RESUME DISERTASI Ahmadiyah Qadian dalam

RESUME DISERTASI
Ahmadiyah Qadian dalam Perspektif Komunikasi Antar Budaya:
Kajian Tentang Agama di Ruang Publik
Disertasi Jufri Alkatiri UIN 2014
Tugas Mata Kuliah
Approaches and Methodology of Islamic Studies

Tim Dosen:
Prof. Dr. H.M. Atho’ Mudzhar, MSPD
Prof. Dr. Suwito, MA
Prof. Dr. Sukron Kamil , M.Ag
Prof. M. Arskal Salim GP, MA, Ph.D
Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA

Resume Oleh:
Abdullah Khusairi
NIM. 31161200000061

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA
2016

1

RESUME DISERTASI
Ahmadiyah Qadian dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya:
Kajian Tentang Agama di Ruang Publik
Disertasi Jufri Alkatiri UIN 2014

I
Konflik sosial yang berlatarbelakang agama dalam sejarah
kehidupan manusia telah membuat banyak darah ummat tumpah ke
tanah. Alasan keyakinan memang sangat efektif untuk membawa klaim
kebenaran kepada pihak di luar dirinya. Ini seiring dengan pendapat
Peter L. Burger, agama adalah alat legitimasi kebenaran dan menekan
pihak lain yang berbeda pandangan dan kepentingan.
Karen Amstrong menyebutkan, sejarah perang suci (Holy War)
antar ummat agama yang terjadi membuat konflik panjang tak
berujung. Benih-benih konflik sewaktu-waktu bisa tumbuh, mekar dan

pecah menjadi perang berkepanjangan. Perang Salib contoh yang nyata
dari sekian banyak contoh-contoh kecil.
Selain antar ummat agama juga terdapat konflik antar ummat
dalam satu agama. Perbedaan penafsiran kitab suci sering menjadi awal
konflik. Ditambah lagi perbedaan budaya dan pendidikan. Kesenjangan
pemahaman adalah awal dari segala perbedaan. Apalagi bilamana tidak
terdapat negoisasi dan pintu toleransi tertutup.
Kasus Ahmadiyah Qadian di Indonesia termasuk konflik ummat
dalam satu agama, yaitu agama Islam. Konflik tersebut dipandang dari
sisi komunikasi antarbudaya, terjadinya kesenjangan persepsi antara
ummat Islam mainstream terhadap ummat Islam Jemaat Ahmadiyah.
Namun dipandang dari sisi Jemaat Ahmadiyah, terdapat kelemahan
komunikasi antarbudaya dalam dakwah yang mereka lakukan.
Asumsi tentang latar belakang agama dan budaya yang berbeda
membuat konflik antar sesama ummat Islam tidak terelakkan. Jalan
yang harus dilakukan adalah melihat dari dekat komunikasi
antarbudaya yang telah dilakukan.
Penafsiran agama sering kali menjadi akar konflik. Egosentris
dan klaim kebenaran menutup ruang dialog. Jurgen Habermas dalam
Religion in the Public Sphere menyatakan, agama di ruang publik

dituntut melepaskan klaim sebagai satu-satunya yang memiliki otoritas
untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup legitimet. Agama ketika
masuk ke ruang publik harus ditafsirkan secara sekuler, berdasarkan
prinsip rasionalitas.

2

Harmonisasi sesama ummat beragama memang harus
direkayasa melalui persamaan persepsi atas pluralitas dalam kehidupan.
Perbedaan adalah keniscayaan yang alami. Namun antara Ummat Islam
mainstream dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak terjadi
komunikasi untuk menyamakan persepsi.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak dianggap bagian kehidupan
beragama yang telah lama ada di bumi nusantara. Sehingga Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat dan tidak
menganggap bagian dari Islam. Ini juga terjadi di banyak negara
termasuk tempat kelahirannya, di India. Perlu diteliti lebih lanjut,
kenapa muncul perbedaan pandangan kehadiran Jemaat Ahmadiyah
Indonesia tidak dianggap bagian dari pluralitas, sehingga terjadi konflik
yang berakibat fatal. Kerusuhan tidak terelakkan terjadi.

II
Joseph A. DeVito membagikan komunikasi menjadi beberapa
bagian; Pertama, komunikasi antara dua budaya yang berbeda. Kedua,
komunikasi antar-ras seperti kulit putih dan kulit hitam. Ketiga,
komunikasi antarkelompok etnis seperti komunikasi antaretnis Sunda
dan etnis Batak. Keempat, komunikasi antarkelompok agama yang
berbeda seperti komunikasi antara orang Islam dan Kriten. Kelima,
komunikasi antarbangsa-bangsa yang berbeda, yang disebut juga
dengan komunikasi internasional seperti komunikasi antara orang
Amerika dengan orang Indonesia. Keenam, komunikasi antarsub-kultur
yang berbeda seperti komunikasi antara dokter dan pengacara. Ketujuh,
komunikasi antara sub-kultur dan kultur dominan, seperti komunikasi
antara kelompok homoseks dan heteroseks. Kedelapan, komunikasi
antara jenis kelamin yang berbeda yaitu pria dan wanita.
Penelitian Disertasi ini termasuk dalam komunikasi sub-budaya
dengan budaya dominan, dimana budaya Islam arus utama merupakan
budaya dominan yang telah berkembang lama di tanah air. Kajian lebih
fokus pada komunikasi antarbudaya Ahmadiyah menggunakan
pendekatan komunikasi antropologi dengan riset partisipatoris.
Kajian ini menjadi menarik karena telah begitu banyak kajian

konflik antar agama namun jarang melihat konflik sesama ummat
beragama. Jaringan Ahmadiyah Indonesia dan Islam mainstream adalah
ummat seagama. Perbedaan telah menimbulkan konflik. Konflik yang
menimbulkan kerugian sosial yang besar, tidak hanya harta tetapi juga
nyawa. Lebih dari itu, hancurnya tatanan budaya dan harmoni yang

3

telah dibangun. Awal semua ini karena ada kegagalan komunikasi
antara pihak yang berbeda persepsi.
Menurut laporan United Nation Support Facility for Indonesia
Recovery (UNSFIR), selama periode 1990-2001 tercatat 6.208 jiwa
meninggal akibat kekerasan sosial. Bentuk persentasi kekerasan sosial
antara lain, communal conflict sebesar 76,9 persen, separatist violence
sebesar 22,1 persen dan sisanya berupa state community violence (1
persen, serta industrial relation related violence (0,1 persen).
Dari sisi variasi kekerasan komunial, kategori kekerasan etnis,
agama dan konflik penduduk asli dengan pendatang menempati
rangking pertama dari (67,7 persen) total kekerasan. Sebaran wilayah
kekerasan lebih banyak berlangsung di daerah kabupaten, bukan di

wilayah perkotaan.
Di beberapa daerah misalnya, di Lombok Nusa Tenggara Barat,
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sering mendapat perlakuan
intimidasi, mulai penyegelan masjid tempat mereka ibadah, sampai
dijarah hak milik mereka, serta pengusiran secara paksa dari tanah
kelahirannya. Sedangkan di Kemang Parung, Bogor, Jawa Barat tahun
2005, 2007, 2013, JAI mengalami hal serupa. Pada tahun 2005,
Ahmadiyah di Parung ini tergolong besar, bahkan dikenal sebagai pusat
kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. JAI berada di Desa Udik, Kemang
memiliki pusat pendidikan kader, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
Pesantren Mubarok dan Perguruan Tinggi Islam Ahmadiyah.
Pada tahun 2007 dan 2009 kelompok tersebar Jemaat
Ahmadiyah Qadian di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, diserang
dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang
mengatasnamakan Islam. Delapan rumah jemaat dihancurkan,
sementara tujuh masjid dirusak dan dibakar, tiga diantaranya disegel
aparat kepolisian. Dampak yang lebih menakutkan lagi, tiga warga
Ahmadiyah dirawat di rumah sakit, satu di antaranya mengalami
tusukan benda tajam.
Kasus Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus utama bukan isu

kebebasan beragama tetapi penafsiran perbedaan paham kenabian.
Menurut salah seorang pengurus PB JAI, Rakeeman R.A.M Jumaan,
ada kesalahan persepsi komunikasi akibat warga Ahmadiyah menjadi
korban keekerasan karena ajaran Ahmadiyah dianggap menyimpang
dan sesat. Perbedaan ini didasarkan pandangan keliru terhadap
keyakinan Ahmadiyah dalam hal khatam al-nabiyin. Padahal
Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi yang
terakhir dan tidak akan datang nabi lagi. Namun sekelompok Ormas
4

Islam menganggap ajaran Ahmadiyah Qadian melenceng dan
menyesatkan karena mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad
Saw. Kedua belah pihak telah mengalami perbedaan persepsi.
III
Islam hadir untuk merobah tatanan sosial. Salah satunya
mengikat solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem
sosial yaang baru, buah ikatan perjanjian antara suku, ras dan etnis
seperti Bani Qauniqa, Bani 'Auf, Bani al-Najjar. Termasuk dalam segi
keyakinan, umumnya Yahudi dan Nashrani. (hal.84). Menurut
Nurcholish Madjid, Nabi Muhammad berdakwah dan diplomasi selama

10 tahun di Madinah, sebuah masyarakat yang adil, terbuka dan
demokratis dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada
ajaran-Nya.
Pertama, semangat Rabbaniyah. Kedua, spirit Rabbaniyah yang
mewujud dalam semangat perikemanusiaan. Ketiga, adanya ciri-ciri
egalitarisme, partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat dan penetuan
kepemimpinan melalui pemilihan dan permusyawaratan, bukan
berdasarkan keturunan, seperti 30 tahun setelah wafat Muhammad
SAW. Keempat, berpangkal pada pandangan hidup ketuhanan
berkonsekuensi adanya tindakan kebaikan kepada sesama manusia,
seperti yang dimaksudkan dalam Surat Fushshilat: 33. Kelima, adanya
tatatan hidup kolekif yang memberi ruang leluasa untuk melakukan
pengawasan sosial, dimaan hal ini akan dapat berlangsung bila mana
semangat keterbukaan itu dijamin. Keenam, adanya musyawarah
sebagai wujud interaksi sosial yang positif, saling memberikan hak
untuk menyatakan pendapat, saling mengakui adanya kewajiban
mendengar pendapat orang lain. Musyawarah juga sebagai media
interaktif untuk saling mengingatkan tentang kebenaran dan kebaikan
serta ketabahan dalam mencari masalah bersama dalam suasana
persamaan hak dan kewajiban. Ketujuh, tegaknya nilai-nilai sosial yang

luhur, seperti tolerasi di tengah-tengah kondisi pluralisme. Toleransi
dan pluralisme adalah wujud dari ikatan peradaban (bond of civility).
Akan halnya konflik di Indonesia, adala proses kebangsaan.
Bertrand Jacques Bertrand dalam Nationalism and Ethnic Conflict in
Indonesia menyatakan, problem konflik antaragama, antarpaham,
antarsuku, konflik antaridentitas religius. Ahmadiyah memiliki identitas
religius yang berbeda dengan identitas religius Islam arus utama. Hal
ini juga terkait dengan belum tuntasnya konstruksi kebangsaan
Indonesia.
5

Selaras dengan pendapat di atas, Tim Peneliti The Wahid
Institute (WI) yang menyatakan, banyak konflik kekerasan dan konflik
komunal akibat politisasi agama. Pertama, adanya kekuatan kelompokkelompok yang dangkal dalam beragama yang baru menggerakan
massa pendukung untuk menolak keberadaan kelompok lain yang
dianggap sesat. Kedua, adanya kecenderungan aparat negara yang
seiring mengikuti tekanan kelompok-kelompok pemaksa ini. Negara
sering kali kalah oleh kelompok penekan dan kurang memberi
pengayoman terhadap korban yang biasanya kelompok minoritas.
Inilah sisi kelam hubungan antaragama di Indonesia.

Disertasi ini melihat faktor-faktor dominan penyebab terjadinya
persepsi komunikasi antarbudaya Islam arus utama terhadap
komunikasi Jemaat Ahmadiyaah Indonesia. Pertama: menganalisis
latar belakang munculnya persepsi komunikasi antar budaya ummat
Islam arus utama dengan Jemaat Ahmadiyah di Parung dan Jakarta.
Kedua, menganalisa bentuk komunikasi antarbudaya yang dilakukan
Jemaat Ahamdiyah di Parung dan di Jakarta terhadap umat Islam arus
utama. Ketiga, menganalisis komunikasi praktis dari teori Agama di
Ruang Publik Jurgen Habermas yang dilakukan oleh kelompok Jemaat
Ahmadiyah Indonesia. Keempat, menganalisis proses konsesus yang
terjadi antara ummat Islam mainstream dengan Jemaat Ahmadiyah.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif berupa
antropologi komunikasi untuk melihat berbagai situasi atau realitas
sosial yang berlaku. Selain itu, melakukan wawancara dan mendatangi
sumber otoritatif, fairness, accountability, transparancy dan tidak
berpihak serta melakukan analisis kepustakaan yang berhubungan
dengan penelitian tersebut.
Norman K. Denzin dan Yvona S. Lincoln dalam Handbook of
Qualitative Research mengajukan tipologi penelitian yang mencakup
empat paradigma: Pertama, positivisme, postpositivisme, kritikal dan

konstruktivisme. Guba mengemukakan bahwa setiap paradigma
membawa implikasi metodologi masing-masing.
Perbedaan paradigma tersebut mencakup tiga dimensi. Pertama,
epistimologois yang antara lain menyangkut asumsi dasar mengenai
hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam proses
memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Kedua,
ontologis yang berkaitan dengan asumsi mengenai objek dan realitas
sosial yang diteliti. Ketiga, metodologis yang berisi asumsi-asumsi
mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang berhubungan
dengan suatu objek pengetahuan.
6

Mengacu pada hal di atas, penelitian komunikasi antarbudaya
adalah; Pertama, penelitian terfokus pada bentuk-bentuk dan fungsfungsi komunikasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial seharihari. Kedua, subjek penelitian sebagai pelaku sosial dipandang sebagai
interpreter dari lingkungan sosial mereka sendiri. Ketiga, penelitian
dilakukan menangkap konstruksi dari anggota budaya. Keempat, fokus
pengembangan teori ini adalah relasi antara komunikasi dan budaya.
IV
Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama dalam Intercultural
Communication in Contexts menyatakan perbedaan dan penafsiran
agama sering kali menjadi akar konflik budaya. Identitas religius dapat
menjadi satu dimensi penting dari identitas banyak orang yang menjadi
lahan konflik antarbudaya. Identitas religius pun kerap tumpang tindih
dengan identitas rasial dan etnis. Keadaan ini membuat makin sulit
untuk melihat identitas religius sebagai bagian dari agama tertentu saja.
Selama ini terlihat pola komunikasi Jemaat Ahmadiyah
Indonesia dengan Islam mainstream (Islam Fundamentalis; Wahabi,
Front Pembela Islam, Hizbur Tahrir dan Majelis Mujahiddin Indonesia)
tidak sejalan sebagaimaan diungkapkan Judi Pearson dalam Human
Communication karena itu diperlukan komunikasi antarmanusia untuk
meningkatkan hubungan baik sesama ummat beragama.
Komunikasi begitu luas, sulit menemukan arti yang
memuaskan. Komunikasi bisa berarti percakapan antara seseorang
dengan orang lain, tetapi bisa pula berarti elevisi, informasi yang
tersebar, gaya rambut manusia dan kritik literal juga adalah komunikasi
namun paling tidak ada dua mazhab utama dalam memahami
komunikasi. Menurut John Fiske, pertama, yang memandang
komunikasi sebagai tranmission of messages (tranmisi pesan). Bagi
mazhab ini, komunikasi adalah bagaimana pengirim mengirim pesan
dan penerima memahami pesan, media komunikasi, efisiensi dan
akurasi komunikasi serta pengaruh komunikasi.
Kedua, memandang komunikasi sebagai production and
exchange of meanings (produksi dan pertukaran makna). Bagi mazhab
ini, komunikasi berkaitan dengan bagaimana pesan atau teks
berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka produksi makna; daam
hal ini berkaitan dengan peran teks-teks budaya.
Robert T. Craig menyatakan, komunikasi merupakan proses
utama di mana kehidupan kemanusiaan dijalani, bahkan komunikasi
mendasari kenyataan. Craig menambahkan pentingnya pemikiran ini
7

terhadap komunikasi sebagai sebuah bidang karena komunikasi
bukanlah fenomena sekunder yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor
psikologis, sosiologis, kultural atau ekonomi, melainkan komunikasi
merupakan proses sosial yang utama dan mendasar yang menjelaskan
semua faktor yang lain. Secara tradisional, bidang komunikasi terdapat
dua aliran penelitu makro dan mikro.
Komunikasi antarbudaya adalah proses negoisasi karena pesan
yang disampaikan harus sampai ke komunikan. Karena komunikan
punya nilai-nilai tersendiri, keyakinan, dalam kehidupanya. Tanpa hal
itu, sulit bagi sebuah pesan untuk mengubah sebuah masyarakat,
apalagi pesan tersebut dimaksudkan untuk melahirkan sebuah budaya
baru (reproduksi budaya).
Konflik muncul ketika ketidaksamaan antara tujuan pesan dari
komunikator kepada komunikan. Teori konflik yang dikemukakan para
pakar, di antaranya memandang masyarakat sebagai sebuah sistem
sosial yang terdiri dari bagian-bagian, kelas-kelas, komponenkomponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Dimana
antara satu komponen berusaha untuk menaklukkan komponen yang
lain guna memenuhi kepentingan atau memperoleh sebesar-besarnya.
Ini mengacu juga pada teori klasik tentang konflik yang dicetus Karl
Marx, tentang kelas-kelas dalam masyarakat.
V
Pada konteks di atas Ahmadiyah diletakkan esebagai objek
kajian penelitian, yang tentu saja tidak lepas melihat dinamika
pemikiran dan sosial Jemaat Ahmadiyah. Bagaimana sosio historis,
hingga sejarah masuk ke Indonesia.
Ahmadiyah didirikan para murid yang mengagumi sang guru
bernama Mirza Ghulam Murtaza Ahmad. Lahir di desa Qadian, Punjab
India, 13 Februari 1835. Sejak kecil telah mendapat pendidikan agama
dan selalu dibesarkan di Masjid. Ayahnya ingin ia menjadi seorang
pengacara atau pegawai negeri. Namun ia lebih memilih mendalami
ilmu agama. Berdiskusi dengan banyak orang tentang agama, termasuk
non muslim.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia berawal dari tiga pemuda asal
Pesantren Sumatera Tawalib di Sumatera Barat. Ketiganya
meninggalkan kampungnya untuk menuntut ilmu. Mereka adalah Abu
Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Pada mulanya ketiga
santri tersebut berencana ke Mesir, mengingat saat itu Kairo terkenal
pusat studi ilmu keislaman. Namun mereka disarankan agar
8

melanjutkan studi ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat
pemikiran modernisasi Islam. Hingga akhirnya ketiga pemuda itu tiba
di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam, atau
dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore.
Pada buku JAI, Bunga Rampai Sejarah Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (1925-2000), disebutkan pada perkembangan selanjutnya,
ketiga pemuda tersebut memutuskan untuk belajar di Madrasah
Ahmadiya yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan
keilmuan dan pengajaran Lahore, mereka mengundang rekan-rekan
pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama
kemudian 23 orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib
melanjutkan studi dan bersedia dibaiat masuk ke dalam Jemaat
Ahmadiyah.
Di wilayah Sumatera, gerakan pembaruan Islam banyak
dipelopori empat sekawan ulama muda, Syek Muhammad Djamil
Djambek, Haji Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amarullah dan Haji
Muhammad Taib Umar. Di antara murid mereka yang terkenal adalah
Zaenuddin Labay El Junusi (Padang Panjang) dan Abdul Hamid Hakim
bergelar Tuanku Mudo.
Pada tahun 1918 Haji Abdul Malik Karim Amarullah (Hamka)
menganjurkan kepada murid-muridnya mendirikan perkumpulan, inilah
cikal bakal Sumatera Tawalib yang menjadi komunitas belajar pemuda
di Padang Panjang Padang Jepang, Parabek dan Pariaman. Komunitas
ini menciptakan kader-kader kritis dan cerdas. Militan dalam gerakan
anti penjajahan dan gerakan kemerdekaan. Gerakan pesat terjadi sekitar
tahun 1923, aktivitas dan jumlah anggota tumbuh, ditandai pula denga
diterbitka surat kabar berbahasa Melayu Arab hasil karya aktivis
Sumatera Tawalib.
Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan Ahmad
Nuruddin, yang melanjutkan pendidikan ke Lahore juga terinspirasi
dengan pentolan Ahmadiyah, Khawaja Khamaludin yang dibacanya
melalui surat kabar Tjahaya Sumatera pada tahun 1922. Kala itu
Khawaja Khamaludin berkunjung ke Jawa dan pidatonya tentang
ketinggian dan kebesaran ajaran Islam dimuat di surat kabar tersebut.
Mereka juga dianjurkan para guru dan senior mereka, alasannya sudah
terlalu banyak kader yang belajar ke Mesir.
Menurut Murtolo dalam Sejarah Singkat Perkembangan Jemaat
Ahmadiyah di Indonesia selamat 50 Tahun, Ahmadiyah di Betawi
mulai berkembang melalui dakwah seseorang bernama Maulana
Rahmat Ali. Namun ia lemah dalam bahasa Melayu, sehingga
9

tersendat. Karenanya butuh bantuan dari Ahmadiyah di Padang.
Kepengurusan pertama Ahmadiyah terbentuk di Bogor, yang dipimpin
Maulana Rahmat Ali. Pada tahun 1933 terjadi perdebatan hangat dan
terbuk antara Jemaat Ahmadiyah dengan Persi pimpinan A. Hasan.
Kaum Ahmadi mengikuti aturan dimana ia berada. Di
Indonesia, adaptasi registrasi dimulai tahun 1953 dengan Pengurus
Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan kepada Pemerintah
Republik Indonesia untuk pendirian dan pengesahan anggaran dasar
(AD) dan anggran rumah tangga (ART). Tepat pada tanggal 13 Maret
1953, Menteri Kehakiman RI melalui surat keputusan No. JA.5/23/13
menetapkan bahwa perkumpulan atau Jemaat Ahmadiyah Indonesia
diakui sebagai Badan Hukum, yang termuat dalam tambahan Berita
Negara RI tanggal 31 Maret 1953 No. 26. Eksistensi tersebut dipertegas
dengan pernyataan resmi melalui Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 0628/Ket/1979 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah
Indonesia telah diakui sebagai Badan Hukum berdasarkan statsblaad
1870 Nomor 64.
Kelengkapan organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga
diakui telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur pada Undang
Undang Nomor: 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
sehingga keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dinyatakan telah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada dinamika di lapangan, tetap saja Kaum Ahmadi sulit
diterima oleh ummat Islam meanstream. Beberapa penelitian tentang
buku Tadzkirah dan hal-hal yang menyangkut penolakan dapat
disebutkan, tidak ada yang disanksikan terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Resistensi telah dimulai dari awal kehadiran.
Namun demikian, perkembangan Jemaat Ahmadiyah di
Indonesia cukup pesat. Pada tahun 1980, Ahmadiyah baru memiliki 45
cabang, pada tahun 1984 sudah berjumlah 75 cabang. Pada tahun 1989
bertambah hingga 150 cabang, hingga 1999 tahun 228 cabang. Pada
tahun 2005 cabang Ahmadiyah di seluruh Indonesia sudah mencapai
498 cabang.
Ada dua jenis aliran Ahmadiyah di Indonesia, yakni Ahmadiyah
Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Walaupun sesama menganut ajaran
Ahmadiyah dan keduanya sama-sama mengakui bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah Isa Al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad
saw, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan prinsip. Ahmadiyah
Qadia mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw namun nabi
yang dimaksud tidak membawa syariat, sementara Ahmadiyah Lahore
10

mengakui Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid atau pembaharu.
Keduanya tetap mengaku sebagai ummat Islam dan menjunjung tinggi
syariat Islam. Ahmadiyah adalah sebuah gerakan dalam Islam, yang
dimulai dari Punjab India.
Pengikut Ahmadiyah saat ini diperkirakan berjumlah sekitar
500.000 jiwa. Terus bertambah dan tumbuh di Indonesia, sejak awal
abad ke-20. Pada tahun 1953, Ahmadiyah resmi diakui sebagai badan
hukum oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri
Kehakimn. Meskipun ada pertentangan dalam bentuk dialog
menyangkut ajaran keagamaan Ahmadiyah di beberapa tempat antara
sejumlah ulama mainstream dengan tokoh Ahmadiyah, tetapi praktis
tidak ada diskriminasi apalagi kekerasan yang berarti terhdap pengikut
Ahmadiyah sampai menjelang berakhir kekuasaan Orde Baru.
Ummat Islam arus utama beranggapan ajaran Ahmadiyah
Qadian melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya karena mengakui
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yaitu Isa al Masih dan Imam
Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya ummat
Islam yang mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir.
Ummat Islam arus utama lebih percaya bahwa Isa al Masih dan Imam
Mahdi belum turun ke dunia. Sedangkan permasalahan-permasalahan
selain itu adalah perbedaan penafsiran ayat-ayat al-Quran. Ahmadiyah
sering dikaitkan dengan kitab Tadzkirah. Sebenarnya, kitab tersebut
bukanlah satu-satunya kitab yang dibaca warga Ahmadiyah. Kitab
Tadzkirah hanyalah satu kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam
Ahmad, pendiri Jemaat Ahmadiyah, layaknya catatan harian. Tidak
semua anggota Ahmadiyah pula yang memiliki dan membacanya.
Karena selama ini yang dibaca oleh warga Ahmadiyah adalah al-Quran
al-Karim.
Ketika dilangsungkan rangkaian dialog, pihak Ahmadiyah tetap
mengakui diri mereka muslim. Pimpinan Ahmadiyah juga menegaskan
dalam 12 pernyataan, salah satunya di antaranya menyatakan bahwa
Mirza Ghulam Ahmad bukanlah seorang nabi. Pernyataan itu tertanda
14 Januari 2008.
IV
Realitas sosial menunjukkan perbedaan persepsi Islam arus
utama terhadap ajaran Ahmadiyah. Kontroversi yang berujung
kericuhan kerap terjadi karena anggapan Ahmadiyah dianggap
membawa ajaran sesat terus didengungkan beberapa pihak Islam arus
utama. Beberapa klarifikasi yang dilakukan, senyatanya Ahmadiyah
11

melaksanakan kegiatan ibadah sama halnya dengan ummat Islam arus
utama. Menurut Ketua Umum PB JAI, Syarif Ahmad Lubis meminta
jangan curigai Ahmadiyah dalam mengerjakan ajaran Islam. Jemaat
Ahmadiyah Indonesia sama halnya dengan Ormas Nahdatul Ulama,
Muhammadiyah dan Persis. Melaksanakan shalat lima waktu,
pengajian dan tidak melakukan aktivitas politik praktis.
Tetapi hal tersebut dibantah Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta, Mohammad Amin Djamaluddin. Ia
menyatakan, Ahmadiyah telah melakukan komunikasi manipulatif dan
menyesatkan. Buktinya, dalam komunitas Ahmadiyah, sesama warga,
mereka selalu melakukan shalat berjamaah, wirid remaja setiap
minggu, pengajian bersama antara lajah imaliah (ibu-ibu) dan khudam
(laki-laki), serta melakukan shalat jumat bersama. Selait itu mereka
juga belajar ilmu hadis bersama jemaat serta melakukan penggalan
dana. Persoalannya menjadi lain, ketika jemaat Ahmadiyah tak boleh
diimami oleh selain warga Ahmadiyah. Pemahaman-pemahaman
prinsip tetap ditularkan, termasuk mengakui ada nabi setelah
Muhammad saw yang tidak membawa syariat.
Prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya mesti teori komunikasi
secara umum, yaitu teori SOR. Stimulus- Organism - Response. Teori
ini menekankan peran signifikan yang dimiliki oleh komunikan. Dalam
komunikasi massa dikenal teori peluru yang justru tidak mellihat
kekuatan apapun pada komunikan. Disebut teori peluru karena
komunikan dianggap secara pasif menerima berondongan pesan-pesan
dari komunikator. Bila menggunakan komunikator yang tepat, pesan
yang baik, atau media yang benar, komunikan dapat diarahkan. Teori
ini dikenal juga sebagai jarum hipodermik karena mempunya asumsi
bahwa komponen komunikasi (komunikator, pesan dan media) amat
perkasa mempengarui komunikan.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin,
Ahmadiyah secara teologi tidak dapat dibenarkan, karena kriteria Islam
sangat kuat mengenai aqidah. Begitu pula komunikasi yang dilakukan
jemaat Ahmadiyah kurang terbuka dan sering menonjolkan aqidah
sehingga menganggap ajaran Islam Ahmadiyah yang paling benar.
Komunikasi yang dilakukan sangat eksklusif. Jemaat Ahmadiyah
adalah warga islam dan tugas ummat Islam mainstream mengingatkan
mereka untuk kembali ke ajaran Islam yang sesunggunya sehingga
mereka tidak semakin tersesat.
Konflik sosial yang mengatasnamakan agama, sesungguhnya
terjadi karena adanya kepentingan politik tertentu, misalnya kekuasaan.
12

Perlu kesadaran dan kewaspadaan terhadap kelompok atau pun
perorangan yang menjustifikasi agama bagi kepentingan kekuasaan
terutama pelembagaan agama terhadap struktur formal, sebab secara
historis agama meang merupakan salah satu bentuk legitimasi yang
paling efektif.
Bahkan konflik sosial berbau suku, agama, ras dan
antargolongan sangat mudah menjadi anarkis, sehingga masalah
tersebut harus diwaspadai. Indonesia bukan negara agama, tetapi
memiliki basis agama yang kuat. Dengan ideologi Pancasila diharapkan
dapat mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multi
etnis dan agama yang ada di Indonesia.
Pada akhir tahun 1935, oleh pemuka Ahmadiyah dipandang
perlu membentuk Hoofdbestur atau Pengurus Besar Ahamadiyah
Qadian dengan nama Ahmadiyah Qadiyan Departemen Indonesia
(AQDI) yang pertama kali diketua oleh R. Mohammad Muhyiddin.
Disamping itu dibentuk pula organisasi Ansharullah (Organisasi lakilaki Ahmadiyah yang berusaha 40 tahun) yang diketuai oleh M. Harun
dan Lajnah Imailah (Organisasi saya permpuan AHmadiyah berusaha
40 tahun ke atas) yang diketuai Hajjah Abdullah. Selain itu ada juga
Majlis Khudamal Ahmadiyah (Pemuda Ahmadiyah), Nasyratul
Ahmadiyah (Pemudi Ahmadiyah), Athfalul Ahmadiyah (anal laki-laki
Ahmadiyah) dan Banatul Ahmadiyah (anak perumpuan Ahmadiyah).
Masing-masing ada pengurus dan kegiatan sendiri-sendiri yang lebih
ditekankan pada bidang ra'lim (Pengajaran) dan tarbiyat (Pendidikan).
Adapun gagasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah pembawa
panji-panji kemenangan Islam di akhir zaman dengan memberi
dorongan terhadap warga jemaat untuk bekerja keras dalam memajukan
ummat mereka. Menurut Pemimpin Internasional Jemaat Muslim
Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, satu-satunya cara untuk
memastikan perdamaian bagi dunia adalah menjalankan cara-cara
rendah hati, keadilan, tulus, taat dan kembali kepda Tuhan y ang karena
manusia akan menjadi manusiawi; kuat agar dapat melayani yang
lemah dan miskin yang bermartabat dengan rsa hormat disertai
keadilan.
Prof. Atho' Mudzhar menyatakan, mubaligh JAI hanya
berpedoman dengan khutbah yang disampaikan pimpinan mereka di
Londong Inggris lalu diterjemahkan dan disampaikan kepada umatnya
yang ada di seluruh dunia. Warga JAI menerapkan komunikasi satu
arah dari pimpinan besar mereka. Sehingga tidak terjadi multitafsir
dalam komunikasi agama. Ini disebut sebagai komunikasi satu arah.
13

Agar sahnya menjadi jemaat Ahmadiyah Qadian harus dibaiat
dengan sembilan janji. Yaitu: Pertama, orang yang dibaiat berjanji
dengan hati jujur, hingga ke dalam kubur. Jauhi syirik. Dua, senantiasa
menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi
terhadap bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, menganiaya,
khianat, huru-hara, pemberontakan, serta tidak akan dikalahkan oleh
gejolak-gejoak hawa nafsunya mesikipun bagaimana juga dorongan
terhadapnya. Tiga, akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa
putus-putus, semata-mata karena Allah dan Rasul. Empat, tidak akan
membuat kesusahan kepada makhluk baikd engan lisan, tangan dan
dengan cara apa pun. Lima, tetap setia kepada Allah, baik dalam susah
mapun senang, dalam duka atau suka, nikmat dan musibah. Enam, akan
berhenti dari adat buruk dan menurut hawa nafsu. Tujuh, meninggalkan
takabur dan sombong. Delapan, menghargai agama, kehormatan dan
mencintai Islam. Sembilan, menaruh belas kasihan kepada makhluk
Allah. Sepuluh, mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini Imam
Mahdi dan al Masih Muuf.
Ada pun pokok-pokok ajaran Ahmadiyah Qadian yaitu:
Pertama, mengimani dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah nabinya. Mengimani kitab Tadzkirah sebagai kitab suci. Kedua,
mengimani Tadzkirah sama derajatnya dengan al-Quran. Ketiga,
mengimani dan meyakini wahyu dan kenabian tidak terputus dengan
diutusnya Nabi Muhammad saw. Keempat, mengimani dan meyakini
bawa Rabwah (Pakistan) dan Qadian di India adalah tempat suci
sebagaimana Mekkah dan Madinah. Lima, mengimani dan meyakini
surga berada di Qadian dan Rabwah. Enam, wanita Ahmadiyah haram
menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah, laki-laki Ahmadiyah
boleh. Tujuh, haram hukumnya salat bermakmum dengan orang di luar
Ahmadiyah.
Sedangkan Aliran Ahmadiyah Lahore dikenal dengan Gerakan
Ahmadiyah Indonesia berpusat di Yogyakarta. Secara umum kelompok
ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan
hanya sekadar mujaddid dari ajaran Islam. Adapun keyakinan
Ahmadiyah Lahore, percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum
yang tercantum dalam al-Quran dan Hadits dan percaya semua perkara
agama yang telah disetujui para ulama salaf dan ahlus sunnah wal
jamaah dan yakin bahwa Nabi Muhammad saw adalah khatam alnabiyin.
Ahmad Syafii Maarif mengatakan, secara teologis menolak
pendapat yang mengatakan bahwa ada nabi pasca Muhamamd
14

sekalipun tidak membawa syariat tetapi ia membela posisi pengikut
Ahmadiyah dizalimi, hak mereka dirampok dan keluarga mereka diusir.
V
Sikap negara terhadap keberadaan dan eksistensi gerakan
Jamaah Ahmadiyah Indonesia direpresentasikan melalui Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri
Dalam Negeri, Nomor 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008,
Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada
Penganut Anggota dan atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiah
Indonesia (JAI), dan Warga Masyarakat ditetapkan pada 9 Juni 2008.
Inti SKB memberikan peringatan dan perintah kepada JAI
untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam dan bilamana tidak
mematuhinya maka akan diberi sanksi menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pemerintah juga meminta agar masyarakat
tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis terhadap eksistensi JAI.
Menurut Atho’ Mudzhar, SKB tersebut tidak menghakimi
Jemaah Ahmadiyah. Justru ikut mengkomunikasikan agar tidak ada
umat Islam melakukan tindakan anarkis. Sejauh ini, kedua belah pihak
sama-sama memahami SKB tersebut. Perlu diketauhi dan dimaknai,
pemerintah melalui SKB tersebut berupaya untuk menyelesaikan kasus
Ahmadiyah, agar tidak terjadi lagi gesekan dan misleading dengan
ummat Islam arus utama.
Dikatan Atho’ Mudzhar, SKB tersebut tidak melanggar hak
azasi manusia dan bahkan telah diuji kesahihannya. Ada memang
sinyalemen Ahmadiyah menyebar agamanya, padahal telah disepakati,
bahwa pengurus Pusat Ahmadiyah tidak diperboleh untuk menyebarkan
ajarannya karena dikhawatirkan dapat memancing atau menyulur rasa
permusuhan dan kemaran ummat Islam arus utama. Inilah yang jadi
masalah, ketika pimpinan Ahmadiyah menyebar ajarannya sehingga
menimbulkan keresahan.
Menurut Ahidul Asror, Islam sebagai fakta sosiologis adalah
sebuah fenomena sosial. Di dalam dinamika ruang dan waktu, Islam
yang semula berfungsi sebagai subjek pada tingkat kehidupan nyata
berlaku sebagai objek dan sekaligus berlaku baginya hukum sosial.
Eksistensi Islam antara lain sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial
di mana dia tumbuh dan berkembang.
Membicarakan Islam yang lebih khusus lagi, tentang warna,
corak, karakter Islam di dalam dinamika ruang dan waktu tertentu pada
15

hakikatnya adalah berbicara tentang bagaimana pemikiran Islam
direkontruksi oleh lingkungan sosialnya. Kenyataan membuktikan
bahwa dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan banyak pakar,
ditemukan berbagai corak dan karakter pemikiran keislaman pada
berbagai tempat dengan berbagai coraknya. Seperti diungkapnkan
Clifford Geerts dalam Islam Observed menemukan perbedaan corak
Islam Maroko yang puritan dan Islam Indonesia yang sinkretis. Bahkan
dalam karya penelitiannya tentang Agama Jawa, Geertz secara lebih
khusus membagikan dalam beberapa varian; abangan, santri dan
priyayi.
VI
Ahmadiyah Qadian dipandang dari Perspektif Komunikasi
Antarbudaya; kajian tentang agama di ruang publik, ditemukan
sejumlah kelemahan dalam berkomunikasi jemaat Ahmadiyah. Jemaat
Ahmadiyah Qadian dalam melakukan strategi komunikasi antar budaya
maupun strategi dakwak bil hal tidak sejalan dan sepaham dengan
prinsip-prinsip komunikasi maupun dakwah.
Adanya sejumlah kelemahan telah memunculkan mis-persepsi
dan mis-komunikasi bahwa komunikasi dan dakwah yang dilakukan
Ahmadiyah Qadian bersifat tertutup dan eksklusif. Padahal persepsi
ummat Islam arus utama belum tentu benar, jika Ahmadiyah melakukan
strategi dalam komunikasi terbuka, termasuk melakukan komunikasi
diplomasi.
Menelaah jauh dalam sejarah panjang perjalanan Ahmadiyah,
sikap ekslusivisme telah membuat komunikasi terhambat. Sesuai
dengan teori komunikasiantarbudaya, komunikasi adalah negoisasi
terhadap antarbudaya komunikator dengan komunikan, yang
mempertimbangkan media, bahasa dan situasi. Dakwah juga begitu,
mestilah dilakukan dengan strategi agar mad’u mau menerima pesan
ilahiyah. Sampaikan sesuai dengan kadar akal mereka yang
menerimanya (al-khatib an-nashi al-qadri al-uqulihim), demikian
hadits yang sangat populer para da’i.
Kasus Ahmadiyah di Indonesia selain materi aqidah yang
dibawa juga sangat tidak dapat diterima juga sikap dalam
mengkonstruksi budaya hidup mereka yang tidak dapat diterima.
Membatasi pergaulan telah membuat kecurigaan kian bertambah bagi
ummat Islam mainstream. Disertasi ini berhasil membedah persoalan
melalui teropong keilmuan Komunikasi Antarbudaya. []

16