Determinan Peningkatan Kualitas Hidup Penduduk Dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Berkelanjutan Di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.3.

Landasan Teoritis

2.3.1. Hakikat Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat
untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses perubahan sosial,
ekonomi dan institusional lainnya demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Proses
pembangunan di semua masyarakat harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut: 1)
Peningkatan ketersediaan serta perluasaan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup
yang pokok, seperti: pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan, 2)
Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga
meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta
peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak
hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materil, melainkan juga menumbuhkan jati diri
pribadi dan bangsa yang bersangkutan, 3) Perluasaan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi
setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari
belitan sikap bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan

nilai-nilai kemanusiaan (Torado, 2000 : 23-24).
Keberkelanjutan suatu pembangunan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan
biofisik semata, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor sosial. Pembangunan harus dipandang
sebagai suatu proses yang multidimensional, yang melibatkan segenap pengorganisasian dan

peninjauan kembali atas sistem pendidikan, ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Selain
peningkatan pendapatan, dan output, proses pembangunan juga berkenaan dengan serangkaian
perubahan yang bersifat mendasar atas struktur-struktur kelembagaan, sosial, dan administrasi,
sikap-sikap masyarakat dan bahkan seringkali juga merambah pada adat istiadat, kebiasaan
dan sistem kepercayaan yang hidup dalam masyarakat (Torado, 2000 : 92). World Commission
on Environment and Development (WCED) atau yang dikenal dengan sebutan Brundtland
Commission pada tahun 1987, dalam laporannya mengemukakan bahwa pembangunan
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan adalah pembangunan yang memiliki kebutuhan
masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Didalamnya terkandung gagasan utama, yaitu; 1) gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan
esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama, 2) gagasan keterbatasan yang
bersumber kepada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan hari depan (WCED, 1987:23), seperti diilustrasikan
oleh model pada Gambar 2.1.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai adanya

kebersamaan atau saling memberikan sumbangan untuk kepentingan dan masalah-masalah
bersama yang tumbuh dari kepentingan dan perhatian individu warga masyarakat itu sendiri.
Partisipasi dalam hal ini adalah hasil konsensus sosial warga masyarakat akan arah perubahan
sosial yang diharapkan masyarakat

(Carry, 1995 : 144)

Perubahan
Kebijakan
Pembangunan

Kebijakan
Pembangunan yang
Berkelanjutan
Permasalahan
Lokal, Kemampuan
dan Kesempatan

Perbaikan Kesehatan
dan Pendidikan,

Kecukupan Pangan,
Pemgentasan
Kemiskinan, Integrasi

Siklus Positif
Pembangunan
Berkelanjutan

Meningkatnya
Kondisi Ekonomi dan
Ekosistem

Kebijakan
Pembangunan yang
Berkelanjutan
Hal yang sama untuk
mendapatkan akses
kepada sumber daya
dan hasil


Mobilisasi dan
Pemberdayaan
masyarakat lokal

Gambar 2.1. Aksi yang mendukung Siklus Pembangunan Berkelanjutan (UNDP,
1997:22)

Berbagai pengalaman masyarakat dapat dikategorikan dalam sebuah peta kognitif
kebudayaan masyarakat sehingga memungkinkan masyarakat tetap survive dalam suatu
pembangunan, seperti ilustrasi pada Gambar 2.2.

Faktor-faktor Internal
- motivasi
- Pengalaman
- Pengetahuan/pendidikan

Faktor-faktor Eksternal
- Informasi
- Norma Sosial Budaya
- Kondisi dan Situasi Lingkungan

Sub Budaya

Strategi Adaptasi
- Persepsi
- Interpretasi
- Kategorisasi

Lingkungan Biogiofisik Sosbud

Survive

Gambar 2.2. Perubahan Nilai Budaya Dalam Pembangunan
(Poerwanto, 1997:96)
Konsepsi pembangunan berkelanjutan, merekomendasikan 7 (tujuh) kebijakan untuk
pembangunan dan lingkungan adalah sebagai berikut:
(1) Memikirkan kembali makna pembangunan.
(2) Merubah orientasi pembangunan dari pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur kemajuan
pembangunan ke mutu hasil pembangunan.
(3) Memenuhi kebutuhan dasar berupa lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi.
(4) Menjamin terciptanya keberlanjutan pada tingkat pertumbuhan tertentu.

(5) Mengatur keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi sumberdaya.
(6) Merubah arah perkembangan teknologi dan mengelola resiko.
(7) Memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan
(Depnaker, 2008).

Menurut kamus A.S. Hornby: Oxford Student’s Dictionary of American English
(Oxford University Press, 1983) dalam Hartono dan Sunaryati (1993), kata “Quality” ialah: 1)
Degree or Grade of Excellence (tingkat kesempurnaan), 2) Goodness or Worth (nilai), 3)
Characteristics of A Person or Think (karakter seseorang atau suatu barang) (Hartono,
1993:182).
Kualitas mempunyai arti tingkat kesempurnaan atau nilai atau karakteristik seseorang.
Environmental protection Agency di Amerika Serikat mengemukakan istilah kualitas (quality)
sebagai tingkat (grade), dan tingkat tersebut bergerak antara tinggi-rendah dan baik-buruk.
Perbedaan kualitas menurut Nawawi dan Martini (1994 : 46-47) adalah suatu kondisi yang
dibandingkan dengan suatu ukuran tertentu berdasarkan norma-norma atau nilai-nilai terbaik
mengenai sesuatu. Ukuran yang menyentuh persoalan nilai atau norma-norma pada dasarnya
bersifat abstrak, namun tidak mustahil untuk dikonkritkan dengan menggunakan simbolsimbol tertentu.
Istilah Life mempunyai arti Mental Life. Kehidupan mental, secara luas lebih
diartikan


sebagai

kepuasan

seseorang,

seperti

rasa

sejahtera,

kebahagiaan

atau

ketidakbahagiaan, kepuasan atau ketidakpuasan di dalam hidup (Suryotomo, dkk, 1992 : 34).
Sebagaimana dikemukakan oleh Gitter and Mostofsky bahwa kualitas hidup (Quality Life)
lebih mengacu kepada kondisi kehidupan seseorang, dimana tingkat kualitas hidup seseorang
menunjukkan kepada beberapa hal yang disajikan dalam skala terpisah untuk mengukur

kepada kondisi yang relevan.
Kualitas hidup merupakan suatu variabel yang belum terukur, maka Ananta dan
Hatmadji (1985: 7) menyarankan agar terlebih dahulu dapat menemukan faktor-faktor yang

memiliki kaitan dengan kualitas hidup tersebut. kualitas manusia dan kualitas hidup memiliki
kaitan yang sangat erat, manusia yang berkualitas dapat menciptakan kualitas hidupnya sendiri
yang identik dengan kesejahteraan, dan kualitas hidup yang tinggi akan membangun manusia
tersebut untuk lebih berkualitas (Ancok, 1980 : 4 ).
Permasalahan kualitas manusia sangat komplek dan tidak terbatas pada ciri individual
manusia saja, harus dilihat dalam kaitan yang lebih luas, termasuk keadaan dan kualitas dari
pranata sosial (Dahlan, 1993 : 3-21 ). Termasuk politik, ekonomi, keuangan, pelaksanaan
kerja, (produktivitas, efisiensi), penegakan hukum, korupsi, birokrasi, persoalan mental,
disiplin, solidaritas, korupsi (Alatas, 1993 : 248-254).
Secara garis besar kualitas hidup manusia terbagi dalam dua kelompok, pertama:
kualitas fisik yang mencerminkan kualitas lahiriah, seperti keserasian ukuran tinggi badan dan
berat badan, daya fisik yang dimiliki, tingkat kesegaran dan kesehatan jasmani, tingkat
konsumsi pangan, kedua: kualitas non-fisik yang mencerminkan kualitas batiniah seperti:
kualitas pribadi yang melekat pada diri seseorang, kualitas kekaryaan seperti tercermin dalam
produktivitas, disiplin kerja, keswadayaan, keswakaryaan dan wawasan masa depan, kualitas
spiritual, kualitas rasional dan kualitas berbangsa (Salim, 1993 : 80-88 ). Diakui bahwa,

pengelompokan atas kualitas fisik dan non fisik oleh sebagian ilmuan memiliki beberapa
perbedaan pandangan, hal ini dikarenakan kualitas manusia tidak dapat dibagi-bagi atas fisik
dan non-fisik, sebab keduanya saling menunjang membentuk keseluruhan kualitas manusia,
untuk mengukur perlakuan atas keduanya harus dilakukan secara terpisah (Dahlan, 1993:8).
Ada beberapa kelompok pandangan yang menyangkut pengukuran terhadap kualitas
hidup manusia. Pandangan yang pertama beranggapan bahwa tidak mungkin fenomena

kualitas hidup dapat diukur. Hal ini dikarenakan aspek yang berkaitan dengan kualitas
masyarakat sangat komplek. Pengukuran kualitas hanya bersifat reduksionis dan akan
memberikan hasil yang menyesatkan (misleading),

Pendapat kedua yang lebih bersifat

optimis, memandang bahwa ini dimensi yang menjadi komponen pendukung kualitas hidup
penduduk cukup banyak namun masih bisa disederhanakan dengan memilih hal-hal yang
utama, namun dimensi yang merupakan komponen kualitas tidak usah digabungkan menjadi
nilai agregat. Pendapat yang paling optimis beranggapan bahwa, kualitas hidup penduduk
yang terdiri dari berbagai dimensi dapat saja diwakili oleh suatu angka agregat yang
merupakan penggabungan skor untuk masing-masing komponen kualitas hidup. Menurut
pendapat yang terakhir ini, dengan tersedianya teknik analisis statistik dan fasilitas komputer

akan memudahkan penciptaan angka agregat tersebut (Ancok,

1993 : 35-46).

Diketahui pula bahwa, semua kegiatan pembangunan akan menyebabkan perubahan
terhadap lingkungan, atau disebut dengan dampak lingkungan. Dampak lingkungan dapat
bersifat positif dan negative, tergantung dari perubahan yang diakibatkannya terhadap
lingkungan, disadari atau tidak proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini masih
bersifat parsial dan cenderung menekankan pada pembangunan fisik di berbagai tempat justru
berakibat tidak terkandalinya perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan binaan dan
bahkan dapat menurunkan mutu lingkungan hidup (Setyabudi, 1996 : 5-10). Pada konteks ini
Djayadiningrat, menekankan pentingnya kebijakan pembangunan di Indonesia menerapkan
pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, yang intinya menyebutkan agar
merubah pola hidup konsumtif yang boros dan menghamburkan kekayaan kepada pola hidup
yang sederhana, hemat, higienis dan agamis (Djayadiningrat, 1993 : 18 ). Perubahan sikap dan

perilaku penduduk tersebut, akan diidentifikasikan pada tingkat kualitas hidup penduduk
dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan. Jacobs dan Sadler, menawarkan model
hubungan kualitas hidup melalui sebuah segitiga sebagaimana gambar berikut:
Economic


Quality of Life
Ecological

Social

Gambar 2.3. Model Hubungan Kualitas Hidup dengan Lingkungan.

Gambar 2.3 menunjukkan bahwa parameter yang dapat menentukan kualitas hidup
penduduk dalam konteks pembangunan, yaitu dari segi ekologi, sosial dan ekonomi. Lebih
lanjut dijelaskannya, untuk meningkatkan kualitas hidup dapat ditempuh melalui peningkatan
ekonomi, namun

dilemanya

adalah

dalam

memacu

pertumbuhan

ekonomi

tanpa

mempertimbangkan daya dukung alam dan lingkungan tidak akan berhasil untuk
meningkatkan kualitas hidup, maka untuk itu diperlukan suatu program pembangunan
(kependudukan) yang berwawsan lingkungan dari sudut ekologi dan sosial.
Erich Fromm dalam (Ancok, 1993:36) melihat hancurnya suatu tata kualitas
kehidupan manusia diakibatkan oleh penekanan aspek materi, dan kurangnya melihat aspek
kebutuhan psikologis. Pada dekade abad 21 sekarang ini banyak di seluruh negara lebih
mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup non fisik termasuk di dalamnya yang
menyangkut peningkatan kualitas sosial. Sebagaimana dikutip dari laporan Komisi Mandiri

Kependudukan dan Kualitas Hidup yang dialih bahasakan oleh Soerjani (2000 : 57) sebagai
berikut:
“ Kita telah melihat bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi kepentingan dominan di
seluruh dunia. Pembangunan yang disamakan dengan pertumbuhan ekonomi saja,
sehingga hal ini sama sekali tidak memberi makna sosial. Fokus ini sekarang telah
membayangi semua pertimbangan seperti: pemerataan, keberlanjutan, kesempatan
untuk bekerja, dan hubungan sosial.“
Dilandasi oleh pendapat Soemarwoto, dalam lingkungan yang berkualitas tinggi
terdapat potensi untuk berkembangnya hidup dengan kualitas yang tinggi (Soemarwoto, 1997 :
35). Pada hakikatnya strategi dan pendekatan pembangunan manusia untuk menumbuhkan
prilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Integrasi tersebut merupakan kristalisasi dari
faktor faktor situasional dengan kognisi, keinginan, sikap, motivasi dan responnya (Supriatna,
2000 : 38).
Sejarah pembangunan bangsa kita juga telah banyak memberikan pelajaran, bahwa
pembangunan memang harus diupayakan dengan membuat program pembangunan
berkelanjutan yang menyeluruh dan terpadu, program tersebut paling tidak harus menjamin 4
macam keberlanjutan, yakni: (1) keberlanjutan kehidupan ekologi, (2) keberlanjutan
kehidupan ekonomi, (3) keberlanjutan kehidupan sosial budaya dan (4) keberlanjutan
kehidupan politik (Sjarkowi dan Fachrurrozie, 1995:59). Untuk melihat keberadaan
pembangunan dalam arti berkelanjutan, dapat ditinjau dari berbagai dimensi atau faktor (sudut
pandang), yaitu: faktor Ekologis, faktor sosial, faktor politik, faktor hukum dan etika (Dahuri
dan Rokhmin,

1996 : 12).

a. Faktor Ekologi
Pembangunan berwawasan lingkungan pada hakekatnya merupakan permasalahan
ekologi, khususnya ekologi pembangunan, yaitu interaksi antara pembangunan dan
lingkungan (Soemarwoto, 1997:15). Secara implisit dikatakan bahwa, kualitas hidup manusia
tergantung sejauhmana manusia dapat memahami lingkungan sekitarnya (Grazt, 1978 :68-69).
Inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan timbal bailk antara mahluk hidup,
khususnya manusia, dengan lingkungan hidupnya yang sering disebut dengan ekologi. Ekologi
adalah salah satu komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau
bersama-sama dengan komponen lainnya yakni: teknologi, politik, dan sosial budaya untuk
menentukan keputusan yang seimbang (Soemarwoto, 1994:22-23) dikarenakan dalam
pembahasan ekologi cakupannya terlalu luas, maka pembicaraan ekologi dibatasi pada kajian
ekologi pembangunan, yang merupakan cabang khusus ekologi manusia.
Perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem, yang mempunyai
beberapa asumsi dasar sebagai berikut:
a. Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan,
b. Interaksi timbal balik yang menguntungkan antara manusia dan lingkungan,
c. Interaksi manusia dan lingkungan bersifat dinamis,
d. Interaksi manusia dan lingkungan terjadi dalam berbagai level yang tergantung pada fungsi.

Salah satu teori yang didasarkan atas pandangan ekologis adalah Behavior Setting yang
dipelopori oleh Barker dan Wicker dalam Heralita (2011). Premis utama teori ini yaitu
kesesuaian antara rancangan lingkungan dengan perilaku yang dikomodasikan dalam
lingkungan tersebut.

Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable
development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam World Conservation
Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment
Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP
menyelenggarakan sidang istimewamemperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (19721982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama
ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan
dan Pembangunan (World Commissionon Environment and Development - WCED). PBB
memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu Sudan Mansyur
Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua WCED. Menurut Brundtland Report
dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis,
masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”.
Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Secara umum konsep pengembangan kota berkelanjutan didefinisikan sebagai
pengembangan kota yang mengedepankan adanya keseimbangan antara aspek ekonomi,
sosial-budaya dan lingkungan hidup. Keseimbangan ini penting untuk menjamin adanya
keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia, tanpa mengurangi peluang
generasi yang akan datang untuk menikmati kondisi yang sama.

Berdasarkan

konsep

pembangunan

berkelanjutan

tersebut,

maka

indikator

pembangunan berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek-aspek tersebut di atas, yaitu aspek
ekonomi,ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut,
Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future : menggagas warisan peradaban bagi
anak cucu, seputar pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan bahwa dalam
pembangunan yang berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Keberlanjutan Ekologis.
b. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi
c. Keberlanjutan Politik
d. Keberlanjutan Sosial dan Budaya
e. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan

Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan beberapa tolak ukur pembangunan
berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun
didaerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses.
pembangunan berkelanjutan. Tolak ukur itu meliputi:
a. Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk
kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif
yangberdampak minimum terhadap lingkungan.
b. Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang
menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan
kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan
mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.

c. Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber
daya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan jender.
Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan
bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan
tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus
melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing.
Di satu sisi pembangunan adalah adanya keinginan manusia yang jumlahnya tidak
terbatas, di pihak lain adanya keterbatasan alat-alat pemuas yang ada (Siagian, 1982 : 11). Jika
fenomena ini terjadi secara berkepanjangan, maka akan mendorong manusia untuk memilih
kebutuhan mana yang lebih dahulu harus dipenuhi supaya terpenuhi kepuasan maksimum.
Akibat lanjut dari cara pandang seperti ini mengakibatkan terjadinya perbuatan sewenangwenang dan pengejaran sesuatu tanpa batas terhadap sesuatu yang bersifat material, cara dan
pola pembangunan seperti ini lambat laun dapat menimbulkan degradasi lingkungan dengan
sendirinya akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang (Soemarwoto,
1997:49).
Konsep kualitas hidup penduduk berwawasan lingkungan dari faktor ini,
penekanannya terletak pada pokok permasalahan bagaimana mengelola sumberdaya alam
dengan bijaksana agar tertopang proses pembangunan berkelanjutan, maka harus
menggunakan suatu pola kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan (Soemarwoto,
1997:50)

Pada faktor ekologis terdapat tiga kaidah pokok yang dapat menjamin tercapainya
kualitas hidup yang berkelanjutan, yakni a) terlaksananya pengaturan tata ruang yang lebih
mendukung pembangunan berkelanjutan, b) melakukan pengendalian pencemaran c)
melakukan pemanfaatan sumber daya secara optimal, d) melakukan pelestarian fungsi-fungsi
ekologis, e) dan adanya jasa-jasa penunjang dalam kehidupan (Soemarwoto, 1997:14)
Tata ruang yang heterogen yang dilatarbelakangi oleh penghuni yang heterogen dapat
menghasilkan suatu proses integrasi sosial dan ekonomis dalam suatu wilayah kota, hal ini
juga dapat merupakan mekanisme untuk pemerataan secara lokal, setidaknya dapat membantu
untuk mengoreksi kesenjangan yang ada karena tidak meratanya distribusi pendapatan,
kesemuanya ini memberikan andil untuk perkembangan yang lebih baik pada peningkatan
kualitas hidup penduduk (Purbo, 1993 : 337).
Dalam menyeimbangkan antara pembangunan dengan kualitas hidup penduduk dari
sudut ekologi, maka sikap dan perilaku arif manusia terhadap lingkungan perlu dibina untuk
menggantikan mentalitas pendobrak lingkungan, sebagaimana dikemukakan oleh (Ciras 1991 :
77-97) mentalitas penduduk berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang intinya adalah:

a. Adanya kesadaran bahwa alam mempunyai daya dukung yang terbatas
b. Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui akan berakibat kepada kehabisan
sumberdaya tersebut, tetapi kegiatan daur ulang dan menggunakan sumberdaya
alternatif merupakan usaha dalam menghemat sumberdaya tersebut
c. kualitas hidup tidak diukur dari banyaknya materi yang dipunyai.

d. menanamkan sikap berorientasi kepada generasi mendatang untuk tidak mewariskan
bencana.
Oleh karena itu sangantlah penting artinya untuk menemukan suatu cara, pola
kebijakan pembangunan, yaitu:
a. Minimal tidak menggangu keseimbangan (equilibrium) dari ekosistem, dan
maksimal ikut membina ekosistem kearah yang lebih stabil,
b. Memelihara ekosistem yang lebih beragam (Salim, 1985:36).
Hal yang hampir senada disampaikan oleh Mesarovice dan Pestel, bahwa dalam
menanamkan sikap pembangunan yang arif terhadap lingkungan harus mempertimbangkan
empat faktor yaitu:
a. Kesadaran terhadap bumi harus dikembangkan sampai tiap-tiap individu
mengetahui peran yang ia miliki sebagai anggota masyarakat dunia.
b. Dikembangkannya etika baru dalam penggunaan sumberdaya alam
c. Sikap terhadap alam harus dikembangkan berdasarkan keharmonisan.
d. Manusia harus mengembangkan identifikasi terhadap generasi yang akan datang
dan siap untuk mewariskan keuntungan, dan bukan mewariskan malapetaka
(Mesarovic, 1974:147).

b. Faktor Sosial
Hubungan antara manusia dan lingkungan sekitarnya merupakan hubungan secara
timbal balik yang sangat erat. Hal seperti ini menentukan hakikat manusianya, dapat dikatakan
bahwa pribadi manusia dapat berkembang dinamikanya apabila ia berada dalam kelompok

sosial. Karena manusia hidup bersama di dalam kelompok atau hidup bersama kelompok,
maka satu sama lain saling membutuhkan sehingga manusia disebut pula sebagai mahluk
sosial (Fadil, 1990:16).
Faktor sosial di dalam suatu kelompok masyarakat yang mendukung tercapainya
kualitas hidup secara berkelanjutan yaitu: a) melaksanakan gaya hidup yang sederhana dan
tidak konsumtif secara berlebihan, b) mengurangi kesenjangan (Fadil, 1990:14).
Gaya hidup yang dimaksud dalam hal ini adalah memenuhi kebutuhan esensial,
memenuhi kebutuhan menurut apa yang diperlukan, efisien tanpa pemborosan, sesuai dengan
kenyataan dan ukuran objektif, sesuai dengan apa yang dihayati sebagai adil, halal dan legal,
sesuai dengan kemapuan kita (Salim, 1980:113).
Berkaitan dengan hal di atas, bagaimana pun juga akan terjadi kesejangan di dalam
masyarakat yang cenderung diakibatkan oleh adanya tingkat persaingan di dalam masyarakat
tersebut. Persaingan adalah suatu bentuk perjuangan sosial yang paling umum. Sifat berlombalomba, keinginan mendahului orang lain (Bouman, 1980:80). Kesenjangan di dalam
masyarakat dapat dikurangi dengan jalan mentaati kaidah-kaidah yang berlaku di dalam
masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Karl Manheim dalam Bouman, membandingkan
kaidah-kaidah sosial dengan lampu lalu lintas. Andaikata tidak ada kaidah-kaidah itu, maka
seluruh kehidupan bergolongan dengan segera akan menjadi kacau balau (Bouman, 1980:44).
Membangun kualitas hidup penduduk yang menyangkut ciri-ciri hubungan antar
manusia dan antar kelompok sangat dibutuhkan Kualitas sosial yang mencakup:
a. Keserasian sosial yaitu ciri-ciri yang menentukan daya tampung sosial, termasuk
penyesuaian antar kelompok, keterbukaan dan ketersediaan menerima perbedaan
pendapat orang lain, toleransi.

b. Kesetiakawanan sosial yaitu ciri-ciri kualitas untuk mengembangkan persamaan
martabat antar sesama kelompok dalam masyarakat, seperti tenggang rasa,
solidaritas, kedermawanan timbal balik, komunikasi sosial antar lapisan ekonomi,
mencegah

kecemburuan

sosial

dan

mengurangi

kesenjangan

masyarakat

(Kumpulan Penilaian Pakar, 1995:193).
Perencanaan sosial dewasa ini menjadi ciri yang umum bagi masyarakat–masyarakat
yang sedang mengalami perunahan–perubahan atau perkembangan. Sebenarnya, perencanaan
sosial yang bertujuan untuk melihat jauh ke depan telah juga difikirkan oleh para sosiolog
terdahulu. Menurut Ogburn dan Nimkoff prasyarat suatu perencanaan sosial yang efektif ialah
sebagai berikut :
a. Adanya unsur – unsur modern dalam masyarakat yang mencakup suatu sistem
ekologi dimana telah digunakan uang, urbanisasi yang teratur, intelegensia di bidang
teknik dan ilmu pengetahuan, dan suatu sistem administrasi yang baik.
b. Adanya sistem pengumpulan keterangan dan analisis yang baik.
c. Terdapatnya siap publik yang baik terhadap usaha – usaha perencanaan.
d. Adanya pimpinan ekonomi dan politik yang progresif.
Selanjutnya, untuk melaksanakan perencanaan sosial tersebut dengan baik, diperlukan
organisasi yang baik yang berarti adanya disiplin di satu pihak dan hilangnya kemerdekaan di
pihak lain. Bagi pembangunan maka sosiologi dapat dimanfaatkan untuk memberikan data
sosial pada tahap – tahap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi proses pembangunan.

c. Faktor Hukum
Dilihat dari perspektif hukum kualitas hidup penduduk ditentukan oleh tingkat
kesadaran penduduk dalam melaksanakan hukum yang berlaku (Hartono, 1993:182-190).
Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakatnya, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran terhadap hukum berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman
tertentu (Simorangkir, 1959:6).
Hukum adalah kumpulan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan)
yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah (Utrecht, 1961:12)
Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma, berisikan petunjukpetunjuk tingkah laku, ia merupakan cerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana
seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama,
hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu
diciptakan. Ide-ide itu adalah mengenai keadilan (Arrasjid, 1988:18)
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa, hukum tersebut memiliki
beberapa unsur pokok yaitu:
a. Hukum mengandung unsur peraturan atau kaedah-kaedah mengenai tingkah laku
manusia (masyarakat)
b. Peraturan tersebut diadakan oleh suatu badan resmi yang berwajib

c. Peraturan tersebut merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak
tentang adil dan tidak adil apa yang dianggap baik dan buruk
d. Peraturan itu bersifat memaksa
e. Peraturan itu mempunyai sangsi yang tegas dan nyata
Bellefroid sebagaimana dikutip Erwin, mengemukakan bahwa isi hukum harus
ditentukan menurut dua asas yaitu: keadilan dan faedah. Tujuan hukum menurut beliau adalah
menambah kesejahteraan umum atau kepentingan umum dan atau kesejahteraan untuk
kepentingan semua anggota masyarakat (Rudy, 1983:10).
Beberapa kaidah hukum yang perlu dipahami dalam rangka menyiapkan penduduk
yang berkualitas dari segi hukum antara lain: a) dalam masyarakat Pancasila, setiap orang
hendaknya bisa mengharapkan, bahwa orang lain akan memperlakukannya sebagai individu
secara penuh, b) dalam masyarakat Pancasila, setiap orang bisa mengharapkan, bahwa dia
akan menerima bagian dari produk Nasional yang memungkinkannya untuk hidup sesuai
dengan martabatnya sebagai manusia, c) dalam masyarakat Pancasila, setiap orang bisa
mengharapkan, bahwa dirinya tidak akan diperlakukan secara diskriminatif, d) dalam suatu
masyarakat Pancasila, setiap orang bisa mengharapkan, bahwa dia tidak akan diganggu dan
dihambat dalam penghayatan agamanya, e) dalam masyarakat Pancasila, setiap orang bisa
mengharapkan, bahwa keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak akan diambil
dengan mempertimbangkan secara bersungguh-sungguh pendapat mereka yang akan terkena
putusan tersebut (Rahardjo, 1993:172-181).
Setiap anggota masyarakat mempunyai kebutuhan dan kepentingan, ada kebutuhan
yang sama dan ada pula yang bertentangan. Dengan adanya kepentingan yang berbeda – beda

di dalam masyarakat tersebut, maka sering terjadi pertentangan – pertentangan antara satu
kepentingan dengan kepentingan lainnya.
Supaya kepentingan – kepentingan yang saling bertentangan itu tidak menimbulkan
kekacauan di dalam masyarakat, supaya kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara, maka
perlu adanya suatu kekuasaan berupa petunjuk – petunjuk hidup atau peraturan – peraturan
serta tata tertib yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut sebagai suatu tatanan dalam
masyarakat.
Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban
dan keteraturan di dalam masyarakat. Oleh karena itu ia bekerja dengan memberikan petunjuk
tentang tingkah laku dan oleh karena itu pula ia berupa norma dan merupakan suatu gejala
sosial yang berarti bahwa tiada masyarakat yang tidak mengenal hukum.
Tatanan di dalam masyarakat ada yang bersifat mengatur dan ada yang bersifat
memaksa, hal ini adalah untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat, peraturan yang
demikian inilah yang disebut atau dinamakan peraturan hukum atau tatanan hukum.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pembangunan berkelanjutaan adalah
suatu proses dalam upaya mencapai tingkat kesempurnaan hidup penduduk dalam upaya
memperoleh

rasa

sejahtera,

kebahagiaan,

kepuasan

di

dalam

hidup

dengan

mempertimbangkan generasi masa kini dan generasi mendatang yang dapat dilihat melalui
faktor-faktor ekologi, sosial, politik dan hukum. Pada faktor ekologi mencakup pengaturan
tata ruang, pengendalian pencemaran, pemanfaatan sumberdaya secara optimal, pelestarian
fungsi-fungsi ekologis. Pada faktor sosial mencakup: memiliki gaya hidup sederhana,
mengurangi kesenjangan. Pada faktor politik mencakup melakukan kehidupan berdemokrasi,

dan transparan. Faktor hukum mencakup: pemahaman terhadap hukum, penghayatan terhadap
hukum dan pengamalan terhadap hukum.

2.3.2. Kualitas Fisik Penduduk
Dahlan menyebutkan bahwa kualitas yang diperlukan agar manusia Indonesia dapat
mengembangkan keserasian dengan lingkungan, dibutuhkan kualitas fisik, meliputi: kualitas
yang bersifat lahiriah dan badaniah yang menyangkut ciri-ciri kualitas bobot, tinggi badan, dan
kebugaran yang dikaitkan dengan kesegaran jasmani, kesehatan, serta daya tahan fisik,
sehingga dapat melakukan kegiatan yang produktif (Dahlan, 1985:4).
Meadows mendefinisikan kualitas fisik sebagai tingkat kesehatan dan usia,
ketenagakerjaan, pendidikan, kebebasan dan keamanan, budaya dan tanggapan terhadap dasar
kehidupan yang lebih baik serta etika (UNESCO, 1992:2). OECD (1982) dalam (Hasansyah,
1997:22) menunjukkan kualitas fisik terdiri dari: pendapatan, perumahan, lingkungan,
stabilitas sosial, kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja, faktor tersebut dapat dikatakan
sudah cukup memadai dalam arti sudah mencakup banyak hal sebagai cerminan dari kualitas
hidup fisik. Masalahnya adalah indikator tersebut belum operasional dan masih mendapat
kesulitan dalam pengukurannya.
United Nation Development Program (UNDP) menyusun indikator kualitas fisik dan
Human Development Report 1993, dalam hal ini UNDP menyusun tingkat pembangunan
manusia (Human Development Index) dengan tiga indikator utama, yaitu usia harapan hidup,
kondisi tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan (UNDP, 1993:100).

Dari uraian di atas dapat dipahami, yang termasuk dalam pembahasan kualitas hidup
fisik adalah tingkat kualitas kehidupan seseorang atau penduduk dalam mencari kebahagiaan
lahiriah, yang dilihat melalui: 1) faktor ekonomi 2 faktor kesehatan), dan 3)

faktor

pendidikan.

a. Faktor Ekonomi
Kemakmuran yang berkaitan dengan aspek ekonomi dapat diukur dengan tingkat
produksi (GDP), pengeluaran (GNP) dan pendapatan (GNY). Pada tingkat produksi dapat
dilihat berdasarkan kemampuan masyarakat dalam menghasilkan sesuatu yang bernilai atau
kualitas tenaga kerja, kesempatan untuk berperan dalam proses produksi. Perbedaan
kemampuan dalam tingkat berproduksi menimbulkan ketidakmerataan dalam menikmati
pembangunan,

kesenjangan

yang

melebar

akhirnya

melahirkan

krisis

ekonomi

(Sumodiningrat, 1999:6-12).
Pendapatan adalah kesuluruhan dari penerimaan individu atau keluarga yang diterima
dalam waktu tertentu (perbulan, pertahun) yang meliputi pendapatan usaha, pendapatan lainlain dan pendapatan luar biasa (Damsar,1997:103-104).
Makin besar tingkat pendapatan rumah tangga, makin cenderung proporsi
pengeluaran untuk bahan makanan makin kecil dan kecendrungan proporsi pengeluaran
diarahkan untuk barang bukan makanan (Ananta, 1997:103-104).
Sebagaimana dikemukakan Bagong, yang termasuk dalam pengeluaran untuk non
makanan terdiri dari: pengeluaran untuk perumahan (sewa/kontrak, bahan bakar, penerangan
dan air) barang dan jasa (sabun, kosmetik, angkutan, upah pembantu rumah tangga, bacaan
dan rekreasi), pakaian, barang tahan lama (meja, kursi, perkakas, alat dapur, alat hiburan, alat

olahraga, perhiasan, kenderaan dan sebagainya). Pengeluaran lainnya terdiri dari (PBB, pajak
kenderaan, premi asuransi dan sebagainya) (Bagong, 1996:124).
Sisa pendapatan merupakan konsep penting, karena jika ditambahkan pada jumlah
pengeluaran akan menunjukkan besarnya pendapatan secara nyata (Wonacott, 1982:133).
Bagaimanapun juga sisa pendapatan atau surplus yang dapat ditabung masyarakat merupakan
hasil dari perputaran kegiatan ekonomi, yakni produksi, distribusi dan konsumsi
(Sumodiningrat, 1999:8)
Disamping mutu, kegigihan, ketekunan, giat dan rajin juga sangat mempengaruhi
seseorang dalam kemudahan mencari suatu pekerjaan untuk menambah pendapatan, sekaligus
akan memberikan kepuasan yang diperoleh (Bagus, 1991:64).
Setiap individu mempunyai kebutuhan yang ingin dipenuhi dan aspirasi-aspirasi yang
ingin dicapai. Apabila kebutuhan dan atau aspirasi tersebut tidak dapat dipenuhi atau dicapai
dengan tetap tinggal di daerahnya yang sekarang, maka kemungkinan individu tersebut akan
melakukan migrasi ke daerah lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Bagus, 1999:36).
Sesuai dengan keterkaitan antara produksi, pendapatan dan pengeluaran rendahnya
produksi dan pendapatan mengakibatkan terbatasnya pengeluaran masyarakat. Pengeluaran
biasanya akan terbatas pada kebutuhan pokok dan sedikit yang digunakan untuk memenuhi
keperluan kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lainnya yang dirasakan tidak terlalu
mendesak. Pada hal jika diamati secara seksama, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan
berkaitan dengan rendahnya produktivitas dan pada gilirannya berakibat pada tingkat
pendapatan (Sumodiningrat, 1999:13).

Namun demikian pembangunan yang disamakan dengan pertumbuhan ekonomi saja,
sama sekali tidak dapat memberikan makna kepada kehidupan sosial, fokus ini sekarang telah
membayangi semua pertimbangan, seperti pemerataan, keberlanjutan, kesempatan bekerja,
dan hubungan sosial (Lourdes, 2000:57).
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan
masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan
kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut.
Suatu daerah ditinjau dari aspek ekonomi, mempunyai 3 pengertian yaitu:
a. suatu daerah dianggap sebagai ruang dimana kegiatan ekonomi terjadi di dalam berbagai
pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama seperti segi pendapatan
perkapitanya, sosial budaya, geografisnya dsb. Daerah ini disebut daerah homogen.
b. suatu daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau
beberapa pusat kegiatan ekonomi daerah. Daerah ini disebut daerah nodal.
c. suaru daerah adalah suatu ekonomi ruang yang berada dibawah suatu administrasi
tertentu seperti satu propinsi, kabupaten, kecamatan dsb didasarkan pada pembagian
administratif suatu negara. Daerah ini disebut daerah perencanaan atau daerah
administrasi.

Tabel 2.1. Paradigma Baru Teori Pembangunan Daerah
KOMPONEN
Kesempatan Kerja

KONSEP LAMA
Semakin banyak
perusahaan semakin
banyak peluang kerja

Basis Pembangunan

Pengembangan sektor
ekonomi

Aset-aset Lokasi

Keunggulan
komparatif didasarkan
pada aset fisik

Sumberdaya
pengetahuan

Ketersediaan Angkat
kerja

KONSEP BARU
Perusahaan harus
mengembangkan
pekerjaan yang sesuai
dengan kondisi
penduduk daerah
Pengembangan
lembaga-lemabaga
ekonomi baru
Keunggulan
kompetitif didasarkan
pada kualitas
lingkungan
Pengetahuan sebagai
pembangkit ekonomi

Perencanaan pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk
memperbaiki penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik yang tersedia di daerah tersebut
dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptatakn nilai sumberdayasumberdaya swasta secara bertanggung jawab.
Hirschman (1958) mengemukakan bahwa jika suatu daerah mengalami perkembangan,
maka perkembangan itu akan membawa pengaruh atau imbas ke daerah lain.
Campur tangan pemerintah (perencanaan) untuk pembangunan daerah-daerah
mempunyai manfaat yang sangat tinggi disamping mencegah jurang kemakmuran antara
daerah, melestarikan kebudayaan setempat dapat juga menghindarkan perasaan tidak puas
masyarakat. Kalau masyarakat sudah tenteram dapat membantu terciptanya kestabilan dalam

masyarakat terutama kestabilan politik, pada kestabilan dalam masyakarat merupakan syarat
mutlak jika suatu negara hendak mengadakan pembangunan negara secara mantap.
Menurut Blakely (1989), ada 6 tahap dalam proses perencanaan pembangunan
ekonomi daerah yaitu:
1. Pengumpulan dan Analisis Data, meliputi :
a. Penentuan Basis Ekonomi
b. Analisis Struktur Tenaga Kerja
c. Evaluasi Kebutuhan Tenaga Kerja
d. Analisis Peluang dan Kendala Pembangunan
e. Analisis Kapasitas Kelembagaan
2. Pemilihan Strategi Pembangunan Daerah, meliputi :
a. Penentuan Tujuan dna Kriteria
b. Penentuan Kemungkinan-kemungkinan Tindakan
c. Penyusunan Strategi
3. Pemilihan Proyek-proyek Pembangunan, meliputi :
a. Identifikasi Proyek
b. Penilaian Viabilitas Proyek
4. Pembuatan Rencana Tindakan, meliputi :
a. Prapenilaian Hasil Proyek
b. Pengembangan Input Proyek
c. Penentuan Alternatif Sumber Pembiayaan
d. Identifikasi Struktur Proyek

5. Penentuan Rincian Proyek, meliputi :
a. Pelaksanaan Studi Kelayakan Secara Rinci
b. Penyiapan Rencana Usaha (Busisness Plan)
c. Pengemabangan, Monitoring dan Pengevaluasian Program
6. Persiapan Perencanaan Secara Keseluruhan dan Implementasi, meliputi :
a. Penyiapan skedul Implementasi Rencana Proyek
b. Penyusunan Program Pembangunan Secara Keseluruhan
c. Tergeting dan Marketing Aset-aset Masyarakat
d. Pemasaran Kebutuhan Keuangan
Selanjutnya peran pemerintah sangat diperlukan dalam pembangunan daerah. Ada 4
peran yang diambil oleh pemerintah daerah dalam proses pembangunan ekonomi daerah yaitu
:
1. Entrepreneur
Pemerintah daerah bertanggungjawab untuk menjalankan suatu usaha bisnis seperti
BUMD yan harus dikelola lebih baik sehingga secara ekonomis menguntungkan.
2. Koordinator
Untuk menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi pembangunan
didaerahnya. Dalam peranya sebagia koordinator, pemerintah daerah bisa juga melibatkan
lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha dan masyarakat dalam penyusunan
sasaran-sa\saran konsistensi pembangunan daerah dengan nasional (pusat) dan menjamin
bahwa perekonomian daerah akan mendapatkan manfaat yang maksimum daripadanya.

3. Fasilitator
Pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan
didaerahnya, hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan serta
pengaturan penetapan daerah (zoning) yang lebih baik.
4. Stimulator
Pemerintah daerah dapat menstumulasi penciptaan dan pengembangan usaha melalui
tindakan-tindakan khusus yang akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke
daerah tersebut dan menjaga agar perusahaan yang telah ada tetap berada di daerah tersebut.

b. Faktor Kesehatan
Penduduk yang berkualitas terdiri dari keluarga yang harmonis, yaitu keluarga yang
sehat dalam arti fisik, psikologis, dan spiritual yang didefinisikan oleh Worlt Health
Organization (WHO) dalam Mariati Sukarni sebagai keadaan yang sempurna baik dari segi
fisik, mental maupun kesejahtraan sosial. Seseorang dikatakan sehat tidak hanya terlepas dari
penyakit dan kelemahan, tetapi juga mampu menjalankan aktivitas kehidupan dan dapat
menyesuaikan diri dalam perubahan. Untuk mencegah berbagai

penyakit diperlukan

dukungan masyarakat, sumber alam dan fasilitas yang memadai (Maryati, 1994:38).
Ada empat faktor penentu yang dapat meningkatkan derajat kesehatan dalam keluarga,
yaitu: 1) faktor bawaan, 2) pelayanan kesehatan yang baik, 3) perilaku, 4) faktor lingkungan,
sedangkan upaya-upaya dalam menunjang peningkatan kesehatan dengan cara: pemeliharaan
kesehatan, pencegahan, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta upaya

penunjang yang sangat dibutuhkan antara lain: kualitas air, suhu, cahaya, energi dan
kecukupan gizi (Jhon, 1994:78).
Kesehatan adalah prakondisi bagi kelangsungan dan kenikmatan hidup, serta
merupakan faktor penting untuk memungkinkan seseorang untuk berperan secara penuh dalam
kehidupan sosial dan ekonomi. Bagi kebanyakan orang kesehatan fisik dan mental merupakan
hal terpenting dari apa yang dimaksud dengan kualitas hidup (Lourdes, 2000:16).
Kesehatan merupakan kondisi yang mendasar bagi kelangsungan hidup, kesehatan
berpengaruh terhadap produktivitas seseorang. Untuk itu, kesehatan keluarga perlu dijaga.
Untuk menjaga kesehatan diperlukan keharmonisan, empati, hubungan sosial, penghargaan
dan kebiasaan-kebiasaan baik dalam kehidupan (Fried, 1986:69).
Teori Lawrence (1980) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang dalam kesehatan ditentukan oleh tiga kelompok besar. Pertama: faktor predisposisi
adalah yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial dan unsur lain
yang terdapat dalam diri individu. Kedua: faktor pendukung, yang meliputi tersedianya
pelayanan kesehatan dan kemudahan dalam mencapainya. Ketiga: faktor pendorong yang
meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan. Sikap petugas yang tidak ramah juga dapat
menyebabkan masyarakat enggan untuk datang ke pusat-pusat pelayanan kesehatan. Selain itu
kemungkinan petugas kurang aktif dalam mendekati dan memberikan penyuluhan kepada
masyarakat sehingga akan berdampak kepada rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat
khususnya dibidang kesehatan (Salim, 2003:26-27).
Salah satu hal yang terkait dengan kesehatan bayi dan balita adalah mendapat atau
tidaknya Air Susu Ibu (ASI) dari ibunya. Oleh karena bayi sangat rentan terhadap kekurangan

gizi, maka pemberian ASI mutlak diperlukan bayi, ASI juga merupakan sumber makanan
utama dan terbaik bagi bayi, sedangkan status gizi ibu sebelum dan saat hamil berpengaruh
terhadap kecukupan dan kualitas ASI. ASI dapat menurunkan pneumonia karena selain bahan
nutrisi, ASI juga mengandung anti infeksi atau bahan imonologik serta bahan-bahan lain yang
dapat mencegah infeksi saluran nafas bakteri atau virus (Wibowo, 2005:43)
Selain dari pada itu, gizi juga merupakan bagian penting dari kesehatan dan
pendidikan, karena gizi adalah landasan terpenting bagi kesehatan seumur hidup (Lourdes,
2000:171).
Status gizi dan anak sangat dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan kesehatan.
Konsumsi makanan dipengaruhi oleh status gizi dalam makanan, ada tidaknya program
pemberian makanan di luar keluarga, daya beli keluarga dan kebiasaan makan orang tua
terutama ibu (Salim, 2002:28-29).
Itulah sebabnya, mengapa dikatakan kesehatan dan pendidikan perempuan atau ibu
merupakan satu ukuran atau indikator kesehatan yang paling efektif bagi suatu negara
(Lourdes, 2000:172).

c. Faktor Pendidikan
Popenoe (1997:221-226), menerangkan bahwa keberadaan seseorang di dalam struktur
organisasi kemasyarakatan merupakan status yang mempunyai pengertian khusus. Status
tersebut adalah aspek pendidikan, aspek kekayaan, aspek kekuasaan, dan aspek martabat. Pada
status pendidikan, maka status seseorang atau keluarga dapat dilihat berdasarkan tingkat
pendidikan yang sedang dan telah dialaminya (Hopkins, 1978:463).

Teori struktural-fungsional yang merupakan consensus, atau Equilibrium Theory
memberikan gambaran bahwa pendidikan sebagai lembaga yang berperan aktif dalam proses
perubahan suatu masyarakat, sementara sekolah merupakan masyarakat kecil sebagai agen
sosialisasi nilai-nilai moral yang ada dalam kehidupan masyarakat (Ballatine, 1993:7-8).
Supriatna (2000 : 97) menyatakan terdapat perubahan sosial dan modernisasi dengan
peranan pendidikan dalam rangka empowerment sehubungan dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia (kualitas hidup). Pernyataan ini dikemukakannya sebagai berikut:
Modernization and social change can be achieved only by improving and extending
education. Why do the leader of developing countries put so much emphasis on the
point? First, you much have education before you can obtain technological and
economic progress. To boost food production, to operate faktories, to apply science
for improvement of life, or to trade in work markets, a country has to have a large
group of well-trained people. Second to unity a collection of people and tribes
intonation, you also need education. Man cannot understand their fellow citizens
and widen their loyalties beyond the village if they cannot communicate ……third,
a political state in modern world can survive only if its official can coordinate
administration over large areas ……A people has to learn how to behave so that
there can be an effective modern state and society…… Finally, since schools have
importance political purpose, we should point out that pupils a indoctrinated.“
(Supriatna, 2000:49).
Dalam arti luas, pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetis,
yang membentuk pemikiran, karakter atau kapasitas fisik seseorang. Pendidikan tersebut
berlangsung seumur hidup, karena harus mempelajari cara berfikir dan bertindak yang baru
dalam setiap perubahan besar dalam hidup. Dalam arti sempit, pendidikan adalah penanaman
pengetahuan, keterampilan dan sikap pada masing-masing generasi dengan menggunakan
pranata-pranata, lembaga-lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan non-formal
(Manan, 1989:9).

Salah satu dari tiga pandangan superorganik terhadap pendidikan memiliki implikasi
bahwa kurikulum mesti dikembangkan atas kajian langsung dari keadaan kebudayaan
sekarang dan masa depan. Lebih lanjut dijelaskannya, pendidikan merupakan alat yang
digunakan masyarakat untuk melaksanakan kegiatannya sendiri dalam mengejar tujuannya.
Bukan masyarakat yang mengontrol kebudayaan melalui pendidikan, namun sebaliknya
pendidikan formal dan non formal adalah proses membawa tiap-tiap generasi ke arah
pengontrolan system budaya (Manan, 1989:19).
1. Pendidikan Formal.
Terlalu kentalnya teori human capital terhadap cara berfikir masyarakat,
menyebabkan tumbuhnya sikap yang seolah-olah mengkultuskan pendidikan sebagai lembaga
yang mampu mempersiapkan tenaga yang secara langsung dapat dipekerjakan. Hal ini terbukti
bahwa penduduk yang berpendidikan tinggi lebih mempunyai kecenderungan untuk bekerja
labih baik dalam mengembangkan karir dan menambah penghasilan keluarga (Ananta,
1993:58).
Pendidikan memberikan sumbangan secara langsung terhadap pertumbuhan
pendapatan nasional melalui peningkatan keterampilan dan produktivitas kerja. Terdapat
relevansi antara pendidikan dan pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas penduduk
sebagai potensi utama dalam pembagunan melalui strategi Link and Match yang ditandai:
Pertama, semakin tingginya tuntutan dunia tenaga kerja yang sejalan dengan pembangunan
baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Kedua, perubahan dalam struktur dan
persyaratan dunia kerja yang semakin kompetitif dan mengandalkan keahlian dalam suatu
bidang tertentu, tanpa mengabaikan wawasan dan pengetahuan secara interdisipliner. Ketiga,
kecendrungan umum dalam dunia pendidikan adanya perubahan cara berfikir yang

menyangkut pengetahuan, sikap, kemauan, dan keterampilan yang fungsional. Keempat,
semakin populernya konsep pengembangan sumber daya manusia dan pendidikan dipandang
upaya kuat untuk pengembangan sumber daya manusia berkualitas (Ahmadi, 1994:26).
Pendidikan berfungsi menyiapkan salah satu input dalam proses produksi, yaitu
tenaga kerja, agar dapat bekerja dengan produktif karena kualitasnya. Hal ini mendorong
peningkatan output yang diharapkan bermuara pada kesejahteraan penduduk (Ahmadi,
1994:70).
Dari konsep ketenagakerjaan, fungsi pendidikan memiliki dua dimensi penting yaitu
dimensi kuantitatif yang meliputi kemampuan sistem/institusi pendidikan sebagai pemasok
tenaga kerja terdidik atau untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia, dan dimensi kualitatif
yaitu penghasil tenaga terdidik yang selanjutnya dapat dibentuk menjadi tenaga penggerak
pembangunan atau sebagai driving force for development (Wardhall, 1991:34).

2. Pendidikan Non-Formal
Rivai menjelaskan bahwa pelatihan merupakan bagian pendidikan yang menyangkut
proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan diluar sistem pendidikan
(non-formal) yang berlaku dalam kurun waktu yang relatif singkat dengan metod