Gambaran Sindrom Depresi pada Lanjut Usia di Puskesmas Darussalam, Kota Medan Tahun 2015

5


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Depresi

2.1.1. Definisi depresi
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan
munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan
bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan
konsentrasi (World Health Organization, 2010).

2.1.2. Gejala depresi menurut Tomb (2004):
1. Gambaran emosi
-

Mood depresi, sedih atau murung


-

Iritabilitas, ansietas

-

Anhedonia, kehilangan minat

-

Kehilangan semangat

-

Ikatan emosi berkurang

-

Menarik diri dari hubungan interpersonal


-

Preokupasi dengan kematian

2.

Gambaran kognitif
-

Mengkritik diri sendiri, perasaan tidak berharga, rasa bersalah

-

Pesimis ,tidak ada harapan, putus asa

-

Perhatiannya mudah teralih, konsentrasi buruk


-

Tidak pasti dan ragu-ragu

-

Berbagai obsesi

-

Keluhan somatik (terutama pada orangtua)

-

Gangguan memori

3. Gambaran vegetative
-

Lesu, tidak ada tenaga


-

Insomnia atau hipersomnia

-

Anoreksi atau hipereksia

6


-

Penurunan berat badan atau penambahan berat badan

-

Retardasi psikomotor


-

Agitasi psikomotor

-

Libido terganggu

-

Variasi diurnal yang sering

4. Tanda-tanda depresi
-

Berhenti dan lambat bergerak

-

Wajah sedih dan selalu berlinang air mata


-

Kulit dan mulut kering

-

Konstipasi

2.1.3. Klasifikasi Depresi menurut Revisi Teks edisi IV dari Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR) dalam R. Yulianti
(2006) :
1. Gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar
2. Gangguan mood spesifik lainnya
-

Gangguan distimik depresi minor

-


Gangguan siklotimik depresi hipomanik saat ini atau baru saja
berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun)

-

Gangguan depresi atipikal

-

Depresi postpartum

-

Depresi menurut musim

3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi
akibat zat
4. Gangguan penyesuaian dengan mood:depresi disebabkan oleh stresor
psikososial


7


2.1.4. Patofisiologi
Struktur neokortikal bagian dorsal merupakan hipometabolik dan struktur
limbik bagian ventral merupakan hipermetabolik saat seseorang mengalami
depresi. Jalur frontostriatal dalam otak memediasi afek positif yang berkenaan
dengan antisipasi, dan abnormalitas yang terjadi dapat mengakibatkan
ketidakmampuan

dalam

mengantisipasi

insentif,

sehingga

menyebabkan


predisposisi terjadinya depresi. Bagian medial kiri dari korteks orbitofrontal
teraktivasi sebagai respon terhadap reward dan bagian kanan korteks orbitofrontal
berespon terhadap punishment. Selanjutnya bagian anterior cingulate gyrus
berhubungan dengan struktur otak, dimana fungsi-nya sering terganggu pada
depresi. Perigenual cingulate menghubungkan antara fungsi yang sedang
berlangsung dan informasi yang berhubungan dengan konsekuensi yang akhirnya
menyebabkan motivasi. Dorsal cingulate memonitor respon dan memodulasi
perhatian dan fungsi eksekutif dalam kolaborasi-nya dengan korteks bagian
dorsolateral (Alexopoulos, 2005).
Disfungsi pada frontostriatal bisa menjadi predisposisi terjadinya depresi
pada usia lanjut. Disfungsi eksekutif, yang merupakan gambaran klinis
abnormalitas frontostriatal, sering terjadi pada depresi yang mengenai lanjut usia
dan menetap setelah kejadian simtom terkait mood. Sebagai tambahan, kelainan
pada subkortikal yang menekan jalur frontostriatal sering bertambah berat dengan
adanya depresi dan disungsi eksekutif. Volume yang rendah pada struktur
frontostriatal telah terbukti menyebabkan depresi pada usia lanjut, seiring dengan
hiperintensitas pada struktur subkortikal dan hubungan bagian frontal.
Abnormalitas makromolekular di genu dan splenium dari corpus callosum, bagian
kanan nukleus kaudatus, dan putamen sering ditemukan pada orang lansia dengan
depresi. Penurunan pada glia di subgenual anterior cingulate dan abnormalitas

neuron di korteks dorsolateral juga sudah diteliti pada pasien yang mengalami
depresi (Alexopoulos, 2005).
Disfungsi bagian frontostriatal mempengaruhi presentasi dan depresi berat
pada lansia, meningkatnya disfungsi eksekutif, retardasi psikomotor dan
menyebabkan peningkatan apatis. Disfungsi eksekutif secara umum terlihat dari

8


melambatnya, sedikitnya dan respon yang tidak stabil terhadap antidepresan
(Alexopoulos, 2005).
Abnormalitas pada white matter berhubungan dengan disfungsi eksekutif
dan hasil yang buruk pada depresi di kehidupan akhir/depresi pada lanjut usia.
Hipometabolisme pada bagian anterior dari cingulata telah dilaporkan pada
pengobatan depresi berat yang resisten, sementara hipermetabolisme timbul pada
pasien depresi dengan respon pengobatan yang baik. Meningkatnya amplitudo
gelombang negatif pada frontal bagian kiri setelah respon terhadap tugas inhibisi,
sebuah fungsi yang dimediasi oleh cingulata bagian anteriortelah diprediksi
terhadap perubahan yang terbatas atau melambat pada depresi tipe berat pada
individu lanjut usia yang diobati dengan citalopram (Alexopoulos, 2005).

Abnormalitas pada amigdala mungkin merupakan predisposisi terhadap
depresi. Amigdala memediasi emosi sebagai respon terhadap stimulus yang
aversive dan memberi sinyal yang bertanggung jawab pada perilaku coping dan
aktivitas otonom (Alexopoulos, 2005).
Perubahan yang berkaitan dengan usia dan berhubungan dengan persepsi
emosional dapat berkontribusi terhadap terjadinya depresi dan apatis. Stroke dan
kelainan subkortikal dapat merusak hubungan antara amigdala, nuklues thalamus
bagian medial dorsal, dan orbital, dan korteks prefrontal medial, mempredisposisi
depresi (Alexopoulos, 2005).
Sebagai tambahan, hiperkortisolemia, dimana meningkat saat penyakit
medis yang kronis, berhubungan dengan meningkatnya aktivitas amigdala,
menimbulkan pelepasan kortisol dan depresi. Pada episode awal terjadinya
depresi berat, pasien mempunyai volume amigdala yang besar dibandingkan
mereka yang menderita depresi berulang atau dalam kontrol yang sehat.
Peningkatan aktivitas pada bagian otak ini berkaitan dengan simtom depresi dan
emosi negatif, dan mungkin sebagai hasil dari inhibisi yang tidak adekuat dari
prefrontal bagian sentral (Alexopoulos, 2005).
Peningkatan aktivitas dari amigdala dikombinasi dengan modulasi kortikal
yang tidak adekuat dengan hasil emosional kemunginan berkontribusi dengan
simptom depresi. Abnormalitas hipoccampus juga dapat menjadi predisposisi

9


terjadinya depresi, karena volume dari strukturnya berkurang saat episode awal
depresi berat. Walaupun demikian, beberapa tidak setuju dengan teori ini.
Meskipun begitu, penurunan dari volume hipoccampus berhubungan dengan
durasi depresi pada masa hidup-nya (Alexopoulos, 2005).
Selebihnya, penurunan volume hipoccampus telah dilaporkan setelah
episode awal depresi berat meski pasien menerima antidepresan. Abnormalitas
hipoccampus sesuai dengan populasi lanjut usia, semenjak struktur nya secara
khusus rentan terhadap bertambahnya usia dan perubahan yang berhubungan
dengan usia. Selebihnya, regio hipoccampus CAI dan subiculum rentan terhadap
iskemik dan hiperkortisolemia, sebagai hasil dari stress dan penyakit medis yang
kronis (Alexopoulos, 2005).

2.1.5. Etiologi Depresi dalam Wade C. (2008)
1. Faktor Genetik
Penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak yang diadopsi dan
anak-anak kembar mendukung pemikiran yang menyatakan bahwa depesi
berat merupakan suatu gangguan yang bersifat turun temurun (Bierut et.
al., 1999). Para ahli kemudian berusaha mencari gen-gen yang sepertinya
terlibat, meskipun sepertinya hampir tidak mungkin terdapat sebuah gen
tunggal yang dapat menyebabkan depresi yang serius. Seperti pada kasus
gangguan stres pasca trauma, predisposisi genetik harus berinteraksi
dengan peristiwa yang penuh tekanan untuk dapat menghasilkan suatu
gangguan.
Para ahli telah mengidentifikasi sebuah gen (disebut sebagai 5HTT) yang memiliki dua bentuk: bentuk yang panjang sepertinya
membantu melindungi seseorang dari depresi, dan bentuk yang pendek
sepertinya membuat manusia menjadi rentan terhadap depresi (Caspi et.al.,
2003). Pada sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 847 masyarakat
New Zealand, dimana mereka diikuti oleh para peneliti semenjak proses
kelahiran hingga usia 26 tahun, para peneliti menemukan sebanyak 43%
dari mereka yang memiliki dua gen dengan bentuk yang pendek (satu dari

10


tiap orang tua) mengalami depresi yang sangat serius setelah melewati
suatu situasi yeng penuh tekanan (seperti kehilangan pekerjaan,
mengalami kecelakaan yang menyebabkan cacat, kematian salah seorang
anggota keluarga, atau mengalami tindakan kekerasan saat masa kanakkanak).
Sementara hanya 17% dari mereka yang memiliki dua gen dengan
bentuk yang panjang yang akan mengalami depresi, meskipun mereka
mengalami stres yang sama dengan mereka yang memiliki dua gen dengan
bentuk yang pendek. Mereka yang memiliki satu gen dengan bentuk yang
panjang dari salah satu orang tua dan satu gen dengan bentuk yang pendek
dari orang tua yang lainnya (33%), memiliki tingkat kerentanan terhadap
depresi yang berbeda di antara mereka yang memiliki dua gen dengan
bentuk yang pendek maupun dua gen dengan bentuk yang panjang.
Gen dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi dengan cara
mempengaruhi tingkat serotonin dan saraf penghantar lainnya yang
terdapat di otak. Gen juga dapat mempengaruhi produksi dari hormon
stress, kortisol, yang pada dosis tertentu dapat mengakibatkan kerusakan
pada hipoccampus dan amygdala (Sapolsky, 2000; Sheline, 2000).
Berdasarkan

penelitian

yang

dilakukan

di

Center

for

Epidemiologic Studies Depression Scale, Sweden, sebanyak 16% lansia
yang kembar bersaudara terkena depresi dan 19% menunjukan gejala
somatis. Faktor genetik ini hanya sedikit berpengaruh terhadap gejala
depresi yang terjadi (Gatz et al., 1992). Depresi berat pada lanjut usia
ditemukan lebih banyak pada wanita dibandingkan pria (Krause, 1986).
Penelitian yang dilakukan oleh Hazzard, pada tahun 1999 mencoba untuk
menjelaskan maksud dari pernyataan ini, dimana pada laki-laki ditemukan
lebih cepat meninggal dan mortalitas tersebut lebih sering dipengaruhi
oleh faktor genetik.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Hickie et al., pada
tahun 2001 ditemukan adanya peningkatan mutasi di C677T pada enzim

11


MTHFR (methylene tetrahydrofolate reductase) pada pasien lansia yang
memiliki depresi berat.

2.

Pengalaman hidup
Salah satu pengalaman yang sering kali menyebabkan seseorang
menjadi depresi, adalah peristiwa kekerasan. Kekerasan domestik juga
memiliki kontribusi pada banyaknya jumlah kasus depresi yang dialami
wanita. Meskipun wanita yang mengalami depresi lebih sering memiliki
hubungan dengan tindakan kekerasan, keterlibatan dalam hubungan
dengan tindakan kekerasan akan meningkatkan kadar depresi dan
kecemasan yang mereka miliki- namun menariknya, hal ini tidak terjadi
pada pria (Ehrensaft, Moffitt, & Caspi, 2006).
Wanita juga lebih sering mengalami tindakan kekerasan masa
kanak-kanak dibandingkan pria, sehingga meningkatkan resiko depresi
masa dewasa pada wanita (Weiss, Longhurst, & Mazure, 1999). Sebagai
tambahan, kondisi kehidupan yang dimiliki seseorang, seperti peranan
yang mereka miliki, status, tingkat kepuasan terhadap pekerjaan dan
keluarga, dapat mempengaruhi kecenderungan depresi yang dialami
seseorang. Dibanding wanita, pria lebih sering menikah dan bekerja penuh
waktu, suatu kombinasi peran yang sangat terasosiasi dengan kesehatan
mental dan tingkat depresi yang rendah (Brown, 1993). Dibanding pria,
wanita lebih sering hidup dalam kemiskinan dan mengalami penderitaan
yang disebabkan oleh diskriminasi, dan sumber tambahan dari depresi
(Belle & Doucet , 2003).
Adanya stress yang menumpuk selama masa hidup dapat
menyebabkan peningkatan sekresi kortisol yang mengakibatkan kerusakan
pada neuron di dalam hippocampus (Sapolsky, 1996). Gejala depresi dapat
menyebabkan peningkatan sekresi kortisol (Davis et al. 1984). Kortisol
menghambat neurogenesis yang menyebabkan penurunan volume
hippocampus dan hal ini yang mempengaruhi gejala kognitif pada
kejadian depresi (Sapolsky, 2001). Toksisitas neuron akibat glutamat yang

12


menyebabkan penurunan faktor pertumbuhan di dalam otak (Sheline,
2003) dan penurunan neurogenesis (Gould et al. 1999). Stress dini dapat
menyebabkan hipersensitifitas terhadap stress yang bersifat permanen,
disregulasi aksis Hipotalamus Pituitary Adrenal (HPA) dan pengulangan
episode pada depresi yang berat dan permanen (Heim et al. 2000).

3.

Kehilangan hubungan yang bermakna
Faktor ketiga adalah kehilangan hubungan penting. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya depresi pada individu yang rentan. Banyak dari
mereka yang mengalami depresi memiliki riwayat perpisahan dan
kehilangan, baik pada masa lalu, maupun pada masa sekarang; insecure
attachment; dan penolakan oleh orang tua (Nolan, Flynn & Garber, 2003;
Weisman, Markowitz, & Klerman, 2000).
Dalam suatu penelitian ditemukan hubungan yang erat antara
kejadian hidup yang berat (contoh: kematian teman dekat, penyakit kronis
pada orang didekatnya, penyakit berat yang dimiliki-nya sendiri) dan
kesulitan dalam bidang sosial (penyakit yang diderita oleh orang yang
dekat dengan pasien, rumah tangga, pernikahan dan hubungan keluarga)
dengan awal terjadinya depresi berat pada masa tua (Murphy, 1982).
Pada suatu penelitian cross-sectional dan longitudinal, kehilangan
teman dekat menunjukan adanya hubungan dengan gejala depresi pada
lansia (Prigerson et al. 1994; De Beurs et al. 2001). Sebagai contoh, pada
suatu penelitian di panti jompo dengan menggunakan 1810 lansia dan
dilakukan selama lebih dari tiga tahun, ditemukan awal terjadinya gejala
depresi yang signifikan sebagai akibat dari kematian pasangan hidup atau
saudara-nya.

13


4.

Hormonal
Hubungan penurunan hormon serotonin dalam depresi ini dapat
diamati melalui tritiated imipramine binding (TIB) dalam platelet lansia.
Pada lansia dengan depresi berat ditemukan adanya penurunan yang
signifikan pada lokasi ikatan tersebut dibandingkan subyek normal dan
subyek yang menderita penyakit Alzheimr. Tapi kapasitas ikatan tersebut
tidak mengalami penurunan (Nemeroff et al. 1988 dalam Dan dan Celia
2005).
Sekresi corticotrophin-releasing factor (CRF) telah menunjukan
adanya hubungan dengan kejadian depresi. CRF me-mediasi gangguan
tidur dan nafsu makan, menurunkan libido, dan perubahan psikomotor
(Arborelius et al., 1999 dalam Dan dan Celia, 2005).
Normal-nya, kadar CRF menurun seiring bertambahnya usia
(Gottfries, 1990 dalam Dan dan Celia, 2005). Penuaan berhubungan
dengan peningkatan respon dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S)
terhadap CRF (Luisi et al., 1998 dalam Dan dan Celia, 2005). Kadar
DHEA yang rendah juga menunjukan hubungan dengan peningkatan
kejadian depresi dan peningkatan gejala depresi pada wanita lansia yang
tinggal di panti jompo (Yaffe et al. 1998 dalam Dan dan Celia, 2005).
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Liverman & Blazer
pada tahun 2004, kadar testosteron lebih rendah pada pria lansia yang
memiliki kelainan distimik dibandingkan pria yang tidak memiliki gejala
depresi. Pada wanita, substitusi hormon telah menunjukan adanya
peningkatan dalam mood (Sherwin & Gelfand, 1998 dalam Dan dan Celia,
2005). Perubahan anatomis menunjukan adanya hubungan dengan
disregulasi endokrin dan juga gejala depresi pada lansia. Sebagai contoh,
gejala depresi tidak hanya menunjukan adanya hubungan dengan atrofi
hippocampus, tapi depresi juga diduga menyebabkan atrofi hipokampus
(Sheline et al. 1996; Sapolsky, 2001; Steffens et al., 2002 dalam Dan dan
Celia, 2005).

14


2.1.6. Faktor Resiko
1. Ketidakmampuan Fisik
Penelitian yang dilakukan oleh Martin dan Nandini (2003)
dengan cara menggabungkan 20 penelitian prospektif mengenai faktorfaktor resiko terhadap kejadian depresi pada lanjut usia. Dalam
penelitian ini mengindikasikan adanya lima faktor resiko yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian depresi pada lansia,
salah satunya adalah faktor ketidakmampuan (Cole dan Dendukuri,
2003)

2. Penyakit Kronis
Sindrom depresi yang terjadi pada akhir kehidupan seseorang
sering terikut dalam konteks penyakit medis dan kelainan neurologi.
Diagnosis depresi dapat ditegakan jika terdapat mood depresi atau
anhedonia pada pasien yang telah didiagnosa penyakit yang
berhubungan dengan depresi (Alexopoulos et al., 2002). Sekitar
seperempat dari individu yang memiliki infark miokard atau seseorang
yang sedang menjalani kateterisasi pada jantung-nya mempunyai
depresi yang berat, dan 25% lain-nya memiliki depresi ringan. Sekitar
setengah dari pasien yang memiliki penyakit jantung koroner dan
depresi yang berat akan mengalami paling sedikit satu kali episode
depresi yang berat, dan 50% dari mereka yang memiliki depresi yang
berat pada masa katerisasi jantung akan berlanjut mengalami depresi
setahun setelah prosedur tersebut dilaksanakan (Carney dan Freedland,
2003).
Semakin banyak masalah medis yang dimiliki maka akan
semakin meningkatkan resiko terkena depresi. Selebihnya, ada yang
menyatakan bahwa stress, depresi yang berat, dan penyakit medis
saling berhubungan. Stress menyebabkan adaptasi (allostasis), akan
tetapi ketika mediator yang berperan dalam respon terhadap stress
tidak dihambat (keadaan allostatic) maka imunitas terganggu, terjadi

15


arteriosklerosis dan obesitas, demineralisasi tulang, dan terjadi
peningkatan atrofi sel otak(Alexopoulos et al., 2002 ; Luber, Meyers,
Williams-Russo et al., 2001). Allostatic menandakan peningkatan
aktivitas adrenokortikal, meningkatkan kosentrasi Insulin Growth
Factor (IGF)-1, dan inisiasi respon inflamasi, telah dilaporkan pada
pasien yang memiliki depresi berat (McEwan, 2003).
Gejala atau sindrom depresi sering terdapat pada individu yang
terkena demensia. Point prevalence dari depresi yang berat sekitar 17%
pada pasien dengan penyakit Al-zheimr (Wraggdan Jeste,1989) dan
lebih tinggi pada pasien dengan demensia sub-kortikal (Sobin dan
Sacheim,1997).
Penyakit cerebrovascular dapat merupakan predisposisi,
presipitasi

dari

sindrom

depresi.

Hal

ini

berdasarkan

pada

komorbiditas dari sindrom depresi yang diikuti dengan lesi dalam
cerebrovascular dan faktor resiko cerebrovascular dan fakta bahwa
depresi sering berkembang setelah stroke (Alexopoulos, 1997;
Krishnan, Hays, Blazer, 1997). Orang lansia yang memiliki depresi
dan masalah vaskular memiliki disabilitas yang lebih tinggi dan fungsi
kognitif yang bermasalah dibandingkan mereka yang depresi tapi tidak
memiliki kelainan di vascular (Robinson, 2003).
Literatur Internasional mengobservasi bahwa gejala depresi
merupakan faktor resiko independen dalam peningkatan mortalitas
(Krishnan et al., 1997; Bottino, 2003; Steffens et al., 2006).
Selebihnya, hubungan antara depresi dan faktor resiko kardiovaskular
disebut juga depresi vaskular (Krishnan et al., 1997), yang secara
umum

berhubungan

dengan

respon

terhadap

ketidakpuasan

pengobatan medis (Barcelos et al., 2007).
Kelancaran verbal dan penamaan suatu objek merupakan
masalah dari fungsi kognitif yang sering terjadi pada pasien depresi
dengan masalah vaskular. Individu yang terkena lebih apatis, retardasi,
dan kekurangan dalam penglihatan, dan kurang-nya agitasi, dan

16


perasaan bersalah dibandingkan orang lansia yang memiliki depresi
tanpa ada masalah dalam vaskular-nya (Alexopoulos et al., 1997).
Obat-obat yang digunakan dalam pencegahan penyakit serebrovaskular
dapat menurunkan resiko depresi yang disebabkan masalah dalam
vaskular. Selebihnya, anti-depresan seperti dopamine atau norepinefrin
lebih disukai pada depresi karena masalah vaskular dan anti depresan
yang bersifat menghambatpemulihan iskemik seperti penghambat
adrenergik lebih baik dihindari (Krishnan, Hays, Blazer, 1997;
Alexopoulos, 1997).
Hipertensi juga berhubungan dengan peningkatan resiko
terjadi-nya depresi berat (Rabkin et al., 1983). Dalam suatu penelitian
yang menggunakan subyek sebanyak 139 lansia, ditemukan 54%
diantaranya saat pemeriksaan neuroimaging memiliki kriteria untuk
diagnosis iskemik vaskular di subkortikal (Taylor et al., 2003 dan
Krishnan et al. , 2004).
Depresi pada vaskular berhubungan dengan hiperintensitas
pada white matter, dimana pada scan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) ditemukan daerah yang putih di dalam parenkim otak (Krishnan
et al. 1997; Guttmann et al. 1998). Lesi ini yang menyebabkan
kerusakan pada jalur white-matter dan menyebabkan kerusakan sirkuit
saraf yang berhubungan dengan kejadian depresi (Taylor et al. 2003).
Pada depresi vaskular, lesi yang terletak pada bagian depan
white matter berhubungan dengan peningkatan rasio myoinositol–
creatinine dan choline–creatinine. Perubahan ini yang menyebabkan
perubahan biologis pada jaringan glia, yang berdampak terhadap
aktivitas sinaps (Kumar et al. 2002).
Depresi sering menyebabkan kesulitan dalam kesembuhan
penyakit pada lansia seperti miokard infark dan penyakit jantung lainnya (Sullivan et al. 1997), diabetes (Blazer et al. 2002a), fraktur
pinggang (Blazer et al. 2002a), dan stroke (Robinson dan Price, 1982).
Status fungsional yang buruk akibat penyakit fisik dan kelainan

17


demensia merupakan penyebab gejala depresi pada lansia (Hays et al.
1997; Bruce, 2001).
3. Kematian Pasangan
Depresi karena kehilangan cenderung memiliki jangka waktu
yang lebih pendek dibanding depresi karena faktor lain. Selama tahun
pertama sejak lansia mengalami kehilangan teman dekat, 10-20% dari
pasangan yang selamat tersebut memiliki gejala depresi yang makin
kuat, yang secara umum tetap ada jika tidak diobati (Alexopoulos
dalam Sadavoy, Jarvik, Grossberg, Meyers, 2004).
Lansia memiliki kecenderungan lebih rendah dalam mengalami
depresi dibandingkan dewasa muda pada satu bulan pertama masa
lajang. Prevalensi depresi yang berat akan berlanjut meningkat selama
dua tahun setelah lansia tersebut kehilangan teman dekat (Zisook,
Schuchter, Sledgedalam Schneider, Reynolds, Lebowitz, Friedhoff,
1994).

4. Fungsi kognitif
Secara

kognitif

orang

dewasa

lebih

cenderung

untuk

mengalami depresi daripada mereka yang tidak memiliki demensia
(Steffens et al., 2009) 30-50% lansia dengan penyakit Alzheimer
menderita gejala depresi. Meskipun demikian, prevalensi depresi
menurun dengan keparahan penyakit Alzheimer (Steffens & Potter,
2007).

5. Faktor Dukungan Sosial
Hubungan sosial mempengaruhi respon psikologis terhadap
stress, menurunkan aktivasi sistem saraf otonom dan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal,

berhubungan

dengan

peningkatan

tekanan darah, obesitas, hiperkortisolemia dan dislipidemia (Makaya et
al., 2011 dalam Valeria et al., 2013).

18


Pada keadaan tidak ada lingkungan sosial yang ramah, reaksi
sistem-sistem tersebut meningkat dan bisa berdampak buruk terhadap
kesehatan dan umur panjang, mempengaruhi terjadinya suatu penyakit
(Seeman, Mc Ewen, 1996 dalam Valeria et al., 2013).
Salah satu penyakit yang berhubungan dengan dukungan sosial
adalah depresi, dimana prevalensi-nya mencapai 37% di pelayanan
kesehatan primer (Li, Friedman, Conwell, Fiscella, 2007 dalam Valeria
et al., 2013). Kondisi ini berhubungan dengan penurunan kualitas
hidup, angka komorbiditas yang tinggi dan mortalitas yang tinggi.
Dukungan sosial melindungi individu dari konsekuensi terkena depresi
dengan cara mengurangi efek negatif tekanan sosial. Terdapat
hubungan timbal balik antara kejadian gejala depresi dengan besar-nya
jejaring sosial (Pinto et al., 2006 dalam Valeria et al., 2013).
Dimensi yang bisa diidentifikasi: dukungan materi, yaitu akses
pelayanan yang diberikan kepada orang pada saat dia membutuhkan
dan sumber materi, termasuk bantuan keuangan; dukungan afektif,
yang berkaitan dengan ekspresi cinta dan kasih sayang; dukungan
emosional, berkaitan dengan empati, kepercayaan, penghargaan dan
ketertarikan; dukungan informasi, mengenai akses individu untuk
melakukan konsul, saran dan bimbingan; dan interaksi sosial yang
positif, mengacu dengan adanya orang yang membuat dia bergembira
dan relaks (Sherbourne, Stewart, 1991 dalam Valeria et al., 2013).
Analisis multivariat mendemonstrasikan hubungan antara
dukungan sosial dengan kelainan mood. Individu yang tidak
mengalami depresi cenderung memiliki dukungan sosial yang
memuaskan. Rata-rata skor dukungan sosial yang diobservasi dalam
penelitian

ini

konsisten

dengan

penelitian

lain

dimana

ia

mendemonstrasikan rasio likelihood depresi yang lebih rendah pada
orang dengan dukungan sosial yang lebih tinggi dibandingkan mereka
dengan dukungan soial yang rendah. Di Korea, dengan menggunakan
versi lokal MOS, Shin et al., pada tahun 2008 mendiagnosa depresi

19


pada kelompok dengan dukungan sosial yang rendah sebanyak tiga
kali lebih banyak dibanding kelompok dengan dukungan sosial yang
tinggi, sementara di Thailand, hubungan antara depresi dengan
kapasitas fungsional dimodifikasi dengan tingkat dukungan sosial yang
ada (Suttajit et al, 2011 dalam Valeria et al., 2013).
Penelitian dengan menggunakan sampel yang berusia antara
55-85 tahun, yang berjumlah 2.823 orang dan menggunakan data yang
di follow up selama 13 tahun sejak awal terjadinya depresi.
Didapatkan bahwa responden dengan dukungan sosial yang rendah
lebih sering mengalami depresi dan laki-laki menunjukan prevalensi
depresi yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Sonnenberg et al.,
2013 dalam Valeria et al., 2013) .
Melchiorre et al., menginvestigasi hubungan antara dukungan
sosial,

demografi,

sosio-ekonomi,

variabel

kesehatan

dan

penganiayaan orang tua dalam penelitian metode cross sectional pada
4.467 orang yang tidak menderita demensia dan berusia antara 60-84
tahun yang tinggal di tujuh Negara Eropa. Mereka memferivikasikan
bahwa orang yang memiliki skor depresi rendah merupakan indikasi
adanya dukungan sosial yang tinggi (Melchiorre et al. 2013 dalam
Valeria et al., 2013).
Pada suatu komunitas penelitian di Hong Kong, dukungan
sosial yang buruk dan gejala depresi menunjukan adanya hubungan
(termasuk besarnya jaringan sosial yang dimiliki, kualitas jaringan
sosial tersebut, frekuensi kontak sosial, dan dukungan emosional) (Chi
& Chou, 2001 dalam Dan dan Celia, 2005).Dalam suatu penelitian
longitudinal, dukungan sosial yang buruk menyebabkan beberapa
gejala depresi setelah 3-6 tahun follow up (Henderson et al. 1997
dalam Dan dan Celia, 2005). Jaringan sosial yang buruk menyebabkan
insidensi depresi berat pada penelitian yang menggunakan 875 sampel
lansia yang tidak mengalami depresi dan di follow up selama 3 tahun.
(Forsell & Winblad, 1999 dalam Dan dan Celia, 2005).

20


6. Faktor Jenis Kelamin
Prevalensi depresi berat dan depresi tidak berat lebih banyak
pada wanita dibandingkan pria. Perbedaan tingkat depresi berdasarkan
jenis kelamin ini telah dilaporkan selama tiga dekade (Parker dan
Brotchie,2010 dalam Hyun et al., 2013). Respon terhadap terapi
dengan menggunakan obat dan tidak menggunakan obat juga
menunjukkan perbedaan dalam jenis kelamin (Parker dan Brotchie,
2010 dalam Hyun et al., 2013).
Dewey et al., (1993) dalam Zunzunegui (1998) menemukan
bahwa wanita lansia dua kali lebih banyak dibandingkan pria dalam
terdiagnosa secara psikiatri. Wanita memiliki kadar depresi dan gejala
ansietas yang lebih tinggi, sementara pria lebih sering memiliki
masalah dalam perilaku dan kebiasaan minum alkohol (Sarasola et al.
1992 dalam Zunzunegui, 1998). Sebuah penelitian kesehatan mental
pada orang dewasa di Cantabria menyatakan bahwa prevalensi gejala
depresi pada wanita dua kali lebih tinggi dibandingkan pria (Vazquez
Barquero et al. 1992 dalam Zunzunegui, 1998).
Aktivitas wanita terbatas dari lingkuan luar-nya. Tanggung
jawab sosial mereka dihubungkan dengan peran mereka sebagai
spouses, ibu, bibi dan nenek. Akhirnya, kontak sosial mereka dengan
lingkungan di luar keluarga menjadi jarang (Zunzunegui, 1998).
Wanita mempunyai faktor resiko yang lebih tinggi pada gejala
depresi: status sosial-ekonomi mereka lebih rendah, kesehatan mereka
buruk, dan mereka memiliki dukungan emosional dan kemampuan
mengontrol yang rendah dan memiliki beberapa aktivitas sosial yang
lebih sedikit dibandingkan pria ( Zunzunegui, 1998).
Kekuatan dari hubungan antara faktor resiko dan prevalensi
gejala depresi sama pada pria dan wanita, menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan dalam dugaan perbedaan antar kelamin ( Zunzunegui,
1998).

21


Hubungan antara jenis kelamin dan gejala depresi masih
signifikan setelah semua faktor resiko di beri kontrol (Zunzunegui,
1998).
Barry et al. (2008) dalam Ricardo (2010) mengobservasi
kemungkinan depresi yang lebih besar, gejala yang persisten dan laju
mortalitas yang rendah pada wanita lansia di Amerika dibandingkan
pria. Weissman dan Klerman (1997) dalam Ricardo (2010)
menyatakan prevalensi yang lebih besar ditemukan pada wanita dapat
dijelaskan secara metodologi, psikopatologi, dan sosial. Keadaan
janda, isolasi sosial, dan penurunan estrogen dapat menyebabkan
peningkatan prevalensi depresi pada wanita (Almeida, 1999 dalam
Ricardo et al. 2010).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Beekman et al. (1999),
sepuluh penelitian mengenai clinically significant depressive symptoms
(CSDS) yang menggunakan kalkulasi odds ratio ditemukan prevalensi
CSDS yang lebih besar pada wanita lansia (Ferreira et al. 2010).

7.

Faktor Kepribadian
Orang dengan psikologi yang rentan mengalami depresi, seperti
contoh, Neuroticsm. Pada lansia yang memiliki depresi berat, pikiran
pesimis dapat menyebabkan ide bunuh diri setahun kemudian. Lansia
yang pernah melakukan usaha bunuh diri, lebih tidak terbuka
dibandingkan orang dengan usia muda (Katon, Lin, Von, Korff et al.,
1994 dalam George, 2005).
Penelitian terbaru menemukan bahwa lansia dengan gangguan
personalitas empat kali lebih berisiko terkena gejala depresi (Morse
dan Lynch, 2004 dalam Dan dan Celia, 2005 ).
Pada

suatu

penelitian

cross-sectional

dan

penelitian

longitudinal, neurotism telah menunjukan adanya hubungan dalam
kejadian gejala depresi pada lansia (Henderson et al. 1993, 1997;
Lyness et al. 2002 dalam Dan dan Celia, 2005). Kadar neurotism yang

22


rendah lebih sedikit menyebabkan kelainan depresi dibandingkan
subyek dengan kadar neurotism yang tinggi (Oldehinkel et al., 2001
dalam Dan dan Celia, 2005). Suatu penelitian longitudinal di
Amsterdam, adanya depresi berat dan depresi ringan dan gejala depresi
yang menetap lebih dari tiga tahun berkaitan dengan kontrol di lokus
eksternal (Beekman et al., 2001 dalam Dan dan Celia, 2005).
Kemampuan mengontrol emosi berhubungan dengan penurunan gejala
depresi pada lansia dan dampak disabilitas akibat gejala depresi (Jang
et al. 2002 dalam Dan dan Celia, 2005). Self-efficacy melalui efeknya
dalam dukungan sosial menyebabkan efek langsung terhadap
pencegahan gejala depresi (Holahan & Holahan, 1987 dalam Dan dan
Celia, 2005).

8. Faktor Keturunan
Adanya perubahan dalam struktur otak, faktor keturunan dapat
menjadi predisposisi sindrom depresi pada masa akhir kehidupan.
Dalam penelitian yang dilakukan di komunitas dengan menggunakan
subyek lansia yang kembar, ditemukan keturunan memiliki variasi
gejala depresi sebanyak 18%. Lansia dengan gejala depresi lebih
sedikit memiliki saudara-nya yang juga depresi dibandingkan pasien
muda yang depresi (Gatz, Pedersen, Plomin, Nesselrade, McClearn,
1992 dalam George, 2005).
Riwayat pribadi atau riwayat keluarga yang memiliki kelainan
depresi mempengaruhi insidensi depresi setelah stroke daripada akibat
dari lesi vaskular (Brodaty, Luscombe, Parker, et al., 2001 dalam
George, 2005).
Tanda genetik untuk depresi pada masa akhir kehidupan belum
diidentifikasi. Meskipun demikian, hasil suatu penelitian pada orang
yang kembar menunjukan bahwa adanya hubungan antara reseptor
serotonin 2A gene promoter A/A genotype dan depresi pada lansia
pria, tapi tidak pada lansia wanita. Reuptake gen transporter serotonin

23


tidak berhubungan dengan depresi pada lansia yang kembar (Jansson,
Gatz, Berg, et al., 2003 dalam George, 2005).
Adanya alel apolipoprotein-E merupakan faktor resiko
penyakit Alzheimr dan penyakit cerebrovascular (Saunders, Hulette,
Welsh-Bohmer, 1996 dalam George, 2005), yang juga berhubungan
dengan kondisi depresi pada masa akhir kehidupan (Kuller,
Shemanski, Manolio, 1998 dalam George, 2005). Pasien dengan onset
depresi berat yang lama memiliki frekuensi yang lebih tinggi dalam
mutasi C677T dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase
daripada lansia yang sehat (Blazer, Burchett, Fillenbaum, 2002 dalam
George, 2005). Penemuan ini menyatakan bahwa predisposisi genetik
terhadap depresi pada masa akhir kehidupan dimediasi oleh lesi
vaskular (Hickie, Scott, Naismith et al., 2001 dalam George, 2005).

9. Faktor Aktivitas Fisik
Barcelos-Ferreira et al. (2009) mengamati bahwa peningkatan
pemburukan kognitif dan fungsional, dan latihan fisik yang lebih
sedikit

dapat

menyebabkan

peningkatan

prevalensi

Clinically

Significant Depressive Symptoms (CSDS) pada lansia. Dalam suatu
penelitian systematic review mengenai prevalensi depresi pada lansia
yang tinggal di komunitas, Beekman et al. (1999) dalam Ricardo et al.
(2010) mengelompokkan prevalensi depresi ringan dan berat menjadi
ketegori yang disebut Clinically Significant Depressive Syndromes dan
menemukan prevalensi sebanyak 13,5%. Hasil penelitian ini mirip
dengan prevalensi yang ditemukan oleh Barcelos-Ferreira et al. (2009).

10. Faktor Usia
Menurut Blazer (1994) dalam Ricardo et al. (2010) lansia
cenderung untuk memiliki prevalensi depresi berat yang lebih rendah
dan prevalensi gejala depresi yang lebih banyak dibanding dewasa
muda. Lansia memiliki lebih banyak kesulitan dalam mengenali gejala

24


depresi dibandingkan dewasa muda sehingga deteks depresi pada
lansia lebih rendah (Hasin dan Link, 1988 dalam Ricardo et al. 2010).
Selain itu, mortalitas dan resiko terkena penyakit demensia
meningkat seiring bertambahnya usia, dan dapat mempengaruhi
depresi pada lansia karena adanya hubungan antara depresi dan resiko
terkena demensia. Kemungkinan dirawat di rumah sakit lebih banyak
yang pada akhirnya dapat menyingkirkan pasien ini dari komunitas
(Barcelos-Ferreira et al., 2010)
Diantara penelitian yang dievaluasi dalam penelitian ini, hanya
dua yang menjelaskan hubungan signifikan antara peningkatan usia (≥
75 years) dengan prevalensi yang lebih tinggi (Maciel dan Guerra,
2006; Castro-Costa et al., 2008 dalam Ricardo et al., 2010). Sementara
dua penelitian lain menyatakan adanya kebalikan dimana pada lansia
dengan usia yang lebih muda (≤ 65 years) lebih terlihat gejala-nya
(Lebr˜ao and Laurenti, 2005; Blayet al., 2007 dalam Ricardo et al.,
2010).

11. Faktor sosial-ekonomi
Dalam suatu penelitian cross-sectional, krisis pendapatan
berhubungan dengan tingkatan gejala depresi (Black et al. 1998b
dalam Dan dan Celia, 2005). Sosial-ekonomi yang tidak baik
berhubungan dengan prevalensi dan menyebabkan gejala depresi yang
menetap selama lebih dari 2-4tahun pada sampel lansia yang diambil
dari panti jompo (Mojtabai & Olfson, 2004 dalam Dan dan Celia,
2005).

25


2.1.7. Dampak Depresi pada Lansia
Berdasarkan penelitian secara longitudinal dan di follow up selama 6 tahun
yang dilakukan oleh Pennix et al., ketidakmampuan fisik dibagi menjadi dua,
yaitu ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari dan ketidakmampuan dalam hal
mobilitas. Hasilnya, sebanyak 36,1% responden lansia yang menderita depresi
memiliki ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari dan sebanyak 29,3%
responden lansia yang tidak menderita depresi memiliki ketidakmampuan dalam
aktivitas sehari-hari. Sementara pada responden lansia yang memiliki depresi,
ditemukan sebanyak 67,3% memiliki ketidakmampuan dalam mobilitas.
Sebanyak 48,3% responden lansia yang tidak memiliki depresi. Dibandingakan
subyek yang tidak depresi, mereka yang menderita depresi cenderung untuk
memiliki aktivitas fisik yang sedikit (Pennix et al. 1999).
Depresi berat merupakan faktor resiko independen terjadinya mortalitas
pada pria lansia. Peningkatan resiko dalam semua penyebab mortalitas diobservasi
pada pasien dengan depresi yang tidak bersifat berat dan mungkin tidak berkaitan
dengan depresi tapi berkaitan dengan kemungkinan kondisi komorbid lain pada
lansia tersebut (Jeong et al., 2013)
Tingkah laku kesehatan yang buruk bisa menyebabkan mortalitas yang
banyak pada pasien dengan depresi berat. Kejadian depresi telah menunjukan
adanya hubungan likelihood dengan merokok, konsumsi alkohol, penyalahgunaan
obat-obat-an, dan kompliansi terapi yang buruk dengan penyakit komorbid yang
ada (Roeloffs et al., 2001; Dierker et al., 2002; Kim et al., 2010 dalam Hyun et
al., 2013).
Disamping itu, depresi berat secara langsung menyebabkan mortalitas
pada pria lansia. Dalam penelitian dengan menggunakan analisis multivariat,
dibandingkan kontrol yang tidak depresi, pasien dengan depresi berat menunjukan
sekitar empat kali lebih berisiko terhadap kejadian semua penyebab mortalitas
pada lansia, setelah mengontrol bermacam pendisposisi pada pria lansia (Jeong et
al. 2013).
Mekanisme biologis seperti pada disregulasi neuro-hormonal dan
disfungsi inflamasi dapat secara langsung mempengaruhi mortalitas yang lebih

26


banyak pada pasien dengan depresi berat: pasien dengan depresi berat
menunjukan adanya disregulasi pada sistem saraf otonom dan aksis hipotalamuspituitari-adrenal meskipun secara medis mereka normal (Carney et al., 2002;
Sherwood et al., 2007 dalam Hyun et al., 2013).
Depresi berat sering disertai dengan peningkatan kadar sitokin proinfamasi seperti interleukin-6, C-reactive protein, dan tumor necrosis factor-alpha
(Carney et al., 2002; Sherwood et al., 2007 dalam Hyun et al., 2013). Depresi
berat juga telah diketahui memiliki faktor resiko independen pada penyakit
kardiovaskular dan penyakit kanker (Pratt et al., 1996; Gross et al., 2010 dalam
Hyun et al., 2013).
Penelitian

preliminar

terbaru

melaporkan

bahwa

depresi

berat

berhubungan dengan percepatan pemendekan telomere (Simon et al., 2006 dalam
Hyun et al., 2013).
Ide bunuh diri, sering terjadi pada individu dengan depresi yang berat,
terjadi lebih sering pada lansia di Australia dengan dukungan sosial yang tidak
stabil (Vanderhorst, McLaren, 2005 dalam Valeria et al., 2013).

2.1.7.1 Perbedaan Jenis Kelamin dalam dampak Depresi
1. Peningkatan mortalitas penyakit cardio-cerebrovascular dalam depresi
berat mungkin berkaitan dengan mortalitas yang lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita. Depresi berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas pada stroke (Pan et al., 2011 dalam Hyun et al., 2013) dan
penyakit jantung iskemik (Jiang, 2008 dalam Hyun et al., 2013).
Penyakit pada vaskular ini sering terjadi pada lansia. Penurunan
testosteron dalam usia juga dapat meningkatkan mortalitas dalam
penyakit kardiovaskular pada pria. Hal ini disebabkan karena
testosteron dapat menurunkan densitas lipoprotein dalam darah dan
meningkatkan lipoprotein dengan densitas yang rendah (Viña et al.,
2005 dalam Hyun et al., 2013).
2. Depresi telah dihubungkan dengan stress oksidatif secara umum (Irie et
al., 2001; Forlenza dan Miller, 2006; Yager et al., 2010 dalam Hyun et

27


al., 2013), dan kerusakan oksidatif memegang peranan dalam
mengurangi usia hidup (Johnson et al., 1999 dalam Hyun et al., 2013).
Pria memiliki kadar enzim bersifat protektif yang lebih rendah
dibandingkan dengan wanita. Enzim protektif tersebut adalah
superoksida dismutase dan katalase. Sehingga tingkat kerusakan
oksidatif lebih tinggi pada pria (May, 2007 dalam Hyun et al., 2013).
3. Pria yang depresi lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan
wanita yang depresi (Hawton, 2000; Oquendo et al., 2001 dalam Hyun
et al., 2013). Upaya bunuh diri pada pria lebih mematikan dibandingkan
wanita dan perbedaan ini lebih jelas pada usia tua (Dombrovski et al.,
2008 dalam Hyun et al., 2013).
4. Perbedaan jenis kelamin pada penderita depresi berat mempengaruhi
dalam perbedaan perilaku hidup yang berbahaya terhadap kesehatan
dan kematian akibat kecelakaan. Depresi sering disertai dengan masalah
dalam minum alkohol dan mengemudi yang tidak benar (Wingen et al.,
2006; Kim et al., 2009; Jeong et al., 2012b dalam Hyun et al., 2013).

2.1.8. Gambaran Umum Puskesmas Darussalam
2.1.8.1.

Sejarah
Puskesmas Darussalam merupakan salah satu puskesmas yang menjadi

pusat pembangunan, pembinaan, dan pelayanan kesehatan. Puskesmas ini
melayani kesehatan masyarakat di dua kelurahan yaitu : Kelurahan Sei Putih Barat
dan Kelurahan Sei Sikambing. Puskesmas ini mulai dibangun sejak tahun 1965
dan diresmikan oleh KDH Sumatera Utara, Bapak Marah Halim. Sejak tahun
1997, Puskesmas Darussalam mendapat predikat kualitas asuransi (jaminan mutu)
yaitu tercapainya pelayanan kesehatan secara optimal dan sesuai standar.
Puskesmas Darussalam sering menjadi studi banding puskesmas lain-nya

28


2.1.8.2. Data Geografis dan Demografis
Puskesmas Darussalam terletak di jalan Darussalam No.40,
Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah, Kodya Medan dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Timur : Berbatas dengan Petisah Hulu
- Sebelah Selatan : Berbatas dengan Babura Sunggal
- Sebelah Barat : Berbatas dengan Kelurahan Sei Sikambing D
- Sebelah utara : Berbatas dengan Sei Agul
Puskesmas ini mencakup : 2 kelurahan, 23 lingkungan, 5455 Kepala
Keluarga dengan jumlah penduduk 20.870 jiwa dan kepadatan penduduk 6,84%.
Pada tahun 2013, jumlah total lansia di 2 kelurahan Puskesmas
Darussalam adalah sebanyak 2086 jiwa.
Dengan perincian:
- Kelurahan Sei Putih Barat = 1166 jiwa
-

Kelurahan Sei Sikambing D = 920 jiwa

2.1.8.3. Data Jumlah Lansia di Puskesmas Darussalam
Berikut jumlah lansia yang mendapatkan pelayanan kesehatan lansia di
wilayah kerja Puskesmas Darussalam pada tahun 2014 :
- Kelompok umur 60-69 tahun
Laki-laki = 239 orang
Perempuan = 559 orang
- Kelompok umur >70 tahun
Laki-laki = 295 orang
Perempuan = 452 orang

29


2.1.8.4. Program Puskesmas Darussalam Medan
Puskesmas Darussalam Medan telah melaksanakan 7 Program Prioritas
Kota Medan:
1. Promosi Kesehatan
2. Kesehatan Lingkungan
3. Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
4. Perbaikan Gizi masyarakat
5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6. Pengobatan
7. Pencatatan dan Pelaporan (Kota Medan)

Dan ditambah 11 Pengembangan yakni:
8. Usaha Kesehatan Sekolah
9. Usaha Kesehatan Gigi dan Mulut
10. Usaha Kesehatan Jiwa
11. Usaha Kesehatan Mata
12. Usaha Kesehatan Usia Lanjut
13. Laboratorium Sederhana
14. Usaha Kesehatan Olahraga
15. Usaha Pengobatan tradisional
16. Usaha Kesehatan Kerja
17. Usaha Perawatan Kesehatan Masyarakat
18. Farmasi

2.1.9. Kuesioner Geriatric Depression Scale
Geriatric Depression Scale (GDS) adalah kuesioner yang digunakan untuk
melakukan screening adanya depresi. Kuesioner GDS ini dapat digunakan oleh
orang yang sehat, memiliki penyakit medis dan memiliki kekurangan fungsi
kognitif yang ringan maupun sedang. GDS memiliki sensitivitas 92% dan
spesifisitas 89%.

30


Pada suatu penelitian yang membandingkan antara bentuk 30 pertanyaan
GDS dan 15 pertanyaan GDS, kedua bentuk tersebut sukses dalam menentukan
apakah seseorang depresi atau tidak mengalami depresi dengan korelasi tinggi
yaitu (r=84, p 11 lansia
mengindikasikan adanya depresi. Skor ≤11 mengindikasikan tidak adanya depresi.
2.1.10. Kuesioner Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia
Montreal Cognitive Assessment (MoCA) dapat menilai fungsi berbagai
domain kognitif dalam waktu sekitar 10 menit. MoCA terdiri dari 8 ranah kognitif
meliputi: fungsi eksekutif, kemampuan visuospasial, atensi dan konsentrasi,
memori, bahasa, konsep berfikir, kalkulasi dan orientasi. MoCA tes pertama kali
dikembangkan di institusi klinik Quebec Kanada pada tahun 2000 oleh
Nasreddine Ziad S, MD. Tes MoCA telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Di
Indonesia, perangkat ini sudah di validasi oleh Husein N., Lumempouw S., Ramli
Y., Herqutanto melalui penelitian yang dilakukan di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo. Uji validitas yang dilakukan dengan metode transcultural World
Health Organization (WHO) dan uji realibilitas test-retest dilakukan dengan
statistik K (Kappa). Skor tertinggi adalah 30 poin, sementara skor 26 keatas
dianggap normal. Cut off point MoCA berdasarkan berbagai studi di luar negeri
adalah 26 (Nasreddine Z, Kanada; Smith T, Inggris; dan beberapa penelitan
lainnya). Tes MoCA ditekankan pada fungsi eksekutif frontal dan atensi

31


dibandingkan dengan Mini Mental Status Examination (MMSE). Dalam
mendeteksi MCI, tes MoCA dianggap lebih sensitif dan lebih tinggi
spesifisitasnsya dibandingkan MMSE (Husein et al., 2010).