Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

(1)

HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN

PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK

RUMAH/TANAH

(Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH :

RAYMOND SAPTAHARI NIM : 110200211

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN

PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK

RUMAH/TANAH

(Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH :

RAYMOND SAPTAHARI NIM : 110200211

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. HASIM PURBA, S.H., M. Hum. NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.Hum. Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum. NIP. 196302161988031002 NIP. 196908201995121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK RUMAH/TANAH

(Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

Raymond Saptahari1

Edy Ikhsan2

Dedi Harianto3

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya, menjadi salah satu faktor meningkatnya kebutuhan akan rumah. Hal ini menunjukkan adanya potensi pertumbuhan ekonomi di sektor properti. Mengenai sektor properti, terdapat satu bidang yang tidak dapat dipisahkan darinya yaitu keberadaan penyedia jasa pemasaran perdagangan properti, di mana jasa ini dibutuhkan sejalan dengan sikap manusia yang selalu menginginkan sesuatu yang serba cepat dan sesuai dengan keinginan. Latar belakang permasalahan ini adalah bahwa bisnis jasa pemasaran perdagangan properti yang dilakukan oleh badan usaha, melakukan hubungan kerjasama dengan pemilik properti. Hubungan kerjasama tersebut dalam pelaksanaannya didasari sebuah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk formulir yang isinya sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak perusahaan jasa pemasaran perdagangan properti, sehingga dalam perkembangannya sekarang terdapat kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Oleh karena itu, dapat dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut. Pertama, bagaimana pengaturan

hubungan hukum yang terjadi antara agen pemasaran properti dan pemilik

rumah/tanah. Kedua, apa saja kelemahan dan masalah yang terdapat dalam

perjanjian antara agen pemasaran properti Perusahaan Property One dan pemilik

rumah/tanah. Ketiga, bagaimana penyelesaian masalah yang dilakukan

Perusahaan Property One sebagai perantara jika terjadi wanprestasi dalam

pelaksanaan perjanjian dengan pemilik rumah/tanah.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode penelitian yuridis normatif dipergunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan atau bahan-bahan hukum lain mengenai pemasaran perdagangan properti, sedangkan metode penelitian yuridis empiris diperuntukkan mengetahui kenyataan hukum dalam Perusahaan Property One mengenai pelaksanaan perjanjian keagenan. Untuk memperoleh data pendukung akan digunakan data berupa perjanjian keagenan dari Perusahaan Property One serta wawancara dengan narasumber dan informan pada Perusahaan Property One.


(4)

Dari penulisan skripsi ini maka dapat diketahui bahwa : Pertama, hubungan hukum yang terjadi antara agen pemasaran Perusahaan Property One dan pemilik properti didasarkan atas perjanjian baku yang tertuang dalam bentuk formulir, sedangkan hubungan yang terjadi antara agen pemasaran Perusahaan

Property One dan calon pembeli dilakukan secara lisan. Kedua, pelaksanaan

perjanjian keagenan Perusahaan Property One terdapat kelemahan-kelemahan. Selain kelemahan yang mendasar bahwa dalam perjanjian keagenan tersebut berbentuk perjanjian baku, kelemahan lainnya dapat terlihat apabila isi perjanjian tersebut dibandingkan dengan perjanjian keagenan lainnya. Apabila dibandingkan dengan perjanjian keagenan lainnya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian keagenan Perusahaan Property One, Pihak I sebagai pemilik properti mempunyai kedudukan yang tidak seimbang, di mana kewajiban pengguna jasa

perusahaan pemasaran perdagangan properti tidak disertai dengan hak. Ketiga,

masalah yang timbul selama ini dalam pelaksanaan perjanjian keagenan, Perusahaan Property One menyelesaikan masalah tersebut secara musyawarah sebagaimana cara penyelsaian tersebut tercantum dalam perjanjian keagenan Perusahaan Property One. Namun, apabila tindakan secara musyawarah tidak tercapai, maka alternatif terakhir adalah memproses persoalan tersebut melalui jalur hukum.

Berkenaan dengan penelitian ini dapat diajukan saran sebagai berikut :

Pertama, hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam pelaksanaan

perjanjian keagenan hendaknya terdapat peraturan yang lengkap guna mengawasi

pelaksanaan perjanjian tersebut. Kedua, hendaknya setiap perusahaan pemasaran

perdagangan properti dalam membuat perjanjian keagenannya dapat memahami hak-hak yang seharusnya diperoleh Pihak I, serta tidak membatasi hak-hak

tersebut. Ketiga, baiknya penyelesaian masalah secara musyawarah dicantumkan

penambahan isinya bahwa dalam pelaksanaan musywarah tersebut dibantu oleh pihak ketiga yang independen.

Kata Kunci :

- Perjanjian Baku

- Agen Property


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One)”, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dewasa ini kegiatan bisnis agen pemasaran properti merupakan bisnis yang menjanjikan. Salah satu faktor terus berkembangnya bisnis ini adalah meningkatnya kebutuhan rumah seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk serta terbatasnya tempat hunian rumah yang ideal dan sesuai keinginan konsumen. Oleh sebab itu, penting untuk dijelaskan disini apa yang menjadi tugas dan hak-hak dari agen pemasaran properti, serta tanggung jawabnya terhadap konsumen dalam pelaksanaan perjanjian keagenan.

Meskipun penulis banyak mengalami tantangan dalam menyelesaikan skripsi ini, tetapi berkat kerja keras tanpa mengenal lelah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tulisan yang sederhana ini, namun tidak ada gading yang tak retak, demikian bunyi pepatah dan demikian dengan tulisan ini tentu banyak mengandung kekurangan dan kelemahan penulis. Untuk itu penulis berharap saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan serta terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang turut baik secara langsung


(6)

maupun tidak langsung memberikan bantuan kepada penulis sejak awal penulis menjalani perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini dan sampai penyelesaiannya, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH., MSc (CTM)., SpA(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, MHum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Jurusan

Perdata di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Edy Ikhsan, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing I penulis telah

banyak meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis.

6. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing II

penulis yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan pandangan berupa petunjuk yang begitu berharga demi kelanjutan Skripsi ini.

7. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing

Akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(7)

8. Kedua orangtua penulis yaitu papa Ir. Ridwan Halim dan mama Saulina Purba yang telah memberikan kasih sayang tiada henti dan dukungan baik secara moril maupun materil serta doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis.

9. Abang dan kakak penulis yaitu Dimas Adrian, SE dan Yulian Astri, Spsi

yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis.

10.Elvira Fransiska Bu’ulolo yang tercinta, selalu menemani penulis dan

selalu memberikan dukungan serta masukan kepada penulis.

11.Sahabat penulis Hendro Siboro dkk yang sekarang juga berjuang

menyelesaikan skripsinya.

12.Segenap staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang sangat berjasa dalam

mengajarkan penulis seluruh konsep dan pemahaman yang mendalam dari ilmu hukum. Tanpa jasa Bapak dan Ibu Dosen penulis tidak dapat menyelesaikan studi dan proses penulisan skripsi ini.

13.Staf administrasi dan pendidikan yang sangat ramah, bersahabat, dan

selalu membantu penulis dalam pengaturan administrasi selama menjalani masa perkuliahan.

14.Seluruh pegawai perpustakaan Judicium Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang begitu baik hati dan mau melayani mahasiswa dengan baik dan ramah.

15.Seluruh mahasiswa stambuk 2011 yang telah berjuang menjalani

kehidupan akademik dan kepanitiaan bersama. Semoga semua teman-teman cepat lulus dan sukses ke depannya.


(8)

16.Yusuf Chew sebagai Direktur Perusahaan Property One yang telah mengizinkan penulis untuk meneliti di Perusahaan Property One serta meluangkan waktunya melakukan wawancara.

17.Semua pihak yang telah membantu baik ketika menjalani masa

perkuliahan maupun ketika menjalani proses penulisan skripsi. Dengan banyaknya bantuan yang diterima, penulis meminta maaf sedalam-dalamnya karena tidak dapat menyebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis ucapkan sekali lagi terima kasih yang sedalam-dalamya kepada semua pihak, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi pendorong bagi kita semua khususnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, 18 Februari 2015 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 12

D. Keaslian Penulisan ... 13

E. Metode Penelitian ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian ... 20

2. Pihak-pihak Dalam Perjanjian ... 24

3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 28

4. Akibat Perjanjian ... 40

5. Hapusnya Perjanjian ... 51

B. Perjanjian Baku Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Baku ... 66

2. Dasar-dasar Ketentuan Perjanjian Baku ... 68

3. Problematika Pemanfaatan Perjanjian Baku ... 71

4. Perlindungan Pihak Debitur Terhadap Perjanjian Baku ... 73

BAB III TINJAUAN TENTANG BISNIS AGEN PEMASARAN PROPERTI A. Pengenalan Agen Pemasaran 1. Pengertian Agen Pemasaran ... 76

2. Cara Kerja Agen Pemasaran ... 80

3. Tiga Tugas Utama Seorang Agen Pemasaran ... 85

4. Jenis-jenis Agen Pemasaran Berdasarkan Bidang Garapannya 88 B. Pengenalan Agen Properti 1. Jenis Agen Properti ... 92

2. Sistem Jual Beli Agen Properti ... 95

3. Penyebab Adanya Agen Properti ... 96

BAB IV HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK RUMAH/TANAH A. Pengaturan Hubungan Hukum Antara Agen Pemasaran Property dan Pembeli /Penjual Rumah ... 98

B. Kelemahan-kelemahan Yang Terdapat Dalam Perjanjian Antara Agen Properti dan Pemilik Rumah/Tanah ... 107


(10)

C. Penyelesaian Masalah Yang Dilakukan Perushaan Property

One Jika Terjadi Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Perjanjian ... 131

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 141 B. Saran ... 144 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

A. Perjanjian Keagenan Perusahaan Property One B. Perjanjian Penitipan Kunci Properti


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Masyarakat yang adil dan makmur tersebut diartikan tidak hanya cukup sandang, pangan, dan papan (pemukiman) saja tetapi harus diartikan sebagai cara bersama untuk memutuskan masa depan yang dicita-citakan dan juga turut secara bersama mewujudkannya masa depan tersebut. Semangat untuk mewujudkan masa depan tersebut merupakan amanah dari UUD 1945 alinea ke- 4 juncto Pasal 28 H ayat (1) dan

Pasal 33 UUD 1945.4

Pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh sebab itu pembangunan perumahan dan pemukiman sangat berperan dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina

Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

4


(12)

serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan

penghidupan masyarakat.5

Perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia karena berfungsi untuk tempat tinggal, tempat usaha, perkantoran, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan perumahan atau kumpulan rumah merupakan kebutuhan primer. Rumah sebagai kebutuhan primer diartikan sebagai benda tidak bergerak, tetapi

merupakan aset yang bisa membuat orang survive dan hidup nyaman karenanya.

Selain itu, rumah juga dapat dijadikan bisnis dimana yang nantinya bisa dijual

ataupun disewakan kepada orang-orang yang sedang membutuhkan.6

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam pemberitahuannya pada bulan Agustus 2010;

Oleh karena itu kebutuhan akan rumah serta memperindah rumah semakin meningkat.

Seiring kemajuan teknologi, perkembangan ekonomi, dan pertambahan manusia itu sendiri, lahan untuk perumahan semakin berkurang. Di sisi lain kebutuhan akan tempat tinggal semakin bertambah dikarenakan setiap tahunnya mengalami peningkatan sesuai dengan angka pertumbuhan penduduknya. Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat mengakibatkan kebutuhan tempat tinggal pun semakin meningkat.

7

“Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237.556.363 (dua ratus tiga puluh tujuh juta lima ratus lima puluh enam

ribu tiga ratus enam puluh tiga) orang, yang terdiri dari 119.507.580

5

Ibid.

6

Roby Agung Kusuma, Modal Kecil, Ingin Bisnis Properti? Baca Buku Ini, (Jogjakarta : FlasBooks, 2014), hal 20.

7

Badan Pusat Statistik, Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi,


(13)

(seratus sembilan belas juta lima ratus tujuh ribu lima ratus delapan puluh) laki-laki dan 118.048.783 (seratus delapan belas juta empat puluh delapan ribu tujuh ratus delapan puluh tiga) perempuan. Dan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 % (satu koma empat puluh sembilan persen) per tahun”.

Pesatnya pertambahan penduduk Indonesia mengakibatkan besarnya laju kepadatan penduduk. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang terus meningkat dengan lahan yang tetap sehingga menyebabkan selisih perbandingan yang semakin besar antara jumlah penduduk dan luas lahan.

Pada akhirnya, lahan untuk perumahan makin sulit didapat, serta dapat dilihat pada kota-kota besar yang sangat padat penduduknya. Merespon hal tersebut, kebutuhan yang terus meningkat akan properti menjadi peluang bisnis

dan tantangan bagi pengembang (Developer) rumah tinggal untuk menyediakan

perumahan dengan berbagai tipe yang sesuai untuk masyarakat.

Permasalahan yang dihadapi Pemerintah dalam pembangunan perumahan dan pemukiman sangat komplek seperti yang dikemukakan diatas. Rumah merupakan kebutuhan pokok yang harus terpenuhi dan tidak hanya menyangkut pembiayaan, tetapi juga menyangkut penyediaan tanah, teknik pembangunan, tata guna tanah, nilai-nilai sosial budaya dan sebagainya haruslah berwawasan lingkungan juga. Penyelenggaraan perumahan dan pemukiman yang dilakukan pemerintah harus dapat mendorong perilaku hidup sehat dan tertib serta ikut mendorong kegiatan pembangunan di sektor lain, sehingga pembangunan perumahan dan pemukiman perlu dilaksanakan secara terpadu dan untuk itu perlu


(14)

ditingkatkan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, usaha swasta,

koperasi, dan masyarakat luas.8

Asosiasi pengembang Real Estate Indonesia (REI) telah berkerjasama dengan Universitas Indonesia, menemukan bahwa sektor properti menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 28% (dua puluh delapan persen) pada tahun 2013. Kelihatan bahwa, sektor properti memiliki peran penting terhadap perekonomian suatu negara yang mesti didukung regulasi yang baik.

Sejalan dengan amanah UUD 1945, Pasal 28 H ayat (1), Pemerintah telah menetapkan kebijakannya, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Adanya Undang-undang (UU) ini, tentu memberikan kepastian hukum dalam melindungi masyarakat agar mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau didalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan. Disamping sebagai tanggung jawab Negara untuk melindungi masyarakatnya, perumahan yang merupakan salah satu sektor properti memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi.

9

Berdasarkan data REI saat ini, tercatat kurang lebih 45.000.000 (empat puluh lima juta) rumah berdiri di Indonesia dari 240.000.000 (dua ratus empat puluh juta) penduduk. Jumlah penduduk yang terus bertambah, maka seharusnya ada tambahan 1.400.000 (satu juta empat ratus ribu) unit rumah baru per tahun.

8

Andi Hamzah, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hal 1.

9

Tribun news.com, Sektor Properti Sumbang 28 persen Pertumbuhan Ekonomi,


(15)

Pertambahan penduduk setiap tahun tentu akan meningkatan kebutuhan terhadap

rumah, dimana rumah sebagai kebutuhan pokok.10

Perkembangan bisnis di sektor properti akan terus berkembang di Indonesia, hal ini didukung dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menahan

suku bunga acuan / rate pada level 7,50 % (tujuh koma lima puluh persen) dalam

beberapa bulan ini.

Melihat besarnya kebutuhan rumah yang seiring dengan perkembangan teknologi, ekonomi, dan pertambahan penduduk di Indonesia, makanya menyebabkan masih besarnya potensi di sektor properti. Apalagi dengan tingginya konsumsi masyarakat yang menopang pertumbuhan ekonomi.

11

Kebijakan BI menahan suku bunga acuan disebakan karena perekonomian Indonesia yang semakin membaik dan perkiraan gerak inflasi yang

sesuai dengan target.12 Hal ini tentu membawa dampak positif dimana beberapa

bank di Indonesia memberikan suku bunga pinjaman berkisar 10% (sepuluh persen) – 13% (tiga belas persen), dan masih ada bank yang masih memberikan

suku bunga di bawah 10% (sepuluh persen).13

Secara sederhana, bisnis properti dapat diartikan sejenis usaha atau industri yang bergerak di bidang pembangunan, dalam hal ini berupa pemanfaatan tanah, rumah, gedung, apartemen, dan lain sebagainya, yang dapat menghasilkan

10

DetikFinance, Jumlah Rumah di RI Hanya 45 Juta Unit, Butuh 1,4 Juta Hunian

Baru/Tahun,

tanggal 7 September 2014 pukul 12.00 WIB.

11

Bank Indonesia, Data BI Rate,

12

Liputan6,BI Rate Betah di 7,5% Selama 11 Bulan,

tanggal 15 September 2014 pukul 01.00 WIB.

13

Seputar Forex, Suku Bunga Kredit Dan Pinjaman, Data : Juli 2014,

2014 pukul 01.05 WIB.


(16)

keuntungan. Sementara, properti sendiri didefinisikan sebagai tanah milik dan

bangunan. Menurut Michael C. Thomsett dan Jean Freestone Thomsett;14

Berbicara mengenai sektor properti, satu bidang yang tidak dapat dipisahkan darinya adalah keberadaan penyedia jasa konsultasi properti yang biasa disebut sebagai agen properti. Keberadaan agen properti memang bukan tanpa sebab. Hal itu sejalan dengan sikap manusia yang selalu menginginkan sesuatu yang serba cepat dan sesuai dengan keinginan. Terkait dengan perkembangan di sektor properti, tentunya merupakan peluang bagi para agen properti. Ketika kebanyakan orang tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari, melakukan survei, dan bernegoisasi dalam rangka mencari properti yang mereka butuhkan, para agen properti berada di garis depan untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka dalam mendapatkan unit properti yang mereka butuhkan atau inginkan.

“Pasar properti secara umum dikelompokkan menjadi tiga macam.

Pertama, residential property, meliputi apartemen, flat, perumahan, dan

bangunan multiunit. Kedua, commercial property, yaitu properti yang

dibangun atau dirancang untuk tujuan bisnis, seperti gedung yang

diperuntukkan meyimpan barang dan parkir area. Ketiga, industrial

property, yaitu properti yang dirancang untuk keperluan industri, seperti

bangunan-bangunan pabrik dan lain sebagainya”.

15

Agen properti berperan sebagai pedagang perantara. Ia mempertemukan penjual dan pembeli untuk mempercepat dan membantu kelancaran proses negosiasi. Agen properti menjual informasi tentang apa yang dibutuhkan pembeli dan penjual. Sebagai agen properti profesional, mereka harus bertindak demi

14

Michael C. Thomsett dan Jean Freestone Thomsett, Getting Started in Real Estate Investing, Roby Agung Kusuma, Op.cit.,hal 18.

15

Achmad Soheh, Cara Jitu Untuk Kaya Dengan Bisnis Properti, (Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2012), hal vii.


(17)

kepentingan penjual dan pembeli, bertindak sebagai problem solver, dan

memberikan win-win solution bila terjadi ketidaksepahaman antara penjual dan

pembeli. Seorang agen properti tidak boleh bertindak atas kepentingan dan keuntungan pribadi semata. Dari jasa yang diberikannya ini, ia memperoleh

komisi atau fee dari hasil transaksi unit properti tadi.16

16

Ibid., hal viii.

Jadi pada prinsipnya, cara kerja agen adalah sebagai perantara, mediator, serta fasilitator. Sebagai seorang perantara, agen menjembatani atau menjadi mediator dan fasilitator bagi bertemunya penjual dan pembeli atau kedua-duanya dalam satu transaksi yang saling membutuhkan. Agen sendiri menjadi fasilitator atas pertemuan tersebut dan mendapatkan komisi dari hasil perantaraanya itu, apakah dari pembeli atau penjual, tergantung dari posisinya saat melakukan perjanjian.

Selain itu, agen properti juga merupakan peluang bisnis yang amat menekankan pada aspek kepercayaan. Berlandaskan aspek kepercayaan, mereka menghubungkan pembeli dan penjual. Unsur kepercayaan inilah yag menjadi kunci terlaksananya hubungan agen properti dan penjual maupun pembeli. Adanya unsur kepercayaan terlebih dahulu antara para pihak, dilanjutkan dengan menjalin hubungan berbentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis, dimana perjanjian ini menjadi alas hukum yang berlaku bagi para pihak. Masyarakat mempunyai banyak kepentingan yang semuanya dapat dipenuhi melalui perjanjian.


(18)

Buku III tentang Perikatan Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai hukum perjanjian. Pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata, bahwa perjanjian atau persetujuan adalah “suatu perbuatan hukum ketika seorang atau lebih meningkatkan dirinya terhadap seorang atau lebih”. Perjanjian juga dapat diartikan suatu peristiwa ketika seorang berjanji kepada seorang lain, atau ketika dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

Sistem terbuka sebagaimana dianut oleh hukum perjanjian mempunyai motif dan tujuan, di mana memberikan kesempatan kepada semua orang yang

cakap (Vide pasal 1320 KUH Perdata) untuk mengadakan atau membuat

perjanjian mengenai apa saja, maksudnya baik mengenai perjanjian yang sudah diatur dalam ketentuan undang-undang (KUH Perdata atau KUH Dagang), dan ketentuan-ketentuan lain yang lebih khusus, bahkan boleh juga mengadakan perjanjian-perjanjian jenis baru yang sama sekali belum diatur atau belum dikenal di dalam undang-undang seperti antara lain perjanjian sewa beli, arisan, termasuk

juga perjanjian agen properti dan lain sebagainya.17

17

A Qirom Syamsudin Meilala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembanganya, (Yogyakarta : Liberty,1985), hal 1.

Sifat peraturan hukum perjanjian yang memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengadakan perjanjian apa saja, sejauh itu tidak bertentangan dengan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1337 KUH Perdata, yang mengatakan “Suatu sebab terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.


(19)

Perjanjian yang baik antara agen properti dan penjual/pembeli rumah pada umumnya dilakukan secara tertulis untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak. Perjanjian agen pemasaran properti yang tidak bergerak sendiri (berkantor) memiliki perbedaan dalam menjalin hubungan dengan penjual/pembeli rumah, dimana perjanjian yang disepakati sudah berbentuk kontrak baku yang dirancang oleh perusahaan agen pemasaran tersebut. Hal ini menunjukkan profesionalitas dalam bekerja, karena adanya perencanaan yang

jelas sebelumnya serta tenggat waktu. Selain itu, komisi atau fee juga sudah

ditentukan sejak awal sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga tidak dapat berlaku sekehendak hati.

Adanya kontrak baku yang sudah ditentukan satu pihak, maka timbul persoalan dimana penjual/pembeli rumah terdapat kemungkinan tidak memahami secara utuh kontrak tersebut. Hal ini disebabkan pihak penjual/pembeli tidak dilibatkan dalam pembuatan kontrak tersebut, sehingga dalam pelaksanaan hak dan kewajiban belum tentu sesuai dengan keinginan pihak penjual/pembeli rumah.

Pelaksanaan perjanjian antara agen pemasaran dan penjual rumah yang tertuang dalam kontrak baku tidak jarang menimbulkan permasalahan, dimana dalam perjanjian yang tertuang, penjual rumah memberikan hak eksklusif dan hanya terikat pada satu pihak agen pemasaran saja. Keterikatan pemasaran properti milik penjual dengan satu pihak saja memiliki konsekwensi, dimana pihak penjual tidak memiliki kebebasan untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain. Hal ini memperlihatkan pihak penjual tidak diuntungkan dalam segi waktu, karena apabila hanya terikat pada satu pihak agen pemasaran saja, apabila tidak


(20)

berhasil terjual atau disewa oleh agen properti tersebut, penjual harus membuat perjanjian baru atau mencari agen pemasaran yang lain.

Selain hak eksklusif pada komisi atau fee, agen properti diberikan

beberapa hak serta kewenangan atas properti penjual. Sehingga timbul pertanyaan, apakah agen properti dalam pelaksanaan kewajibannya memiliki tanggung jawab atas properti penjual. Seperti adanya kehilangan barang-barang dalam rumah penjual atau terjadi perampokan, dimana agen merupakan salah satu pihak yang memiliki hak atau akses memasuki properti tersebut.

Selain itu, sebelum terjadinya transaksi jual-beli atau sewa-menyewa, adanya kemungkinan pembeli/penyewa memberi uang muka (DP) sebelum transaksi terjadi. Hal ini dimungkinkan karena pembeli atau penyewa belum memiliki dana yang cukup pada saat itu, sehingga pembayarannya ditangguhkan. Penerimaan DP dari pembeli/penyewa kepada pemilik rumah/tanah menimbulkan perikatan antara pemilik properti dan pembeli/penyewa, dimana pemilik properti tersebut tidak boleh mengalihkan propertinya kepada pihak lain dalam jangka waktu yang ditentukan dan dengan adanya DP memberikan kepastian kepada pemilik properti. Apabila pembeli/penyewa membatalkan transaksinya maka DP yang telah dibayarkan menjadi hangus atau hak pemilik properti.

Penggunaan jasa agen pemasaran properti, perjanjian pada umumnya agen properti memiliki wewenang untuk menerima pembayaran DP dari Pembeli/Penyewa dan menyimpannya dalam rekening giro khusus Perusahaan pihak agen properti. Sehingga timbul pertanyaan, siapa yang berhak memiliki DP tersebut apabila pembeli/penyewa membatalkan transaksi secara sepihak.


(21)

Beberapa pertanyaan dan permasalahan inilah yang menjadi latar belakang penelitian yang menarik untuk diteliti dan dibahas. Adanya kelemahan-kelemahan didalam perjanjian antara agen pemasaran properti dan pemilik rumah/tanah, memberikan ide untuk membuat penelitian dengan judul “Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti One dan Pemilik Rumah/Tanah. Maka dalam hal ini akan diambil suatu permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh penulis dalam penelitiannya. Adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana pengaturan hubungan hukum yang terjadi antara Agen

Pemasaran Properti dan Pemilik Rumah/Tanah?

2. Apa saja kelemahan dan masalah yang terdapat dalam perjanjian antara

Agen Pemasaran Properti Perusahaan Property One dan Pemilik Rumah/Tanah?

3. Bagaimana penyelesaian masalah yang dilakukan Perusahaan Property

One sebagai perantara jika terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan


(22)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini yang berjudul “Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti One dan Pemilik Rumah/Tanah adalah sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui hubungan-hubungan hukum apa saja yang

terjadi antara agen pemasaran perusahaan properti dan pemilik rumah/tanah.

b. Untuk mengetahui permasalahan dan kelemahan perjanjian agen

properti dengan pemilik rumah/tanah dalam pelaksanannya.

c. Untuk mengetahui penyelesaian masalah yang dilakukan

Perusahaan Property One Kota Medan apabila terjadi wanprestasi

dalam pelaksanaan perjanjian dengan pemilik rumah/tanah. 2. Manfaat Penelitian

a. Dari segi teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembangunan Ilmu Pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum yang menyangkut perjanjian yang dilakukan Agen Pemasaran Perusahaan Properti One Kota Medan serta dapat memberikan


(23)

informasi dan pemahaman yang mendalam dalam pelaksanaan bisnis agen pemasaran properti.

b. Dari segi praktis

1) Dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi rekan

mahasiswa, masyarakat, pelaku bisnis maupun praktisi hukum dalam menambah pengetahuan tentang proses perjanjian antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One dan pemilik Rumah/Tanah.

2) Dapat memberikan tambahan tentang bagaimana membuat

perjanjian yang baik.18

D. KEASLIAN PENULISAN

Adapun judul tulisan ini adalah “Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti One dan Pemilik Rumah/Tanah”. Berdasarkan pemeriksaan dan hasil yang ada, penelitian ini belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya yang meninjau dari aspek hukum perjanjian secara menyeluruh antara agen properti dan pemilik rumah/tanah, tetapi adanya judul skripsi lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap Perjanjian Komisi pada Bisnis Broker Property dan Akibat Hukumnya”. Proses pembuatan dalam skripsi ini tentunya penulis membuat sudut pembahasan yang berbeda dari judul skripsi yang memiliki kaitannya dengan penelitian ini serta memulainya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan Agen

18


(24)

Properti dan Hukum Perjanjian mulai dari buku-buku, literatur sampai dengan bahan yang diperoleh dari hasil penelitian. Oleh sebab itu penulisan skripsi ini didasarkan pemikiran diri sendiri, serta keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

E. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan seuatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan

atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.19

1. Jenis penelitian

Agar penulisan skripsi ini dapat dilakukan secara sederhana dan terarah sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis penelitian yuridis normatif merupakan pendekatan yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian dengan yuridis normatif secara garis besar ditujukan kepada penelitian terhadap

19

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT RajaGrafido Persada, 2007), hal 38.


(25)

asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.20 Jenis penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Selain itu, juga melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya secara hierarki. Sedangkan jenis penelitian yuridis empiris adalah penelitian

dengan melihat suatu kenyataan hukum di dalam masyarakat.21

2. Sifat Penelitian

Penelitian yuridis empiris dapat direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap indentifikasi hukum.

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang

menjadi objek penelitian.22 Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang

bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu. Sebelum penelitian ini dilaksanakan, harus terlebih dahulu mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang

permasalahan yang akan diteliti.23 Demikian juga hukum dalam

pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian.

20

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal 13.

21

Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal 105.

22

Ibid.

23


(26)

3. Sumber Data

Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian

lapangan24, seperti melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam

bentuk dokumen tidak resmi. Sedangkan data sekunder sekunder merupakan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan. Data

sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi :25

a. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dan lain sebagainya.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku, jurnal, tulisan-tulisan ilmiah hukum, yang terkait dengan objek penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan Hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.

24

Ibid, hal 16.

25


(27)

4. Metode Pengumpulan Data

a. Metode Penelitian Library Research

Metode yang digunakan adalah dengan cara memperoleh data tersedia di perpustakaan yang pernah ditulis sebelumnya di mana

ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan.26

b. Metode Penelitian Lapangan

Metode Penelitian Lapangan yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu, dan tujuan ini dapat

bermacam-macam.27

5. Metode Analisis Data

Penelitian ini melakukan wawancara dengan agen pemasaran properti serta pemilik Perusahaan Property One secara langsung guna mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analistis, analisis data yang dipergunakan adalah analisis data kualitatif. Dimana dapat dilakukan anlisis kualitatif

apabila:28

a. Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat

dilakukan pengukuran.

b. Data tersebut sukar diukur dengan angka.

c. Hubungan antar variabel tidak jelas.

26

Bambang Sunggono, Op.cit., hal 52.

27

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1996), hal 95.

28


(28)

d. Sampel lebih bersifat non probabilitas.

e. Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan

pengamatan.

f. Penggunaan-penggunaan teori kurang diperlukan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab. Adapun sistematika penulisan yang akan penulis paparkan disini adalah :

Bab I Pendahuluan, menguraikan tentang alasan untuk memilih judul tersebut. Kemudian dikemukakan juga tujuan dan manfaat pembahasan apa yang menjadi permasalahan, diikuti dengan metode penelitian dan pengumpulan data serta ruang lingkup yang merupakan sistematika penulisan.

Bab II Hukum Perjanjian Secara Umum, membahas tentang Tinjauan umum perihal perjanjian, seperti pengertian perjanjian, asas-asas perjanjian, dan sebaginya, kemudian diterangkan tinjauan mengenai perjanjian baku.

Bab III Tinjauan Tentang Bisnis Agen Pemasaran Properti, diuraikan memaparkan pengenalan seorang agen/makelar/broker, dan ha-hal pokok yang terdapat pada seorang agen properti.

Bab IV Hukum Perjanjian antara Agen Perusahaan Property One dan Pemilik Rumah/Tanah, dikemukakan mengenai pengaturan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak, kelemahan yang terdapat dalam perjanjian antara agen pemasaran properti dan pemilik rumah/tanah yang sering menjadi persoalan,


(29)

serta penyelesaian masalah yang dilakukan Perusahaan Property one sebagai perantara jika terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian antara pemilik rumah/tanah.

Bab V Kesimpulan dan Saran, kesimpulan dari skripsi dan beberapa saran dari penulis yang berhubungan dengan isi skripsi.


(30)

BAB II

HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM

A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Buku III Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

mengatur tentang perikatan (verbintenissenrecht), di mana tercakup pula

istilah perjanjian (overeenkomst). Dikenal tiga terjemahan dari verbintenis,

yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian, sedangkan overeenkomst

terdapat dua terjemahan, yaitu perjanjian dan persetujuan.29

Secara garis besar perjanjian dapat di bedakan menjadi dua, yaitu:

Jadi, istilah

perjanjian merupakan terjemahan dari kata verbintenis, overeenkomst

(Belanda) atau contract (Inggris).

30

a. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang

menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.

b. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum

dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya, perjanjian bernama.

Perjanjian mengandung pengertian “sebagai suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi

29

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal 41

30


(31)

kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.31

Pengertian singkat di atas dapat disimpulkan beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang

(persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban

pada pihak lain tentang suatu prestasi.32

Rumusan Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa di luar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Hal ini menunjukkan perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Para pihak secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa; “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.

31

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal 6.

32 Ibid.


(32)

perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Sifat sukarela dari perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan

maksud dari pihak yang membuat perjanjian.33

Kaitan hukum harta kekayaan dalam perjanjian dimaksudkan untuk membatasi bahwa perjanjian yang dimaksudkan adalah perjanjian yang berkaitan dengan harta kekayaan seseorang sebagaimana dijamin dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi, “Segala kebendaan milik debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Pengertian tersebut menunjukkan tidak meliputi perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku I tentang Orang dan Keluarga KUH Perdata mengenai perjanjian kawin.

Pernyataan sukarela menunjukkan bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Hal ini berbeda dari perikatan yang lahir dari undang-undang, yang menerbitkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perikatan tersebut, meskipun sesungguhnya para pihak tidak menghendakinya.

34 Pengertian perjanjian menurut KUH Perdata terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal 2. (Selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I)

34


(33)

lebih.” Unsur-unsur perjanjian yang dapat di lihat menurut pasal ini bahwa suatu perjanjian adalah :

a. Suatu perbuatan;

b. Antara sekurangnya dua orang (dapat lebih dari dua orang)

c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara puhak-pihak

yang berjanji tersebut.

Sehingga definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah :35

a. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian

b. Tidak tampak asas konsensualisme

c. Bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.

Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian : teori lama dan teori baru. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah “perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Definisi di atas, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak

dan kewajiban).36

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah : “Suatu hubungan hukum antara dua

35

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 160. (Selanjutnya disebut Salim HS-III)

36


(34)

pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat

hukum.”37

Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori

baru, yaitu:38

a. Tahap prakontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;

b. Tahap kontractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak;

c. Tahap post kontractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama, yaitu:39

a. Adanya perbuatan hukum;

b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang

c. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan;

d. Perbuatan hukum itu terjadi karena kerja sama antara dua orang

atau lebih;

e. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling

bergantung satu sama lain;

f. Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;

g. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang

lain atau timbal balik;

h. Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan

perundang-undangan. 2. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian

Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis di dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1315, Pasal 1340, Pasal 1317, Pasal 1318. Mengingat

37

Van Dunne, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa, Ganti Kerugian, Ibid.

38 Ibid. 39


(35)

bahwa hukum harus dipelajari sebagai satu sistem, maka penting untuk

mencari kaitan diantara pasal-pasal tersebut.40

Pengertian subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat

dengan diadakannya suatu perjanjian.41

Kreditur dan debitur inilah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempuyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian. Jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan debitur, juga tidak mengurangi nilai sahnya perjanjian.

Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu. Masing-masing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur.

42

a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;

KUH Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu :

b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari

padanya;

c. Pihak ketiga.

Ketiga golongan ini pada awalnya dapat kita lihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang menyatakan; “Pada umumnya tak dapat

40

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perjanjian, Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal 69. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-I)

41

Ibid., hal 70.

42


(36)

mengikatkan perjanjian diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Kemudian Pasal 1340 KUH Perdata disebutkan:

“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ke tiga; tak dapat pihak-pihak-pihak-pihak ke tiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317”.

Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan;

“Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji: yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”.

Pasal 1318;

“Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang, yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudya”.

Pada asasnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri. Asas ini merupakan asas pribadi (Pasal

1315 jo. 1340 KUH Perdata). Para pihak tidak dapat mengadakan


(37)

janji guna pihak ketiga (beding ten behoeve van derden) Pasal 1317 KUH

Perdata.43

Apabila seseorang membuat sesuatu perjanjian, maka orang itu dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya (Pasal 1318 KUH Perdata). Beralihnya hak kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum

(onder algemene titel) yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya

perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh hak berdasarkan atas

alas-alas hak khusus (onder bijzondere titel), misalnya menggantikan

pembeli, mendapatkan haknya sebagai pemilik. Hak yang terikat kepada

suatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif.44

Menurut Pasal 1340 ayat 2 KUH Perdata, persetujuan-persetujuan tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga, mendapat manfaat karenanya, selain dari yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata. Oleh karena itu, asas seseorang tidak dapat mengikat diri selain atas nama sendiri mempunyai suatu kekecualian, yaitu dalam bentuk

yang dinamakan janji untuk pihak ketiga (derden beding). Pasal 1317

KUH Perdata menyebutkan bahwa lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau, suatu pemberian yang dilakukannya pada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan

43

Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 71.

44


(38)

sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendaknya atau kemauan untuk mempergunakannya.

Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa janji untuk pihak ketiga itu

merupakan suatu penawaran (offerte) yang dilakukan oleh pihak yang

meminta diperjanjikan hak (stipulator) kepada mitranya (promissor) agar

melakukan prestasi kepada pihak ketiga. Stipulator tadi tidak dapat

menarik kembali perjanjian itu apabila pihak ketiga telah menyatakan

kehendaknya menerima perjanjian itu.45

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi;

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

a. Sepakat mereka yag mengikatkan dirinya,

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

c. Suatu hal tertentu,

d. Suatu sebab yang halal.”

Empat unsur tersebut dalam doktrin ilmu hukum yang

berkembang, digolongkan ke dalam :46

a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang

mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan

obyek perjanjian (unsur obyektif).

45

Ibid.

46


(39)

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan

causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan

tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

a. Sepakat (Toestemming)

Sepakat merupakan Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Unsur kesepakatan

yaitu;47

1) Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang

menawarkan.

2) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang

menerima penawaran.

47

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, (Bandung : Alumni, 2006), hal 98. (Selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman-II)


(40)

Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kesepakatan itu

terjadi ada beberapa macam teori/ajaran, yaitu :48

1) Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat

kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis

2) Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat

kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal tersebut bisa diketahui. Sebab, bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.

3) Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang

menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

4) Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat

pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

48

Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal 9. (Selanjutnya disebut Salim HS-I)


(41)

Kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Suatu perjanjian dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal tersebut, sebagaimana ditentukan Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh

para pihak. Pernyataan tersebut dikenal dengan nama penawaran.49

Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran, selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima

49


(42)

penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Apabila pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat

dilaksanakan dan diterima olehnya.50

Hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, di mana kesepakatan dianggap terjadi pada saat

penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.51

b. Kecakapan

Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing adalah pembawa hak (subjek hukum) yang memiliki hak dan

50

Ibid., hal 96

51


(43)

kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Meskipun setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh

kecakapan dan kewenangan hukum.52

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tinndakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum, tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukann suatu perbuatan hukum dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu

hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.53

Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak atas nama dirinya sendiri, baru kemudian

52

R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 139.

53


(44)

dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan

atau perbuatan hukum tertentu.54

1) Orang-orang yang belum dewasa;

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh udang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.

Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 KUH Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dengan menyatakan bahwa :

“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.

KUH Perdata memandang bahwa seorang wanita yang telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Sejak

54


(45)

tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3/1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, sehingga ia tidak memerlukan bantuan lagi dari suaminya. Oleh sebab itu ketentuan sub 3 dari Pasal 1330 KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi, sehingga orang yang tidak cakap (tidak berwenang melakukan perbuatan hukum), dapat dibagi

menjadi :55

1) Mereka yang belum cukup umur

Mereka yang belum cukup umur maksudnya adalah mereka yang berlum dewasa. Menurut Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa;

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebgaimana diatur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini”.

Yang dimaksud perwalian sebagaimana disebut dalam Pasal 330 KUH Perdata adalah pengawasan atas orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di

55


(46)

bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa.

2) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan

Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan di mana

seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya

dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (atau pribadi) di dalam lalu lintas

hukum, karena orang tersebut (curandus), oleh putusan

hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu

(curator/curatrice). Sedangkan pengampuannya disebut

curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap

adalah (Pasal 433 KUH Perdata)

a) Keadaan dungu;

b) Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap

melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya);

c) Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak

terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).

Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan permohonan diatur di dalam Pasal 434-435 KUH Perdata yaitu keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari kejaksaan.


(47)

c. Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu maksudnya berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata). Objek perjanjian

yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut adalah:56

1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat

ditentukan jenis dan dapat dihitung.

2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang

dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).

Ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”. Pada dasarnya pasal ini hanya menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian ini, yang dapat menjadi obyek dalam perikatan adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan harta kekayaan. Jadi kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang berada di luar lapangan harta kekayaan (yang terutama diatur dalam Buku II KUH Perdata tentang kebendaan) tidaklah dapat menjadi pokok perjanjian, karena kebendaan tersebut tidak termasuk dalam rumusan kebendaan menurut Pasal 1131 KUH Perdata, sehingga tidak dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan perikatan orang

perorangan tersebut.57

Pasal 1334 KUH Perdata mengatur mengenai perjanjian, yang melahirkan perikatan bersyarat. Dengan rumusan;

56

Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.cit., hal 104.

57


(48)

“Kebendaan yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketetentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178”.

Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk penegasan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya seseorang yang dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat kebendaan tersebut.

Suatu warisan yang belum terbuka pada pokoknya bukanlah kebendaan milik dari orang yang akan memperoleh warisan. Hal ini menunjuk pada ketidakpastian mengenai apakah orang yang akan memperoleh warisan tersebut pasti akan memperoleh kebendaan yang akan diwariskan tersebut sebagai hak milik. Bahkan dalam rumusan Pasal 178 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu hibah yang diberikan sebelum pemberi hibah meninggal akan menjadi gugur apabila pemberi hibah hidup lebih lama, juga dari anak-anak dan keturunan penerima hibah. Jelaslah bahwa sesuatu yang belum pasti akan dimiliki tidak dapat dijadikan obyek perjanjian. Perjanjian hanya sah dan mengikat jika obyeknya yang berupa kebendaan telah ditentukan jenisnya,

demikianlah Pasal 1333 KUH Perdata.58

58


(49)

d. Suatu Sebab yang Halal

Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempuyai kekuatan”. KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:

1) Bukan tanpa sebab;

2) Bukan sebab yang palsu;

3) Bukan sebab yang terlarang.

Pada dasarnya hukum tidak memperhatikan apa yang ada dalam benak, ataupun hati seseorang. Yang diperhatikan oleh hukum adalah apa yang tertulis, yang pada pokoknya menjadi perikatan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh debitor dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu masih adanya kebebasan para pihak sebagaimana dinyatakan Pasal 1336 KUH Perdata bahwa: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah”. Pasal ini menjelaskan bahwa undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu di antara para


(50)

pihak, karena suatu perjanjian dapat dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang

mengadakan perjanjian tersebut.59

4. Akibat Perjanjian

Adapun rumusan mengenai sebab yang terlarang disamping sebab yang halal. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH Perdata).

a. Perjanjian yang Sah adalah Undang-undang

Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa :

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian

yang tidak bernama.60

59

Ibid., hal 162.

60


(51)

Istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Hal tersebut tersimpul realisasi asas kepastian hukum. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menunjukkan kekuatan kedudukan kreditur dan sebagai konsekuensinya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Namun kedudukan ini diimbangi dengan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini memberikan perlindungan pada debitur dan kedudukan antara kreditur dan debitur menjadi

seimbang, sehingga merupakan realisasi dari asas keseimbangan.61

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para

pihak.62

Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya

61

Ibid.

62

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hal 108.


(52)

sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan

kesusilaan (Pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata). 63

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham indiviualisme yang secara embrional lahir dalam

zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan

berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui antara lain

ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan

Rosseau.64

Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Asas ini dalam hukum

kontrak diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet

fair in menganggap bahwa “the invisible hand akan menjamin

kelangsungan jalannya persaingan bebas, karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat”. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam

exploitation de homme par l’homme.

65

63

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1987), hal 13.

64

Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal 9. (Selanjutnya disebut Salim HS-II)

65


(53)

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pemerintah sebagai pengemban kepentigan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Adanya campur tangan pemerintah ini terjadi lah

permasyarkatan (vermastchappelijking) hukum kontrak.66

Perkembangan yang bersifat relatif tersebut, maksudnya adalah kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat pemaksa) dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka (para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hal ini Buku III KUH Perdata. Jika dipahami secara saksama maka asas

66


(54)

kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak

untuk :67

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan

persyaratannya;

4) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau

lisan.

Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, pembatasan

kebebasan berkontrak akibat adanya :68

1) Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi (misal:

karena adanya penggabungan atau sentralisasi perusahaan;

2) Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi

kepentingan umum atau pihak yang lemah;

3) Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan

adanya kesejahteraan sosial.

c. Asas Konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338

KUH Perdata.69

67

Handri Raharjo, Op.cit., hal 44.

68

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak dalam buku Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 115.

69

Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 87.

Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua


(55)

belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak

dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.70

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perikatan riil dan perikatan formal. Perikatan rill adalah suatu perikatan yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum adat), sedangkan yang disebut perikatan formal adalah suatu perikatan yang telah ditentukan bentuknya yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan). Hukum Romawi dikenal

istilah Contractus Verbis Literis dan Contractus innominat, yang

artinya bahwa terjadinya perjanjian, apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam

KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.71

Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.72

70

Salim HS-II, Op.cit., hal 10.

71

Salim HS-I, Op.cit., hal 157.

72


(56)

d. Asas Kekuatan Mengikat

Suatu perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan

kebiasaan yang mengikat para pihak.73

Perkembangan asas kekuatan mengikat kontrak dapat ditelusuri sejalan dengan perkembangan Hukum Romawi berdasarkan corak dan struktur masyarakat yang paling sederhana sampai yang telah maju (modern). Menurut David Allan, sejak 450 tahun sebelum Masehi sampai sekarang telah terjadi empat tahap perkembangan pemikiran mengenai kekuatan mengikat kontrak,

yaitu:74

1) Tahap pertama, disebut dengan contracts re;

2) Tahap kedua, disebut dengan contracts verbis;

3) Tahap ketiga, disebut dengan contracts litteris;

4) Tahap keempat, disebut dengan contracts consensus.

e. Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Maksudnya

73 Ibid. 74

Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Bisnis Internasional, Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 125.


(57)

perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian iktikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang

lebih luas daripada pengertian sehari-hari.75

Menurut Hoge Raad, dalam putusannya tanggal 9 Februari

1923 (Nederlandse Jurisprudentie, hlm. 676) memberikan rumusan

bahwa : “perjanjian harus dilaksanakan “volgens de eisen van

redelijkheid en billijkheid”, artinya iktikad baik harus dilaksanakan

meurut kepatutan dan kepantasan”.76 P.L. Werry menerjemahkan

redelijkheid en billijkheid” dengan istilah “budi dan kepatuhan”,

beberapa terjemahan lain menggunakan istilah “kewajaran dan

keadilan” atau “kepatutan dan keadilan”.77 Redelijkheid artinya

rasional, dapat diterima oleh nalar dan akal sehat (reasonable;

raisonable), sedangkan billijkheid artinya patut dan adil. Jadi,

redelijkheid en billijkheid” meliputi semua yang dapat dirasakan

dan dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan

berasal dari subjektivitas para pihak.78 Menurut P.L. Werry norma

ini pada hakikatnya sama dengan norma “kecermatan yang patut dalam masyarakat” pada norma tidak tertulis yang tercantum dalam

Pasal 1365 KUH Perdata (perbuatan melanggar hukum).79

75

Ibid., hal 135.

76

P.L. Werry, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Netherland, (Jakarta : Percetakan Negara RI, 1990), hal 9.

77

Ibid., hal 139

78 Ibid. 79


(1)

mendasar dalam perjanjian tersebut adalah bentuk perjanjian yang pembuatannya secara sepihak oleh Perusahaan Property One, sehingga menimbulkan posisi para pihak menjadi tidak seimbang antara hak dan kewajiban, di mana semua klausula perjanjian keagenan Perusahaan Property One berisi kewajiban-kewajiban yang membebani Pihak I dan diantaranya terdapat kewajiban yang merugikan Pihak I, yaitu kewajiban Pihak I tetap membayar komisi kepada Pihak II meskipun hak eksklusif telah berakhir. Selain kelemahan tersebut, perjanjian baku Perusahaan Property One apabila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab sudah bertentangan, jika ditinjau dari asas-asas dalam sistem hukum nasional, di mana kepentingan masyarakatlah yang didahulukan. Kelemahan lainnya mengenai perjanjian keagenan Perusahaan Property One terlihat apabila perjanjian keagenan tersebut ditinjau isinya dan dibandingkan dengan perjanjian keagenan lainnya, di mana selain ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban, perjanjian keagenan Perusahaan Proeprty One tidak mengantisipasi keadaan-keadaan yang dapat timbul dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Keadaan yang dimaksud adalah keadaan yang diakibatkan tidak lengkapnya diatur mengenai pertanggugjawaban para pihak, sehingga apabila keadaan tersebut terjadi maka menjadi tidak jelas penyelesaiannya karena tidak terdapat dalam klausula perjanjian keagenan Perusahaan Property One. 3. Penyelesaian masalah yang dilakukan Perusahaan Property One jika


(2)

permasalahan tersebut timbul dari kelemahan-kelemahan perjanjian keagenan yang sudah diuraikan di atas, maka Perusahaan Property One akan menyelesaikan terlebih dahulu di luar pengadilan dalam hal ini secara musyawarah demi kebaikan bersama. Tetapi tidak tertutup kemungkinan apabila penyelesaian masalah secara musyawarah gagal di lakukan, tentu penyelesaian sengketa akan berlanjut penyelesaiannya dalam jalur pengadilan. Pelaksanaan penyelesaian masalah secara musyawarah dalam perjanjian keagenan Perusahaan Property One menjadi kewajiban bagi para pihak karena hal tersebut sudah dinyatakan dalam klausula perjanjian yang sudah disepakati dan ditandatangani para pihak yang bersangkutan.

B. Saran

Saran-saran yang dapat diajukan berdasarkan permasalahan yang dibahas di atas adalah sebagai berikut :

1. Hendaknya substansi hubungan hukum antara agen properti dan pemilik properti diatur dalam Undang-undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, karena peraturan hukum keagenaan yang ada hanya diatur oleh Peraturan Menteri saja. Hal tersebut dapat menyebabkan lemahnya status dan hubungan hukum yang terjadi pada bisnis keagenan sehingga menimbulkan praktik penyimpangan dalam pelaksanaanya.

2. Hendaknya setiap perusahaan perantara perdagangan properti yang menggunakan perjanjian baku tidak merugikan Pihak I, dalam hal ini pemilik properti yang membutuhkan jasa, dengan dapat memahami


(3)

hak-hak yang seharusnya diperoleh Pihak-hak I, serta tidak membatasi hak-hak-hak-hak tersebut.

3. Penyelesaian perselisihan secara musyawarah oleh Perusahaan Property One, sebagaimana sudah dicantumkan dalam perjanjian keagenannya, lebih baik redaksi katanya ditambahkan bahwa dalam penyelesaian secara musyawarah tersebut dibantu oleh pihak ketiga yang independent. Adanya pihak ketiga akan sangat membantu penyelesaiannya daripada penyelesaian dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan saja, karena pihak ketiga tidak mempunyai kepentingan dalam masalah tersebut selain membantu menyelesaikannya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1996. Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perjanjian, Dalam Rangka

Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, Bandung :

Citra Aditya Bakti, 2001.

---, KUH Perdata Buku III, Bandung : Alumni, 2006. ---, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 1994. Cahyo, Agus N, Ilham Peluang Bisnis Properti, Yogyakarta : FlashBook, 2010. Hamzah, Andi, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, Jakarta : Rineka Cipta, 1990. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986. Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.

HS, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2003.

---, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2011.

---, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : Sinar Grafika, 2002.

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Kartika, 1997.

Kusuma, Roby Agung, Modal Kecil, Ingin Bisnis Properti? Baca Buku Ini, Jogjakarta : FlasBooks, 2014.

Lo, Benny, Properti Moderat; Modal Dengkul dan Urat, Yogyakarta : Andi Offset, 2010.

Lubis, T. Mulya, Hukum Dan Ekonomi, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992. Margono, Suyud, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Alternative Dispute Resolutions

(ADR), Teknik & Strategi dalam Negosiasi, Mediasi & Arbitrase, Bogor :

Penerbit Ghalia Indonesia, 2010.

Meilala, A Qirom Syamsudin, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta

Perkembanganya, Yogyakarta : Liberty, 1985.


(5)

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011.

Mujtaba, Saifuddin, Masailul Fiqhiyah, Jombang : Rousyan Fiqr, 2007.

Muljadi, Kartini., dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.

---, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Raharjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009.

Ruth J., Parsons, James D. Jorgensen, dan Santos H. Hernandez, The Integration

of Social Work Practice, California : Wadsworth, Inc, 1994.

Saliman, Abdul Rasyid, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : Teori dan Contoh

Kasus, Jakarta : Prenada Media, 2005.

Simatupang, Richard Burton, Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2003.

Soeroso, R, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 1999.

Soheh, Achmad, Cara Jitu Untuk Kaya Dengan Bisnis Properti, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2012.

Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 1987.

--- dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2001.

Sukanti, Arie, Hukum Kontrak Di Indonesia, Jakarta : Kerja sama Pemerintah Indonesia dengan US Agency for International Development dalam Proyek ELIPS, 1998.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT RajaGrafido Persada, 2007.

Suryabroto, Sumadi, Metode Penelitian, Jakarta : Rajawali Press, 1993. Susilo, Agus Pranoto, Broker Preneurship, Jogjakarta : FlasBooks, 2014.

Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 1996.


(6)

Werry, P.L, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Netherland, Jakarta : Percetakan Negara RI, 1990.

Widjaja, Gunawan., dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Wijaya, Hermawan, 77 Rahasia Cepat Untung Bisnis Properti, Yogyakarta : Pustaka Ghratama, 2009.

Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2009. Zuhdi, Masjfuk, Masailul Fiqhiyah, Jakarta : Haji Masagung, 1993.

2. Artikel/ Makalah/ Jurnal

“BI Rate Betah di 7,5% Selama 11 Bulan”, Liputan6,

“Data BI Rate”, Bank Indonesi

00.00 WIB.

“Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi”, Badan Pusat Statistik, 23.00.

“Jumlah Rumah di RI Hanya 45 Juta Unit, Butuh 1,4 Juta Hunian Baru/Tahun”, DetikFinanc

“Panduan Jadi Broker”, Jimmy Wardono, kaskus.co.id, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014 pukul 13.00.

“Sektor Properti Sumbang 28 persen Pertumbuhan Ekonomi”, Tribun news.com,

pukul 11.00 WIB.

“Suku Bunga Kredit Dan Pinjaman, Data : Juli 2014”, Seputar Forex, tanggal 15 September 2014 pukul 01.05 WIB.