Pengelolaan Cagar Budaya di Kota Medan ( Studi kasus pada Istana Maimun, Masjid Raya Al Mashun, dan Taman Sri Deli)

(1)

INTERVIEW GUIDE

Kategori : Pihak Luar ( BWS dan BalaiArkeologi)

1. Bagaimana pendapat anda mengenai bangunan cagar budaya yang masih di tempati?

2. Bagaimana pendapat anda tentang Taman Sri Deli yang sudah dikembalikan ke Pemerintah tetapi belum juga dibuka untuk umum? 3. Bagaimana pendapat saudara mengenai taman Sri Deli yang berpagar? 4. Bagaimana Konsep Pengelolaan Cagar Budaya yang baik menurut anda? 5. Bagaimana pandangan anda terhadap UU CagarBudaya No 11 tahun

2010?

6. Apakah ada kawasan berikat lain di Indonesia? Dan Bagaimana perbandingannya dengan kawasan berikat di Kota Medan?

Kategori :Pemerintah ( Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Dinas Perumahan dan Pemukiman kota Medan)

1. Sejauh mana peran pemerintah dalam mempromosikan 3 aset wisata? 2. Berapa besar PAD dari 3 bangunan tersebut untuk Pemko kota medan? 3. Bagaimana proses tukar guling antara pengusaha dan pemerintah

dalam pembelian Taman Sri Deli

4. Pemugaran apa saja yang dilakukan pemko terhadap Taman Sri Deli? 5. Event apa saja yang sudah dilakukan pemerintah di taman sri deli? 6. Apa saja tupoksi dari dinas-dinas terkait terhadap 3 aset wisata


(2)

Kategori : Pengelola ( Yayasan Sultan Ma’moen Al rasyid dan Badan Kemakmuran Masjid Raya Al Mashun)

1. Bagaimana sistem pengelolaan Istana Maimun? 2. Pihak mana saja yang terlibat dalam pengelolaanya? 3. Sejak kapan Istana Maimun dibuka untuk umum? 4. Dari mana saja sumber dana pengelolaan?

5. Apakah dana yang didapat cukup?

6. Saat ini anggota keluarga kesultanan bekerja sebagai apa saja? 7. Saat ini bagaimana peran pemerintah dalam membantu

pengelolaan Istana Maimun? 8. Mengapa Taman Sri Deli dijual?

9. Tahun berapa penjualan tersebut terjadi?

10.Siapa saat ini yang menjadi pengelola Taman Sri Deli?

11.Apakah kesultanan pernah melakukan pengembangan Taman Sri Deli?

12.Bagaimana sistem pengelolaan Masjid Raya Al Mashun? 13.Siapa saja yang ada dalam struktur kepengurusan Badan

Kemakmuran Masjid Raya?

14.Pihak – pihak mana saja yang terlibat dalam pengelolaan Masjid Raya?

15.Dari mana saja sumber dana masjid raya?

16.Apakah keluarga kesultanan masih ikut dalam pengelolaan Masjid Raya?


(3)

17.Apakah ada terowongan rahasia antara Istana Maimundan Masjid Raya?

 

DAFTAR INFORMAN

Nama : Khairul

Pekerjaan : Peneliti di BWS Umur : -

Nama : Elinadra

Pekerjaan : Kabag Keuangan Dinas Perumahan dan Pemukiman Umur : -

Nama : Tengku Moharsyah

Pekerjaan : Sekretaris Yayasan Sultan Ma’moen Al rasyid Umur : 39 tahun

Nama : Ridwan As

Pekerjaan : Sekretaris Badan kemakmuran Masjid Raya Al-Mashun Umur : 68 tahun

Nama : Lukas P Koestoro

Pekerjaan : Peneliti di Balai Arkeologi Medan Umur : 58 tahun


(4)

Pekerjaan : Dosen dan Peneliti BalaiArkeologi Medan Umur : 49 tahun

Nama : Mina

Pekerjaan : Wirausaha Umur : 40 tahun

Nama : Nanda

Pekerjaan : Mahasiswa Umur : -

Nama : Rajali

Pekerjaan : Wiraswasta Umur : -

Nama : Taufik

Pekerjaan : Wirausaha Umur : -

Nama : Soleh

Pekerjaan : wiraswasta Umur : 38 tahun

Nama : Khairul Nadim Pekerjaan : Pelajar Umur : -


(5)

DAFTAR GAMBAR

Wisatawan yang menikmati Istana Maimun


(6)

Singgasana yang menjadi objek foto wisatawan


(7)

Persyaratan yang harus dipenuhi apabila ingin masuk kedalam komplek Masjid Raya Al-Mashun


(8)

Suasana Taman Sri Deli yang tak terurus

Seorang pengunjung yang melihat keadaan Taman Sri Deli


(9)

Daftar Pustaka

Buku/Literatur tertulis

Altman, J.C. 1988. Aborigines, Toursm And Development: The Northern Territory Experience. Australian National University North Australia Research Unit Monograph, Darwin

Brown-Radcliffe, A.R., 1952. Structure and Function In Primitive Society. Glencoe: Free Press.

Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta :Kencana

Butzer, Karl W. 1982. Archaeology As Human Ecology. New York, Cambridge University Press.

Cleere, Henry F. 1990. Introdudtion: The Rationale Of Archaeological Management, dalam Henry F. Cleree(ed), Archaeological Heritage Management In The ModernWorld. London :Unwin-Hyman.

Friedman, J. 1994. Cultural Identities and Global Process. London:Sage Publication.

Hodder, I. 1999. The Archaeological Process, An Introduction. Oxford:Blackwell. Holton, R.J. 1998. Globalization And The Nation-State. New York: Mac Millan

Press.

Kasim Ahmad (penyelenggara), 1966. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. 1979. Sejarah Teori Antropologi I : Jakarta : UI Press.

Kohl, P.L. dan C.Fawcett. 1995. Nationalism, Politics, And The Practice Of Archaeological London : Cambridge University Press.

Little, Barbara J. 2002. Archaeology As a Shared Vision, dalam Barbara J. Little (ed) Public Benefits Of Archaeology. Gainnerville. University Press of Florida. Hlm.3-19.

Lowenthal, D.1981. Conclusion :Dilemmas Of Preservation, dalam D. Lowental dan M. Binney (eds), Our Past Before us, Why do We Save it ?, London, Tample Smith. Hlm. 213-237.


(10)

Mayer-Oakes, Willian J. 1990. Science, Service, And Stewardship : a Basis For The Ideal Archaeology Of The Future, dalam Henry F. Cleree(ed). Archaeological Haritage Management in The Modern World. London :Unwin-Hyman.

McGimsey, C. dan H. Davis (eds). 1977. The Management Of Archaeological Resource, The Airlie House Report. Special Publicatoin Of The Society for American Archaeology.

Pearson M.P. dan S. Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places. Melbourne: Melbourne University Press.

Robbin, Stephen P & Marry Coulter Manajemen. Edisi Bahasa Indonesia. Edisi ke-7. Jilid1. Prentice-Hall.Inc. PT INDEKS Kelompok Gramedia. 2004. Schaafsma, Curtis F. 1990. Significant Until Proven Otherwise :Problems Versus

Representative Samples, dalam Henry Cleree (ed). Archaeological Heritage Management in The Modern World. London Unwin-Hyman Hlm. 38-50.

Schiffer, M.B. 1976, Behavioral Archaeology. New York Academic Press.

Schiffer, M.B. 1985, Formation Processes Of The Archaeological Record. Albuquergue, University Of New Mexico.

Schiffer, M.B. and G.J. Gummerman (ed). 1977. Conservation Archaeology. New York : Academic Press.

Tengku Muhammad Lah Husny, 1986. Butir-Butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

T.O. Ihromi, 1981. Pokok-pokok Teori Antropologi Budaya. Jakarta: Aksara. Usman Pelly, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.

Sumber - Sumber Lain

Bhaswara, Rahadea. 2008. Ideologi,Gagasan,Tindakan,Artefak: Proses Berarsi- Tektur Dalam Telaah Antropologis : arsitektur.net. artikel.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1997. Himpunan Peraturan Perundang- ndangan Republik Indonesia tentang Benda Cagar Budaya. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


(11)

Djafar, Fadlin. 2008. Budaya Melayu Sumatera Utara Dan Enkulturasinya. Artikel.

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbmakassar/2014/01/25/undang-undang-nomor-11-tahun-2010-tentang-cagar-budaya/.

http://antropologi-museum.blogspot.co.id/2009/04/sejarah-kota-medan.htm.

http://anthonynh.blogspot.co.id/2012/12/10-tempat-wisata-di-sumatera-utara.html.

Ismail Husein, 1984. Antara Dunia Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia.

Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia, 2003. Draft Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia ( www.icomos.org/characters/indonesia-characters.pdf).

Kriswandhono, A. 2012 Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi: Kasus Kawasan Kota Lama Semarang. Judul Makalah. Dengan dirubah seperlunya, disampaikan pada FGD di LIPI, Jakarta, 20 Juni.

Martin, H.P. dan H. Schumann. 1996. Global Trap, Pretoria : HSRC-RGN.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Rapat Penyusunan Standardisasi Kriteria (Pembobotan) Bangunan Benda Cagar Budaya di Rumah Joglo Rempoa, Ciputat, Jakarta, 26 – 28 Mei 2004 Cetakan ke-9. Jakarta: Balai Pustaka.

Suleiman S.R. Mulia, N.S. Anggraeni& F.X. Supandi (eds). 1976. 50 Athun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (lib.ui.ac.id/file?file=pdf/metadata-20282390).

Tanudirjo, D.A. 1995. Theorecal Trend In Indonesia Archaeology, dalam P.Ucko (ed), Theory In Archaeology, a World Perspective. London: Routledge, Hlm 61-75.

Tanudirjo, D.A. 1996. Arkeologi Pasca-Modernisme untuk Direnungkan. Makalah Disampaikan Dalam Pertemuan Ilmiah Arkelogi VII di Cipanas, 1996.

Tanudirjo, D.A. 1998. CRM Sebagai Manajemen Konflik.Artefak no. 19 Februari 1998.

Tanudirjo, D.A. 2000. Reposisi Arkeologi Dalam Era Global. Buletin Cagar Budaya, vol.1 no,2, Juli 2000 (suplemen). Hlm.11-26.


(12)

Tanudirjo, D.A. 2001. “Wisata Arkeologi” Antara Ilmu dan Hiburan, dalam M.I. Mahfud (ed), Memediasi Masa Lalu, Spectrum Arkeologi dan Pariwisata, Makassar :Balai Arkeologi Makassar dan Lephas. Hlm. 90-110.

Tanudirjo, D.A. 2003. Gagasan untuk Nominasi Benda Cagar Budaya di Indonesia. Makalah Disusun Dalam Rangka Lokakarya Penyusunan Piagam Pelestarian Pusaka untuk Indonesia di Lakiurang, 30 September-3 Oktober 2003.

Tanudirjo, Daud A. 2003. Gagasan Untuk Nominasi Benda Cagar Budaya Di Indonesia. Makalah Disampaikan Dalam Lokakarya Penyusunan Piagam Pusaka Untuk Indonesia, Kaliurang 30 September – 3 Oktober 2003. Tanudirjo, Daud A. 2006. Sekilas Tentang Warisan Budaya :Artikel. Universitas

Gadjah Mada.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, Dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Tentang Benda Cagar Budaya. Departemen Pendidikandan Kebudayaan, 1997 (http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_5_92.htm).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

www.kompasiana.com/febrih/gedung-gedung-tua-bersejarah-dimedan

55297e61de788b458b.

   

               


(13)

BAB III

OBJEK PENELITIAN DAN PERMASALAHANNYA

3.1.Istana Maimun

3.1.1. Sejarah Istana Maimun

Istana Maimun adalah istana Kesultanan Deli yang merupakan salah satu icon di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Istana Maimoon sebagai gedung istana kediaman resmi Sultan Deli didirikan pada tahun 1888 di mana, sebelumnya Sultan Deli tinggal di Istana Kampong Bahari di Labuhan. Pembangunan kawasan Istana Maimoon dimungkinkan oleh pendapatan Sultan Deli yang sangat besar dari pembayaran pemberian tanah untuk konsesi perkebunan yang dibuka serta hasil tahunan sewa tanah (cijns).

Hasil panen tembakau pada tahun 1888 yang mencapai sekitar 125.000 pak membuat Tanah Deli menjadi salah satu produsen tembakau terbesar di dunia dan Amsterdam menjadi pasar tembakau terbesar di dunia pula (Sinar, 2001). Istana Maimoon bergaya arsitektur perpaduan di antara gaya-gaya Melayu tradisional, Islam (Timur Tengah/India), dan Eropa. Dikatakan Melayu tradisional, karena gedung ini memanjang ke depan dan bertingkat dua. Atapnya berbentuk limas. Teras di kiri dan kanan berupa anjungan. Pinggiran atapnya berukir Pagar Tringgalum. Pinggiran atas

lislplank-nya berukir Awan Boyan.

Dikatakan Islam (Timur Tengah/India) karena ground plan bangunannya terdiri atas tiga bagian. Dalam pengaruh ini terdapat pada bagian tengah bangunan yang bersegi empat dan biasanya merupakan ruangan terbuka pada mesjid-mesjid


(14)

kuno di Timur Tengah dan India yang disebut sahn. Pada sisinya terdapat gang beratap tempat berteduh yang disebut mugatha atau suntuh. Pengaruh Islam Timur Tengah sangat kental terdapat pada lengkungan-lengkungan (arcade) bangunan, baik yang berbentuk lunas perahu terbalik dikenal sebagai lengkungan Persia maupun lengkungan yang berbentuk ladam kuda atau lengkungan asli pada gang-gang beratap di sekitar istana, tiang kayu penyangga atap istana, dan tiang penyangga kubah mesjid. Pengaruh lainnya terdapat pada atap kubah istana yang dihiasi bulan sabit. Dikatakan Eropa karena gedung ini memiliki jendela dan pintu bergaya Eropa. Bangunan bersejarah yang paling populer objek wisata primadona Kota Medan adalah Istana Maimoon (Surbakti : 2006).

Istana Maimun yang pada saat ini terletak di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun. Istana Maimun didesain oleh arsitek Belanda ( Theodoor van Erp ) dan dibangun oleh Sultan Deli, Sultan Ma’moen Al Rasyid. Pembangunan istana ini dimulai dari 26 Agustus 1888 dan selesai pada 18 Mei 1891. Istana Maimun memiliki luas sebesar 2.772 m2 dan 30 ruangan. Istana Maimun terdiri dari 2 lantai dan memiliki 3 bagian yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri dan bangunan sayap kanan.

Bangunan istana ini menghadap ke utara dan pada sisi depan terdapat bangunan Masjid Al-Mashun atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Raya Medan. Istana Maimun menjadi tujuan wisata bukan hanya karena usianya yang tua, namun juga desain interiornya yang unik, memadukan unsur-unsur warisan kebudayaan Melayu, dengan gaya Islam, Spanyol, India dan Italia. Namun sayang, tempat wisata ini tidak bebas dari kawasan Pedagang kaki lima.Pada saat ini Istana Maimun masih didiami oleh keluarga–keluarga Sultan.


(15)

Foto 3 : Istana Maimun Pada Tahun 1910-an

Sumber : Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde

Ruangan pertemuan, foto–foto keluarga Kesultanan Deli, perabot rumah tangga Belanda kuno dan berbagai senjata, terbuka bagi masyarakat yang ingin mengunjunginya. Di istana ini pula terdapat Meriam Puntung yang merupakan peninggalan sejarah dari Kesultanan Deli. Satu blok dari Istana Maimun kearah timur, berdiri Mesjid Raya dengan arkitektur yang menawan merupakan daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Medan dan sangat mengagumkan. Bangunan Istana Maimun tersebut merupakan salah satu peninggalan bersejarah di Kota Medan yang Masih dapat di lihat dan disaksikan secara langsung dengan berkunjung kedalam Istana tersebut.

Pada awal pendirian pembangunan Istana Maimun dijelaskan,Sinar (2001:104) :


(16)

“ . . . Berdasarkan prasasti Belanda dan Melayu yang dipahat pada sekeping marmer pada kedua tiang di ujung tangga naik dapat diketahui bahwa peletakan batu pertama pembangunan Istana Maimun dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah, dan mulai ditempati pada tanggal 18 Mei 1891 . . . ”

Bangunan Istana Maimun yang megah ini melambangkan kemakmuran serta kejayaan Kesultanan Deli semasa Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Dalam proses sejarahnya mengutip dari Jelajah Medan Haritage 2013 bahwa :

“ . . . Istana Maimon merupakan salah satu objek wisata utama di Medan yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, istana ini dibangun pada tahun 1888 oleh Sultan Makmun Al Rasyid memerintah dari tahun 1873-1924. Arsiteknya adalah T.H Van Erp yang bekerja sebagai tentara KNIL. Rancangannya melambangkan bangunan tradisional Melayu dan India Muslim, sedangkan gaya arsitekturnya antara Indonesia, Persia dan eropa. Di halaman stana terdapat meriam puntung yang merupakan bagian dari legenda Istana Maimon (Jelajah Medan Heritage, 2013:20) . . . “

Istana Maimun didisain dengan gaya tradisional istana-istana Melayu yang memanjang didepan dan didominasi dengan warna kuning yang mana adalah warna khas melayu. Dibangunnya istana ini berkaitan dengan Belanda mengadakan reorganisasi pemerintahan dengan memindahkan kedudukan Residen Sumatera Timur yang tadinya berada di Labuhan dan Bengkalis dipindahkan ke Medan. Kemudian Belanda membentuk Land Raad (pengadilan) di Medan, dan akibatnya Medan menjadi pusat pemerintahan di Sumatera Timur. Mengunjungi Istana Maimoon berarti juga melihat cikal bakal kota Medan yang merupakan ibu kota Keresidenan Sumatera Timur.


(17)

3.1.2. Permasalahan Pengelolaan Istana Maimun

1. Pembatas Dan Kurangnya Informasi Di Dalam Istana Maimun

Saat memasuki gerbang istana, jalanan istana akan menuntun kita hingga ke tangga utama istana. Tangganya terbuat dari keramik yang didatangkan langsung dari Eropa pada masa itu. Setelah melewati tangga, akan ada teras istana, teras ini terbentang di kedua sisi kanan dan kiri tangga. Ada kursi dan meja di setiap terasnya.

Ruang pertama yang ditemui saat masuk Istana adalah ruang berukuran sekitar 4×4 m yang di samping kiri dan dan kanannya ada kamar. Lurus dengan pintu utama, ada satu pintu lagi yang menghantarkan ke ruang utama. Sebuah ruang besar berukuran 412 m 2 dulunya ruangan ini digunakan sebagai balairung. Di ruang ini terdapat satu set lampu kristal buatan eropa yang cukup besar dan mencolok. Di dinding terdapat banyak tulisan-tulisan arab dan terdapat ukiran-ukiran bermotif geometris dan florist, begitu juga di plafonnya.

Di bagian kiri balairung terdapat singgasana sulthan yang berwarna kuning keemasan. Singgasan ini berbentuk persegi panjang lengkap dengan kubah-kubah diatasnya. Sekarang, dalam setahun dua kali sultan akan duduk di singgasan tersebut yaitu saat hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Di ruangan yang sama, banyak terdapat gambar-gambar Sulthan Deli terdahulu dan ada juga sebuah cermin besar berbingkai warna keemasan. di sebelah kanan ruang utama, tersimpan lemari yang isinya pakaian yang pernah digunakan sulthan, dan beberapa keris dan alat musik melayu yang disimpan di dalam kotak kaca. Lalu ada ruangan terakhir setelah ruang utama. Di sini, ada sepasang kursi raja dan ratu


(18)

yang bisa diduduki oleh pengunjung. Di sudut ruangan juga terdapat lemari-lemari lama peninggalan zaman Kesultanan.

Bangunan Istana Maimun dibagi menjadi tiga ruang utama, yaitu bangunan induk, sayap kanan dan sayap kiri. Di dalam bangunan induk terdapat singgasana kerajaan yang digunakan dalam acara khusus, misalnya penobatan raja. Istana yang didominasi warna kuning atau warna kebesaran kerajaan Melayu ini, konon memiliki 30 kamar di dalamnya. Namun sayang, yang hanya bisa kita masuki ialah ruangan utama yang berada di tengah bagunan. sementara Ruangan Pribadi yang berada disayap kiri dan kanan dilarang untuk dikunjungi.

Foto 4 :Tanda Batas Area Yang Tidak Boleh Dilewati Pengunjung

Sumber : Peneliti

Salah satu hal yang juga sangat disayangkan adalah peletakkan papan yang berisi penjelasan mengenai sejarah bangunan Istana Maimun, dan juga profil Sultan yang pernah berkuasa hanya diletakkan di sisi kanan Istana Maimun. Hal ini sangat disayangkan karena papan penjelasan tersebut tidak diletakkan ditempat yang ramai dilalui oleh pengunjung. Bahkan tempat dimana papan penjelasan ini berada kondisinya kurang pencahayaan dan juga terlihat tidak terawat dimana


(19)

banyak papan yang sudah rusak dan berdebu. Padahal banyak sekali pengunjung yang membutuhkan informasi mengenai bangunan Istana Maimun maupun informasi mengenai Sultan.

Foto 5 : Papan Penjelasan Yang Diletakkan Ditempat Yang Kurang Pencahayaan

Sumber : Peneliti

2. Kesulitan Mencari Dana Untuk Pengelolaan Istana Maimun

Dalam kegiatan operasionalnya, Istana Maimun sebagai bangunan cagar budaya tentu membutuhkan dana untuk menjalankan fungsi-fungsinya sebagai tempat ikonik di Kota Medan, dan juga untuk merawat dirinya sebagai bangunan cagar budaya.

Bila pada masa lalu Istana Maimun merupakan tangung jawab Sultan Deli yang kala itu berjaya dengan perkebunan tembakaunya. Pada zaman dulu tamu yang hadir ke Istana Maimun dapat memberikan sumbangan seiklas hatinya,


(20)

dalam artian belum tertata dengan baik. Maka pada saat ini, setelah Kesultanan Deli kehilangan salah satu kantong pemasukannya yakni tembakau Deli maka pihak istana akhirnya memutar otak untuk membiayai operasional Istana Maimun.

Dengan seiring berjalannya waktu Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid akhirnya berbenah dari segi managemen. Pemasukan yang pada dulunya hanya bersumber pada uang sumbangan yang tidak pasti besarannya kini diganti menjadi sistem retribusi tiket bagi setiap orang yang berkunjung ke Istana Maimun.

Kemudian Pengelola juga menetapkan jadwal berkunjung ke istana. Hal ini penting dilakukan karena Istana Maimun merupakan istana yang masih ditempati oleh keluarga Kesultanan sehingga harus diatur jam-jam berkunjung ke istana. Satu hal lagi adalah untuk mengatur kapan-kapan saja waktu digelarnya pertunjukan musik tradisional melayu. Jadwal berkunjung ke Istana Maimun adalah sebagai berikut :

Senin-Minggu : 08.00 S/D 17.00 WIB

Jum’at : 08.00 S/D 12.00 WIB Kemudian Dibuka Kembali Pukul 14.00 S/D 17.00 WIB

Jadwal pertunjukan musik tradisional melayu (Live Music) sebagai berikut:

Senin - Kamis : 10:30 S/D 12.00 WIB Jumat - Sabtu : 14.00 S/D 15.30 WIB Minggu : 10.00 S/D 12.00 WIB

Dengan harga tiket masuk yang hanya Rp.5000, Moharsyah mengaku hal itu sangat tidak cukup untuk upaya pengembangan Istana Maimun sebagai tempat


(21)

Wisata yang menarik bagi masyarakat. Dilain hal bila pihak pengelola menaikan harga tiket masuk, maka pasti banyak yang akan keberatan dengan hal tersebut. Karena menurut Moharsyah hal tersebut pasti akan terjadi karena melihat pelayanan yang diberikan masih kurang maksimal dari pengelola Istana Maimun. Hal itu benar-benar disadari sepenuhnya oleh pihak pengelola.

Lebih lanjut Moharsyah menjelaskan dalam wawancaranya bahwa :

“ . . . Ya kalau saya bilang cukupi. Kenapa dicukup-cukupi kata orang Melayu ada rupa ada harga. Makannya mungkin sampai hari ini ada letak dari kelemahan Istana Maimun yang tidak bisa saya pungkiri. Bukan saya mencari alasan, tetapi itulah yang memang menjadi bagian dari seluruh apapun yang kita inginkan membutuhkan anggaran. Tetapi walau begitu pun apapun yang kita dapat dari tamu-tamu ini, itu lah yang bisa semampu kita, kita berikan kepada tamu-tamu. Karena kami sadari juga bahwa tamu-tamu ini lah yang menjadi bagian promosi bagi Istana Maimun. Tamu yang datang kami perlakukan seperti raja-raja. Walaupun ada atau tidak adanya dana, kami akan tetap merawat Istana Maimun ini . . .”

Pemerintah juga ikut serta dalam melestarikan Istana Maimun ini. Menurut Moharsyah sakali waktu Pemerintah Kota Medan pernah memberikan sumbangan untuk membantu pemeliharaan Istana Maimun. Sebenarnya beberapa Dinas Pemerintah seperti Dinas Pariwisata, Dinas Pertamanan dan Dinas Pekerjaan Umum harus terlibat dalam upaya membantu melestarikan Istana Maimun ini. Namun, Menurut Moharsyah belum ada langkah yang jelas ke arah itu.

Lebih Lanjut Moharsyah Mengatakan bahwa :

“ . . . Pada masa dulu Istana Maimun ini masih menjadi istana yang ditangungjawabi oleh sultan Deli. Tamu yang datang juga bisa memberikan bisa tidak. Artinya belum tertata secara rapi dalam hal managemen. Namun, seiring berjalannya waktu sekarang ini bukan hanya menjadi tangung jawab sultan Deli tetapi juga pemerintah Indonesia dalam hal ini dibawah dinas-dinas terkait seperti dinas-dinas pariwisata, pertamanan dan pekerjaan


(22)

umum. Tapi, sebagaimana yang berjalan sampai hari ini kami pengelola melihat, peran itu masih belum ada dari dinas terkait . . . .”

Hal yang menarik, upaya pelestarian yang mereka lakukan secara mandiri terbukti cukup efektif dan sangat membantu pemerintah seperti yang terjadi di Istana Maimun. Menurut Moharsyah, kondisi yang saat ini terjadi dialami oleh Istana Maimun membuat kualitas dari pelayanan Istana Maimun sebagai tempat wisata menjadi tidak maksimal. Istana Maimun yang setiap harinya didatangi oleh pengunjung tentu memerlukan perawatan dan juga kebersihan untuk membuat pengunjung semakin tertarik untuk datang ke Istana Maimun. Namun, dengan dana retribusi tiket yang dikenakan kepada setiap pengunjung tersebut, dirasa hanya cukup untuk merawat saja. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Moharsyah ketika wawancara sebagai berikut :

“ . . . Dana yang ril didapat setelah dikelola dengan manajemen dalam hal ini memakai sitem retribusi tiket masuk. Dimana dana retribusi untuk umum Rp.5000 anak sekolah dan mahasiswa Rp.3000 maka itulah dana yang digunakan untuk merawat Istana Maimun. Karena Istana Maimun yang setiap hari didatangi oleh wisatawan dalam maupun luar negeri membutuhkan dana perawatan maupun kebersihan. Untuk biaya itu semua belum cukup, masih sangat kurang bila kita ingin mengembangkan Istana Maimun ini . . .”

Dengan kondisi yang terjadi saat ini Moharsyah berharap bahwa kedepannya Pemerintah dengan instansi terkaitnya, dapat membantu lebih baik lagi dalam upaya pengembangan Istana Maimun sebagai cagar budaya dan tempat wisata. Hal ini menurutnya penting, karena Istana Maimun bukan hanya milik keluarga Kesultanan Deli saja, tetapi juga milik warga Kota Medan. Pihak pengelola juga melakukan beberapa cara untuk mencari dana guna menghidupi Istana Maimun, salah satunya adalah menyewakan lapangan Istana Maimun bila


(23)

ada pihak yang mengadakan acara-acara seperti pertunjukan music. Hal itu dikatakan Moharsyah semata-mata untuk menghidupi Istana Maimun.

Lebih lanjut Moharsyah mengatakan bahwa :

“ . . . Salah satu sumber dananya juga adalah mendapatkan dana dari pemakaian lapangan Istana Maimun yang diizinkan oleh pihak Istana Maimun. Adapun hal ini dilakukan adalah semata-mata untuk menghidupi Istana Maimun ini sendiri. Walaupun ada bantuan dari pemerintah tetapi lebih bersifat temporer, tidak berkelanjutan. Kalau dana ada tersedia baru dikasih, kalau tidak ada ya tidak dikasi. Harapannya adalah agar pemerintah dapat memberikan dana secara continue agar dapat merawat dan mempercantik Istana Maimun. Karena jika istana maimun ini cantik, maka yang akan harum namanya bukan hanya pihak Kesultanan, tetapi juga masyarakat Kota Medan . . .”

Banyak pihak menyatakan bahwa warisan budaya di mana pun berada adalah warisan budaya seluruh umat manusia. Ahli Konservasi David Lowenthal (1981) menulis “…the past belongs to everyone; the need to return home, to recall the view, to refresh a memory, to retrace a heritage, is universal and essential…”. Seorang Direktur Jenderal UNESCO pernah pula menyatakan “.., manking is finding out that it has a shared past, and the history of each country belaongs to everyone.” (dalam Little, 2002). Namun, di sisi lain, tidak semua masa lalu dan warisan budaya selalu harus dimaknai sama oleh setiap orang. Sebaliknya, pluralisme yang muncul dalam era global ini justru menimbulkan tuntutan agar setiap orang atau pihak boleh memaknai warisan budaya menurut apa yang digagasnya.


(24)

3.2. Taman Sri Deli

3.2.1. Sejarah Taman Sri Deli

Salah Satu peninggalan Kesultanan Deli Pada Masa Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah adalah pembangunan Taman Sri Deli. Taman Sri Deli adalah bukti dari keberadaan Kerajaan Melayu di Deli, bahwa kerajaan Melayu pernah berjaya di masa lampau. Lokasi Taman Sri Deli tidak jauh dari lokasi Masjid Raya dan Istana Maimun yang berseberangan dengan Taman Sri Deli. Tempat ini tepatnya terletak di persimpangan antara Jalan Sisingamangaraja dan jalan Masjid Raya, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara.

Taman ini dahulunya dibangun dengan tujuan sebagai kelengkapan komplek perumahan keluarga Sultan Deli. Dalam proses sejarahnya, Taman Sri Deli ini berada ± 100 m di depan Istana Maimon, tepatnya dibelakang “Bangunan Kerapatan” yang kondisinya sekarang sudah hancur dan disamping Masjid Raya Al Mashun (berseberangan dengan masjid) seperti lazimnya istana kerajaan islam. Taman Sri Deli ini berkaitan dengan Istana Maimun dan Masjid Raya Al Mashun. Taman Sri Deli ini dibangun oleh Sultan Ma’moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah.

Pertama kali taman ini dinamai dengan nama Taman Tengku Chadijah, merujuk pada nama istri Sultan Amaludin Sani Perkasa yang menjadi Sultan Deli pada tahun 1925-1945.Taman ini mulai terbengkalai seiring dengan meredupnya Dinasti Sultan setelah revolusi sosial tahun 1946. Fokus utama taman ini adalah kolamnya, tempat duduk sepanjang kolam dibuat sebagai tempat istirahat keluarga Sultan pada sore hari sambil menunggu waktu shalat Magrib yang dilakukan di Masjid Raya di depan taman. Di masa sekarang Taman Sri Deli/Kolam Sri Deli


(25)

merupakan areal yang menyajikan hiburan berupa wisata kuliner, rekreasi, serta menjadi tempat wisata malam yang paling banyak di kunjungi. Taman sri Deli juga menjadi tempat wisata malam ketika Bulan Ramadhan tiba. Tempat ini pun menjadi tempat wisata di saat berbuka dan menyajikan segala macam makanan dan hiburan.

Lebih lanjut Moharsyah mengatakan bahwa Taman Chadijah atau orang Eropa pada masa itu menyebutnya dengan sebutan Deli Khan Park, merupakan sarana pelengkap dari komplek tempat tinggal Sultan Deli beserta pekerjanya. Secara berurutan pada masa Sultan Deli ke 9 membangun istana maimun pada tahun 1888, membangun Masjid Raya 1906 dan tahun 1925 membangun taman Chadijah. Bentuk dari Taman Sri Deli juga memiliki keunikan yakni bentuknya yang persegi enam atau polygon, mengikuti landscape taman-taman di Eropa. Selain untuk pelengkap, Taman Sri Deli juga menjadi tempat berkumpul masyarakat sembari menunggu shalat maghrib pada masa itu. Ciri khasnya yang bisa kita lihat ada 3, yang pertama bentuk kolamnya yang berbentuk persegi enam atau polygon, tempat jalan (doorloop), dan yang ketiga rumah pompa. Rumah pompa itu lah yang menjadi alat menjernihkan air kolam tersebut.

3.2.2. Permasalahan Pengelolaan Taman Sri Deli

1. Kondisi Taman Sri Deli yang Sekarang

Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim) Kota Medan kini telah merampungkan proyek Revitalisasi Taman Sri Deli. Revitalisasi Taman Sri Deli yang dipimpin langsung Dinas Pimpinan Gunawan Surya Lubis itu menggelontorkan anggaran senilai Rp9,8 miliar dari APBD 2014 Kota Medan.


(26)

Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim) Kota Medan Gunawan Surya Lubis mengatakan di media Harian Ispirasi Bangsa, Pihaknya sudah melakukan revitalisasi Taman Sri Deli dengan nilai anggaran Rp10 miliar. Pihak yang melaksanakan revitalisasi tersebut adalah PT. Inti Persadaraya Lestari dengan dana Rp 9.671.900.000,00.

Bahkan Gunawan menjelaskan, untuk revitalisasi yang telah dilakukan mencakup pembangunan open stage, tempat bermain anak, serta memperbarui taman dan pagarnya seperti sedia kala dahulu tempat pemandian Raja Sultan Deli. Dalam Harian Inspirasi Bangsa Gunawan menyebutkan “Kalau kami bertanggung jawab hanya untuk pembangunan fisik,” kata Gunawan. Menurut dia, saat ini pembangunan fisik telah selesai, dan pihaknya telah menyerahkannya kepada bagian aset Pemko Medan. Mengenai siapa yang bakal mengelola, itu akan ditentukan Pemko Medan”. Taman Sri Deli merupakan satu situs sejarah di Kota Medan yang dulu tempat bersantai Sultan Deli dan keluarganya pada masa penjajahan Hindia Belanda.

Lokasi ini pernah digagas Pemko Medan menjadi pusat kuliner dan menjadi ikon wisata di Kota Medan. Namun, Taman Sri Deli itu akan dikembalikan fungsinya seperti Taman Sri Deli dahulu pada jaman Kesultanan Deli sehingga menarik bagi wisatawan asing dan mancanegara. Sekarang, setelah Taman Sri Deli telah selesai direnovasi kondisinya mulai kembali tidak terawat. Hal ini dikarenakan Dinas Pariwisata sebagai pihak yang ditunjuk untuk mengelola Taman Sri Deli tidak mampu mengelolanya dengan baik. Kondisi taman ini sudah tidak terurus dan menjadi tertutup untuk umum. Hal ini terlihat


(27)

dari warna air kolamnya yang keruh berwarna hijau kecokelatan karena bercampur dengan endapan lumpur, lumut dan sampah.

Tak heran jika pemandangan pengunjung yang sedang menikmati senja di taman ini juga tidak lagi terlihat. Begitu pula pengunjung yang dulunya sering menaiki sampan sewaan di tengah-tengah kolam tidak ada lagi. Ditambah lagi dengan lantai keramik yang mulai terkelupas kembali, sampah dedaunan yang berserakan di mana-mana, dan fasilitas umum seperti toilet yang tidak berfungsi dengan baik “lagi” maka lengkaplah sudah kondisi prihatin taman yang pernah membanggakan ini. Padahal, Kota Medan bakal mempersiapkan diri menjadi destinasi tujuan wisata dan menjadikan Taman Sri Deli sebagai pusat kulinernya.

Foto 6 :Seorang pengunjung melihat keadaan Taman Sri Deli yang sekarang

Sumber : Peneliti

Menurut Ketut Wiratyana, dirinya sebagai Arkeolog sudah tidak melihat bentuk asli dari cagar budaya Taman Sri Deli tersebut. Bangunan tersebut bentuknya juga sudah jauh berbeda dengan bantuk semulanya dulu. Ketut juga


(28)

sangat menyayangkan bahwa pemerintah terlalu abai dalam melihat berbagai macam aspek dalam tahap revitalisasi Taman Sri Deli tersebut.

“ . . .jadi Taman Sri Deli itu sendiri bentuknya sudah tidak jelas, kalau dari segi arkeologis sudah tidak bisa diidentifikasi lagi bentuknya, lokasinya jelas tetapi bentuknya tidak. Nah kemudian, sekarang dibuat kolam seperti itu lebih kepada upaya untuk tata kota, tapi dari konsep arkeologis sendiri sudah menyalah, karena sudah tidak nampak lagi bentuk aslinya. Taman Sri Deli ini juga sudah beberapa kali mengalami perubahan, kemungkinan 2-3 kali telah terjadi pemugaran, sempat juga terdapat permainan anak-anak, sempat juga ada warung didalamnya, posisinya tetap tetapi pemanfaatannya tidak secara utuh, seperti dalam konsep lama yang mana kolam itu sebagai tempat pemandian raja, disini bisa kita lihat bahwa konsep ekonomis lebih kuat daripada konsep arkeologis itu sendiri . . .”

Badan Warisan Sumatera (BWS) sebagai pihak yang konsen terhadap bangunan-bangunan bersejarah di Kota Medan juga turut prihatin dengan hal tersebut. Seorang informan kami yang bernama Khairul yang juga merupakan anggota pengurus BWS mengatakan bahwa masalah Taman Sri Deli dalam hal ini BWS selalu mendorong (Pemko Medan) yang sekarang menjadi pengelola taman dari segi bangunan. Namun, dari segi penggunaan masih dirasa belum optimal seperti yang diharapkan oleh masyarakat Kota Medan.

BWS pernah memberi saran kepada Pemko karena Kota Medan sendiri sangat sedikit mempunyai ruang terbuka hijau, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, 30% dari sebuah kota dipersiapkan untuk kawasan hijau. Untuk sementara ini Kota Medan hanya memiliki 5-7 % kawasan hijau, dan ini selalu berubah ubah, seperti contoh persimpangan Jalan Sudirman diperkecil lahan terbuka hijaunya ada beberapa kasus malah ruang terbuka hijaunya dialih fungsikan seperti Lapangan Merdeka yang 2,5 % beralih fungsi menjadi gedung dan restaurant.


(29)

Menurut Khairul dari hasil wawancara menyebutkan bahwa :

“. . . dari permasalahan ruang terbuka hijau ini lah BWS melihat sebaiknya Taman Sri Deli dikembalikan saja kepada fungsinya sebagai taman, dengan jumlah anggaran yg tidak bisa disebut nominalnya . . .”

Selama ini, harus diakui kebijakan pelestarian selalu diarahkan pada upaya “tidak mengubah” atau mengembalikan kekeadaannya semula suatu warisan budaya. Kebijakan seperti itu dirasakan terlalu kaku, cenderung kurang dapat mewadahi upaya pemanfaatannya. Seolah-olah pelestarian adalah untuk pelestarian itu sendiri. Namun, kini kebijakan seperti itu sering dipermasalahkan dan di berbagai tempat sudah mulai ditinggalkan. Memang disadari sepenuhnya bahwa warisan budaya adalah sumberdaya budaya yang tak-terbaharui (non-renewable), terbatas (finite), dan khas (contextual). Karena itu, segala upaya untuk mempertahankan nilainya harus selalu diusahakan.

Namun, disadari pula bahwa upaya mempertahankan nilainya itu tidak selalu berarti “sekedar mengabadikan keadaan semula”, tanpa mau tahu berarti atau tidaknya upaya pelestarian itu bagi masyarakat. Sebaliknya, pelestarian justru harus dilihat sebagai suatu upaya untuk mengaktualkan kembali warisan budaya dalam konteks sistem yang ada sekarang. Tentu saja, pelestarian harus dapat mengakomodasi kemungkinan perubahan, karena pelestarian harus diartikan sebagai upaya untuk memberikan makna baru bagi warisan budaya itu semdiri (Tanudirjo, 1996: 10).

Fungsi Taman Sri Deli dari kacamata BWS melihat masih sangat belum optimal. Sebagai contoh BWS menyarankan taman tidak perlu berpagar. Sebagai contoh sebuah taman di kota tua Semarang tidak berpagar, sehingga orang bisa


(30)

lalu lalang dengan suasana bunga-bunga di pinggir taman sebagai keindahan. Sementara yang terjadi di Kota Medan sendiri malah setiap taman memiliki pagar. BWS melihat kita tidak bisa menyalahkan satu sisi, Khairul lebih lanjut mengatakan bahwa :

“. . . melihat keamanan dan kenyamanan di Kota Medan sendiri karena masyarakatnya tidak saling berinteraksi mungkin demi menjaga hal-hal negatif Pemko Medan mengambil insiatif setiap taman harus berpagar. Mungkin mereka melihat bahwa hal itu disebabkan masyarakatnya tidak saling menjaga keamanan. Saya mau berbagi, keamanan tercipta itu karena ada koneksi antara pemerintah, masyarakat dan pihak keamanan itu sendiri. Itu peran kita bersama sama . . .”

Foto 7 : Taman Sri Deli adalah salah satu taman dikota Medan yang berpagar

Sumber : Peneliti

Menurut Donald G. MacLeod (1977: 60-65), seorang pakar pengelolaan sumberdaya budaya dari Kanada, upaya pelestarian warisan atau pusaka budaya akan dapat dilakukan secara maksimal apabila melibat tiga kubu utama, yaitu Akademia, Pemerintah, dan Masyarakat. Peneliti menggambarkan ketiga kubu


(31)

tersebut berada dalam satu lingkaran bersama sebagai kesatuan yang sinergis (lihat diagram di bawah). Apabila sinergi tiga kubu ini tidak berjalan dengan baik, proses pengelolaan dan pelestarian sumberdaya budaya akan menghadapi ancaman kegagalan. Dalam proses bersinergi, setiap kubu harus mempunyai kesadaran akan peran dan potensinya masing-masing.

Sementara itu, masyarakat pada hakekatnya adalah kubu yang berdaulat dan memegang hak atas pemanfaatan sumberdaya budaya. Masyarakat-lah yang akan memberi arti dan memberi nilai suatu sumberdaya budaya. Bagi masyarakat, sumberdaya itu dapat saja dipandang sebagai sarana hiburan dan rekreasi, pelampiasan kesenangan atau hobby, atau bisa jadi dipandang sebagai bagian industri pariwisata yang dapat mendatangkan banyak uang. Namun, sumberdaya budaya dapat pula diberi makna yang lebih berbobot sebagai wahana pendidikan, bahan kajian ilmu, model inspirasi untuk masa kini, bahkan ada kalanya dianggap sebagai jatidiri suatu komunitas atau kelompok masyarakat (lihat Cleere, 1989).

Sementara itu menanggapi adanya pagar di Taman Sri Deli, Lucas P Kastoro menanggapinya secara berbeda. Lucas P Kastoro menganggap kalau orang melihat taman yang tidak berpagar itu terkesan luas, memang jika taman tersebut luas terlihatnya tidak berpagar, tetapi dia tetap berpagar. Sebagai Contoh seperti di Keraton Jogja, dimana disebelah selatan terdapat taman berburu bagi sultan Jogjakarta karena saking luasnya taman itu orang melihatnya seperti tidak berpagar, padahal sebenarnya ada pagar. Pagar tersebut bertujuan untuk menjaga agar rusa tetap ada ditaman itu. Kemudian ada periode dimana pagar tersebut mulai tampak, hal itu terjadi karena lokasi taman makin sempit, kebutuhan masyarakat makin banyak, dan lahan yang semakin berkurang.


(32)

Contoh lain adalah alun-alun Jogjakarta yang artinya lapangan didepan istana. Jadi konsepsi mengenai taman yang harus berpagar memang mulai muncul tampak nyata secara visual. Berbeda dengan dulu dimana pagar itu tetap ada, tetapi dalam bentuk pembatas, seperti parit parit, tanaman dan sebagainya jadi bentuk pagar sendiri ada yang memang berbentuk pagar seperti yang kita lihat sekarang berupa jajaran besi,dan tembok. Maka pagar itu terlihat karena masyarakat makin banyak dan kebutuhan akan ruang juga semakin banyak, sementara ketersediaan lahan juga semakin sedikit.

Masyarakat juga jangan salah mengartikan, di Istana Jogja diluar pagar pagar yg menjadi pembatas keraton, di dalam keratonnya pun ada taman-taman yang berpagar juga. Seperti taman untuk anak anak perempuan raja yah pastinya dipagarlah karena kita tidak bisa sembarangan melihat anak raja dan itu tempat privat bagi mereka. Kalau pada zaman dahulu taman tersebut tidak berpagar karena tidak boleh lelaki mendekati taman tersebut, kemudian pada zaman sekarang wisatawan yang datang ke keraton bukan hanya perempuan saja jadi dibuatlah pembatas atau pagar tadi.

Oleh karena itu pelestarian adalah upaya memberi makna baru dan dalam masyarakat yang pluralistik pemberian makna itu dapat beragam, maka pelestarian warisan budaya harus dapat dibicarakan bersama, dinegosiasikan dan perlu disepakati bersama pula melalui suatu dialog yang terbuka dan seimbang. Perbedaan pemberian makna suatu warisan budaya harus sedapatnya dihargai dan diwadahi (Tanudirjo,2002;1996) dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis.


(33)

Pemeliharaan, yaitu upaya melindungi dan merawat warisan budaya secara terus menerus agar unsur bahan, isi, dan latar lingkungan (setting) tidak mengalami kerusakan atau hancur. Dapat dilakukan dengan pembersihan dan perawatan sehari-hari, termasuk peninjauan berkala. Jika teramati adanya kerusakan harus segera diperbaiki dengan sedapat mungkin mempertahankan bahan asli. Namun, yang terjadi kini renovasi yang telah dilakukan oleh Pemko Medan yang menelan biaya 9 miliyar lebih malah mengesampingkan semua prinsip tersebut. Lantai-lantai dan taman-tamannya kini telah diganti dengan bahan yang tidak serupa atau bahkan lebih rendah kualitasnya. Bentuk tamannya pun sudah kehilangan cirri khasnya.

Padahal, penggantian hanya dilakukan jika tidak ada cara lain untuk mempertahankan kelestariannya. Perlindungan (Preservation), yaitu melakukan upaya-upaya pencegahan agar dapat mempertahankan kondisi bahan warisan budaya. Perbaikan (Repair), yaitu upaya untuk mengembalikan keadaan warisan budaya semula atau mendekati bentuk semula. Perbaikan dapat dilakukan dengan pemugaran (restorasi), penguatan (consolidasi), dan bina ulang (rekonstruksi) Pemugaran (Restorasi), yaitu upaya mengembalikan warisan budaya ke bentuk semula yang diketahui dengan menghilangkan unsur-unsur baru yang pernah ditambahkan dan menyusun kembali berdasarkan bahan-bahan asli tanpa penambahan bahan baru.

Pembinaan Ulang (Rekonstruksi), yaitu upaya mengembalikan keadaan warisan budaya agar dapat mendekati bentuk semula, dengan menambahkan bahan-bahan baru Penggunaan kembali yang sesuai (Adaptive re-use), yaitu melestarikan dengan memanfaatkan warisan budaya untuk kegiatan yang sesuai.


(34)

Untuk itu dapat dilakukan perubahan-perubahan dengan syarat antara lain tidak mengakibatkan merosotnya nilai penting atau kerusakan pada bagian-bagian yang mempunyai nilai penting; perubahan harus memungkinkan pengembalian ke keadaan semula tanpa menimbulkan kerusakan (reversible); dan perubahan yang hanya berdampak sangat kecil (minimal). Rekonstrusi juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahan baru, tetapi harus seperti bentuk aslinya dan harus ada transparansi bahwa benda tersebut adalah benda yang dibuat ulang mendekati bentuk asli.

Menyajikan warisan budaya tidak hanya diartikan menyajikan bentuk bendawi warisan tersebut, tetapi tidak kalah pentingnya adalah menyajikan nilai penting warisan budaya. Banyak warisan dunia tidak mendapat penghargaan yang selayaknya dari semua lapisan masyarakat karena penyajian nilai penting warisan budaya yang tidak memadai. Di Indonesia pun, unsur ini merupakan salah satu kelemahan, seperti terlihat di situs-situs warisan budaya dunia Kompleks Candi Borobudur, Kompleks Candi Prambanan, dan Situs Manusia Purba Sangiran.

Hampir di semua situs warisan dunia tersebut, penyajian informasi sangat kurang memadai, meskipun diakui beberapa tahun terakhir ini telah ada upaya untuk meningkatkannya. Padahal keberhasilan pelestarian warisan budaya justru akan sangat tergantung pada apresiasi masyarakat terhadap nilai pentingnya. Sebaliknya, penyajian yang baik akan memudahkan upaya pewarisan nilai penting warisan budaya. Karena itu, semestinya penyajian warisan budaya harus dilengkapi dengan informasi yang cukup tentang warisan budaya dan nilai-nilai penting yang dikandungnya.


(35)

Akhirnya, tujuan dari pelestarian adalah meneruskan warisan budaya kepada generasi mendatang, sehingga mereka akan dapat merasakan manfaatnya. Kesadaran ini didasari oleh pemahaman bahwa warisan budaya bukanlah milik generasi sekarang saja, tetapi menjadi hak generasi mendatang. Meminjam ungkapan Darvill (1995: 47), warisan budaya tidak saja memiliki nilai kegunaan sekarang (use value), tetapi juga nilai pilihan (optional value) dan Nilai keberadaan (existence value). Nilai pilihan lebih menekankan pada tekad untuk menyelamatkan warisan budaya sebagai simpanan untuk generasi mendatang.

Asumsinya, kita harus menyisakan warisan budaya sebagai sumberdaya budaya untuk masa mendatang, meskipun saat ini kita belum tahu akan kebutuhannya di masa mendatang. Prinsip utama pendukung nilai pilihan ini adalah menjaga stabilitas warisan budaya agar tidak mengalami perubahan sama sekali. Nilai keberadaan terkait erat dengan perasaan puas atau senang jika BCB itu dipastikan masih tetap ada, walau pun kegunaannya tidak dirasakan sama sekali. Pendukung nilai ini merasa puas kalau bisa mendapatkan kepastian bahwa sumberdaya itu akan bertahan (survive) atau tetap eksis (in existence). Dalam konteks meneruskan warisan budaya kepada generasi mendatang, tentunya kita sebagai generasi sekarang selayaknya dapat menyerahkan warisan budaya dalam keadaan ‘utuh’ dan asli.

Terkait dengan hal itu. Perlu kiranya di sini dikemukakan wacana yang berkembang tentang pengertian ‘keutuhan’ dan “keaslian.’ Yang dimaksud dengan keutuhan adalah unsur-unsurnya cukup lengkap mewakili keadaan warisan budaya dan nilai pentingnya. Dengan kata lain, pelestarian harus dapat mempertahankan agar warisan budaya tetap mampu memberikan gambaran yang


(36)

utuh tentang unsur-unsur budaya dan nilai penting yang dikandungnya. Sementara itu, seringkali terjadi perdebatan tentang pengertian keaslian atau otentitas. Selama ini, pengertian “keaslian” dilihat sebagai sesuatu yang bersifat statis, sehingga lebih merujuk pada keadaan, sifat atau bahan asli yang tidak dapat tergantikan.

Akhir-akhir ini, banyak pihak merasakan batasan seperti itu tidak tepat. Karena itu, pengertian “keaslian” kini lebih bersifat relatif. Artinya, konsep keaslian itu dianggap tidak dapat distandardisasi. Standardisasi konsep keaslian justru hanya akan menghambat upaya pelestarian, karena sifat budaya yang selalu dinamis. Hal itu tercermin dari dokumen kesepakatan Nara (Jepang), yang mengakui beberapa pokok pikiran tentang penentuan keaslian suatu warisan budaya pada umumnya. Dokumen Nara menyatakan bahwa keaslian memang merupakan faktor yang amat menentukan nilai penting warisan budaya, tetapi pemahaman tentang keaslian sangat tergantung pada persepsi keaslian menurut lingkungan budaya tempat warisan budaya itu berada.

Untuk menentukan keaslian harus ada landasan pemahaman budaya berdasar pada kajian-kajian terhadap informasi yang tersedia dan dapat dipercaya. Perlu juga dipahami, bahwa nilai penting warisan budaya tidak hanya ditentukan oleh kondisinya masing-masing, tetapi juga oleh keterkaitannya satu dengan lainnya, yang lebih dikenal sebagai konteks. Bahkan, beberapa pakar arkeologi menyatakan bahwa arti penting suatu warisan budaya ditentukan oleh konteksnya (Butzer, 1982; Sharer dan Ashmore, 1993). Kalau konteks-nya sudah hilang, maka nilai penting warisan budaya itu akan ikut merosot. Karena itu, dalam konsep pelestarian BCB perlu juga diperhitungkan keadaan kawasannya.


(37)

2. Keamanan Pengunjung Di Taman Sri Deli

BWS sendiri seperti yang diketahui memposisikan dirinya dalam hal ini sebagai lembaga netral dan tidak memihak kepada pihak manapun. Khairul sendiri mengakui memang lebih cenderung melihat pemerintah pada saat ini bertindak tidak menentu. Menurutnya dari segi pemerintah sebaiknya mengambil inisiatif-inisiatif yang mana fungsi taman sebaiknya sebagai tempat interkasi sebagai tempat yang bisa dinikmati seoptimal mungkin dan seleluasa mungkin.

Khairul juga membandingkan taman-taman lain yang ada di Indonesia. Sebagai contoh sekarang ada Taman Bungkul di Surabaya tidak jauh lebih luas dari Taman Sri Deli dan hampir sama. Tetapi, bagaimana pemanfatannya sangat luar biasa, kenyamanan dan keamanan sangat terjaga dengan baik. Banyak orang berjualan di tikar-tikar dan kita sebagai pengunjung dapat duduk lesehan sampai pagi di taman tersebut. Padahal kalau dibandingkan, Kota Medan jauh lebih aktif dimalam hari daripada Kota Surabaya, tetapi taman tersebut tetap ramai selama 24 jam. Coba bandingkan dengan kondisi yang ada di Taman Taman Sri Deli (pada saat dibuka untuk umum), setelah jam 9 malam, pasti tidak ada lagi yang berani duduk-duduk di taman tersebut. Hal tersebut terjadi menurutnya, karena masyarakat merasa tidak terjamin dari sisi keamanan.

Taman di jawa lebih dimanfaatkan semaksimal mungkin dari segi fungsi sementara di Kota Medan sendiri seperti Taman Ahmad Yani dipagar, taman Gajahmada juga begitu. Maka mari kita pertanyakan lagi ke diri kita kenapa hal itu terjadi.


(38)

“ . . . pengalaman saya kemarin ke Surabaya orang duduk disana sangat happy, padahal kalo saya lihat lebih canggih taman di Kota Medan. Ada wifinya, kalo ditaman di Surabaya tidak ada wifi. Tetapi saya sebagai pengunjung yang baru datang kesana (taman di kota tua) pertama kali merasa sangat nyaman tidak ada yg menggangu . . .”

Hal itu pula lah yang membuat semua pihak seharusnya melakukan perenungan terhadap kondisi yang sekarang ini terjadi di Kota Medan. Pertanyaannya yang muncul saat ini di Kota Medan, apakah kita bisa senyaman itu duduk di sebuah taman? Menurut Khairul dirinya tidak yakin. Bahkan menurutnya bila kita mencoba pergi ke Taman Ahmad Yani atau pun Taman Sri Deli dan kemudian duduk-duduk sekitar 30 menit saja maka paling tidak pengemis sudah datang meminta-minta. Keamanan harus menjadi bagian dari prioritas, karena fungsi taman bisa sebagai tempat berwisata.

“ . . . Kembali lagi, berani gak kita duduk di Taman Beringin, Sri Deli, Ahmad Yani sampai jam 10 malam, saya aja gak berani. Tetapi kalau di Surabaya dan semarang kita duduk jam 12 malam pun aman saja. Pengalaman saya karena bosen di hotel saat tugas ke Surabaya saya ke Taman bungkul jam 2 malam, ternyata masih sangat ramai, bisa makan pecal, coba kita makan pecal jam 2 malam di Medan ini apa gak barang basi . . .”

Hal yang menurutnya patut dicontoh oleh warga kota Medan adalah bahwa taman di Surabaya tidak memiliki petugas keamanan, tetapi masyarakatnya saling menjaga sehingga menciptakan rasa aman dan tertib. Sebaliknya, yg terjadi di Kota Medan, petugas keamanan yg berpatroli di malam hari untuk tujuan melindungi kita, malah menimbulkan rasa takut dan tidak nyaman. Masyarakat lah yang merasa terancam oleh mereka, malah terkadang polisi dapat bertindak lebih brutal terhadap masyarakat ketikasudah tengah malam. Padahal menurutnya dahulu Kota Medan masih nyaman untuk masyarakatnya bila keluar jam 12


(39)

malam. Namun, pada akhir akhir ini masyarakat akan berfikir 100 kali untuk keluar tengah malam di kawasan kota.

Pemerintah Kota Medan juga diminta untuk lebih pro aktif menciptakan rasa aman bagi warganya agar Kota Medan layak menjadi kota wisata. Karena menurut Chairul tidak akan pernah Kota Medan menjadi destinasi wisata jika masyarakatnya sendiri merasa tidak nyaman di kotanya sendiri. Masyarakat meurutnya juga harus memilih apakah Kota Medan mau lebih baik atau tetap bertahan dengan ketidaknyamanannya. Bali sebagai tempat wisata yang sudah terkenal sebagai icon dunia memberikan keamanan dan kenyamanan bagi setiap orang yang datang, pergi jam berapa pun setiap orang tidak pernah merasa takut. Maka tidak salah jika bali menjadi destinasi wisata utama di Indonesia.

3.3. Masjid Raya Al-Mashun

3.3.1. Sejarah Masjid Raya Al Mashun

Salah satu peninggalan bangunan bersejarah yang dapat ditemukan di Kota Medan adalah Masjid Raya yang berlokasi di Jalan Sisingamangaraja atau lebih tepatnya Masjid ini berada di depan Taman Sri Deli (Taman Chadijah). Bangunan ini pada awalnya dibangun berdekatan dengan Istana Maimun, Balai Kerapatan Deli dan Taman Sri Deli dengan tujuan sebagai tempat peribadatan Sultan Deli. Lokasi Bangunan Bersejarah ini berada di lingkungan Kecamatan Medan Kota, Kelurahan Masjid lingkungan VI. Dalam proses sejarahnya dikutip dari Jelajah Medan Haritage

“ . . . Masjid ini sebagai lambang Kota Medan. Masjid terindah yang memiliki nilai budaya dan sejarah dan terbesar di Sumatera Utara. Masjid ini dapat menampung sekitar 1.500 jemaah untuk


(40)

melaksanakan sholat setiap hari. Masjid ini dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid, yang didisain oleh Tingdeman dari Belanda dengan gaya arsitektur Moorish dan berdiri pada tahun 1909. Banyak turis dari berbagai negara datang mengunjungi Masjid ini (Jelajah Medan Heritage, 2013:19) . . .”

Foto 8 : Kondisi Masjid Raya Al-Mashun sekarang.

Sumber: Peneliti

Masjid Raya Al-Mashun mulai dibangun pada 21 Agustus 1906, selesai dan dibuka untuk umum pada 10 September 1909 M. Saat itu yang berkuasa di Kesultanan Deli adalah Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah IX. Seluruh biaya pembangunan Masjid yang diperkirakan mencapai satu juta Gulden. Masjid ini merupakan Masjid kerajaan, oleh sebab itu dibangun sangat megah. Ketika itu Sultan berprinsip bahwa kemegahan Masjid lebih utama daripada istananya sendiri. Ada tiga sebutan populer untuk Masjid ini yaitu : Masjid Al-Mashun, Masjid Deli dan Masjid Agung Medan. Seiring perkembangan, kemudian terbentuk sebuahpemukiman baru di sebelah Masjid yang disebut kota Maksum, sehingga jamaah Masjid semakin ramai.


(41)

Dalam proses pembangunan Masjid Raya tersebut, seorang milioner di Medan yang bernama Tjong A Fie turut menyumbang/membantu Sultan Makmun Alrasyid dalam proses mendirikan Masjid Raya. (Sinar 2001:85) menyebutkan “Ketika Sultan Makmun Al Rasyid Deli bermaksud mendirikan Masjid Raya Medan, maka Tjong A Fie menyumbang 1/3 biayanya”. Masjid ini merupakan Masjid termegah serta memiliki perpaduan aritektur yang menarik, dengan memadukan gaya arsitektur melayu, India, arab (Timur Tengah), dan Eropa.

Al-Mashun yang berarti dipelihara, sesuai namanya hingga kini masih terpelihara dan terawat dengan baik. Tidak heran, karena Masjid ini di masa silam merupakan Masjid negara pada masa jayanya Kesultanan Melayu Deli, yang saat itu masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Untuk membangun Masjid yang indah dan megah itu, Sultan terpaksa memilih J.A Tingdeman, seorang arsitek bangsa Belanda, mengingat ketika itu belum ada seorang arsitek bangsa pribumi. Oleh sultan, Tingdeman diberi kepercayaan untuk merancang dan mendekorasi Masjid sehingga Masjid Raya Al-Mashun tampak anggun dipandang.

Peresmian pemakaiannya bertepatan dengan hari dilaksanakannya shalat Jum’at yang dihadiri oleh pembesar-pembesar kerajaan termasuk Sri Paduka Al-Mashun, Tuanku Sultan Amis, Abdul Jalal Rakhmadsyah dari Langkat dan Sultan Sulaiman Alamsyah dari negeri Serdang. Pada masa lalu Masjid ini merupakan tempat shalat Jum’at satu-satunya di wilayah Kesultanan Deli. Hal ini menunjukkan bahwa Masjid Raya Al-Mashun Medan merupakan Masjid Kesultanan, namun begitu di dalam Masjid tidak terdapat tempat sembahyang khusus untuk Sultan seperti pada umumnya Masjid-Masjid Kesultanan.


(42)

Pada masa penjajahan umat Islam khususnya di Medan, sangat bersyukur sebab wilayah kekuasaan Kesultanan Deli tidak begitu luas sehingga Sultan Makmun Al-Rasyid tetap mampu membangun sebuah Masjid yang teramat indah dan megah untuk ukuran masa itu. Sebahagian bahan-bahannya sengaja langsung didatangkan dari Italia untuk dekorasi. Misalnya pada lantai dan dinding sebagai penutup digunakan marmer, sedangkan pada langit-langit menggunakan kayu dan tembaga pada atapnya.

Ada satu tradisi lisan yang menyebutkan bahwa Sultan Deli biasanya sudah berada di ruangan serambi Masjidsebelum sholat Jum’at dimulai, sementara tidak ada satupun orang melihat Sultan Deli masuk ke dalam Masjid dari arah luar, sehingga ada dugaan yang menyebutkan bahwa di ruangan serambi Masjid terdapat sebuah jalan menuju terowongan yang menghubungkan Masjid Raya Al-Mashun dengan Istana Maimoon. Cerita ini memang perlu dikaji lagi kebenarannya. Namun, yang sangat menarik adalah bahwa di ruangan serambi Masjid terdapat sebuah lubang berbentuk persegi yang diberi penutup yang terbuat dari beton. Lubang ini tidak begitu besar ukurannya, namun cukup bagi seseorang keluar masuk ke dalamnya.

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa lubang itu dulunya adalah jalan masuk menuju terowongan bawah tanah yang masih menjadi misteri keberadaannya. Sampai saat ini belum ada penelitian yang lebih dalam mengenai lubang itu. Menurut H. Ridwan AS selaku Sekretaris BKM, beliau mengatakan bahwasanya sampai saat ini dia juga belum pernah menemukan dan mengetahui mengenai lubang tersebut, beliau juga mengatakan bahwaada mitos tentang orang yang hilang ketika mencoba untuk masuk ke dalam lubang tersebut.


(43)

3.3.2. Permasalahan Pengelolaan Masjid Raya Al-Mashun

1. Pengemis Di Dalam dan Di Luar Masjid Raya Al Mashun

Hampir setiap hari ketika kita berkunjung ke Masjid Raya Al Mashun maka kita akan menjumpai banyaknya pengemis berada di dalam maupun diluar Masjid. Pengemis tersebut ada yang masih anak-anak dan bahkan ada pula yang sudah tua renta. Banyaknya pengemis ini tergantung pada hari-hari keagamaan Islam seperti pada saat Shalat Jum’at, Shalat Ied, Shalat Tarawih pada bulan puasa maupun pada saat Hari Raya Qurban.

Setiap menjelang Ramadan, jumlah pengemis semakin menjamur. Tidak hanya di masjid-masjid, tetapi juga di setiap persimpangan jalan di Kota Medan. Modusnya beragam, mulai anak-anak putus sekolah, orang cacat, orang tua, hingga ibu-ibu sambil menggendong anak bayi. Parahnya, tidak sedikit para pengemis itu yang hanya berpura-pura sebagai orang cacat agar dikasihani.

Kondisi ini kian memperburuk citra Kota Medan sebagai kota metropolitan dan kota terbesar ketiga di Indonesia. Dari hasil observasi lapangan yang dilakukan peneliti, puluhan pengemis berjejer di sepanjang pintu masuk Masjid Al Mashun, Jalan Sisingamangaraja, Medan, setiap kali ibadah salat Jum’at digelar. Ironisnya, tidak sedikit dari pengemis itu yang terlihat sehat dan sebagian besar terlihat pura- pura cacat. Selain itu, tidak sedikit remaja yang terlihat sehat tanpa kekurangan apa pun ikut mengemis. Kondisi itu bisa merusak semangat remaja untuk bekerja dan mencari nafkah dengan cara yang wajar tanpa mengemis.


(44)

Foto 9 : Pengemis masuk sampai ke area dalam Masjid, foto ini diambil ketika peneliti sedang melakukan Sholat Jum’at

Sumber : Peneliti

Setiap hari Jumat, pintu masuk Masjid Raya Al Mashun akan dipenuhi pengemis, sampai- sampai jamaah yang hendak melaksanakan ibadah salat Jum’at susah masuk ke masjid,” papar Soleh, (38 Tahun) warga Medan Baru. Soleh menambahkan, tidak jarang para pengemis itu memaksa orang agar memberi sejumlah uang.

“ . . . Ada saja alasannya kalau kita tidak memberikannya uang. Sampai ke lokasi parkir pun kita diikutinya agar kita memberikannya uang . . .”

Selain di kawasan Masjid Raya Al MAshun, Medan, sejumlah pengemis pun terlihat menjamur di sejumlah titik persimpangan jalan di Kota Medan. Anehnya, uang hasil mengemis tersebut bukan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi untuk mengelem. Soleh lebih lanjut mengatakan :


(45)

“ . . . Saya pernah melihat langsung seusai meminta-minta di lampu merah, mereka membeli lem. Jadi menyesal saya memberikan uang ke anak-anak itu . . .”

Soleh berharap pejabat berwenang segera menertibkan keberadaan para pengemis dan anak jalanan tersebut. Paling tidak, Dinas Sosial tidak hanya menyediakan tempat khusus untuk mereka, tetapi juga harus benar-benar membina mereka sehingga tidak lagi kembali ke jalanan. Sehingga jemaat yang hendak beribadah merasa nyaman ketika pergi ke Masjid Raya Al Mashun. Apalagi Masjid Raya Al Mashun merupakan icon wisata Kota Medan.

2. Adanya Kutipan Dari Penjaga Sendal

Selain pengemis yang berada lingkungan Masjid Raya Al Mashun, ada pula anak-anak penjaga alas kaki yang setia berada di tangga Masjid. Mereka menjaga dan juga mengatur alas-alas kaki para jemaat yang ingin melaksanakan Shalat. Namun, ketika kita hendak mengambil alas kaki milik kita maka anak-anak tadi akan mengatakan “seiklasnya aja bang”. Kata-kata tersebut mengandung makna bahwa orang yang meletakkan alas kaki di Masjid dan dijaga oleh anak-anak tersebut harus membayar jasa penjagaan alas kaki tersebut seiklasnya.


(46)

Foto 10 : Penjaga sandal sedang melakukan negosiasi dengan jemaah yang akan Sholat

Sumber : Peneliti

Salah satu anak yang bekerja sebagai penjaga alas kaki di Masjid Raya Al Mashun adalah Khairul Nadim. Dengan tubuh mungilnya, Khairul Nadim selalu bergegas ke Masjid Raya Al Mashun setiap pulang sekolah. Bulan Puasa menjadi momen spesial karena pengunjung masjid paling tersohor di Kota Medan itu akan semakin banyak. Mendapat peran sebagai penjaga sendal dan sepatu jemaah masjid dari Badan Kenaziran Masjid Raya Al Mashun dilakoni Nadim dengan suka cita dan amanah. Saat ditemui diwawancarai oleh peneliti (21/10/2015), Murid Kelas VI SD 50 Air Bersih ini mengaku bahwa dirinya telah dua tahun belakangan melakoni peran penitipan alas kaki di Masjid Raya.

“ . . . Biasa tiap pulang sekolah langsung ke masjid. Jagain sendal dan sepatu orang-orang yang shalat. Lumayan penghasilannya buat uang sekolah . . .”


(47)

Putra sulung dari pasangan Syawaludin dan Sulti Utami ini menceritakan suka dukanya menjadi penjaga sepatu.

" . . . Awak (saya) anak sekitaran Masjid. Tinggal sama bapak angkat awak yang orang masjid juga. Kalau penghasilan, nggak tentu. Minimal Rp200.000, bagi dua dengan kawan. Tarifnya seikhlasnya, biasa Rp. 1.000 atau Rp2.000. Nanti dari situ sebagian besar uang titip sepatu dan sandal untuk pembangunan, kebersihan, dan keamanan masjid . . ."

Khairul Nadim yang mencari uang tambahan sebagai penjaga penyimpanan sepatu dari pukul 14.30 WIB sampai 17.00 WIB bergantian dengan teman lainnya. Rutinitas ini ia jalani sembari ibadah shalat dan menunggu saat berbuka puasa di Masjid ketika bulan puasa tiba.

“ . . . Kalau bulan puasa, biasanya penghasilan bisa meningkat dibanding jaga di hari-hari biasa. Karena ramai orang puasa salat di Masjid Raya . . .”

Meskipun senang bisa menghasilkan uang dan membantu perekonomian keluarga, Khairul mengaku sedih jika melihat teman lainnya yang punya banyak waktu untuk bermain. Meskipun ingin sekali bermain game online atau bermain bola, Nadim tidak bisa berharap memiliki kesenangan yang sama dengan teman sebayanya karena setelah sepulang sekolah harus langsung ke masjid untuk bekerja. Hal menyenangkan bekerja sebagai penjaga alas kaki di masjid, katanya adalah karena dapat bekerja sambil beribadah di rumah Tuhan. Tidak jarang juga ia bertemu dengan hamba-hamba Tuhan yang murah hati. Terkadang ia juga merasa beruntung karena tidak harus menempuh jarak yang jauh untuk berada di Masjid Raya Al Mashun yang merupakan tempat istimewa dan bersejarah. Orang lain, katanya, belum tentu punya kesempatan mengunjungi masjid ini setiap hari.


(48)

Hal yang sangat disayangkan ketika anak-anak penjaga alas kaki tersebut ternyata diizinkan oleh BKM Masjid Raya Al Mashun untuk menjaga alas kaki pengunjung. Walaupun hal ini sedikit membebani jemaah yang hendak beribadah, namun hanya sedikit saja orang yang protes akan hal tersebut. Walaupun sedikit mengganggu, namun penjaga alas kaki juga dibutuhkan mengingat banyaknya alas kaki jemaat yang hilang pada saat Shalat di dalam Masjid. Kedepannya semoga BKM Masjid Raya Al Mashun dapat meningkatkan keamanan Masjid lebih baik lagi agar tidak perlu lagi ada anak-anak penjaga alas kaki di Masjid Raya Al Mashun.


(49)

BAB IV

KONSEP PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA

4.1. Istana Maimun

4.1.2. Pengelolaan Istana Maimun Menjadi Lokasi Wisata

Istana Maimun yang dulunya merupakan istana Kesultanan tempat Sultan dan keluarganya menjalankan pemerintahannya kini sudah berubah fungsi menjadi tempat wisata yang terbuka untuk umum. Semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 Kesultanan Deli layaknya kerajaan-kerajaan lain di Indonesia memutuskan mengikuti sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Indonesia yaitu dengan sistem presidensial. Akhirnya fungsi Kesultanan Deli dalam hal ini diambil alih oleh sistem pemerintahan yang ada pada saat itu.

Dalam wawancara yang peneliti lakukan dengan informan kunci yakni Tengku Moharsyah (39 Tahun) yang menjabat sebagai Sekertaris Umum Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid, sebagai pihak yang mengelola Istana Maimun, menuturkan bahwa Istana Maimun pada awalnya dibuka untuk umum pada akhir tahun 70an. Dibukanya Istana Maimun untuk umum oleh Sultan adalah, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada masyarakat setelah Kesultanan Deli sudah tidak memegang kekuasaan lagi pasca kemerdekaan. Lebih lanjut Moharsyah mengatakan bahwa :

“ . . . Istana Maimun dibuka setahu saya itu pada akhir tahun 70an atau 80an awal. Dimana Istana Maimun terbuka untuk umum pada masa itu bagaimana Sultan Deli beserta keluarga Kesultanan yang lainnya ingin menunjukan relevan dia kepada masyarakat yang


(50)

dulunya pada masa pemerintahan Kesultanan Deli dimana Istana Maimun ini menjalankan fungsinya sebagai Istana Negara tempat Sultan Deli melaksanakan upacara adat beserta keluarganya tentu menjadi area steril bagi siapapun yang tidak berkepentingan. Kemudian dengan berjalannya waktu Sultan Deli beserta keluarga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih dekat kepada Sultan untuk mendatangi Istana Negaranya secara umum yang berjalan waktunya yang terakhir menjadi tempat destinasi wisata budaya . . .”

Foto 11 : Istana Maimun sebagai destinasi wisata budaya di kota Medan

Sumber : Peneliti

Kerangka pikir ini dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep transformasi yang dikemukan oleh M.B. Schiffer (dalam Tanudirjo : 2003). Bagi sarjana ini, ada dua konteks utama yang dapat menjelaskan keberadaan sumberdaya budaya, yaitu konteks sistem dan konteks arkeologi. Konteks sistem adalah lingkungan budaya yang masih berlangsung. Dalam konteks ini, sumberdaya budaya masih berperan aktif dan dipergunakan oleh masyarakat.


(51)

Konteks arkeologis adalah lingkungan tempat sumberdaya budaya (baik yang tangible maupun yang intangible) sudah tidak digunakan lagi.

Foto 12 : Suasana Dalam Istana Maimun Saat Jam Berkunjung

Sumber : Peneliti

Sementara itu, menurut Moharsyah walaupun Kesultanan Deli telah kehilangan fungsinya sebagai pihak yang dulunya menjalankan roda pemerintahan di Kota Medan, akan tetapi tetap menjalankan acara-acara Kesultanan seperti dahulu. Hal ini dilakukan untuk meneruskan tradisi-tradisi yang ada pada masa Kesultanan yang dahulu agar tetap lestari dan Kesultanan Deli tidak kehilangan ciri khasnya.

Adapun acara-acara adat yang masih dilakukan oleh keluarga Kesultanan menurut Moharsyah yaitu:


(52)

- Upacara junjung duli (open house). Acara ini adalah sebuah acara silaturahmi antara pihak Kesultanan dengan Masyarakat, dimana setelah Shalat Ied di Mesjid Raya Al Mashun (Mesjid Raya) maka Sultan Deli beserta keluarga Sultan yang lainnya akan berkumpul di ruang balai untuk saling bersilaturahmi dengan masyarakat.

- Darjah Gelar (Pemberian Gelar). Ada juga acara yang dilakukan dalam tiga tahun atau empat tahun sekali yaitu upacara pemberian gelar atau darjah gelar dari Sultan Deli kepada masyarakat yang mempunyai andil memajukan Kota Medan, budaya Melayu dan umumnya Sumatera Utara dan bahkan Indonesia. Salah satu orang yang pernah diberikan gelar adat adalah H. Bahtiar Jafar dimana beliau pernah menjadi Walikota Medan dua periode. Pada masa itu bagaimana beliau menata Kota Medan dan meletakkan jati diri Kota Medan adalah kota Melayu. Beliau diberi gelar “Mangku Negara” beserta dosen-dosen USU yang berjasa memajukan pendidikan di Sumatera Utara.

- Hari bersanding. Hari Bersanding merupakan pesta pernikahan keluarga Sultan.

Pelestarian pada hakekatnya adalah upaya mempertahankan agar suatu sumberdaya budaya tetap berada pada konteks sistem, agar dapat berfungsi aktif atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Agar tetap bertahan, sumberdaya budaya yang masih ada dalam konteks sistem mungkin saja harus dipakai ulang atau didaur ulang. Sementara itu, sumberdaya budaya yang sudah berada pada konteks arkeologis akan dapat dilestarikan kalau sumberdaya itu dapat dimasukan kembali


(53)

ke dalam konteks sistem melalui proses reklamasi maupun daur ulang. Proses reklamasi dan daur ulang sudah tentu mengandung makna perubahan, yaitu mengubah sumberdaya budaya yang sudah tidah lagi bermakna agar dapat kembali mempunyai makna atau arti penting bagi sistem budaya yang masih berlangsung (Tanudirjo : 2003).

Istana Maimun sampai sekarang juga masih ditempati oleh keluarga Kesultanan Deli. Sehingga pada dasarnya bangunan Istana Maimun ini sama halnya seperti rumah hunian pada umumnya yang dimiliki oleh masyarakat pribadi. Menanggapi hal tersebut, informan peneliti yang bernama Lucas P Kastoro yang merupakan mantan Kepala Balai Arkeologi Kota Medan, menjelaskan bahwa :

“ . . . apabila kita menghadapi kasus dimana satu objek arkeologis atau historis, saya tidak tahu disini apabila dikaitan dengan cagar budaya atau belum dapat diperlakukan sebagai objek cagar budaya. Dalam hal ini ada sisi positif dimana cagar budaya tersebut masih digunakan sampai sekarang, dan juga sisi negative dari segi yang bisa mengancam keberadaan bangunan tersebut. Ini terlepas dari anda yg memang sudah melihatnya formal (resmi) sebagai cagar budaya atau atau belum layak (belum resmi) menjadi cagar budaya dan layak menerima perlakukan sebagai cagar budaya . . .”

Dalam hal ini cagar budaya yang masih digunakan masyarakat itu sudah cukup baik, karena kemungkinan cagar budaya tersebut terpelihara karena masih ditempati. Namun, kecenderungan berubah secara drastis pun ada karena keberadaan mereka yg ada disana. Maka dalam hal ini kita hanya melihat komitmen dari orang orang yg menempati objek yg dimaksud. Apabila mereka punya komitmen berkaitan dengan nilai budaya, romantisme ataupun sejarah bangunan tersebut pasti bangunan tersebut bisa dijaga, tetapi apabila mereka


(54)

disibukkan dengan masalah pertikaian dan warisan warisan-yang berujung pada masalah ekonomi disini muncul kemungkinan objek tersebut akan dijual ataupun dibongkar. Tergantung pada komitmen orang yang menempati.7

Karena pengelolaan warisan budaya di masa mendatang harus memperhatikan manajemen konflik, maka pengelola warisan budaya hendaknya memegang peran sebagai mediator. Untuk dapat mengemban peran ini, pengelola warisan budaya harus aktif terlibat dalam masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, mampu memberikan pendapat dalam diskusi dan debat publik, memberikan narasi-narasi tentang warisan budaya yang penting dan relevan dengan masalah yang ada di masa kini. Pengelola warisan budaya juga harus kritis melihat bagaimana kepentingan masa kini mempengaruhi interpretasi masa lampau. Sebagai perantara masa lampau dan masa kini, pengelola warisan budaya harus peka baik terhadap keragaman minat dan kepentingan akan masa lampau di masa kini maupun dampaknya terhadap kualitas sumberdaya arkeologi yang tersedia (Hodder, 1999). Untuk itu, mereka juga harus akomodatif terhadap beragam kepentingan.

Senada dengan Lucas, informan peneliti yang lain yakni Ketut Wiratyana juga mengatakan hal yang sama. Ketut Wiratyana yang merupakan peneliti di Balai Arkeologi Kota Medan mengatakan bahwa :

“ . . . tidak papa seperti halnya Candi Borobudur yang masih menjalankan proses ibadah bagi Agama Buddha yah tidak papa, itu malah jauh lebih aman daripada bangunan tersebut tidak ditempati. Kalau ada yang menempati akan lebih mudah dibersihkan dan dijaga , kalau diberikan kepada masyarakat awam bangunan tersebut tidak terjaga . . .”

      


(55)

Kalau selama ini pengelola warisan budaya yang mewakili pemerintah sangat mendominasi penentuan kebijakan dan keputusan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya budaya, sejak dari identifikasi (termasuk ekskavasi penyelamatan dan studi kelayakan), penentuan nilai penting, pemanfaatan hingga mitigasi-nya, kini mestinya mereka harus lebih banyak mendengarkan ‘suara-suara’ dari pihak lain (pemilik bangunan). Selain itu, pengelola sumberdaya budaya perlu juga lebih banyak melibatkan berbagai unsur masyarakat dalam pengambilan keputusan, antara lain lewat kerjasama dengan berbagai pihak dalam masyarakat. Dengan kata lain, pengelola sumberdaya budaya tidak lagi mengabdi pada kepentingan tunggal (negara), tetapi kepentingan yang beragam dari masyarakat luas.

Mengikuti pendapat Mayer-Oakes (1990), pengelola sumberdaya budaya harus sadar bahwa sumberdaya budaya adalah milik masyarakat luas yang memiliki beragam kepentingan. Karena itu, anggapan bahwa merekalah yang menentukan nasib sumberdaya budaya harus dihilangkan. Sebaliknya, pengelola warisan budaya yang bijaksana akan menempatkan dirinya sebagai penjaga-pengelola (steward). Sedikit berbeda dengan peran manager yang lebih berkonotasi pengendali (controller) atau penguasa (authority), Steward lebih berperan sebagai seorang penjaga dan pengelola. Artinya, ia harus sadar bahwa yang dijaga dan dikelola bukanlah miliknya sendiri (lihat: Oxford American Dictionary, 1986). Secara profesional, pengelola warisan budaya harus bertanggungjawab terhadap kelestarian dan pemanfaatan warisan budaya.


(56)

4.1.2. Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid

Istana Maimun sebagai cagar budaya di Kota Medan merupakan bagunan cagar budaya yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2010 yang perlu pelestarian keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dalam upaya pelestariannya tentu harus ada pihak yang jelas dan memiliki kekuatan hukum dalam mempertangungjawabkan pengelolaan Istana Maimun tersebut. Untuk keperluan itu maka dibutuhkan suatu yayasan yang mengelola bangunan tersebut.

Yayasan Sultan Sultan Ma’moen Al Rasyid merupakan yayasan yang didirikan langsung oleh Sultan Azmi Perkasa AlamShah beserta keluarganya pada tahun 1982 untuk mengelola Istana Maimun. Menurut Moharsyah didirikannya yayasan ini adalah untuk menjadi wadah komunikasi antara seluruh anggota keluarga besar ahli waris Sultan Ma’moen Al Rasyid. Kemudian yang tidak kalah pentingnya juga adalah untuk memelihara dan merawat peninggalan-peninggalan dari almarhum Sultan Deli yang ke 9 yakni Ma’moen Al Rasyid.

Satu hal yang menjadi alasan dari pemberian nama Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid, dan mengapa bukan memakai nama Sultan yang pada saat itu memimpin yakni Sultan azmi Perkasa Alam Shah, adalah karena Sultan yang pertama kali menempati dan membangun Istana Maimun adalah Sultan Ma’moen Al Rasyid yang ke 9. Sehingga Sultan yang pada saat itu memimpin menamakan yayasan yang kelak akan mengelola Istana Maimun dengan nama Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid.


(57)

“ . . . Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid ini berdiri pada tahun 1982 dimana dari berdirinya yayasan ini digalang oleh Sultan Deli bersama keluarga lebih kepada untuk wadah komunikasi keluarga besar ahli waris Sultan Ma’moen Al Rasyid dan juga untuk memelihara dan merawat peninggalan-peninggalan dari almarhum Sultan Deli ke 9 Ma’moen Al Rasyid. Dan juga meletakkan relevansi keberadaan keluarga Sultan untuk berada di dekat masyarakat. Terkait dengan nama yayasan itu sendiri diberikan oleh Sultan Azmi Perkasa Alam Shah dengan nama Sultan Ma’moen Al Rasyid untuk menghormati beliau yang telah membangun Istana Maimun tersebut . . .”

Menurut Tanudirjo (2009) Hakekat upaya pelestarian yang sebenarnya, bukan semata-mata melestarikan benda cagar budaya, tetapi yang tidak kalah penting adalah melestarikan nilai-nilai budaya luhur yang ada di balik benda-benda tersebut kepada generasi mendatang. Karena itu, pada hakaketnya upaya pelestarian seharusnya meliputi kegiatan (a) identifikasi, (b) melindungi, (c) melestarikan, (d) menyajikan, dan (e) meneruskan ke generasi berikutnya. Semua kegiatan itu tentu saja tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, tetapi menjadi satu kesatuan utuh dan terpadu.

Sultan Ma’moen Al Rasyid sendiri lahir pada tahun 1879 dan wafat pada tahun 1924. Beliau merupakan raja KesultananDeli ke-9. Gelarnya setelah mangkat ialah Marhum Makmur. Sultan Ma’moen Al Rasyid lahir pada hari Senin, 13 Zulhijjah 1271 H, diangkat menjadi Sultan pada tahun 1879 dalam usia muda, sehingga dibentuklah Pemangku Raja yang beranggotakan Tengku

Soelaiman gelar Tengku Raja Muda Deli, Tengku Soeloeng Laoet gelar Pangeran

Bedagai Wazir Negeri Deli, dan Tengku Abdurrahman gelar Tengku Temenggong

Deli. Setelah usia Baginda sampai pada 17 tahun maka ditabalkan lah Baginda itu menjadi Sultan Negeri Deli.


(58)

Pada masa pemerintahan Sultan yang dinobatkan dalam usia muda ini, perdagangan tembakau semakin maju dan kemakmuran Kesultanan Deli mencapai Puncaknya. Atas kebijaksanaan Baginda Tuanku itu semasa diatas tahta kerajaan, maka sebagai balas budi jasa Tuanku itu dikurniakan 2 buah peringkat kehormatan dari Kerajaan Negeri Belanda. Yaitu Commandeur In De Orde Van

Oranje Nassau dan Ridder In De Orde Van De Nederlandsche Leeuw. Pusat

Kerajaan pun dipindahkan ke Kota Medan.

Tuanku Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah mendirikan Istana

di Kampung Bahari pada hari kamis pukul 12, tahun 1886. Kemudian pada 1888

dengan Belanda, Tuanku itu meletakkan sendiri batu pertama untuk membangun Istana Maimoon. Tahun 1891 yaitu pada hari Senin tepat pada Pukul 1 tengah hari, Sultan berpindah dari Istana Kota Bahari ke Istana Maimoon. Hari Sabtu 16 Mei 1903 didirikan pula sebuah Mahkamah atau Kantor Kerapatan Sultan di jalan raja (sekarang- Jalan Mahkamah). Juga kemudian pada tanggal 21 Agustus 1906 dimulailah peletakan batu pertama untuk Mendirikan Masjid Raya Kota Ma’sum dan digunakan untuk sholat pertama kalinya yaitu pada hari Jumat 10 September 1909.

Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmatsyah Sultan Negeri Langkat

dan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah Sultan Negeri Serdang juga turut hadir

dalam Sholat Jumat perdana di Mesjid Raya ini. Pada masa pemerintahanya Dia banyak membangun fasilitas umum untuk kemajuan masyarakat dan membangun Mesjid-Mesjid yang berjumlah kurang lebih sebanyak 800 buah demi kepentingan syiar agama Islam pada saat itu. Yang mulia Mangkat pada tahun 1924,


(59)

meninggalkan 3 orang putra dan 5 orang putri. Almarhum dimakamkan di Masjid Raya Kota Ma’sum, Medan.

Istana Maimun yang hingga saat ini masih ditempati oleh anggota keluarga Kesultanan Deli telah menjadi tempat dipamerkannya berbagai macam peninggalan Kesultanan Deli. Di belakang bangunan Istana Maimun terdapat rumah-rumah yang menjadi tempat tinggal anggota keluarga Kesultanan Deli. Anggota keluarga Kesultanan Deli juga merupakan orang-orang yang menjadi anggota dalam yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid dalam mengelola Istana Maimun. Sehingga apabila kita melihat dengan seksama, maka dibalik berjalannya Istana Maimun sebagai objek wisata terlihat juga kehidupan anggota keluarga Kesultanan yang selayaknya masyarakat biasa.

Terkait dengan pengelolaan yang dilakukan oleh keluarga Kesultanan lewat Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid, lebih lanjut Moharsyah mengatakan :

“ . . . Istana ini sekarang dikelolah oleh Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid yang mana satu-satunya yayasan atau pihak yang dipercayai baik oleh Sultan Deli maupun keluarga untuk tugasnya merawat dan melestarikan keberadaan Istana Maimun. Yang mana tugas yayasan ini mengacu pada istana ini merupakan istana yang masih digunakan oleh keluarga Kesultanan baik dalam menyelenggerakan acara-acara adat ataupun tradisi yang masih dilaksanakan. Juga mengacu pada UU Cagar Budaya No 11 tahun 2010 dan Perda no 2 tahun 2012 tentang bangunan bersejarah kota medan. Yang mana Yayasan ini lah yang melaksanakan tugasnya mengelolah Istana Maimun . . .”

Dalam era global ini, masyarakat banyak mengalami pencerahan termasuk dalam bidang warisan budaya. Ada kesadaran yang makin kuat bahwa warisan budaya pada sumberdaya budaya itu haruslah sepengetahuan masyarakat luas (McGimsey dan Davis,1977; Cleere,1990; Schaafsma, 1990; Little,2002).


(60)

Kesadaran seperti juga muncul di Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Masyarakat sekarang tidak lagi terlalu mengantungkan harapan pada upaya pemerintah dalam pelestarian warisan budaya.

Tidak jarang mereka malah meragukan kabijakan pemerintah dalam pemanfaatan warisan budaya. Situasi ini akhirnya yang beperhatian terhadap pelestarian warisan budaya. Selain itu, setiap masyarakat pada hakekatnya selalu mempunyai konsep-konsep pelestariannya sendiri (disebut: ethnoconservation). Hal yang menarik, upaya pelestarian yang mereka lakukan secara mandiri terbukti cukup efektif dan sangat membantu pemerintah.

Konflik kepentingan dan pluralisme yang berkembang dalam masyarakat juga menimbulkan wacana baru dalam visi pelestarian. Selama ini, harus diakui kebijakan pelestarian terbesar selalu diarahkan pada upaya “tidak mengubah” atau “mengembalikan kekeadaannya semula” suatu warisan budaya. Kebijakan seperti itu dirasakan terlalu kaku, cenderung picik, dan kurang dapat mewadahi upaya pemanfaatannya. Seolah-olah pelestarian adalah untuk pelestarian itu sendiri. Namun, kini kebijakan seperti itu sering dipermasalahkan dan di berbagai tempat sudah mulai ditinggalkan. Memang disadari sepenuhnya bahwa warisan budaya adalah sumberdaya budaya yang tak-terbaharui (non-renewable), terbatas (finite), dan khas (contextual). Karena itu, segala upaya untuk mempertahankan nilainya harus selalu diusahakan.

Namun, disadari pula bahwa upaya mempertahankan nilainya itu tidak selalu berarti “sekedar mengabadikan keadaan semula”, tanpa mau tahu berarti atau tidaknya upaya pelestarian itu bagi masyarakat. Sebaliknya, pelestarian justru


(1)

peninggalan salah satu Kerajaan yang memiliki pengaruh besar di Sumatera yaitu Kesultanan Deli

Bab II deskripsi mengenai kebudayaan melayu dan peninggalannya di Sumatera Timur ( Sumatera Utara)

Bab III deskripsi mengenai permasalahan dari ketiga objek kajian yaitu Istana Maimun, Taman Sri Deli dan Masjid Raya Al-Mashun yang mana ketiga objek tersebut mempunyai masalah tersendiri dalam pengelolaannya

Bab IV deskripsi mengenai konsep pengelolaan dari ketiga objek tersebut yang mana di bab ini menjabarkan siapa pengelola cagar budaya dan pemecahan masalah dari ketiga objek wisata tersebut, yakni Istana Maimun, Taman Sri Deli dan Masjid Raya Al-Mashun.

Bab V memuat kesimpulan dan saran penelitian mengenai pengelolaan cagar budaya di kota Medan dalam hal ini Istana Maimun, Masjid Raya Al-Mashun, dan Taman Sri Deli sebagai asset wisata di kota Medan.

Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga waktu dalam penyelesaian skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak


(2)

kekurangannya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Medan, Maret 2016

Penulis


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ...

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Tinjaun Pustaka ... 8

1.3 Perumusan Masalah ... 18

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 19

1.5 Metode Penelitian ... 19

1.6 Pengalaman Penelitian ... 22

BAB II KEBUDAYAAN MELAYU DAN PENINGGALANNYA 2.1Deskripsi Lokasi Penelitian (Kota Medan) ... 30

2.2 Kebudayaan Melayu Pada Masa Sumatera Timur Hingga Sumatera Utara ... 33

2.3 Benda-Benda Artefak Maupun Kebudayaan ... 40

2.3.1 Masjid Al Osmani ... 40

2.3.2 Istana Maimun ... 42

2.3.3 Masjid Raya Al Mashun... 43

2.3.4 Taman Sri Deli ... 43

BAB III OBJEK PENELITIAN DAN PERMASALAHANNYA 3.1 Istana Maimun ... 45


(4)

3.1.2 Permasalahan Pengelolaan Istana Maimun ... 49

1. Pembatas dan Kurangnya Informasi Di Dalam Istana Maimun . 49 2. Kesulitan Mencari Dana untuk Pengelolaan Istana Maimun ... 51

3.2 Taman Sei Deli ... 56

3.2.1 Sejarah Taman Sri Deli ... 56

3.2.2 Permasalahan Pengelolaan Taman Sri Deli ... 57

1. Kondisi Taman Sri Deli yang Sekarang ... 57

2. Keamanan Pengunjung Di Taman Sri Deli ... 69

3.3 Masjid Raya Al-Mashun ... 71

      3.3.1 Sejarah Masjid Raya Al-Mashun ... 71

3.3.2 Permasalahan Pengelolaan Masjid Raya Al-Mashun ... 75

1. Pengemis Di Dalam dan Di Luar Masjid Raya Al-Mashun ... 75

2. Adanya Kutipan dari Penjaga Sandal ... 77

BAB IV KONSEP PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA 4.1 Istana Maimun ... 81

4.1.1 Pengelolaan Istana Maimun Menjadi Lokasi Wisata ... 81

4.1.2 Yayasan Sultan Ma’Moen Al Rasyid ... 88

4.1.3 Pencarian Dana Tambahan untuk Operasional Istana Maimun . 95 1. Tiket Masuk, Sumber Utama Pemasukan ... 95

2. Berjualan Souvenir Di Dalam Komplek Istana Maimun ... 96

3. Menyewakan Pakaian Tradisional Melayu ... 99

4.2 Taman Sri Deli ... 101

4.2.1 Konsep Pengelolaan Oleh Pemerintah Daerah ... 101

4.2.2 Bentuk Pengelolaan (Pemugaran) ... 106

4.3 Masjid Raya Al-Mashun ... 110

4.3.1 Konsep Pengelolaan Masjid Raya Al-Mashun ... 110

4.3.2 Bentuk Pengelolaan dan Pemugaran ... 113

4.3.3 Signifikansi Masjid Raya Al-Mashun Medan ... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 118

5.2 Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Struktur Pengurus Yayasan Sultan Ma’Moen Al Rasyid ... 93 Tabel 2 : Struktur Dewan Yayasan Sultan Ma’Moen Al Rasyid ... 94 Tabel 3 : Struktur Pengurus BKM Masjid Raya Al-Mashun ... 112


(6)

DAFTAR GAMBAR DAN FOTO

Foto 1 : Aktivitas Di Perkebunan Tembakau Deli ... 39

Foto 2 : Masjid Al-Osmani atau Masjid Labuhan ... 42

Foto 3 : Istana Maimun Pada Tahun 1910-an ... 47

Foto 4 : Tanda Batas Area yang Tidak Boleh Dilewati Pengunjung ... 50

Foto 5 : Papan Penjelasan yang Diletakkan Ditempat Yang Kurang Pencahayaan ... 51

Foto 6 : Seorang Pengunjung Melihat Keadaan Taman Sri Deli yang Sekarang ... 59

Foto 7 : Taman Sri Deli adalah Salah Satu Taman Di Kota Medan yang Berpagar ... 62

Foto 8 : Kondisi Masjid Raya Al-Mashun Sekarang ... 72

Foto 9 : Pengemis Masuk sampai Ke Area dalam Masjid... 75

Foto 10 : Penjaga Sandal sedang Melakukan Negosiasi dengan Jamaah yang akan Sholat ... 78

Foto 11 : Istana Maimun sebagai Destinasi Wisata Budaya Di Kota Medan .. 82

Foto 12 : Suasana dalam Istana Maimun Saat Jam Berkunjung ... 83

Foto 13 : Tiket Masuk Pengunjung ... 95

Foto 14 : Tempat Berjualan Souvenir Di Dalam Istana ... 98

Foto 15 : Pengunjung Istana Maimun Berfoto dengan Pakaian Tradisional Melayu ... 100

Foto 16 : Taman Sri Deli Masih dalam Keadaan Di Tutup ... 103