Pengelolaan Cagar Budaya di Kota Medan ( Studi kasus pada Istana Maimun, Masjid Raya Al Mashun, dan Taman Sri Deli)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kota Medan merupakan kota yang memiliki banyak peninggalan sejarah.
Salah satunya yang dapat terlihat dengan jelas adalah bangunan-bangunan
bersejarah yang masih tampak hingga saat ini. Bangunan-bangunan ini telah
mengukir sejarahnya masing-masing sehingga dapat mendukung perkembangan
Kota Medan itu sendiri. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumatera Utara
mengatakan, tanpa bangunan bersejarah, kota Medan tidak akan menjadi
kotamadya.

(http://www.waspada.co.id/index.php/bangunan-sejarah-tentukan-

kota-medan).
Bangunan-bangunan

bersejarah

termasuk


dalam

kategori

cagar

budayamenurut UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dijelaskan bahwa
cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan (tangible heritage)
berupa:
1. Benda cagar budaya
2. Bangunan cagar budaya
3. Struktur cagar budaya
4. Situs cagar budaya, dan
5. Kawasan cagar budaya di darat dan/ atau di air
Pada pasal 5 undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa:


 
Universitas Sumatera Utara


Benda, bangunan atau struktur dapat diusulkan menjadi benda cagar budaya,
bangunan cagar budaya atau struktur cagar budaya apabila:
a. Berusia 50 tahun atau lebih
b. Mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun
c. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama dan/atau kebudayaan; dan
d. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa
Berdasarkan penjelasan dalam UU tersebut di atas maka yang termasuk
dalam cagar budaya yang ada di Kota Medan antara lain adalah:
-

Masjid Al Osmani

-

Kawasan Kesawan

-

Masjid Raya Al-Mashun


-

Istana Maimun

-

Rumah Tjong A Fie

-

Kantor Pos Medan

-

Gedung Kantor Bank Indonesia dan

-

Taman Sri Deli yang masih menjadi perdebatan; dan lain-lain

(www.kompasiana.com/febrih/gedung-gedung-tua-bersejarah-dimedan_55297e61de788b458b)

Penelitian ini sendiri memfokuskan pada tiga situs cagar budaya yang ada
di Kota Medan yaitu Istana Maimun, Mesjid Raya Al-Mashun dan Taman Sri Deli
Ketiga situs cagar budaya ini saling berhubungan dan menjadi tempat iconic di
kota Medan dan ketiganya sama-sama masih digunakan baik untuk umum
maupun terbatas pada komunitas tertentu. Tiga situs ini dipilih karena Istana

 
Universitas Sumatera Utara

Maimun, Masjid Raya Al-Mashun dan Taman Sri Deli adalah aset peninggalan
Kesultanan Deli yang memiliki unsur sejarah, ilmu pengetahuan, seni, pendidikan,
agama dan nilai budaya yang kuat di wilayah Sumatera khususnya di Sumatera
Utara.
Wilayah Sumatera Utara (dulunya Sumatera Timur) sudah terkenal sejak
dahulu sampai sekarang ini akan hasil buminya, seperti kapur barus, rotan, kayu
gaharu, gambir, perak, tembaga dan emas (Wolters, 1967: 122; Reid, 2010: 15,30
dalam Suprayitno, 2012 : 32). Potensi sumber daya alam dan posisinya yang
strategis ini telah menempatkan Sumatera Utara dalam jaringan perdagangan

internasional.
Hal ini menyebabkan wilayah pesisir timur Sumatera atau di muara-muara
sungai yang menghubungkan kawasan pedalaman dengan pesisir, tumbuh Bandarbandar perdagangan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi dan politik.
Keadaan geografis tersebutlah yang melatarbelakangi lahirnya kerajaan-kerajaan
seperti kerajaan Aru, Deli dan Serdang. Kerajaan-kerajaan ini memegang peranan
penting dalam hal perubahan penggunaan hutan menjadi lahan pertanian dan
perkebunan. Kesultanan Deli selalu memiliki peran politik antara Aceh, Siak dan
Johor. Namun berkat kepiawaian para penguasa pada masa Kesultanan Deli
tersebut, wilayah Kesultanan Deli tidak pernah menjadi arena pertempuran yang
mematikan peradaban manusia seperti pembunuhan atas bangsawan di Johor dan
Perak, Malaysia oleh pasukan Aceh.
Kesultanan Deli mencapai puncak kekuasaannya ketika hadir perusahaan
perkebunan dan kolonialisme Belanda di Sumatera Utara. Pada masa inilah Sultan


 
Universitas Sumatera Utara

Deli mampu membangun istana dan masjid yang megah beserta simbol-simbol
kekuasaan lainnya di Kota Medan sebagai sebuah Kesultanan yang dihormati.

Kerajaan Deli juga memiliki peninggalan-peninggalan sejarah dalam bidang
arsitektur diantaranya Taman Sri Deli, Masjid Raya dan juga Istana Maimun.
Masa peralihan penjajahan Belanda ke Jepang pada tahun 1942 menjadi
salah satu faktor mulai runtuhnya ekonomi Kesultanan Deli. Hal ini terjadi karena
pada saat masa penjajahan Belanda konsesi tanah dan keuntungan yang diperoleh
dibagi antara Kesultanan Deli dan Belanda. Sementara, pada saat masa penjajahan
Jepang 1942-1945 hak tanah dan keuntungan yang diperoleh sepenuhnya menjadi
hak Pemrintahan Jepang pada saat itu.
Jepang yang menyerah pada perang dunia di tahun 1945 berakibat pada
selesainya masa pendudukan Jepang di bumi Nusantara. Kondisi seperti ini
menyebabkan terjadinya era kekosongan kekuasaan. Bagi rakyat Indonesia, ada
rasa kebebasan yang mendorong kebanyakan dari mereka untuk menganggap
dirinya sebagai pro-Republik, tetapi tanpa pengetahuan yang jelas tentang
konsekuensi dari sikap ini. Euforia Revolusi segera mulai melanda negeri ini.
Khususnya kaum muda Indonesia merespons kegairahan dan tantangan
kemerdekaan. Para komandan pasukan Jepang di daerah-daerah seringkali
meninggalkan wilayah-wilayah perkotaan dan menarik mundur pasukan mereka
ke pinggir kota guna menghindari konfrontasi. (Ricklefs, 2010 : 23).
Kondisi seperti inilah yang memantik aksi perlawanan dan kekerasan
terhadap kaum aristokrat yang selama ini dianggap pro penjajah dan bersikap

feodal. Tidak hanya di Sumatera Timur, kekerasan yang selanjutnya disebut


 
Universitas Sumatera Utara

sebagai “revolusi sosial” ini juga terjadi di Surakarta, Jawa Tengah dan Aceh. Di
Surakarta, rakyat menuntut di hapuskannya hak tanah konversi. Hak konversi
merupakan hak feodal dalam penyewaan tanah kepada perusahaan perkebunan
orang-orang Eropa sebelum kemerdekaan dengan jangka waktu 75 tahun. Aksi
daulat dilancarkan oleh rakyat terhadap kepala-kepala desa warisan pemerintahan
kerajaan. Aksi daulat ini dapat dipandang sebagai proses defeodalisasi dari
struktur masyarakat feodal. (Suyatno: Prisma, 1984 : 45)
Pergolakan yang terjadi pada Maret 1946 ini, oleh Anthony Reid, disebut
sebagai Revolusi sosial. Konsep “revolusi” adalah salah satu konsep paling utama
dalam perangkat analisis sejarah perbandingan. Digunakan untuk apapun istilah
itu oleh para politisi, sejarawan mau tidak mau harus menggunakannya sebagai
sebuah kategori, terlepas dari memuji atau menyalahkan. Sebuah revolusi adalah
perombakan mendasar struktur sistem politik melalui kekerasan dalam waktu
yang relatif singkat. Meski revolusi didunia banyak sekali ragamnya, ada pola

tertentu yang dapat dikenali dalam hampir semua revolusi, mulai dengan tindakan
awal menghancurkan tata pemerintahan lama dan berakhir dengan pembentukan
pemerintahan tipe baru dan relatif stabil, biasanya jauh berbeda dari apa yang
dibayangkan oleh pemuka-pemuka revolusi tahap pertama. (Reid, 2011 : 320).
Revolusi sosial inilah yang menjadi titik balik peralihan kekuasaan
Kesultanan Deli. Kesultanan Deli yang dianggap sebagai pihak yang pro
pemerintah Kolonial akhirnya harus mengakui Kemerdekaan Indonesia dan juga
menyatakan keikutsertaannya dalam bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nasionalisasi perusahaan Belanda yang dilakukan oleh Soekarno juga membuat
Kesultanan Deli kehilangan kantong keuangannya dimana salah satunya adalah

 
Universitas Sumatera Utara

perusahaan Tembakau Deli. Kehilangan perusahaan Tembakau Deli menjadi
pukulan berat untuk perekonomian Kesultanan Deli. Hingga pada akhirnya
keluarga Kesultanan sudah tidak mampu mandiri mengelola Istana Maimun,
Masjid Raya Al Mashun dan Taman Sri Deli.
Revolusi sosial tersebut turut juga mengubah wajah Kesultanan Deli pada
masa kini, baik Pemangku Adat maupun Keturunan Sultan harus bekerja untuk

mendapatkan uang untuk

menghidupi diri dan keluarganya. Hal inilah yang

membuat beragam permasalahan hadir, mulai dari penjualan asset-asset,
pertengkaran antar keluarga dengan keluarga karena merasa memiliki hak lebih
dan lain-lain.
Pada awal tahun ’80-an Istana Maimun yang terletak di Jl. Brigjen Jend.
Katamso ini dibuka untuk umum. Pembukaan istana yang dibangun atas
kerjasama pihak kerajaan dan pihak kolonial Belanda sehingga bangunan istana
memiliki banyak sekali perpaduan gaya arsitektural seperti arsitektur Islam,
Melayu, India, Spanyol, Belanda dan lain-lain.yang ini pada mulanya “hanya”
untuk mendekatkan Kesultanan Deli dengan masyarakat Kota Medan pada masa
kini sistem tiket sudah diberlakukan untuk memasuki istana dengan nominal Rp.
5.000 untuk umum.
Hal ini diberlakukan atas dasar keinginan yayasan pengelolaan istana agar
wisatawan ikut membantu dalam melakukan perawatan ke Istana Maimun itu
sendiri. Disinilah mulai terlihat bahwa Kesultanan sudah mulai kekurangan dana
untuk merawat Istana Maimun. Kondisi ini terungkap dalam hasil wawancara



 
Universitas Sumatera Utara

terhadap bapak Tengku Moharsyah ketika diajukan pertanyaan: “Apakah
pemerintah gak membantu dalam hal keuangan Bang?”
“yah bisa kamu lihat sendiri, kami menghidupi diri kami sendiri.
Yah dengan tiket masuk inilah, mau gak mau yah dicukupcukupkan. Selain itu, kami juga menyewakan lapangan istana
apabila ada event-event yah untuk membantu pemasukan tadi”

Menurut informasi yang diperoleh peneliti pada saat observasi dan
pengkajian pada sumber literatur yang ada menunjukan bahwa pengelolaan tiga
kawasan cagar budaya yaitu Istana Maimun, Masjid Raya dan Taman Sri Deli
pada saat ini dilakukan oleh keluarga Kesultanan Deli. Namun, menurut informasi
pada tahun ’90 Taman Sri Deli pernah dijual pada pihak pengusaha. Penjualan
asset ke pihak swasta ini mendapat pertentangan dari masyarakat Kota Medan dan
pihak-pihak pemerhati bangunan bersejarah. Melalui berbagai proses pada
akhirnya situs ini dibeli oleh pemerintah dan saat ini dikelola oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata.
Untuk pengelolaan Istana Maimun pihak keluarga kerajaan cukup

mengalami kesulitan dana dikarenakan pemasukan “hanya” dari tiket masuk para
pengunjung di setiap harinya. Sementara itu pengelolaan Masjid Raya mendapat
dukungan dari infak yang diberikan oleh jama’ah yang Shalat di Masjid Raya
tersebut. Hal yang menjadi masalah adalah pemeliharaan bangunan cagar budaya
Taman Sri Deli yang mengalami kesimpang siuran dalam hal pengelolaan.
Sesungguhnya Pemko Medan dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kota Medan sudah diberikan mandat untuk mengelola Taman ini, tetapi sampai
saat ini Taman Sri Deli masih ditutup untuk umum dan cenderung diabaikan.


 
Universitas Sumatera Utara

Dengan berbagai fakta yang ada membuat peneliti merasa tertarik untuk
mengkaji permasalahan pengelolaan cagar budaya ini dalam sudut pandang
Antropologi. Menurut Bhaswara (2008) melakukan telaah antropologis terhadap
arsitektur akan membawa kita kepada sebuah dunia yang baru dan cukup
mengasyikkan. Baru dan mengasyikkan bagi calon Antropolog yang sedang
berusaha memahami dunia arsitektur dalam kacamata Antropologi.
Membicarakan arsitektur dari jendela antropologi hanya salah satu cara
untuk melihat arsitektur dari orbit luarnya. Dengan meminjam jendela antropologi
kita akan melihat arsitektur sebagai sebuah proses kebudayaan yang utuh. Gejala
dan wujud kebudayaan dalam arsitektur merupakan indikasi yang semakin
mendekatkan arsitektur dengan proses terciptanya kebudayaan (Bhaswara, 2008:
1)
1.2.Tinjauan Pustaka
Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979:186-187).
Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua, wujud
kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat.
Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama berbentuk abstrak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera
penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan
banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak
bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap
gagasan ini disebut sistem.


 
Universitas Sumatera Utara

Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata ‘adat’ dalam bahasa Indonesia
adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang
berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan
adat istiadat (Koentjaraningrat, 1979: 187).
Wujud

kebudayaan

yang

kedua

disebut

dengan

sistem

sosial

(Koentjaraningrat, 1979: 187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai
keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang
berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan
membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat
tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem
sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat
pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan.
Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik
(Koentjaraningrat, 1979: 188). Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena
merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau
perbuatan manusia dalam masyarakat.
Pembuatan bangunan Masjid Raya, Taman Sri Deli dan Istana Maimun
merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dari tiga wujud kebudayaan
tadi. Bahwa nilai-nilai ataupun ide yang ada didalam kepala masyarakat Melayu
terutama pihak Kesultanan Deli mempengaruhi mereka dalam setiap kegiatannya.
Sebagian besar nilai-nilai yang dianut oleh Kesultanan Deli yang bernuansa
Melayu adalah nilai-nilai Islam, sebagaimana diketahui Melayu memang identik
dengan agama Islamnya.


 
Universitas Sumatera Utara

Nilai-nilai, ide dan aktifitas sehari-hari ini lah yang kemudian mencapai
puncaknya pada saat membuat suatu benda (artefak). Dalam penelitian ini benda
tersebut adalah berupa bangunan Istana, sebuah Masjid dan juga Taman. Kita
dapat melihat bagaimana nuansa Islam yang begitu kental berada didalam
bangunan Istana Maimun. Sementara itu dengan kedekatan hubungan antara
Kesultanan Deli dengan bangsa-bangsa lain membuat gaya arsitektur Masjid Raya
dan Taman Sri Deli memiliki perpaduan corak dari berbagai macam kebudayaan
seperti Arab dan Eropa.
Dalam mengkaji sejarah pengelolaan warisan budaya di Indonesia. Daud
dalam tulisannya berjudul : “Gagasan Untuk Nominasi Benda Cagar Budaya Di
Indonesia” (Tanudirjo, 2003: 1-3) mengatakan bahwa harus diakui, minat
terhadap warisan budaya di Indonesia dan upaya pelestariannya muncul dan
berkembang dalam alam lingkungan kolonial, terutama atas usaha komunitas
Eropa pecinta barang seni dan benda unik-antik. Upaya G.E. Rumphius, seorang
ahli ilmu alam yang banyak berkarya di Maluku, untuk menguraikan berbagai
temuan kuno seperti kapak batu, kapak perunggu, dan nekara (sejenis genderang)
perunggu dengan mitos-mitos yang ada di baliknya dalam bukunya berjudul
D’Amboinsche Rariteitkamer (terbit 1705 dalam Tanudirjo 2003) seringkali
dianggap sebagai pemicu minat terhadap warisan budaya di Indonesia.
Sejak itu, banyak peminat benda seni-unik-antik mulai melakukan
penelitian dan mengoleksi tinggalan- tinggalan masa lampau termasuk candicandi dan situs prasejarah. Bahkan, pada tahun 1778 berdirilah organisasi peminat
dan peneliti benda seni dan antik yang diberinama Koninklijk Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Badan ini sempat mendirikan
10 
 
Universitas Sumatera Utara

museum yang kini menjadi Museum Nasional di Jakarta. Ketika Sir Thomas S.
Raffles menjadi gubernur jendral di Indonesia (awal abad ke-19), ia dan para
asisten-nya giat meneliti dan mempopulerkan warisan budaya Indonesia di luar
negeri. Bahkan Raffles sempat menulis buku The History of Java yang
monumental (Tanudirjo, 2013: 3).
Upaya orang-orang Inggris ini amat mengesankan pemerintah Belanda,
sehingga ketika penguasaan atas Indonesia kembali ke tangan Belanda mereka
mendirikan komisi khusus yang menangani warisan budaya Indonesia (tahun
1822). Saat itulah, upaya pengelolaan warisan budaya untuk pertama kalinya
secara formal menjadi urusan ‘negara’, meskipun kenyataannya komisi yang
dibentuk tidak bekerja efektif. Tahun 1885, pemerintah Belanda ikut mendukung
berdirinya komunitas peminat tinggalan sejarah dan purbakala di Yogyakarta
yang ternyata lebih aktif bekerja ketimbang komisi pemerintah. Lembaga ini
mewariskan museum yang kini dikenal sebagai Museum Sono Budoyo di
kompleks Kraton Yogyakarta (Tanudirjo 2013 : 5).
Tahun 1900, benda-benda warisan budaya Indonesia yang dipamerkan
dalam Pameran Kolonial Internasional di Paris mendapat perhatian yang luar
biasa dari khalayak Eropa. Sukses ini mendorong pemerintah Belanda untuk
menggiatkan lagi komisi pengelola warisan budaya di Indonesia. Setahun
kemudian J.L.A. Brandes ditunjuk secara khusus untuk mengelola lembaga yang
dinamai Commisie in Nederlandsche-Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op
Java en Madoera. Komisi ini bekerja efektif cuma hingga tahun 1905 dan
kinerjanya merosot setelah ditinggal Brandes yang wafat tahun itu juga. Baru
tahun 1910, N.J. Krom ditunjuk sebagai ketua komisi menggantikan Brandes.
11 
 
Universitas Sumatera Utara

Bagi Krom, sebuah komisi tidak cukup untuk mengurusi warisan budaya
Indonesia yang begitu banyak dan beragam, karena itu ia mengusulkan agar
lembaga ‘komisi’ ditingkatkan menjadi ‘jawatan’ dengan diperkuat oleh peneliti
arkeologi dan sejarah yang handal.
Atas desakan Krom, akhirnya pada tanggal 14 Juni 1913 pemerintah
Belanda menetapkan berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nederlandsche-Indie
(Jawatan atau Dinas Purbakala). Sejak itu, semua urusan yang berkaitan dengan
warisan budaya di negara ini, termasuk upaya untuk mengumpulkan, mendaftar,
meneliti, serta melestarikan dan memanfaatkannya menjadi urusan negara. Bagi
Kohl and Fawcett (dalam Tanudirjo : 2003) pelembagaan seperti ini diistilahkan
sebagai ‘Arkeologi pengabdi negara’ atau “archaeology in the service of the
state”.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan warisan budaya berangsur-angsur
diserahkan kepada bangsa Indonesia sendiri. Namun, kebijakan pengelolaan tidak
mengalami perubahan berarti. Monumenten Ordonnantie 1931 tetap menjadi
landasannya. Urusan warisan budaya makin ketat menjadi urusan negara. Tidak
mengherankan jika para peneliti dan petugas pelestariannya pun (bahkan juga
pengajar arkeologi) adalah pegawai negeri. Pada umumnya, mereka memaknai
warisan budaya secara ‘formal’ sebagaimana disebut dalam MO 1931 yang lebih
menekankan pada nilai penting dari segi keilmuan. Padahal, masyarakat tentu
memiliki pemaknaannya sendiri yang lebih beragam dan umumnya bersifat
praktis. Akibatnya, upaya pengelolaan warisan budaya di Indonesia seringkali
diwarnai dengan konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah (a.l.
Tanudirjo 1995; 1998).
12 
 
Universitas Sumatera Utara

Ironinya, ketika undang-undang baru tentang benda cagar budaya
pengganti MO 1931 dirancang pada awal 1990-an, cara pandang yang lama itu
masih dominan. Akhirnya, Undang- Undang no. 5 tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya (UU BCB) yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan MO 1931.
Peranan negara tetap sangat dominan, sementara hak dan peran partisipatif
masyarakat luas belum terakomodasi dengan baik.
Penelitian di situs-situs purbakala hanya dilakukan oleh lembaga
penelitian pemerintah, sebagaimana juga di bidang pemugaran dan pelestarian.
Pemanfaatan benda cagar budaya pun hampir selalu ditentukan oleh pemerintah
dan amat jarang memperhatikan aspirasi masyarakat. Konflik kepentingan antara
berbagai pihak yang terjadi baik di situs Sangiran maupun di Borobodur hanyalah
sedikit contoh yang terungkap secara luas. Sikap masyarakat luas terhadap
kebijakan pengelolaan warisan budaya menjadi skeptis atau bahkan apatis. Hal ini
antara lain juga diakibatkan oleh sikap pemerintah yang cenderung melakukan
pendekatan ‘satu arah dari atas ke bawah’ (trickle down) dengan dilatari dengan
sikap yang cenderung tidak peduli kepada masyarakat luas.
Padahal, dalam banyak hal, pemerintah sendiri belum mampu mengemban
tanggung jawab mereka untuk melaksanakan amanat UU BCB itu. Bahkan,
pengelola warisan budaya kadangkala tidak mampu mencegah kerusakan dan
pemusnahan warisan budaya oleh unsur pemerintah lainnya. Di era Global ini,
masyarakat banyak mengalami pencerahan termasuk dalam bidang warisan
budaya, sehingga makin sadar akan hak-hak mereka. Ada kesadaran yang makin
kuat bahwa warisan budaya pada hakekatnya adalah milik semua orang. Karena

13 
 
Universitas Sumatera Utara

itu, segala sesuatu yang akan terjadi pada sumberdaya budaya itu haruslah
sepengetahuan masyarakat luas (Tanudirjo, 2003: 7).
Kesadaran seperti juga muncul di Indonesia dalam beberapa dasawarsa
terakhir ini. Masyarakat tidak lagi terlalu menggantungkan harapan terhadap
upaya pemerintah dalam pelestarian warisan budaya dan juga sering meragukan
kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan warisan budaya. Situasi seperti ini
akhirnya memunculkan berbagai organisasi atau lembaga kemasyarakatan
maupun pribadi-pribadi yang berperhatian terhadap pelestarian warisan budaya.
Tidak mengherankan, pendukung lembaga-lembaga ini justru berasal dari
lingkungan di luar arkeologi yang masih terlena sebagai ‘state archaeology’.
Namun saat ini yang terjadi di kawasan berikat1 Kota Medan menjadi
kebalikan akan semua tulisan Daud tersebut. Pemerintah bukan saling berebut
untuk mengelola dan memanfaatkan cagar budaya tersebut. Akan tetapi
pemerintah malah memalingkan wajahnya terhadap pengelolaan cagar budaya
dengan berbagai alasan. Bukti yang sangat nyata saat ini adalah usaha dari pihak
Kesultanan Deli yang menjual Taman Sri Deli kepada pihak swasta karena sudah
tidak memiliki dana untuk mengelola Taman Sri Deli tersebut walaupun pada
akhirnya dikembalikan kepada pemerintah karena berbagai tekanan yang hadir.
Dalam artikelnya yang berjudul “Sekilas tentang Warisan Budaya”
Tanudirjo memaparkan bahwa istilah “warisan budaya” sudah begitu akrab di
telinga kita (Tanudirjo, 2006 : 1). Namun, ternyata tidak mudah untuk
merumuskannya secara tepat dan lugas (discrete). Ada cukup banyak pengertian
                                                            
1

Berikat merupakan Istilah yang dipakai oleh masyarakat untuk menyebut kawasan yang saling 
berhubungan 

14 
 
Universitas Sumatera Utara

warisan budaya, yang seringkali mempunyai nuansa pemahaman yang berbeda.
Karena itu, pada bagian tinjauan pustaka ini perlu kiranya dikemukakan beberapa
kerangka konseptual tentang warisan budaya, agar dapat diperoleh

suatu

pemahaman yang cukup luas tentang istilah itu.
Bukan bermaksud untuk mengulang bahasan sebelumnya, tetapi untuk
merunutkan secara lebih sistematis saja bahwa apabila merujuk pada pengertian
umum “budaya”, maka didalam istilah “warisan budaya” akan terkandung tiga
unsur budaya, yaitu gagasan, tindakan, dan budaya bendawi (Koentjaraningrat,
1979: 12). Unsur yang disebut pertama dan kedua bersifat tak-bendawi
(intangible), sedangkan unsur ketiga lebih bersifat bendawi (tangible) . Jadi,
secara hurufiah, pengertian warisan budaya merujuk pada semua unsur budaya
yang telah dihasilkan manusia (intangible maupun tangible), serta diteruskan dari
generasi sebelumnya ke generasi sekarang dan mendatang.

Untuk lebih

memahami konsep ini, barangkali skema Michael B. Schiffer (1976, 1985 dalam
Tanudirjo 2006: 6) di bawah ini dapat membantu kita memahami hakekat warisan
budaya dalam proses budaya.
Schiffer menunjukkan dua konteks yang mewadahi proses budaya, yaitu
konteks sistem dan konteks arkeologi. Konteks sistem mewadahi proses budaya
yang semua unsur budayanya, baik yang tangible maupun intangible, masih dapat
teramati. Dalam kaitan dengan ini, sering digunakan istilah warisan budaya hidup
(living heritage). Semua unsur itu tertuang dalam proses budaya, yang terdiri dari
aktivitas : dapat – buat – pakai – pakai ulang – daur ulang –
buang/hilang/tertinggal. Sebaliknya, dalam konteks arkeologis, unsur budaya yang
masih ada hanyalah unsur tinggalan bendawi-nya saja, sedangkan unsur intangible
15 
 
Universitas Sumatera Utara

sudah tidak ada lagi. Seringkali tinggalan ini disebut monumen mati (dead
monuments). Unsur bendawi ini kalau dibiarkan bisa jadi akan mengalami
kepunahan, baik karena kegiatan manusia (C-transform) maupun kegiatan alam
(N-transform). Karena itu, ada upaya untuk memasukkan kembali unsur bendawi
itu ke dalam konteks sistem agar dapat dimanfaatkan kembali dan dilestarikan.
Proses ini disebut reklamasi atau revitalisasi. Dalam penelitian ini Masjid Raya
dan Istana Maimun masuk dalam kategori living heritage karena sampai saat ini
masih digunakan oleh keluarga sultan dan Masyarakat umum. Sementara Taman
Sri Deli masuk dalam kategori benda arkeologis.
Nilai (values) dalam kegunaan sumberdaya budaya (cultural resources)
menurut Darvill (dalam Kriswandhono 2012) dapat dimanfaatkan untuk keperluan
sebagai berikut : Archaelogical research, Scientific Research, Creative arts,
Education, Recreation and tourism, Symbolic representation, Legitimation of
action, Social solidarity and integration, Monetary and economic gain. Jadi masih
banyak hal-hal yang bisa dikerjakan untuk pengelolaannya.
Terlepas dari aspek pendidikan dan penelitian, maka permasalahan
menjadi lebih jelas dan terfokus untuk dibicarakan, yakni aspek pelestarian dan
pengelolaan. Maksud penyederhanaan ini bukan untuk mengesampingkan aspek
pendidikan dan penelitian, tapi untuk memfokuskan pada istilah- istilah yang
sesuai dengan UU RI No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pelestarian
dipahami sebagai kesatuan pengertian Perlindungan – Pengembangan –
Pemanfaatan, sedangkan Pengelolaan semestinya seperangkat alat dan peralatan
yang digunakan untuk menunjang Pelestarian.

16 
 
Universitas Sumatera Utara

Mencermati ’manfaat’ versi Darvill maka sumberdaya budaya (cultural
resources) atau warisan budaya (cultural heritage) menjadi murni urusan
manajemen, walaupun didalam skenario besarnya peran arkeolog tetap mutlak
dibutuhkan.
Untuk itu dalam tulisan ini sisi manajemen dari pengelolaan cagar budaya
menjadi penting, mengingat penulis sebisa mungkin untuk menghindari
keruwetan dalam penulisan jika harus menulis dalam kerangka berfikir yang
100% arkeologis, ataupun 100% Antropologis. Peneliti mengambil jalan tengah
dengan mengkaji permasalahan ini dalam kacamata antropologi, manajemen dan
arkeologi.
Menurut Stoner dkk (dalam Kriswhandono 2012 : 2) manajemen adalah
suatu proses yang terdiri atas rangkaian kegiatan, seperti perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian/ pengawasan, yang dilakukan
untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui
pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.
Definisi Manajemen : (Stoner, dkk. Dalam Kriswhandono 2012)
Manajemen adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya untuk mencapai
suatu hasil atau mewujudkan suatu harapan yang akan diperoleh (visi), dengan
melakukan strategi-strategi tertentu (misi) yang akan didukung oleh lima unsur
manajemen, yaitu :
1. Perencanaan (planning)
2. Pengorganisasian (organizing)

17 
 
Universitas Sumatera Utara

3. Petunjuk dan Pengarahan (directing)
4. Pelaksanaan (actuating)
5. Pengontrolan dan Evaluasi (controlling)
Di dalam pengertian manajemen di atas apabila dikaitkan dengan
pemanfaatan sumberdaya budaya materi yang paling awal harus ditentukan adalah
visi dan misi, dan menentukan visi pemanfaatan. Untuk menjabarkan misi, maka
dimulai dengan kerangka berfikir strategik melalui manajemen strategis.
Manajemen strategis adalah sekelompok keputusan dan tindakan
manajerial yang menentukan kinerja jangka panjang organisasi. Manajemen
strategis mencakup semua dasar fungsi manajemen; yakni strategi organisasi
harus direncanakan, diorganisasi, dilaksanakan, dan dikendalikan( Robbin &
Coulter 2004: 196). Sedangkan Proses Manajemen Strategis adalah proses
delapan langkah yang mencakup perencanaan, implementasi, dan evaluasi
stategis.
1.3.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka yang telah
diuraikan maka masalah penelitian yang akan saya rumuskan adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana konsep pengelolaan cagar budaya; kawasan berikat ?
2. Siapa saja pihak yang terlibat dalam pengelolaan ? dan
3. Apa masalah interkoneksi pengelolaan ?

18 
 
Universitas Sumatera Utara

1.4.Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya
konsep pengelolaan cagar budaya kawasan berikat di Kota Medan. Kemudian
secara simultan juga menjelaskan siapa saja pihak-pihak yang mengelola cagar
budaya kawasan berikat tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengungkap masalah
yang membelit kawasan berikat tersebut sehingga memaksa pemiliknya untuk
menyewakan kawasan cagar budaya tersebut kepada pihak swasta untuk tujuan
komersil.
Selain memiliki tujuan, penelitian ini juga memiliki manfaat bagi bidang
ilmu pengetahuan dan yang lebih penting adalah sebagai bahan penjelasan untuk
melihat bagaimana pengelolaan cagar budaya di Indonesia terkususnya di Kota
Medan. Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan menjadi bahan pertimbangan
dalam usaha menyelamatkan kawasan-kawasan ataupun benda-benda cagar
budaya lainnya di Indonesia.
1.5.Metode penelitian
Metode penelitian yang akan saya gunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kualitatif yang bertipe deskriptif. Penelitian ini akan
mengoptimalkan bermacam-macam instrumen penelitian guna mencari informasi
yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
Data yang dikumpulkan nantinya akan diklasifikasikan menjadi dua jenis
data yakni data yang bersifat sekunder dan data yang bersifat primer. Data yang
bersifat sekunder merupakan data literatur yang sifatnya tambahan yang berasal
dari buku, jurnal, artikel dan internet. Sementara itu data primer merupakan
19 
 
Universitas Sumatera Utara

prioritas utama dalam penelitian ini berupa hasil yang didapatkan dari lapangan
melalui observasi dan wawancara mendalam.
Adapun diantara cara yang akan dilakukan peneliti dalam usaha
mendapatkan data untuk menjawab masalah penelitian ini adalah :
a.

Observasi

Observasi yang akan saya lakukan dalam penelitian ini adalah teknik
pengamatan lapangan dalam hal ini bangunan cagar budaya. Observasi dilakukan
pada objek tempat penelitian yang berlokasi di Kecamatan Medan Maimun, Kota
Medan, Provinsi Sumatera Utara.
Tujuan dari dilaksanakannya observasi ini adalah untuk memotret kondisi
dan pengelolaan keterkaitan ketiga bangunan berikat tersebut. Serta bagaimana
perlakuan masyarakat umum terhadap ketiga cagar budaya tersebut sebagai
cerminan sikap masyarakat terhadap cagar budaya tersebut.
Peneliti akan mencari data melalui wawancara dengan informan yang
mengerti betul sejarah dan manajemen pengelolaan kawasan cagar budaya berikat
tersebut. Peneliti juga akan mengklarifikasi kepada pihak-pihak yang berwenang
mengelola kawasan Cagar budaya tersebut untuk menyempurnakan data.
b.

Wawancara

Peneliti akan mencari data melalui wawancara dengan informan yang
mengerti betul sejarah dan manajemen pengelolaan kawasan cagar budaya berikat
tersebut. Peneliti juga akan mengklarifikasi kepada pihak-pihak yang berwenang
mengelola kawasan Cagar budaya tersebut untuk menyempurnakan data.

20 
 
Universitas Sumatera Utara

Wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam yang mana peneliti berusaha memperoleh data melalui tanya jawab dan
bertemu secara langsung dengan informan yang sudah dipilih berdasarkan proses.2
Adapun daftar informan yang akan dimintai informasi oleh peneliti adalah
sebagai berikut :
-

Pihak Kesultanan Deli sebagai pihak yang memiliki mengelola
Masjid Raya, Istana Maimun, dan Kolam Sri Deli

-

Nazir Masjid Raya sebagai orang yang selalu bersinggungan dalam
pengelolaan secara langsung pada Masjid Raya

-

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang menjadi perpanjangan tangan
Pemerintah dalam hal pengelolaan aset-aset wisata

-

Dinas Perumahan & Pemukiman Kota Medan sebagai perpanjangan
tangan Pemerintah dalam hal pemugaran Taman Sri Deli

-

Badan Warisan Sumatera (BWS) sebagai lembaga yang mengawasi
aset-aset bersejarah di Kota Medan

-

Balai Arkeologi Medan

-

BP3

Dalam melakukan penelitian ini tentunya peneliti akan memerlukan tools
atau alat penelitian guna membantu peneliti untuk menjalankan kegiatan mencari
datanya. Adapun alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

                                                            
2

 Metode Penelitian Kualitatif, Burhan Bungin : 2011 

21 
 
Universitas Sumatera Utara

-

Pedoman wawancara

(interview guide). Pedoman wawancara ini

sangat diperlukan oleh peneliti guna membantu peneliti mengarahkan
poin-poin utama dalam menyampaikan pertanyaan kepada informan.
-

Alat perekam. Peneliti juga memerlukan alat perekam guna
menyimpan setiap informasi yang diucapkan oleh narasumber. Hal ini
dilakukan mengingat keterbatasan otak manusia dalam mengingat
setiap kata yang diucapkan.

-

Kamera Foto. Kamera diperlukan oleh peneliti untuk mengabadikan
momen-momen yang kiranya dirasa penting dalam menggambarkan
suasana penelitian.

-

Peneliti. Dari sekian banyak alat penelitian yang digunakan tentu
yang paling penting adalah si peneliti itu sendiri. Sebab peneliti
mempunyai tugas penting dalam menganalisis data yang telah didapat
serta menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Kemudian untuk tahap analisis nya peneliti akan menggunakan analisis
data secara kualitatif yang juga menjelaskan ilmu Antropologi sosial budaya dan
ilmu Arkeologi di dalamnya. Data akan dikelompokkan pada bagian-bagian yang
sesuai dengan struktur penulisan yang peneliti rasa penting, dan data yang dipilih,
akan berdasarkan relevansi rumusan masalah yang dibuat.
1.6 Pengalaman Penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan oktober 2015, jauh sebelum itu penulis
sudah diperkenalkan oleh Dosen Pembimbing penulis dengan seminar-seminar
yang berkaitan dengan judul penulis sekitar tahun 2014, dan penulis juga sudah

22 
 
Universitas Sumatera Utara

diperkenalkan kepada ibu Isnen Fitria dari Arsitektur USU dan juga pendiri BWS
(Badan Warisan Sumatera) sebagai lembaga independen yang memang sangat
peduli dengan Cagar Budaya di Kota Medan dan peneliti juga pernah ikut seminar
yang didakan BWS yakni “Desain Strategi dan Rencana Pelestarian Cagar Budaya
Kota Medan” pada tanggal 22 September 2015.
Penelitian saya dimulai ketika saya ingin mengantarkan surat penelitian
kepada BWS sekitar tanggal 13 Oktober 2015, ketika saya mencari alamat mereka
saya membuka smartphone yang saya miliki dan melihat website mereka, ternyata
website yang mereka miliki sepertinya sudah lama tidak dipergunakan karena
tidak ada berita ataupun kegiatan kegiatan dari BWS yang disampaikan.
Sampailah saya pada bagian profil dan melihat alamat mereka di Jalan Sei
Selayang No 39, Medan Baru. Kota Medan didalamnya juga terletak nomor
handphone. Tanpa berfikir panjang saya lalu mendatangi alamat yang tertera tadi,
tanpa disangka alamat yang diberikan itu salah dan nomor telfon yang bisa
dihubungi pun juga telah berpindah tangan dan bukan BWS lagi yang
mengelolanya.
Kemudian saya kembali ke rumah dengan wajah murung, lalu saya
kembali membuka Handphone saya dan kembali berselancar di internet tentang
BWS ini, sampailah saya pada sebuah berita yang diselenggarakan oleh BWS.
Tanpa disangka artikel berita tersebut memasukkan Nomor Bang Khairul yang
mana bang Khairul ini juga sempat saya kenal di beberapa seminar yang diadakan
oleh BWS, kemudian singkat cerita berjumpalah kami pada tanggal 15 oktober
2015 dan meminta izin kepadanya agar langsung wawacara sambil

melihat

proposal yang saya buat.
23 
 
Universitas Sumatera Utara

Kemudian sampailah kami pada pertanyaan bahwa Taman Sri Deli dijual
dan bagaimana tanggapan abang sendiri (BWS) terhadap hal tersebut :
“itu begini ceritanya, kolam sri deli kan memang asset kesultanan
jadi mereka berhak menjualnya kepada pengusaha, pengusaha
tersebut ingin membangun hotel. Tetapi masyarakat yg peduli dan
BWS tidak setuju kami juga sempat turun ke pemko dan lapangan
dan akhirnya pemko membelinya lagi yah bicara untung rugi yah
mau bilang apa yah terpaksa pemko membelinya dengan harga yg
fantastis, tahun penjualannya kira kira 2002-2003 begitulah
Kalo dari pandangan saya memang lebih baik ada orang yg
membeli asset asset ini sehingga management bisa lebih terfokus
dalam hal pengelolaan tapi harus ada kesepakatan bahwa si
pembeli tetap mempertahankan cagar budaya tersebut, seperti
contoh ada namanya blue house dipenang itu dibeli pihak ketiga
dan pengusahanya tetap mempertahankan konsep bangunan lebih
baik pengelolaannya dalam hal management juga lebih baik dan
juga lebih terkontrol karena satu pemilik. Itu jauh lebih baik dari
keadaan istana apabila masih dimiliki oleh pihak kesultanan.
Apabila tetap dimiliki kesultanan tidak akan jauh lebih baik deh ini
aja baru punya anak dua, nanti bercucu lagi dia bercicit lagi dia
mau dibagi berapa lagi kesultanan. Apabila tidak dimiliki
kesultana ada 2 kemungkinan, akan lebih baik atau lebih buruk
lagi. Tapi masyarakat bisa lebih banyak berbicara apabila itu
tidak milik sultan lagi, masyrakat lebih bisa memberikan
pendapatnya. Nah apabila dibandingkan dengan kesultanan jogja,
yah kesultanan pasti kalah, karena kesultanan jogja masih
memiliki asset yg sangat banyak dan mereka masih berkuasa, jadi
pasti kesultanan deli kalah jauh.”

Sebenanrnya alas an peneliti memilih BWS sebagai tempat untuk
melakukan wawancara adalah karena BWS lembaga yang indepent dan tidak
memihak kepada siapapun dalam hal ini, seperti pernyataan di atas, jujur saja
peneliti merasa terkejut dengan jawaban itu. Pemikiran- pemikiran dari Bang
Khairul ini yang membuat skripsi peneliti dan penelitinya sendiri ikut berkembang
dalam konsep- konsep dan pemikiran.

24 
 
Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal 14 oktober 2015 saya mengirim surat penelitian dari FISIP
USU kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, saya masih ingat
ketika saya datang kesana pukul 10:00 pagi dan resepsionis dinas tersebut
menyuruh saya kembali pada pukul 14:00 untuk mengetahui surat saya diterima
atau tidak untuk penelitian di Dinas mereka. Kemudian, saya pun datang sekitar
pukul 14:15 dan saya pun kembali ke resepsionis yang bersangkutan dan
menanyakan surat yang saya kirim tadi. Beliau pun mengajak saya menjumpai
seorang pria untuk menanyakan hal tersebut,tanpa saya duga saya menjumpai
bapak tersebut di kantin dan beliau sedang bermain catur dengan temannya dan
beliau menyuruh saya kembali besok hari karena beliau ingin melanjutkan
permainannya. Jujur saja saya kecewa dengan sikap seorang PNS yang seperti itu
yang mana beliau digaji oleh masyarakat sementara di tempat kerja beliau seperti
itu,
Karena saya esok harinya atau tanggal 15 Oktober sudah berjanji dengan
Bang Khairul lalu kembalilah saya mendatangi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kota Medan tanggal 16 Oktober 2015 dan menanyakan kembali pada kakak
resepsionis yang beberapa hari lalu saya jumpain. Lalu kami kembali menjumpai
bapak yang beberapa hari lalu saya jumpai dan kali ini iya berpakaian rapi dan
langsung mempersilahkannya masuk ke ruangannya lalu dia langsung menyetujui
proposal penelitian saya dan langsung mengajak saya menjumpai seorang wanita
yang memang menjadi juru bicara dinas Kebudayaan dan pariwisata kota Medan.
Kemudian peneliti langsung memperkenalkan diri dan wawancara ke wanita
tersebut, kemudian sampailah peneliti pada sebuah pertanyaan “ apa saja program

25 
 
Universitas Sumatera Utara

yang

sudah

lakukan

oleh

Dinas

Kebudayaan

dan

Pariwisata

untuk

mempromosikan asset-asset wisata di kota Medan?”
“yah hanya melalui brosur-brosur, kemudian kalo datang tamu
tamu dari mancanegara kita bawa ke istana, kemudian kita juga
ada program ke sekolah-sekolah (SD dan SMP) kita bawa juga ke
istana, mesjid raya dan itu program berkelanjutan setiap tahun”

“konsep2 pariwisata dari pemko sendiri kayak mana bu?”
“yah hanya melalui brosur-brosur saja”
Disini peneliti bingung untuk menyampaikan pertanyaan apalagi yang
akan ditanyakan karena sepertinya ibu wanita jubir ini tidak mengetahui apa saja
yang saya tanyakan, kemudian peneliti menanyakan proses tukar guling Taman
Sri Deli kepada juru bicara tersebut dia pun menjawab
“Kalo tentang kayak mana proses tukar guling dan pemugaran
kolam sri deli itu lebih ke dinas perumahan dan pemukiman nak
karena kami dari dinas pariwisata hanya menikmatinya dan
menjadikannya sebagai objek wisata. Kalopun soal pemugaran itu
ditanyakan pada dinas perumahan dan pemukiman nak, lebih
bagus kau tanya kesana”
Lalu saya datang ke Dinas Perumahan dan Pemukiman kota Medan
tepatnya pada tanggal 13 Nov 2015 cukup lama jarak antara penelitian di Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata dengan Dinas Perumahan dan Pemukiman ini, karena
ribetnya pengurusan surat menyurat ke dinas dinas terkait dengan skripsi saya,
dan saya pun jenuh dengan data yang saya bisa ambil dari dinas dinas itu.
Sesampainya saya di Dinas ini keribetan kembali terjadi dan saya disuruh
menunggu sekitar 30 menit lebih di pelataran parkir dinas tersebut. Lalu mulailah
saya wawancara dengan seorang ibu yang menjadi juru bicara Dinas tersebut,

26 
 
Universitas Sumatera Utara

ketika saya berikan interview guide beliau langsung menyuruh saya menjumpai
Kabag Keuangan Dinas Perumahan dan Pemukiman yaitu ibu Elinadra. Peneliti
pun bertanya “apa sebenarnya tupoksi dari dinas Perumahan dan Pemukiman ini
bu”
“tupoksi kami sebenarnya rehab kantor, gedung, jalan setapak, air
bersih, mck”
“Jadi hubungan dinas ini dengan pemugaran kolam sri deli apa yah bu?”
“itu ditanyakan kepada KPA(kuasa pengguna anggaran) kami
hanya diberi perintah melakukan pemugaran”

Peneliti semakin melihat banyak hal ganjil mengenai pemugaran ini
sendiri karena sepertinya ada pesanan dari pejabat-pejabat terkait terhadap hal itu
(pemugaran dan pembelian Taman Sri Deli)
Kemudian pada tanggal 17 November 2015, peneliti mengirimkan surat
izin penelitian ke Istana Maimun melalui receptionis yang juga berjualan tiket di
istana maimun. Keesokan harinya saya dihubungi oleh pihak istana dan
mempersilahkan saya datang pada hari Rabu 19 Nov 2015.
Rabu tanggal 19 Nov 2015 sekitar pukul 15:30 datang ke istana maimun,
pada penelitian kaliini saya bersama teman saya Bendry Ritonga, awalnya kami
melihat lihat dahulu kemegahan Istana Maimun ini, ketika kami melihat kedalam
kami melihat orang yang lalu lalang hanya untuk berfoto di dalam ruangan istana
maimun itu sendiri, masyarakat tidak tertarik mengenai sisi kesejarahan istana ini
sendiri. Setelah kami melihat lihat semua bagian istana kami menemukan papan
penjelasan mengenai sultan sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Deli

27 
 
Universitas Sumatera Utara

terletak di sudut ruangan dan apabila wisatawan yang memang bukan ingin
melihat keseluruhan istana dia tidak akan menemukan tulisan itu.
Kemudian kami memulai wawancara dengan Tengku Moharsyah yang
menjabat sebagai sekretaris Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid, saya bertanya
“sejak kapan istana maimun ini dibuka untuk umum bang”
“ . . . Istana Maimun dibuka setahu saya itu pada akhir tahun 70an
atau 80an awal. Dimana Istana Maimun terbuka untuk umum pada
masa itu bagaimana Sultan Deli beserta keluarga Kesultanan yang
lainnya ingin menunjukan relevan dia kepada masyarakat yang
dulunya pada masa pemerintahan Kesultanan Deli dimana Istana
Maimun ini menjalankan fungsinya sebagai Istana Negara tempat
Sultan Deli melaksanakan upacara adat beserta keluarganya tentu
menjadi area steril bagi siapapun yang tidak berkepentingan.
Kemudian dengan berjalannya waktu Sultan Deli beserta keluarga
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih dekat
kepada Sultan untuk mendatangi Istana Negaranya secara umum
yang berjalan waktunya yang terakhir menjadi tempat destinasi
wisata budaya . . .”
Banyak yang diceritakan bang Moharsyah ini kepada kami mengenai
sejarah kesultanan itu sendiri, seperti salah satu contoh yang baru kami ketahui
adalah hukum yang berlaku pada masa pemerintahan Kesultanan Deli terbagi
menjadi 2 hukum yang dibuat oleh Belanda dengan daerah yang meliputi Timur
Kesultanan Deli yaitu daerah Kesawan sampai Pulo Brayan, dan hukum
Kesultanan Deli yang meliputi wilayah Barat sampai daerah Pancurbatu. Ini
hanya salah satu contoh dari banyaknya keistimewaan Kesultanan Deli pada
zaman dahulu.
Pada hari itu juga setelah selesai Sholat Isya kami melakukan penelitian ke
Masjid Raya Al-Mashun. Kami berjumpa dengan bapak Ridwan AS selaku

28 
 
Universitas Sumatera Utara

sekretaris badan kenadziran masjid raya. Saya bertanya tentang “bagaimana
sumber dana untuk mengelola Masid Raya ini”
“sumber dana kami kebanyakan dari infaq, kadang pemerintah
mau bantu juga Cuma jarang jarang yah di cukup-cukupkan
sajalah”

Ini menambah miris peneliti dengan tidak adanya bantuan pemerintah
yang datang padahal situs cagar budaya ini adalah situs keagamaan dan menjadi
ciri khas umat Islam di Kota Medan.
Selang beberapa lama dan juga sambil mengerjakan Skripsi ini saya baru
berkesempatan mendatangi Balai Arkeologi Medan untuk melakukan wawancara
bersama Bapak Lucas P Koestoro dan Bapak Ketut Wiradyana selaku peneliti di
Balai Arkeologi medan.
Saya pun mewawancarai pak Lucas P Koestoro, saya akui beliau orang
yang sangat ahli dalam bidang ini dan penjelasan-penjelasan yang beliau jabarkan
membuka pengetahuan saya yang selama ini sempit menjadi sangat luas, dan
mewawancarai pak Ketut Wiradyana juga sama tetapi penjelasan pak Ketut sangat
jelas menunjukkan bahwa beliau seorang dosen dengan penelitian sebagai
tonggak pemecahan masalah interkoneksi pengelolaan Istana Maimun.
Itulah pengalaman selama melakukan penelitian, banyak hal baru dan
pandangan-pandangan baru yang didapat oleh peneliti dengan berbagai
wawancara yang telah dilakukan, diharapkan dengan banyaknya orang yang
peneliti

wawancarai

akan

semakin

menjelaskan

bagaimana

seharusnya

pengelolaan cagar budaya di Kota Medan ini dapat dijalankan.

29 
 
Universitas Sumatera Utara