telah meningkat menjadi 25% pada tahun 2009 - meningkat hampir tiga kali lipat (Tabel 7). Semua kecuali kelompok pemasar benih ikan menunjukan kenaikan tabungan selama periode ini. Hal ini mungkin dikarenakan kelompok-kelompok pemasar benih ikan secara substansial meningkatkan pengeluaran untuk aset penghidupan pada tahun 2009 dibandingkan dengan tahun 2007, dengan demikian jumlah tabungan mereka relatif rendah dari tabungan di antara kelompok-kelompok ini (Tabel 7). Budidaya ikan di karamba dan aktivtas pemasaran ikan sebagian besar dilakukan oleh wanita. Penghematan yang lebih tinggi dalam kelompok ini menunjukkan bahwa anggota rumah tangga perempuan cenderung berinvestasi lebih dari pendapatan mereka pada tabungan, seperti yang telah diamati dalam komunitas di tempat lain ( Chowa, 2006). Kelompok jaring apung hanya terdiri dari laki-laki, dan meskipun tabungan mereka telah meningkat pada tahun 2009, proporsi tabungan mereka masih jauh dibawah pembudidaya ikan di karamba dan pemasar ikan.

Tabel 7. Perubahan Tabungan (US $) Rumah Tangga Adivasi oleh Kelompok Intervensi

Secara umum, rumah tangga Banglades rata-rata makan tiga kali sehari, tetapi tidak jarang kita menemukan banyak rumah tangga, terutama rumah tangga miskin sumber daya, terpinggirkan secara sosial di komunitas Adivasi, lebih jarang makan. Beras dan/atau roti merupakan menu setiap kali makan, sementara lauk pauk seperti daging atau ikan tergantung pada situasi mata pencaharian - rumah tangga menengah ke atas mengkonsumsi ikan di hampir setiap kali makan, sedangkan rumah tangga miskin hanya kadang-kadang mengkonsumsi ikan atau daging, terutama karena miskin akses ekonomi.

Gambar 10. Aktivitas Masyarakat Adivasi Menyiapkan Bahan Pangan Untuk Keluarga

Rumah tangga Adivasi, terlepas dari intervensi teknologi, tidak selalu makan tiga kali per hari. Pada tahun 2007, frekuensi bulanan konsumsi beras/roti diperkirakan 78, membenarkan situasi kerawanan pangan mereka. Pada tahun

2009, terjadi peningkatan secara keseluruhan dalam jumlah makanan, terutama beras dan roti, di mana frekuensinya menunjukan lebih dekat dengan rata-rata makan tiga kali per hari (2,7). Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik (p>0,05) frekuensi konsumsi bulanan sereal/roti antara kelompok intervensi dan kontrol.

Hal ini menunjukan bahwa frekuensi bulanan konsumsi ikan dan daging/telur oleh rumah tangga Adivasi pada tahun 2007 diperkirakan sepuluh dan tujuh, yang jelas rendah dibandingkan dengan rumah tangga pedesaan di masyarakat umum. Namun, peningkatan yang substansial dalam konsumsi sumber pangan hewani, terutama dari ikan, tercatat pada tahun 2009 (p ≤ 0,01).

Gambar 11. Seorang Ibu Warga Adivasi Menyuapi Anaknya

Frekuensi rata-rata konsumsi ikan per bulan antara peserta proyek pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 24, lebih dari dua kali lipat perkiraan pada periode yang sama tahun 2007. Meskipun kenaikan serupa juga dicatat dalam rumah tangga non-proyek, frekuensi konsumsi ikan jelas lebih tinggi di antara kelompok pembudidaya ikan dan kelompok intervensi rantai nilai budidaya ikan yang Frekuensi rata-rata konsumsi ikan per bulan antara peserta proyek pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 24, lebih dari dua kali lipat perkiraan pada periode yang sama tahun 2007. Meskipun kenaikan serupa juga dicatat dalam rumah tangga non-proyek, frekuensi konsumsi ikan jelas lebih tinggi di antara kelompok pembudidaya ikan dan kelompok intervensi rantai nilai budidaya ikan yang

Peningkatan substansial dalam konsumsi ikan, daging dan telur oleh rumah tangga Adivasi menegaskan pentingnya budidaya dan intervensi teknologi yang terkait dalam meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. Hal ini juga dikaitkan dengan peningkatan pendapatan tahunan (lihat Tabel 6), mencerminkan peningkatan konsumsi makanan bernilai tinggi.

Tabel 8. Perubahan dalam ketahanan pangan dan gizi rumah tangga Adivasi, yang diukur dengan frekuensi makan / bulan

Seperti di tempat lain, salah satu karakteristik utama masyarakat yang tersisihkan dan terpinggirkan di Banglades adalah rendahnya partisipasi mereka dalam organisasi sosial. Pengorganisasian masyarakat seperti melalui pembentukan dan penguatan organisasi masyarakat adalah alat yang efektif untuk pemberdayaan.

Peningkatan keterlibatan rumah tangga Adivasi di organisasi masyarakat terbukti pada tahun 2009. Lebih dari dua-pertiga rumah tangga memiliki keanggotaan dalam sebuah organisasi pada tahun 2007, sementara sebagian kecil rumah tangga yang bukan anggota organisasi apapun, dan lebih dari seperempat yang melekat pada dua organisasi atau lebih. Namun, peningkatan luar biasa dalam proporsi rumah tangga Adivasi yang melekat pada lebih dari satu organisasi masyarakat tercatat pada tahun 2009 (Tabel 9). Dengan pengecualian dari rumah tangga nonproyek, semua rumah tangga memiliki keanggotaan di satu atau lebih organisasi pada tahun 2009. Keanggotaan kelompok seputar tanaman, ternak, produksi ikan dan pemasaran untuk berbagai kelompok sosial dan keuangan mikro yang didirikan oleh organisasi pemerintah/LSM yang bekerja di daerah tersebut. Sekolah Lapang yang didirikan oleh proyek ini adalah salah satu kelompok masyarakat yang sebagian besar anggotanya adalah rumah tangga Adivasi.

Tabel 9. Proporsi Rumah Tangga Adivasi (%) Dengan Keanggotaan Dalam Organisasi Masyarakat (n = jumlah kasus)

Rendahnya partisipasi rumah tangga Adivasi dalam organisasi masyarakat tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi juga oleh marjinalisasi sosial. Adivasi didiskriminasi atas dasar sejumlah prasangka sosial, misalnya, mereka dicap sebagai pemabuk, orang-orang nomaden, dan lain-lain ( NETZ, 2011). Namun demikian, memastikan partisipasi mereka meningkat dalam organisasi sosial dan masyarakat adalah cara yang tepat untuk memungkinkan mereka agar meningkatkan suara mereka, sehingga intergrasi social mereka meningkat. Peningkatan partisipasi dalam organisasi masyarakat merupakan indikasi kuat dari kontribusi tidak langsung dari Proyek Perikanan Adivasi untuk pemberdayaan

Di bagian atas jelas menunjukkan bahwa promosi akuakultur dan intervensi mata pencaharian terkait melalui proyek peningkatan ketahanan pangan dan gizi, menambah pendapatan rumah tangga, meningkatkan aset penghidupan, dan membangun modal sosial, bahkan di antara bagian termiskin dari masyarakat Adivasi. Namun, tidak jarang untuk intervensi mata pencaharian yang berhasil selama periode dukungan proyek akhirnya gagal setelah dukungan proyek dihapus. Hal ini sangat umum di kalangan orang miskin sumber daya dan terpinggirkan dan terjadi karena berbagai alasan, termasuk ketidakmampuan mereka untuk mengatasi perubahan konteks sosial, ekonomi dan ekologi. Namun demikian, keseluruhan tingkat retensi budidaya ikan dan pilihan mata pencaharian yang terkait di antara masyarakat Adivasi ditemukan relatif tinggi untuk beberapa kegiatan seperti budidaya ikan di kolam, jarring apung, dan pemasaran ikan dan benih ikan, di mana 80-90 % dari peserta proyek yang meneruskan kegiatan yang telah mereka adopsi selama periode proyek, sedangkan 20-30 % peserta bahkan telah memperluas usaha mereka di tahun- tahun berikutnya setelah akhir proyek. Namun, perbedaan dalam retensi pilihan teknologi dan intervensi terkait diamati, seperti terlihat Tabel 10.

Tabel 10. Keberlanjutan perikanan budidaya dan kegiatan rantai nilai budidaya ikan dari Proyek Perikanan Adivasi oleh kelompok Sekolah Lapang di lokasi terpilih

Kelompok pembudidaya ikan di kolam tetap melanjutkan kegiatan di semua lokasi; banyak rumah tangga juga telah memperluas ukuran kolam dan mengintensifkan sistem produksi ikan melalui pemberian pakan dan manajemen yang lebih baik. Namun, beberapa dari mereka yang melakukan minapadi telah berhenti. Dari lima kelompok Sekoah Lapang (FFS) yang dikunjungi pada tahun 2012 di mana proyek telah memperkenalkan teknologi minapadi, telah berhenti melakukan kegiatan minapadi baik yang disebabkan oleh banjir dan kekurangan air maupun lainnya. Namun, produksi di masyarakat lain telah diperluas oleh sejumlah plot kecil. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adopsi dan retensi teknologi minapadi rendah di kalangan petani marginal di Banglades dikaitkan dengan rendahnya akses mereka ke sumber daya, teknologi, penyuluhan dan jasa keuangan, serta kurangnya waktu kerja untuk kegiatan minapadi karena mereka terlibat dalam pekerjaan off - farm yang berat untuk penghasilan mereka ( Gupta et al . , 1999) . Barman dan Little ( 2006) menegaskan bahwa petani miskin di daerah yang tingkat pekerjaannya di luar pertanian dan berbagai peluang lain untuk menghasilkan pendapatan tinggi relatif kurang terlibat dalam minapadi. Ini mungkin alasan rendahnya tingkat keberhasilan adopsi dan retensi usahatani minapadi antara rumah tangga Adivasi di seluruh lokasi dalam penelitian ini.

Penelitian ROM pasca proyek dilakukan untuk Uni Eropa pada tahun 2010 dilaporkan bahwa adopsi sekunder budidaya ikan di kolam dan budidaya minapadi telah terjadi di beberapa lokasi yang dikunjungi oleh tim monitoring, tapi itu-mengejutkan-mereka yang memiliki akses ke tanah atau kolam lebih Penelitian ROM pasca proyek dilakukan untuk Uni Eropa pada tahun 2010 dilaporkan bahwa adopsi sekunder budidaya ikan di kolam dan budidaya minapadi telah terjadi di beberapa lokasi yang dikunjungi oleh tim monitoring, tapi itu-mengejutkan-mereka yang memiliki akses ke tanah atau kolam lebih

Gambar 12. Pertemuan Pembinaan Rutin di Masyarakat Adivasi

Tingkat retensi pilihan teknologi budidaya ikan yang berhubungan antara kelompok-kelompok yang tidak memiliki lahan juga tinggi. Beberapa kelompok pemasar pakan ikan dan benih ikan telah berhenti menjalankan aktivitas usahanya. Namun kelompok jarring apung masih melanjutkan aktivitasnya di kebanyakan lokasi, hanya sedikit kelompok di beberapa lokasi yang tidak melanjutkan aktivitasnya. Dari empat kelompok jaring apung yang dikunjungi pada tahun 2012, tiga telah diperluas dengan meningkatkan jumlah jaring dan anggota kelompok, dan satu telah bubar, tetapi beberapa anggota bergabung dengan tim utama jaring apung Bengali (Tabel 10). Misi ROM Uni Eropa pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa kegiatan tersebut mungkin akan membuktikan berkelanjutan, mengingat bahwa 'jaring apung memiliki permintaan yang tinggi, menguntungkan dan aktivitas alternatif yang lebih baik bagi tenaga kerja tani harian' . Misi ROM juga mencatat bahwa untuk semua perusahaan yang terkait akuakultur diinisiasi, keuntungan yang terlihat akan berlanjut kompeten, percaya diri dan menguntungkan. Mereka menyimpulkan bahwa ada prospek yang baik Tingkat retensi pilihan teknologi budidaya ikan yang berhubungan antara kelompok-kelompok yang tidak memiliki lahan juga tinggi. Beberapa kelompok pemasar pakan ikan dan benih ikan telah berhenti menjalankan aktivitas usahanya. Namun kelompok jarring apung masih melanjutkan aktivitasnya di kebanyakan lokasi, hanya sedikit kelompok di beberapa lokasi yang tidak melanjutkan aktivitasnya. Dari empat kelompok jaring apung yang dikunjungi pada tahun 2012, tiga telah diperluas dengan meningkatkan jumlah jaring dan anggota kelompok, dan satu telah bubar, tetapi beberapa anggota bergabung dengan tim utama jaring apung Bengali (Tabel 10). Misi ROM Uni Eropa pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa kegiatan tersebut mungkin akan membuktikan berkelanjutan, mengingat bahwa 'jaring apung memiliki permintaan yang tinggi, menguntungkan dan aktivitas alternatif yang lebih baik bagi tenaga kerja tani harian' . Misi ROM juga mencatat bahwa untuk semua perusahaan yang terkait akuakultur diinisiasi, keuntungan yang terlihat akan berlanjut kompeten, percaya diri dan menguntungkan. Mereka menyimpulkan bahwa ada prospek yang baik

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

GAMBARAN PERAN ORANG TUA DALAM MEMBERIKAN STIMULASI PERKEMBANGAN : KEMANDIRIAN DAN SOSIALISASI PADA ANAK USIA PRASEKOLAH (3-6 TAHUN) Di Wilayah Kerja Puskesmas Pandanwangi Malang Tahun 2015

0 51 18

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

IMPROVING CLASS VIII B STUDENTS’ READING COMPREHENSION ACHIEVEMENT BY USING THINK-PAIR-SHARE TECHNIQUE AT MTs. AL-HIDAYAH BONDOYUDO LUMAJANG IN THE 2012/2013 ACADEMIC YEAR

0 46 12

2. TPM KOTA IPA PAKET B

21 153 17

MatematikaIPS B

0 28 12

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

EFEKTIVITAS BIDANG KONSULTASI DAN BANTUAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM PERKARA PIDANA

1 37 73

PENGARUH PERSEPSI KEMUDAHAN DAN PERSEPSI MANFAAT TERHADAPNIAT BELI ULANG SECARA ONLINE DENGAN KEPUASAN SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

0 2 14