Pengelolaan Cagar Budaya di Kota Medan ( Studi kasus pada Istana Maimun, Masjid Raya Al Mashun, dan Taman Sri Deli)

BAB II
KEBUDAYAAN MELAYU DAN PENINGGALANNYA

2.1. Deskripsi Lokasi Penelitian (Kota Medan)
Kota Medan dulunya dikenal dengan nama Tanah Deli. Beberapa sungai
melintasi Kota Medan dan semuanya bermuara ke Selat Malaka, Sungai-sungai
itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra,
Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. Dahulu orang menamakan Tanah
Deli mulai dari sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat
sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaanya
tidak sampai ke kedua wilayah sungai tersebut.
Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru
Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang
selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan-Deli). Setelah zaman
kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap
dan hanya menyebutkan sebagai Kota Medan3.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba
dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman
penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Bila kita menilik dari
sumber-sumber sejarah bahwa kota Medan pertama sekali didiami oleh suku
Karo, tentunya kata "Medan" itu haruslah berasal dari bahasa Karo. Dalam salah

                                                            
http://antropologi-museum.blogspot.co.id/2009/04/sejarah-kota-medan.htm

3

30 
 
Universitas Sumatera Utara

satu Kamus Karo-Indonesia yang ditulis oleh Darwin Prinst SH: 2002, bahwa
Kata "Medan" berarti "menjadi sehat" ataupun "lebih baik". Hal ini memang
berdasarkan pada kenyataan bahwa Guru Patimpus benar adanya adalah seorang
tabib yang dalam hal ini memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Karo
pada masanya.
Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang Suku Karo. Hanya setelah
penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah
Pahlawan Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh
di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut
mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Di
masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit (memerintah

dari 1669-1698), terjadi sebuah perang kavaleri di Medan. Sejak saat itu, Medan
menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli.
Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau
di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus
berkembang

sehingga

Medan

menjadi

Kota

pusat

pemerintahan

dan


perekonomian di Sumatera Utara.
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama
"Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari
posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai
Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada
zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai,

31 
 
Universitas Sumatera Utara

sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal
Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini. Jhon
Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823
dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa
penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia
hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut.
Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“
(terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok

mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur
sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.
Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari
perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang
merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu, contoh hasil panen
dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun
tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys
mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi
perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan
Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada
tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas
dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke
Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi

32 
 
Universitas Sumatera Utara

semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal

sebagai "Kota Medan".
Secara

historis

perkembangan

Kota

Medan,

sejak

awal

telah

memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang
dijadikannya Medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan
berkembang menjadi pusat pemerintah. Sampai saat ini disamping merupakan

salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.
Kota Medan yang sebagai ibukota dari Provinsi Sumatera Utara juga
merupakan miniatur dari pariwisata di Sumatera Utara dapat dibuktikan dengan
setuja keindahan panorama alam dan berbagai tempat yang bersejarah. Salah satu
dari tempat bersejarah yang juga merupakan cagar budaya di Kota Medan adalah
Kawasan cagar budaya berikat yang terdiri dari Istana Maimun, Taman Sri Deli
dam Masjid Raya Al-Mashun4.
2.2. Kebudayaan Melayu Pada Masa Sumatera Timur Hingga Sumatera
Utara
Etnik5 Melayu adalah salah satu kelompok etnik yang terdapat di Provinsi
Sumatera Utara. Banyak sumber literatur yang menggambarkan bahwa
kebudayaan Melayu di Sumatera Utara sama dengan etnik Melayu di berbagai
kawasan, seperti di Riau, Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
                                                            
4
http://anthonynh.blogspot.co.id/2012/12/10-tempat-wisata-di-sumatera-utara.html
5

Menurut Perspektif Teori Situasional, Etnis merupakan hasil dari adanya pengaruh yang
berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas

adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotakkotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang,
2003).

33 
 
Universitas Sumatera Utara

Kalimantan, dan lainnya. Begitu juga orang Melayu di Semenanjung Malaysia,
Sabah, Serawak, Pattani, Kamboja, Srilanka, Madagaskar, dan lain-lainnya. Orang
Melayu (sapaan umumnya) di Sumatera Utara memiliki ciri-ciri khas kebudayaan,
seperti sistem kekerabatan yang menggunakan unsur impal, seni sinandong,
dedeng, tari serampang dua belas, dan lain-lainnya (Dja’far : 2007).
Namun, ada juga berbagai persamaan sosial budaya dengan kawasan
Melayu lain, seperti adat-istiadat perkawinan, seni zapin, bahasa Melayu, upacaraupacara tradisional, dan lain-lainnya. Istilah Melayu biasanya dipergunakan
untuk mengidentifikasi semua orang dalam rumpun Austronesia yang meliputi
wilayah Semenanjung Malaya, kepulauan Nusantara, kepulauan Filipina, dan
Pulau-pulau di Lautan Pasifik Selatan. Dalam pengertian umum, orang Melayu
adalah mereka yang dapat dikelompokkan pada ras Melayu.
Dengan demikian, istilah Melayu sebagai ras ini mencakup orang-orang
yang merupakan campuran dari berbagai suku di kawasan Nusantara. Ras Melayu

yang sudah memeluk agama Islam pada abad ke-13, identitas budanyanya selalu
dipandang berbeda dengan masyarakat ras Proto-Melayu pedalaman, yaitu orang
Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, yang masih menganut kepercayaan
mereka sendiri; baik oleh mereka sendiri maupun orang luar.
Namun demikian, di sisi lain terjadi adaptasi/asimilasi orang Batak dengan
orang Melayu jika masuk Agama Islam. Ada perbedaan mengenai pengertian
Melayu ini di Indonesia, Malaysia, dan Singapura, seperti yang dikemukakan oleh
Vivienne Wee (1985:7-8). Menurut Wee, di Indonesia arti Melayu berbeda
dengan yang ada di Singapura dan Malaysia. Perbedaan ini secara langsung

34 
 
Universitas Sumatera Utara

berkaitan erat dengan persepsi pemerintah masing-masing. Pemerintah Singapura
memandang Melayu sebagai sebuah ras, sebuah kategori yang dihasilkan
berdasar keturunan dalam sistem etnisitasnya. Di Singapura, seorang yang
rasnya Melayu, beragama Kristen, dan berbahasa Inggris, secara syah dianggap
sebagai Melayu.
Dalam kenyataannya terdapat sejumlah kecil orang Melayu Kristen, dan

mereka dipandang sebagai suatu Asosiasi Kristen Melayu di Singapura. Di
Malaysia, Melayu secara konstitusional diikat identitasnya dengan Agama Islam,
dan jika seorang Melayu memeluk agama bukan Islam, dia tidak dipandang lagi
sebagai Melayu. Namun demikian, tidak semua orang Islam Malaysia dipandang
sebagai Melayu: konstitusi Malaysia menyatakan bahwa orang Melayu itu
hanyalah orang Islam yang berbahasa Melayu, mengikuti adat-istiadat Melayu,
lahir di Malaysia, atau lahir dari orang tuanya yang berkebangsaan Malaysia.
Berbeda dengan pemerintah Singapura dan Malaysia, pemerintah
Indonesia, tidak begitu berminat memberikan definisi secara legal terhadap
Melayu. Di Indonesia, Melayu adalah satu istilah yang mengandung makna
identitas regional berdasar pengakuan penduduknya. Maka dengan kata lain,
dalam pandangan pemerintah Indonesia, seseorang dapat saja menyatakan dirinya
sendiri sebagai atau bukan sebagai orang Melayu, dan dia boleh saja memilih
identitas regional. Pemerintah Indonesia tidak mencantumkan label etnik dalam
kartu tanda penduduk bagi seluruh warga negaranya.Sementara pemerintah
Singapura dan Malaysia mencantumkan label etnik ini.

35 
 
Universitas Sumatera Utara


Menurut Wee, pengertian Melayu di Indonesia bersifat subyektif. Untuk
menjangkau pengertian Melayu dalam wawasan yang lebih luas, perlu juga
diperhatikan pendapat dari orang-orang dari luar Melayu. Dalam pandangan
orang-orang Eropa pada umumnya, yang dimaksud Melayu itu selalu dikaitkan
dengan istilah yang dipakai oleh I- Tsing.
“ . . . Malayan; Malay; (occasionally) Moslem, e.g. masok Melayu
(to turn Mohammedan). In early times the word did not cover the
whole Malay word; and even Abdullah draws a distinction
between anak Melaka Melaka native and Orang Melayu (Hikayat
Abdullah 183). It would seem from one passage (Hang Tuah 200)
that the word limited geographically to one area, became
associated with a standard of language and was extended to all
who spoke 'Malay'. The Malay Annals speak as a sungai Melayu
(Melayu River); I-tsing speaks of Sri Vijaya conquering the
'Moloyu' country; Minangkabau has a 'Malayu' clan (suku);
Rajendracola's conquests (A.D. 1012 to 1042) covered Melayu
and Sri Vijaya as a separate countries; the Siamese records claim
Malacca and Melayu as a separate entities. Rouffaer identifies
Melayu with Jambi (Wilkinson, 1959:755) . . .”

Menurut Wilkinson seperti dikutip di atas, seorang Melayu adalah
beragama Islam. Misalnya masuk Melayu berarti masuk Islam. Pada zaman
dahulu, kata Melayu tidak mencakup keseluruhan Dunia Melayu (Alam Melayu)
yang sekarang ini. Misalnya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, seorang pujangga
Melayu ternama, membedakan antara anak Melaka dan Orang Melayu. Kata
Melayu menunjukkan sebuah kawasan, yang dikaitkan dengan bahasa yang
mereka pakai yaitu bahasa Melayu. Dalam Sejarah Melayu diceritakan tentang
sebuah sungai yang bernama Sungai Melayu.
I-Tsing menceritakan bahwa Sriwijaya menguasai negeri Melayu.
Masyarakat Minangkabau mempunyai sebuah suku yang disebut Melayu.

36 
 
Universitas Sumatera Utara

Rajendra Coladewa (1012 sampai 1042) yang menaklukkan Melayu dan Sriwijaya
sebagai dua negeri yang terpisah. Rekaman-rekaman sejarah di Thailand
menyatakan bahwa orang Melaka dan orang Melayu adalah sebuah entitas yang
terpisah. Rouffaer mengidentifikasikan Melayu dengan Jambi.
Sebelum dikenal seperti saat ini dengan sebutan Sumatera Utara, pada
awalnya daerah tersebut lebih dikenal dengan sebutan Sumatera Timur. Sumatera
Timur memang nama daerah yang terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia
baik di Pulau Sumatera maupun di luar Pulau Sumatera, terutama bagi para
generasi baru.
Di masa jayanya dulu, daerah ini (Sumatera Timur) adalah salah satu
daerah yang menegaskan betapa kayanya Bumi Nusantara. Daerah yang sangat
maju dan ramai aktivitas perdagangannya, kaya akan sumber daya alam, tak heran
Sumatera Timur juga disebut sebagai Bumi Bertuah. Disini pula, lahir para
pujangga-pujangga Melayu yang mumpuni, para ulama terkenal, raja-raja
bijaksana, dan para patriot dan negarawan yang turut serta dalam menopang,
mendukung, dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumatera Timur, sebuah daerah yang dihuni oleh mayoritas Suku Melayu,
berdampingan dengan serumpun lainnya seperti Minangkabau, Aceh, Batak
Simalungun, Karo, Mandailing, dan pendatang dari berbagai bangsa seperti
Tionghoa, Arab, Tamil dan lainnya. Awalnya daerah ini merupakan wilayah
"jajahan" dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak. Wilayah ini terdiri dari
beberapa monarki Melayu, yaitu Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli,
Kesultanan Serdang, dan Kesultanan Asahan.

37 
 
Universitas Sumatera Utara

Pada abad ke 18, wilayah ini merdeka dari Aceh maupun Siak, dan para
penguasa monarki-monarki tersebut berhak menyandang gelar "Sultan". Pada
abad ke 19, wilayah ini akhirnya ditaklukkan oleh penjajah Belanda, dan pada 1
Maret 1887, wilayah Sumatera Timur resmi menjadi wilayah administrasi Hindia
Belanda sebagai sebuah karesidenan6 yang dipimpin oleh seorang residen yang
berkedudukan di Medan.
Dalam pengertian luas, kawasan Sumatera Timur sebenarnya juga
mencakup wilayah-wilayah yang dihuni Suku Melayu di pantai timur Pulau
Sumatera dalam hal ini Kerajaan Tamiang, Kesultanan Siak, Kerajaan Pelalawan,
Kerajaan Indragiri, dan Kesultanan Riau-Lingga. Kemakmuran wilayah ini secara
luar biasa terjadi setelah berkembangnya perkebunan tembakau dan penemuan
sejumlah ladang minyak. Pada abad ke 18-19, Langkat, Deli, dan Siak, adalah
salah satu wilayah terkaya di Hindia Belanda. Istana-istana dengan megah
dibangun, begitu pula pusat bisnis, masjid-masjid, sekolah, pelabuhan, dan rumah
sakit.
Negeri-negeri Melayu yang menguasai Sumatera Timur memang makmur
melebihi harapan. Kesultanan Deli menjadi terkenal sebagai penghasil tembakau
kualitas nomor satu. Sultan Deli IX, Sultan Ma’moen Al Rasyid Perkasa Alam
Shah (1873-1924) membawa Kesultanan Deli sebagai negeri paling maju di
Sumatera Timur pada saat itu. Sementara Kesultanan Langkat menjadi kaya raya
semenjak Aeilko Zijlker Yohanes Groninger dari Deli Maatschappij menemukan

                                                            
6

Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi di Hindia-Belanda
(Indonesia) hingga tahun 1950-an. Sebuah karesidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa
afdeeling (kabupaten).

38 
 
Universitas Sumatera Utara

konsensi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Di Langkat inillah,
lahir seorang pujangga baru yang tersohor, yaitu Tengku Amir Hamzah.

Foto 1 : Aktivitas di Perkebunan Tembakau Deli

Sumber : Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde

Kesultanan Serdang, sebagai pecahan dari Kesultanan Deli, berdiri sebagai
sebuah negeri agraris yang makmur akibat perkebunan tembakau dan karet.
Perdagangan Kesultanan Serdang dengan Pulau Penang juga sangat ramai. Johan
Anderson, seorang utusan dari Inggris ketika mengunjungi Serdang pada tahun
1823, melaporkan bahwa Sultan Thaf Sinar Basyar Syah (1822-1851) memerintah
dengan lemah lembut dan bijaksana, bahkan Baginda memiliki sebuah kapal
dagang sendiri. Baginda juga sangat terbuka terhadap orang-orang Batak dari
pedalaman yang berdagang di Serdang.

39 
 
Universitas Sumatera Utara

2.3. Benda-Benda Artefak Maupun Kebudayaan
Di tinjau dari keberadaannya, ternyata di Kota Medan masih banyak
terdapat bangunan-bangunan lama yang secara fisik masih tegak berdiri sampai
sekarang dan memiliki aspek historis di dalamnya. Dalam observasi yang
dilakukan peneliti banyak sekali benda-benda peninggalan dari Kesultanan Deli,
sebuah bangunan akan terlihat biasa saja jika kita tidak mengetahui sejarah
dibaliknya. Adapun bangunan-bangunan lama yang memiliki keistimewaan yang
menarik dan memiliki nuansa historis dalam rekam jejak perjalanan sejarah Kota
Medan serta masih berdiri kokoh adalah sebagai berikut :
2.3.1. Masjid Al-Osmani

Masjid Al-Osmani adalah sebuah masjid di Medan, Sumatera Utara.
Masjid ini juga di kenal dengan sebutan Masjid Labuhan karena lokasinya yang
berada di kecamatan Medan Labuhan. Masjid ini terletak di jalan K.L. Yos
Sudarso Kelurahan Pekan Labuhan sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota
Medan. Di depan masjid ini ada sebuah sekolah yaitu sekolah YASPI (Yayasan
Pendidikan Islam) dan tak jauh dari masjid ini disebelah YASPI ada sebuah
pekong Lima Medan Labuhan dan di depan pekong tersebut ada sebuah jalan
yang menuju ke Pasar/Pajak Medan Labuhan. Ini adalah masjid tertua di Kota
Medan.

Masjid Al-Osmani dibangun pada 1854 oleh Raja Deli ketujuh, yakni
Sultan Osman Perkasa Alam dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian
pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun menjadi
permanen oleh anak Sultan Osman, yakni Sultan Mahmud Perkasa Alam yang
40 
 
Universitas Sumatera Utara

juga menjadi Raja Deli kedelapan. Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat
beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari
besar keagamaan dan tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji
yang berasal dari Medan Utara. Di masjid ini juga terdapat lima makam Laja Deli
yang dikuburkan yakni Tuanku Panglima Pasutan (Raja Deli IV), Tuanku
Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (Raja
Deli VI), Sultan Osman Perkasa Alam, dan Sulthan Mahmud Perkasa Alam.

Ketika pertama kali dibangun pada tahun, ukuran Masjid Al-Osmani
hanya 16 x 16 meter dengan material utama dari kayu.Pada tahun 1870, Sultan
Deli VIII Mahmud Al Rasyid melakukan pemugaran besar-besaran terhadap
bangunan masjid yang diarsiteki arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain
dibangun secara permanen, dengan material dari Eropa dan Persia, ukurannya
juga diperluas menjadi 26 x 26 meter. Renovasi itu selesai tahun 1872.

Beberapa kali pemugaran terhadap bangunan masjid ini telah dilaksanakan
tanpa menghilangkan arsitektur asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur
Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China. Kombinasi arsitektur empat Negara
itu misalnya pada pintu masjid berornamen China, ukiran bangunan bernuansa
India, dan arsitektur bernuansa Eropa, dan ornamen-ornamennya bernuansa Timur
Tengah. Rancangannya unik, bergaya India dengan kubah tembaga bersegi
delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton.
Masjid Al-Osmani didominasi warna kuning, dengan warna kuning keemasan
yang merupakan warna kebanggaan Suku Melayu, warna tersebut diartikan atau

41 
 
Universitas Sumatera Utara

menunjukkan kemegahan dan kemuliaan. Kemudian dipadu dengan warna hijau
yang filosofnya menunjukkan keislaman.

Foto 2 : Masjid Al-Osmani atau Masjid Labuhan

Sumber : http://midmagz.com/site/2015/01/28/masjid-raya-al-osmani/

2.3.2. Istana Maimun

Bangunan bersejarah peninggalan Kesultanan Deli telah berusia lebih dari
satu abad. Bangunan Istana Maimun tersebut merupakan salah satu peninggalan
bersejarah di Kota Medan yang Masih dapat di lihat dan disaksikan secara
langsung dengan berkunjung kedalam Istana tersebut. Pada awal pendirian
pembangunan Istana Maimun dijelaskan ,Sinar(2001:104)” Berdasarkan prasasti
Belanda dan Melayu yang dipahat pada sekeping marmer pada kedua tiang di
ujung tangga naik dapat diketahui bahwa peletakan batu pertama pembangunan
42 
 
Universitas Sumatera Utara

Istana Maimun dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma'mun Al
Rasyid Perkasa Alamsyah, dan mulai ditempati pada tanggal 18 Mei 1891”.
Bangunan Istana Maimun yang megah ini melambangkan kemakmuran serta
kejayaan Kesultanan Deli semasa Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah.

2.3.3. Masjid Raya Al-Mashun

Salah satu peninggalan bangunan bersejarah yang dapat ditemukan di Kota
Medan adalah Masjid Raya yang berlokasi di Jalan Sisingamangaraja/lebih
tepatnya di Jalan Masjid Raya, Masjid ini bersebelahan dengan Taman Sri Deli
(Taman Chadijah). Bangunan ini pada awalnya dibangun berdekatan dengan
Istana Maimun, Kerapatan Deli dan Taman Sri Deli dengan tujuan sebagai tempat
peribadatan Sultan Deli .Lokasi Bangunan Bersejarah ini berada di lingkungan
Kecamatan Medan Kota, Kelurahan Masjid lingkungan VI. Dalam proses
sejarahnya, Masjid ini sebagai lambang Kota Medan. Masjid terindah yang
memiliki nilai budaya dan sejarah dan terbesar di Sumatera Utara. Masjid ini
dapat menampung sekitar 1.500 jemaah untuk melaksanakan sholat setiap hari.
Masjid ini dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid, yang didisain oleh
Dengumans dari Belanda dengan gaya arsitektur Moorish dan berdiri pada tahun
1906.

2.3.4. Taman Sri Deli

Salah Satu peninggalan Kesultanan Deli Pada Masa Sultan Amaluddin
Sani Perkasa Alamsyah adalah pembangunan Taman Sri Deli. Taman Sri Deli
adalah bukti dari keberadaan Kerajaan Melayu di Deli, bahwa kerajaan Melayu

43 
 
Universitas Sumatera Utara

pernah berjaya di masa lampau. Pada bagian taman ini terdapat kolam di
dalamnya. Lokasi taman Sri Deli tidak jauh dari lokasi masjid raya dan Istana
Maimun yang berseberangan dengan taman Sri Deli.

Tempat

ini

tepatnya

terletak

di

persimpangan

antara

Jalan

Sisingamangaraja dan jalan Masjid Raya, Medan, Sumatera Utara. Taman ini
dahulunya dibangun dengan tujuan yang Dalam proses sejarahnya, Kolam Sri
Deli ini berada ± 100 m di depan Istana Maimon, tepatnya dibelakang “Bangunan
Kerapatan” yang kondisinya sekarang sudah hancur dan didepan Masjid Raya Al
Mashun (berseberangan dengan masjid) seperti lazimnya istana kerajaan islam.
Kolam Sri Deli ini berkaitan dengan Istana Maimon dan Masjid Raya Al Mashun.
Kolam Sri Deli ini dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah

44 
 
Universitas Sumatera Utara