Hubungan antara Leukosit dengan Procalcitonin sebagai Biomarker Sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Bulan Agustus – Oktober 2015 Medan

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Leukosit

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan imun tubuh. Imunitas adalah kemampuan tubuh menahan atau menyingkirkan benda asing yang berpotensi merugikan atau sel yang abnormal. Leukosit dan turunan-turunannya, bersama dengan berbagai protein plasma, membentuk sistem imun, suatu sistem pertahanan internal yang mengenali dan menghancurkan atau menetralkan benda-benda dalam tubuh yang asing bagi “diri normal” (Sherwood, 2012).

Leukosit ini sebagian besar diproduksi di sumsum tulang (granulosit, monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel-sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah sebagian besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius. Jadi, sel-sel tersebut dapat menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap agen-agen infeksius (Guyton dan Hall, 2007).

Terdapat enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan di dalam darah. Keenam sel tersebut adalah netrofil polimorfonuklear, basofil polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, monosit, limfosit dan kadang-kadang, sel plasma. Ketiga tipe pertama dari sel yaitu sel-sel polimorfonuklear, seluruhnya memiliki gambaran granular, sehingga sel-sel tersebut disebut granulosit (Guyton dan Hall, 2007).

Pada manusia dewasa, leukosit dapat dijumpai sekitar 7000 sel per mikroliter darah. Presentasi normal dari sel darah putih kira-kira sebagai berikut (Guyton dan Hall, 2007):


(2)

Tabel 2.1 Persentase Normal Sel Darah Putih

Jenis Jenis Leukosit Persentase Sel Normal

Netrofil polimorfonuklear 62,0 %

Eosinofil polimorfonuklear 2,3%

Basofil polimorfonuklear 0,4%

Monosit 5,3%

Limfosit 30,0%

Pembentukan sel darah putih dimulai dari diferensiasi dini dari sel stem hemopoietik pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem committed. Sel-sel committed ini selain membentuk sel darah merah, juga membentuk sel darah putih. Dalam pembentukan leukosit terdapat dua tipe yaitu mielositik dan limfositik. Pembentukan leukosit tipe mielositik dimulai dengan sel muda yang berupa mieloblas sedangkan pembentukan leukosit tipe limfositik dimulai dengan sel muda yang berupa limfoblas (Guyton dan Hall, 2007).

Granulosit dan monosit hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Limfosit dan sel plasma diproduksi di berbagai jaringan limfogen, khususnya kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil dan berbagai kantong jaringan limfoid dalam sumsum tulang dan plak Peyer di bawah epitel dinding usus (Guyton dan Hall, 2007).

Leukosit yang dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit, disimpan dalam sumsum sampai sel-sel tersebut diperlukan dalam sirkulasi. Kemudian, bila kebutuhannya meningkat, beberapa faktor seperti sitokin-sitokin akan dilepaskan. Dalam keadaan normal, granulosit yang bersirkulasi dalam seluruh darah kira-kira tiga kali jumlah yang disimpan dalam sumsum. Jumlah ini sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari. Sedangkan limfosit sebagian besar akan disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid kecuali pada sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah (Guyton dan Hall, 2007).


(3)

Masa hidup granulosit setelah dilepaskan dari sumsum tulang normalnya 4-8 jam dalam sirkulasi darah, dan 4-5 jam berikutnya dalam jaringan. Pada keadaan infeksi jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan sering kali berkurang. Hal ini dikarenakan granulosit dengan cepat menuju jaringan yang terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk dalam proses dimana sel-sel itu sendiri harus dimusnahkan (Guyton dan Hall, 2007).

Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam, berada di dalam darah sebelum berada dalam jaringan. Begitu masuk ke dalam jaringan, sel-sel ini membengkak sampai ukurannya yang sangat besar untuk menjadi makrofag jaringan. Dalam bentuk ini, sel-sel tersebut dapat hidup hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Makrofag jaringan ini akan menjadi dasar bagi sistem makrofag jaringan yang merupakan sistem pertahanan lanjutan dalam jaringan untuk melawan infeksi (Guyton dan Hall, 2007).

Limfosit memasuki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lainnya. Kemudian, setelah beberapa jam, limfosit keluar dari darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis. Dan selanjutnya memasuki limfe dan kembali ke darah lagi demikian seterusnya. Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, tetapi hal ini tergantung pada kebutuhan tubuh akan sel-sel tersebut (Guyton dan Hall, 2007).

2.2 Procalcitonin

2.2.1 Biosintesis dan Patofisiolgi Procalcitonin

Procalcitonin (PCT) pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid carcinoma. PCT adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino (AA) dengan berat molekul 13 kDa, yang dikode dengan gen Calc-I yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari calcitonin (Balci C, 2003; Whicher K, 2001).

Gen Calc-I menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue-spesific alternative splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1-4 dari 6 exon yang


(4)

merupakan kode untuk pre-PCT, adalah sebuah rantai peptide yang terdiri dari 141 asam amino dimana memiliki sebuah rantai peptide yang terdiri dari 25 asam amino signal hidrophobik. Pada sel C kelenjar tiroid, proses proteolitik menghasilkan sebuah fragmen N-terminal (57 AA), calcitonin (32 AA) dan katacalcin (21 AA). Kehadiran sinyal peptide membuat PCT disekresikan secara intak setelah glikosilasi oleh sel lain. Transkrip yang kedua di potong secara terpilih yang mengandung exon 1,2,3,5,6 dan merupakan kode untuk Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP), dimana CGRP diekspresikan secara luas pada saraf di otak, pembuluh darah dan saluran cerna. CGRP ini mempunyai peranan dalam immunomodulasi,neurotransmitter dan mengontrol vaskuler (Meissner M, 2002; Rau B, 2004).

Gambar 2.1. Skema Asam Amino dari Procalcitonin. Sumber :Tannafos, 2008

Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa tiroid C cell bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua produk-produk biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenitas small cell carcinoma pada paru manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel monuklear


(5)

darah perifer manusia dan bermacam-macam sitokin proinflamatory dan lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 1/3 dari limfosit dan monosit manusia yang tidak di stimulasi mengandung protein PCT yang dapat didemonstrasikan secara imunologi, keadaan ini dipicu oleh lipopolisakarida bakteri, tetapi monosit dari pasien dengan syok sepsis memperlihatkan nilai basal yang meningkat dan peningkatan kadar PCT yang di stimulasi oleh lipopolisakarida(LPS) (Simon L et.al, 2004; Whicher J,2001).

Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolisis spesifik gagal sehingga terjadi konsentrasi yang tinggi dari protein precursor, begitu juga fragmen PCT yang berakumulasi dalam plasma. Asal mula sintesis PCT yang dirangsang oleh inflamasi belum diketahui dengan jelas saat ini. Sel-sel neuroendokrin di paru atau usus saat ini dianggap sumber utama PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total tetap mampu menghasilkan PCT pada keadaan sepsis (Meissner M, 2002; Whicher J,2001).

Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah yang rendah. Peninggian konsentrasi PCT, pertama kali terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu 6 hingga 8 jam kadar PCT akan meningkat dan mencapai plateu dalam waktu ± 12 jam. Setelah 2-3 hari, kadar PCT akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan cepat oleh stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari

PCT pada pasien dengan infeksi bakteri berat atau sepsis. Keadaan ini memperlihatkan patofisiologi PCT pada respon imun akut (Simon L et.al, 2004; Rau B et.al,2004).

Pada orang sehat PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran darah, karena itu kadar PCT tidak terdeteksi (< 0,1 ng/ml). Tetapi selama infeksi berat yang bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat meningkat hingga melebihi 100 ng/ml. Berbeda dengan waktu paruh calcitonin yang hanya 10 menit, PCT

memiliki waktu paruh yang panjang yaitu 25-30 jam (Vienna, 2000; O’Connor E et.al, 2001).


(6)

2.2.2. Hal-Hal yang Mempengaruhi Kadar Procalcitonin

Kadar PCT sangat stabil baik secara in vivo atau exvivo walaupun pada suhu ruangan. Juga terhadap pembekuan dan pencairan tidak mempengaruhi konsentrasi PCT secara signifikan. Konsentrasi PCT pada sampel arteri dan vena juga tidak berbeda. Tidak ada perbedaan konsentrasi PCT dalam sampel serum dan plasma dengan anti koagulan yang berbeda,perbedaan yang signifikan hanya pada plasma lithium-heparin. Bagaimanapun, perbedaan ini sangat kecil dengan rata-rata perbedaan <8%. Selain itu, kehilangan konsentrasi PCT sehubungan dengan penyimpanan pada suhu 25ºC juga rendah. Walau setelah 24 jam penyimpanan pada suhu ruangan, hanya 12,4% (mean) dari konsentrasi sebenarnya yang hilang dan sebanyak 6,3% (mean) yang hilang pada suhu 4C. Penyimpanan pada suhu ruangan lebih disarankan. Persentase kerusakan konsentrasi PCT pada suhu 25°C dan 4°C adalah sama untuk kadar yang tinggi (PCT > 8 ng/ml) dan kadar yang rendah (PCT <8 ng/ml) (Meissner M et.al,1997).

Konsentrasi PCT berhubungan dengan ringan atau beratnya infeksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. Namun demikian, kadar PCT tertinggi dijumpai pada pasien infeksi jamur, khususnya infeksi aspergillus. Pada infeksi jamur seperti kandidiasis mukosa mulut, kadar PCT berada dalam batas normal. Rata-rata kadar PCT tidak dapat dibedakan secara signifikan pada pasien yang diinfeksi oleh bakteri atau jamur yang berbeda. Kadar PCT menurun pada pasien yang berhasil (membaik) diterapi dengan antibiotik atau anti jamur yang efektif (Hammer C et.al,2002).

2.3 Sepsis 2.3.1 Definisi

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah leukosit, takikardia dan takipnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ (American College of Chest Physician,1992).


(7)

Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP) and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsis dibawah ini:

Gambar 2.2. Terminologi dan Definisi Sepsis. Sumber : Chen et. al, 2009

2.3.2 Epidemiologi

Sepsis adalah penyakit yang berkontribusi pada lebih dari 200.000 kematian pertahun di Amerika Serikat. Insideni sepsis, sepsis berat dan syok septik meningkat selama 20 tahun terakhir, dan jumlah kasus >700.000 per tahun (3 per 1000 penduduk). Sekitar dua pertiga kasus terjadi pada pasien dengan penyakit terdahulu. Kejadian sepsis dan angka kematian meningkat pada penderita usia lanjut dan sudah adanya komorbiditas sebelumnya. Meningkatnya insiden sepsis berat di Amerika Serikat disebabkan oleh usia penduduk, meningkatnya


(8)

pasien usia lanjut menyebabkan meningkatnya pasien dengan penyakit kronis, dan juga akibat berkembangnya sepsis pada pasien AIDS. Meluasnya penggunaan obat antimikroba, obat imunosupresif, pemakaian kateter jangka panjang dan ventilasi mekanik juga berperan. Infeksi bakteri invasif adalah penyebab kematian yang paling sering di seluruh dunia, terutama pada kalangan anak-anak (Munford, 2008).

Setiap tahunnya sekitar 750.000 kasus sepsis berlanjut menjadi sepsis berat atau syok septik di Amerika Serikat. Sepsis dapat menyebabkan kematian akibat miokard akut infark, syok septik dan komplikasi sepsis yang paling umum terjadi meruoakan penyebab kematian di unit perawatan intensif noncoronary. Terjadinya syok septik akan meningkat jika dokter melakukan tindakan operasi yang lebih agresif, organisme yang ada semakin resisten, dan penurunan daya tahan tubuh akibat penyakit dan penggunaan obat imunosuppresan. Distrubusi sepsis proporsional atau sebanding menurut jenis kelamin (Widodo, 2004). Studi terbaru menunjukkan bahwa Amerika Afrika memiliki insiden yang lebih tinggi dari sepsis berat dibandingkan kulit putih (6 banding 3,6 per 1000 penduduk) dan angka kematian yang tinggi di UPI (32.1%) (Russell, 2012).

2.3.3 Etiologi

Infeksi pada sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negative atau gram positif. Selama periode 1979 – 2000 di Amerika Serikat angka sepsis terus

meningkat sampai 13,7% per tahun. Dari 51% hasil biakan kuman yang tumbuh, 52,1% diantaranya adalah gram positif, 37,5% gram negatif, 4,7% polimikrobial, 4,6% jamur dan 1% bakteri anaerob. Infeksi bakteri gram positif terus meningkat disebabkan oleh peningkatan infeksi nosokomial dari berbagai sumber seperti kateterisasi atau terapi imunosupresif. Hal ini ditunjukkan dari meningkatnya kasus MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus) dari 29% menjadi 45%. Infeksi terutama terjadi pada saluran nafas (40-44%), diikuti oleh infeksi saluran genitourinarius (9-18%) dan infeksi intra abdominal (9-14%) (Bloch KC, 2000).


(9)

2.3.4 Tanda dan Gejala

Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tanda-tanda penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda-tanda dan gejala berkembang mungkin berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala pada setiap pasien sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan sepsis adalah normo-atau hipotermia, tidak ada demam paling sering terjadi pada neonatus, pada pasien lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme (Munford,2008).

Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami cemas, demam, takikardi, dan takipnea (Dasenbrook & Merlo, 2008). Tanda-tanda dari sepsis sangat

bervariasi. Berdasarkan studi, demam (70%), syok (40%), hipotermia (4%), ruam makulopapular, petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral (70% dengan meningococcemia), dan artritis (8%). Demam terjadi pada <60% dari bayi dibawah 3 bulan dan pada orang dewasa diatas 65 tahun (Gossman & Plantz, 2008). Infeksi menjadi keluhan utama pada pasien (Hinds et.al,2012). Perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan (LaRosa, 2010) juga merupakan tanda dan gejala pada sepsis. Adanya tanda dan gejala disseminated intravascular coagulation (DIC) meningkatkankan angka mortalitas (Saadat, 2008).

Pada sepsis berat muncul dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi setidaknya satu organ dengan gangguan kesadaran, hipoksemia (PO2 <75 mmHg),

peningkatan laktat plasma, atau oliguria (≤30 ml / jam meskipun sudah diberikan

cairan). Sekitar satu perempat dari pasien mengalami sindrom gangguan pernapasan akut (Acute Respiratory Distress Syndrome/ARDS) dengan infiltrat paru bilateral, hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler paru tekanan <18 mmHg .Pada syok septik terjadi hipoperfusi organ (Weber & Fontana, 2007).

2.3.5 Patogenesis

Perbedaan stadium pada sepsis merupakan suatu kesinambungan, dimana kondisi pasien sering berubah dari stadium ke stadium dalam beberapa hari atau bahkan hanya beberapa jam setelah masuk rumah sakit.


(10)

Sepsis umumnya dimulai dengan infeksi lokal, dimana bakteri masuk kedalam aliran darah secara langsung menyebabkan bakteremia atau bisa juga berproliferasi secara lokal dan melepaskan toksin kedalam aliran darah. Toksin ini bisa muncul dari komponen struktur bakteri ( contohnya, endotoksin, teichoic acid antigen) atau bisa juga sebagai eksotoksin dimana protein-protein disintesa dan dilepaskan oleh bakteri. Endotoksin yang dimaksud adalah lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada bakteri gram negatif. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000; Delevaux I, et.al,2003).

Pada bakteri gram negatif, dinding sel terdiri dari 3 lapisan yaitu membrane luar, periplasma dan membran dalam. Lipopolisakarida terdapat pada membran luar dinding sel, yang terdiri dari 3 bagian: antigen O, core dan lipid A. Antigen O adalah polimer yang tersusun dari 4-5 monosakarida, salah satu ujung dari rantainya terpapar pada permukaaan bakteri, ujung lainnya berikatan dengan core. Core berikatan dengan lipid A. Lipid A merupakan fosfolipid dengan basis glukosamin. Lipid A berikatan dengan membran luar dinding sel pada gugus asil yang bersifat hidrofobik. Lipid A merupakan bagian LPS yang bersifat toksik, dimana gugus fosfat pada posisi C1 dan C4 menentukan toksisitasnya. Struktur core pada LPS berbeda pada setiap spesies bakteri. Core LPS pada E.coli berbeda dengan Pseudomonas aeruginosa ataupun dengan Klebsiella pneumonia (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000).

Injeksi LPS pada hewan percobaan dan manusia menimbulkan tanda dan gejala demam, hipotensi dan pelepasan mediator inflamasi. Monosit atau makrofag, netrofil dan sel endotel berperan dalam respon terhadap infeksi dan mempunyai reseptor terhadap endotoksin. Suatu protein di dalam plasma dikenal dengan lipopolysacharide binding protein (LBP), dengan berat molekul 55 kDa dan disintesis oleh hepatosit berperan penting dalam metabolism LPS. LBP terdapat dalam 2 bentuk, bentuk terlarut dan dalam ikatan dengan reseptor LPS yaitu CD14 (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000).

Bila LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan


(11)

dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14 di permukaan sel maupun CD14 terlarut. Selanjutnya kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuclear factor kappa B(NFkB), tyrosinkinase (TK),protein kinaseC(PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks

LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like resceptor-2(TLR2) (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000).

Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri yang merupakan induktor sitokin adalah lipotheichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG). LTA

merupakan polimer gliserol dan fosfat, berikatan dengan membrane sel monosit pada gugus asil di reseptor LTA (reseptor scavenger tipe 1). Mekanisme transduksi sinyal intrasel LTA masih belum jelas. Peptidoglikan terdiri dari polimer ß1-4, glukosamin-N- asam asetilmuramat, dengan ikatan silang peptide. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa PG dapat menginduksi produksi sitokin pada monosit dengan ikatan pada CD14. Mekanisme transduksi sinyal intrasel PG juga belum diketahui (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000; Hack C dan Thijs L, 2000)

Pada infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dapat terjadi sindrom renjatan toksik (toxic shock syndrome/TSS). Mekanisme yang berperan adalah diproduksinya eksotoksin yang bersifat superantigen. Pada keadaan normal antigen akan diproses oleh Antigen Presenting Cells (APC) dan membentuk kompleks histokompatibilitas mayor (Mayor Histocompability Complex/MHC) tipe II dan dipresentasikan pada reseptor sel T (T cell receptor

/TCR). Superantigen akan secara langsung membentuk kompleks dengan MHC

dan TCR sehingga terjadi proliferasi sel T dan produksi sitokin yang berlebih (Bloch KC, 2000; Delevaux I, et.al,2003).

2.3.6 Peran Mediator Inflamasi pada Sepsis

Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan host terhadap infeksi dan invasi mikroorganisme. Immunitas host bereaksi dengan melepaskan protein endogen, aktivasi sel sehingga mikroorganisme dapat dibunuh, sel-sel yang rusak dibersihkan dan terjadi perbaikan jaringan (Hack C dan Thijs L, 2000).


(12)

Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih. Mediator inflamasi ini mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, mengaktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya; aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, sistem koagulasi dan fibrinolisis; pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator yang bersifat proinflamasi, dilepaskan pula mediator yang bersifat anti inflamasi seperti sitokin anti inflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon (Hack C dan Thijs L, 2000).

2.3.7 C-Reactive Protein

CRP merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan oleh hepatosit, merupakan suatu petanda inflamasi yang memberikan respon pada keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase akut ini dapat berupa respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja terjadi pada kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan keganasan. Secara sederhana yang dinamakan perubahan fase akut sebenarnya didasarkan kepada perubahan konsentrasi dari protein-protein fase akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif dan negative, dalam artian dapat naik ataupun turun sebanyak 25% (Gaba C dan Kushenr I, 1999).

Protein fase akut ini sebenarnya terdiri dari banyak jenis dari sistem komplemen, sistem kagulasi dan fibrinolitik, anti protease, protein transport dan lain-lain yang akan mengalami perubahan konsentrasi, baik berupa peningkatan maupun penurunan sebesar 25% dan termasuk di dalamnya adalah CRP (Gaba C dan Kushenr I, 1999).

Pada orang sehat didapati bahwa nilai tengah kadar CRP di sirkulasi adalah 0,8 mg/L, dimana bila terdapat stimulus yang bersifat akut, dapat terjadi peningkatan hingga 10.000 kali dari nilai normalnya. Waktu paruh dari CRP ini kira-kira 19 jam dan dari penelitian ternyata didapatkan hal ini konstan pada seluruh keadaan baik pada orang sehat maupun pada orang sakit (Gaba C dan Kushenr I, 1999).


(13)

2.3.8 Diagnosa

Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for Management of Severe Sepsis dan Septic Shock 2012, kriteria diagnosis sepsis adalah sebagai berikut :

Infeksi, didokumentasi atau dicurigai, dan beberapa keadaan:

Variabel umum

Demam (>38⁰C) Hipotermi (<36⁰C)

Frekuensi jantung >90 kali/menit atau lebih dari 2 SD diatas nilai normal

Tachypnea

Adanya edema atau keseimbangan cairan positif (>20 ml/kg diatas 24 jam)

Hiperglikemi (gula darah >140 mg/dL atau 7.7 mmol/L) dimana tidak ada riwayat diabetes

Variabel inflamasi

Leukositosis (jumlah leukosit >12.000 µ/L) Leukopeni (jumlah leukosit <4.000 µ/L)

Jumlah leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk immature

Kadar CRP plasma lebih dari 2 SD diatas nilai normal Kadar PCT plasma lebih dari 2 SD diatas nilai normal Variabel Hemodinamik

Hipotensi arteri (tekanan darah systole <90 mmHg, Mean Arterial Pressure (MAP) <70 mmHg, atau penurunan tekanan darah systole >40 mmHg pada orang dewasa atau kurang dari 2 SD diatas nilai normal

Variabel disfungsi organ

Hipoksemia arteri (PaO2/FiO2 <300)

Oliguria akut (pengeluaran urin <0.5 mL/kg/jam sekitar 2 jam walaupun adanya resusitasi cairan yang adekuat)


(14)

Koagulasi tidak normal (INR >1.5 atau aPTT >60 detik) Tidak ada suara usus (ileus paralisis)

Trombositopeni (jumlah platelet <100.000 µ/L)

Hiperbilirubinemi (kadar bilirubin total plasma >4 mg/dL atau 70 µmmol/L)

Variabel perfusi jaringan

Hyperlactatemia (>1 mmol/L) Penurunan pengisian kapiler

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosa Sepsis

Sumber : Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et.al (2012). 2.4 Analisis Korelasi

Korelasi merupakan suatu metode untuk mencari hubungan antara 2 variabel numerik, misalnya antara tinggi dan berat badan anak, atau antara tinggi badan dengan kapasitas vital paru (Sudigdo, 2014). Uji korelasi yang digunakan adalah Pearson bila salah satu variable berdistribusi normal dan jika sebaran data tidak normal, lakukan transformasi, jika hasil transformasi tidak normal maka uji korelasi yang digunakan adalah Spearman (Sopiyudin, 2015).

Tabel 2.3 Panduan interpretasi uji hipotesis korelatif

Parameter Nilai Interpretasi

Kekuatan korelasi (r) 0.0 – <0.2 Sangat Lemah 0.2 – <0.4 Lemah 0.4 – <0.6 Sedang 0.6 – <0.8 Kuat 0.8 – 1.00 Sangat Kuat

Sumber : M. Sopiyudin Dahlan, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan ed. 6th (2015)


(1)

2.3.4 Tanda dan Gejala

Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tanda-tanda penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda-tanda dan gejala berkembang mungkin berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala pada setiap pasien sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan sepsis adalah normo-atau hipotermia, tidak ada demam paling sering terjadi pada neonatus, pada pasien lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme (Munford,2008).

Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami cemas, demam, takikardi, dan takipnea (Dasenbrook & Merlo, 2008). Tanda-tanda dari sepsis sangat

bervariasi. Berdasarkan studi, demam (70%), syok (40%), hipotermia (4%), ruam makulopapular, petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral (70% dengan meningococcemia), dan artritis (8%). Demam terjadi pada <60% dari bayi dibawah 3 bulan dan pada orang dewasa diatas 65 tahun (Gossman & Plantz, 2008). Infeksi menjadi keluhan utama pada pasien (Hinds et.al,2012). Perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan (LaRosa, 2010) juga merupakan tanda dan gejala pada sepsis. Adanya tanda dan gejala disseminated intravascular coagulation (DIC) meningkatkankan angka mortalitas (Saadat, 2008).

Pada sepsis berat muncul dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi setidaknya satu organ dengan gangguan kesadaran, hipoksemia (PO2 <75 mmHg), peningkatan laktat plasma, atau oliguria (≤30 ml / jam meskipun sudah diberikan cairan). Sekitar satu perempat dari pasien mengalami sindrom gangguan

pernapasan akut (Acute Respiratory Distress Syndrome/ARDS) dengan infiltrat paru bilateral, hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler paru tekanan <18 mmHg .Pada syok septik terjadi hipoperfusi organ (Weber & Fontana, 2007).

2.3.5 Patogenesis

Perbedaan stadium pada sepsis merupakan suatu kesinambungan, dimana kondisi pasien sering berubah dari stadium ke stadium dalam beberapa hari atau bahkan hanya beberapa jam setelah masuk rumah sakit.


(2)

Sepsis umumnya dimulai dengan infeksi lokal, dimana bakteri masuk kedalam aliran darah secara langsung menyebabkan bakteremia atau bisa juga berproliferasi secara lokal dan melepaskan toksin kedalam aliran darah. Toksin ini bisa muncul dari komponen struktur bakteri ( contohnya, endotoksin, teichoic acid antigen) atau bisa juga sebagai eksotoksin dimana protein-protein disintesa dan dilepaskan oleh bakteri. Endotoksin yang dimaksud adalah lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada bakteri gram negatif. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000; Delevaux I, et.al,2003).

Pada bakteri gram negatif, dinding sel terdiri dari 3 lapisan yaitu membrane luar, periplasma dan membran dalam. Lipopolisakarida terdapat pada membran luar dinding sel, yang terdiri dari 3 bagian: antigen O, core dan lipid A. Antigen O adalah polimer yang tersusun dari 4-5 monosakarida, salah satu ujung dari rantainya terpapar pada permukaaan bakteri, ujung lainnya berikatan dengan core. Core berikatan dengan lipid A. Lipid A merupakan fosfolipid dengan basis glukosamin. Lipid A berikatan dengan membran luar dinding sel pada gugus asil yang bersifat hidrofobik. Lipid A merupakan bagian LPS yang bersifat toksik, dimana gugus fosfat pada posisi C1 dan C4 menentukan toksisitasnya. Struktur core pada LPS berbeda pada setiap spesies bakteri. Core LPS pada E.coli berbeda dengan Pseudomonas aeruginosa ataupun dengan Klebsiella pneumonia (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000).

Injeksi LPS pada hewan percobaan dan manusia menimbulkan tanda dan gejala demam, hipotensi dan pelepasan mediator inflamasi. Monosit atau makrofag, netrofil dan sel endotel berperan dalam respon terhadap infeksi dan mempunyai reseptor terhadap endotoksin. Suatu protein di dalam plasma dikenal dengan lipopolysacharide binding protein (LBP), dengan berat molekul 55 kDa dan disintesis oleh hepatosit berperan penting dalam metabolism LPS. LBP terdapat dalam 2 bentuk, bentuk terlarut dan dalam ikatan dengan reseptor LPS yaitu CD14 (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000).

Bila LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan


(3)

dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14 di permukaan sel maupun CD14 terlarut. Selanjutnya kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuclear factor kappa B(NFkB), tyrosinkinase (TK),protein kinaseC(PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks

LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like resceptor-2(TLR2) (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000).

Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri yang merupakan induktor sitokin adalah lipotheichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG). LTA

merupakan polimer gliserol dan fosfat, berikatan dengan membrane sel monosit pada gugus asil di reseptor LTA (reseptor scavenger tipe 1). Mekanisme transduksi sinyal intrasel LTA masih belum jelas. Peptidoglikan terdiri dari polimer ß1-4, glukosamin-N- asam asetilmuramat, dengan ikatan silang peptide. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa PG dapat menginduksi produksi sitokin pada monosit dengan ikatan pada CD14. Mekanisme transduksi sinyal intrasel PG juga belum diketahui (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000; Hack C dan Thijs L, 2000)

Pada infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dapat terjadi sindrom renjatan toksik (toxic shock syndrome/TSS). Mekanisme yang berperan adalah diproduksinya eksotoksin yang bersifat superantigen. Pada keadaan normal antigen akan diproses oleh Antigen Presenting Cells (APC) dan membentuk kompleks histokompatibilitas mayor (Mayor Histocompability Complex/MHC) tipe II dan dipresentasikan pada reseptor sel T (T cell receptor

/TCR). Superantigen akan secara langsung membentuk kompleks dengan MHC

dan TCR sehingga terjadi proliferasi sel T dan produksi sitokin yang berlebih (Bloch KC, 2000; Delevaux I, et.al,2003).

2.3.6 Peran Mediator Inflamasi pada Sepsis

Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan host terhadap infeksi dan invasi mikroorganisme. Immunitas host bereaksi dengan melepaskan protein endogen, aktivasi sel sehingga mikroorganisme dapat dibunuh, sel-sel yang rusak dibersihkan dan terjadi perbaikan jaringan (Hack C dan Thijs L, 2000).


(4)

Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih. Mediator inflamasi ini mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, mengaktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya; aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, sistem koagulasi dan fibrinolisis; pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator yang bersifat proinflamasi, dilepaskan pula mediator yang bersifat anti inflamasi seperti sitokin anti inflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon (Hack C dan Thijs L, 2000).

2.3.7 C-Reactive Protein

CRP merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan oleh hepatosit, merupakan suatu petanda inflamasi yang memberikan respon pada keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase akut ini dapat berupa respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja terjadi pada kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan keganasan. Secara sederhana yang dinamakan perubahan fase akut sebenarnya didasarkan kepada perubahan konsentrasi dari protein-protein fase akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif dan negative, dalam artian dapat naik ataupun turun sebanyak 25% (Gaba C dan Kushenr I, 1999).

Protein fase akut ini sebenarnya terdiri dari banyak jenis dari sistem komplemen, sistem kagulasi dan fibrinolitik, anti protease, protein transport dan lain-lain yang akan mengalami perubahan konsentrasi, baik berupa peningkatan maupun penurunan sebesar 25% dan termasuk di dalamnya adalah CRP (Gaba C dan Kushenr I, 1999).

Pada orang sehat didapati bahwa nilai tengah kadar CRP di sirkulasi adalah 0,8 mg/L, dimana bila terdapat stimulus yang bersifat akut, dapat terjadi peningkatan hingga 10.000 kali dari nilai normalnya. Waktu paruh dari CRP ini kira-kira 19 jam dan dari penelitian ternyata didapatkan hal ini konstan pada seluruh keadaan baik pada orang sehat maupun pada orang sakit (Gaba C dan Kushenr I, 1999).


(5)

2.3.8 Diagnosa

Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for Management of Severe Sepsis dan Septic Shock 2012, kriteria diagnosis sepsis adalah sebagai berikut :

Infeksi, didokumentasi atau dicurigai, dan beberapa keadaan:

Variabel umum

Demam (>38⁰C) Hipotermi (<36⁰C)

Frekuensi jantung >90 kali/menit atau lebih dari 2 SD diatas nilai normal

Tachypnea

Adanya edema atau keseimbangan cairan positif (>20 ml/kg diatas 24 jam)

Hiperglikemi (gula darah >140 mg/dL atau 7.7 mmol/L) dimana tidak ada riwayat diabetes

Variabel inflamasi

Leukositosis (jumlah leukosit >12.000 µ/L) Leukopeni (jumlah leukosit <4.000 µ/L)

Jumlah leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk immature

Kadar CRP plasma lebih dari 2 SD diatas nilai normal Kadar PCT plasma lebih dari 2 SD diatas nilai normal Variabel Hemodinamik

Hipotensi arteri (tekanan darah systole <90 mmHg, Mean Arterial Pressure (MAP) <70 mmHg, atau penurunan tekanan darah systole >40 mmHg pada orang dewasa atau kurang dari 2 SD diatas nilai normal

Variabel disfungsi organ

Hipoksemia arteri (PaO2/FiO2 <300)

Oliguria akut (pengeluaran urin <0.5 mL/kg/jam sekitar 2 jam walaupun adanya resusitasi cairan yang adekuat)


(6)

Koagulasi tidak normal (INR >1.5 atau aPTT >60 detik) Tidak ada suara usus (ileus paralisis)

Trombositopeni (jumlah platelet <100.000 µ/L)

Hiperbilirubinemi (kadar bilirubin total plasma >4 mg/dL atau 70 µmmol/L)

Variabel perfusi jaringan

Hyperlactatemia (>1 mmol/L) Penurunan pengisian kapiler

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosa Sepsis

Sumber : Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et.al (2012). 2.4 Analisis Korelasi

Korelasi merupakan suatu metode untuk mencari hubungan antara 2 variabel numerik, misalnya antara tinggi dan berat badan anak, atau antara tinggi badan dengan kapasitas vital paru (Sudigdo, 2014). Uji korelasi yang digunakan adalah Pearson bila salah satu variable berdistribusi normal dan jika sebaran data tidak normal, lakukan transformasi, jika hasil transformasi tidak normal maka uji korelasi yang digunakan adalah Spearman (Sopiyudin, 2015).

Tabel 2.3 Panduan interpretasi uji hipotesis korelatif

Parameter Nilai Interpretasi

Kekuatan korelasi (r) 0.0 – <0.2 Sangat Lemah 0.2 – <0.4 Lemah 0.4 – <0.6 Sedang 0.6 – <0.8 Kuat 0.8 – 1.00 Sangat Kuat Sumber : M. Sopiyudin Dahlan, Statistik untuk