T2 752014027 BAB III

BAB III
EKSPRESI SPIRITUAL DI DALAM TATO

3.1 Pengantar
Kulit tubuh menjadi sasaran yang menarik untuk melakukan tato dimana
identitas pribadi dan perbedaan budaya dilukiskan. Modifikasi tubuh ini telah
populer dan meningkat dari sekedar praktek kebudayaan subkultur marjinal
hingga menjadi sesuatu yang diadopsi secara aktif oleh gabungan orang-orang
dari latar belakang sosial berbeda-beda sejak awal tahun 1990-an hingga saat ini.
Pertatoan, meskipun demikian, di kalangan kebudayaan tertentu dipandang bukan
sebagai proyek modifikasi, melainkan sebagai proyek mutilasi. Hal ini merujuk
pada pertimbangan kesehatan, sehingga sebagian orang di dalam masyarakat
memandang itu sebagai sesuatu yang ekstrim.
Peneliti menemukan bahwa modifikasi tubuh ini sangat populer di
kalangan

generasi

muda,

yang


sangat

mencintai

tubuh,

dan

senang

mempersembahkan daya ciptanya melalui tubuh. Tato menjadi sebuah ungkapan
dari energi dan semangat orang-orang bertato, sehingga tidak sedikit dari mereka
yang melibatkan pemikiran-pemikiran filosofis dalam sebuah tato. Percakapan
dengan para responden menggali kebanggaan mereka untuk berekspresi melalui
tubuh, dan mengungkapkan sebuah pengalaman spiritual melalui tato-tato mereka.
Menato tubuh mereka menjadi media mengungkapkan penderitaan, masa-masa
sukar, kenangan dari peristiwa yang ingin mereka kenang, dan kecintaan mereka
terhadap diri dan orang-orang yang dikasihi.


58

Tato, di kota yang dikenal dengan kebebasan untuk mengekspresikan
seni seperti Yogyakarta, akan tetapi masih memiliki orang-orang yang belum
menerima tato sepenuhnya. Hal ini ditandai dengan tidak terbatasnya lapangan
pekerjaan yang menerima para responden bertato. Peneliti akan memaparkan
bagaimana pandangan para responden mengenai tato dan maknanya bagi diri
pribadi, serta kisah para responden bertato dalam interaksi sosial dengan sesama,
melalui penyajian hasil wawancara dengan delapan orang responden bertato
berikut ini.

3.2 Sampel
Sampel terpilih melalui teknik pengambilan sampel berantai (snow ball
sampling), yakni yang dilakukan secara berantai dengan meminta info kepada

orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya. Sampel yang terdiri
dari 8 orang laki-laki yang memiliki tato masing-masing lebih dari dua,
berpartisipasi dalam penelitian ini. Para responden berusia antara 19-25 tahun,
yang berprofesi sebagai mahasiswa dan karyawan yang bekerja di kota
Yogyakarta, dan belum menikah. Kriteria inklusi ialah memiiki tato yang bersifat

konsepsi atau yang tidak bersifat goresan tanpa makna.

3.3 Prosedur
Orang-orang yang memenuhi kriteria didekati dan diminta untuk
berpartisipasi. Empat orang dari para responden (Dn, Ab, Ad, dan Ph) mengambil
tempat pertemuan di sebuah kafe yang waktu pelayanannya buka selama 24 jam,
bernama Mak Combrang, di seputaran Jalan Abu Bakar Ali, Gondokusuman,

59

Yogyakarta, dua responden (Nc dan Rf) mengambil tempat pertemuan di sebuah
Indomaret daerah seputaran belakang kampus Universitas Sanata Dharma dan
Universitas Negeri Yogyakarta, dan dua responden lainnya (Nr dan Rm)
mengambil tempat pertemuan di daerah Jalan Kaliurang. Informasi mengenai
identitas para responden diperoleh dan dicatat oleh penulis dengan mengajukan
pertanyaan sebelum merekam wawancara.
Wawancara dilaksanakan di tempat dan pada waktu yang telah disetujui
oleh responden sebelumnya. Semua wawancara direkam dengan ponsel pribadi
peneliti. Para responden terlibat dalam beragam situasi kehidupan, sehingga
waktu untuk melakukan wawancara harus dilakukan dengan pemberitahuan dan

pertanyaan mengenai kesediaan responden terlebih dahulu. Durasi wawancara
berkisar antara 10-30 menit dan berlangsung hingga tidak ada lagi pertanyaan
yang dapat dikembangkan.
Masing-masing responden, setelah memperoleh persetujuan yang jelas,
diminta untuk menjawab secara verbal pertanyaan-pertanyaan, mengenai alasan
para responden untuk menato dirinya, mengenai kemungkinan-kemungkinan yang
menginspirasi mereka, mengenai pengalaman tentang reaksi keluarga dan
masyarakat hingga pada pemahaman para responden terhadap tato dalam
kaitannya dengan spiritual.

60

3.4 Hasil
3.4.1

Ab (19 tahun), karyawan kafe

Responden Ab mulai berpikir untuk bertato pada usia12 tahun. Sejak
pertama kali berpikir untuk bertato, responden menganggap tato sebagai kenangkenangan dari dunia menuju kematian. Tato pertama didapatkan oleh responden
pada usia 14 tahun, yang waktu itu sebagai pelarian dari masalah yang dialaminya

yakni keluarga yang kurang harmonis. Bertato menjadi caranya untuk
menunjukkan protesnya terhadap orangtuanya, dan mengekspresikan dirinya,
sebagai pengalaman rasa kekecewaannya bertumbuh di dalam keluarganya. Itu
sebagai cara untuk menunjukkan bahwa dirinya tetap tidak terpengaruh dengan
situasi kedua orang tuanya. Pengalaman yang digambarkan lewat tato, menurut
keyakinan responden, membimbingnya kepada kelanjutan hidupnya sendiri.
Ya sudahlah, aku begini saja. Sebenarnya aku begini. Aku benar-benar
ingin menjadi aku saja.
Ketika orangtuanya tetap dalam kondisi yang tidak bersahabat satu
terhadap yang lain, responden memilih untuk tetap menjadi apa yang diinginkan
oleh dirinya. Menato tubuh memang berawal dari sebuah ungkapan rasa sakit hati
atau kekecewaan terhadap orangtuanya, semacam ungkapan untuk menunjukkan
pembalasan terhadap apa yang dialaminya, akan tetapi tato yang dipilihnya
mengantarkannya kepada perubahan cara berpikir tersebut. Tato menjadi sebuah
kenangan atas apa yang telah dilaluinya, yang terlihat pada tato pertamanya
menceritakan perihal kecintaanya terhadap ibunya. Cinta tersebut disimbolkan
dalam sebuah tato bunga mawar.
Setiap orang terkejut melihat tatonya, di awal mula responden bertato,
karena stigma negatif terhadap tato. “Bertato masih dicap jelek awalnya, tapi


61

sekarang keluarga sudah terbiasa.” Hal yang sama, akan tetapi, tidak terjadi pada
hubungan sosialnya dimana masyarakat di sekitarnya tidak mempermasalahkan
tubuhnya yang bertato.
Untung aku berkumpul dengan orang-orang yang open-minded
(berpikiran terbuka), dimana mereka melihat tato sebagai seni bukan
melihat dengan anggapan “ini orang jahat”.
Responden, meskipun demikian, tetap menyadari bahwa di beberapa tempat di
Indonesia, mungkin saja akan dicap sebagai orang yang tidak baik. Menurutnya,
masih banyak orang yang sama sekali tidak memahami bagaimana tato dapat
menjadi sebuah simbol untuk dikenang dan memotivasi diri sendiri dan orang
lain.
Responden berniat untuk menempatkan kutipan-kutipan menarik dan
bermakna di dadanya, dengan maksud hendak menyampaikan pesan terhadap
orang lain. “Itu soal keresahanku sendiri terhadap orang-orang yang berada di
dalam ‘lingkaran’.” Responden berniat untuk memotivasi orang-orang tersebut
dan dirinya sendiri melalui tato. “Seperti penyemangatku sendiri, motivasiku”.
Responden berharap orang-orang akan menghampirinya dan berkomunikasi
terhadap dirinya ketika melihat tato yang dimilikinya.

(Tato) bukan untuk pamer, tapi untuk kunikmati, suatu saat mungkin
orang lain melihat, menemukan kutipan-kutipan tersebut dan penasaran
terhadap tato-tato tersebut. Pada akhirnya mereka akan berbicara
kepadaku, dan aku akan menjelaskannya. Tato itu kenangan, bukan seni.
Seni ada tempatnya. Kalau di badan, untuk diri pribadi, untuk mengenang
dan dikenang.
Responden tidak melihat tato sebagai sebuah seni. Baginya, tato
merupakan sebuah kenangan yang akan dapat dibawa sampai mati. Perspektif
awal responden terhadap tato, yang semula merupakan pelarian dari kekecewaan
terhadap orangtuanya (untuk melepaskan rasa sakit hati), berubah makna menjadi

62

sebuah kenangan yang dapat diabadikan di dalam tubuh. Itu seperti harta
kekayaan yang akan dapat dibawa sampai mati, sehingga menurutnya, jika
seseorang menyenangi kutipan atau kata-kata mutiara tertentu, sebaiknya
seseorang tersebut mengabadikannya juga di tubuh sebagai pengingat dan
motivasi dalam menjalani hidup sehari-hari.
Tato merupakan sarana untuk mengenal dan dikenal oleh orang lain. Itu
sebabnya ia berniat memotivasi orang-orang dengan pandangan-pandangannya

mengenai hidup atau kutipan-kutipan motivatif lainnya, supaya setiap orang yang
melihatnya mendekat dan menjalin sebuah komunikasi dengan dirinya untuk
saling mengenal. Keinginan ini juga mengandung harapan supaya orang-orang
yang belum menerima tato dapat membuka diri untuk mengenal tato.
Berikut adalah tiga dari tato-tato yang dimilikinya.

a.

b.

Gambar a adalah Khamsa / Tangan Fatimah dan Sigil Sulaiman/ Seal of
Solomon, sedangkan gambar b adalah Symbol of Theosophic (Simbol Teosofis).
Khamsa 1 adalah sebagai tanda perlindungan terhadap orang-orang dan hal-hal

1
Khamsa, berarti “lima”, di beberapa negara Muslim, masih memiliki nilai magis yang
berkaitan dengan penggunaan jari-jari tangan sebagai pertahanan melawan mata jahat. Metodenya
ialah mengulurkan tangan kanan, dengan jari-jari menyebar terhadap orang yang sekilas dapat

63


yang negatif dan jahat. “Dulu, di bangsa Arab, tangan Fatimah banyak digantung
di dalam rumah sebagai perlindungan dari apapun, dari hal buruk, perilaku buruk,
dan orang-orang yang buruk.” Sigil Sulaiman juga dimaksudkan sebagai tanda
perlindungan dari orang-orang yang jahat. Simbol tersebut merupakan sihir baik
(white magic) yang dimaksudkan untuk melindungi.
Sebenarnya Sulaiman bisa memerintahkan apa saja di sekitarnya,
menurut kepercayaan Islam. Salomo memiliki mujizat untuk memerintah
semua makhluk (manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan). Catatancatatan terdahulu menceritakan bahwa dia membuat sebanyak tiga
puluhan simbol dari sihir baik (white magic) dan sihir jahat (black
magic). Sihir baik untuk hal-hal positif, sedangkan sihir jahat untuk
memerintah jin-jin dan setan-setan.
Menurutnya, simbol-simbol tersebut akan berfungsi jika diniatkan
dengan sungguh-sungguh. Semua dimulai dari diri sendiri. Responden mengakui
telah mempersiapkan dirinya sebelum menerima tato tersebut diaplikasikan ke
dalam kulitnya. Responden melakukan semacam ritual, termasuk membakar dupa,
sebagai niat untuk membuat kedua simbol tersebut memiliki kekuatan untuk
melindungi. Responden meyakini bahwa simbol-simbol tersebut akan berfungsi
jika diniati dan diyakini, sehingga dalam melakukannya harus sakral. “Aku sendiri
benar-benar memilih tempat tato yang bisa membuat tato itu dengan sakral.”

Tidak hanya melakukannya dengan sakral, responden juga menentukan terlebih
dahulu tempat yang menurutnya dapat menghadirkan nuansa sakral tersebut.
Symbol of Theosophic(simbol teosofis) merupakan sebagai wadah

bertemunya orang-orang yang haus akan hal-hal spiritual, namun terlepas dari

membahayakan, dan mengucapkan rumusan yang mengandung kata Khamsa , misalnya khamsa fi
‘ayni-k (lima di mata Anda). Gerakan ini seharusnya mengirim kejahatan pada sumbernya, namun
karena tidak selalu mungkin mudah untuk melakukannya, mengucapkan rumus dalam pikiran tetap
juga merupakan kekuatan profilaksis tertentu, dan dalam hal apapun memiliki kekuatan kutukan.
E. van Donzel, ‘Khamsa’ dalam E. van Dozel, B. Lewis, dan Ch. Pellat (Penyunting), The
Encyclopaedia of Islam Volume IV: Iran-Kha (Leiden: E.J Brill, 1997), 1009.

64

agama. Truth (kebenaran) menjadi agama yang dianut bersama oleh responden
dan komunitasnya yang menganut keyakinan tersebut.
Agama kita ‘truth’(kebenaran). Kita mencari apa saja yang bisa kita cari
dalam hal spiritual dan kita bagi ke orang-orang sekitar. Poin hidupku itu,
mencari. Apapun itu aku coba, mungkin besok atau nanti.

Bagi responden, kebenaran dan kejujuran mengantarkan pada pencarian
akan hal yang bersifat spiritual dan transenden. Ketika menemukannya baik di
dalam dirinya sendiri maupun dalam interaksi dengan orang lain, responden akan
membagikannya kembali kepada orang lain, salah satunya melalui tato atau
kutipan-kutipan maupun pandangan mengenai hidup yang ditampilkannya dalam
tato. Hal tersebut didasarkan pada pemikirannya bahwa hidup adalah persoalan
mencari sesuatu di luar diri pribadi dan berbagi sesuatu dengan orang lain.

3.4.2

Dn (23 tahun), mahasiswa Desain Komunikasi Visual

Berbeda dengan responden Ab yang tidak melihat tato sebagai sebuah
seni, responden Dn justru melihat tato sebagai sebuah seni. Responden Dn
mengaku takut melihat orang bertato saat pertama kali, bahkan juga saat pertama
kali menato tubuhnya. Hal yang membuat responden Dn berpikir untuk memiliki
tato pertama kali ialah keinginannya dan kecintaannya terhadap seni rupa. “Pada
dasarnya aku orang gambar, senang menggambar, badan jadi gambar juga.”
Responden berasumsi bahwa menggambar atau melukis tidak terbatas pada kertas
atau kanvas. Tubuh merupakan kanvas untuk menorehkan gambar-gambar.
Kulit ibarat kanvas, tato sebagai catatan. Barangkali tidak mengandung
arti, namun dapat menjadi ingatan, karena mengingatkan aku (akan
sesuatu hal).

65

Responden telah bertato selama tiga tahun, dan tato pertamanya
didapatkan pada usia 20 tahun. Tidak pernah ada yang menginspirasi responden
untuk memiliki tato saat pertama kali. Dorongan itu murni karena keinginannya
sendiri. Responden mengungkapkan bahwa ada sebagian orang menggunakan tato
untuk mengintimidasi kaum preman atau mungkin malah ingin menonjolkan sisi
buruk di dalam dirinya.
Ketika kamu bertato untuk menyampaikan keindahan tubuhmu, dan
mengapresiasi sense of art(rasa seni) yang ada pada dirimu, maka itulah
yang disebut tato sebagai seni. Perkara lain, ketika kamu bertato untuk
mengintimidasi kaum yang selama hidupnya diracuni bayangan tato
(para preman), maka dalam hal ini tato digunakan sebagai alat intimidasi,
atau bahkan hasrat akan “ke-preman-an” diri.
Sejauh responden memiliki tato, belum pernah responden mengalami
respon negatif dari masyarakat. Responden mengaku belum menunjukkan tubuh
bertatonya kepada keluarga, dan memang memungkinkan baginya untuk
menutupi tatonya dengan pakaian. Tato adalah sebuah kenikmatan tersendiri yang
cukup dirasakan oleh dirinya sendiri. “Aku tidak berharap keluarga menerima.
Tato itu kenikmatan pribadi.” Teman-temannya bahkan menganggap tubuh
bertato yang responden miliki sebagai sebuah hal yang biasa dimiliki sebagai
mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI). “Wah, anak ISI, bertato.” Memang bukan
hal yang luar biasa di kalangan mahasiswa seni untuk memiliki tubuh yang
bertato. Perspektif mereka terhadap seni mungkin mempengaruhi pola pikir
tersebut.
Menurut responden, tato adalah modifikasi tubuh dan tidak ada yang
salah bagi sebagian orang bertato yang tidak memiliki konsep apa-apa dalam
tatonya.

66

Tato itu seperti seseorang menggambar, seperti seseorang yang
melakukan ‘piercing’, atau sesederhana seseorang yang mewarnai
rambut. Tato untuk (sekedar) kesenangan itu tidak masalah, yang penting
tahu mengapa bertato.
Kesadaran dalam mengambil keputusan untuk menato tubuh menjadi hal
penting, menurut responden, sebab menato tubuh bukanlah sebuah hal yang
mudah untuk diputuskan. Seseorang perlu mempertimbangkan rasa sakit yang
akan dialami dalam proses pembuatannya.
Berikut adalah dua dari tato-tato yang dimilikinya.

c.

d.

Masing-masing merupakan Segitiga Prinsip (gambar c) dan Black Sun/
Matahari Hitam (gambar d). Segitiga prinsip tersebut merupakan desain hasil
kreativitas responden sendiri. Tiga segitiga yang dirangkai oleh sebuah lingkaran
sebagai rumusan keseimbangan dan keselarasan. Segitiga di sudut puncak
mengarah ke kepala, dua segitiga yang menjadi kakinya masing-masing mengarah
ke jantung dan lengan, yang berarti bahwa pikiran, tindakan, dan hati (perasaan)
harus berjalan beriringan.
Bagi responden, tindakannya dimulai dari lengan atau tangannya, itu
sebabnya salah satu kaki segitiga tersebut mengarah ke lengannya yang
merupakan sumber dari perbuatan yang dikerjakannya. “Karena aku senang
67

menggambar, jadi perbuatanku di tangan.”

Tato black sun(matahari hitam),

terinspirasi dari sebuah simbol yang diletakkan dalam lantai Puri Wewelsburg di
Jerman selama era Nazi. Sering ditemukan di kalangan okultisme Neopaganisme
di Jerman.2 Tato matahari dapat memiliki banyak arti. Matahari pernah dipuja
oleh banyak budaya di masa lalu dan dianggap sebagai dewa, jauh sebelum para
ilmuwan menemukan bahwa itu adalah bintang. Peneliti berpendapat bahwa
beberapa orang menyenangi tato matahari karena memandang matahari sebagai
hal yang benar-benar dapat diandalkan. Matahari akan terbit dan akan terbenam,
sehingga itu bisa menjadi simbol cahaya setiap kali langit tampak gelap, atau
menjadi simbol harapan dalam waktu kesusahan.

3.4.3

Ad (24 tahun), mahasiswa Pariwisata

Responden Ad berpikir untuk memiliki tato sejak umur 18 tahun, dan
menato tubuhnya pertama kali pada umur 19 tahun. Hal pertama yang
membuatnya tertarik untuk bertato adalah ketertarikannya terhadap seni. Menurut
responden, tato adalah seni itu sendiri.
Waktu itu masih SMA udah ingin bertato, begitu tamat SMA baru
menato.Orang bertato itu suka melihat orang bertato juga, karena dia
merasa penasaran dan terdorong untuk bertanya apakah ada filosofinya
atau sekedar iseng. Jadi pada awalnya ya karena memang menyukai seni.

2

The Black Sun (Jerman: sonnenrad = roda matahari), tidak ada yang mengetahui persis
makna simbol ini, dan tidak ada catatan mengenai nama yang dikaitkan dengan itu, bahkan oleh
Heinrich Himmler, sang pemimpin SS yang meletakkan simbol tersebut di dalam lantai Puri
Wewelsburg. Simbol matahari sendiri secara umum mewakili kemenangan, hidup, dan kebaikan,
dan simbol matahari dengan titik pusat, bagi mereka, sering mewakili persatuan dan sentralitas
juga. Semua makna ini cocok, baik dalam ideologi Nazi maupun pandangan dunia, yakni kesatuan
ras tunggal berpusat di sekitar partai kuat dan pemimpin menang atas yang lebih rendah, yang
menindas, ras yang jahat, merangkul pemenuhan kehidupan dan kebaikan seperti yang
didefinisikan
oleh
Nazi.
Catherine
Beyer,
‘Black
Sun’
dalam
http://altreligion.about.com/od/symbols/a/Black-Sun.htm diunduh pada 29 Agustus 2016.

68

Sebelum menato tubuhnya, perihal rasa sakit yang akan diterima saat
mengalami prosesnya dan akibat setelah memiliki sebuah tato, sudah terpikirkan
oleh responden, akan tetapi responden melalui tatonya, ingin menyampaikan
bahwa seni adalah sesuatu yang indah. Akibat yang akan diterima oleh responden
karena memiliki tubuh bertato juga telah dipikirkan oleh responden, akan tetapi
hal tersebut tidak membuatnya berhenti.
(Saya) mungkin akan tidak mendapat pekerjaan, dan mungkin akan
dikucilkan oleh keluarga karena bertato. Mau tidak mau, saya harus terima resiko
itu.Seni itu indah. Don’t judge a book from the cover (jangan menilai seseorang
dari penampilan luarnya).
Responden berharap supaya orang lain yang melihat orang bertato seperti
dirinya tidak segera menganggap dirinya sebagai orang yang tidak baik. Pada
awalnya, keluarga responden tidak menerima keputusannya untuk menato tubuh,
namun sekarang hal tersebut tak lagi menjadi penolakan. Responden
membuktikan bahwa tato bukanlah simbol yang berkaitan dengan preman, dan
menjadi suatu kebanggaan bagi dirinya ketika orang-orang memandangnya karena
tubuhnya yang bertato, terutama di tengah-tengah orang-orang yang tidak bertato.
“Saya bangga jika orang-orang melihat saya, bahwa hanya saya yang bertato di
antara mereka.” Ada kenikmatan yang ditemukannya dalam identitasnya sebagai
orang bertato, yakni bahwa dirinya dapat mengalihkan perhatian orang lain oleh
karena tato yang dimilikinya. Itu sebabnya, penting baginya untuk memiliki tatotato yang bermakna positif.
Responden mengalami tanggapan yang negatif dari teman-teman seiman,
akan tetapi reaksi dari beberapa teman sesama muslim yang menyayangkan
keputusannya untuk bertato tersebut tidak dianggap serius olehnya. Responden
mengalami semacam penghakiman yang menyatakan bahwa ibadahnya sama

69

sekali tidak bermakna oleh karena tubuhnya telah ‘dikotori’ oleh tato. Responden
pernah mengalami sebuah peristiwa ketika hendak beribadah di mesjid, dimana
orang lain melihat tatonya ketika sedang berwudhu. Orang lain yang melihat
tersebut mengatakan bahwa wudhunya tidak sah karena tatonya. Berdasarkan
pengalaman responden, selama ini orang-orang yang mencibir dirinya karena
bertato adalah mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah
dibandingkan dirinya. Orang yang memandang negatif tentang tato, menurut
perkiraan responden, adalah sekitar dua dari sepuluh orang yang ditemuinya.
Teman-teman muslim sering memberitahu saya bahwa wudhu saya tidak
sah. Saya cuma berpikir, mengapa memberitahu saya yang sudah bertato?
Hal tersebut, meskipun demikian, tidak membuatnya mundur atau
berhenti untuk menato tubuhnya. Keyakinannya tentang Tuhan menjadi
kekuatannya. Menurut responden, Tuhan berkuasa atas dirinya dan senantiasa
baik dalam kehidupannya. Hal ini tergambarkan dalam salah satu tatonya, God is
Good/ Tuhan itu baik (gambar e), yang tergurat di pergelangan tangannya.

e.

f.

70

Tato tersebut menjadi pengingat bagi dirinya sendiri untuk mencintai
Tuhan dan pengingat akan kebaikan Tuhan di dalam kehidupannya, yang
menyiratkan hubungan imannya terhadap Tuhan. Rasa syukurnya kepada Tuhan
diungkapkan oleh responden dengan tato. Responden mengandalkan Tuhan dalam
hidupnya, itu sebabnya responden menuliskan sebuah kutipan yang disenanginya
ke dalam kulitnya sebagai tato. Sewaktu-waktu, tato tersebut akan mengingatkan
dirinya tentang kebaikan Tuhan.
Saya bertato, tapi masih memiliki Tuhan. Saya bertato itu bukan karena
asal-asalan atau karena ikut tren, melainkan karena saya cinta kepada
Tuhan.
Bagi responden, bertato itu menambah kepercayaan dirinya.“Bagi saya,
memiliki tato itu membuat saya menjadi percaya diri, saya seperti memiliki
kekuatan.” Responden berpikir, seandainya dirinya dilahirkan dalam kebudayaan
suku

Mentawai

atau

Dayak,

kemungkinan

orang-orang

tidak

akan

mempermasalahkan tatonya.
Saya kan dari Sunda, jadi tidak ada keharusan (tradisi) bertato, justru
ingin bertato. Pernah berpikir untuk memiliki orangtua angkat dari suku
Dayak supaya dapat memiliki tato tradisi mereka.
Responden mengaku tertarik dengan tato-tato tradisional, misalnya tato
yang dimiliki masyarakat suku Dayak. Responden menyatakan keinginannya
memiliki tato-tato yang bermakna spiritual yang dimiliki oleh masyarakat suku
Dayak, misalnya yang melambangkan kekuatan. Hal ini juga yang memotivasi
dirinya untuk memiliki salah satu tato khas suku Dayak, berupa gelang seperti
yang terlihat pada gambar f.
Gambar f juga merupakan tato yang terinspirasi oleh pemain sepak bola
idola responden. Responden begitu menggemari pemain sepak bola tersebut

71

hingga membuatnya ingin memiliki tato yang sama. Ini untuk mengungkapkan
rasa kagumnya terhadap sang idola. Tidak hanya itu, responden yang juga bekerja
sebagai koki tersebut, sangat mengidolakan seorang koki yang selalu percaya diri
dengan penampilan tubuh bertatonya. Itu sebabnya, untuk menambahkan rasa
percaya dirinya juga sebagai seorang koki, maka responden berkeinginan untuk
menato tubuhnya lebih banyak lagi.

3.4.4

Ph (25 tahun), mahasiswa Seni Murni dan karyawan kafe

Sejak awalnya, tidak ada yang membuat responden Ph berpikir untuk
menato tubuhnya, situasi tempat tinggalnya yang dihuni oleh teman-temannya
yang bertato, mengantarkannya pada keputusan untuk menato tubuhnya.
Tidak pernah berpikir untuk bertato, tidak ada rencana. Gara-gara dulu
serumah bersama teman-teman dan hanya saya yang tidak bertato.
Ketertarikan responden untuk memiliki tato menjadi semakin kuat ketika
dirinya mengetahui makna dan cerita yang terkandung pada tato-tato tersebut.
Saat berpikir untuk membuat tato, responden merasa perlu memikirkan sebuah
desain yang bermakna dan sedapat mungkin memiliki kesatuan dengan dirinya.
Tato adalah cerita. Hal tersebut yang kemudian menginspirasi responden untuk
menato tubuhnya.
Tato teman-teman punya statement (pernyataan) yang ingin dikenang
secara abadi. Apapun itu, entah dia ingin mengenang momen ataupun
mengenang sesuatu yang melambangkan dirinya, sesuatu yang dia suka,
sesuatu yang berharga buat dia.
Tato pertama didapatkan oleh responden saat berusia 23 tahun, dan sudah
menyiapkan konsep untuk tato tersebut jauh sebelum responden menato tubuhnya,
namun tato menjadi rahasia bagi dirinya. Tidak satu pun tato-tato yang

72

dimilikinya terlihat, semua tertutupi oleh pakaiannya. Ada salah satu tato yang
membuatnya tidak ingin mempertunjukkan tato-tatonya, yakni tato Swastika
(gambar g).
Swastika kan identik dengan Nazi, makanya ada orang-orang bule yang
melihat dengan pandangan heran, seolah berkata, “mengapa orang Asia
ini bertato simbol Nazi”.
Berikut adalah tiga dari tato-tato yang dimilikinya.

g.

h.

Swastika3, oleh responden dianggap sebagai gambar yang hidup, dan
ingin mensugesti diri agar chakra hatinya dapat lebih menerima hidup. Itu seperti
memberi kekuatan tersendiri dan menggerakkan pikiran dan tindakannya.
Swastika kan pada dasarnya berarti peace (damai) dan harmony
(keselarasan). Itu makanya saya tempatkan di dekat hati saya.
Digambarkan bersama dengan ‘mandala lotus’ juga, jadi secara spiritual
saya percaya sebagai mahasiswa seni bahwa gambar itu hidup. Saya
ingin cakra hati saya setidaknya disimbolkan dengan sesuatu supaya saya
bisa lebih menerima hidup itu sendiri.
3

Simbol swastika bukan hanya sebagai tanda yang penuh harapan atau menguntungkan.
Simbol tersebut, dan doa-doa serta praktek-praktek yang berhubungan dengan swastika
dimaksudkan untuk memurnikan tempat ritual, melindungi seseorang dari roh jahat, penyakit, dan
kemalangan, mengundang kedamaian, kemakmuran dan kemujuran ke dalam rumah, tubuh, dan
pikiran seseorang. Kata swastika sendiri pada dasarnya bekaitan dengan kesehatan, dimana di
dalamnya terdapat kekayaan, dan sumber kemurnian, kebahagiaan, dan kebaikan bersama.
Jayaram V., ‘The Meaning and Significance of Swastika in Hinduism’
dalam
http://www.hinduwebsite.com/hinduism/concepts/meaning-and-significance-of-swastika-inhinduism.asp diunduh pada 29 Agustus 2016.

73

Gambar h merupakan Open Triad (di pundak kiri) dan Triquetra (di
pundak kanan) yang merupakan lambang imajinasi dan talenta, dimana kedua hal
tersebut diinginkan oleh responden untuk menjadi sayap untuk menjalani
kehidupannya. Baginya, tato menjadi hidup ketika dimasukkan kedalam kulit.
“Ketika kita menato, kita membuka jalur darah berarti kita memberi darah ke tinta
tersebut dan itu membuatnya (tato) menjadi hidup.”
Responden dapat menduga keluarganya akan tidak dapat menerima
tubuhnya yang bertato. Jika suatu saat dirinya akan menujukkan tato-tato tersebut,
ada keinginan untuk mengungkapkan kepada orang-orang bahwa tubuhnya adalah
haknya.
Saya dilahirkan di dalam keluarga yang syar’i. Bertato nanti membuatmu
masuk neraka, mereka masih beranggapan seperti itu. (Namun) ini badan
saya, pilihan saya.
Pendapat

responden

tersebut

mengungkapkan

bahwa

bagaimana

pandangan orang lain termasuk keluarga, terhadap tubuhnya yang bertato, tidak
akan mengambil haknya atas kepemilikan terhadap tubuhnya sendiri. Tidak ada
penyesalan di dalam dirinya atas tubuh yang bertato sebagai seorang beragama,
bagi responden, bukan manusia yang berhak menghakimi seseorang untuk dapat
masuk surga. Responden benar-benar menyadari apa yang dilakukannya terhadap
tubuhnya, dan menyadari konsekuensi apa yang akan diterimanya sebagai reaksi
dari orang-orang yang melihat tubuh bertatonya suatu saat, akan tetapi responden
lebih memilih berserah kepada Tuhan sebagai Hakim yang memiliki wewenang
untuk membenarkan atau menyalahkan akan apa yang telah dilakukannya
terhadap tubuhnya.

74

3.4.5

Nc (19 tahun), karyawan distro

Responden Nc berpikir untuk bertato pertama kali pada ketika dirinya
masih duduk di SMP kelas 1. Pada saat itu sama sekali belum pernah mengetahui
sebelumnya bahwa menato itu sakit, namun responden sudah melihat tato itu
sebagai sebuah seni.
kalau bagi saya sendiri, tato itu seni, soalnya keluarga memang notabene
ada yang bertato, piercing, sekalipun anak kecil. Jadi, dulu waktu masih
kecil sudah ditindik.
Keluarganya sudah tidak asing lagi dalam hal modifikasi tubuh. Menurut
pengakuan responden, sudah menjadi ciri khas keluarganya melakukan modifikasi
tubuh semacam tindik dan tato. “Tato bagi keluarga kami bukan sesuatu hal yang
tabu.” Hal yang berbeda hanya responden dapatkan dari kakeknya yang
merupakan orang Jawa dan anggota ABRI, akan tetapi responden menanggapi hal
itu dengan memberi pengertian ke kakeknya bahwa tato bukanlah representasi
kriminalitas.
Mbah saya (anggota) ABRI, tidak bisa melihat orang bertato. (Beliau)
langsung mengomel dan memberikan pedang. Kalau tidak dipotong,
digores pakai silet (bagian tubuh yang bertato). Kulitnya terkelupas
semua.Saya sampaikan ke Mbah saya, “sorry, ini bukan zaman dulu.
Sekarang zaman sudah berbeda. Walaupun kita bertato, ini seni bukan
lambang premanisme lagi”.
Kecintaanya pada memasak dan kegemarannya terhadap seorang koki
bernama Juna, yang merupakan seorang yang bertato, menjadi inspirasi responden
untuk memiliki tubuh bertato. Tato pertamanya ialah nama responden sendiri.
“Kenapa nama sendiri, ini untuk mengatakan bahwa seumur hidup nama saya ini,
tidak akan bisa diganti.” Responden menempatkan tato pertamanya di bagian
tubuh yang dekat dengan tulang, untuk menikmati rasa sakit saat pertama kali
menato tubuhnya.

75

Sayangnya, di dalam lingkungan masyarakat, responden tidak banyak
menemukan dukungan terhadap dirinya yang bertato, termasuk kekasihnya
sendiri. Menurut responden, kekasihnya tidak suka dirinya menato tubuhnya
karena alasan kesehatan. Ia tidak yakin bahwa para seniman tato menjaga sanitasi
dan sterilitas alat-alat yang dibutuhkan untuk menato. Mengatasi hal tersebut,
seringkali responden harus membeli sendiri jarum dan tinta yang dibutuhkan.
Kalau orang Jawa bilang, tato itu membuat nama keluarga jadi jelek, dan
ada pula yang mengatakan kalau tato itu nakal. (Tapi) bagi saya, tato
yaitu inspirasi saya dan seni. Saya mau curahkan (goreskan) di mana pun,
itu kan kesakitan saya. Pacar saya tidak suka saya bertato, makanya kalau
saya mau menambah tato harus beritahu (minta izin) dulu ke dia.
Responden mengaku sudah pernah mencoba menjelaskan kepada orangorang lain mengenai tatonya, dan alasan responden menato tubuhnya.
Sudah pernah beritahu ke orang-orang, bahwa menato itu bukan
sembarangan. Jadi, tato-tato ini semua ada maknanya. Kalau mau
diceritakan satu per satu mungkin panjang ceritanya, apalagi saya
mengusung semuanya ini full dari etnik Kalimantan. Bapak saya orang
Dayak soalnya.
Memang hal tersebut terlihat dari tato-tato yang dimiliki oleh responden.
Dua di antaranya seperti yang terlihat pada gambar berikut.

i.

76

j.

Gambar i merupakan Kepala Rusa yang mengapit sebuah Dream Catcher
(Penangkap Mimpi) dan gambar j merupakan Cincin, tato khas suku Dayak. Tato
di lengan (gambar i), merupakan konsep responden sendiri. Terinspirasi dari
Sinterklas yang menunggangi kereta rusa untuk membagikan hadiah-hadiah
kepada anak-anak di hari Natal. Responden berharap menjadi media penolong
bagi Sinterklas (seperti halnya rusa), yang dapat berbagi kasih kepada anak-anak.
Dream catcher (penangkap mimpi) di atas kepala rusa dimaksudkan sebagai

pengabul harapan. Responden berharap dapat memberi kebahagiaan kepada
banyak anak-anak melalui perbuatan dan karyanya, dan untuk harapannya itu, ia
mengikatnya dengan simbol penangkap mimpi. Tujuannya jelas, yakni supaya
responden dapat mencapai harapannya tersebut.
Konsep pertama dari sinterklas. Sinterklas mempunyai rusa untuk
ditunggangi. Saya benar-benar ditunggangi oleh Sinterklas itu. Sinterklas
itu kan baik, memberi hadiah sama anak-anak. Di situ kan ada dream
catcher, penangkap mimpi, biar mimpinya terkabul. Puji Tuhan, kalo ada
rezeki, saya menyetor (menyumbang) ke panti asuhan dan segala macam
(panti) untuk anak-anak yang pada dasarnya dari kelas menengah ke
bawah.
Ada ciri khas lain yang responden tempatkan dalam gambar tato tersebut,
yakni beberapa pola yang berjumlah tiga, seperti mata rusa tersebut, dan cabang

77

tanduk berjumlah tiga, dan beberapa pola ruas garis berjumlah tiga. Pola tersebut
mewakili dirinya sendiri yang merupakan anak ketiga dari orangtuanya.
Ya ini saya sendiri. Saya anak ketiga, jadi tato ini benar-benar
menunjukkan identitas saya sendiri.
Sebuah segitiga kecil, yang merupakan lambang satanis terletak di bawah
gambar kepala rusa tersebut, yang dimaksudkan oleh responden sebagai
representasi konsep kehidupan tanpa agama yang terbagi-bagi.
Yang namanya agama buat saya sendiri itu tidak ada. Agama itu cuma di
tengah (semacam media), lalu kenapa kita tidak langsung ke atas. Jadi
yang di tengah itu ditembus, langsung ke atas.
Tato di jari manis (gambar j), didapat oleh responden ketika berkunjung
ke Kalimantan dengan proses pengerjaannya adalah secara tradisional (handtapping). Itu merupakan sebuah tanda cincin adat.

Rasanya (sakit) empat kali lipat dari menato dengan mesin.: bagi orang
sana (Dayak), ini semacam gelang. Kalau menikah kan ada gelang atau
cincin. Ini seperti melambangkan cincin.
Responden mengalami beberapa pengalaman pahit selama bertato.
Ketika melamar pekerjaan, responden mengalami penolakan sebanyak tiga kali.
Persoalan tersebut sempat terpikirkan olehnya bahwa akan menjadi tidak mudah
untuk melamar pekerjaan dengan tubuh bertato.
Tato lupa ditutup. Yang paling fatal (tidak bisa ditutup) yang di jari:
pilihan lain mungkin, dapat kerjaan tetap lalu bertato, tapi kita tatoan
(sambil) kita bekerja, pasti ada batu yang di tengah, pasti ada yang licin,
ada yang benar-benar kokoh.
Bekerja dengan tubuh bertato memiliki hambatan-hambatan yang
terkadang tidak dapat diduga, artinya sewaktu-waktu responden mungkin akan
kehilangan pekerjaan dikarenakan tubuh bertatonya. Ketika sedang kuliah

78

Pariwisata di UGM, responden juga mengalami penolakan di tempat-tempat yang
menjadi sasaran praktek kerja lapangannya.
Pertama kali PKL di Jogja, udah sulit diterima karena tato. Lalu pergi ke
Semarang, sama juga. Banyak orang bertato di Jogja, tapi ditutupi. Itu
membuat hati saya seperti tergores. Untuk apa menato jika bukan untuk
diperlihatkan? Kalau kamu ingin menato, untuk apa harus di badan
(bagian tertutup), itu kan sama saja tidak kelihatan, makanya saya buat di
tangan. Ini ciri khas saya.
Menurut

responden,

ketika

seseorang

bertato,

ia

tidak

harus

menutupinya. Mengapa orang-orang bertato harus menutupinya, mungkin karena
orang lain memandang itu sebagai sesuatu yang buruk.
Tato itu aib. Saya bertemu dengan salah seorang rekan di tempat kerjaan,
dia bilang, “sesama orang bertato, kita jaga aib kita supaya tidak
kelihatan orang-orang”.
Penolakan-penolakan

di

lingkungan

pekerjaan

menghadirkan

pengalaman terburuk bagi responden yakni ketika diminta untuk segera menikah
oleh kekasihnya.
Pacaran udah empat tahun. Pacar udah ingin menikah. Mau tidak mau
harus bicara dengan kedua orangtuanya. Saya belum berani. Belum siap.
Itu pun kendala dengan tato. Orangtuanya memang sudah tahu saya
bertato, tetapi saya kan belum ada pekerjaan yang tetap.
Sebenarnya responden tidak takut bahwa dirinya akan tidak mendapat
pekerjaan. Satu-satunya yang menjadi kekuatan responden adalah keyakinannya
terhadap Tuhan. Responden mengungkapkan telah bekerja di dua tempat berbeda
yang tidak mempermasalahkan tubuh bertatonya, yakni di sebuah kafe ketika ia
menjadi seorang koki, dan di sebuah toko distro di mana ia masih bekerja sebagai
pegawai di sana sampai sekarang.
Saya sih berserah kepada Tuhan saja. Soalnya saya percaya sama Tuhan.
Tuhan itu nomor satu kalau bagi saya. Kalau takut tidak mendapat
pekerjaan karena bertato, pergi saja ke Bali atau Kalimantan. Saya dua

79

tahun di Bali. Bekerja di sini (Yogyakarta) hanya sebagai batu loncatan,
cita-cita saya adalah berbisnis kafe. Entah itu di Bali atau di Lombok.
Responden bertekad untuk mendirikan kafe sebagai usaha bisnisnya.
Cita-cita tersebut sudah dimilikinya sejak responden masih SMP. Bagi responden,
membuka usaha sendiri merupakan peluang bagi seseorang bertato untuk dapat
bekerja tanpa mengalami penolakan, dan tanpa keharusan untuk menutupi diri
dari identitas tubuh yang bertato. Setiap orang bertato berhak untuk menampilkan
tubuhnya yang bertato, sebab tato telah menjadi bagian dari diri orang tersebut.

3.4.6

Rf (27 tahun), barista

Responden Rf melihat tato sebagai sebuah seni dan sudah menato
tubuhnya sejak tahun 2008.
Aku suka seni, dalam artian bukan ikut-ikutan, yang mengatakan bahwa
tato itu style. Aku memang melihat itu seni. Ketika lihat orang bertato,
aku memandangnya sebagai seni.
Responden menato tubuhnya atas dasar sense of art (rasa seni) yang
dimilikinya, sehingga tidak ingin terpengaruh oleh orang bertato lainnya untuk
menato.
Tentunya udah pernah melihat orang bertato sebelumnya, tapi tidak
menjadi inspirasi juga, karena aku ingin punya tato tapi tanpa terinspirasi
siapa pun. Aku yakin, tatoku tidak sama dengan tato mereka, walaupun
sama, garisnya pun akan berbeda. Tubuh adalah kanvas: tato menjadikan
tubuh sebagai kanvas, namun kembali lagi kepada setiap orang ingin
menjadikannya kanvas seperti apa.
Bagi responden, menato dengan terinspirasi oleh diri sendiri lebih
memberikan ciri khas tersendiri yang menunjukkan identitasnya sendiri. Hal ini
dapat dilihat dari tiga di antara tato-tato yang dimilikinya. Responden mencoba
mengungkapkan kecintaannya terhadap keluarganya dan memiliki keinginan

80

untuk mereka dapat selamanya bersatu. Tato-tato tersebut juga menunjukkan
betapa pentingnya anggota keluarga mereka di dalam hidupnya. Responden juga
secara khusus menggambarkan bukti cintanya terhadap kedua orangtuanya
sebagai tato yang digambarkan dalam kanji Jepang untuk ‘ayah’ dan ‘ibu’, yang
masing-masing ditempatkan pada lengan kanan dan kirinya.

k.

l.

Gambar k merupakan Simbol Anggota Keluarga. Rasa cinta kepada
keluarga digambarkan dengan garis-garis melingkar di lengan, dimana garis hitam
pertama adalah melambangkan ayahnya, dan garis magenta di sebelahnya
melambangkan ibunya yang sudah meninggal. Empat garis hitam berikutnya
melambangkan mereka 4 bersaudara laki-laki, dan garis merah terakhir adalah
saudara perempuan mereka.

81

Ini mungkin desainnya cuma garis-garis, tetapi artinya dalam sampai
artis tatonya bilang, “Mas, kamu bagaimana bisa berpikir seperti itu?”ya
masalahnya aku kepikiran saja, makanya aku mau membuat seperti itu.
ini keluargaku. Aku bikin garis begini. Ini kan ada magenta dan merah.
Ini Papaku (sambil menunjuk pada garis hitam yang pertama), ini dua
perempuan di rumahku (sambil menunjuk pada garis magenta dan
merah). Kenapa magenta, ini (karena) Mamaku sudah almarhumah. Ini
kami empat saudara laki-laki, yang adik bungsuku sendiri perempuan
(sambil menunjuk pada empat garis hitam dan merah setelah garis
magenta). Dulu aku mau buat garis satu begini, buat jadi satu. Soalnya
kita utuh satu keluarga. Aku berpikir, ternyata tidak bisa, karena mamaku
sudah meninggal, dan kita lahir dan akan pergi (meninggal) sendirisendiri.
Gambar l merupakan kanji Jepang Papa (lengan kiri) dan Mama (lengan
kanan). Tato tersebut merupakan gambaran rasa cintanya terhadap kedua
orangtua.
Kanji mama di kanan, dan kanji papa di kiri. Sepasang: papa dan mama.
Semacam tanda yang menunjukkan bahwa orangtua kita sepasang.
Pilihan kanji itu sendiri adalah saran dari salah seorang teman responden,
dan oleh karena responden sendiri ingin menuangkannya dalam wujud yang
sederhana tidak rumit, maka kanji tersebut menjadi pilihannya untuk
melambangkan ayah dan ibunya.
Saat memiliki tato, responden mengaku ibunya terkejut melihatnya
bertato, dan mengungkapkan kekhawatiran terkait masa depannya.
Kata mama, “itu permanen atau apa, kamu kenapa bertato begini padahal
belum selesai kuliah. Bagaimana nanti kamu mencari kerja?” Pokoknya
tato itu lebih mengarah ke yang negatif.
Responden telah mencoba memberi keterangan terhadap keluarganya
bahwa tidak ada niat jelek dalam keputusannya untuk menato tubuhnya, dan itu
membawa perubahan terhadap cara pandang mereka. Tidak ada perihal keberatan
lagi mengenai tato dari anggota keluarganya, tinggal pandangan orang lain di
lingkungan masyarakat.

82

Tapi ya aku coba mengarahkan, (tato) tidak seperti itu (negatif).
Orangtuaku mengatakan,” ya kamu bertato, itu hakmu. Apapun persepsi
orang tentang tatomu ya akan dikembalikan ke kamu”.
Responden berasumsi bahwa orang-orang yang menganggap tato sebagai
sesuatu yang buruk dan kriminal adalah orang-orang yang berpendidikan rendah.
Masyarakat di Sumatra, sudah terpilah orang yang menganggap tato itu
seni dan orang yang menganggap tato itu jelek. Maaf kata, mungkin
pendidikannya kurang dan jarang keluar dari daerah itu, makanya
beranggapan tato itu kriminal karena setahu mereka, tato itu identik
dengan orang-orang yang keluar dari penjara, yang ditato dan ditandai
dengan ciri khas penjara.
Menurut responden, orang berpendidikan sekali pun, yang masih
memandang negatif mengenai tato, misalnya di tempat kerja, kurang bersosialisasi
dengan banyak orang. Dapat dikatakan, kurang membuka diri mereka untuk
berhubungan dengan orang lain (yang bertato) di luar kalangan mereka sendiri.
“Aku bisa mempersepsikan bahwa mereka hanya mengambil ilmu saja di kampus,
tidak berbaur dengan banyak orang.”
Ketika bertemu dengan orang-orang di lingkungan keagamaan,
responden mengaku bahwa tanggapan orang lain terhadapnya tidak menjadi hal
mutlak yang dapat menentukan ibadahnya benar atau tidak.
Saya pernah ke mesjid dengan pakaian terbuka (memperlihatkan tato).
Yang mengatakan wudhu saya tidak sah, saya beranggapan, siapa yang
bisa memutuskan bahwa itu tidak sah? Kamu Tuhan? Doaku diterima
atau tidak, itu bukan kamu yang memutuskan. Walaupun kamu habib
atau ustadz sekalipun, kamu tidak berhak menghakimi. Menurutku, kalau
habib yang benar-benar ilmu agamanya dalam, dia tidak akan semenamena menyatakan itu, dia akan memilih bagaimana bahasa (tutur kata)
yang baik, tidak semudah itu menghakimi.
Responden menyadari bahwa tato bukanlah produk luar negeri ataupun
produk globalisasi. Tato adalah karya seni hasil kebudayaan, yang Indonesia

83

sendiri juga memiliki, sehingga menurutnya agak membingungkan mengetahui
sebagian dari orang-orang di Indonesia memandang negatif soal tato.
Indonesia sendiri kan terkenal dengan tato dari Mentawai dan Dayak.
Orang luar negeri sendiri, yang belajar antropologi, masuk ke Indonesia
untuk bertanya (belajar) tentang tato Mentawai.
Di lingkungan pekerjaan, responden mengaku belum pernah ditolak.
Baginya, bekerja adalah persoalan passion (gairah) bukan mencari untuk diterima.
Responden tidak ingin orang lain, terutama yang berada di dunia kerja
memandang negatif terhadap orang-orang bertato seperti dirinya.
Aku tidak pernah mendaftar kerjaan, tapi ada konsultan yang mengajak
aku bekerja di perusahaannya dia. Aku bekerja di sana, tidak sampai
setahun, aku memilih resign, karena atasanku main uang kotor (korupsi)
terhadap uang pajak dan reklamasi di perusahaan. Aku orang bertato, tapi
aku tidak mau makan uang haram.
Diri sendiri menjadi kekuatan untuknya tetap tampil sebagai orang yang
bertato. Menurut responden, seseorang sebaiknya tidak perlu menghakimi
sebelum memberi diri untuk mendekat dan berkomunikasi dengan dirinya.
Diriku sendiri menjadi kekuatan untuk aku tetap tampil sebagai pribadi
yang bertato. Tidak ada orang lain. Kenapa aku bertato ya atas
kemauanku sendiri. Tidak dipaksa orang. Tato-tato saya murni
merupakan seni dan ada momen dan arti tersendiri. Aku bertato, ya ini
aku. Terserah kalian mempersepsikan aku itu seperti apa. Yang tahu
(diriku) itu aku. Kalau mau tahu lebih dalam, tanya. Kalau tidak tahu ya
tanya.
Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya dalam hal apapun, alangkah
baik jika satu terhadap yang lain dapat menjalin komunikasi yang baik, supaya
terhindar dari prasangka yang buruk. Menurut responden, tidak semua orang yang
menggunakan tato adalah buruk dan jahat, orang-orang yang menilai demikian
hendaknya mendekat

dan berkomunikasi terhadap mereka.

Komunikasi

memungkinkan orang-orang yang menyematkan stigma negatif tersebut untuk

84

dapat menyadari bahwa stigma tersebut telah membangun sebuah diskriminasi di
antara orang-orang tersebut dan orang-orang bertato.

3.4.7

Nr (26 tahun), bekerja

Responden Nr menato tubuhnya pertama kali pada tahun 2012 atas dasar
keinginannya dan ketertarikannya terhadap tato. “Senang melihat orang bertato.
Kelihatannya bagus.” Inspirasinya muncul dari salah seorang temannya yang
merupakan seniman tato.
Dia (temannya) juga punya tato. Sempat bertanya, itu sakit atau tidak.
Ternyata sakit. Cuma setelah menato, justru ingin menambah lagi.
Tato pertama yang dialaminya semakin memotivasi responden untuk
menato lebih banyak lagi. Rasa sakit yang dialami ketika menato tidak membuat
responden berhenti untuk menato, justru ingin menato lebih banyak lagi. Saat
pertama menato, responden hanya memilih gambar yang disukainya, namun
seiring waktu berjalan, responden mulai berpikir untuk membuat tato yang
merupakan hasil inspirasinya sendiri.
Dari pertama (tertarik) melihat gambarnya, lalu setelahnya gambar buat
sendiri (inspirasi sendiri) kemudian minta teman untuk mengerjakan.
Tato itu cerita. Setiap gambarnya ada cerita-ceritanya sendiri.
Keluarga responden tidak langsung menerima dirinya yang bertato,
mereka menunjukkan rasa keberatan mereka. “Awal-awal mempunyai tato
memang tidak diterima, justru dimarahi.” Hal tersebut tidak berlangsung lama,
dimana keluarga pada akhirnya menerima keputusannya untuk menato tubuhnya.
Responden berusaha memberikan pemahaman bahwa tato adalah seni. “Tato itu
seni bukan kejahatan.” Hal tersebut yang mendorong responden untuk terus

85

menampilkan karya-karya seni yang bagus dalam tato yang diaplikasikan ke
tubuhnya.
Ada rasa menyesal ketika responden mulai mencari lowongan pekerjaan.
Responden mengalami penolakan.
Awalnya kalau mendaftar di PT-PT itu susah, karena butuhnya yang
‘bersih’ begitu kan. Sehat jasmani rohani. Menyesal juga sih. Ya mau
bagaimana lagi, sudah ada (tatonya) ya tambah lagi.
Penyesalan

yang sempat

dialami

responden tidak serta merta

membuatnya berhenti menato, justru bertekad mencari pekerjaan yang lebih
menerima orang-orang bertato seperti dirinya.
Ada, pasti ada aja kok yang mau menerima orang-orang bertato. Tidak
sedikit kafe yang mau menerima orang-orang bertato menjadi pegawai.
Perusahaan-perusahaan pastinya rata-rata tidak mau menerima ya. Kalau
tidak ada (pekerjaan), bisa aja dengan membuka usaha sendiri.
Berikut adalah salah satu tato yang dimiliki oleh responden.

m.

Gambar m merupakan Ikan Koi, sebagai simbol keberuntungan yang
membawa kekayaan dan kemakmuran. Responden memilih gambar tersebut untuk
mencapai keberuntungan, selain karna ikan koi merupakan tato yang terkenal dari
Jepang, dan memang dilambangkan sebagai simbol kekayaan dan kemakmuran.
86

Tato tersebut memiliki kualitas maskulin yang khas seperti kekuatan dan
keberanian. Ikan koi di Cina dikenal dengan kisah yang menceritakan upaya ikan
tersebut untuk berenang ke hulu Sungai Kuning, tetapi hanya beberapa hari, ikanikan tersebut mampu untuk berenang melewati suatu titik yang disebut “dragon
gate” (gerbang naga). Legenda mengatakan bahwa koi yang berhasil melalui

gerbang tersebut dihargai dengan berubah menjadi naga4, sehingga untuk alasan
ini koi juga adalah simbol dari tekad dan kemauan yang kuat untuk berhasil.
Mereka yang memiliki tato tersebut diyakini akan diikuti oleh keberuntungan
maupun nasib baik, yang dibawa oleh tato itu sendiri.

3.4.8

Rm (21 tahun), wiraswasta

Responden Rm menato tubuhnya pertama kali saat masih duduk di kelas
2 SMA. Responden mengaku tertarik melihat orang yang bertato, dan ingin
memulai kesempatan pertama dengan sebuah tato temporer. “Sempat berpikir
untuk membuat tato temporer, tapi akhirnya sadar bahwa tato temporer itu bukan
tato.” Keputusannya untuk menato semakin diperkuat oleh kekagumannya pada
tato temannya sendiri. Mengikuti jejak temannya, maka responden pun menato.
“Waktu itu iseng-iseng saja, tanya teman, “itu sakit tidak?” Ketika tahu kalau itu
sakit, tetap saja aku mau buat.”
Salib menjadi desain pertama yang menarik perhatian responden.
“Soalnya sederhana.” Pada awalnya, responden hanya memiliki sebuah gambar
salib, namun beberapa tahun kemudian menambah desain seperti rantai pada salib
tersebut sehingga menjadi sebuah gambar Rosario seperti yang terlihat dalam
4
ADP, ‘Arti di Balik 5 Motif Tato Jepang Paling Populer’ dalam
http://www.anibee.tv/news/id/fashion-lifestyle/5505/arti-dibalik-5-motif-tattoo-jepang-palingpopulerdiunduh pada 29 Agustus 2016.

87

gambar n berikut. Responden terinspirasi oleh desain salib yang sederhana, dan
ingin menjadikannya sebagai pegangan dalam kehidupan pribadi. “Rosario itu
ibarat tasbih bagi orang Katolik, ya ini buat pegangan saya.”

n.

Tidak ada pengalaman yang tidak menyenangkan dari respon orangorang lain terhadap tatonya. Keluarganya mau tidak mau tetap menerima
responden, sebab apa yang diperbuat responden terhadap tubuhnya tidak dapat
dikembalikan seperti sedia kala.
Mereka biasa saja (tanggapannya). Aku tidak mau urus, tapi mungkin
juga karena tatoku tidak terlihat ‘nakal’.: keluarga ya terima-terima saja,
sudah terlanjur.

Pernah ada yang menyampaikan kepadanya bahwa menato itu tidak
dibenarkan bagi orang Kristen dan Katolik,5 namun tidak menjadi sebuah
persoalan penting bagi responden. Responden menganggap tato sebagai seni,
sehingga responden menginginkan orang-orang lain juga dapat melihat bahwa tato
tidak mutlak sebagai tanda kejahatan, sekalipun memang ada yang sengaja
memperlihatkan tato untuk menimbulkan persepsi negatif.

Mengacu pada Imamat 19:28, yang berbunyi: “Janganlah kamu menggoresi tubuhmu
karena orang mati dan janganlah merajah tanda-tanda pada kulitmu; Akulah TUHAN”.
5

88

Tidak semua orang bertato itu jahat. Beda-beda sih, ada yang cuma
memperlihatkan bahwa tato itu jagoan. Kalau aku tidak.
Responden juga tidak perlu mengalami