ANALISIS PENYADAPAN AMERIKA SERIKAT DAN

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi. Sebagai entitas
yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota
negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama,
mengembangkan hubungan, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari
terjadinya sengketa. Perundingan-perundingan ini biasanya dipimpin oleh seorang
utusan yang dinamakan duta besar.1
Pada tahun 1815, diselenggarakan Kongres Wina, dimana raja-raja yang menjadi
peserta bersepakat untuk mengkodifikasikan kebiasaan-kebiasaan tersebut menjadi
sebuah hukum tertulis. Kongres ini kurang berhasil, hanya membuat hukum kebiasaan
yang ada menjadi tertulis, secara substansi tidak banyak berubah. Dalam beberapa
tahun kemudian, sering diadakan upaya-upaya untuk mengkodifikasi hukum
diplomatik ini. Upaya dari Liga Bangsa Bangsa tahun 1927, Konvensi Negara-Negara
Amerika pada tahun 1928, Komisi Hukum Internasional Majelis Umum PBB tahun
1947. Namun semua upaya di atas kurang mendapatkan respon yang positif dan hanya
beberapa negara saja yang meratifikasinya. Akibat sering terjadinya insiden
diplomatik sebagai akibat perang dingin dan sering dilanggarnya ketentuan-ketentuan
tentang hubungan diplomatik, atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB
menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional untuk segera
memprioritaskan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.2

Selanjutnya, tahun 1954, Komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan
kekebalan diplomatik dan sebelum akhir 1959, Majelis Umum memutuskan untuk

1 Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika Global,
Alumni, Bandung, hlm. 510.

2 Ibid., hlm. 512-513.

mengadakan konferensi internasional dengan nama the United Nations Conference on
Diplomatic Intercourse and Immunities, berlokasi di Wina tanggal 2 Maret-14 April
1961. Konferensi tersebut menghasilkan 3 instrumen, yaitu:3
1.Vienna Convention on Diplomatic Relations;
2.Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality; dan
3.Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Dispute.
Konvensi tersebut diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak, 1 abstain.
Konvensi tersebut mulai berlaku sejak 24 April 1964. Hampir seluruh negara di dunia
meratifikasinya, Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan UU Nomor 1 Tahun
1982 pada tanggal 25 Januari 1982. Konvensi ini menjadi kode etik diplomatik yang
sebenarnya dan berlaku universal. Selanjutnya Konvensi Wina 1961 dilengkapi
dengan Konvensi mengenai Misi-misi Khusus (Convention on Special Missions) pada

tanggal 8 Desember 1969 dan diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 2 Tahun1982
pada tanggal 25 Januari 1982. Sampai saat ini Konvensi Wina telah menjadi konvensi
universal karena hampir seluruh negara di dunia telah menjadi pihak pada konvensi
tersebut.
Hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan
diplomatik dengan negara lain, seperti juga tidak ada keharusan untuk menerima misi
diplomatik asing di suatu negara, demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak
meminta negara lain untuk menerima wakil-wakilnya. Pasal 2 Konvensi Wina 1961
menegaskan : “Pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan
pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan”.
Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap merupakan 2 hal
yang berbeda. Negara dapat saja membuka hubungan diplomatik tetapi tidak langsung
membuka perwakilan tetap.
Pengangkatan seorang duta besar biasanya dilakukan dan atas nama Kepala negara.
Calon-calon dubes diajukan oleh Menlu kepada Kepala Negara untuk mendapatkan
3 Ibid., hlm. 513.

persetujuannya. Di Indonesia dalam Pasal 13 (2) UUD 1945 versi amademen
menyatakan “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat”.Bila pengangkatan seorang calon dubes telah diputuskan,

namanya segera diajukan kepada pemerintah negara penerima melalui kedubes negara
pengirim untuk mendapatkan agreement (Pasal 4 (1) Konvensi Wina 1961).
Agreement ini merupakan hal yang penting sekali, mengingat kemungkinan
penolakan calon dubes tadi oleh negara penerima. Setiap negara berhak menolak
seorang calon dubes dari negara pengirim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu.
Diatur dalam Pasal 9 Konvensi Wina 1961, negara penerima setiap waktu dan tanpa
penjelasan dapat memberitahu negara pengirim bahwa kepala perwakilan atau salah
seorang anggota staf diplomatiknya adalah persona non-grata dan karena itu harus
dipanggil kembali atau mengakhiri tugasnya di perwakilan. Selanjutnya juga
dinyatakan bila negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu yang
pantas melaksanakan kewajibannya, maka negara penerima dapat menolak untuk
mengakui pejabat tersebut sebagai anggota perwakilan.
Pernyataan persona non-grata dikeluarkan oleh negara setempat bila keberadaan
seorang diplomat tidak bisa ditolerir sebagai akibat dari sikap atau keberadaannya
yang tak dapat diterima. Biasanya pernyataan persona non-grata dilakukan terhadap
diplomat atau staf perwakilan diplomatik yang terbukti melakukan:4
1.Kegiatan spionase;
2.Melindungi agen-agen rahasia asing dan membiarkan mereka melakukan kegiatankegiatan dengan menggunakan fasilitas perwakilan;
3.Melindungi orang-orang yang dikenakan hukuman;

4.Mencampuri urusan dalam negeri negara penerima;
5.Melakukan penyelundupan;
6.Membuat pernyataan-pernyataan yang merugikan negara setempat dll.

4 Ibid., hlm. 533-534.

Selain alasan-alasan pribadi di atas, pernyataan persona non-grata dikeluarkan sebagai
tindakan pembalasan terhadap negara yang telah menyatakan persona non-grata atas
salah seorang diplomat atau staf perwakilannya, tetapi tindakan demikian adalah
berlawanan dengan jiwa hubungan internasional dan hendaknya menjadi suatu
pengecualian. Pernyataan persona non-grata dapat dibuat sebelum atau sesudah
diplomat itu datang.
Dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961 menyebutkan tugas perwakilan diplomatik
adalah:
1.Mewakili negara pengirim di negara penerima;
2.Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di
negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan hukum internasional;
3.Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima;
4.Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan
perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah negara

pengirim;
5.Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima
serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.
Hak-Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik
1. Dasar Pemberian Hak Istimewa dan Kekebalan
a) Teori eksteritorialitas; menurut teori ini seorang pejabat diplomatik dianggap
seolah-olah tetap berada di wilayah negara pengirim sehingga ketentuan-ketentuan
negara penerima tidak berlaku kepadanya.
b) Teori representatif; pejabat/perwakilan diplomatik dianggap mewakili kepala
negaranya/negaranya sehingga diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan yang
berarti bahwa negara penerima menghormati negara pengirim.
c) Teori fungsional; didasarkan atas kebutuhan fungsional agar para pejabat
diplomatik dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
2. Hak-hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik.
a) Kekebalan pribadi: Pasal 29 Konvensi Wina menyebutkan “Pejabat diplomatik
tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka harus

diperlakukan dengan penuh hormat dan negar penerimaharus mengambil langkahlangkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan, dan martabatnya
b) Kekebalan yurisdiksional: diplomat bebas dari yurisdiksi negara penerima
sehubungan dengan masalah kriminal, namun Pasal 32 Konvensi Wina 1961

menyebutkan bila seorang diplomat melakukan tindakan kriminal di negara akreditasi
tentunya tergantung negara pengirim atau kepala perwakilannya untuk menanggalkan
kekebalan diplomatik seorang diplomatik. Bila kekebalan itu ditanggalkan maka tidak
ada halangan bagi peradilan negara penerima untuk mengadilinya. Penanggalan
kekebalan tersebut harus dinyatakan dengan jelas.
c) Pembebasan pajak: pejabat diplomat bebas dari pungutan pajak yang dilakukan
oleh negara penerima, perkecualian untuk pungutan-pungutan lokal seperti
penggunaan listrik air dll. Harta benda tak bergerak milik pribadi di negara penerima
tetap dikenai pajak.
d) Hak istimewa dan kekebalan anggota keluarga pejabat diplomatik: Pasal 37
Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa anggota-anggota keluargadari seorang
pejabat diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangga memperoleh hak-hak
istimewa dan kekebalan. Hak dan kekebalan tersebut dibatasi kepada anggota
keluarga yang berdiam dengan pejabat diplomatik yang bersangkutan.
e) Hak istimewa dan kekebalan anggota-anggota perwakilan lainnya dan pembantu
rumah tangga: untuk staf administrasi dan pembantu rumah tangga, selain warga
negara penerima juga mendapat hak istimewa dan kekebalan
Berakhirnya misi diplomatik seorang staf perwakilan menurut Pasal 43 Konvensi
Wina 1961 antara lain karena:
1.Adanya pemberitahuan dari negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas

dari pejabat diplomatik itu telah berakhir;
2.Adanya pemberitahuan dari negara penerima kepada negara pengirim bahwa sesuai
dengan ayat 2 Pasal 9 Konvensi negara tersebut menolak untuk mengakui seorang
pejabat diplomatik sebagai anggota perwakilan.
B. POSISI KASUS

Terbongkarnya skandal penyadapan oleh Amerika Serikat melalui peran National
Secutity Agents dan Australia melalui peran Australian Signal Directorate, dilakukan
oleh mantan pegawai kontrak Amerika, Edward Snowden. Snowden dalam
laporannya menyebutkan Amerika Serikat telah mengungkapkan penyadapan yang
dilakukannya di Jerman, China, Malaysia, bahkan Indonesia. Kemarahan yang
ditunjukan sejumlah negara tersebut sangat wajar karena Amerika telah mencederai
sikap persahabatan selama ini.
Tindakan penyadapan oleh AS ini jelas tidak sehat dalam menjalin hubungan
intenasional, karena didasarkan pada kecurigaan dan keinginan untuk terlebih duli
mengetahui serta mengantisipasi kebijakan yang diambil pemerinyahan negara lain,
termasuk Indonesia.
Indonesia dalam menggapi hal ini, melalui Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty
Natalegawa melayangkan nota protes atas tindakan penyadapan Amerika Serikat dan
Australia, termasuk adanya tindakan Badan Intelejen Negara (BIN) yang akan

memanggil perwakilan intelegen Amerika Serikat di Indonesia.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pandangan hukum internasional dalam kasus penyadapan yang dilakukan
oleh Amerika Serikat dan Australia?
2. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam meminta
pertanggungjawaban atas tindakan Amerika Serikat dan Australia?
D. PEMBAHASAN
Penyadapan
Di Indonesia istilah penyadapan memiliki pengertian :
Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan
dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi
yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.5
5 Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Jika dikaji lebih luas lagi penggunaan istilah “penyadapan” merupakan salah satu
bentuk atau bagian tindakan spionase (espionage). Pengertian espionage adalah The
act of securing information of a military or political nature that a competing nation
holds secret. It can involve the analysis of diplomatic reports, publications, statistics,
and broadcasts, as well as spying, a clandestine activity carried out by an individual
or individuals working under secret identity to gather classified information on behalf

of another entity or nation.
Atau, “ is the practice of secretly gathering information about a foreign government or
a competing industry, with the purpose of placing one's own government or
corporation at some strategic or financial advantage.” 6
Menurut Christopher D. Baker, espionage merupakan suatu tindakan memata-matai
dan mendengarkan secara diam-diam terhadap “tetangga”.

Jika dilihat menurut

pandangan hubungan internasional maka negara memata-matai satu sama lain sesuai
posisi kekuatan relatif mereka dalam rangka mencapai tujuan mementingkan diri
sendiri.
Menurut Black Law dictionary, ada beberapa istilah yang terkait yaitu:7
1. Espionage
Bahwa kegiatan mata-mata adalah perbuatan pidana yang bertujuan untuk
mengumpulkan, memindahkan ataupun menghilangkan keterangan berkaitan dengan
pertahanan nasional dengan maksud keterangan itu dapat dipergunakan untuk
merugikan negara atau untuk keuntungan bangsa lain.
2. Spies


6 Anonymus, 2013, Espionage, http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/espionage (online), diakses pada
18 mei 2014
7 Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadilah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G.
Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, Hal. 91-92

Seseorangan yang karena pekerjaannya dikirim ke kamp musuh untuk memastikan
kekuatan, kehendak, dan gerakan-gerakan musuh , untuk kemudian menyampaikan
informasi secara rahasia ke pejabat yang berwenang.
3. Clandestine
Kegiatan yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi demi mencapai tujuan yang
tidak sah.
4. Intelligence
Kegiatan intelejen diartikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan berita atau informasi
mengenai hal-hal penting atau keterangan-keterangan rahasia.
Prinsip, asas dan doktrin dalam Hukum Internasional
1. Prinsip Kedaulatan Negara
Prinsip bahwa suatu Negara tidak boleh melaksanakan kedaulatan (Jurisdiksinya) di
dalam wilayah negara lain dan prinsip persamaan kedaulatan antara semua anggota
PBB saling berhubungan satu sama lain. Prinsip persamaan kedaulatan antara semua
anggota PBB (Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB), baru ada apabila suatu negara berdaulat

atas wilayahnya yang dengan perkataan lain tidak ada negara lain yang melaksanakan
kewenangan negara tersebut terhadap negara tersebut.
Piagam PBB Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB menyatakan:
Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari
tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau
kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan
dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dengan dimilikinya kedaulatan maka ada yang dinamakan yurisdiksi negara.
Menurut John O’Brien, ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh negara , yaitu:
a. Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang,
benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or
b.

prescriptive jurisdiction)
Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum
nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction)

c.

Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum
(yudicial jurisdiction).
Dari beberapa jenis yurisdiksi salah satunya ialah yurisdiksi ekstrateritorial. Yurisdiksi
ekstrateritorial, diartikan sebagai kepanjangan secara semu (quasi extentio) dari
yurisdiksi suatu negara di wilayah yurisdiksi negara lain, atau kewenangan suatu
Negara yang diberikan oleh hukum internasional untuk melaksanakan kedaulatannya

di wilayah yang tidak termasuk yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi kuasi teritorialnya.
2. Prinsip Par in parem non habet imperium
Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini
memiliki beberapa pengertian:
a. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui pengadilannya terhadap
tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya.
b. Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat
mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari
perjanjian internasional tersebut.
c. Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu
negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.
3. Prinsip Persamaan Kedaulatan
Prinsip Persamaan Kedaulatan antara semua anggota PBB, antara lain pasal 1 ayat (2)
dan pasal 2 ayat (1) Piagam PBB yang secara lengkap berbunyi:
Pasal 1 ayat (2): “Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa
berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak rakyat untuk
menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar untuk
memperteguh perdamaian universal.”
Pasal 2 ayat (1): “Organisasi didasarkan pada Prinsip Persamaan Kedaulatan antara
semua Anggotanya.”

4. Prinsip non-intervensi
Tidak ada satu negara pun yang mempunyai hak untuk campur tangan, secara
langsung atau tidak langsung, dengan alasan apapun dalam urusan internal (dalam)
atau eksternal (luar) negeri suatu negara.
Dalam Hubungan Internasional dikenal beberapa prinsip yang digunakan dalam
1.
2.
3.
4.

membina hubungan kerjasama internasional antara lain:
Saling menghormati kedaulatan negara lain,
Saling menguntungkan,
Diabadikan untuk kepentingan nasional demi kesejahteraan masyarakat,
Diarahkan untuk mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.
5. Prinsip inalienable rights
Bahwa setiap negara memiliki hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memilih
sistem politik, ekonomi, sosial, dan budayanya.
Salah satu tugas perwakilan diplomatik adalah mengumpulkan data dengan cara yang
sah dan melaporkannya kepada pemerintah negara pengirim. Tugas ini merupakan
suatu hal yang utama bagi perwakilan diplomatik di negara penerima, termasuk
didalamnya tugas observasi secara seksama atas segala peristiwa yang terjadi di
negara penerima. Perlunya laporan ini adalah untuk memperlancar kepengurusan
kepentingan negaranya di luar negeri. Hal ini sejalan dengan apa yang di katakan oleh
Von Glahn, yaitu: “The basic duty of a diplomat i to report to his goverment on
political even, policies, and other related matters”. Kewajiban yang paling mendasar
dari seorang diplomat adalah memberikan lapotan kepada pemerintahnya mengenai
peristiwa politik, kebijakan-kebijakan, dan masalah-masalah yang terjadi di negara
penerima kepada pemerintahnya. Asalkan dalam membuat laporan yang dimaksud,
diplomat tersebut tidak mengumpulkan data dari hasil tindakanya sebagai agen rahasia
“spionase”, atau data diperoleh secara tidak sah menurut hukum dan kebiasaan
internasional.8 Dari sinilah dapat dikatakan Amerika Serikat dan Australia melakukan
tindakan penyadapan yang tidak sesuai dengan prinsip persahabatan antar negara.
8 Syahmin, Ak., S.H., M.H. Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, Rajawali Pers, 2008

Penyadapan dianggap tidak sehat dalam melakukan hubungan internasional karena
didasarkan pada kecurigaan dan keinginan untuk tahu terlebih dahulu atas kebijakan
yang diambil oleh pemerintah negara yang disadap.
Pelanggaran yang telah dilakukan Amerika Serikat dan Australia melalui Perwakilan
Diplomatik Australia di Indonesia sudah termasuk mencampuri urusan dalam negeri.
Penyadapan tersebut secara jelas dilakukan Amerika dan Australia melalui gedung
Kedutaan Besar Australia di Indonesia terhadap orang-orang penting di negara ini. Hal
ini jelas melanggar ketentuan yang ada di Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan
Diplomatik yang melarang secara tegas dalam Pasal 41 Ayat (1) “Without prejudice to
their privileges and immunities, it is the duty of all persons enjoying such privileges
and immunities to respect the laws and regulation of the receiving State. They also
have a duty not to interfece in the internal affairs of the State”. Hal ini juga jelas
melanggar ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (7) Piagam PBB yang isinya tentang prinsip
non-intervensi urusan dalam negeri suatu negara (The Principle of non-interference in
the internal affairs of state).
Penyadapan yang diduga dilakukan Pemerintah Amerika Serikat, The Sydney
Morning Herald, terbitan Kamis, 31 Oktober 2013 menulis, Australia ternyata
menjadi bagian jaringan spionase global bersama Amerika Serikat. Surat kabar itu
menulis, berdasarkan informasi yang diperoleh dari pembocor data intelijen NSA,
Edward Snowden dan sumber intelijen Australia, Kedutaan Australia di Jakarta
memiliki peran penting untuk mengumpulkan data intelijen terkait ancaman terorisme
dan penyelundupan manusia.
Nyanyian mantan konsultan CIA, Edward Snowden dari sebuah lokasi rahasia di
Moskow Rusia semakin banyak mengungkapkan kebusukan AS dan juga Australia,
sehingga semakin melengkapi laporan-laporan WikiLeaks terkait penyadapan yang
dilakukan AS terhadap Indonesia. Namun saat itu rejim SBY masih bisa berkelit dan

menanggapinya dengan dingin, tetapi sekarang laporan Edward Snowden yang
dimuat berbagai media internasional kelihatannya mulai mengusik kalangan istana
dan para elite lainnya.
Meskipun sikap rejim SBY belum sekeras Brazil, Jerman terhadap perilaku agen
rahasia AS itu namun mulai juga memanas meskipun tidak bisa berbuat banyak
karena rejim ini sangat tergantung kepada AS. Tetapi lebih bereaksi daripada tidak
sama sekali, karena para agen rahasia AS dan Australia bersekongkol dalam
menyadap berbagai jaringan telekomunikasi Indonesia.
Terkait masalah penyadapan yang dilakukan AS terhadap

Indonesia melalui

Kedutaan Besar Australia di Jakarta itu, Menlu Indonesia Marty Natalegawa
mengecam keras dan tidak bisa menerima perilaku dua negara tersebeut. Dalam
pertemuannya dengan Menlu Australia, Julie Bichop di Perth Jum’at 1 November
2013 Marty Natalegawa memprotes keras. Memang perilaku dua negara yang
dianggap oleh sebagian elite Indonesia itu sangat baik hubungannya dengan NKRI
itu tidak bisa diterima dengan alasan apapun, karena terkait berbagai aspek
kedaulatan Negara Kesatusan Republik Indonesia.
Sebenarnya laporan serupa pernah diungkapkan WikiLeaks sebelumnya, dan kini
diperkuatkan lagi oleh laporan-laporan lebih rinci oleh Edward Snowden, bahwa para
agen rahasia AS bekerjasama dengan negara Australia dan Inggris dalam menyadap
berbagai jaringan telekomunikasi negara lainnya. Menurut Majalah Jerman Der
Spiegel yang merilis laporan Edward Snowden yang membeberkan secara rinci sekali
program intelelijen AS yang disebut “Stateroom” yang ditempatkan di Kedutaan AS,
Australia, Inggris, Canada juga berkolaborasi dengan Selandia baru.
Menurut mantan Konsultan CIA, Edward Snowden tersebut pula, bahwa kedutaankedutaan negara bersangkutan yang ada di Jakarta termasuk dalam jaringan itu.
Sebagaimana dirilis oleh Fairfax Australia. Jaringan intelejen dengan peralatan yang
disebut “Stateroom” mereka distribusikan data-data intelijen kepada lima negara

anggotanya itu AS, Autralia, Inggris, Selandia baru, Canada sehingga disebut juga
sebagai ”Five Eyes”. Jaringan mereka diketahui sekarang terdapat juga di Hanoi,
Beijing, Bangkok, Kuala Lumpur, Dilly, Port Moresby.
Sebagaiamana diketahui, bahwa Edward Snowden melaporkan AS telah menyadap
jaringan komputer, telepon para pemimpin negara dan diplomat di 35 negara
termasuk menyadap ponsel Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brazil.
Dalam konteks ini berbagai negara yang korban penyadapan koboy itu mengecam
keras dan minta pertanggung jawaban AS, juga Jerman dan Brazil menyusun
rancangan resolusi PBB terkait masalah kebusukan AS itu. AS juga menyadap
Markas Besar PBB, Markas Besar EU di Brussel, Kantor perwakilannya di
New York.9
Pemerintah Indonesia memprotes keras laporan penyadapan yang dilakukan oleh
Amerika Serikat lewat kantor kedutaannya di Jakarta. Menteri Luar Negeri Indonesia
Marty Natalegawa dalam pernyataan resminya menyatakan, Indonesia tidak dapat
menerima dan memprotes keberadaaan fasilitas penyadapan di Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta, seperti yang diberitakan surat kabar terbitan Australia,
Sydney Morning Herald.
Juru bicara Kementerian Luar Negri Michael Tenne mengatakan jika berita itu benar
hal ini tentunya merupakan pelanggaran serius hubungan diplomatik. Indonesia tidak
dapat terima dan mengajukan protes keras jika berita tentang keberadaan fasilitas
penyadapan di kedubes AS di Jakarta itu bisa dikonfirmasi. Menlu RI telah berbicara
langsung dengan Kepala Perwakilan Kedutaan AS di Jakarta untuk meminta
penjelasan resmi dari pemerintah AS atas berita yang dimaksud.
Jika memang berita itu confirm tentunya bukan saja pelanggaran keamanan tapi juga
pelanggaran serius norma dan etika hubungan diplomatik. Tentunya juga tidak selaras
dengan semangat hubungan persahabatan antar negara. Saat ini memang (posisi) duta
9 http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/11/03/edward-snowdenas-dan-australia-bersekongkol-menyadapindonesia--606334.html diakses pada tanggal 18 mei 2014.

besar Amerika Serikat sedang kosong, sehingga pimpinan perwakilannya sendiri saat
ini dipimpin oleh seorang kuasa usaha ad interim.10
Selain itu, Snowden yang membongkar peta 90 fasilitas mata-mata AS di seluruh
dunia, tak terkecuali pada pusat-pusat kota di Cina termasuk kedutaan besar AS di
Beijing dan konsulat AS di pusat perdagangan Shanghai dan Chengdu , ibukota
provinsi barat daya Sichuan.
Seperti dikutip dari Channel News Asia, laporan SMH ini menyebutkan bahwa alatalat sadap tersebut dipasang pada fasilitas rahasia intelijen AS di Asia dan pos
diplomatik Australia yang digunakan untuk memonitor panggilan telepon dan
mengumpulkan data sebagai bagian dari jaringan Amerika.
Terkait hal itu, juru bicara Departemen Luar Negeri China mendesak Australia untuk
membuat klarifikasi mengenai informasi tersebut. Mereka

juga mendesak misi

diplomatik dan personil intelijen asing di Cina untuk secara ketat mematuhi perjanjian
internasional termasuk Konvensi Wina. Pun tidak boleh terlibat dalam aktivitas
apapun yang dapat membahayakan keamanan China.11
Dalam rangka melakukan penelusuran mengenai kebenaran pelanggaran yang
dilakukan oleh Amerika dan Australia tersebut maka dapat dilakukan penyidikan di
Wisma Perwakilan Diplomatik Australia di Indonesia. Pasa dasarnya Gedung
Perwakilan Diplomatik tidak dapat diganggu gugat sebagaimana dalam Pasal 22 Ayat
(1) Konvensi Wina 1961 tentang Hukum Diplomatik, “The premises of the mission
shall be inviolable. The agents of the receiving State may not enter them, except wih
the consent of the head of the mission”, artinya, bahwa rangka melakukan penyidikan
kasus ini tidak mungkin dilakukan.12

10 http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-minta-as-dan-australia-jelaskan-dugaanpenyadapan/1781244.html diakses pada tanggal 18 mei 2014
11 http://www.tribunnews.com/internasional/2013/11/02/china-tuntut-australia-dan-amerika-klarifikasi-soalpenyadapan diakses pada tanggal 18 mei 2014
12 Pasal 22 Konvensi Wina 1961

Namun bukan berarti Indonesia tidak dapat melakukan tindakan apa-apa. Ada
beberapa hal yang dapat dilakukan Indonesia dilihat dari sudut pandang hukum
diplomatik antara lain:
1. Mengirim nota diplomatik yang berisikan strong protes yang isinya mengecam aksi
Amerika dan Australia tersebut dan meminta maaf kepada Indonesia.
2. Persona non-grata, hal dimungkinkan dilaksanakan Indonesia dimana Konvensi Wina
1961 tentang hubungan diplomatik.
3. Pejabat diplomatik dari Australia juga dapat dipulangkan ke negaranya karena
Indonesia menolak mengakui sebagai pejabat Perwakilan Australia untuk Indonesia.
Namun, hal ini juga tidak mudah dilakukan. Dalam pelaksanaannya penanggalan
kekebalan diplomatik harus dinyatakan secara jelas dan mendapatkan persetujuan dari
Perdana Menteri Australia melalui nota diplomatik.
Peristiwa ini jelas menjadi pemutus hubungan kedua belah negara jika tidak ada
tanggapan resmi dari pihak Australia. Konsekuensi atau akibat yang paling buruk
yang akan diterima oleh Indonesia dan Australia adalah terjadinya pemutusan
hubungan diplomatik. Namun hal itu akan sangat berdampak buruk bagi kedua
negara. Kerena kedua negara baik Indonesia dan Australia memiliki hubungan
kerjasama di bidang ekonomi, pariwisata, keamanan, dll yang tidak bisa diabaikan
begitu saja, malahan bisa menimbulkan masalah baru bagi kedua negara tetangga ini.
Kaitan Penyadapan dan Prinsip, asas dalam hukum internasional
Tindakan penyadapan atau spionase yang dilakukan oleh suatu negara terhadap
negara lain hingga kini dalam hubungan internasional tidak pernah ada tanggapan
tegas bahwa itu salah atau benar. Praktik penyadapan telah dilakukan sejak lama, yang
semula hanya 2 kubu saja pada masa cold war hingga berkembang menjadi lebih dari
2 pihak bahkan negara sahabat sekalipun.

Tindakan yang dilakukan oleh Amerika dan Australia pun menurut beberapa pakar
bukanlah hal yang perlu baru apalagi diera teknologi informasi saat ini. Namun,
berdasarkan kajian internasional, tindakan penyadapan yang dilakukan oleh kedua
negara tersebut terhadap beberapa negara termasuk Indonesia menyalahi beberapa
prinsip yang berlaku secara internasional.
Resolusi PBB nomor 2625 tahun 1970 telah mencantumkan beberapa prinsip dalam
hal hubungan internasional yaitu :
Considering that the progressive development and codification of the following
principles:
a. The principle that States shall refrain in their international relations from the threat
or use of force against the territorial integrity or political independence of any State,
or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations,
b. The principle that States shall settle their international disputes by peaceful means in
such a manner that international peace and security and justice are not endangered,
c. The duty not to intervene in matters within the domestic jurisdiction of any State, in
accordance with the Charter,
d. The duty of States to co-operate with one another in accordance with the Charter,
e. The principle of equal rights and self-determination of peoples,
f.

The principle of sovereign equality of States,

g. The principle that States shall fulfil in good faith the obligations assumed by them in
accordance with the Charter

Selain itu dalam resolusi yang dikeluarkan oleh EU Parliament terkait penyadapan
yang dilakukan oleh NSA, EU menyebutkan bahwa tindakan tersebut hendaknya juga
memperhitungkan Convention in Cybercrime, article 14: Bahwa pengumpulan bukti
dalam bentuk elektronik harus menyediakan perlindungan yang memadai atas HAM,
harus berdasar pada ECHR (article 8, privacy) harus memastikan pemenuhan Prinsip
proporsionalitas.
E. KESIMPULAN
Dalam aksi penyadapan yang telah dilakukan pihak Australia terhadap Indonesia yaitu
kepada kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta 9 Menteri dan juga Ibu
Negara telah melanggar ketentuan Diplomatik yang diatur dalam Konvensi WINA
1961. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan adalah berupa penyalahgunaan
gedung diplomatik, intervensi/ikut campur urusan Negara lain serta dengan sengaja
mengambil informasi Negara lain baik yang bersifat rahasia atau bukan rahasia tanpa
ijin.
Dalam hal ini bentuk pertanggung jawaban awal yang dapat dilakukan oleh pihak
Australia adalah berupa permintaan maaf. Akan tetapi hal tersebut enggan dilakukan
oleh pihak Australia sehingga pemerintah Indonesia terpaksa memberikan Surat
Protes karena Tindakan penyadapan ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi
secara ilegal sehingga pemerintah Amerika Serikat atau Australia dapat mengetahui
terlebih dahulu serta mengantisipasi kebijakan yang akan dibuat pemerintah Indonesia
dan memanggil pulang (recalled) duta besar Indonesia untuk Australia ke Indonesia
sebagai salah satu tindakan yang tegas. Dari hal tersebut dapat menimbulkan
konsekuensi yang cukup besar bagi kedua belah pihak yaitu pemutusan hubungan
diplomatic yang dapat berdampak buruk bagi kedua belah pihak.

DAFTAR PUSTAKA
Konvensi Wina 1961
Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam era
Dinamika Global, Alumni, Bandung

Syahmin, Ak., S.H., M.H. 2008, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis,
Rajawali Pers.
http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/11/03/edward-snowdenas-dan-australiabersekongkol-menyadap-indonesia--606334.html diakses pada tanggal 18 mei 2014
http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-minta-as-dan-australia-jelaskandugaan-penyadapan/1781244.html diakses pada tanggal 18 mei 2014
http://www.tribunnews.com/internasional/2013/11/02/china-tuntut-australia-danamerika-klarifikasi-soal-penyadapan diakses pada tanggal 18 mei 2014

ANALISIS PENYADAPAN AMERIKA SERIKAT DAN AUSTRALIA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Nama Kelompok:
Widad M. Khaitam / 0910113201
Rangga R. Admi / 105010100111102

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
2014