Analisis Faktor Perilaku Gizi Seimbang pada Remaja di SMA Swasta Gajah Mada Medan Tahun 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Istilah adollescence atau remaja berasal dari kata latin yang berarti “tumbuh”
atau “tumbuh menjadi dewasa”, sehingga memiliki arti yang lebih luas, meliputi
kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Dieny, 2014). Remaja didefinisikan
oleh WHO sebagai suatu periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang
terjadi setelah masa anak-anak dan sebelum masa dewasa dari usia 10-19 tahun. Masa
remaja dimulai dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya (pubertas) sampai saat ia mencapai kematangan seksual (Jafar, 2012).
Masa ini juga disebut sebagai masa transisi atau peralihan yang ditandai dengan
adanya perubahan fisik, psikis, dan psikososial (Dieny, 2014)
Perubahan yang terjadi, membuat seorang remaja mengalami banyak ragam
gaya hidup, perilaku, tidak terkecuali pengalaman dalam menentukan makanan apa
yang akan dikonsumsi (Khomsan, 2007). Pertumbuhan fisik menyebabkan remaja
membutuhkan asupan nutrisi yang lebih besar dari pada masa anak-anak, ditambah
lagi pada masa ini remaja sangat aktif dengan berbagai kegiatan, baik itu kegiatan
sekolah maupun olahraga (Arisman, 2007). Tidak jarang asupan nutrisi tidak
terpenuhi karena pola makan remaja yang kurang baik.
Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat mempengaruhi

keadaan gizi (Kemenkes RI, 2014). Pola makan menurut Sri Handayani dalam

1

2

Sulistyoningsih (2011) adalah tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan
akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pilihan makanan. Agar tubuh tetap
sehat, dan terhindar dari berbagai penyakit kronis atau penyakit tidak menular (PTM)
terkait gizi, maka pola makan masyarakat dalam hal ini remaja perlu ditingkatkan
kearah konsumsi gizi seimbang (Kemenkes RI, 2014).
Gizi seimbang adalah susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi
dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan
prinsip gizi seimbang yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang yaitu
keanekaragam pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih dan mempertahankan
berat badan normal untuk mencegah masalah gizi (Kemenkes RI, 2014).
Beberapa masalah gizi yang sering dialami remaja akibat konsumsi gizi yang
tidak seimbang adalah kekurangan berat badan (underweight), kelebihan berat badan
(overweight), anemia zat besi, dan lain-lain (Dieny, 2014). Data Riskesdas (2010) dan

Riskesdas (2013) memperlihatkan kecenderungan status gizi (IMT/U) prevalensi
remaja sangat kurus di Indonesia umur 16-18 tahun relatif naik dari 1,8 % menjadi
1,9%, remaja kurus naik dari 7,1% menjadi 7,5%, dan remaja gemuk naik dari 1,4 %
menjadi 7,3% (Riskesdas 2013).
Data Riskesdas (2013) prevalensi remaja pendek, kurus, dan gemuk pada usia
16-18 tahun di Indonesia tahun 2013 adalah pendek 31,4% (7,5 % sangat pendek dan
23,9% pendek), kurus 9,4% (1,9% sangat kurus dan 7,5% kurus), gemuk 7,3% (5,7%

3

gemuk dan 1,6% obesitas) dan Sumatera Utara berada di atas angka nasional untuk
prevalensi pendek dan gemuk, serta di bawah angka nasional untuk prevalensi kurus.
Prevalensi anemia pada remaja putri di Indonesia berdasarkan data Depkes tahun
2005 dalam Dieny (2014) sebesar 26,5%. Penelitian Rahmawati, dkk (2012) pada
remaja putri di SMAN 2 Kota Bandar Lampung bahwa terdapat hubungan asupan
energi, asupan protein, asupan vitamin C, asupan zat besi dengan kejadian anemia.
Sejalan dengan ini, untuk mengatasi masalah gizi, saat ini pemerintah telah
menetapkan Pedoman Gizi Seimbang berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 pada tanggal 24 Juli 2014 seperti tersebut
di atas. Pedoman Gizi Seimbang ini bertujuan untuk memberikan panduan konsumsi

makanan sehari-hari dan berperilaku sehat berdasarkan prinsip konsumsi anekaragam
pangan, perilaku hidup bersih, aktivitas fisik, dan memantau berat badan secara
teratur dalam rangka mempertahankan berat badan normal (Kemenkes RI, 2014).
Pedoman Gizi Seimbang berisi tujuh pesan gizi seimbang remaja (10-19
tahun) yang harus diperhatikan yaitu pertama biasakan makan 3 kali sehari (pagi,
siang dan malam) bersama keluarga, kedua biasakan mengonsumsi ikan dan sumber
protein lainnya, ketiga perbanyak mengonsumsi sayuran dan cukup buah-buahan,
keempat biasakan membawa bekal makanan dan air putih dari rumah, kelima batasi
mengonsumsi makanan cepat saji, jajanan dan makanan selingan yang manis, asin
dan berlemak, keenam biasakan menyikat gigi sekurang-kurangnya dua kali sehari
setelah makan pagi dan sebelum tidur, ketujuh hindari merokok (Kemenkes RI,
2014).

4

Prinsip Nutrition Guide for Balance Diet hasil kesepakatan konferensi pangan
sedunia (FAO) di Roma tahun 1992 merupakan dasar diterapkan Pedoman Gizi
Seimbang di Indonesia yang dimulai dalam kebijakan Repelita V tahun 1995 dan
menjadi bagian dari program perbaikan gizi karena diyakini akan mampu mengatasi
beban ganda masalah gizi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi. Namun, Pedoman

Gizi Seimbang kurang disosialisasikan sehingga terjadi pemahaman yang salah dan
masyarakat cenderung tetap menggunakan slogan 4 Sehat 5 sempurna yang
diperkenalkan oleh Bapak Gizi Indonesia Prof. Poerwo Soedarmo. Padahal slogan
yang telah dimulai tahun 1952 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam bidang gizi serta masalah dan
tantangan yang dihadapi. Pedoman gizi seimbang secara resmi baru dapat diterima
masyarakat pada tahun 2009, sesuai dengan Undang-Undang kesehatan No. 36 Tahun
2009 yang menyebutkan secara eksplisit “Gizi Seimbang” dalam program perbaikan
gizi (Kemenkes RI, 2014).
Hasil penelitian Riskesdas (2010) dalam Kemenkes (2014) menunjukkan
konsumsi pangan masyarakat belum sesuai dengan pesan gizi seimbang, pertama
masih banyak penduduk yang tidak cukup mengonsumsi sayuran dan buah-buahan.
Berdasarkan Riskesdas (2013), 93,5% penduduk usia di atas 10 tahun mengonsumsi
sayuran dan buah-buahan masih di bawah anjuran. Kedua, kualitas protein yang
dikonsumsi rata-rata perorang perhari masih rendah karena sebagian besar berasal
dari protein nabati seperti serelia, dan kacang-kacangan. Ketiga, konsumsi makanan
dan minuman berkadar gula tinggi, garam tinggi, dan lemak tinggi, baik pada

5


masyarakat perkotaan maupun pedesaan masih cukup tinggi, dan keempat konsumsi
cairan pada remaja masih rendah.
Penelitian Jumirah, dkk (2005) pada remaja di SMA Dharma Pancasila Medan
juga menyatakan tingkat kecukupan energi dan protein sebagian besar siswa
tergolong sangat rendah. Sumbangan energi yang berasal dari karbohidrat sesuai
dengan anjuran PUGS hanya 26,32%. Sedangkan sumbangan energi dari lemak yang
sesuai dengan anjuran PUGS ada sebanyak 44,74%.
Pedoman Gizi Seimbang telah disosialisasikan kepada masyarakat, namun
masih banyak masalah dan kendala dalam sosialisasi gizi seimbang sehingga harapan
untuk merubah perilaku gizi masyarakat khususnya remaja ke arah perilaku gizi
seimbang belum sepenuhnya tercapai. Konsumsi pangan belum seimbang baik
kuantitas maupun kualitasnya, dan perilaku hidup bersih dan sehat belum memadai
(Amelia, 2014).
Perilaku gizi remaja tidak terlepas dari perilaku makan remaja. Menurut
Proverawati (2011) bahwa perilaku makan khas pada remaja antara lain kebiasaan
suka makanan jajanan yang kurang bergizi seperti goreng-gorengan, coklat, permen
dan es, sehingga makanan yang beraneka ragam tidak dikonsumsi, kemudian remaja
sering makan di luar rumah bersama teman-teman, sehingga waktu makan tidak
teratur, akibatnya mengganggu sistem pencernaan (gangguan maag atau nyeri
lambung), selanjutnya remaja sering tidak makan pagi karena tergesa-gesa

beraktivitas sehingga mengalami lapar dan lemas, kemampuan menangkap pelajaran
menurun, keluar keringat dingin, kesadaran menurun sampai pingsan.

6

Hal ini sejalan dengan Arisman (2007) yang mengutip pendapat Johnson, dkk
(1944) yang menyatakan tidak sedikit survei yang mencatat ketidakcukupan asupan
gizi para remaja, mereka bukan hanya melewatkan waktu makan (sarapan) dengan
alasan sibuk, tetapi juga terlihat sangat senang mengunyah junk food. Data yang
diperoleh dari naskah akademik Pekan Sarapan Nasional (2013) bahwa 30% (16,9%59%) anak sekolah tidak sarapan; 23,7% anak hanya sarapan dengan karbohidrat dan
minum; hampir separoh anak (44,6%) sarapan berkualitas rendah. Penelitian
Muchtar, dkk (2012) pada remaja di SMA Negeri 1 Pahundut, Kota Palangkaraya
juga menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara zat asupan gizi (energi,
karbohidrat, protein, dan lemak) dari sarapan dengan kemampuan konsentrasi pada
pukul 08.30.
Remaja putri menurut Proverawati (2011) juga sering menghindari beberapa
jenis bahan makanan seperti telur dan susu. Susu dianggap minuman anak-anak atau
dihubungkan dengan kegemukan. Akibatnya akan kekurangan protein hewani,
sehingga tidak dapat tumbuh atau mencapai tinggi secara optimal. Selain itu standar
langsing tidak jelas untuk remaja. Banyak remaja putri menganggap dirinya kelebihan

berat badan atau mudah menjadi gemuk sehingga sering diet dengan cara yang
kurang benar seperti membatasi atau mengurangi frekuensi makan dan jumlah makan,
memuntahkan makanan yang sering dimakan, sehingga lama-lama tidak nafsu makan
yang sangat membahayakan bagi remaja. Penelitian Sada (2011) bahwa terdapat
hubungan antara body image dengan status gizi menurut IMT pada remaja. Penelitian

7

Diana (2011) pada remaja putri di SMAN 1 Medan juga menyatakan bahwa ada
hubungan citra tubuh (body image) dengan perilaku makan remaja.
Teori yang mengungkap determinan perilaku anatara lain adalah teori
Lawrence Green (1980) dalam buku Notoatmodjo (2012) bahwa perilaku dibentuk
dari tiga faktor. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Faktor pendukung
(enabling factors) yaitu faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau
tindakan misalnya kemampuan ekonomi. Faktor pendorong (reinforcing factors)
yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yang
terwujud dalam sikap dan perilaku yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat misalnya petugas kesehatan dan tokoh masyarakat.

Faktor predisposisi (predisposing factors) dalam perilaku gizi seimbang
adalah pengetahuan, sikap, dan citra tubuh (body image). Perilaku yang didasari
dengan pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang
tidak didasari ilmu pengetahuan dan kesadaran. Notoatmodjo (2012) menyatakan
secara teori perubahan perilaku melalui proses perubahan pengetahuan (knowledge),
sikap (attitude), praktik (practice) atau “KAP” (PSP). Beberapa penelitian telah
membuktikan hal itu, namun penelitian lain juga membuktikan bahwa proses tersebut
tidak selalu seperti teori di atas, bahkan dalam praktek sehari-hari terjadi sebaliknya.
Seseorang telah berperilaku positif meskipun pengetahuan dan sikapnya masih
negatif. Penelitian Natalia, dkk (2012) diperoleh pengetahuan dan sikap remaja putri

8

tentang gizi seimbang adalah sedang dengan pola konsumsi yang tidak beragam.
Citra tubuh (body image) menurut Dieny (2014) adalah persepsi seseorang terhadap
penampilan bentuk tubuhnya. Banyak remaja sering tidak puas dengan penampilan
dirinya sehingga berpengaruh pada perilaku makannya. Suatu studi di Amerika
Serikat dalam Khomsan (2007) hampir 70% remaja wanita yang diteliti
mengungkapkan keinginan mereka untuk mengurangi berat badannya karena merasa
kurang langsing, padahal hanya 15% yang kegemukan (obesitas).

Faktor pendukung (enabling factors) dalam perilaku gizi seimbang adalah
ekonomi. Menurut Khomsan (2007) dari sudut pandang ekonomi, remaja menjadi
pasar yang potensial untuk produk makanan tertentu. Umumnya remaja mempunyai
uang saku. Hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemasang iklan melalui
berbagai media cetak maupun elektronik. Pada penelitian Putri tentang perilaku
makan remaja di SMAN 10 Padang Tahun 2013 diperoleh 74,1% remaja yang
melakukan perilaku makan yang sehat adalah berasal responden yang menghabiskan
uang sakunya untuk makan sekitar Rp 10.000- Rp 20.000,-/hari.
Faktor pendorong (reinforcing factors) dalam perilaku gizi seimbang adalah
peran keluarga, peran guru, peran teman sebaya, dan peran media. Suasana dalam
keluarga yang menyenangkan berpengaruh pada pola kebiasaan makan. Hal ini
mungkin dilandasi oleh ada atau tidak adanya kebiasaan makan bersama (Khomsan,
2007). Penelitian Saifah (2011) menyatakan terdapat hubungan bermakna dengan
korelasi positif antara peran keluarga dengan perilaku gizi anak usia sekolah.
Kemudian peran guru sebagai tenaga pendidik dalam proses belajar mengajar

9

mempunyai pengaruh terhadap anak-anak didiknya yang kadang-kadang lebih
dituruti daripada orang tua. Materi pelajaran gizi yang diberikan harus menyajikan

kenyataan atau masalah yang dibutuhkan murid (Dewi, dkk, 2011 dalam Maulana,
dkk, 2012).
Pengaruh teman sebaya pada masa remaja sangat besar dalam terjadinya
perilaku makan yang tidak baik seperti yang telah dijelaskan di atas. Remaja lebih
sering berada di luar rumah dan bersama dengan teman sebaya sehingga
memungkinkan remaja untuk mengonsumsi

makanan cepat saji. Karena remaja

cenderung untuk mengikuti tren dan budaya yang sama dengan teman sebaya (Putri,
2014).
Adanya iklan-iklan produk makanan cepat saji di televisi dapat meningkatkan
pola konsumsi atau bahkan gaya hidup di masyarakat. Penelitian Saifah (2011) bahwa
peran media massa terhadap perilaku gizi anak usia sekolah sebagian besar baik dan
merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan perilaku gizi anak usia sekolah.
Media massa dapat memberi pengaruh positif maupun negatif terhadap anak sehingga
orangtua harus dapat memberi arahan yang benar pada saat menonton TV ataupun
paparan media lainnya
Gizi dan kesehatan remaja merupakan hal penting dalam menentukan kualitas
bangsa. Remaja yang tumbuh dalam lingkungan kondusif dan mendukung merupakan

sumber daya manusia yang menjadi aset bangsa tak ternilai. Peran orangtua, pihak
sekolah, tenaga kesehatan maupun masyarakat diperlukan dalam memberikan
perhatian, bimbingan serta teladan (Dieny, 2014)

10

Sekolah Menengah Atas Swasta Gajah Mada Medan merupakan salah satu
sekolah di kota Medan dengan tingkat sosial ekonomi siswa rata-rata menengah ke
bawah. Hasil wawancara dengan kepala sekolah SMA Gajah Mada Medan diperoleh
informasi bahwa hampir setiap upacara ada yang pingsan karena tidak sarapan. Hal
ini sejalan dengan hasil survey awal yang dilakukan pada tanggal 14 Maret 2015
bahwa terdapat 5 siswa dari 12 siswa yang tidak sarapan (41,67%), mereka lebih
memilih jajan di kantin sekolah yang menyediakan berbagai jajanan baik sebelum
masuk sekolah atau pada saat jam istirahat. Kemudian hasil pengukuran status gizi
(IMT/U) yang dilakukan pada 12 siswa SMA Gajah Mada Medan terdapat 2 orang
dengan status gizi kurus (16,67%), 2 orang dengan status gizi sangat gemuk (16,67%)
dan 8 orang dengan satus gizi normal (66,7%). Kemudian hanya 6 orang dari 12
siswa (50%) yang menyatakan pernah mendengar, melihat atau mendapatkan
informasi tentang Pedoman Gizi Seimbang. Pada umumnya siswa membawa bekal air
minum tetapi tidak membawa bekal makanan ke sekolah. Selain itu seluruh siswa
belum mengonsumsi makanan secara seimbang terutama untuk sayur dan buah.
Melihat kenyataan ini penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian mengenai
analisis faktor perilaku gizi seimbang pada remaja di SMA Swasta Gajah Mada
Medan Tahun 2015

1.2 Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor apa saja yang memengaruhi
perilaku gizi seimbang pada remaja di SMA Swasta Gajah Mada Medan Tahun 2015

11

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang memengaruhi perilaku
gizi seimbang pada remaja di SMA Swasta Gajah Mada Medan Tahun 2015

1.4 Hipotesis
Ada pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, citra tubuh/body
image), faktor pendukung (uang saku), faktor pendorong (peran keluarga, peran guru,
peran teman sebaya, peran media) terhadap perilaku gizi seimbang pada remaja di
SMA Swasta Gajah Mada Medan Tahun 2015

1.5 Manfaat Penelitian
1.

Sebagai informasi bagi masyarakat khususnya remaja tentang perilaku gizi
seimbang

2.

Sebagai masukan dan informasi bagi lintas sektor terkait (Institusi Kesehatan,
Institusi Pendidikan) dan pihak sekolah untuk melaksanakan upaya-upaya
pencegahan berupa edukasi terkait perilaku gizi seimbang remaja