Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peran Ilmu Komunikasi dalam Penyuluhan Kesehatan
Secara umum, komunikasi adalah suatu pernyataan antar manusia baik secara
perorangan maupun berkelompok yang bersifat umum dengan menggunakan lambanglambang tertentu, maka dalam pendidikan kesehatan dan gizi, ilmu komunikasi sangat
diperlukan sebagai dasar dalam menyampaikan pesan kepada sasaran. Sasaran komunikasi
dalam kegiatan pendidikan kesehatan adalah ibu dan kepala rumah tangga, ibu menyusui, ibu
hamil, ibu nifas, pasangan usia subur, dan sebagainya. Jika pengertian ilmu komunikasi
dikaitkan dengan bidang kesehatan maka komunikasi di bidang kesehatan adalah pernyataan
antara manusia baik secara individu maupun kelompok yang berkaitan dengan kegiatan
penyuluhan dibidang kesehatan yang sifatnya khusus dengan menggunakan lambang-lambang
tertentu (Lucie, 2005). Dalam sebuah kegiatan pendidikan kesehatan, untuk mengetahui
apakah pesan kesehatan telah efektif sampai kepada sasaran, maka seorang komunikator harus
melakukan evaluasi dalam bentuk umpan balik (feedback). Bentuk umpan balik dapat bersifat
langsung (direct feedback) maupun tidak langsung (indirect feedback).
Umpan balik bersifat langsung sangat berguna untuk mengetahui apakah pesan yang
disampaikan telah dapat diterima dengan baik dan jelas, dimana komunikan secara langsung
memberikan feedback tanpa melalui orang lain. Sedangkan umpan balik tidak langsung,
diketahui melalui adanya pihak lain yang memberikan umpan balik kepada komunikator.
Menurut Lucie (2005), terdapat empat unsur yang mempengaruhi efektifitas suatu penyuluhan

yaitu; 1) Metode, 2) Media, 3) Materi dan 4) Waktu.
2.1.1. Metode Penyuluhan
Ada beragam metode penyuluhan yang dapat digunakan dalam kegiatan penyuluhan.
Pemilihannya tergantung tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Berdasarkan pendekatan

sasaran terdapat 3 metode yang digunakan yaitu; 1) Metode Penyuluhan Massal, 2) Metode
Penyuluhan Kelompok dan 3) Metode Penyuluhan Perorangan. Dalam melakukan pendidikan
kesehatan, banyak cara yang digunakan dalam menyampaikan pesan akan tetapi yang paling
sering digunakan dalam metode penyuluhan kelompok adalah ceramah dan diskusi kelompok.
Ceramah adalah pidato yang disampaikan oleh seorang pembicara sekelompok pengunjung
atau pendengar. Umumnya metode ini dipergunakan dalam kondisi seperti berikut;
a. Waktu menyampaikan informasi terbatas
b. Orang yang mendengarkan sudah termotivasi
c. Pembicara menggunakan gambar dan kata-kata
d. Kelompok terlalu besar untuk memakai metode lain
e. Ingin menambahkan atau menekankan hal-hal yang sudah dipelajari
f. Mengulangi, meperkenalkan atau mengantarkan apa yang sudah dicapai
g. Sasaran dapat memahami kata-kata yang digunakan
Metode lain yang diperkenalkan oleh para ahli gizi masyarakat adalah Facilitated
Group Discussion. Metode ini lebih cendrung di dalam kelas dimana peserta diberikan waktu untuk

berdiskusi dengan bantuan dari penyuluh untuk menentukan topiknya. Jika ada sesuatu yang kurang
dipahami, penyuluh ikut menjelaskan dengan meminta bantuan dari peserta.

2.1.2. Media Penyuluhan
Media penyuluhan adalah alat bantu yang berperan sebagai perantara yang dapat
menghubungkan komunikator dengan sasaran atau penyuluh dengan pendengar sehingga
pesan yang disampaikan lebih jelas dan nyata. Menurut Mardikanto (1993), media dapat
berupa benda yang dapat diamati, didengar, diraba atau dirasakan oleh indera manusia yang
berfungsi memperagakan atau menjelaskan uraian yang disampaikan oleh penyuluh. Jingle
termasuk media media yang dapat didengar. Fungsi alat peraga selain sebagai alat peraga
yang dapat memperjelas juga berfungsi sebagai 1) alat untuk menarik perhatian dan
memusatkan perhatian sehingga konsentrasi sasaran terhadap materi tidak terpecah; 2)

menimbulkan kesan yang mendalam sehingga pendegar tidak cepat lupa, serta 3) alat untuk
menghemat waktu terutama jika penyuluh harus menjelaskan materi yang cukup banyak
(Lucie 2005).
2.1.3. Materi Penyuluhan
Materi penyuluhan adalah semua bahan yang disampaikan dalam kegiatan
penyuluhan, baik yang menyangkut ilmu maupun tehnologi. Ciri-ciri materi yang baik dalam
sebuah penyuluhan adalah sesuai dengan kebutuhan sasaran, menarik perhatian dan

memperbaiki produktifitas sumber daya manusia. Dan yang lebih penting adalah materi
tersebut dapat memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi oleh pendengarnya.

2.1.4. Waktu Penyuluhan
Komunikasi yang dilakukan dalam sebuah kegiatan intervensi dengan menggunakan
penyuluhan kesehatan atau pendidikan gizi, akan lebih efektif apabila disampaikan secara
langsung berhadapan dengan sasaran. Dengan cara ini pesan yang disampaikan akan dapat
langsung didengar dan cara penyuluh menyampaikan dapat dilihat langsung. Menurut hasil
penelitian, pesan yang disampaikan secara berulang-ulang dan menyimpulkan hasil
komunikasi akan mempercepat perubahan sikap yang diinginkan melalui materi penyuluhan
yang disampaikan. Akan tetapi pengulangan yang terlalu sering justru dapat membosankan
sasaran dan menimbulkan penolakan dari individu yang dijadikan target. Pengulangan yang
diterima umumnya sebanyak tiga kali, jika lebih dari tiga kali akan mengalami kebosanan dan
pesan yang disampaikan justru semakin kabur (Watson, M. 2006).

2.2. Penyuluhan dan Pendidikan Kesehatan
Menurut Blum dalam Soekidjo (2003), dalam upaya memperbaiki status kesehatan
dan gizi masyarakat khususnya status gizi balita diperlukan upaya intervensi untuk merubah

perilaku orang tua. Intervensi tersebut dilakukan melalui dua upaya yaitu ; menggunakan

tekanan dan pendidikan.
1. Tekanan (enforcement)
Tekanan adalah upaya yang dilakukan agar masyarakat mau mengadopsi perilaku
kesehatan yang baru dengan cara tekanan, paksaan atau koersi (coertion). Upaya ini
umumnya dilakukan dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan-peraturan, instruksi dan
sanksi atau denda.
2. Pendidikan (education).
Pendidikan adalah upaya yang dilakukan agar masyarakat bersedia menerima dan
melakukan perilaku dengan benar dengan pendekatan persuasi, bujukan, rayuan, ajakan,
himbauan,

memberi

informasi

dan

kesadaran

melalui penyuluhan dan pendidikan.


Pendidikan kesehatan adalah suatu kegiatan yang terencana untuk merubah perilaku
seseorang atau masyarakat dalam melakukan tindakan yang berhubungan dengan kesehatan
(WHO, 1992). Senada dengan WHO, Glanz, dkk (1997) mengatakan bahwa pendidikan
kesehatan merupakan alat untuk merubah perilaku melalui kombinasi dari berbagai
pengalaman belajar seseorang yang digunakan untuk mendapatkan fasilitas menuju perilaku
sehat. Dalam melakukan penyuluhan atau pendidikan kesehatan, ilmu komunikasi sangat
berperan penting, karena proses penyuluhan terdapat komunikator dan penerima pesan,
dimana komunikator melakukan penyebaran pesan, menanamkan keyakinan, menyampaikan
anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan kepada pendengar atau yang disebut dengan
komunikan. Sehingga petugas penyuluh harus menguasai ilmu komunikasi (Azrul, A.1983).

2.3. Kartu Menuju Sehat (KMS)
David Morley adalah orang yang pertama kali memperkenalkan penggunaan grafik
tumbuh kembang fisik anak sebagai alat untuk memantau secara longitudinal kecukupan gizi
anak. Grafik ini kemudian dikembangkan oleh pakar kesehatan anak, Jellife dan diberi nama

“Road To Health” dan di Indonesia dikenal dengan KMS (Wijono, 2011). Salah satu input
penting dalam program pemantauan pertumbuhan adalah tersedianya Kartu Menuju Sehat
(KMS). KMS adalah kartu yang berisikan grafik pertumbuhan anak usia 0-5 tahun dan

informasi tentang kesehatan anak. KMS berisi catatan tentang kesehatan anak dan grafik
pertumbuhan anak setiap bulan. Anak yang sehat bertambah umur bertambah berat badan.
Kartu Menuju Sehat atau Growth to health card sudah tidak asing lagi dalam dunia kesehatan
anak. Para ahli kesehatan anak mengakui bahwa KMS merupakan alat yang sangat baik dan
sederhana untuk mamantau pertumbuhan anak. Program promosi pemantauan pertumbuhan
(growth and monitoring promotion) sudah diakui di dunia sebagai salah satu element penting
dalam strategi keberlangsungan hidup anak dan perawatan kesehatan dasar (Adenike,2010).
Dengan menggunakan KMS, penyimpangan pertumbuhan dan interpretasi pertumbuhan anak
dapat dilakukan dengan mudah. Akan tetapi kegiatan ini tergantung pada ketepatan kader atau
petugas kesehatan dalam melakukan penimbangan dan pengisian KMS.
2.3.1. Permasalahan Penggunakan KMS di Beberapa Negara di Dunia
Hampir seluruh negara di dunia menggunakan KMS sebagai alat sederhana untuk
memantau pertumbuhan anak, termasuk Amerika. Namun dalam implementasi penggunaan
KMS sering ditemukan hambatan dan permasalahan. Sebuah KMS mengandung beberapa
komponen seperti garis vertikal yang menunjukkan berat badan, garis horizontal
menunjukkan usia dalam bulan, garis lengkung kurva menunjukkan pola pertumbuhan, kurva
warna menunjukkan batasan status berat badan serta grafik pertumbuhan yang dihubungkan
setiap kali penimbangan yang harus diterjemahkan atau diinterpretasi guna mengetahui pola
pertumbuhan anak. Banyaknya komponen tersebut membuat orang tua kesulitan untuk
memahaminya. Dalam penggunaan KMS di berbagai tempat di dunia, ditemukan banyak

permasalahan terutama dalam menginterpretasi hasil penimbangan. Penelitian yang dilakukan
oleh Elana Pearl, dkk (2009) pada 1000 orang tua balita di Amerika menyimpulkan bahwa

walaupun hampir 80 % orang tua pernah melihat KMS anak tetapi sebagian besar (77%) dari
mereka masih sulit untuk menginterpretasi arti data yang terdapat pada grafik KMS.
Penelitian yang hampir

sama juga

dilakukan

oleh Roberfroid, dkk (2007). Mereka

ingin mengevaluasi pemahaman ibu-ibu terhadap KMS. Dengan mereview 20 hasil penelitian
dari negara Asia, Africa dan Latin Amerika menyimpulkan bahwa 30-75 % ibu-ibu di negara
tersebut masih rendah pengetahuannya dalam menginterpretasikan data yang terdapat KMS
anak.
Sejak tahun 1980-an Mexico dan India telah menggunakan KMS baru yang dikenal
dengan KMS Bubble. Bubble adalah susunan bulatan kosong yang menyusun garis vertikal
yang menunjukkan berat badan dengan jarak antar bubble bernilai 100 gram. Sebelumnya

KMS yang digunakan oleh kedua negara adalah KMS biasa dimana jarak satuan terkecil berat
badan adalah 500 gram, sehingga petugas kesulitan untuk menaksir letak titik berat badan
yang tepat. Tujuan utama menggunakan KMS Bubble adalah untuk meningkatkan presisi
dalam penentuan titik BB anak di KMS agar interpretasi hasil penimbangan yang
disampaikan kepada ibu balita lebih tepat (Martinez, et al. 1988).
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 85 orang ibu yang tinggal di daerah
pedesaan Meksiko, dengan melakukan uji pre-post test dilaporkan bahwa tingkat pengetahuan
dan pemahaman ibu setelah menggunakan KMS Bubble menjadi meningkat secara bermakna.
81% dari anak menunjukkan kenaikan berat badan, 12% anak mengalami penurunan berat
badan dan 7% tidak mengalami kenaikan berat badan yang bermakna. Penggunaan KMS
Bubble meluas ke negara lain seperti India dan Afrika (Griffith dan Berg, 1988). Gambar
KMS Bubble seperti pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. KMS Bubble Digunakan di India
Masalah tentang rendahnya pengetahuan orang tua membaca data di KMS juga terjadi
di Indonesia, dimana tingkat pemahaman ibu-ibu terhadap KMS ternyata juga masih rendah,
hal ini dapat diketahui dari hasil Riskesdas 2007 di Provinsi Sumatera Utara dimana
dilaporkan bahwa hanya 17 % ibu yang membawa KMS ke rumah, 32% tidak mempunyai
KMS, selebihnya (51%) menitipkan KMS pada kader (Kemenkes RI, 2008).
Selain permasalahan tentang kepemilikan KMS, juga ditemukan permasalahan dalam

praktek penggunaan KMS seperti; 1) Terdapatnya beberapa jenis KMS pada satu posyandu
seperti : KMS-NCHS, KMS-Harvard, KMS-WHO, KMS Perusahaan makanan, KMS-RS
Swasta dan KMS photocopy, 2) Tidak adanya penjelasan tentang arti grafik, pita warna dan
cara menginterpretasi data pada KMS anak 3) Penentuan titik BB (plotting) tidak seragam
dan sering salah tempat, 4) Titik-titik BB kadang tidak dihubungkan 5) Angka berat badan
anak dicatat pada grafik KMS, 6) KMS sering hilang dan tidak diganti.

2.3.2. Perkembangan Kartu Menuju Sehat di Indonesia
Sejak tahun 1974, Indonesia sudah mengenal dan menggunakan KMS dalam program
kesehatan, dan telah tiga kali merevisi penggunaan KMS diawali dengan menggunakan KMS
dengan standar Harvard. Kemudian pada tahun 1990 menggunakan KMS WHO-NCHS dan
yang terakhir pada tahun 2008, Indonesia menggunakan KMS standard WHO-2005 (Widjono,
2011). KMS WHO-2005 berbeda dengan KMS yang digunakan sebelumnya karena
membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, kemudian kurva pertumbuhannya
menunjukkan bagaimana seorang anak harus tumbuh. KMS-WHO 2005 dihasilkan dari hasil
studi secara longitudinal yang dikenal dengan Multicenter Growth Reference Study (MGRS)
dari tahun 1997-2003, yang diwakili oleh enam negara di dunia yaitu Ghana, Norwegia, India,
Brazil, Oman dan Amerika Serikat dan diresmikan penggunaanya oleh WHO pada tanggal 27
April 2006 di Geneva. Sampel yang dipilih untuk menghasilkan KMS WHO-2005 ini adalah
ibu-ibu yang memberikan ASI ekslusif, tidak merokok dan tinggal dalam lingkungan yang

bersih pada enam negara yang mewakili negara-negara di dunia (Kemenkes RI, 2010).
Sehingga KMS ini dapat digunakan oleh anak di seluruh dunia, dan negara tidak perlu lagi
membuat KMS lokal (Kemenkes RI 2010).
Sejak tahun 2009, Kementerian Kesehatan RI menganjurkan agar menggunakan
KMS-WHO 2005 karena memiliki keunggulan dibanding KMS sebelumnya. Akan tetapi
fakta dilapangan yang ditemukan penulis, keunikan dan kelebihan KMS-WHO 2005 ternyata
tidak diikuti dengan sistem pendistribusian atau pengenalan KMS kepada ibu-ibu, karena
tidak ada kegiatan khusus berupa sosialisasi atau penyuluhan untuk memperkenalkan dan
menjelaskan tentang kelebihan dan keunikanda dari KMS-WHO 2005. Bahkan KMS WHO2005 tidak lagi dicetak dalam bentu leaflet tunggal, akan tetapi berbentuk lembaran yang
dilampirkan pada bagian belakang buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA).

Wijono (2011) menguraikan perbandingan profil antara KMS NCHS dan KMSWHO 2005 sebagai berikut:
Tabel 2.1. Perbandingan Profil KMS NCHS dan KMS WHO-2005
Variabel KMS
Standar/Rujukan
Milestone Perkembangan
Garis Pertumbuhan
Garis Merah
Jenis Kelamin
Disain

Kenaikan Berat Badan
Minimal (KBM)
Fokus

KMS Lama
WHO-NCHS
WHO-NCHS
Berdasarkan % Median
(70, 80, s/d,120 %)
Pada 70 % Median
Tidak dibedakan
Landscape
Tidak dicantumkan
0-60 bulan

KMS WHO-2005
WHO,2005
IDAI
BerdasarkanSD-Score
( -3, -2, -1,s/d +3)
Pada – 3SD
Dibedakan
Potrait
Dicantumkan
0-24 bulan

Di Indonesia penggunaan KMS lebih banyak dilakukan di posyandu, yaitu ketika ibu
menimbang anak ke posyandu setiap bulan. Posyandu adalah suatu forum komunikasi, alih
teknologi dan prinsip pelayanan kesehatan; dari, oleh dan untuk masyarakat. Posyandu
didirikan ditengah-tengah masyarakat dengan tujuan semua masyarakat mau berpartisipasi
dalam memanfaatkan program yang dilaksanakan di posyandu setiap bulan (Depkes RI,
1986).

2.4. Jingle
Jingle adalah musik sederhana yang mengandung nada dan lirik yang berisi pesan
sehingga mudah dinyanyikan dan diingat oleh pendengarnya. Jingle dapat digunakan dalam
kampanye kesehatan dan periklanan yang dapat menjadi sebuah indetitas dari produk atau
merek. Penggunaan sebuah jingle/lagu yang sudah terkenal di masyarakat dapat menarik
perhatian dan mengembalikan ingatan tentang pesan dari lagu tersebut sehingga menjadi
populer dan pujaan publik. Musik yang digunakan menjadi jembatan penghubung untuk
meningkatkan memori pendengarnya dalam mengingat pesan yang disampaikan. Musik juga
dapat membentuk perasaan dan kesadaran pendengarnya akan merek yang diperkenalkan.
Alasan penggunaan jingle adalah karena jingle telah terbukti dapat membuat orang
terpesona dan membentuk identitas pendengarnya. Jingle sudah terbukti menjadi strategi

kreatif dalam pemasaran produk seperti Teh Botol Sosro. Jingle Teh Botol Sosro telah
mampu mempengaruhi anak remaja dengan mengingat pesan non verbal yang disampaikan
melalui jingle yang terus menerus diiklankan melalui saluran TV RCTI (Nurrahmawati,
1997).
2.4.1 Syarat-syarat sebuah Jingle
Pembuatan sebuah Jingle harus memiliki ketentuan agar tujuan dapat tercapai. Syaratsyarat sebuah Jingle adalah sebagai berikut:
1. dapat menampilkan nama produk dan slogan dengan cara menyenangkan dan mudah
diingat.
2. Musik yang digunakan simpel
3. Melodi yang digunakan menyenangkan
4. Liriknya simpel, langsung dan spesifik dimana terdapat penyebutan produk secara berulang
Selain syarat-syarat Jingle, juga terdapat 6 (enam) Indikator daya tarik jingle yang
digunakan untuk mengevaluasi sebuah jingle yaitu;
1. Memorability (kemudahan untuk diingat)
Dengan indikator mudah diingat dan menarik maka kemungkinan pendengar akan terus
menyanyikannya pada kesempatan yang luang apalagi setelah mendengarnya dari iklan
radio dan TV.
2. Meaningfulness (mempunyai arti)
Jingle mampu memaparkan informasi umum dan khusus dari sifat produk atau pesan yang
disampaikan.
3. Likability (disukai). Jingle harus terdengar menarik dan menyenangkan serta kaya secara
visual dan verbal

4. Transferability (mudah ditransfer). Jingle dapat digunakan untuk memperkenalkan produk
atau slogan baru dalam kategori yang sama atau berbeda dan antar lintas budaya dan
geografis.
5. Adaptibility (tidak cepat usang). Jingle dapat digunakan dari masa ke masa dan tidak
ketinggalan zaman
6. Protectability (dapat diproteksi). Jingle dapat dilindungi dari para pesaing atau orang yang
yang mempunyai ide yang sama. Jika jingle terlalu mudah ditiru maka keunikannya akan
hilang.

2.5. Menggunakan Angka dalam Pendidikan Kesehatan dan Gizi
Menggunakan angka atau nomor sebagai media untuk menyampaikan pesan
kesehatan sudah tidak asing lagi. Dalam bidang gizi, istilah 4 sehat 5 sempurna telah
berhasil merubah pola makan masyarakat. Istilah ini muncul di Indonesia pada tahun 1950an.
Arti dari 4 sehat adalah bertujuan untuk mengajarkan 4 kelompok makanan bergizi dan yang
harus dikonsumsi setiap hari seperti ; kelompok 1, yaitu makanan yang mengandung zat gizi
karbohidrat terdiri dari nasi, roti, jagung,ubi,mie kemudian kelompok 2 mengandung zat gizi
protein; ikan,telur, daging, kacang-kacangan. Dan kelompok 3 adalah makanan yang
mengandung zat gizi lemak seperti santan, minyak goreng, susu dan kelompok yang ke 4
adalah kelompok zat gizi vitamin dan mineral yang diperoleh dari bahan makanan seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran. Dan 5 sempurna, bertujuan untuk mengajarkan bahwa setiap
hari kita harus minum susu agar makanan yang dikonsumsi menjadi sempurna sehingga
mudah diserap dan digunakan oleh tubuh (Soedarmo,1995). Dan Mc Dowel (2006)
mengatakan bahwa menggunakan metode skala angka merupakan cara mudah untuk
mengestimasi statatus kesehatan. Tetapi untuk sebagian orang mungkin metode skala ini
merupakan hal yang sulit sehingga dibutuhkan skala dengan tingkat keparahan seperti ;
ringan, sedang dan parah.

Dalam bidang kedokteran pengunaan angka absolut, persen dan ratio juga sudah
sering digunakan untuk mendidik pasien dan orang tua dalam memahami keadaan penyakit
dan kesehatan. Fargelin (2007) menyimpulkan bahwa memahami arti tekstual dan persepsi
resiko yang terkadung didalamnya adalah sangat penting. Karena dengan menyajikan
informasi resiko kepada pasien dapat meningkatkan pengertian pasien tentang resiko yang
dialami sehingga dapat membantu mereka untuk mengambil keputusan atau tindakan yang
harus dilakukan.
Dalam penelitian ini, selain menggunakan angka 5-10, juga menggunakan istilah
resiko status gizi yang disesuaikan dengan perolehan angka. Nilai 5 berarti anak beresiko
menderita gizi buruk, nilai 6 menunjukkan resiko menderita gizi kurang dan jika memperoleh
nilai 8-10 anak dalam keadaan gizi normal atau baik. Tujuan dari penggabungan angka dan
resiko status gizi ini bertujuan agar orang tua dapat lebih memahami keadaan kesehatan anak
dan jika anak dalam keadaan beresiko seperti mendapat nilai 5 atau 6, mereka diharapkan
dapat mengambil tindakan yang cepat agar kondisi kesehatan tidak semakin jelek.
Menggunakan persepsi risiko dalam merubah perilaku kesehatan ternyata sudah sering
dilakukan. Sebuah studi Meta Analysis yang dilakukan oleh Brewer et.al (2004) untuk
mengukur hubungan antara cakupan vaksinasi bagi orang dewasa dan resiko jika tidak
mendapat vaksinasi. Dari 34 studi tentang yang memenuhi kriteria menyimpulkan bahwa
studi prospective memberi gambaran dan ukuran yang lebih jelas tentang hubungan antara
persepsi resiko dengan perilaku kesehatan. Dalam studi ini, persepsi resiko dibagi dalam tiga
dimensi yaitu kemungkinan akan menderita, akan mudah menderita penyakit dan menjadi
semakin parah.
Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Brewer, et al (2004) yaitu hubungan
persepsi resiko dengan perilaku beresiko. Mereka menyadari bahwa persepsi resiko akan
mempengaruhi perilaku protektif dan sebaliknya perilaku protektif akan mempengaruhi

persepsi resiko. Setelah mengikuti responden selama 18 bulan, menyimpulkan bahwa
responden yang sangat menaruh perhatian terhadap persepsi resiko akan lebih cepat mendapat
suntikan vaksin dibanding mereka yang kurang memperhatikan persepsi resiko.
Kumar, Sanders, Perrin, Lokker, Patterson, Gunn, Finkle, et al. (2010) melakukan
penelitian untuk mengetahui kemampuan numeracy dan literacy orang tua dalam memahami
informasi intruksi untuk merawat bayinya menggunakan sebuah test yang dikenal dengan
“The Parental Health Literacy Activities Test (PHLAT)”. Mereka menyimpulkan bahwa
masih banyak orang tua yang tidak memahami informasi tentang kesehatan umum yang
dibutuhkan untuk merawat bayi mereka, walaupun hasilnya menyimpulkan bahwa
pemahaman orang tua masih rendah tetapi model test PHLAT yang digunakan mempunyai
tingkat reliabilitas dan validitas yang baik sebagai alat untuk mengidentifikasi orang tua yang
membutuhkan pelatihan lebih lanjut.
Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Schapira, dkk (2010) terhadap
penduduk Meksiko-Amerika. Mereka ingin mengetahui kemampuan

informasi angka

(numeracy) untuk menjelaskan status kesehatan. Menurut mereka cara menginterpretasi dan
penggunaan angka untuk kepentingan kesehatan kemungkinan berbeda menurut budaya dan
kelompok. Dan kesimpulan mereka adalah angka sangat penting bagi penduduk kota
Meksiko-Amerika dalam mengaplikasikan anjuran kesehatan. Dan pada penelitian terdahulu
juga disarankan bahwa sangat disarankan untuk mengerti tentang mengaplikasikan
ketrampilan menggunakan angka dalam membuat keputusan yang berhubungan kesehatan dan
perilaku sehat. Para peneliti tentang hubungan persepsi resiko dengan perilaku kesehatan
berpendapat bahwa hampir semua teori tentang perilaku kesehatan menjadikan persepsi resiko
sebagai “central construct” dan Health Belief Model sebagai grand teorinya.

2.6. Media Promosi Kesehatan
Sejak abad ke 19, penyampaian pesan dengan menggunakan poster, radio dan televisi
bahka interenet telah digunakan untuk mendidik dan membujuk masyarakat agar hidup
dengan gaya hidup sehat. Hansard (2007) dalam using information to promote healthy
behaviours mengatakan bahwa Pemerintan Inggris telah menganggarkan biaya yang sangat
besar untuk kampanye kesehatan menggunakan media seperti poster dan leaflet. Untuk
kampanye 5 hari “Promosi mengkonsumsi makanan sehat” menghabiskan hampir 1 miliar
poundsterling.
Menurut Tones dan kawan-kawan (dalam Roberston, 2008), ada tiga model
pendidikan kesehatan; pencegahan, politik radikal dan pemberdayaan diri sendiri, dimana
masing-masing mempunyai peran yang berbeda-beda dalam proses perubahan perilaku.
Model pencegahan, fokus kepada individu dan menggunakan pendidikan kesehatan untuk
memotivasi dan mendorong orang untuk berperilaku sehat. Beberapa hasil penelitian
menyarankan untuk menggunakan pesan yang simpel dan cara menyajikan dan
menyampaikan pesan juga sangat penting untuk diperhatikan. Tetapi pada beberapa populasi,
penyajian pesan dengan bentuk lain justru lebih mendapat perhatian dan emosi sehingga
memberi dampak lebih.
Ada beberapa macam dan bentuk media promosi kesehatan anrara lain; poster, leaflet,
video, lembaran balik. Ciri-ciri sebuah media dapat dilihat dari kemampuannya
membangkitkan rangsangan pada indera penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan
pengecapan (Angkowo,2007). Kemudian jika dilihat dari fungsinya, media mempunyai 4
fungsi utama yaitu memotivasi , menyajikan informasi, membangkitkan minat atau tindakan
dan memberi intruksi. Maka Kartu Menuju Sehat (KMS) yang berbentuk leaflet dan
berisi grafik pertumbuhan dan pesan gizi dan catatan kesehatan adalah merupakan media
promosi kesehatan khusus bagi ibu dan anak.

Menurut Herliana (2007), media leaflet dan poster merupakan media yang dapat
disajikan dalam berbagai format. Artinya disain poster dan leaflet dapat disesuaikan menurut
tujuan dan sasaran yang akan dicapai seperti yang terjadi pada pembuatan Kartu Menuju
Sehat. KMS adalah termasuk media promosi kesehatan berbentuk leaflet yang berisi catatan
kesehatan seperti jadwal imunisasi, jadwal penerimaan kapsul vitamin A dan pesan gizi
seperti manfaat ASI eksklusif, pedoman pemberian makan sehat, cara mencegah diare.
Dalam penelitian kesehatan, penggunaan media seperti leaflet dan poster umumnya
digunakan untuk merubah perilaku setelah mendapat pendidikan dan pengetahuan melalui
media promosi kesehatan tersebut. Menurut Mubarak (2007), Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
karena perilaku tidak terjadi akibat adanya unsur paksaan atau aturan yang mengharuskan
seseorang berbuat atau bertindak.
Penelitian yang dilakukan oleh Djaiman, dkk (2004) untuk mengetahui pengembangan
media praktis untuk memantau pertumbuhan balita menyimpulkan bahwa pemberian media
saja pada ibu tidak cukup untuk meningkatkan pengetahuan dan minat ibu untuk memantau
pertumbuhan balitanya diposyandu. Kombinasi media dengan penyuluhan ternyata dapat
meningkatkan pengetahuan dan minat ibu untuk memantau pertumbuhan balitanya.
Dalam melakukan promosi kesehatan, penggunaan Jingle juga sangat perlu karena
telah terbukti mampu mempengaruhi pendengar. Jingle adalah suatu gambaran dari sebuah
iklan yang disampaikan dalam bentuk verbal dan non-verbal diiringi oleh musik agar menarik
perhatian pendengarnya (Nurrahmawati, 1997).
Beberapa Jingle yang pernah populer di Indonesia adalah seperti Jingle Coca-Cola,
Indomie dan Teh Botol Sosro. Dalam kampanye Presdien SBY tahun 2009, Jingle Indomie
yang digunakan untuk mengkapanyekan SBY ternyata sangat efektif untuk mempengaruhi
pemilih. Jingle Teh Botol Sostro telah mampu mempengaruhi anak remaja sehingga mereka

ingat pesan non verbal yang disampaikan melalui iklan di RCTI (Nurrahmawati, 1997). Pada
tahun 1980-an, beberapa jingle tentang Kesehatan pernah populer di Indonesia karena
disiarkan melalui media Televisi seperti Aku Anak Sehat, Kurang Vitamin A dan Keluarga
Berencana.

2.7. Pendidikan Gizi
Depkes RI mendefinisikan Pendidikan Gizi sebagai usaha atau kegiatan untuk
membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan perilaku
untuk mencapai status gizi yang optimal dengan metode penyuluhan, ceramah, diskusi,
demonstrasi dan lain-lain. Pendidikan Gizi adalah usaha atau kegiatan untuk membantu
individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan perilaku msyarakat
untuk mencapai status gizi yang optimal. Pendidikan gizi dapat disampaikan dengan metode
ceramah, diskusi, demonstrasi, fokus group dan lain-lain kepada perorangan, kelompok dan
masyarakat luas. (Depkes RI 2007). Depkes RI (2005) mengatakan bahwa Pendidikan

Gizi

merupakan salah satu unsur penting dalam meningkatkan status gizi masyarakat untuk jangka
panjang. Melalui sosialisasi dan penyampaian pesan-pesan gizi yang praktis akan membentuk
suatu keseimbangan

antara gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat. Seseorang yang

berpengetahuan gizi baik akan lebih cendrung memilih makanan yang berkwalitas.
Untuk

dapat merubah perilaku seseorang dengan mengandalkan pendidikan harus

memperhatikan beberapa faktor seperti metode penyampaian pesan, materi, media dan tenaga
yang melakukannya. Faktor-faktor yang berpengaruh tersebut harus saling bersinergi agar
pencapaian hasil yang diharapkan maksimal dan tepat sasaran ( Depkes RI, 2003 ).
Lebih lanjut Siregar (2004) mengatakan di dalam keluarga, ibu berperan dalam
mengatur makanan seluruh anggota keluarga terutama anak bayinya. Oleh karena itu
pendidikan gizi kepada keluarga merupakan kunci untuk merubah gizi keluarga. Pendidikan

gizi lebih diutamakan untuk meningkatkan pengetahuan agar dapat merubah perilaku yang
salah dan tidak sesuai anjuran.
2.7. 1. Pengaruh Pendidikan Gizi terhadap Perilaku Gizi
Soedarmo (1995) yang dikenal dengan Bapak Gizi Indonesia mengatakan bahwa
dalam melakukan pendidikan gizi kepada masyarakat perlu ada terobosan, seperti yang
dilakukannya dalam memperkenalkan 4 sehat 5 sempurna. Salah satunya adalah dengan
membagikan ribuan leaflet 4 sehat 5 sempurna kepada sekolah, poliklinik, BKIA dan institusi
kesehatan lainnya. Soedarmo menekankan bahwa cara memberikannya juga harus vis a vis
(berhadap-hadapan) baik kepada individu maupun kelompok tujuannya untuk menyadarkan
masyarakat terhadap pentingnya gizi. Dengan cara demikian agar slogan gizi tersebut menjadi
dikenal oleh masyarakat umum. Bahkan saat ini di luar negeri pendidikan gizi dilakuakan
melalui media internet (World Wide Web). Masyarakat dapat mengakses dengan mudah caracara pendidikan gizi dan materi pendidikan gizi dengan mengetahui alamat WWW ( Kipp,
1996).
Penyuluhan gizi adalah salah satu bentuk pendidikan gizi dilakukan dengan
menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga pendengar atau kelompok sasaran
tidak hanya menjadi sadar, tahu dan mengerti tetapi juga mau melakukan apa yang dianjurkan
yang berhubungan dengan kesehatan dan gizi.
Menurut Contento et al (1995) minimal ada dua model yang paling umum digunakan
dalam melaksanakan pendidikan gizi yaitu model perubahan perilaku (behavioral change
model) dan model berdasarkan pengetahuan (knowledge-based models). Menurut model
perubahan perilaku, perilaku dipengaruhi oleh lingkungan, pribadi dan faktor-faktor perilaku.
Lebih lanjut Contento mengatakan bahwa untuk merubah perilaku diperlukan waktu minimal
50 jam kegiatan pendidikan gizi dimana kegiatan memberikan instruksi-instruksi lebih
dominan pada kegiatan tersebut.

Pendidikan gizi dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan
sehingga pendengar atau kelompok sasaran tidak hanya menjadi sadar, tahu dan mengerti
tetapi juga mau melakukan apa yang dianjurkan yang berhubungan dengan kesehatan dan gizi
(Suhardjo, 1988). Menurut Adiningsih (2010) perilaku mencegah anak dari gangguan
pertumbuhann tersebut berupa memenuhi jumlah gizi yang dibutuhkan bayi baik ketika sehat
maupun sakit, mengasuh anak dengan baik dan menjaga lingkungan tempat tinggal bayi
dan mengamati pertumbuhan anak secara rutin menggunakan KMS (Morley, 1996, Griffiths,
1996), karena pertumbuhan adalah hasil interaksi faktor internal dan eksternal.
Berbagai penelitian pendidikan gizi yang berasal dari luar negeri dan dalam negeri
dengan berbagai sasaran telah menghasilkan berbagai kesimpulan yang positif. Kegiatan
pendidikan gizi dilakukan dengan menggunakan berbagai metode yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan perilaku kesehatan, seperti penyuluhan gizi dengan metode
ceramah menggunakan media poster, leaflet, film, dll.
Penggunaan KMS Bubble dalam upaya meningkatkan pengetahuan gizi telah
dilakukan oleh Martinez, dkk pada ibu-ibu di Mexico. Dari hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 85 orang ibu yang tinggal di daerah pedesaan Meksiko, dengan melakukan uji prepost test dilaporkan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman ibu setelah menggunakan
KMS Bubble menjadi meningkat secara bermakna. 81% anak menunjukkan kenaikan berat
badan, 12% anak mengalami penurunan berat badan dan 7 % anak tidak mengalami kenaikan
berat badan yang bermakna. Penggunaan KMS Bubble meluas ke negara lain seperti India:
Gujurat, Maharashtra, Tamil Nadu dan Lesotho (Griffith dan Berg, 1988).
Sebuah penelitian tentang pengaruh pendidikan gizi terhadap status gizi ank remaja di
Lybia (2012) menyimpulkan bahwa untuk merubah pola makan anak remaja melalui
pendidikan gizi memerlukan waktu relatif lama. Jika kegiatan dilakukan hanya sekali
seminggu diperlukan waktu enam bulan dan jika sekali sebulan diperlukan waktu setahun.

Kesimpulan penelitian ini juga mengatakan bahwa untuk merubah kebiasaan makan anak
remaja yang berkaitan dengan budaya seperti rendahnya aktifitas fisik, keterlibatan organisasi
pemerintah dan non pemerintah sangat diharapkan.
Penelitian lain tentang pengaruh pendidikan gizi terhadap pengetahuan, sikap dan
perilaku gizi dan kesehatan juga dilakukan oleh Nikmawati, et al (2010). Kesimpulannya
setelah dilakukan kegiatan intervensi pendidikan gizi sebanyak 10 kali selama 5 bulan,
ternyata dapat meningkatkan tingkat pengetahuan ibu sebesar 17 poin, praktek gizi ibu 1,5
poin dan praktek gizi kader 2,58 poin. Penelitian tentang pengaruh pendidikan gizi terhapa
konsumsi dan status gizi juga dilakukan oleh Walsh et al (1998), menyimpulkan bahwa
dengan meningkatnya pengetahuan dan tindakan gizi terutama tentang hal gizi seimbang,
daya beli makanan, penyediaan makan dan gizi dalam daur kehidupan berdampak pada status
gizi anak. Penambahan konsumsi makanan lebih mempengaruhi indikator berat badan
menurut umur dan berat badan menurut tinggi badan.

2.8. Konsep Perilaku
Secara umum definisi perilaku adalah seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang
dalam melakukan respons terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan sebagai kebiasaan dalam
kehidupannya sebagai hasil dari nilai atau norma yang diyakininya (Mubarak, 2011).
Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005) adalah seorang psikolog pendidikan
membagi perilaku dalam 3 domain: kognitif, afektif dan psikomotor. Pembagian ranah
ditujukan untuk kepentingan pendidikan, karena dalam suatu pendidikan tujuannya adalah
untuk mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut. Selanjutnya
Bloom mengukur tingkat pengetahuan berdasarkan 6 tahapan yaitu; tahu (know), memahami
(comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesi (synthesis) dan evaluasi
(evaluation).

Sedangkan menurut Sarwono (2007), perubahan perilaku yang diharapkan dengan
pendidikan kesehatan akan memakan waktu yang cukup lama. Akan tetapi perubahan yang
dicapai akan lebih menetap dan abadi karena individu merasakan sendiri dari berperilaku
sehat. Karena menurut Mubarak (2007), perubahan perilaku yang dilandaskan atas
pengetahuan akan lebih sustain daripada perilaku yang tidak berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki
Sedangkan menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2005), perilaku merupakan
hasil hubungan antara respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Dengan kata lain perilaku manusia terjadi melalui proses adanya Stimulus yang diberikan
kepada Organisme dan kemudian memunculkan Respons. Menurut teori ini yang dikenal teori
“S-O-R”, perilaku manusia dikelompokkan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (Covert
behaviour) dan perilaku terbuka (Overt behaviour). Perilaku tertutup terjadi apabila respons
terhadap stimulus belum dapat diamati orang lain secara jelas. Sebaliknya perilaku terbuka
jika respons terhadap stimulus sudah berupa tindakan atau praktik. Perilaku tidak sama
dengan sikap, karena sikap hanya menunjukkan kecendrungan seseorang untuk melakukan
tindakan dengan cara menunjukkan rasa suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju terhadap
suatu objek. Sikap hanya sebagian dari perilaku manusia (Notoatmodjo, 2005). Selanjutnya
Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI (2009), menyimpulkan bahwa perilaku merupakan
sasaran intervensi pada tiga domain yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan
tindakan (practice). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku merupakan segala
sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam menanggapi stimulus lingkungan meliputi
aktivitas motoris, emosional dan kognitif.

2.8.1. Perilaku Kesehatan dan Gizi
Ada bermacam-macam bentuk perilaku yang dilakukan manusia dalam menanggapi
stimulus yang diterimanya termasuk didalamnya perilaku kesehatan. Notoadmodjo (2005)
membagi perilaku kesehatan menjadi dua, yakni:
1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat atau disebut dengan perilaku
sehat (healthy behavior), yang mencakup perilaku terbuka dan tertutup dalam mencegah
penyakit dan penyebab penyakit, dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya
kesehatan seperti: makan dengan gizi seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak
meminum minuman keras, mencuci tangan sebelum makan dan sebagainya. Perilaku sehat
termasuk juga ketika ibu membawa anak ke posyandu untuk ditimbang.
2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan untuk memperoleh
kesembuhan atau pemecahan masalah kesehatan. Perilaku ini disebut dengan perilaku
mencari pelayanan kesehatan (health seeking behavior), termasuk juga mecari kesembuhan
ke fasilitas tradisional seperti berobat ke sinshe, dukun hingga pengobatan modern atau
profesional seperti rumah sakit, puskesmas dan sebagainya.
Sedangkan Perilaku Gizi adalah tindakan yang lebih cendrung melakukan praktik
pengolahan makanan dan pemberian makanan seseorang atau dari ibu ke anak untuk
mencapai status gizi yang optimal. Menurut Powers, et.al (2005), keluarga, teman sebaya,
media dan lingkungan sangat mempengaruhi perilaku kesehatan khususnya pola makan anakanak. Untuk merubah pola makan, melakukan pendidikan gizi merupakan cara awal yang
efektif, akan tetapi pendidik harus memahami tujuan pendidikan gizi dan teori yang
mendukung program pendidikan gizi tersebut.

2.8.2. Pengukuran dan Indikator Perilaku Kesehatan
Seperti diketahui bahwa perilaku manusia dapat diukur melalui 3 domain yaitu
Pengetahuan, Sikap dan Tindakan.

Maka untuk mengetahui perubahan perilaku juga

mengacu pada 3 domain tersebut (Notoatmodjo, 2005).
a) Pengetahuan kesehatan diukur dengan menanyakan pengetahuan seseorang tentang hal
yang mencakup cara-cara memelihara kesehatan seperti pengetahuan tentang penyakit
menular dan tidak menular, faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, fasilitas
kesehatan dan pengetahuan tentang cara menghindari kecelakaaan atau masalah
kesehatan. Maka untuk mengukur pengetahuan kesehatan adalah dengan mengajukan
beberapa pertanyaan dengan tehnik wawancara atau dengan menyebarkan angket.
Indikatornya adalah tingkat persentase variable pengetahuan atau besarnya persentase
kelompok masyarakat yang tahu tentang variabel yang ditanyakan kepada responsden.
b) Sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian responden terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kesehatan yang mencakup 4 variabel yaitu ; sikap terhadap penyakit
menular dan tidak menular,sikap terhadap faktor-faktor yang terkait atau mempengaruhi
kesehatan, sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional. Pengukuran
sikap seseorang terhadap kesehatan dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Pengukuran langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang stimulus
atau objek. Atau dapat juga dengan menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju”
terhadap pernyataan tentang objek tersebut. Pengukuran tidak langsung dapat
mengajukan pertanyaan sbb; apabila ibu diundang ke posyandu untuk mendengar
penyuluhan tentang kesehatan ibu hamil, apakah ibu akan hadir ? atau seandainya di desa
ini dibangun pos penimbangan, apakah ibu akan menimbang anak ibu secara rutin ?, dan
sebagainya.

c) Praktik kesehatan atau tindakan untuk hidup sehat adalah segala sesuatu yang dilakukan
orang dalam rangka mencapai hidup sehat. Sama halnya dengan pengetauan dan sikap,
pengukuran terhadap tindakan kesehatan juga mencakaup 4 faktor diatas. Dan untuk
mengukur atau mengamati perilaku dapat dilakukan dengan dua cara: langsung dan tidak
langsung. Pengukuran perilaku yang paling baik adalah dengan mengamati langsung
praktik yang dilakukan responden dalam rangka mencapai kesehatan seperti mengamati
jenis makanan yang diberikan ibu kepada bayi. Sedangkan secara tidak langsung dapat
dilakukan dengan melakukan pengingat kembali (recall).

2.9. Pola Makan Bayi
Pola makan adalah gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang
dimakan setiap hari oleh satu orang dan dapat dijadikan ciri khas suatu kelompok masyarakat.
Sedangkan pola makan bayi adalah gambaran dari macam, tekstur, jumlah bahan makanan
dan frekwensi makan anak untuk memenuhi kecukupan gizinya setiap hari.
Tujuan dari pemberian makanan kepada bayi adalah untuk mencukupkan kebutuhan
gizi bayi agar dapat memelihara kesehatan dan apabila bayi sakit kondisi tubuhnya cepat
pulih

agar dapat melaksanakan aktivitas, menjaga pertumbuhan dan perkembangan fisik

serta psikometrik. Agar bayi tetap dalam kondisi sehat dan tidak kekurangan gizi, makanan
bayi harus memenuhi persyaratan sbb;
1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan tersedia
dan selera terhadap makanan
3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi dan keadaan
faali bayi
4. Memperhatikan kebersihan makanan, perorangan dan lingkungan

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan utama dan pertama bayi yang paling baik dan
cocok dalam segala hal. Baik kandungan gizi dan kwalitas zat gizi yang terkandung dalam
ASI sangat sesuai buat bayi. Karbohidrat yang terkandung dalam ASI berupa Laktosa,
vitamin dan mineral banyak serta perbandingan antara kalsium-fosfat juga ideal untuk
penyerapan kalsium yaitu 2 : 1. Dan yang paling utama adalah ASI mengandung zat anti
infeksi yang dikenal dengan Kolustrum. Kandungan kolustrum

dalam ASI bervariasi

tergantung waktu setelah melahirkan. Pada 10 jam pertama volume kolustrum hanya sekitar
10 – 100 cc dalam sehari. Tetapi pada 20 jam kemudian meningkat secara bertahap sehingga
mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi baru lahir ( Sri Adiningsih, 2010). Pada usia satu
tahun pertama, produksi ASI mencapai 400-700 ml/24 jam, tahun kedua 200-400 ml/24 jam
dan tahun ketiga hanya sekitar 200 ml/24 jam (Soetjiningsih,1997). Setiap 100 ml ASI
mengandung 62 Kalori, 1,5 gram Protein, 3,3 gram Lemak dan 7 gram Karbohidrat.
Sedangkan kebutuhan bayi 0-6 bulan adalah 550 Kalori dan 6-12 bulan 650 Kalori
(Barasi,2007). Angka kecukupan gizi bayi lihat pada table.
Tabel 2.2. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Orang Indonesia
N
o

Kel.
BB
TB Energi Protein Vit. A Kalsiu Besi Sen
Umur
(kg) (cm) (kkal)
(g)
(RE) m (mg) (mg)
g
(bulan)
(mg)
1
0-6
6
60
550
10
375
200
0,5
1,3
2
7-12
8,5
71
650
16
400
400
7
7,5
3
13-36
12
90
1000
25
400
500
8
8,2
Sumber : Keputusan Menkes RI No.1593/MENKES/SK/XI/2005
Data Riskesdas 2010 melaporkan bahwa 74,7% ibu memberikan semua kolustrum
yang keluar pada empat hari pertama dan 8,4% ibu tidak memberikan atau membuang
kolustrumnya (Balitbangkes, 2010). Sementara ibu menyusui eksklusif masih rendah, dan
pemberian ASI Ekslusif juga tidak sampai 6 bulan. Pada kelompok umur 0 bulan (0-29 hari)
hanya 39,8% ibu yang memberikan ASI eksklusif dan menurun pada kelompok umur 5 bulan

yaitu hanya 15,3%. Mengingat ASI sangat penting maka yang paling diutamakan adalah
memberikan ASI sebelum makanan pendamping ASI diberikan pada usia 0-6 bulan.
2.9.1. Makanan Pendamping ASI
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan peralihan dari ASI ke
makanan keluarga. Pengenalan makanan pendamping ASI kepada anak harus dilakukan
secara bertahap guna menghindari penyakit pada bagian pencernaan. Umumnya makanan
ini diberikan pada usia 6-24 bulan atau selepas masa pemberian ASI Eksklusif (Depkes RI
2006). Makanan pendamping ASI awalnya hanya merupakan makanan tambahan, karena
yang menjadi makanan pokok adalah ASI. Namun lama-kelamaan akan berjalan sebaliknya
dimana makanan tambahan tersebut menjadi makanan pokok dan ASI sebagai makanan
tambahan (Adiningsih 2010). Jika makanan tambahan tersebut terlambat diberikan akan
berbahaya bagi bayi, karena; 1). Energi yang dibutuhkan bayi tidak sesuai dengan energi yang
dikonsumsi, 2).Bayi akan lambat pertumbuhannya, bahkan akan terhenti,3).Bayi akan
mengalami resiko kekurangan zat besi.
Kwalitas makanan pendamping ASI sangat menentukan pertumbuhan bayi terutama
panjang badan bayi. Hasil Studi epidemiologi tentang intervensi pemberian MP-ASI selama 3
bulan oleh Sunaryo (2004), melaporkan bahwa dengan penambahan L-glutamin pada MP-ASI
memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap profil imunitas seluler dan berpengaruh terhadap
panjang badan bayi. Dibandingkan dengan kelompok yang tidak memberi MP-ASI tanpa Lglutamin, 3,8 kali lebih besar pada kelomnpok anak yang mendapat makanan dengan
penambahan L-glutamin pada MP-ASI.
2.9.2. Tahapan Pemberian Makanan Pendamping ASI
Makanan pendamping ASI harus diberikan secara bertahap menurut usia, mulai dari
makanan bertekstur lunak; diawali dari bubur susu ke bubur saring. Demikian jenis dan
frekuensi harus diperhatikan tahapannya (Soekirman, et.al.2010). Ketika makanan pendaming

ASI atau makanan tambahan (complementary food) khusus diberikan untuk memenuhi
kebutuhan gizi dan fisiologi si anak, pola makan ini disebut sebagai makanan transisi (WHO,
1998).
a) Usia 0-6 bulan.
Makanan yang paling cocok pada usia 0-6 bulan adalah hanya Air Susu Ibu (ASI).
Selain ASI, makanan pendamping ASI apa saja belum mampu untuk dicerna. Akan
tetapi jika ibu mengalami masalah dalam pemberian ASI, bayi dapat diberikan susu
formula.
b) Usia 6-7 bulan
Pada usia ini bentuk makanan yang diberikan adalah bertekstur semi cair
seperti bubur susu encer. Bahkan seandainya memungkinkan cairan yang digunakan
untuk campuran makanan adalah Air Susu Ibu. Jenis buah yang diberikan adalah
pisang, tomat, pepaya, sari buah jeruk dan apel serta daun sayuran yang lembut seperti
bayam. Telur, daging dan ikan belum dapat diberikan karena belum dapat dicerna.
Jumlah dan frekwensi diberikan secara bertahap mulai dari 1-2 sendok makan
kemudian tambahkan hingga 6-7 sendok setiap kali makan sebanyak tiga kali dalam
sehari; pagi, siang dan sore. Jika diberikan dalam gelas ukurannya 2/3 gelas ukuran
250 cc setiap kali pemberian (Depkes RI, 2009).
c) Usia 8-9 bulan
Tekstur Makanan Pendamping ASI pada usia ini adalah lunak atau lembut
seperti bubur susu, labu kuning, kentang. Makanan dasar ini dapat diberikan tunggal
atau dicampur. Jenis makanan yang mudah larut seperti biskuit sudah dapat diberikan.
Pada saat memasuki usia 9 bulan, anak sudah dapat diberikan ikan laut tanpa duri,
tempe dan tahu. Telur diperkenalkan sedikit demi sedikit. Sari kacang ijo, puding susu
juga sudah dapat diperkenalkan. Diberikan 2-3 kali sehari dimulai dari 3 - 4

sendok hingga 8-9 sendok makan setiap kali makan atau sekitar 2/3 gelas ukuran 250
cc. Jenis makanan diberikan beragam demikian juga cita rasanya, agar anak terbiasa
dengan berbagai rasa. Akan tetapi usahakan untuk tidak memberikan gula pasir dan
garam untuk rasa asin hingga usia 12 bulan.
d) Usia 10-12 bulan
Pada usia ini si bayi sudah dapat diberikan bubur, nasi tim dicampur dengan
hati ayam, daging sapi yang dicincang agar mudah dicerna. Pada saat memasuki usia
12 bulan anak sudah dapat diperkenalkan makan keluarga. Berikan makanan selingan
diantara frekwensi makan sebanyak 3-4 kali sehari. Bentuk makan selingan berupa
bubur kacan ijo, biskuit, sari buah-buahan.
e) Usia 12-24 bulan (1-2 tahun)
Selain ASI yang masih tetap diberikan sesuka hati, berikan makanan keluarga.
Nasi sudah dapat diberikan beserta sayuran dengan menu gizi seimbang. Pola makan
anak mengikuti pola makan keluarga seperti serapan pagi, makan siang dan makan
malam dan diselingi dengan makanan selingan.
Disamping menurut usia, jenis makanan yang diberikan juga menurut tesktur dan
jenis:
a. Jenis bahan makanan lain selain ASI yang diberikan kepada bayi adalah daun sayuran
yang lembut, seperti daun bayam, daun kangkung, dihaluskan dan ditambah air susu
atau ASI. Sedangkan jenis bubur yang pertama kali diberikan adalah bubur tepung
beras merah yang dicampur susu. Tekstur bubur harus sangat halus dan licin, dan
secara perlahan tekstur lebih keras.
b. Tim saring halus diberikan setelah anak memasuki usia 8 bulan, kemudian pada usia
10 bulan teksturnya semakin kasar.

c. Jenis makanan selanjutnya yang diperkenalkan satu per satu dan pada satu waktu
makan dan dalam jumlah yang kecil. Makanan yang sudah diperkenalkan tetap
diberikan agar rasa yang sudah diperkenalkan tetap dirasakan bayi
d. Jika bayi tidak dapat menoleransi makanan yang diberikan atau menimbulkan reaksi
alergi, maka sebaiknya makanan tersebut tidak diberikan untuk sementara, cobakan
lagi setelah anak berumur diatas 1 tahun. Misalnya telur sering menimbulkan alergi,
makan bayi perlu diamati setelah mengkonsumsi telur. Sebaiknya telur diberikan
ketika anak berusia diatas 8 bulan.
Jenis Sari buah yang diberikan harus yang rendah serat dan tidak merangsang seperti
tomat, sari jeruk manis.
e. Sayuran yang diberikan juga diawali dari jenis yang daunnya lembut. Dan untuk
memenuhi kandungan zat besi dan vitamin A, berikan wortel dan daun bayam.
Bayi sebaiknya disuapi menggunakan sendok sedikit demi sedikit. Dibutuhkan waktu
beberapa hari bagi bayi untuk menyukai makanan barunya. Setelah bayi terbiasa, jumlah
suapannya ditambah sedikit demi sedikit sambil diperkenalkan makanan yang lain. Kira-kira
dua minggu, bayi biasanya sudah terbiasa dengan makanan baru.
Untuk jenis makanan dari bahan kacang-kacangan seperti kedelai,kacang hijau dan kacang
merah, sebaiknya diberikan dalam bentuk campuran dengan bubur dalam bentuk halus, bila
perlu disaring agar tidak ada kacang

yang masih kasar termakan. Tahapan pemberian

makanan bagi anak umur 0-24 bulan dapat dilihat pada bagian belakang KMS atau pada
Modul Pendidikan Gizi di lampiran 2.
2.10. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sudah berjalan sejak tahun 19

Dokumen yang terkait

Analisis Penentuan Sektor Unggulan Perkonomian Wilayah Kabupaten Deli Serdang dengan Pendekatan Sektor Pembentuk PDRB

4 70 129

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak Usia 36-59 Bulan Pada Keluarga Peserta Dan Bukan Peserta Bina Keluarga Balita (BKB) Di Desa Tulaan Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2009

0 38 110

Pola Asuh Dan Status Gizi Anak Usia 0-36 Bulan Di Desa Kutambaru Kecamatan Kutambaru Kabupaten Langkat Tahun 2010

1 31 90

KONTRIBUSI PEMBERIAN ASI, USIA PERNIKAHAN, JENJANG PENDIDIKAN IBU, TERHADAP NILAI GIZI BALITA USIA 0 SAMPAI 24 BULAN DI DESA TANGKIL, KECAMATAN SRAGEN, KABUPATEN SRAGEN

0 11 102

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 1 17

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 2

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 19

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 8

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 52

HUBUNGAN PERILAKU IBU DALAM MENGASUH ANAK DENGAN STATUS GIZI PADA ANAK BALITA USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MINGGIR KABUPATEN SLEMAN NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Perilaku Ibu dalam Mengasuh Anak dengan Status Gizi pada Anak Balita Usia 6-24 Bu

1 0 15