Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pertumbuhan merupakan salah satu indikator sensitif kesehatan anak, status gizi dan

latar belakang genetiknya. Penyimpangan dari pertumbuhan rata-rata tinggi badan dan berat
badan pada anak usia satu tahun pertama dapat menunjukkan adanya masalah kesehatan yang
sering disebut dengan gagal tumbuh atau failure to thrive. Penyebabnya bermacam-macam,
seperti anak tidak mendapat makanan yang cukup dan bergizi, masalah gangguan kesehatan
seperti sulit menelan, alat pencernaan atau usus tidak sempurna (mengecil), lingkungan yang
kurang bersih, dan masalah sosial ekonomi (Zamani, 2005).
Pertumbuhan dan perkembangan anak adalah masalah kesehatan masyarakat yang
sangat penting untuk selalu diperhatikan sejak dini. Beberapa hasil penelitian menemukan
bahwa gangguan pertumbuhan sering terjadi setelah anak berusia enam bulan atau setelah
anak mendapat makanan tambahan selain air susu ibu (ASI). Shrimpton et.al. (2001) dalam
laporannya tentang Database Global World Health Organization dari 39 negara sedang
berkembang di tiga benua, yaitu Asia, Amerika dan Afrika, menyimpulkan bahwa kegagalan
pertumbuhan anak sudah terjadi sejak anak berusia tiga bulan dan terus berlangsung hingga

usia 12 bulan. Kegagalan pertumbuhan mulai agak melambat ketika anak memasuki usia 18
bulan dan setelah itu pola pertumbuhan anak mulai mengikuti catch-up pattern atau pola
pertumbuhan cepat. Penyebabnya adalah

ibu

tidak

memberikan ASI-ekslusif

dan

memperkenalkan makanan yang tidak sesuai dengan kondisi pencernaan atau pada usia anak.
Hasil temuan ini menyarankan bahwa intervensi selama janin dalam kandungan hingga usia
bayi adalah sangat penting karena pada masa ini sangat memungkinkan untuk mencegah
terjadinya kegagalan pertumbuhan.

Penelitian yang dilakukan oleh Riviera, et.al. (1997) menyimpulkan bahwa gangguan
pertumbuhan dapat terjadi pada semua tahapan usia anak balita, tetapi lebih besar
kemungkinannya pada usia 0-12 bulan. Penelitian mereka di Guatemala menunjukkan

sebanyak 19-34% anak sudah mengalami gangguan pertumbuhan pada usia tiga bulan
pertama kehidupannya. Sedangkan yang paling bermasalah adalah ketika anak memasuki usia
9-12 bulan karena sekitar 40-80% pada usia ini mengalami gangguan pertumbuhan. Pada usia
tiga sampai enam bulan yang mengalami gangguan pertumbuhan hanya sebanyak 12-19%,
dan pada usia 6-9 bulan sebanyak 12-25%.
Dampak dari gangguan pertumbuhan pada usia dini dapat mempengaruhi tingkat
intelegensia. Emond, et.al. (2007) dalam penelitiannya di Inggris menyimpulkan bahwa
kenaikan berat badan yang tidak memenuhi kenaikan berat badan minimal selama sembilan
bulan pertama akan berdampak pada rendahnya intelligence qoutient (IQ) anak ketika
memasuki usia sekolah.
Di Indonesia, masalah gagal tumbuh kembang merupakan masalah serius. Hal ini
dibuktikan oleh data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010 yang menunjukkan
prevalensi gizi buruk dan kurang pada Balita masing-masing sebesar 4,9% dan 13,0%
(Kemenkes, 2010). Sementara itu data Riskesdas tahun 2007 menampilkan data status gizi
secara lebih rinci yaitu bayi usia 0-5 bulan ditemukan 11,3 % dan 10,1 % prevalensi gizi
buruk dan kurang. Pada 6 bulan berikutnya yaitu 11-12 bulan, prevalensi gizi kurang dan
buruk mulai menurun menjadi 9,9% (Kemenkes RI, 2008). Data ini menunjukkan bahwa
pola kegagalan pertumbuhan pada anak-anak di Indonesia juga mengikuti pola seperti yang
terjadi pada negara sedang berkembang lainnya di dunia.
Hasil temuan tentang pertumbuhan anak yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai

negara seperti yang diuraikan di atas dapat dijadikan suatu peringatan bahwa ketika anak akan
memasuki usia 3-4 bulan, sudah seharusnya dilakukan upaya pencegahan agar anak tidak

mengalami gangguan pertumbuhan (Shrimpton et.al. 2001). Di Indonesia, upaya pencegahan
anak kurang gizi masuk dalam Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009, dimana pada pasal
142 ayat 1 berbunyi bahwa upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan
dengan prioritas pada usia bayi dan balita (Widjono, 2011). Salah satu caranya adalah dengan
melakukan pemantauan pertumbuhan menggunakan Kartu Menuju Sehat atau yang disingkat
dengan KMS (Griffiths, et.al. 1996).
Melakukan pemantuan pertumbuhan secara rutin, selain dapat menentukan pola
normal pertumbuhan anak, juga dapat mengetahui permasalahan dan faktor yang
mempengaruhi dan mengganggu pertumbuhan anak sejak dini. Bila gangguan pertumbuhan
diketahui secara dini, maka pencegahan dan penanganan gangguan pertumbuhan tersebut
dapat diatasi sejak dini (Morley, 1979 & WHO, 1995). Menurut Griffiths, et.al. (1996)
kegiatan pemantauan pertumbuhan sudah merupakan kegiatan sentral dari suksesnya proyek
gizi masyarakat karena dapat meningkatkan kesadaran dan memotivasi ibu untuk melakukan
kegiatan perbaikan gizi. Salah satu cara untuk membuat terlihatnya dampak dari aksi
pencegahan kurang gizi dan perbaikan gizi keluarga adalah dengan membuat grafik berat
badan setiap bulan, karena naik atau turunnya berat badan (BB) anak dapat digunakan untuk
mendorong ibu melakukan praktek positif, memotivasi perubahan, memberi penghargaan dan

melakukan perilaku kesehatan yang baru, akan tetapi jika hasil pemantauan pertumbuhan
tidak digunakan sebagai data dasar untuk melakukan tindakan dan mengambil keputusan
maka program pemantauan menjadi tidak berguna.
Morley adalah orang yang pertama kali memperkenalkan penggunaan grafik tumbuh
kembang fisik anak sebagai alat untuk memantau secara longitudinal kecukupan gizi anak.
Grafik ini kemudian dikembangkan oleh pakar kesehatan anak, Jellife dan diberi nama “Road
To Health” atau KMS (Wijono, 2011). Pengakuan terhadap pentingnya KMS juga
dikemukakan oleh World Health Organization (WHO) dan United Nation for Children and

Education Fund (UNICEF). Dua lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) ini sangat menganjurkan penggunaan KMS karena dengan melakukan pemantauan
pertumbuhan, keggalan pertumbuhan dapat dideteksi secara dini dan memberikan waktu yang
tepat bagi keluarga dan petugas kesehatan untuk melakukan intervensi secara berulang-ulang
dan mencegah terjadinya masalah yang lebih buruk (Oswari, 1995).
Kartu Menuju Sehat sudah tidak asing lagi dalam dunia kesehatan anak. Para ahli
kesehatan anak mengakui bahwa KMS merupakan alat yang sangat baik dan sederhana untuk
mamantau pertumbuhan anak. Program promosi

pemantauan pertumbuhan (growth and


monitoring promotion) sudah diakui di dunia sebagai salah satu elemen penting dalam strategi
keberlangsungan hidup anak dan perawatan kesehatan dasar (Adenike, 2010). Namun dalam
penggunaan KMS di berbagai tempat di dunia, ditemukan banyak permasalahan terutama
dalam menginterpretasi hasil penimbangan. Penelitian yang dilakukan oleh Ben-Joseph, et.al.
(2009) pada 1000 orang tua balita di Amerika menyimpulkan bahwa walaupun hampir 80%
orang tua pernah melihat KMS anak tetapi sebagian besar (77%) dari mereka masih sulit
untuk memahami arti data yang terdapat pada grafik KMS. Penelitian yang hampir sama juga
dilakukan oleh Roberfroid, et.al. (2007). Mereka mengevaluasi pemahaman ibu-ibu terhadap
KMS. Dengan menelaah 20 hasil penelitian dari negara Asia, Africa dan Amerika Latin,
mereka menyimpulkan bahwa 30-75%

ibu-ibu di Negara-negara tersebut masih rendah

pengetahuannya dalam menginterpretasikan data yang terdapat KMS anak.
Untuk meningkatkan pemahaman orang tua terhadap data dan grafik pertumbuhan
pada KMS, WHO menyarankan agar orang tua dilibatkan dalam menentukan titik BB anak
pada KMS serta mendesain ulang KMS agar lebih mudah dipahami dan digunakan di rumah.
Menurut WHO dan Tversky & Morrison dalam Ben-Joseph (2009), KMS sebaiknya tidak
hanya berisi grafik image tetapi juga perlu ada penjelasan untuk memudahkan orang tua
memahami data pada KMS. Penjelasan tentang tindakan apa dan kapan harus dilakukan orang


tua jika berat badannya turun atau mengalami gangguan pertumbuhan perlu ditampilkan pada
KMS, agar mereka tidak terlambat untuk melakukan dan meminta pertolongan.
Masalah tentang rendahnya pengetahuan orang tua membaca data di KMS dan
penggunaan KMS sebagai alat untuk memantau pertumbuhan anak juga terjadi di Indonesia,
tetapi penelitian khusus untuk mengetahui tingkat pemahaman orang tua terhadap data di
KMS masih jarang dilakukan. Hasil Riskesdas 2007 di Indonesia menemukan bahwa hanya
23,3% ibu yang memiliki KMS, 41,7% memiliki tetapi KMS dititip kepada kader dan sisanya
(35,0% ), ibu tidak memiliki KMS. Sementara data Riskesdas 2007 untuk Provinsi Sumatera
Utara menerangkan hanya 17% ibu yang membawa KMS ke rumah, 32% tidak mempunyai
KMS, selebihnya 51% menitipkan KMS pada kader (Kemenkes RI, 2008). Data ini
menunjukkan bahwa baik kader maupun ibu balita sama-sama kurang memahami fungsi
KMS. Kader lebih mementingkan kelengkapan administrasi di Posyandu daripada
menggunakan KMS sebagai media untuk pendidikan kesehatan, karena dalam praktek
penggunaan KMS di Posyandu, ibu-ibu balita yang datang ke Posyandu hampir tidak pernah
mendapat penjelasan tentang status pertumbuhan anak menurut data KMS anak, padahal
kedatangan ibu ke posyandu ingin mendapatkan nasehat dari petugas kesehatan.
Dari hasil pengamatan penulis di lapangan, terdapat beberapa permasalahan lain yang
sering ditemukan dalam penggunaan KMS di Posyandu, yaitu 1) kader posyandu sering salah
menentukan titik berat badan (plotting) karena jarak antar garis terlalu rapat, 2) angka BB

anak ditulis pada titik BB sehingga titik BB anak tidak terlihat, 3) titik-titik BB tidak
dihubungkan, 4) penandaan titik BB pada grafik tidak konsisten, kadang menggunakan
bulatan hitam (•) dan kadang menggunakan tanda silang (x), 5) KMS disimpan oleh kader
Posyandu, 6) ibu lupa membawa KMS atau KMS hilang karena tempat penyimpanan KMS
dirumah tidak pada satu tempat, 7) kader tidak memberikan konseling/nasehat kepada ibu
dengan alasan tidak mengerti menerjemahkan grafik naik turun BB pada KMS karena tidak

ada panduan, dan 8) jenis KMS yang digunakan masih bervariasi bahkan masih ditemukan
KMS perusahaan makanan/susu formula dan KMS fotocopy. Temuan penulis di atas juga
didukung oleh Widjono (2001) yang mengatakan bahwa di Indonesia KMS lebih sering
digunakan sebagai alat kelengkapan administrasi daripada sebagai media pendidikan seperti
yang diharapkan oleh para ahli gizi masyarakat dan pakar kesehatan anak.
Permasalahan seperti yang kemukakan di atas membuat penulis menciptakan KMS
modifikasi yang diberi nama KMS Bubble Nilai. KMS Bubble Nilai adalah KMS hasil
modifikasi dari KMS WHO-2005 yang penggunaannya diresmikan oleh WHO pada bulan
April 2006. KMS WHO-2005 adalah karena memeliki beberapa kelebihan diantaranya
membedakan jenis kelamin, garis kurva menunjukkan pertumbuhan anak yang seharusnya,
sampel yang dipilih untuk menghasilkan KMS WHO-2005 ini adalah dari 8440 anak sehat
dan mendapat ASI Ekslusif, ibu yang tidak merokok dan tinggal dalam lingkungan yang
bersih yang berasal dari enam negara mewakili negara-negara di dunia; USA, Brazil, Ghana,

India, Norwegia dan Oman. Selain kelebihan dari segi keterwakilan sampel dan lamanya
pelaksanaan survei untuk menghasilkan KMS-WHO 2005, komponen-komponen yang
membentuk grafik KMS WHO-2005 juga memiliki makna spesifik yang tidak dimiliki KMS
sebelumnya seperti; kurva pertumbuhan yang menunjukkan grafik pertumbuhan seorang anak
harus tumbuh, pita-pita warna; warna kuning, hijau, hijau mudah dan garis merah,
menunjukan batas-batas status BB dan status gizi, penyajian kenaikan berat badan minimal
(KBM) yang menunjukkan target minimal kenaikan berat badan yang harus dicapai yang
tidak pernah terdapat pada KMS sebelumnya.
Observasi yang dilakukan penulis terhadap pengisian data pada KMS WHO 2005
masih sama dengan KMS sebelumnya, yaitu kader masih menuliskan BB anak pada grafik,
pembuatan titik BB tidak konsisten, sering lupa menghubungkan titik BB dan tidak adanya
konseling dari petugas kepada ibu balita. Minimnya kegiatan sosialisasi tentang cara

menggunakan KMS WHO-2005 menyebabkan banyak ibu balita yang tidak memahami
fungsi KMS karena mereka tidak pernah mendapat pendidikan/penyuluhan gizi dan tidak
dilibatkan untuk mengisi KMS seperti membuat titik BB dan grafik BB. Padahal, menurut
Griffiths (1996) dan WHO (1996), kunci sukses dari program pemantauan pertumbuhan
adalah pelibatan ibu dalam pengisian KMS dan pemberian nasehat oleh petugas kesehatan
tentang tindakan apa yang harus dilakukan ibu setelah mengetahui hasil penimbangan BB
anak. Penempatan lembaran KMS WHO-200 pada lembaran bagian belakang buku kesehatan

ibu dan anak (buku-KIA) juga membuat ibu menjadi jarang membuka atau melihat data KMS
anak. Hasil penelitian Ernoviana, et al. (2006) tentang penggunaan buku KIA menyimpulkan
bahwa walaupun distribusi buku KIA mencapai 90% tetapi pemanfaatan buku KIA sebagai
media pencatatan kesehatan ibu hanya sekitar 20%, artinya keberadaan KMS WHO-2005
yang terdapat pada buku KIA pasti kurang dimanfaatkan secara maksimal untuk media
pendidikan gizi bagi ibu.
Mempertimbangkan masih rendahnya pemahaman orang tua di berbagai negara
khususnya di negara sedang berkembang terhadap data yang terdapat pada KMS dan saran
WHO yang mendorong untuk memodifikasi KMS, serta pengalaman negara Mexico dan India
dalam menggunakan KMS Bubble dan masih banyaknya permasalahan yang ditemukan
dalam penggunaan KMS di Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten
Deli Serdang, maka peneliti melakukan modifikasi terhadap penampilan dan komponen pada
KMS-WHO 2005. Bagian yang dimodifikasi tidak termasuk standar pertumbuhan karena itu
sudah baku. Pada bagian pojok kanan atas terdapat logo yaitu miniatur grafik pertumbuhan
dan gambar tahapan perkembangan motorik anak yang diakses dari website WHO kemudian
penulis memodifikasi dengan gambar seakan-akan anak ingin menggapai nilai 10, pada
bagian tengah atas terdapat mottto yang bertuliskan “ Anak Sehat Bertambah Umur,
Bertambah Berat Badan dan Mendapat Nilai 10”, kemudia pada bagian grafik garis vertikal

yang menunjukkan berat badan diganti dengan bulatan-bulatan kosong (bubble), dimana

setiap satu bulatan bernilai 100 gram. Pada bagian kanan KMS ditampilkan angka 5, 6, 7, 8
dan 10 dimana angka-angka tersebut untuk menunjukkan nilai berat badan berdasarkan posisi
pita warna dan status berat badan. Pada bagian belakang KMS terdapat penjelasan tentang
cara menerjemahkan nilai dan bentuk tindakan sesuai dengan status berat badan anak serta
panduan tahapan pemberian makanan usia 0-12 bulan. Pada bagian pojok bawah kanan
terdapat tabel perkembangan motorik anak umur 0-24 bulan dan pojok kiri baha terdapat syair
lagu (jingle) berjudul “Mari Belajar KMS Nilai”.
Kemudian berdasarkan klasifikasi pita warna dan status berat badan seperti yang
diuraikan dalam buku modul tentang cara interpretasi pertumbuhan yang diterbitkan oleh
Direktorat Bina Gizi Dirjen Binkesmas 2011, penulis mengklasifikasikan arti dari nilai 5-10
sebagai berikut : nilai 5 bagian atas = Berat Badan Sangat Lebih (absolutely overweight) dan
nilai 5 bagian bawah = Berat Badan Sangat Kurang (absolutly less weight), nilai 6 bagian
atas = Berat Badan Lebih (overweight) dan nilai 6 bagian bawah = Berat Badan Kurang (less
weight), nilai 7 = Berat Badan Sedang (less normal weight), Nilai 8 atas dan bawah = Berat
Badan Normal (normal weight) dan Nilai 10 = Berat Badan Sangat Normal (absolutely
normal weight). Dalam praktek penggunaan KMS Bubble Nilai, ibu-ibu dianjurkan untuk
menentukan titik berat badan dan menggambarkan grafik pertumbuhan anak. Penyimpanan
KMS juga ditentukan disatu tempat pada dinding kamar agar grafik pertumbuhan anak dapat
terlihat setiap saat dan KMS tidak mudah hilang.
Alasan penulis menggunakan nilai adalah karena nilai 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 sudah umum

dikenal oleh masyarakat untuk menilai prestasi. Masyarakat khususnya ibu-ibu pasti
memahami bahwa jikan nilai 5 sama dengan jelek, nilai 6 masih sedang dan nilai 10 sangat
baik. Saat ini ada fenomena yang sedang terjadi di masyarakat dimana orang tua sangat
senang jika anaknya mendapat nilai atau skor tinggi dan sebaliknya jika anak mendapat nilai

rendah orang tua kecewa dan akan melakukan segala upaya agar anaknya mendapat nilai baik
dan berprestasi. Dengan latar belakang pendidikan ibu-ibu di Indonesia yang mayoritas
tammat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) akan lebih
mudah dan cepat memahami arti dari angka tersebut.
Penggunaan nilai dalam bidang kesehatan sudah tidak asing lagi. Beberapa jurnal
penelitian tentang manfaat menyajikan informasi risiko kepada pasien, menyimpulkan bahwa
dengan menyajikan informasi risiko dapat meningkatkan pengertian pasien tentang risiko
yang dialami sehingga dapat membantu mereka untuk mengambil keputusan atau tindakan
kesehatan yang harus dilakukan. Fargelin (2007) mengatakan bahwa memahami angka dalam
mengomunikasikan status kesehatan adalah penting terutama untuk memahami arti tekstual
dan persepsi risiko yang terkandung di dalamnya. Schapira, et.al. (2010) juga mengatakan
bahwa interpretasi dan penggunaan angka dalam kesehatan mungkin berbeda-beda
berdasarkan budaya dan tempat tinggal. Akan tetapi, penggunaan angka sangat penting dalam
aplikasinya dengan keadaan kesehatan karena akan dapat merubah perilaku kesehatan.
Sedangkan penggunaan bubble atau bulatan-bulatan kosong untuk memudahkan ibu
dan kader menentukan titik berat badan anak dengan cara menebalkan bulatan dengan pulpen
dan menghindari bentuk lain sepeti tanda silang jarang. Ukuran KMS Bubble Nilai juga dua
kali lebih besar dari biasa tujuannya agar garis pertumbuhan tidak terlalu rapat dan grafik
pertumbuhan lebih jelas kelihatan.
KMS Bubble Nilai ditujukan untuk anak umur 0-24 bulan, dengan alasan karena pada
rentang usia tersebut merupakan masa keemasan (golden period) dimana status kesehatan
anak sangat menentukan status pertumbuhan dan kesehatan anak pada masa kehidupan
berikutnya. Jika pada usia tersebut anak menderita kurang gizi maka dipastikan anak akan
mengalami ganngguan kecerdasan dan produktifitas. Bahkan untuk meningkatkan perhatian
terhadap anak usia 0-24 bulan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI meluncurkan

program Gerakan Scaling Up Nutrition (SUN movement) dengan tujuan menurunkan masalah
gizi dengan sasaran 1000 hari pertama kehidupan (270 hari selama kehamilan dan anak usia
24 bulan). Alasan lain adalah bukti dari penelitian yang dilakukan oleh Julia M (2009) yang
bertujuan menilai implikasi dari penggunaan KMS WHO-2005 untuk anak-anak di Indonesia
menyimpulkan bahwa KMS WHO-2005 merupakan alat yang lebih baik untuk menilai status
gizi anak usia 0-24 bulan daripada KMS-NCHS.
Sedangkan alasan penggunaan jingle adalah untuk meningkatkan daya ingat ibu
tentang arti dari nilai berat badan anak pada KMS. Jingle tersebut akan dinyanyikan oleh ibuibu selama mengikuti pendidikan gizi, agar mereka dengan cepat memahami arti dari nilai
berat badan anak dan tidak merasa bosan mengikuti pendidikan gizi selama empat bulan.
Biasanya dengan menyanyikan jingle itu membuat orang menjadi merasa senang karena irama
dan musiknya gembira.
Beberapa tahun lalu Departemen Kesehatan (Depkes) RI sering menggunakan jingle
kepada masyarakat dalam kegiatan promosi program kesehatan ibu dan anak dan cara tersebut
sangat efektif karena hampir masyarakat Indonesia hafal syair lagu seperti Aku Anak Sehat,
Kurang Vitamin dan Ayo Ke Posyandu, namun beberapa tahun terkahir Depkes RI tidak
pernah lagi menggunakan jingle.
Kemudian bagian yang paling penting dan sangat dinginkan oleh ibu-ibu adalah
adanya penjelasan tentang cara menerjemahkan berat badan dan tahapan pemberian makanan
anak pada KMS. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut penulis menampilkan panduan cara
menerjemahkan status berat badan anak dan tahapan yang tepat makanan anak umur 0-12
bulan dan mencantumkannya pada bagian belakang KMS Bubble Nilai. Panduan tersebut
menjelaskan status BB anak dan tindakan yang harus dilakukan ibu sesuai status BB anak.
Apabila status BB anak tidak baik atau mendapat nilai 6 dan BB turun, ibu dapat melihat

kolom sesuai nilai BB anak dan membaca kolom tindakan apa yang akan dilakukan dan jenis
makanan apa yang cocok diberikan seuai usia anak.
Sebelum menggunakan KMS Bubble Nilai sebagai media utama dalam penelitian,
penulis melakukan uji coba terhadap 30 orang ibu balita dan kader Posyandu di Lubuk
Pakam. Hasil uji coba penggunaan KMS Bubble Nilai yang dilakukan pada bulan JuliNovember 2011 menyimpulkan 83,4% ibu sangat setuju dengan penampilan bulatan-bulatan
kosong untuk menggantikan garis vertikal yang fungsinya menunjukkan BB. Alasannya, itu
memudahkan kader Posyandu dan ibu balita untuk menentukan titik BB. Untuk pembuatan
nilai/skor 5, 6, 7, 8 dan 10 pada bagian kanan KMS, 33,4% ibu mengatakan sangat setuju,
60,0% ibu setuju dan hanya 6,6% yang tidak setuju dengan penggunaan nilai/skor untuk
menilai status BB anak. Kemudian untuk penyajian informasi yang terdapat pada bagian
belakang KMS Bubble Nilai seperti panduan cara menerjemahkan nilai dan bentuk tindakan
yang harus dilakukan ibu, tahapan pemberian makanan anak dan tahapan perkembangan
motorik anak, semua ibu (100%) mengatakan setuju tetapi untuk menyanyikan syair lagu,
16,7% ibu yang mengatakan tidak setuju. Sedangkan untuk ukuran KMS (ukuran A3), 23,4%
mengatakan sangat setuju dan 60,6% setuju, sisanya (16,7%), mengatakan tidak setuju dengan
alasan ukurannya terlalu besar sehingg sulit untuk membawa dan menyimpannya. Dari data
hasil uji coba tersebut penulis menyimpulkan bahwa mayoritas ibu-ibu lebih setuju dengan
KMS Bubble Nilai untuk digunakan dalam kegiatan penimbangan balita di Posyandu.
Namun, untuk menyimpulkan apakah KMS Bubble Nilai efektif untuk meningkatkan perilaku
gizi ibu dan pertumbuhan anak, itu masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu
penulis selanjutnya menggunakan KMS Bubble Nilai sebaga media utama dalam penelitian
yang berjudul “Pengaruh Penyuluhan Gizi menggunakan KMS Bubble Nilai dan Jingle
terhadap Perilaku Gizi Ibu dan Pertumbuhan Anak”.

Beberapa negara telah mengaplikasikan saran dari WHO untuk mendisain ulang KMS.
Mexico dan India telah mendesain ulang KMS mereka yang dikenal dengan KMS Bubble.
Penelitian tentang pengaruh penggunaan KMS bubble juga sudah pernah dilakukan oleh
Martinez et. al pada ibu-ibu di Meksiko. Hasil uji coba KMS Bubble dalam sebuah penelitian
yang dilakukan terhadap 85 orang ibu yang tinggal di daerah pedesaan Meksiko,
mengungkapkan bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu dan pemahaman data KMS anak setelah
menggunakan KMS Bubble menjadi meningkat secara bermakna. Delapan puluh satu persen
anak mengalami kenaikan BB, 12% anak mengalami penurunan BB dan 7% tidak mengalami
kenaikan BB yang bermakna. Penggunaan KMS Bubble meluas ke negara lain seperti India:
Gujarat, Maharashtra, Tamil Nadu dan Africa : Lesotho (Griffiths & Berg, 1988).
Hasil penelitian Martinez menyimpulkan bahwa dengan mendesain ulang KMS
menjadi KMS Bubble dapat merangsang ibu untuk lebih aktif memantau pertumbuhan anak.
Proses perubahan perilaku tersebut tentu berkaitan dengan teori perilaku seperti yang
dikemukakan oleh Skinner dalam Notoatmodjo (2005). Perilaku merupakan respons atau
reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan kata lain perilaku manusia
terjadi melalui proses terjadinya stimulus terhadap organisme, kemudian stimulus tersebut
menghasilkan respons. Dalam penelitian ini, stimulus adalah intervensi pendidikan gizi
tentang KMS Bubble Nilai kemudian responsnya adalah perilaku gizi dalam menggunakan
KMS Bubble Nilai dan dampaknya terhadap pertumbuhan pada anak.
KMS termasuk salah satu dari media promosi kesehatan, karena KMS menyajikan
berbagai informasi yang dapat memotivasi, membangkitkan minat atau tindakan atau instruksi
yang dapat digunakan sebagai media praktis dalam pendidikan gizi untuk merubah perilaku.
Mantra (1997) menyatakan bahwa dalam merubah perilaku atau tindakan dibutuhkan
rangsangan atau stimulus, salah satunya adalah dalam bentuk rangsangan untuk memiliki
perilaku bersaing. Bentuk tindakan yang diharapkan dari seorang ibu balita atau keluarga

yang sudah mengerti fungsi KMS adalah mempunyai pengetauan, sikap dan ketrampilan dan
niat untuk mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan, seperti menimbang anak denga rutin,
jika anak sakit ibu segera membawa anak berobat ke petugas kesehatan dan memperbaiki pola
asuh dan pemberian makan anak.
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri atau
suami-isteri dan anaknya atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Peran keluarga
khususnya ibu sangat besar dalam menjamin kesehatan anak. Salah satu area fungsi keluarga
dalam aspek Biologi adalah memberikan proteksi kepada anak selama masa pertumbuhan dan
memberikan makanan yang bergizi kepada seluruh anggota keluarga. Sedangkan dari aspek
pendidikan, orang tua harus menggunakan kemampuan pendidikannya untuk mempelajari
media komunikasi informasi edukasi (KIE) seperti leaflet dan poster kesehatan ibu dan anak
termasuk Kartu Menuju Sehat (Wijono, 2008). Dengan pernyataan ini, maka dalam penelitian
ini, peneliti menetapkan sasaran intervensi adalah ibu balita, tidak melalui petugas kesehatan
atau kader posyandu.
Lebih lanjut Siregar (2004) mengatakan, di dalam keluarga, ibu berperan dalam
mengatur makanan seluruh anggota keluarga, terutama anak bayinya. Oleh karena itu,
pendidikan gizi kepada keluarga merupakan kunci untuk merubah gizi keluarga. Pendidikan
gizi lebih diutamakan untuk meningkatkan pengetahuan agar dapat merubah perilaku yang
salah dan tidak sesuai anjuran.
Dalam penelitian ini, KMS Bubble Nilai adalah merupakan inovasi atau konsep baru
yang memerlukan saluran komunikasi untuk memperkenalkannya agar diadopsi oleh ibu-ibu
sebagai media untuk mencegah gangguan pertumbuhan pada anak. Komunikasi dilakukan
dengan melakukan intervensi pendidikan gizi dengan menggunakan gabungan dari berbagai
metode pendidikan, seperti ceramah, simulasi, tanya jawab, praktek dan nyanyian. Hasil
penelitian Djaiman, et.al. (2004) menyimpulkan bahwa pemberian media saja tidak cukup

untuk meningkatkan pengetahuan dan minat ibu untuk memantau pertumbuhan anaknya. Dia
menyarankan agar media praktis pendidikan gizi tersebut dikombinasikan dengan media lain
agar ibu-ibu tertarik dan berminat memantau pertumbuhan.
Menurut Notoatmodjo (2007), keefektifan perubahan perilaku melalui pendidikan gizi
tergantung pada media yang digunakan. Media tersebut antara lain seperti poster dan leaflet
KMS. Dalam penelitian ini, media utama yang digunakan adalah KMS Bubble ukuran A3
ataudua kali lebih besar dari ukuran KMS biasa dan dikombinasikan dengan jingle yang diberi
judul “Mari Belajar KMS Nilai”. Namun keefektifan media tidak bermanfaat jika tidak
diperkenalkan kepada masyarakat. Oleh karena pada penelitian ini penulis menggunakan
penyuluhan gizi sebagai pintu masuk untuk memperkenalkan KMS Bubble Nilai kepada
masyarakat khususnya kepada ibu-ibu yang memiliki bayi usia 0-24 bulan di Kabupaten Deli
Serdang. Alasan peneliti memilih lokasi penelitian di Kabupaten Deli Serdang karena
Kabupaten Deli Serdang adalah satu dari tujuh kabupaten di Indonesia yang mempunyai
peraturan daerah (Perda) tentang kesehatan ibu, bayi, balita dan usia lanjut (KIBBLA).
Dengan diterbitkannya Perda nomor 2 tahun 2009 tentang KIBBLA maka seluruh tenaga
kesehatan dan fasilitas kesehatan harus bekerja keras untuk menekan angka kematian ibu dan
bayi baru lahir. Dengan kehadiran Perda tersebut nantinya akan membantu proses pengadaan
media KMS Bubble Nilai untuk digunakan oleh ibu-ibu di Posyandu dan selanjutnya
diharapkan akan menurunkan angka kematian bayi.
1.2. Rumusan Masalah
Gangguan pertumbuhan anak sudah dimulai sejak anak usia 3 bulan dan berlangsung
hingga anak usia 18 bulan. Salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya pemahaman
orang tua terhadap penggunaan KMS. Padahal, menurut para ahli, KMS adalah alat yang
sangat baik untuk memantau pertumbuhan dan memotivasi ibu untuk meningkatkan perilaku
gizi. Kemampuan orang tua, khusunya ibu balita, untuk mendeteksi secara dini pertumbuhan

anak adalah sangat penting

agar dapat dilakukan tindakan yang tepat dalam mencegah

terjadinya masalah gizi.
Berbagai penelitian melaporkan bahwa pemahaman orang tua terutama ibu dalam
menggunakan KMS yang digunakan saat ini masih sangat rendah. Salah satu penyebabnya
adalah proses memperkenalkan pentingnya KMS kepada ibu-ibu balita tidak sesuai seperti
yang diharapkan. Petugas kesehatan membagikan KMS kepada ibu tanpa diikuti penjelasan
tentang manfaat dan cara menggunakannya. Bahkan, KMS yang digunakan saat ini juga
masih sering menyulitkan tenaga kesehatan dan kader Posyandu untuk menentukan titik BB,
membuat grafik dan memberikan konseling, dan disisi lain ibu-ibu juga terkesan tidak mau
tahu tentang informasi yang terdapat pada KMS. Akibatnya fungsi KMS hanya untuk
kelengkapan administrasi di Posyandu.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penulis mengembangkan KMS yang baru
yang disebut dengan KMS Bubble Nilai. Pada bagian depan, garis vertikal diganti dengan
bulatan-bulatan (bubbles) dan pada bagian kanan yang membati pitawarna diberi nilai 5, 6, 7,
8 dan 10. Pada bagian belakang dilengkapi informasi tentang cara menerjemahkan hasil
penimbangan dan panduan pemberian makanan sesuai usia anak. Hasil uji coba KMS KMS
Bubble Nilai pada ibu-ibu balita dan kaders Posyandu menyimpulkan tingginya persentase
(83,4%) ibu-ibu yang setuju terhadap penggunaan KMS Bubble Nilai untuk menggantikan
KMS yang digunakan saat ini. Untuk menilai tingkat efektifitas KMS Bubble Nilai terhadap
perilaku gizi dan pertumbuhan anak, peneliti menggunakan KMS tersebut sebagai media
utama dalam pendidikan/penyuluhan gizi intensive
Pendidikan gizi adalah salah satu upaya untuk membantu individu atau kelompok
masyarakat dalam meningkatkan perilaku gizi untuk mencapai status gizi yang optimal
melalui metode penyuluhan, ceramah, diskusi, demonstrasi dan lain-lain. Penelitian dari
berbagai negara menyimpulkan bahwa pendidikan/penyuluhan gizi yang dilakukan secara

intensif dapat merubah perilaku gizi

ibu. Maka dalam penelitian ini, peneliti akan

menggunakan KMS Bubble Nilai sebagai media utama pada kegiatan penyuluhan gizi untuk
meningkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan ibu terhadap KMS serta

meningkatkan

pertumbuhan anak.
1.2.1.Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan kenyataaan dan rumusan masalah, maka pertanyaan umum yang diajukan adalah
:
1) Apakah intervensi menggunakan KMS Bubble Nilai dapat meningkatkan pengetahuan,
sikap dan ketrampilan gizi gizi ibu ?
2) Apakah intervensi dengan menggunakan KMS Bubble Nilai dapat meningkatkan pola
pertumbuhan anak ?
3) Apakah terdapat perbedaan yang bermakna perilaku gizi ibu dan pola pertumbuhan anak
antara kelompok ibu-ibu yang menggunakan KMS Bubble Nilai dengan kelompok ibu-ibu
yang menggunakan KMS lama (KMS-WHO2005) ?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Umum
Mengetahui pengaruh penggunaan KMS Bubble Nilai dan Jinggle terhadap perilaku
gizi ibu dan pola pertumbuhan anak.
1.3.2. Khusus
1. Menilai pengaruh penggunaan KMS Bubble Nilai terhadap tingkat pengetahuan ibu
tentang program penimbangan anak, cara melakukan plotting KMS, membuat grafik
pertumbuhan anak pada KMS, interpretasi hasil penimbangan dan pola pemberian
makanan anak.

2. Menilai pengaruh penggunaan KMS Bubble Nilai terhadap sikap ibu terhadapi program
penimbangan anak, pengisian KMS, interpretasi hasil penimbangan, pola pemberian
makanan anak dan komunikasi dengan petugas kesehatan
3. Menilai pengaruh penggunaan KMS Bubble Nilai terhadap ketrampilan/tindakan ibu
dalam mengikuti program penimbangan, pengisian KMS, interpretasi hasil penimbangan,
pola pemberian makanan anak dan komunikasi dengan petugas kesehatan
4. Menilai pengaruh penggunaan KMS Bubble Nilai terhadap asupan gizi (kalori) anak
5. Menilai pengaruh penggunaan KMS Bubble Nilai terhadap pertambahan berat badan (BB)
anak

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut;
1.4.1. Manfaat Aplikatif
a. Menyajikan bulatan-bulatan kosong (bubbles) sebagai pengganti garis vertikal dan jarak
antar garis horizontal lebih jarang akan memudahkan kader Posyandu dan ibu-ibu balita
untuk menentukan titik-titik (plotting) berat badan (BB) anak.
b. Menggunakan nilai 5, 6 7, 8 dan 10 akan memudahkan ibu balita menerjemahkan status
BB anak. Apabila nilainya rendah atau turun ibu akan melakukan tindakan sesuai anjuran
yang terdapat pada KMS Bubble Nilai
c. Menyajikan panduan tahapan dan pola pemberian makanan yang tepat sesuai usia anak
dilengkapi dengan jenis makanan yang boleh dan belum boleh diberikan, frekwensi dan
porsi makanan akan membantu ibu untuk menyiapkan makanan sesuai anjuran.
d. Ukuran KMS Bubble Nilai yang lebih besar dan penyimpannya dengan cara digantung
pada dinding kamar/rumah akan membuat trend grafik pertumbuhan anak setiap bulan
dapat terlihat dengan jelas oleh anggota keluarga dan secara tidak langsung akan
mengingatkan ibu untuk membawa anak setiap bulan ke Posyandu.

e. Penggunaan KMS Bubble Nilai secara tidak langsung bermanfaat untuk ibu/keluarga agar
berusaha mengajar anaknya untuk mencapai nilai 10 di sekolah jika anak sekolah kelak.
1.4.2. Manfaat Program
a. KMS Bubble Nilai dan Jingle dapat digunakan tidak hanya untuk program pemantauan
pertumbuhan tetapi juga untuk program kesehatan ibu dan anak (KIA) dan promosi
kesehatan. Jika KMS diperkenalkan sejak ibu hamil terlebih tentang pemberian ASI
eksklusif dan kenaikan BB minimal, ibu akan berusahan untuk mengkonsumsi makanan
bergizi untuk mencegah berat lahir rendah dan untuk mencapai KBM setiap bulan. KMS
Bubble Nilai dapat digunakan sebagai media penyuluhan gizi kepada ibu hamil dengan
mengajarkan pentingnya gizi untuk memperoleh BB lahir normal dan kenaikan BB
minimal setiap bulan.
1.4.3. Pengembangan Model Penyuluhan Kesehatan di Tingkat Puskesmas
a. Mengembangkan model pembinaan gizi masyarakat dengan teknologi sederhana dan
memanfaatkan secara maksimal tenaga dan sarana yang ada di Puskesmas sepertisumbersumber bacaan atau media komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang ada di
Puskesmas.
b. Umumnya pelaksanaan penyuluhan kesehatan di tingkat Puskesmas hanya melibatkan 1-2
orang tenaga kesehatan dan waktu pelaksanaanya juga cukup singkat.
Proses pelaksanaan penyuluhan gizi intensif yang digunakan dalam penelitian ini dapat
digunakan sebagai model untuk penyuluhan kesehatan lainnya seperti kesehatan
lingkungan dan kesehatan reproduksi bagi anak remaja putri.

1.5. Manfaat Keilmuan
a. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang aplikatif terutama bagi dosen
gizi masyarakat di Jurusan Gizi agar mengajarkan komponen yang terdapat pada KMS
Bubble Nilai pada mata kuliah Pemantauan Status Gizi (PSG).

b. Masukan bagi dosen Promosi Kesehatan bahwa untuk merubah perilaku gizi ibu perlu
mengajarkan teori dan difusi inovasi dan teori motivasi prestasi agar ibu-ibu memiliki
kemauan yang tinggi untuk merubah perilaku. Untuk merubah perilaku gizi ibu, tidak
cukup hanya menggunakan teori perilaku (stimulus dan respon) dan teori gizi (tahapan
makanan anak) dalam bentuk ceramah tetapi perlu digabung dengan teori motivasi prestasi
yaitu dengan memberikan rewards atau pujian serta makanan tambahan bergizi.

1.6. Kebaharuan (Novelty) Penelitian
KMS Bubble Nilai dan Jingle yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil inovasi dan
kreatifas peneliti dengan cara memodifikasi KMS Lama menambahkan konsep nilai dan
jingle yang belum pernah dilakukan oleh peneliti lain

Dokumen yang terkait

Analisis Penentuan Sektor Unggulan Perkonomian Wilayah Kabupaten Deli Serdang dengan Pendekatan Sektor Pembentuk PDRB

4 70 129

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak Usia 36-59 Bulan Pada Keluarga Peserta Dan Bukan Peserta Bina Keluarga Balita (BKB) Di Desa Tulaan Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2009

0 38 110

Pola Asuh Dan Status Gizi Anak Usia 0-36 Bulan Di Desa Kutambaru Kecamatan Kutambaru Kabupaten Langkat Tahun 2010

1 31 90

KONTRIBUSI PEMBERIAN ASI, USIA PERNIKAHAN, JENJANG PENDIDIKAN IBU, TERHADAP NILAI GIZI BALITA USIA 0 SAMPAI 24 BULAN DI DESA TANGKIL, KECAMATAN SRAGEN, KABUPATEN SRAGEN

0 11 102

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 1 17

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 2

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 1 40

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 8

Pengaruh Penggunaan Kms Bubble Nilai Plus Jingle Terhadap Perilaku Gizi Ibu Dan Pertumbuhan Anak Usia 0-24 Bulan Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 52

HUBUNGAN PERILAKU IBU DALAM MENGASUH ANAK DENGAN STATUS GIZI PADA ANAK BALITA USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MINGGIR KABUPATEN SLEMAN NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Perilaku Ibu dalam Mengasuh Anak dengan Status Gizi pada Anak Balita Usia 6-24 Bu

1 0 15