Kajian Yuridis Terhadap Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti Dan Pemilik Rumah (Studi Pada PT.Bursa Properti Medan)

BAB II

PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Perjanjian Secara Umum

1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Ini dijelaskan dalam Pasal
1233 KUH Perdata bahwa perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena
undang-undang. Akan tetapi dalam prakteknya perjanjian juga disebut juga
dengan persetujuan dan kontrak, kontrak (contract) menurut Black’s Law
Dictionary, diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang
menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.
Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu
atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor
dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk
menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.
Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam
perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.
Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut,
maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang

belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah
dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan,

Universitas Sumatera Utara

dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga, kerugian dan biaya
yang telah dikeluarkan oleh kreditor.18
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Jika diperhatikan
dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut
ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang
mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah
kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih
orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut
memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada
dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan
pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masingmasing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan
berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih
badan hukum.19

Para sarjana hukum umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang
terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas.
Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak
saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam
lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjan jian juga,
tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku
III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai
18

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian,RajaGrafindo Persada,Jakarta,2003,hal.91
19
Ibid,hal.92

Universitas Sumatera Utara

secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang. 20 Dengan demikian defenisi
itu perlu disempurnakan dan dapat dilengkapi melalui doktrin. Menurut doktrin
(teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.21 Berdasarkan defenisi ini, telah

tampak

adanya

asas

konsensualisme

dan

timbulnya

akibat

hukum

(tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).22
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan
dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.23 Teori baru tersebut

tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi harus dilihat perbuatan
sebelumnya atau yang mendahuluinya dan terbagi atas tiga tahap dalam membuat
perjanjian, yaitu:
a.

Tahap pra-contractual, yaitu adanya penawaran dan permintaan;

b.

Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak
antara para pihak;

c.

Tahap post-contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.24

Berdasarkan kelemahan defenisi itu, beberapa ahli hukum memberikan
defenisi tentang perjanjian. Menurut Salim H.S, perjanjian merupakan:
Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain
dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu


20

Mariam darus,dkk (2), Kompilasi Hukum Perikatan, Dalam rangka Memperingati
Memasuki masa Purna Bakti Usia 70 tahun, Citra Aditya Bakti, Bandung,2011,hal.65
21
Salim H.S.(1), Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,Buku
Kesatu,Sinar Grafika,Jakarta,2004,hal.15
22
Ibid.
23
Ibid,hal.16
24
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya. 25
Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian tidak merupakan satu

perbuatan hukum, akan tetapi merupakan hubungan hukum antara dua orang yang
bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.26
Defenisi di atas, secara jelas terdapat persetujuan antara para pihak dan
juga perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan yang
erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian pada Pasal
1320 KUH Perdata.27 Perjanjian disebut juga persetujuan atau kontrak karena
menyangkut kedua belah pihak yang setuju atau sepakat untuk melakukan sesuatu.

2. Subjek dan Objek Perjanjian
Menurut R.Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain.
a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan
perbuatan melawan hukum tersebut, siapapun yang menjadi para pihak
dalam suatu perjanjian harus memenuhi syarat bahwa mereka adalah cakap
untuk melakukan perbuatan hukum.
b. Ada kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas
dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan,
atau penipuan), dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak
yang membuat perjanjian, maka perjanjian itu mengikat mereka yang
membuatnya.28


Subjek perjanjian, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian sekurang-kurangnya ada
dua pihak. Subjek perjanjian harus melakukan perbuatan hukum seperti yang
diatur dalam undang-undang. Subjek perjanjian dapat berupa manusia pribadi
yang berwenang melakukan perbuatan hukum apabila sudah berumur 21 tahun
25

Ibid. hal. 17
Sudikno
Mertokusumo,
Mengenal
Hukum
Suatu
Pengantar,
Liberty
Yogyakarta,Yogyakarta,2003, hal.117-118
27
Titik Triwulan tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,
Kencana,Jakarta,2010,hal.222
28
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Pembimbing Masa, Jakarta, 1999, hal. 16

26

Universitas Sumatera Utara

penuh (dewasa) atau walaupun belum 21 tahun penuh, sudah kawin, sehat ingatan
dan tidak dibawah pengampuan. Subjek perjanjian berupa badan hukum dan status
badan hukum itu sah menurut akta pendirian yang sudah diakui oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan untuk objek perjanjian, dinyatakan
bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurang-kurangnya
objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa benda yang
sekarang ada dan benda yang nanti akan ada. Sehingga dapat disimpulkan syaratsyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian, antara lain:
1) Barang-barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata),
2) Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333
KUH Perdata) Tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu,
asal saja jumlah itu di kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung.
3) Barang-barang yang aka nada dikemudian hari (Pasal1334 ayat 2 KUH
Perdata).
Barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah :
a) Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang
dipakai Negara,

b) Barang-barang

yang

dilarang

oleh

uandang-undang,

misalnya

narkotika,
c) Warisan yang belum terbuka.
Menurut R.Subekti, mengenai objek perjanjian ditentukan bahwa :
(1) Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas
untuk menetapkan kewajiban masing-masing.

Universitas Sumatera Utara


(2) Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.29
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah
perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak
pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

3. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat
hukum. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa, syaratsyarat sah perjanjian:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama disebut syarat objektif, karena menyangkut subjeknya
atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir
disebut syarat objektif, karena berhubungan langsung dengan objek perjanjian.
Ad.a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Menurut Subekti, yang dimaksud sepakat adalah kedua subjek yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju, atau seia-sekata mengenai

hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh
pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu
29

Ibid,.

Universitas Sumatera Utara

yang sama secara timbal balik.30 Cara mengutarakan kehendak ini bisa bermacammacam, dapat dilakukan secara tegas atau diam-diam, dengan tertulis (melalui
akta otentik atau dibawah tangan) atau dengan tanda.31 Namun dalam
mengutarakan kehendak tersebut dapat terjadi adanya ketidaksesuaian antara
kehendak dan pernyataan baik karena salah menulis atau salahnya sarana
komunikasi dalam menyampaikan kehendak. Menentukan kapan terjadinya
kesepakatan, ada tiga teori yang menentukannya, yaitu teori kehendak, teori
pernyataan dan teori kepercayaan.
Teori-teori tersebut menyatakan sebagai berikut:
1) Teori kehendak
Menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi suatu perjanjian,
adalah kehendak para pihak. Suatu perjanjian yang tidak didasarkan atas
suatu kehendak yang tidak benar adalah tidak sah.
2) Teori pernyataan
Menurut teori ini yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah
pernyataan. Jika terjadiperbedaan antara kehendak dan pernyataan maka
perjanjian tetap terjadi.
3) Teori kepercayaan
Teori ini merupakan perbaikan atas teori kehendak maupun dari
teoripernyataan. Menurut teori ini yang menjadi ukuran adalah pernyataan
seseorang yang secara objektif dapat dipercaya. 32

30

Ibid,hal.7
J.Satrio,Hukum Perjanjian,Citra Aditya Bakti, Bandung,1992,hal.3
32
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan,
Nuansa aulia,Bandung,2008,hal.93-94.
31

Universitas Sumatera Utara

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa
para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan
atau saling menyetujui kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak
dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.33 Dalam Pasal 1321 KUH
Perdata dinyatakan: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka terdapat beberapa unsur yang merupakan faktor yang
dapat menimbulkan cacatnya suatu kesepakatan. Unsur-unsur tersebut, yaitu:
a) Unsur paksaan (dwang)
Paksaan ialah paksaan terhadap badan (fisik) dan paksaan terhadap jiwa
(psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang. Tetapi dalam hal
ini, di dalamnya undang-undang ada suatu unsur paksaan yang diizinkan
oleh undang-undang, yakni paksaan dengan alasan akan dituntut dimuka
hakim, apabila pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang telah
ditetapkan.34
Paksaan harus menimbulkan rasa takut yaitu rasa takut yang rasional,
maksudnya orang lain yang apabila diposisikan dengan suatu paksaan/
pemaksaan tersebut juga akan merasa takut dan terancam (adanya
ancaman bagi diri sendiri maupun bagi keluarganya).
b) Unsur penipuan (bedrog)
Penipuan yaitu apabila terjadi suatu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan yang tidak benar.
33

Riduan Syahrani,Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata Cet3,Alumni,Bandung,2006,hal 205.
34
C.S.T. Kansil,Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya
Paramita,2006,hal.224.

Universitas Sumatera Utara

c) Unsur kekeliruan/kekhilafan (dwaling)
Kekeliruan atau kekhilafan dapat terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu
kekeliruan terhadap orang atau subjek hukum dan kekeliruan terhadap
barang atau objek hukum.
d) Unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van de omstandingheden)
Hukum perjanjian dalam perkembangannya di Negeri Belanda menerima
penyalahgunaaan keadaan sebagai alasan untuk membatalkan suatu
perjanjian, selain yang tradisional atau klasik, seperti paksaan, penipuan,
atau kekhilafan tersebut. Mengenai penyalahgunaaan keadaan ini dalam
BW Belanda yang baru (NBW), diatur dalam Buku III, Pasal 44 ayat (1),
dalam ketentuan ini penyalahgunaan keadaan ditempatkan sebagai cacat
kehendak yang keempat, disamping paksaan, penipuan, dan kekhilafan.35
Ad.b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Semua orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan-perikatan jika
oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap, sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1329 KUH Perdata. Dengan demikian apabila tidak dinyatakan dalam
undang-undang bahwa seseorang tidak cakap membuat suatu perikatan, maka
seseorang tersebut merupakan orang yang cakap untuk membuat suatu perikatan.
Dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang dinyatakan bahwa, tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
Pengertian orang-orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUH
Perdata dihubungkan dengan Pasal 1330 KUH Perdata. Menurut Pasal 330
35

Djaja S. Meliala,Op-cit,hal 94.

Universitas Sumatera Utara

KUH Perdata yang dinyatakan bahwa, “Belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih
dahulu kawin”. Dengan demikian yang termasuk golongan orang-orang
yang belum dewasa adalah orang yang belum kawin dan belum berumur
21 tahun. Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun
1974, maka ketentuan umum dewasa diubah sehingga menjadi 18 tahun
(sudah pernah kawin) ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam
putusannya No.477K/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976.
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
Pengertian orang yang di bawah pengampuan (curatele) menurut Pasal
443 KUH Perdata dinyatakan bahwa, “Setiap orang dewasa yang selalu
berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, dan boros”.
Dengan kata lain bahwa yang di bawah pengampuan yaitu orang yang
sudah dewasa atau telah berumur di atas 21 tahun tetapi tidak mampu
karena pemabuk, gila, dan pemboros.
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang dan pada umumya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun ketentuan ini
telah dicabut oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963
tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia.
Ad.c. Syarat hal tertentu;
Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai
benda dalam suatu perjanjian antara para subjek hukum, apakah menyangkut

Universitas Sumatera Utara

benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak.
Dalam Pasal 1332 sampai Pasal 1334 KUH Perdata dijabarkan mengenai
keharusan adanya suatu objek dalam perjanjian, hal ini adalah konsekuensi logis
dari perjanjian tertulis itu sendiri. Tanpa adanya suatu objek, yang merupakan
tujuan dari para pihak, yang berisikan hak dan kewajiban dari salah satu atau para
pihak dalam perjanjian, maka perjanjian itu sendiri absurb adanya.36
Ad.d. Syarat sebab yang halal.
Isitilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi
yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan perundang-undangan, hal tersebut dikuatkan dari pernyataan
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH
Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu kausa yang halal dalam
setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Pasal 1337 KUH Perdata memberikan perumusan secara negatif, dengan
dinyatakan bahwa suatu kausa dianggap secara terlarang, jika kausa tersebut
dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum yang berlaku
dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan
dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Hakim yang dapat menguji
apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

36

C.S.T. Kansil,Op-cit,hal.124

Universitas Sumatera Utara

4. Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar
kehendak pihak-pihak untuk mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah
sebagaimana diuraikan berikut ini:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mempunyai arti setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa
saja, baik yang sudah diatur maupun belum diatur dalam undang-undang.
Akan tetapi, kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang
undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan.
b. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini mempunyai arti bahwa janji itu mengikat, bahwa suatu kontrak
yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh, KUH
Perdata juga menganut prinsip ini yang mengatakan bahwa suatu
perjanjian berlaku seperti undang-undang bagi para para pihak yang
membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata).
c. Asas Konsensual
Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai
kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.
Sejak saat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu cukup
secara lisan saja. Akan tetapi, ada perjanjian tertentu yang dibuat secara
tertulis, misalnya perjanjian perdamaian, hibah, dan asuransi. Tujuannya
adalah untuk bukti lengkap mengenai apa yang diperjanjikan atau
perjanjian formal

Universitas Sumatera Utara

d. Asas Obligatoir
Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak
itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum
mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan
perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui
penyerahan (levering).37
Asas-asas inilah yang merupakan asas terpenting dari begitu banyak asas yang ada
dalam perjanjian.

5. Hapusnya Perjanjian
Perikatan hapus ada sepuluh cara dan telah diatur dalam Pasal 1381 KUH
Perdata yang mengatur berbagai cara hapusnya perikatan yang lahir dari
perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang, dengan cara-cara yang
ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu, tidaklah membatasi para pihak
untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan.
Menurut Salim dalam bukunya Hukum Kontrak Teori dan Teknik
Penyusunan Kontrak, adapun cara-cara penghapusan perikatan antara lain:38
a. Karena pembayaran (betaling);
Pengertian pembayaran dalam hal ini harus dipahami secara luas, tidak
boleh diartikan dalam ruang lingkup yang sempit, seperti yang selalu
diartikan hanya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan
hutang semata-mata. Mengartikan pembayaran hanya terbatas pada

37

Abdulkadir Muhammad,Op-cit,hal 295.
Salim H.S (2), Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika,Jakarta,2003, hal.169

38

Universitas Sumatera Utara

“pelunasan hutang”semata-mata tidaklah selamanya benar karena ditinjau
dari segi yuridis teknis, tidak selamanya harus berbentuk sejumlah uang
atau barang tertentu, bisa saja dengan pemenuhan jasa atau pembayaran
dengan bentuk tak berwujud atau yang immaterial. Pembayaran prestasi
dapat dilakukan dengan “melakukan sesuatu”. Misalkan tukang cukur
yang telah melakukan suatu perbuatan jasa dapat saja disebut telah
membayar prestasi dengan jasa. Guru privat yang telah memberi pelajaran,
termasuk dalam arti “pembayaran”. Berakhirnya

kontrak karena

pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 KUH Perdata
sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata. Ada dua pengertian pembayaran,
yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis. Pengertian pembayaran
dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitor kepada kreditor.
Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang, namun
pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang
atau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter bedah,
tukang cukur, atau guru privat. Orang yang dapat melakukan pembayaran
utang, adalah:
1) Debitor yang berkepentingan langsung:
a) Penjamin atau borgtocher,dan
b) Orang ketiga yang bertindak atas nama debitor.
2) Orang yang berhak menerima pembayaran, yaitu:
a) Kreditor,
b) Oang yang menerima kuasa dari kreditor,
c) Orang yang telah ditunjuk oleh hakim,dan

Universitas Sumatera Utara

d) Orang-orang yang berhak menurut undang-undang (Pasal 1385
KUH Perdata).
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan (konsignasi);
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai
hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang
prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan.
Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat
menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam
meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak
yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum
jatuh tempo, maka perjanjikan dapat berakhir, sebelum waktunya.
Penawaran pembayaran tunai utang dilakukan saat si berpiutang menolak
pembayaran dari si berutang. Penawaran yang demikian diikuti dengan
penitipan, membebaskan si berutang, dan berlaku baginya sebagai
pembayaran, asal penwaran itu telah dilakukan dengan cara menurut
undang-undang.
c. Karena pembaharuan utang (novasi);
Novasi di atur dalam Pasal 1413 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1424
KUH Perdata. Novasi adalah sebuah persetujuan, di mana suatu perikatan
telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang
ditempatkan di tempat yang asli. Vollmar mengartikan novasi adalah suatu
perjanjian karena dimana sebuah perjanjian yang akan dihapus, dan
seketika itu juga timbul sebuah perjanjian baru. Novasi adalah suatu
perjanjian antara debitur dan kreditur, dimana perjanjian lama dan
subjeknya yang ada dihapuskan dan timbul sebuah objek dan subjek
perjanjian yang baru.

Universitas Sumatera Utara

d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 KUH Perdata
sampai Pasal 1435 KUH Perdata. Kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang
sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur. Syarat-syarat terjadinya
kompensasi:
1) Kedua-duanya berpokok pada sejumlah uang;atau
2) Berpokok pada jumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang
sama; atau
3) Kedua-duanya dapat ditetapkan dan ditagih seketika.
Adapun tujuan utama dari kompensasi, yaitu:
a) Penyederhanaan pembayaran yang simpang siur antara pihak kreditur
dan debitur;
b) Dimungkinkan terjadinya pembayaran sebagian;
c) Memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.
Kompensasi dapat terjadi dengan dua macam cara, yaitu:
1) Demi hukum
Kompensasi atau perjumpaan hutang demi hukum atau ipso jure
compensatur adalah suatu perjumpaan utang yang terjadi tanpa adanya
pemberitahuan dan permintaan dari pihak debitur dan kreditur.
2) Batas permintaan kedua belah pihak
Kompensasi atau perjumpaan hutang kontraktual adalah suatu bentuk
kompensasi yang terjadi atas dasar permintaan dan persetujuan antara
pihak debitur dan kreditur.

Universitas Sumatera Utara

e. Karena percampuran utang;
Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata sampai dengan
Pasal 1437 KUH Perdata. Percampuran utang adalah percampuran
kedudukan sebagai orang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur
menjadi satu. Percampuran utang dapat terjadi dengan dua cara, yaitu:
1) Dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum,dan
2) Dengan jalan penerusan hak dibawah ala hak khusus.
f. Karena pembebasan utang;
Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata sampai dengan
Pasal 1443 KUH Perdata. Pembebasan utang adalah suatu pernyataan
sepihak dari kreditur kepada debitur, bahwa debitur dibebaskan dari
perutangan. Ada dua cara terjadinya pembebasan utang, yaitu:
1) Cuma-cuma, dan
2) Prestasi dari pihak debitur.
Pembebasan hutang dengan cuma-cuma harus dipandang sebagai
penghadiahan. Sedangkan prestasi dari pihak debitur, artinya sebuah
prestasi lain, selain prestasi yang terutang. Pembebasan ini didasarkan
pada perjanjian.
g. Karena musnahnya barang yang terutang;
Menurut ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentuyang
menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau
hilang bukan karena kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai
menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan, perikatannya menjadi
hapus. Akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak

Universitas Sumatera Utara

sah, misalnya, karena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda itu
tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri) untuk mengganti
harganya.
h. Karena kebatalan atau pembatalan;
Kebatalan kontrak diatur dalam Pasal 1446 KUH Perdata sampai dengan
Pasal 1456 KUH Perdata. Adanya tiga penyebab timbulnya pembatalan
kontrak, yaitu:
1) Adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum
dewasa dan dibawah pengampuan ;
2) Tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang di syaratkan undangundang;
3) Ada cacat kehendak.
i. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku
ini;
Syarat batal yang dimaksud di sini adalah ketentuan isi perikatan yang
disetujui oleh kedua belah pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi
mengakibatkan perikatan itu batal (nietig) sehingga perikatan menjadi
hapus. Syarat ini disebut syarat batal. Syarat batal pada asasnya selalu
berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal
dipulihkan dalam keadaan semula.
j. Karena daluarsa atau verjaring, hal mana akan diatur dalam suatu bab
tersendiri.
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa)
perjanjian. Berakhirnya perjanjian karena apabila segala sesuatu yang

Universitas Sumatera Utara

menjadi isi perjanjian telah dilaksanakan. Semua kesepakatan diantara
para pihak menjadi berakhir setelah apa yang menjadi tujuan
diadakannnya perjanjian telah tercapai oleh para pihak
Hapusnya perikatan bisa terjadi akibat dari sepuluh syarat batal yang telah
dijelaskan diatas, sesuai dengan pendapat Salim H.S dalam bukunya hukum
kontrak teori dan teknik penyusunan kontrak.
B. Perjanjian Baku Secara Umum
1. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standart
contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah
dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak
oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.
Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah:
“Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah ssatu pihak dalam
kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate)
dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal
ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umunya para pihak
hanyamengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau
tanpaperubahan dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak
tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu
pihak tersebut,sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak
yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai
kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave
it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen
kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut.
Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak baku
an sich adalah netral”.39
Menurut Mariam Badrulzaman bahwa standar kontrak merupakan perjanjian
yang telah dibakukan dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
39

Ibid,hal.99

Universitas Sumatera Utara

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat;
b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian;
c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
d. Bentuk tertentu (tertulis);
e. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.40

Hakekatnya dari perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah
distandarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya
diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya
perjanjian tersebut, maka ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia
menolak, maka perjanjian itu dianggap tidak ada, karena debitur tidak
menandatangani perjanjian tersebut. Dalam praktiknya, sering kali debitur yang
hanya menandatangani perjanjian tersebut tanpa dibacakan isinya. Namun isi
perjanjian baru dipersoalkan oleh debitur pada saat debitur tidak mampu
melaksanakan prestasinya. Kreditur berpendapat bahwa di dalam standar kontrak
telah ditentukan dan diatur secara jelas dan rinci, sehingga tidak ada alasan bagi
debitur untuk menolak pemenuhan prestasi tersebut.
Terlihat dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur kontrak baku,
yaitu:
1) Diatur oleh kreditur atau ekonomi kuat;
2) Dalam bentuk sebuah formulir; dan
3) Adanya klausul-klausul eksonerasi/pengecualian.41

40

Mariam Darus Badrulzaman (3), Perjanjian Baku(standard),Perkembangannya di
Indonesia,Alumni,Bandung, 1980,hal.4
41

Salim H.S, Erlies S.N (3),Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia,Sinar
Grafika,Jakarta,2014,hal.101

Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah
kontrak yang bersifat ambil atau tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip
kontrak. Dalam reformasi hukum perjanjian diperlukan pengaturan tentang
kontrak standar. Hal ini sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat, terutama
masyarakat ekonomi lemah terhadap ekonomi kuat.
2. Bentuk dan Jenis Perjanjian Baku
Bentuk perjanjian baku atau standar yang dibuat salah satu pihak adalah
berbentuk tertulis. Isinya telah ditentukan secara sepihak oleh pihak ekonomi
kuat. Isinya dituangkan dalam klausul baku. Menurut Pasal 1 angka 10 Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya
disebut UUPK, klausul baku adalah:
“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan atau
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen”42
Kajian defenisi diatas, maka klausul baku itu dituangkan dalam satu dokumen
atau perjanjian. Pembuatan klausul baku ini tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan yang baik. Oleh karena itu,
Hondius mengemukakan bahwa dewasa ini terdapat syarat-syarat baku di hampir
semua bidang di mana dibuat kontrak. Beberapa aktivitas penting dan cabangcabang perusahaan, dimana banyak perjanjian dibuat atas dasar syarat baku,
seperti:
a. Perjanjian kerja (perjanjian kerja kolektif);
b. Perbankan (syarat-syarat umum perbankan);
42

Ibid., hal.108

Universitas Sumatera Utara

c. Pembangunan (syarat-syarat seragam administrative untuk pelaksanakan
pekerjaan);
d. Beli sewa;
e. Sektor pemberian jasa-jasa;
f. Sewa menyewa;
g. Dagang dan perniagaan;
h. Perusahaan pelabuhan;
i. Pemberian kredit;
j. Urusan makelar;
k. Praktik notaris dan hukum lainnya;
l. Urusan asuransi.43
Hondius mengemukakan bahwa kiranya tidak tepat kalau ada kesan
seakan-akan hampir semua transaksi dibuat atas dasar syarat-syarat baku. Tidak
semua transaksi cocok untuk dibakukan, sebagai contoh kontrak yang tidak cocok
dibakukan adalah:
1) Jenis-jenis kontrak baru dan hubungan hukum baru;
2) Transaksi antara pengusaha dan seorang partikelir, yang segera
dilaksanakan dalam hal mana pengusaha tidak ada risiko besar
(misalanya penjualan bahan makanan);
3) Transaksi antara golongan swasta satu dengan swasta lain (penjualan
mobil bekas);
4) Perjanjian-perjanjian, kedua belah pihak segan mempergunakan
dokumen-dokumen (misalnya transaksi gelap, tidak diberikan nota
karena kedua belah pihak mengelakkan undang-undang pajak
peredaran).
Mariam Darus Barulzaman membagi jenis perjanjian baku menjadi empat
jenis, yaitu:

43

Hondius,Syarat-syarat Baku dalam Hukum Kontrak,Artikel dalam Kompendium
Hukum Belanda,Gravenhage,1978,hal.141

Universitas Sumatera Utara

a) Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang
kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi
ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur;
b) Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya
ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang
pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya
buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi,
misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah perjanjian baku
yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjnajina yang mempunyai objek
hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya formulir-formulir
perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri
tanggal 6 Agustus 1977 No.104/dja/1977 berupa antara lain akta jual
beli;dan
d) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat
adalah perjanjian-perjnajian yang konsepnya sejak semula sudah
disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang
minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, di dalam
perpustakaan belanda, jenis keempat ini disebut contract model.
Berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai jenis perjanjian yang berlaku di
Indonesia, Salim H.S dan Erlies S.N telah menginventarisir berbagai kontrak yang

Universitas Sumatera Utara

telah dibakukan. Kontrak itu dapat dikaji dari objeknya. Jenis-jenis kontrak
tersebut sebagai berikut:
(1) Kontrak baku yang dikenal dalam bidang pertambangan umum dan
minyak dan gas bumi, seperti kontrak baku pada kontrak karya,
kontrak production sharing, perjanjian karya pengusahaan batu bara,
kontrak bantuan teknis, dan lain-lain.
(2) Kontrak baku yang dikenal dalam praktik bisnis, sperti kontrak baku
dalam perjanjian leasing, beli sewa, franchise, dan lain-lain.
(3) Kontrak baku yang dikenal dalam bidang perbankan, seperti
perjanjian kredit bank, perjanjian bagi hasil pada bank syariah.
(4) Kontrak baku yang dikenal dalam perjanjian pembiayaan nonbank,
seperti perjanjian pembiayaan dengan pola bagi hasil pada perusahaan
modal ventura.
(5) Kontrak baku yang dikenal dalam bidang asuransi, seperti perjanjian
asuransi yang dibuat oleh perusahaan asuransi.44
Di samping itu, dikenal juga perjanjian baku yang dikenal dalam pembebanan
jaminan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan, fidusia, dan gadai.
Perjanjian ini telah dibakukan oleh pemerintah dan lembaga pegadaian.
3. Perlindungan bagi Pemilik Rumah dalam Perjanjian Baku
Perlindungan pemilik rumah dalam perjanjian baku yang dibuat antara
agen pemasaran perusahaan properti dengan pemilik rumah sebenarnya tidak
diatur jelas dalam undang-undang, akan tetapidapat menghubungkannya dengan
UUPK, dimana kedudukan pemilik rumah ini sebagai konsumen pemakai jasa
44

Salim H.S, Erlies S.N (3),Op-cit., hal.107

Universitas Sumatera Utara

agen pemasaran dalam menjual rumahnya. Yang menjadi isu pokok dalam
kesepakatan itu adanya perjanjian standar (baku), yang oleh banyak pihak dinilai
tidak adil bagi pihak konsumen.Sehingga banyak pendapat sarjana hukum yang
menyatakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian, akan tetapi Salim H.S
berpandangan bahwa:
“Perjanjian baku memiliki kekuatan mengikat karena kebisaaan yang berlaku
dalam masyarakat, yang pada dasarnya masyarakat menginginkan hal-hal
yang bersifat pragmatis. Artinya dengan menandatangani perjanjian baku,
seseorang akan segera mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, tanpa
memerlukan waktu dan pikiran yang lama”.45
Upaya melindungi hak konsumen atau pemilik rumah yang merasa dalam
penandatanganan perjanjian ada upaya penipuan, paksaan maka pembatalan dapat
dilakukan seperti pada Pasal 1321 KUH Perdata yang menyebutkan tiga alasan
untuk melakukan pembatalan perjanjian,yakni:
a. Kekhilafan atau kesesatan (dwaling),
b. Paksaan (dwang),dan
c. Penipuan (bedrog).
Tiga alasan dalam Pasal 1321 KUH Perdata ini tetap berlaku sampai
sekarang, sekalipun di Belanda telah terjadi perkembangan yang sangat berarti,
khusunya dari sudut hukum perlindungan konsumen. Kemajuan ini dimaksud
adalah dimasukkannya alasan keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstandigheden). Keempat alasan ini dicantumkan dalam Buku III Pasal 44
ayat

(1)

Kitab

Undang-Undang

Hukum

Perdata

Belanda

yang baru.

Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat
kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak berada dalam
45

Ibid., hal 117

Universitas Sumatera Utara

keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Itu sebabnya, ada ahli yang
berpendapat penyalahgunaan keadaan ini sebagai salah satu bentuk dari cacat
kehendak juga.46
Satu hal yang harus diingat, penyalahgunaan keadaan sejak semula tidak
dapat dianggap sebagai hal yang dapat dibenarkan oleh hukum. Sebenarnya,
penyalahgunaan keadaan sejak dulu dimasukkan sebagai keadaan yang
bertentangan dengan ketertiban umum atau kebisaaan yang baik. Atas dasar itu,
suatu perjanjian dapat dinyatakan tidak berlaku, baik seluruhnya maupun bagian
tertentu saja. Dengan demikian, ada anggapan “sebab” yang terlarang sama
dengan “isi” perjanjian yang tidak dibenarkan. Padahal, penyalahgunaaan tidak
semata-mata berkaitan dengan “isi” perjanjian. Isinya mungkin tidak terlarang,
tetapi ada sesuatu yang lain, yang terjadi pada saat lahirnyaperjanjian, yang
menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Inilah yang dinamakan
“penyalahgunaan keadaan”.47
UUPK sendiri secara umum membuka kemungkinan pengajuan gugatan
oleh konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan faktor penyalahgunaan keadaan
ini. Penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan adanya lima asas perlindungan
konsumen, yaitu asas:
1) Manfaat;
2) Keadilan;
3) Keseimbangan;
4) Keamanan dan keselamatan,dan
5) Kepastian hukum.
46
47

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,Jakarta,2000,hal. 69.
J.Satrio,Op-cit, hal. 230-232.

Universitas Sumatera Utara

Pada asas keadilan, dijelaskan seluruh rakyat diupayakan agar dapat
berpartisipasi semaksimal mungkin dan agar diberi kesempatan kepada konsumen
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannnya
secara adil. Kemudian, dalam asas keseimbangan disebutkan, perlu diberi
keseimbangan antara kepentinagan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah
dalam arti materil dan sprituil.
Pasal 4 huruf g UUPK dinyatakan pula, salah satu hak konsumen adalah
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif. Penjelasan dari ketentuan tersebut secara jelas dapat ditafsirkan
sebagai keterkaitan dengan larangan “penyalahgunaan keadaan”, dalam ketentuan
itu dikatakan, setiap konsumen memilik hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya,
daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.
Dalam Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas dinyatakan, pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun
psikis terhadap konsumen. Selanjutnya dalam hubungannya dengan perjanjian
standar, Pasal 18 UUPK meletakkan hak-hak yang setara antara konsumen dan
pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak (Pasal 1320 KUH
Perdata)48, Perlunya perlindungan debitur dalam pelaksanaan perjanjian baku
disebabkan karena dalam prakteknya terdapat penyimpangan-penyimpanganyang
berupa klausul eksonerasi (exemption clause), klausul eksonerasi adalah klausul
yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali

48

Celina Tri S.K, Hukum Perlindungan Konsumen,Sinar Grafika,Jakarta,2014,hal. 113.

Universitas Sumatera Utara

tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penjual. 49
Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada akibatakibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban
yang diharuskan oleh undang-undang, antar lain tentang masalah ganti rugi dalam
hal perbuatan ingkar-janji. Ganti rugi ini tidak dijalankan apabila dalam
persyaratan eksonerasi tercantum hal itu. Contoh dari klausul eksonerasi adalah:50
a) Adanya pembebasan tanggung jawab pihak pengembang dalam perjanjian
pembelian rumah, dalam hal pengembang tidak dapat memenuhi janjinya
untuk melaksanakan penyelesaian pembangunan atas rumah yang dibeli,
tepat pada waktunya.
b) Adanya pembatasan tanggung jawab ganti rugi bagi perusahaan
pengangkutan berkaitan dengan kehilangan barang bawaan penumpang.
c) Adanya pembatasan terhadap tanggung jawab terhadap kecelakaan
jasmani yang diderita oleh penumpang.
Dapat dilihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar
antara produsen/penjual yang lazim disebut sebagai kreditor dan konsumen
(debitor) di lain pihak. Serta, penyalahgunaan keadaan dalam klausul perjanjian
tersebut. Walaupun harus diakui bahwa klausul yang terdapat dalam perjanjian
baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang kontrak
baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari
akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung jawab berdasarkan
klausul perjanjian tersebut, kecuali jika klausul tersebut merupakan klausul yang

49
50

Ibid,hal. 141.
Ibid.,hal 142.

Universitas Sumatera Utara

dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun isi Pasal 18 UUPK adalah:
1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
e) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa;
g) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa

konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya;

Universitas Sumatera Utara

h) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini.
Konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan
ayat (2) tersebut, dalam Pasal 18 ayat (3) dinyatakan batal demi hukumsetiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha padadokumen atau
perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) maupun
perjanjian baku atau klausula baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 18 ayat (2). Hal ini merupakan penegasan kembali akan sifat
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata.
Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang
dilarang sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) atau yang memiliki format
sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (2) dianggap tidak pernah ada dan
mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang melaksanakan transaksi
perdagangan barang dan/ atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari
klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) undan

Universitas Sumatera Utara

UUPK selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula
baku yang bertentangan dengan UUPK ini. Agar pihak konsumen selaku pemilik
rumah tidak lagi merasa dirugikan lagi dalam menjual rumahnya oleh pihak agen
pemasaran properti tersebut.

Universitas Sumatera Utara