Pengaruh Perubahan Merek Sari Puspa Menjadi Soffell Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Melakukan Keputusan Pembelian pada Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Defenisi Merek

Menurut UU Merek No.15 Tahun 2001 pasal 1 ayat 1, merek adalah “tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Sedangkan menurut pendapat Kotler (2000), pengertian merek adalah suatu janji penjual untuk secara konsisten memberikan fitur, manfaat dan jasa tententu kepada pembeli, bukan hanya sekedar simbol yang membedakan produk perusahaan tertentu dengan kompetitornya.

Definisi merek menurut American Marketing Association memiliki kesamaan dengan definisi menurut UU Merek No.15 Tahun 2001, yaitu lebih menekankan merek sebagai identifier dan differentiator. Berdasarkan beberapa definisi di atas, secara teknis apabila seorang pemasar membuat nama, logo atau simbol baru untuk sebuah produk baru, maka ia telah menciptakan sebuah merek.

2.1.2 Manfaat Merek

Menurut Keller dalam Tjiptono (2005), merek bermanfaat bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen merek berperan sebagai berikut :

1. Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian sediaan dan pencatatan akuntansi.


(2)

2. Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik. Merek bisa mendapatkan perlindungan properti intelektual. Nama merek bisa diproteksi melalui merek dagang terdaftar (registered trademarks), proses pemanufakturan bisa dilindungi melalui hak paten, dan kemasan bisa diproteksi melalui hak cipta (copyrights) dan desain. Hak-hak properti intelektual ini memberikan jaminan bahwa perusahaan dapat berinvestasi dengan aman dalam merek yang dikembangkannya dan meraup manfaat dari saet bernilai tersebut.

3. Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi di lain waktu. Loyalitas merek seperti ini menghasilkan predictability dan security permintaan bagi perusahaan dan menciptakan hambatan masuk yang menyulitkan perusahaan lain untuk memasuki pasar.

4. Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari para pesaing.

5. Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen

6. Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa datang.

Bagi konsumen, merek bisa memberikan beraneka macam nilai melalui sejumlah fungsi dan manfaat potensial. Keller dalam Tjiptono (2005) ada 7 manfaat merek bagi konsumen, yaitu:


(3)

1. Sebagai identifikasi sumber produk

2. Penetapan tanggung jawab pada pemanufaktur atau distributor tertentu

3. Pengurang risiko

4. Penekan biaya pencarian (search costs) internal dan eksternal 5. Janji atau ikatan khusus dengan produsen

6. Alat simbolis yang memproyeksikan citra diri 7. Signal kualitas

Sedangkan menurut Kapferer dalam Tjiptono (2005), fungsi potensial sebuah merek meliputi identifikasi, praktikalitas, garansi, optimisasi, karakterisasi, kontinuitas, hedonistic, dan fungsi etis. Seperti pada tabel berikut ini:

Tabel 2.1

Fungsi Merek

No. FUNGSI MANFAAT BAGI PELANGGAN

1. Identifikasi

Bisa dilihat dengan jelas; memberikan makna bagi produk; gampang mengidentifikasi produk yang dibutuhkan atau dicari.

2. Praktikalitas

Memfasilitasi penghematan waktu dan energy melalui pembelian ulang identik dan loyalitas.

3. Jaminan

Memberikan jaminan bagi konsumen bahwa mereka bisa mendapatkan kualitas yang sama sekalipun pembelian dilakukan pada waktu dan di tempat berbeda.


(4)

No. FUNGSI MANFAAT BAGI PELANGGAN

4. Optimisasi Memberikan kepastian bahwa konsumen dapat membeli alternatif terbaik dalam kategori produk tertentu dan pilihan terbaik untuk tujuan spesifik.

5. Karakterisasi Mendapatkan informasi mengenai citra diri konsumen atau citra yang ditampilkannya kepada orang lain.

6 Kontinuitas

Kepuasan terwujud melalui familiaritas dan intimasi dengna merek yang telah digunakan atau dikonsumsi pelanggan selama bertahun-tahun.

7 Hedonistik

Kepuasan terkait dengan daya tarik merek, logo, dan komunikasinya

8. Etis

Kepuasan berkaitan dengan perilaku bertanggung-jawab merek bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat.

Sumber : Kapferer dalam (Tjiptono,2005) 2.1.3 Interpretasi merek

Istilah “merek” sebenarnya memiliki banyak interpretasi dan tidak mudah membedakannya dengan “produk” dan “marketing offering”. Profesor Brand Marketing dari University of Birmingham, Leslie de Chernatony (2001-2003) mengidentifikasi setidaknya ada 14 interpretasi terhadap merek, yang dikelompokkan menjadi tiga kategori : interpretasi berbasis input (branding dipandang sebagai cara para manajer mengalokasikan sumber dayanya dalam


(5)

rangka meyakinkan konsumen), interpretasi berbasis output (interpretasi dan pertimbangan konsumen terhadap kemampuan merek memberikan nilai tambah bagi mereka), dan interpretasi berbasis waktu (menekankan branding sebagai proses yang berlangsung terus-menerus. Ketiga kategori ini kemudian dijabarkan menjadi 14 macam interpretasi, yakni merek sebagai logo, instrumen hukum, perusahaan shorthand, risk reducer, positioning, kepribadian, serangkaian nilai, visi, penambah nilai, identitas, citra, relasi, dan evolving entity.

Tabel 2.2

Interpretasi Terhadap Merek

No

. INTERPRETASI DESKRIPSI

A. Perspektif Input

1. Merek sebagai logo Merek didefinisikan sebagai “nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi di antaranya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari satu penjual atau sekelompok penjual dan membedakannya dari barang dan jasa para pesaingnya” (definisi American Marketing Association, dikutip dalam Kotler, et al. (2004, p. 407). Definisi ini menekankan peranan merek sebagai identifier dan differentiator.

2. Merek sebagai instrumen Merek mencerminkan hak kepemilikan yang dilindungi secara hukum.

3. Merek sebagai perusahaan Merek mempresentasikan perusahaan, dimana nilai-nilai korporat diperluas ke berbagai macam kategori produk.

4. Merek sebagai shorthand Merek memfasilitasi dan mengakselerasi pemrosesan informasi konsumen.


(6)

No INTERPRETASI DESKRIPSI 5. Merek sebagai penekan

risiko (risk reducer)

Merek menekan persepsi konsumen terhadap risiko (misalnya, risiko kinerja, risiko finansial, risiko waktu, risiko sosial, dan risiko psikologis)

6. Merek sebagai positioning

Merek diinterpretasikan sebagai wahana yang memungkinkan pemiliknya untuk mengasosiasikan penawarannya dengan manfaat fungsional tertentu yang penting, bisa dikenali, dan dinilai penting oleh para konsumen.

7. Merek sebagai

kepribadian

Merek memiliki nilai-nilai emosional atau kepribadian yang bisa sesuai dengan citra diri konsumen (baik citra actual, citra aspirasional, maupun citra situasional).

8. Merek sebagai

serangkaian nilai

Merek memiliki serangkaian nilai yang mempengaruhi pilihan merek. 9. Merek sebagai visi Merek merupakan visi para manajer

senior dalam rangka membuat dunia semakin baik. Dengan kata lain, merek mencerminkan apa yang ingin diwujudkan dan ditawarkan oleh para manajer senior kepada masyarakat luas.

10. Merek sebagai penambah nilai

Merek merupakan manfaat ekstra (fungsional dan emosional) yang ditambahkan pada produk atau jasa inti dan dipandang bernilai oleh konsumen.

11. Merek sebagai identitas Merek memberikan makna pada produk dan menentukan identitasnya, baik dalam hal ruang maupun waktu.

Perspektif Output

12. Merek sebagai citra Merek merupakan serangkaian asosiasi yang dipersepsikan oleh individu sepanjang waktu, sebagai hasil pengalaman langsung maupun tidak langsung atas sebuah merek. Lanjutan


(7)

No INTERPRETASI DESKRIPSI

13. Merek sebagai relasi Oleh karena merek bisa dipersonifikasikan, mak apara pelanggan bisa menjali relasi dengannya. Merek membantu pelanggan melegitimasi pandangan atau pemikirannya terhadap dirinya sendiri.

Perspektif Waktu

14. Merek sebagai

evolving entity

Merek bertumbuh seiring perubahan permintaan pelanggan dan persaingan. Akan tetapi, yang berubah adalah peripheral values, sementara core values jarang berubah.

Sumber : de Chernatony dalam Tjiptono (2005) 2.1.4 Perubahan Merek (Rebranding)

Perubahan merek (Rebranding) berarti proses dimana organisasi melakukan perubahan terkait dengan cara produk dipasarkan dan didistribusikan dengan menggunakan merek yang berbeda. Hal ini biasanya dilakukan dengan mengubah logo merek, nama merek, citra merek, strategi pemasaran atau strategi periklanan, tapi tidak selalu demikian. Perubahan tersebut biasanya ditujukan untuk repositioning produk di pasar (Donnelly dan Linton, 2009).

Pengertian rebranding adalah perubahan identitas, yang harus dilihat sebagai sebuah keputusan strategis dengan rencana yang matang.(Daly dan Moloney,2004). Rebranding dapat juga diartikan sebagai suatu proses pemberian nama brand baru atau identitas baru pada produk atau jasa yang sudah mapan tanpa perubahan berarti dari manfaat yang ditawarkan oleh produk.

Beberapa hal yang dapat menjadi motivasi dilakukannya rebranding, antara lain adalah :


(8)

1. Terjadi merger, akuisisi, divestasi yang memungkinkan merek, logo atau slogan tidak lagi sesuai.

2. Pergeseran pasar yang dikarenakan tindakan pesaing, munculnya pesaing baru, maupun perubahan kondisi ekonomi dan hukum.

3. Citra yang sudah kadaluarsa atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan pasar. 4. Munculnya fokus dan visi baru bagi perusahaan.

5. Menjauhi perusahaan dari lingkup sosial dan moral dan untuk menampilkan citra yang lebih bertanggung jawab sosial.

Proses rebranding terdiri atas dua tipe, tipe pertama adalah apabila dalam proses rebranding terjadi penggantian merek yang sudah mapan dengan merek yang baru seperti Sari Puspa menjadi Soffell dan National menjadi Panasonic, sedangkan tipe kedua adalah apabila dalam proses rebranding terjadi suatu modifikasi dari merek yang sudah mapan seperti Coco Krispies menjadi Coco Pops dan produk minuman Nestle Quik menjadi Nesquik.

2.1.5 Faktor Perubahan Merek

Hal ini berhubungan dengan latar belakang perusahaan yang ingin melakukan adaptasi agar lebih eksis terhadap perubahan lingkungan bisnis atau untuk meningkatkan daya saing dalam era kompetitif. Beberapa hal yang biasanya menjadi dasar perubahan di antaranya:

1. Pergantian pemimpin

Pergantian pemimpin sering sekali juga diikuti dengan proses rebranding sebagai bentuk pemberitahuan pada publik internal dan eksternal akan adanya kepemimpinan yang baru dalam perusahaan.


(9)

2. Krisis image

Image sebagai bentuk persepsi eksternal terhadap aktivitas yang dijalankan oleh perusahaan seringkali harus diubah karena adanya krisis yang dihadapi oleh perusahaan. Kasus korupsi 1,7 triliun yang dihadapi oleh BNI pada akhir tahun 2004 membuat pihak manajemen merasa perlu melakukan rebranding sebagai upaya untuk menunjukkan kepada publik bahwa pihak manajemen telah melakukan perubahan dan lebih profesional dalam melayani publik.

3. Kejenuhan pasar

Ada saat di mana pasar merasa jenuh dengan brand image yang diusung sebuah produk atau perusahaan yang berdampak pada menurunnya penjualan. Oleh karena itu, perusahaan perlu melakukan penyegaran dengan melakukan rebranding.

4. Visi baru perusahaan

Adanya keinginan untuk memunculkan satu nilai bersama dari beragam unit bisnis akan melahirkan sebuah visi baru. MedcoEnergi misalnya, dengan beragam unit bisnis yang dimiliki dan beragam identitas visual serta sikap, merasa perlu memunculkan kesamaan sikap dan rasa kebersamaan yang berdampak pada perlunya rebranding. Di tahap awal prosesnya rebranding MedcoEnergi berhubungan dengan perubahan dan penyatuan identitas visual, penyeragaman sistem penamaan unit bisnis dan penyamaan common values (tata nilai bersama).


(10)

2.1.6 Hasil Perubahan Merek

Implementasi dari proses rebranding yang dijalankan oleh perusahaan biasanya berhubungan dengan tiga hal berikut:

1. Perubahan logo

Disebabkan karena logo lama dianggap sudah ketinggalan jaman atau terjadi kesalahan asosiasi brand. Apa yang dialami oleh PT Excelcomindo di mana pelanggan lebih mengasosiasikan product brand Pro XL dengan company brand PT Excelcomindo dikarenakan pihak manajemen terlalu menonjolkan product brand, sehingga pelanggan lebih mengetahui product brand dari pada company brand dan menganggap product brand sebagai company brand. Logo baru diharapkan bisa mengubah asosiasi yang keliru terhadap product brand dan company brand.

2. Refreshment logo

Pada prinsipnya tidak ada perubahan logo, tapi lebih dimaksudkan untuk menyegarkan product brand atau company brand di benak pelanggan agar tetap menjadi top of mind. Di kalangan karyawan sendiri diharapkan adanya kegairahan atau motivasi dalam bekerja sebagai wujud komitmen refreshment logo yang dilakukan. Positioning perusahaan perlu ditegaskan kepada karyawan agar dampak dari refreshment yang dilakukan bisa dirasakan oleh seluruh anggota perusahaan yang akan berimbas pada aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dan akan dipersepsi oleh publik perusahaan.


(11)

3. Perubahan visi

Visi perusahaan yang baru diharapkan akan lebih mampu beradaptasi terhadap lingkungan bisnis yang secara konstan akan terus berubah. Indikator seperti perkembangan teknologi dan liberalisasi perdagangan harus dicermati agar perusahaan dapat senantiasa beradaptasi dengan baik. Rebranding perusahaan dalam menyikapi perubahan ini seringkali akan berimbas pada lahirnya visi perusahaan yang baru.

2.1.7 Definisi Loyalitas

Berikut definisi dari terjemahan loyalitas (customer loyalty) menurut beberapa ahli. Menurut Oliver (1997), antara lain : “Komitmen untuk bertahan secara mendalam dengan melakukan pembelian ulang atau berlangganan kembali dengan produk atau jasa terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku”.

Sedangkan Griffin (1995), menyatakan pendapatnya tentang loyalitas pelanggan antara lain : “Konsep loyalitas lebih mengarah kepada prilaku (behaviour) dibandingkan dengan sikap (attitude) dan seorang konsumen yang loyal akan memperlihatkan prilaku pembelian yang didefinisikan sebagai pembeli yang teratur dan diperlihatkan sepanjang waktu oleh beberapa unit pembuatan keputusan”.

2.1.8 Brand Loyalty

Brand loyalty (loyalitas terhadap suatu merek) didefinisikan sebagai tingkat ketika konsumen memiliki sikap positif terhadap suatu merek, memiliki


(12)

komitmen dan bermaksud untuk melanjutkan pembelian di masa yang akan datang (Mowen, 1995) dalam Griffin.

Loyalitas merek merupakan ukuran kedekatan / keterkaitan pelanggan pada sebuah merek. Ukuran ini menggambarkan tentang mungkin tidaknya konsumen beralih ke merek lain, terutama jika merek tersebut mengalami perubahan baik yang menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Konsumen yang loyal pada umumnya akan melanjutkan penggunaan merek tersebut, walaupun dihadapkan dengan banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul. Beberapa fungsi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan yaitu:

1. Mengurangi biaya pemasaran. 2. Meningkatkan perdagangan. 3. Menarik minat pelanggan baru.

4. Memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing.Branduality

Loyalitas konsumen terhadap merek terdiri dari lima kategori yang memiliki tingkatan loyalitas mulai dari yang paling rendah sampai tertinggi yang membentuk piramida loyalitas merek. Adapun tingkatan loyalitas merek adalah :

1. Konsumen yang berpindah-pindah (Switcher)

Pembeli yang berada pada tingkat ini disebut sebagai pelanggan yang berada pada tingkat paling dasar, dan juga sama sekali tidak loyal. Pembeli pada tingkat ini tidak mau terikat pada merek apa pun, karena karakteristik konsumen yang berada pada kategori ini pada umumnya adalah mereka yang sensitif terhadap harga. Mereka menganggap bahwa suatu produk (apa pun mereknya)


(13)

dianggap telah memadai serta hanya memiliki peranan yang kecil dalam keputusan untuk membeli.

2. Pembelian yang berdasarkan kebiasaan (Habitual Buyer)

Pembeli yang berada pada tingkat ini, dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek yang telah mereka konsumsi. Para pembeli tipe ini memilih merek hanya karena faktor kebiasaan. Karakteristik konsumen yang termasuk dalam kategori ini adalah jarang untuk mengevaluasi merek lain. Sungkannya konsumen untuk berpindah ke merek lain lebih dikarenakan sikap mereka yang pasif.

3. Pembeli yang puas dengan biaya peralihan (Satisfied Buyer)

Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi, namun demikian mungkin saja mereka memindahkan pembelian ke merek lain dengan menanggung switch cost yang terkait dengan waktu, uang, manfaat, ataupun resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka dalam peralihan merek.

4. Pembeli yang menyukai merek (Liking the Brand)

Pada tingkat ini, konsumen sungguh-sungguh menyukai merek. Pada tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Preferensi mereka dilandaskan pada suatu asosiasi, seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakan merek produk.

5. Pembeli yang setia (Committed Buyer)

Pada tingkatan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek Bahkan merek sudah


(14)

menjadi suatu hal yang sangat penting bagi mereka, baik karena fungsi operasional maupun emosional dalam mengekspresikan jati diri. Salah satu aktualisasi loyalitas konsumen pada tingkat ini ditunjukan dengan tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut pada pihak lain. Upaya perusahaan untuk meningkatkan ekuitas merek yang dimiliki dapat dijadikan landasan dari program pemasaran yang sukses. Setiap perusahaan, apapun jenis usahanya, dipastikan selalu sangat bergantung dengan kesetiaan konsumen terhadap merek.

Committed Buyer Liking the Brand

Satisfied Buyer Habitual Buyer

Switcher

Sumber : Aaker dalam Durianto (2004) Gambar 2.1

Piramida Brand Loyalty (Loyalitas Merek) Menurut Griffin (1995), ada tujuh tahap loyalitas, yaitu :

1. Suspect

Meliputi semua orang yang mungkin akan membeli barang atau jasa perusahaan. Pada hal ini konsumen akan membeli tetapi belum mengetahui mengenai perusahaan dan barang atau jasa yang ditawarkan.


(15)

2. Prospect

Orang-orang yang memiliki kebutuhan barang atau jasa tertentu dan mempunyai kemampuan untuk membelinya. Pada tahap ini konsumen belum melakukan pembelian, tetapi telah mengetahui keberadaan perusahaan dan barang atau jasa yang ditawarkan, karena seseorang telah merekomendasikan barang atau jasa tersebut padanya.

3. Disqualified Prospect

Orang yang telah mengetahui barang atau jasa tertentu, tetapi tidak mempunyai kebutuhan akan barang atau jasa tersebut, atau tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barang atau jasa tersebut.

4. First Time Customer

Konsumen yang membeli untuk yang pertama kalinya. Pembelian ini masih menjadi konsumen pembelian biasa dari barang atau jasa pesaing.

5. Repeat Customer

Konsumen yang telah melakukan pembelian suatu produk sebanyak dua kali atau lebih. Konsumen ini adalah yang melakukan pembelian atas produk yang sama sebanyak dua kali atau membeli dua macam produk yang berbeda dalam dua kesempatan yang berbeda pula.

6. Clients

Membeli semua barang atau jasa yang ditawarkan yang mereka butuhkan, hubungan dengan konsumen ini sudah kuat dan berlangsung lama, yang membuat mereka tidak terpengaruh oleh tarikan produk atau pelanggan pesaing.


(16)

7. Advocates

Layaknya klien, advocates membeli seluruh barang atau jasa yang ditawarkan dan dibutuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur. Sebagai tambahan, mereka mendorong orang luar untuk membeli barang atau jasa tersebut.

8. Partners

Merupakan bentuk hubungan yang paling kuat antara pelanggan dengan perusahaan dan berlangsung secara terus menerus karena kedua pihak melihatnya sebagai hubungan yang saling menguntungkan (win-win solution).

Menurut Oliver (1997), ada empat tahap loyalitas antara lain :

1. Loyalitas berdasarkan kesadaran (Cognitive loyalty)

Pada tahap pertama loyalitas ini, informasi utama suatu produk atau jasa menjadi faktor penentu, tahap ini berdasarkan pada kesadaran dan harapan konsumen. Namun bentuk kesetiaan ini kurang kuat karena konsumen mudah beralih kepada produk atau jasa yang lain jika memberikan informasi yang lebih menarik.

2. Loyalitas berdasarkan pengaruh (Affective loyalty)

Pada tahap ini loyalitas mempunyai kedudukan pengaruh yang kuat baik dalam prilaku maupun sebagai komponen yang mempengaruhi kepuasan. Kondisi sangat sulit dihilangkan karena kesetiaan sudah tertanam dalam pikiran konsumen bukan hanya sebagai kesadaran atau harapan.


(17)

Tahap loyalitas ini mengandung komitmen perilaku yang tinggi untuk melakukan pembelian produk atau jasa. Hasrat untuk melakukan pembelian ulang atau bersikap loyal merupakan tindakan yang dapat diantisipasi namun tidak disadari.

4. Loyalitas dalam bentuk tindakan (Action loyalty)

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari kesetiaan, pada tahap ini diawali suatu keinginan yang disertai motivasi, selanjutnya diikuti oleh siapapun untuk bertindak dan keinginan untuk mengatasi seluruh hambatan untuk melakukan tindakan.

Menurut Hill dalam Griffin (2005) membagi tahapan loyalitas pelanggan menjadi enam tahap mulai dari suspect sampai pada tahap partner. Di bawah ini akan digambarkan mengenai piramida tahapan loyalitas pelanggan tersebut.

*  Profit Starts Here (keuntungan dimulai disini) Gambar 2.2. Piramida tahap-tahap loyalitas pelanggan

Sumber : Griffin (2005) Suspect Prospect * Customer *

Clients Advocare


(18)

2.1.9 Loyalitas Konsumen

Oliver dalam Griffin (2005), mengungkapkan definisi loyalitas konsumen adalah sebagai berikut: “ Customer loyalty is deefly held commitment to rebuy or repatronize a preferred product or service consistenly in the future, despite situational influence and marketing efforts having the potential to cause switching behavior ”. Uraian definisi di atas menjelaskan bahwa loyalitas konsumen adalah suatu komitmen dari konsumen untuk bertahan secara mendalam agar mengkonsumsi kembali atau melakukan pembelian ulang suatu produk dan jasa yang terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku.

Menurut Sumarwan (2003), konsumen yang merasa puas terhadap produk dan merek yang dikonsumsi atau dipakai akan membeli ulang produk tersebut. Jika pembelian ulang tersebut dilakukan secara terus-menerus, maka inilah yang dikatakan sebagai loyalitas konsumen.

Dick dan Basu dalam Tjiptono (2005), menyatakan bahwa ada empat jenis loyalitas konsumen yang berbeda dan muncul apabila keterikatan rendah dan tinggi diklasifikasi silang dengan pola pembelian ulang yang rendah dan tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :


(19)

Tabel 2.3 Keterikatan Relatif

Tinggi Rendah

Tinggi Loyalitas Premium Loyalitas Tersembunyi

Rendah Loyalitas Lemah Tanpa Loyalitas

Sumber: Tjiptono (2005)

1. Tanpa Loyalitas (No Loyalty)

Tanpa loyalitas terjadi bila tingkat keterikatan dan perilaku pembelian ulang konsumen yang sama-sama lemah, sehingga loyalitas tidak terbentuk. Ada dua kemungkinan penyebab. Pertama, sikap yang lemah (mendekati netral) dapat terjadi jika suatu produk dan jasa baru diperkenalkan dan atau pemasarnya tidak mampu mengkomunikasikan keunggulan unik produknya. Penyebab kedua berkaitan dengan dinamika pasar, dimana merek-merek yang berkompetisi dipersepsikan serupa atau sama.

2. Loyalitas Lemah (Spurious Loyalty)

Tingkat keterikatan yang rendah bila digabung dengan perilaku pembelian berulang yang tinggi akan menghasilkan loyalitas lemah. Konsumen ini biasanya membeli karena adanya faktor kebiasaan. Hal ini termasuk jenis pembelian ”karena konsumen selalu menggunakannya” atau ”karena sudah terbiasa”. Pembeli ini merasakan tingkat kepuasan tertentu dengan perusahaan atau minimal tiada ketidakpuasan yang nyata. Loyalitas jenis ini paling umum terjadi pada produk yang sering dibeli.


(20)

3. Loyalitas Tersembunyi (Latent Loyalty)

Tingkat preferensi yang relatif tinggi bila digabung dengan perilaku pembelian berulang yang rendah akan menunjukan loyalitas tersembunyi. Bila konsumen memiliki loyalitas tersembunyi, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap yang akan menentukan pembelian berulang. Dengan memahami faktor situasi yang berkontribusi pada loyalitas tersembunyi, perusahaan dapat menggunakan berbagai strategi untuk mengatasinya.

4. Loyalitas Premium (Premium Loyalty)

Loyalitas premium merupakan jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan. Loyalitas ini terjadi bila ada tingkat keterikatan yang tinggi dan perilaku pembelian berulang yang juga tinggi. Ini merupakan jenis loyalitas yang paling diharapkan oleh setiap perusahaan. Pada tingkat preferensi yang paling tinggi tersebut, konsumen akan merasa bangga apabila mengkonsumsi atau menggunakan produk tertentu yang disertai dengan pola pembelian berulang secara konsisten. Konsumen juga akan merasa senang dalam membagi pengetahuan tentang produk tersebut kepada rekan dan keluarga mereka. 2.2 Kerangka Konseptual

Teori penghubung antara perubahan merek dengan loyalitas konsumen dikutip dari Rangkuti (2002) yang mengatakan: “Apabila konsumen beranggapan bahwa merek tertentu secara fisik berbeda dari merek pesaing, citra merek tersebut akan melekat secara terus menerus sehingga dapat membentuk kesetiaan terhadap merek tertentu yang disebut dengan loyalitas merek”.


(21)

Dalam banyak hal, sikap terhadap merek tertentu sering mempengaruhi apakah konsumen akan loyal atau tidak. Persepsi yang baik dan kepercayaan konsumen akan suatu merek tertentu akan menciptakan minat beli konsumen dan bahkan meningkatkan loyalitas konsumen terhadap produk tertentu. Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas maka dapat ditarik kerangka konseptual sebagai berikut:

Sumber : Aaker (2003) (data diolah)

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual

Hubungan perubahan merek dengan loyalitas konsumen adalah dimana perubahan merek yang dilakukan disini bukan karena merek tersebut telah usang dipasaran melainkan untuk menjadikan merek tersebut secara global , sehingga membuat kayakinan dan pengakuan kosumen terhadap merek tersebut semakin meningkat, dengan meningkatnya keyakinan konsumen maka mereka akan loyal terhadap merek tersebut.

2.3 Penelitian Terdahulu

Ulfathul Arzia (2007) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Rebranding Terhadap Brand Equity Air Conditioner (AC) PANASONIC”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui brand equity AC Panasonic dibandingkan merek AC lain pasca rebranding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Brand Equity yang dimiliki AC Panasonic tergolong baik pasca rebranding.

Perubahan Merek (X)

Loyalitas Konsumen (Y)


(22)

2.4 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang masih harus dibuktikan kebenarannya melalui penelitian.(Sugiyono, 2010). Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:“Apakah perubahan merek Sari Puspa menjadi Soffell berpengaruh terhadap loyalitas konsumen dalam melakukan keputusan pembelian pada komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU ?”


(1)

Tahap loyalitas ini mengandung komitmen perilaku yang tinggi untuk melakukan pembelian produk atau jasa. Hasrat untuk melakukan pembelian ulang atau bersikap loyal merupakan tindakan yang dapat diantisipasi namun tidak disadari.

4. Loyalitas dalam bentuk tindakan (Action loyalty)

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari kesetiaan, pada tahap ini diawali suatu keinginan yang disertai motivasi, selanjutnya diikuti oleh siapapun untuk bertindak dan keinginan untuk mengatasi seluruh hambatan untuk melakukan tindakan.

Menurut Hill dalam Griffin (2005) membagi tahapan loyalitas pelanggan menjadi enam tahap mulai dari suspect sampai pada tahap partner. Di bawah ini akan digambarkan mengenai piramida tahapan loyalitas pelanggan tersebut.

*  Profit Starts Here (keuntungan dimulai disini) Suspect

Prospect * Customer *

Clients Advocare


(2)

2.1.9 Loyalitas Konsumen

Oliver dalam Griffin (2005), mengungkapkan definisi loyalitas konsumen adalah sebagai berikut: “ Customer loyalty is deefly held commitment to rebuy or repatronize a preferred product or service consistenly in the future, despite situational influence and marketing efforts having the potential to cause switching behavior ”. Uraian definisi di atas menjelaskan bahwa loyalitas konsumen adalah suatu komitmen dari konsumen untuk bertahan secara mendalam agar mengkonsumsi kembali atau melakukan pembelian ulang suatu produk dan jasa yang terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku.

Menurut Sumarwan (2003), konsumen yang merasa puas terhadap produk dan merek yang dikonsumsi atau dipakai akan membeli ulang produk tersebut. Jika pembelian ulang tersebut dilakukan secara terus-menerus, maka inilah yang dikatakan sebagai loyalitas konsumen.

Dick dan Basu dalam Tjiptono (2005), menyatakan bahwa ada empat jenis loyalitas konsumen yang berbeda dan muncul apabila keterikatan rendah dan tinggi diklasifikasi silang dengan pola pembelian ulang yang rendah dan tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :


(3)

Tabel 2.3 Keterikatan Relatif

Tinggi Rendah

Tinggi Loyalitas Premium Loyalitas Tersembunyi

Rendah Loyalitas Lemah Tanpa Loyalitas

Sumber: Tjiptono (2005)

1. Tanpa Loyalitas (No Loyalty)

Tanpa loyalitas terjadi bila tingkat keterikatan dan perilaku pembelian ulang konsumen yang sama-sama lemah, sehingga loyalitas tidak terbentuk. Ada dua kemungkinan penyebab. Pertama, sikap yang lemah (mendekati netral) dapat terjadi jika suatu produk dan jasa baru diperkenalkan dan atau pemasarnya tidak mampu mengkomunikasikan keunggulan unik produknya. Penyebab kedua berkaitan dengan dinamika pasar, dimana merek-merek yang berkompetisi dipersepsikan serupa atau sama.

2. Loyalitas Lemah (Spurious Loyalty)

Tingkat keterikatan yang rendah bila digabung dengan perilaku pembelian berulang yang tinggi akan menghasilkan loyalitas lemah. Konsumen ini biasanya membeli karena adanya faktor kebiasaan. Hal ini termasuk jenis pembelian ”karena konsumen selalu menggunakannya” atau ”karena sudah terbiasa”. Pembeli ini merasakan tingkat kepuasan tertentu dengan perusahaan atau minimal tiada ketidakpuasan yang nyata. Loyalitas jenis ini paling umum terjadi pada produk yang sering dibeli.


(4)

3. Loyalitas Tersembunyi (Latent Loyalty)

Tingkat preferensi yang relatif tinggi bila digabung dengan perilaku pembelian berulang yang rendah akan menunjukan loyalitas tersembunyi. Bila konsumen memiliki loyalitas tersembunyi, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap yang akan menentukan pembelian berulang. Dengan memahami faktor situasi yang berkontribusi pada loyalitas tersembunyi, perusahaan dapat menggunakan berbagai strategi untuk mengatasinya.

4. Loyalitas Premium (Premium Loyalty)

Loyalitas premium merupakan jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan. Loyalitas ini terjadi bila ada tingkat keterikatan yang tinggi dan perilaku pembelian berulang yang juga tinggi. Ini merupakan jenis loyalitas yang paling diharapkan oleh setiap perusahaan. Pada tingkat preferensi yang paling tinggi tersebut, konsumen akan merasa bangga apabila mengkonsumsi atau menggunakan produk tertentu yang disertai dengan pola pembelian berulang secara konsisten. Konsumen juga akan merasa senang dalam membagi pengetahuan tentang produk tersebut kepada rekan dan keluarga mereka.

2.2 Kerangka Konseptual

Teori penghubung antara perubahan merek dengan loyalitas konsumen dikutip dari Rangkuti (2002) yang mengatakan: “Apabila konsumen beranggapan bahwa merek tertentu secara fisik berbeda dari merek pesaing, citra merek tersebut akan melekat secara terus menerus sehingga dapat membentuk kesetiaan terhadap merek tertentu yang disebut dengan loyalitas merek”.


(5)

Dalam banyak hal, sikap terhadap merek tertentu sering mempengaruhi apakah konsumen akan loyal atau tidak. Persepsi yang baik dan kepercayaan konsumen akan suatu merek tertentu akan menciptakan minat beli konsumen dan bahkan meningkatkan loyalitas konsumen terhadap produk tertentu. Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas maka dapat ditarik kerangka konseptual sebagai berikut:

Sumber : Aaker (2003) (data diolah)

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual

Hubungan perubahan merek dengan loyalitas konsumen adalah dimana perubahan merek yang dilakukan disini bukan karena merek tersebut telah usang dipasaran melainkan untuk menjadikan merek tersebut secara global , sehingga membuat kayakinan dan pengakuan kosumen terhadap merek tersebut semakin meningkat, dengan meningkatnya keyakinan konsumen maka mereka akan loyal terhadap merek tersebut.

2.3 Penelitian Terdahulu

Ulfathul Arzia (2007) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Rebranding Terhadap Brand Equity Air Conditioner (AC) PANASONIC”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui brand equity AC Panasonic dibandingkan merek AC lain pasca rebranding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Brand Equity yang dimiliki AC Panasonic tergolong baik

Perubahan Merek (X)

Loyalitas Konsumen (Y)


(6)

2.4 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang masih harus dibuktikan kebenarannya melalui penelitian.(Sugiyono, 2010). Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:“Apakah perubahan merek Sari Puspa menjadi Soffell berpengaruh terhadap loyalitas konsumen dalam melakukan keputusan pembelian pada komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU ?”


Dokumen yang terkait

Pengaruh Perubahan Merek Sari Puspa Menjadi Soffell Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Melakukan Keputusan Pembelian pada Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU

8 96 83

Pengaruh Perubahan Merek Sari Puspa Menjadi Soffell Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Melakukan Keputusan Pembelian pada Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU

3 17 83

Pengaruh Perubahan Merek Sari Puspa Menjadi Soffell Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Melakukan Keputusan Pembelian pada Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU

0 0 10

Pengaruh Perubahan Merek Sari Puspa Menjadi Soffell Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Melakukan Keputusan Pembelian pada Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU

0 0 2

Pengaruh Perubahan Merek Sari Puspa Menjadi Soffell Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Melakukan Keputusan Pembelian pada Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU

0 0 5

Pengaruh Perubahan Merek Sari Puspa Menjadi Soffell Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Melakukan Keputusan Pembelian pada Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU

0 1 2

Pengaruh Perubahan Merek Sari Puspa Menjadi Soffell Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Melakukan Keputusan Pembelian pada Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam USU

0 0 7

Pengaruh Perubahan Merek Air Conditioner (Ac) National Menjadi Panasonic Terhadap Loyalitas Konsumen Dalam Melakukan Keputusan Pembelian Di Kecamatan Medan Area

0 0 10

Pengaruh Perubahan Merek Air Conditioner (Ac) National Menjadi Panasonic Terhadap Loyalitas Konsumen Dalam Melakukan Keputusan Pembelian Di Kecamatan Medan Area

0 0 7

Pengaruh Perubahan Merek Air Conditioner (Ac) National Menjadi Panasonic Terhadap Loyalitas Konsumen Dalam Melakukan Keputusan Pembelian Di Kecamatan Medan Area

0 0 28