Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik Eksek
EDISI 07 - November 2007
Pilkada dan Pemerintahan Yang Terbelah (Divided Government)
S dikuasai oleh satu partai sementara kekuasaan legislatif (Dewan
ALAH satu fenomena politik pasca Pilkada adalah adanya pemerintahan yang terbelah (divided government) di daerah. Ini terjadi ketika kekuasaan pemerintahan eksekutif (kepala daerah)
Perwakilan Rakyat DaerahDPRD) dikuasai oleh partai lain. Hingga Desember 2006, dari 290 wilayah Pilkada yang telah melangsungkan
Pilkada dan Pemerintahan
Pilkada, menunjukkan sebagian besar (56.9) daerah ditandai dengan
Yang Terbelah
pemerintahan yang terbelah. Fenomena divided government ini meru-
(Divided Government)
pakan konsekuensi dari pemilihan langsung, dimana anggota legislatif
Jika pemerintah tidak didukung
(DPRD) dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh pemilih. Feno- mena ini kurang terlihat dalam sistem pemilihan tidak langsung—di
kekuatan mayoritas di legislatif,
mana kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD.
dikhawatirkan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan.
Fenomena divided government penting dibahas karena berhubungan
Hlm. 1
dengan efektivitas pemerintahan di daerah pasca Pilkada. Apakah peme- rintahan berjalan secara efektif, berbagai kebijakan pembangunan bisa
Fluktuasi Hubungan Lembaga
dijalankan ataukah justru pemerintahan di daerah diwarnai dengan
Politik (Eksekutif-Legislatif) dan
konflik yang berkepanjangan, terutama antara kepala derah dengan
Birokrat Pasca Pilkada
DPRD. Meski demikian, tidak selamanya wilayah dengan kondisi divided
Apa yang terjadi jika Kepala
government, pasti kondisi politik lokal tidak stabil (terjadi konflik antara
Daerah, DPRD dan birokrasi
kepala daerah dengan DPRD).
serta masyarakat terus mengalami keretakan
Masalahnya, banyak kepala daerah yang melihat divided government
hubungan?
ini sebagai monster yang menakutkan dan harus dihindari. Jika peme- rintah tidak didukung kekuatan mayoritas di legislatif, dikhawatirkan
Hlm. 13
pemerintahan tidak berjalan dan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi suasana politik di banyak daerah. Akibatnya, banyak kepala daerah yang melakukan politik akomodasi yang tidak sehat—mulai dari bagi-bagi kekuasan kepada orang partai, hingga korupsi kolusi berjamaah (bersama-sama).
www.lsi.co.id
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
HASIL Pilkada yang telah lewat menunjukkan salah satu fenomena menarik di daerah, yakni terciptanya suatu pemerintahan yang terbelah (divided government). Ini terjadi ketika kekuasaan pemerintahan eksekutif (kepala daerah) dikuasai oleh satu partai sementara kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat DaerahDPRD) dikuasai oleh partai lain. Hingga Desember 2006, dari 290 wilayah Pilkada yang telah melangsungkan Pilkada, menunjukkan sebagian besar (56.9) daerah ditandai dengan pemerintahan yang terbelah. Sebanyak 56.9 wilayah ditandai dengan adanya kepala daerah yang diusung oleh partai yang bukan partai dengan kursi mayoritas di DPRD. Sebanyak 43.1 lainnya ditandai dengan adanya kepala daerah yang diusung oleh partai dengan kursi mayoritas di DPRD (lihat Grafik 1).
Tabel 1 menyajikan secara detil pola pemerintahan di daerah pasca Pilkada menurut provinsi. Pemerintahan yang terbelah (divided government) dengan jumlah besar ditemukan di provinsi Bengkulu, Irian Jaya Barat, Kali- mantan Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Barat. Sementara peme- rintahan yang tidak terbelah (unified government) dengan jumlah besar ditemukan di provinsi Jawa Timur, Kepu- lauan Riau dan Nusa Tenggara Barat. Tabel 2 menya- jikan contoh divided dan unified government di wilayah provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Timur.
Fenomena divided government ini merupakan konse- kuensi dari pemilihan langsung, dimana anggota legislatif (DPRD) dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh pemilih. Fenomena ini kurang terlihat dalam sistem pemi- lihan tidak langsung—dimana kepala daerah dipilih oleh
anggota DPRD. Dalam sistem pemilihan tidak langsung, kemungkinan besar kepala daerah berasal dari partai dengan kursi mayoritas di DPRD. Jika tidak ada politik uang dan suara anggota DPRD dari partai solid, calon yang didukung oleh partai mayoritas itu hampir bisa dipastikan akan terpilih sebagai kepala daerah.
Fenomena divided government kerap dikaitkan dengan kecenderungan pemilih untuk memilih calon dari partai yang berbeda untuk beberapa jenis pemilihan (split-ticket voting). Di sini, pemilih membagi suara (split) untuk bebe- rapa posisi. Untuk pemilihan anggota legislatif, pemilih memilih partai A, sementara untuk pemilihan kepala daerah, pemilih memilih calon yang didukung oleh partai
B, dan seterusnya. Akibat logis dari pembagian suara (split) itu adalah adanya dua kekuasaan yang dikuasai oleh partai yang berbeda. Misalnya, untuk kekuasaan eksekutif dikuasai oleh partai A, sementara untuk kekua- saan pembuatan legislasi (legislatif) dikuasai partai B.
Dalam literatur perilaku pemilih (voter behavior), kecen- derungan pemilih untuk membagi suara dan berakibat pada terjadinya divided government ini umumnya dijelaskan lewat dua penjelasan utama.
Pertama, penjelasan non intensional. Adanya peme- rintahan yang terbelah adalah akibat logis dari sistem pemilihan yang memilih orang, dan bukan partai. Pemilih lebih mengevaluasi kandidat (baik anggota legislatif ataupun kepala daerah) daripada partai pendukung. Pemilih akan memilih kandidat yang disukai tanpa mem- perhitungkan asal partai dari kandidat tersebut. Ini meng- akibatkan terjadinya kemungkinan dimana pemilih
Keterangan : Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Hingga Desember 2006, menurut Depertemen Dalam Negeri ( www.depdagri.go.id), Pilkada telah dilangsungkan di 296 wilayah di seluruh Indonesia. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
Grafik 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada
Divided Government
Unified Government
KAJIAN BULANAN
Tabel 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada Menurut Provinsi
PROVINSI
Divided Government
Unified Government
Bangka Belitung
Daerah Istimewa Yogyakarta
Irian Jaya Barat
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
Maluku Utara
Nanggroe Aceh Darussalam
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi tenggara
Sulawesi Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Tabel 2: Contoh Divided Government dan Unified Government di Provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Timur
Kursi Partai
Partai
Kursi Partai
Kabupaten
Kursi di
Kepala Daerah
di DPRD
Jumlah
Persen
Jumlah Persen
Bengkulu
Prov. Bengkulu
Kab.Kaur
25 Golkar
4 16 PDIP, PKPB, P. Pelopor, PPD dan PKPI
Kab. Seluma
Kab. Muko-Muko
25 Golkar
4 16 PDIP dan PKS
Kab. Lebong
20 Golkar
5 25 PPP, PBB
Kab. Kepahiang
25 Golkar
8 32 PDIP dan PPP
Kab. Rejang Lebong
30 Golkar
11 37 PKPB, PAN, PBR
Kab. Bengkulu Utara
Kab. Sumba Timur
Kab. Sumba Barat
Kab. Flores Timur
30 Golkar
7 23 PPDI, Demokrat, PKS, PBSD
Kab. Timor Timur Utara
Kab. Lembata
Kab. Ngada
30 Golkar
7 23 PD, PAN, PKPI
Kab. Manggarai
40 Golkar
11 28 PKB, PD, PPDI, PNBK, PAN
Kab. Manggarai Barat
25 PDIP
5 20 PPDK, PD, PKB, PNBK, PBB, PPD, PKS, PDS
Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia. memilih anggota legislatif dari partai A, dan kepala daerah
pa partai. Penjelasan mana yang lebih sesuai dalam
dari partai B.
konteks Indonesia, tentu perlu penelitian tersendiri.
Kedua, penjelasan intensional. Penjelasan ini umumnya
Efektivitas Pemerintahan di Daerah
bersumber dari pendekatan-pendekatan rasional
Fenomena divided government penting dibahas karena
(ekonomi politik) dalam studi mengenai perilaku pemilih.
berhubungan dengan efektivitas pemerintahan di daerah
Tindakan pemilih dalam membagi suara (split) di sini
pasca Pilkada. Apakah pemerintahan berjalan secara
dipahami sebagai sikap rasional dan sengaja (purposif)
efektif, berbagai kebijakan pembangunan bisa dijalankan
dari pemilih. Sebelum masuk ke bilik suara pemilih
ataukah justru pemerintahan di daerah diwarnai dengan
memang secara sadar berusaha membagi suara agar
konflik yang berkepanjangan—terutama antara kepala
kekuasaan tidak berpusat kepada salah satu partai.
derah dengan DPRD.
Pemilih berusaha untuk menciptakan keseimbangan, dan
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
itu bisa diperoleh jika kekuasaan tersebar pada bebera-
Daerah (UU Pemda), memberi kekuasaan yang besar
KAJIAN BULANAN
pada DPRD. Paling tidak terdapat tiga hubungan antara Secara teoritis, pemerintahan dengan pola unified
DPRD dengan kepala daerah. 1 Pertama, hubungan dalam government relatif lebih efektif dibandingkan dengan
konteks legislasi. Hubungan antara kedua lembaga pemerintahan dengan pola divided government. Pada negara di sini adalah pada saat membuat peraturan pemerintahan yang terbelah (divided government) daerah (Perda). Kedua lembaga sama-sama berhak potensial terjadi konflik—terutama apabila antara DPRD untuk membuat perda (Pasal 140 ayat 1). Tetapi pada dan kepala daerah tidak sejalan. Baik dalam hal anggaran, saat pembahasan tentang perda yang substansinya pembuatan peraturan daerah hingga pengawasan, sama maka yang harus didahulukan adalah perda yang potensial terjadi konflik antara DPRD dengan kepala dibuat oleh legislatif, sedangkan perda yang dibuat oleh daerah. Kalangan DPRD bisa terus menerus memper- eksekutif sebagai bahan perbandingan (Pasal 140 ayat soalkan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah. DPRD 2). Sebisa mungkin, sebuah perda memiliki kandungan juga bisa tidak menyetujui anggaran (APBD) yang diajukan filosofis, sosiologis, yuridis; atau dalam bahasa hukum oleh kepala daerah, sehingga berbagai kebijakan yang seperti yang tertera dalam Pasal 137 - syarat perda dan telah dirancang oleh kepala daerah bisa terbengkalai. Pasal 138 - asas perda). Sementara satu-satunya perda Jika kepala daerah tidak bisa menyelesaikan masalah yang dibuat oleh pemda yang juga dibahas bersama dengan DPRD, pemerintahan akan terus menerus DPRD adalah perda tentang Anggaran dan Pendapatan diwarnai oleh konflik berkepanjangan. Belanja Daerah (ABPD) (Pasal 181).
Salah satu ilustrasi dari konflik antara kepala daerah
Kedua, hubungan dalam konteks anggaran. Semua dengan DPRD adalah apa yang terjadi di Kabupaten urusan pemerintahan di daerah didanai oleh APBD. APBD Banyuwangi. Selama masa pemerintahan, bupati Ratna tersebut harus mendapat persetujuan dari DPRD karena Ani Lestari tidak bisa berkonsentrasi dalam menjalankan APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah program kerja akibat konflik yang berkepanjangan dengan (Pasal 179) dalam melakukan pelayanan publik dalam DPRD. Bahkan berkali-kali anggota DPRD berencana masa satu tahun anggaran. Eksekutif kendati memiliki memberhentikan (impeach) bupati. Kursi di DPRD ma- hak untuk membuatnya, tidak berarti harus menafikan yoritas dikuasai oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama (Pasal Dari 45 kursi yang ada, PKB menguasai 16 kursi. Dalam 181). Dengan demikian keterlibatan DPRD di sini adalah pemilihan kepala daerah, Ratna Ani Lestari didukung membahas atau memberikan persetujuan atas ran- oleh partai kecil yang tidak mempunyai kursi di DPRD— cangan APBD yang dibuat oleh eksekutif (Pasal 42 b). PAN, PBR, PNBK dan sejumlah partai lain. Dalam kondisi Walau akhirnya, eksekutif merupakan pemegang kekua- seperti ini berbagai program kepala daerah bisa diganjal saan pengelolaan keuangan daerah (Pasal 156 ayat 1).
oleh DPRD. Lebih lanjut mengenai kecenderungan konflik pasca Pilkada, terutama di Kabupaten Banyuwangi, lihat
Ketiga, hubungan dalam konteks pengawasan. Peng- dalam tulisan 2 dalam newsletter ini (Fluktuasi Hubungan awasan yang dilakukan oleh DPRD sebenarya meru- Lembaga Politik dan Birokrasi Pasca Pilkada). pakan manifestasi dari mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi. Beberapa fungsi pengawasan Besar kecilnya potensi konflik antara kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD tersebut adalah sebagai dengan DPRD ini tergantung kepada dua hal. Pertama, berikut: a) mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan kemampuan kepala daerah dalam menjalin hubungan perundang-undangan lainnya, b) mengawasi pelaksa- dengan DPRD. Jika kepala daerah bisa melakukan komu- naan keputusan pemerintah daerah (gubernur, bupati nikasi (lobi) dengan anggota DPRD, potensi konflik ini walikota), c) mengawasi pelaksanaan APBD, d) meng- bisa diredam. Kedua, dukungan kursi minimal yang awasi kebijakan pemerintah daerah, dan e) mengawasi dipunyai, terutama dari partai pendukung kepala daerah. pelaksanaan kerja sama internasional di daerah (Pasal Dalam perjalanannya, kepala daerah memang bisa
42 ayat 1 huruf c), serta mengawasi KPUD dalam penye- mendapat dukungan dari partai lain. Tetapi paling tidak
lenggaraan pemilihan kepala daerah. 2 dukungan minimal bisa didapatkan dari partai pendukung
1 Uraian dan penjelasan mengenai hubungan antara kepala daerah dan DPRD ini disarikan dari sejumlah bahan, diantaranya Lexy Armanjaya, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari 2007; Budiman Rusli,” Hubungan DPRD - Kepala Daerah Pasca-Pilkada Langsung”, Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005.
2 Ketika DPRD melakukan tugas-tugas pengawasan tersebut dan ternyata banyak hal yang diharapkan tidak terlaksana dengan baik oleh eksekutif maka DPRD dapat menggunakan hak-haknya seperti pada Pasal 43 ayat (1) yaitu hak menyatakan pendapat, hak interpelasi dan hak angket. Penggunaan ketiga hak ini oleh DPRD memungkinkan pemerintah daerah di-impeach. Sehingga
kemungkinan munculnya implikasi negatif dari pemberian hak yang sangat besar kepada DPRD (legislative heavy) juga perlu mendapat perhatian, yaitu kemungkinan terjadinya “konflik” yang berkepanjangan antara kepala daerah dan DPRD.
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Grafik 2: Apakah Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD?
Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih
Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih
Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD
Tidak Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD
Keterangan: Yang dimaksud kursi mayoritas di sini adalah jumlah kursi di atas 50 persen dari total kursi di DPRD. Untuk kepala daerah yang didukung oleh koalisi partai, perolehan kursi dibuat dengan menjumlah kursi dari semua partai anggota koalisi. Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia
saat pencalonan dalam pemilihan kepala daerah. Yang
DPRD. Yang menarik, sebanyak 9.66 wilayah ditandai
menarik, dari 290 wilayah yang telah melangsungkan
oleh kekuatan partai yang sangat lemah—jumlah kursi di
Pilkada hingga Desember 2006, sebagian besar ditandai
DPRD di bawah 15. 3
dengan fakta bahwa partai pendukung kepala daerah tidak menguasai kursi mayoritas di DPRD. Sebanyak
Tabel 4 merinci lebih lanjut kekuatan kursi partai
86.21 dari wilayah yang telah melangsungkan Pilkada,
pendukung kepala daerah terpilih ini menurut provinsi.
partai pengusung kepala daerah tidak mempunyai kursi
Besar kecilnya kekuatan partai pendukung di DPRD ini
mayoritas di DPRD (Lihat Grafik 2). Tabel 3 merinci lebih
menentukan potensi besar kecilnya konflik dan pola
lanjut mengenai kursi di DPRD ini menurut provinsi.
hubungan antara kepala daerah dengan DPRD. Kepala daerah yang didukung oleh partai dengan kursi minoritas
Jika partai atau koalisi partai pendukung kepala daerah
di DPRD harus siap-siap konflik dengan DPRD.
tidak mengusai mayoritas kursi di DPRD, lalu seberapa besar kekuatan dari partai penyokong kepala daerah ini?
Pola Akomodasi dan Konsolidasi
Grafik 3 memperlihatkan kekuatan kursi yang dipunyai
Tulisan ini hanya memfokuskan pada potensi konflik yang
oleh partai penyokong kepala daerah di DPRD. Dari grafik
mungkin terjadi akibat pemerintah di daerah yang terbelah
ini terlihat, sebagian besar (45.52), wilayah yang telah
—dimana kepala daerah dan mayoritas kursi di DPRD
melangsungkan Pilkada ditandai dengan kenyataan partai
dikuasai oleh partai yang berbeda. Apakah pemerintahan
penyokong kepala daerah mempunyai kekuatan lemah—
daerah yang mengalami divided government cenderung
dengan jumlah kursi di DPRD antara 15 hingga 30 persen.
tidak stabil kondisi politiknya, perlu penelitian lebih lanjut.
Ini menunjukkan, pasca Pilkada di banyak wilayah poten-
Tidak selamanya wilayah yang mengalami unified
sial terjadi konflik antara kepala daerah terpilih dengan
government, politik lokal akan stabil. Sebaliknya, tidak
3 Ini terjadi di sejumlah wilayah. Sebagai ilustrasi sebagai berikut. Di Kabupaten Belitung Timur, partai pendukung kepala daerah (PIB, PNBK) hanya menguasi 3 kursi (15) dari total kursi DPRD. Di Kabupaten Banyuwangi, partai pendukung kepala daerah bahkan
tidak mempunyai satu pun kursi di DPRD. Di Kota Tomohan, kepala daerah didukung oleh partai dengan kursi minoritas di DPRD (PNIM, PNBK, PKPB, PPD dan P. Pancasila). Total kursi dari partai-partai ini adalah 2 kursi (10) dari total 21 kursi di DPRD Kota Tomohon. Di Kabupaten Seram Bagian Timur juga demikian. Partai pendukung kepala daerah (PKS, PKPB, PKPI) hanya mempunyai
2 kursi (10) dari keseluruhan kursi di DPRD. Di Kabupaten Rembang, kepala daerah terpilih didukung oleh PAN dan partai kecil lain, yang total hanya menguasai 2 kursi (4) dari total kursi di DPRD yang mencapai 45 kursi. Di Kabupaten Dompu, dari total 21 kursi di DPRD, hanya 3 kursi saja yang dikuasai oleh partai pendukung kepala daerah (Golkar). Di Kabupaten Bulukumba juga demikian. Kepala daerah terpilih hanya didukung oleh partai yang menguasai 14 persen (5 kursi) kursi di DPRD—dalam hal ini PDIP dan PBB.
KAJIAN BULANAN
Tabel 3: Kursi Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Menurut Provinsi
Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Mempunyai Kursi
Tidak Mempunyai Kursi
PROVINSI
Mayoritas di DPRD
Bangka Belitung
Daerah Istimewa Yogyakarta
Irian Jaya Barat
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
Maluku Utara
Nanggroe Aceh Darussalam
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi tenggara
Sulawesi Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Keterangan: Yang dimaksud kursi mayoritas di sini adalah jumlah kursi di atas 50 persen dari total kursi di DPRD. Untuk kepala daerah yang diukung oleh koalisi partai, perolehan kursi dibuat dengan menjumlah kursi dari semua partai anggota koalisi. Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Grafik 3: Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih di DPRD
Sangat lemah
Sangat kuat
(Jumlah kursi
(Jumlah kursi
(Jumlah kursi
(Jumlah kursi
(Jumlah kursi
di DPRD <15)
di DPRD 15-30)
di DPRD 31-45)
di DPRD 46-60)
di DPRD >60)
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
selamanya juga wilayah dengan kondisi divided
dari legislatif. Kepala daerah hasil Pilkada meski didukung
government, pasti kondisi politik lokal tidak stabil (terjadi
oleh minoritas partai politik di DPRD, tetap mempunyai konflik antara kepala daerah dengan DPRD). 4 kesempatan besar mendapat dukungan dai DPRD asal bisa berkomunikasi dengan baik, melakukan konsensus.
Tulisan ini hanya memperlihatkan adanya potensi
Mengapa? Hal ini karena partai pemenang Pemilu
masalah yang harus dihadapi oleh kepala daerah terpilih
Legislatif sebenarnya juga tidak menguasai mayoritas
hasil Pilkada. Tetapi pada akhirnya, keberhasilan dan
kursi di DPRD. Dalam sistem multi partai, kursi di DPRD
efektifitas pemerintahan lebih ditentukan oleh kemam-
dikuasi oleh banyak partai, sehingga antara kepala daerah
puan kepala daerah dalam menjalin komunikasi dengan
dengan partai terbesar di DPRD sebenarnya tidak
DPRD. Konflik harus dipahami secara sehat sebagai
berhadapan secara diametral.
bagian dari kritik dan chek and balances kekuasaan.
Grafik 4 memperlihatkan dengan jelas kondisi tersebut.
Kepala daerah harus melihat kondisi divided government
Dari grafik ini terlihat, pemenang Pemilu Legislatif
ini tidak hitam putih. Lobi dan komunikasi dengan anggota
sebagian besar hanya menguasai antara 15-30 kursi
DPRD bisa dilakukan agar program dan kebijakan bisa
di DPRD. Ini berarti kekuatan pemenang Pemilu Legislatif
dijalankan dengan baik. Sistem politik yang multi partai
juga lemah di DPRD. Baik partai pemenang pemilu
seperti di Indonesia sebenarnya memberi kesempatan
legislatif maupun partai pendukung kepala daerah harus
luas kepada kepala daerah untuk mendapatkan dukungan
bekerjasama atau koalisi dengan partai lain dalam
4 Jika melihat pengalaman beberapa negara yang mengalami divided government, tidaklah otomatis divided government selalu menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif. Di Amerika Serikat, selama 50 tahun lebih, hampir semua pemerintahan hidup dalam
divided government. Ternyata mereka mampu bekerja sama dengan Kongres yang dikuasai partai oposisi untuk menghasilkan berbagai agenda penting. Presiden Bill Clinton (Partai Demokrat), misalnya, bersama Kongres yang mutlak dikuasai Partai Republik berhasil melahirkan UU untuk besar-besaran mereformasi welfare system. Presiden Ronald Reagan (Republikan) bersama Kongres yang dikuasai Partai Demokrat mampu menghasilkan sistem perpajakan yang dipakai hingga kini. UU Udara Bersih, yang didorong Presiden Richard Nixon (Republikan) juga dihasilkan ketika Kongres dikuasai Partai Demokrat. Suatu penelitian yang dilakukan Joseph Klesner (profesor di Kenyon College, Ohio, AS) atas divided government pada periode Kepresidenan Ernesto Zedillo (1997- 2000) menunjukkan, pemerintah dapat membangun koalisi temporer dengan partai-partai oposisi berdasar isu-isu tertentu. Penelitian lain yang dilakukan Benito Nacif, peneliti di lembaga think thank di Meksiko bernama CIDE, atas periode kepresidenan Vincente Fox 2000-2003 juga menunjukkan pemerintah dan partai yang berseberangan tetap bisa bekerja sama dan membangun koalisi berdasar isu-isu. Dikutip dari Bara Hasibuan, “ Pemerintahan Yang Terbelah”, Kompas, 7 Agustus 2003.
KAJIAN BULANAN
Tabel 4: Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih di DPRD Menurut Provinsi
Lemah (Jumlah Kursi
Sedang (Jumlah Kursi
Kuat (Jumlah Kursi
PROVINSI
di DPRD < 30)
di DPRD 31-45)
di DPRD >45) Total
Bangka Belitung
Irian Jaya Barat
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
Maluku Utara
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi tenggara
Sulawesi Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Grafik 4: Perbandingan Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih dan Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD
Sangat lemah
Sangat kuat
(Jumlah kursi
(Jumlah kursi
(Jumlah kursi
(Jumlah kursi
(Jumlah kursi
di DPRD <15)
di DPRD 15-30)
di DPRD 31-45)
di DPRD 46-60)
di DPRD >60)
Kursi Partai Pemenang Pilkada di DPRD Kursi Partai Pemenang Pemilu Legilatif di DPRD
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
menggolkan suatu kebijakan. Tabel 5 merinci kekuatan
tidak mendapat dukungan di legislatif ingin memperluas
partai pemenang Pemilu Legislatif menurut partai politik.
dukungan dari partai dengan menempatkan orang-orang
Tabel 6 merinci kekuatan partai pemenang Pemilu Legis-
partai atau orang yang didukung oleh partai di jajaran
latif menurut provinsi.
birokrasi. Kepala derah umumnya “bagi-bagi jabatan” kepada orang dari partai politik. Penempatan orang-orang
Masalahnya, banyak kepala daerah yang melihat divided
partai di jajaran birokrasi ini juga untuk menegaskan
government ini sebagai monster yang menakutkan dan
kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah adalah
harus dihindari dengan segala cara. Jika pemerintah tidak
tanggungjawab bersama, tidak bisa ditimpakan kepada
didukung kekuatan mayoritas di legislatif, dikhawatirkan
satu orang. 5
pemerintahan tidak lancar dan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi
Kedua, memberikan insentif kepada anggota legislatif—
suasana politik di banyak daerah. Akibatnya, banyak kepala
bisa berupa kenaikan gaji, pemberian tunjangan, tam-
daerah melakukan politik akomodasi yang tidak sehat.
bahan fasilitas dan sebagainya—yang dananya didapat- kan dari APBD. Kerap kali terjadi, berbagai fasilitas dan
Ada beberapa politik akomodasi yang kerap dilakukan.
tunjangan ini diusulkan oleh kepala daerah. Pola ako-
Pertama, membagi-bagi kekuasaan di daerah kepada
modasi ini dimaksudkan agar anggota DPRD tidak kritis
orang-orang yang dekat dengan partai. Terpilihnya kepala
dengan apa yang dilakukan oleh kepala daerah. Ketiga,
daerah baru kerap diikuti dengan gerbong mutasi kepala
melakukan sogokan kepada anggota legislatif atau korup-
dinas-kepala dinas. Tujuannya jelas, kepala daerah yang
si yang dilakukan secara bersama-sama. Ini umumnya
5 Pola ini bukan khas politik lokal tetapi juga nasional. Agar pemerintahannya didukung oleh partai besar, Presiden Susilo Bambang Yuhoyono membentuk kabinet yang terdiri dari orang dari beragam partai. Tujuannya jelas, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah nantinya didukung minimal tidak diganggu gugat oleh partai-partai di parlemen.
KAJIAN BULANAN
Tabel 5: Kekuatan Kursi Partai Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD
Lemah (Jumlah Kursi
Sedang (Jumlah Kursi
Kuat (Jumlah Kursi
PARTAI
di DPRD < 30)
di DPRD 31-45)
di DPRD >45) Total
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
terjadi saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Be-
Governance, Jakarta, Partnership for Governance
lanja daerah (APBD). Kepala daerah umumnya mengalo-
Reform in Indonesia, 2004.
kasikan anggaran untuk anggota legislatif dengan tujuan
Armanjaya, Lexy, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala
agar rancangan APBD diterima oleh DPRD. 6 Jika ini yang
Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari 2007
terjadi divided government bukan melahirkan chek and
Hasibuan, Bara, “ Pemerintahan Yang Terbelah”, Kompas,
balances, sebaliknya melahirkan korupsi dan nepotisme
7 Agustus 2003.
bersama. (Eriyanto)
Lewis-Beck, Michael and Richard Nadeau, “Split-Ticket Voting: The Effect of Cognitive Madisonianism”, The
Daftar Pustaka
Journal of Politics, Vol. 65, No. 1, February 2004.
Alvarez, Michael and Matthew M. Schousen, “Policy
Roscoe, Douglas D.,” The Choosers or the Choice? Voter
Moderation or Conflicting Expectations: Testing the
Characteristics and the Structure of Electoral
Intentional Models of Split-Ticket Voting”, American
Competition as Explanations for Ticket Splitting”, The
Politics Quarterly, Vol. 21, No. 4, Oktober, 1993.
Journal of Politics, Vol. 65, No. 4, November, 2003.
Anugrah, Panji, “ Pilkada Langsung dan Mitos Good
Rusli, Budiman, “ Hubungan DPRD - Kepala Daerah
Governance”, dalam Pheni Chalid (ed), Pilkada
Pasca-Pilkada Langsung”, Pikiran Rakyat, 27 Juni
Langsung: Demokratisasi daerah dan Mitos Good
6 Lihat Panji Anugrah, “ Pilkada Langsung dan Mitos Good Governance”, dalam Pheni Chalid (ed), Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Jakarta, Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2004.
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Tabel 6: Kekuatan Kursi Partai Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD Menurut Provinsi
Lemah (Jumlah Kursi
Sedang (Jumlah Kursi
Kuat (Jumlah Kursi
PROVINSI
di DPRD < 30)
di DPRD 31-45)
di DPRD >45) Total
Bangka Belitung
Irian Jaya Barat
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
Maluku Utara
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi tenggara
Sulawesi Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
KAJIAN BULANAN
Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik (Eksekutif-Legislatif) dan Birokrat Pasca Pilkada
efektif. Melalui Pilkada, rakyat memiliki kesempatan lebih luas untuk C
ITA-CITA utama adanya penyelenggaraan Pilkada secara langsung adalah terpilihnya sebuah struktur politik lokal yang demokratis dan sistem pemerintahan yang mampu berjalan secara
menentukan pasangan pemimpin eksekutif sesuai dengan yang dikehendaki. Harapan terbesar tentunya para pemimpin yang terpilih melalui Pilkada agar mampu menjalankan fungsi dan perannya dalam berbagai kebijakan publik dengan lebih optimal.
Apa yang terjadi jika pasangan bupatiwakil bupati, walikotawakil walikota, gubernurwakil gubernur, DPRD dan birokrasi serta masyarakat terus mengalami keretakan hubungan internal, eksternal, vertikal dan horizontal? Kondisi inilah yang seringkali mewarnai relasi kekuasaan Pasca Pilkada. Ada beberapa fenomena yang kerapkali terjadi. Pertama, keretakan internal terjadi ketika kedua pasangan tersebut tidak lagi harmonis. Kedua, keretakan eksternal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya mengalami ketegangan dan konflik dengan pimpinan DPRD atau pihak DPRD. Ketiga, keretakan vertikal terjadi ketika kedua pasangan tersebut mengalami ketegangan dan konflik dengan pimpinan birokrasi dan struktur birokrasi di semua lapisan. Keempat, keretakan horizontal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya terus menerus mendapatkan desakan mundur (deligitimasi) oleh publik.
KEEMPAT model keretakan, ketegangan dan keterbelahan
keterbelahan yang melibatkan eksekutif-legislatif dan
inilah yang akan menjadi ulasan dalam artikel ini. Kasus
birokrasi yang terus berlangsung pasca Pilkada.
pasca Pilkada di Kabupaten Banyuwangi dan Kota Depok akan disajikan untuk menggambarkan bagaimana model-
Pasca Pilkada, tidak semua daerah mampu meng-
model keretakan dan ketegangan yang melibatkan
hasilkan struktur dan sistem pemerintahan yang efektif.
eksekutif-legislatif pasca Pilkada berlangsung. Beberapa
Padahal, Pilkada sejak semula didesain untuk melahir-
data juga akan disajikan bagaimana potensi konflik yang
kan sistem demokrasi pada level lokal dengan dukungan
muncul menjelang Pilkada ikut memberikan dampak
kinerja pemerintahan yang kuat dan efektif. Bahkan pasca
terhadap konflik-konflik pada level aktor, kelembagaan dan
Pilkada, di berbagai daerah seringkali diwarnai dengan
konflik massa pasca Pilkada. Analisis juga memaparkan
berbagai keretakan, ketegangan dan konflik. Hal tersebut
bagaimana solusi yang memungkinkan untuk dilakukan
bisa muncul baik pada level aktor politik, lembaga-
di dalam menyikapi fenomena keretakan, ketegangan dan
lembaga politik dan birokrasi dan masyarakat.
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Salah satu sumber keretakan, ketegangan dan konflik
dapat dipisahkan dari model relasi kekuasaan di atas.
pasca Pilkada yang sangat menonjol adalah antara
Proses pilkada di Indonesia seringkali memiliki latar
eksekutif (kepala daerahwakil kepala daerah) dengan
belakang dan konteks ekonomi-politik yang beragam dan
legislatif (DPRD), Parpol, NGOLSM dan massa. Feno-
sangat kompleks. Arus kepentingan ekonomi-politik dari
mena keretakan, ketegangan dan konflik antara lembaga-
para aktor politik, maupun lembaga-lembaga politik yang
lembaga politik dan masyarakat tersebut pada akhirnya
menjadi pelaku Pilkada berdampak besar bagi muncul-
memunculkan keterbelahan kekuasaan pemerintahan,
nya keretakan, ketegangan dan konflik pasca Pilkada 3 .
tidak efektif dan rentan dengan berbagai keretakan, kete- gangan dan konflik.
Ada beberapa model keretakan, ketegangan dan konflik yang muncul pasca Pilkada. Pertama, keretakan, kete-
Pemerintahan dengan kondisi tersebut seringkali dikenal
gangan dan konflik di kalangan elitaktor politik. Kedua,
dengan istilah divided government. 1 Divided government
keretakan, ketegangan dan konflik di kalangan lembaga-
berlangsung ketika kepala daerah atau wakil kepala dae-
lembaga politik dan birokrasi. Ketiga, keretakan, kete-
rah tidak berasal satu partai dengan mayoritas anggota
gangan dan konflik pada level massa. Realitas politik di
DPRD. Sebaliknya, united governmentunified government
lapangan menunjukkan bahwa ketiga model keretakan,
berlangsung ketika kepala daerah atau wakil kepala
ketegangan dan konflik tersebut seringkali memiliki
daerah berasal dari satu partai dengan mayoritas anggota
keterkaitan satu sama lain. Bahkan masing-masing
DPRD 2 . Fenomena Divided government didominasi oleh
model ikut memberikan dampak terhadap sirkulasi
adanya beragam keretakan, ketegangan dan konflik yang
keretakan, ketegangan dan konflik pada masing-masing
berlangsung pada elitaktor politik dan lembaga-lembaga
aktorelit politik maupun pada lembaga-lembaga politik.
birokrasi. Namun ketegangan antara elitaktor politik dan lembaga-lembaga birokrasi dengan massa juga bisa
Ketegangan dan Konflik di Kalangan ElitAktor Politik
memperuncing derajat keretakan, ketegangan dan konflik
Ada beberapa model keretakan, ketegangan dan konflik
yang berdampak pada kinerja lembaga pemerintahan dan
pada level ini. Pertama, keretakan, ketegangan dan konflik
sistem demokrasi di masing-masing daerah.
antar ketuaanggota parpol (baik pada level DPDDPW dan DPC) 4 . Kedua, ketegangan dan konflik antar partai
Fenomena keretakan, ketegangan dan konflik antar aktor
politik. Ketiga, ketuaanggota partai politik versus ketua
politik maupun antar lembaga politik di Indonesia tidak
wakil ketua DPRD 5 .
1 Fenomena divided government dan united government di berbagai negara demokrasi memiliki dampak terhadap efektifitas kinerja pemerintahan dan arah kebijakan publik. Secara umum, divided government berdampak pada munculnya berbagai kebijakan publik
yang tidak responsif terhadap kebutuhan publik dan menimbulkan pola kebijakan yang tidak efektif. Sebaliknya united government— baik pada level Negara maupun pemerintahan lokalfederal—akan memberikan dampak berlangsungnya sistem pemerintahan yang lebih efektif dan kebijakan yang mampu merespon kebutuhan, keinginan dan tuntutan publik. Lebih lanjut tentang hal ini lihat dalam John J. Coleman, “Unified Government, Divided Government, and Party Responsiveness”, The American Political Science Review, Vol. 93, No. 4, Desember 1999, pp. 821-835. Bandingkan dengan William Niskanen (2003), A Case for Divided Government, dalam http:www.cato.orgdailys05-07-03.html. Selain itu, lihat juga dalam Stephen Slivinski (2005), Would Divided Government Be Better?, dalam http:www.cato.orgpub_display.php?pub_id=6650. 2 Fenomena divided government dan united government telah berlangsung di berbagai negara yang menerapkan demokrasi langsung dalam pemilihan eksekutif (kepala daerah dan wakil kepala daerah) dan legislatif (senate dan house of representative). Studi komparasi tentang fenomena divided government dan united government di Amerika Serikat, Ekuador, Meksiko, Finlandia, Perancis, Polandia, Denmark, Jerman dan Irlandia lihat dalam Robert Elgie (Eds), Divided Government in Comparative Perspective. Robert Dublin City University, Ireland, 2001 3 Kuatnya warisan struktur sosial feodal dan rejim oligarki di daerah menjadikan proses demokrasi didominasi oleh kepentingan ekonomi-politik para elit. Otonomi daerah bahkan menciptakan ruangan bagi perjuangan kepentingan individu elit daerah. Syarif Hidayat (2006) melihat ada tiga bentuk kepentingan individu para elit lokal. Pertama, kepentingan ekonomi (seeking economic ends). Kedua, kepentingan untuk pengembangan karier (career advancement). Ketiga, kepentingan untuk sponsor politik (political sponsorship). Lihat Syarif Hidayat “Mencari Terapi Pilkada Terbaik”, Batam Pos, 26 Agustus, 2006. 4 Keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini biasa berlangsung sejak menjelang pencalonan hingga pasca pencalonan dalam Pilkada. Salah satu contoh di sini misalnya konflik terjadi antara DPC Partai Demokrat Kota Semarang dan DPD Partai Demokrat Jawa Tengah. Dalam hal ini terjadi silang pendapat menyangkut kepengurusan partai dalam mengusung calon wali kota Semarang. Contoh lainnya misalnya, konflik dalam tubuh DPC PDI-P Boyolali. Hal ini dilatarbelakangi kondisi politik dimana Antara DPC dan sebagian besar PAC terjadi ketidaksepakatan menyangkut calon bupati yang akan mereka ajukan. 5 Hal ini banyak terjadi di berbagai daerah pasca pilkada. Salah satunya misalnya di Kabupaten Banyuwangi. Jajaran pimpinan dan fraksi-fraksi di DPRD menyimpulkan kinerja Bupati Ratna Ani Lestari tidak efektif dan ditolak oleh masyarakat. Oleh karena itu mereka mendukung bupati secara legowo mengundurkan diri (Tempointeraktif, 4 Mei 2006).
KAJIAN BULANAN
Keempat, keretakan, ketegangan dan konflik antara
partisipasi dan kompetisi politik secara formal sudah
kepala daerahwakil kepala daerah 6 . Kelima, keretakan,
terbangun. Kedua, konsep-konsep demokrasi elektoral
ketegangan dan konflik antara kepala daerahwakil kepala
beresiko menimbulkan potensi kekeliruan elektoralisme.
daerah versus ketua partai politik 7 . Keenam, ketegangan
Kekeliruan elektoralisme ini terjadi ketika konsep itu
dan konflik antara kepala daerah wakil kepala daerah
mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain,
versus tokoh-tokoh masyarakat. Ketujuh, ketegangan dan
dan mengabaikan kemungkinan yang bisa ditimbulkan
konflik antara pimpinan KPUD, DPRD dan pimpinan partai
pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian
politik 8 .
masyarakat tertentu untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepen-
Keretakan, ketegangan dan konflik di atas terus menerus
tingannya, atau menciptakan arena-arena pembuatan
tidak lepas dari proses politik yang terjebak dalam
kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat
perangkap demokrasi elektoral. Demokrasi elektoral
terpilih 10 .
merupakan konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat. Pasca Pilkada
Ketiga, optimisme yang menggebu dari konsep
langsung dalam kadar tertentu elit politik seringkali terpe-
demokrasi elektoral dalam menciptakan kepastian-
rangkap demokrasi elektoral. Di kalangan aktor politik
kepastian membuat konsep ini mengabaikan faktor-faktor
masing-masing daerah ada kecenderungan kuat dimana
di luar dimensi pemilu dan partai politik, seperti budaya
dalam merumuskan makna demokrasi para aktor politik
politik dan legitimasi demokrasi. Keempat, demokrasi
selalu merujuk pada tiga hal yang paling elementer;
elektoral cenderung formalis dan prosedural sehingga
partisipasi, kompetisi dan liberalisasi. Akibatnya fluktuasi
gagal untuk menjelaskan kemunculan bentuk-bentuk
relasi kekuasaan terus menerus terjadi di tengah berbagai
partisipasi dan kompetisi semu 11 .
ketidakpuasan hasil Pilkada dan model kepemimpinan politik dari pejabat publik yang telah terpilih.
Ketegangan dan Konflik di Kalangan Lembaga Politik dan Birokrasi
Trend menguatnya penekanan yang berlebihan pada
Ketegangan dan konflik yang berlangsung dalam
elektoralisme menimbulkan beberapa kosekuensi 9 .
lembaga-lembaga politik (eksekutif dan legislatif) dan
Pertama, demokrasi seolah-olah sudah selesai untuk
birokrasi pada umumnya berlangsung secara kompleks.
dibicarakan ketika sistem pemilihan yang menjamin
Masing-masing kelembagaan politik memiliki derajat
6 Keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini kecenderungan kuat berlangsung di kalangan pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki latarbelakang partai politik, latarbelakang kepentingan ekonomi-politik dan latarbelakang personalitas
yang berbeda. Latarbelakang partai politik (dukungan politik) dan latar belakang kepentingan ekonomi-politik merupakan faktor yang cukup menonjol dibalik keretakan, ketegangan dan konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. 7 Fenomena ketegangan dan konflik ini pada umumnya berlangsung ketika pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah salah satunya atau keduanya tidak berasal dari partai politik yang dominan di DPRD atau berasal dari partai yang memiliki dukungan legislatif yang rendah. Kendatipun tidak menutup kemungkinan ada beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah, pasca Pilkada berpindah dukungan partai politik atau bahkan menjadi ketua partai yang memiliki kursi dominan di DPRD dalam rangka mendapatkan dukungan politik. 8 Konfigurasi politik seperti ini misalnya berlangsung di Kabupaten Semarang Pasca Pilkada. Beberapa anggota DPRD Kabupaten Semarang menyatakan menolak hasil pemilihan bupati 31 Juli 2005. Mereka berdalih, KPUD setempat telah melanggar hukum. Anggota DPRD yang menolak hasil pemilihan adalah Achsin Ma’ruf (Ketua FPAN) dan Bambang Kusriyanto (Wakil Ketua DPRD dari PDI Perjuangan). Menurut mereka, KPUD telah berpihak pada pasangan Bambang Guritno-Siti Ambar Fathonah, yang dicalonkan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia. KPUD meloloskan Ambar meski keabsahan ijazahnya yang dikeluarkan Pesantren Pabelan, Magelang, dipertanyakan. KPUD jugs mengundur tahapan pemilihan seperti penetapan pasangan calon yang lolos administrasi (mestinya 30 Juni menjadi 1 Juli) serta pengambilan nomor urut pasangan calon (semula 1 Juli menjadi 4 Juli) Lihat Tempo Interaktif, 5 Agustus 2005. 9 AAGA Ari Dwipayana, Pilkada Langsung otonomi Daerah, dalam http:www.bainfokomsumut.go.idopen.php?id=13db=pilkada. 10 Keyakinan mendapatkan legitimasi yang kuat bagi kalangan pejabat publik seringkali memunculkan otoritas yang luar biasa sehingga cenderung mengabaikan tuntutan publik. Hal ini membawa implikasi dimana para pejabat publik pimpinan eksekutif mengedepankan kepentingannya, kepentingan politik kelompoknya, kepentingan bisnisnya atau bahkan kepentingan keluarganya dengan mengabaikan berbagai harapan publik pasca Pilkada. 11 Kecenderungan ini menguat terutama jika pimpinan eksekutif cenderung gagal memahami aspirasi elemen-elemen politik dan masyarakat. Legitimasi yang pernah didapatkan ketika Pilkada berlangsung terus mengalami penurunan, karena sikap dan ketidakpuasan publik terhadap pimpinan eksekutif terus menguat. Potensi ketegangan, keretakan dan konflik kian terbuka, ketika pimpinan eksekutif gagal mengakomodasi kepentingan elemen-elemen politik dan masyarakat pendukungnya.
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
ketegangan dan konflik satu sama lain. Selain itu, masing-
bulkan dampak yang meluas. Padahal keterkaitan antara
masing aktor politik yang ada di dalamnya juga ber-
keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32
pengaruh terhadap realitas politik yang berlangsung 12 .
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 19 ayat 2 bahwa keduanya sebagai mitra sejajar
Ada beberapa model keretakan dan konflik di kalangan
yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyeleng-
lembaga-lembaga politik dan birokrasi. Pertama, kere-
gara pemerintahan daerah. Itu berarti bahwa salah satu
takan internal terjadi ketika kepala daerah dan wakil
dari keduanya tidak boleh ada yang disubordinatkan. Tidak
kepala daerah tersebut tidak lagi harmonis 13 . Kedua,
ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain 17 .
keretakan eksternal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya mengalami ketegangan dan
Realitas politik pasca Pilkada menunjukkan, salah satu
konflik dengan DPRD atau faksi-faksi yang ada di DPRD.
diantaranya seringkali lebih dominan di dalam penye-
Ketiga, keretakan vertikal terjadi ketika Kepala daerah dan
lenggaraan pemerintahan. Bahkan perebutan otoritas
wakil kepala daerah tersebut mengalami ketegangan dan
seringkali terjadi terkait wewenangan dan koordinasi
konflik dengan birokrasi di beberapa lapisan atau bahkan
kelembagaaan dengan dinas dan badan-badan peme-
semua lapisan. Keempat, keretakan horizontal terjadi
rintahan daerah. Akibatnya format hubungan ideal diantara
ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut,
keduanya cukup sulit dilakukan.
atau salah satunya terus menerus mendapatkan desakan
mundur (delegitimasi) oleh publik 14 . Kelima, ketegangan
Ketegangan dan Konflik Pada level Massa
dan konflik antara KPUD dan Parpol, karena ketidak-
Ketegangan dan konflik pasca Pilkada juga kadangkala
puasan terhadap proses penyelenggaraan Pilkada 15 .
terjadi pada level massa. Beberapa kotakabupaten yang
Keenam, ketegangan dan konflik antara Kepala Daerah
dilanda konflik politik horizontal seperti demonstrasi yang
dan LSM organisasi lokal 16 .
berbuntut pada terjadinya kerusuhan sosial sebagai bentuk protes terhadap hasil perhitungan suara pikada.
Berbagai keretakakan, ketegangan dan konflik antara
Adanya iklim politik yang kontroversial sangat berpengaruh
lembaga-lembaga politik(eksekutif-legislatif) dan
pasca diselenggarakannya pilkada langsung.
birokrasi ini secara umum mulanya tidak nampak ke permukaan. Namun ketika skala relasi semakin mem-
Ada beberapa fakta yang cukup signifikan terkait dengan
buruk, ketegangan dan konflik pun seringkali menim-
ketergangan dan konflik pasca Pilkada.
12 Selama Pilkada gelombang pertama Juli 2005, tercatat beberapa DPRD yang enggan meneruskan hasil pilkada ke gubernur, antara lain Kabupaten Gorontalo, Banyuwangi, Padang Pariaman, Samosir, Mandailing Natal, Poso, Seram Bagian Timur, dan Manggarai.
Sementara daerah yang masih menunggu keputusan pengadilan adalah Kabupaten Tanah Toraja, Kota Surabaya, Kota Gresik, Kabupaten Kediri, dan Kota Manado. Sedangkan Pilkada Kota Bitung diliputi permasalahan, karena DPRD menyatakan status quo terhadap keputusan KPUD yang menyatakan pencoblosan ulang di beberapa TPS bermasalah (Pikiran Rakyat, 8 September 2005) 13 Keretakan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam kadar tertentu terus berlangsung pasca Pilkada. Secara umum, tidak banyak media massa yang mengekspos fenomena tersebut. Namun rumor-rumor politik tentang keretakan hubungan antar keduanya seringkali banyak menjadi pembicaraan di kalangan birokrat, elit parpol dan para tokoh masyarakat. 14 Contoh di sini misalnya yang terjadi di Kota Surabaya, Propinsi Jawa Timur. Tanggal 12 Juli 2005, massa melakukan perusakan di gedung DPRD. Massa juga memaksa anggota dewan untuk menandatangani pernyataan yang menolak hasil penetapan pemilihan walikota (Suara Karya, 19 Juli 2005) 15 Contoh di Kabupaten Cilegon, Jawa Barat. PKS mengadukan kecurangan penghilangan suara dalam tahap pendataan pemilih di Pilkada Cilegon pada Desk Pusat Pilkada di Departemen Dalam Negeri. Sekitar 56.208 suara atau 24,3 persen dari jumlah pemilih tidak dapat memberikan suara karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap walaupun mereka menyoblos dalam Pemilu 2004 lalu (Kompas, 11 Juni 2005). Selain itu fakta serupa juga terjadi di Kota Bitung. DPRD Kota Bitung yang mementahkan keputusan KPU setempat yang telah lebih dulu menetapkan pengulangan pilkada pada 13 Agustus 2005 di 12 TPS bermasalah (Kompas, 05 Agustus 2005). 16 Kabupaten Bone Bolango, Propinsi Gorontalo, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama sejumlah warga meminta agar bupati- wakil bupati terpilih Bone Bolango yang baru saja dilantik, segera melakukan perombakan ‘kabinet‘, karena kinerja mereka selama ini dinilai tidak berhasil. Ketua LSM Walihua, Iwan Hulakati, mengatakakan, jika ingin ada perubahan dalam pemerintah dan pemba- ngunan, maka bupati-wakil bupati definitif, Ismet Mile-Mohammad Kilat Wartabone segera melakukan perombakan personil di jajaran pemerintah kabupaten setempat (Suara Merdeka, 28 September 2005) . Kasus lainnya misalnya di Kabupaten Fak-Fak, Propinsi Papua. Masyarakat adat Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua akan menolak pelantikan bupati terpilih hasil pilkada langsung 2005 karena yang bersangkutan dinilai “cacat hukum”. Penolakan terhadap Bupati terpilih Wahidin Puarada karena selama kepemimpinan sebagai bupati pada periode 2001-2005 dia dianggap banyak terlibat kasus pidana yang dilakukan(Suara Karya, 30 November 2005) 17 Lexy Armanjaya, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari, 2005.
KAJIAN BULANAN
nampak mencerminkan bagaimana kompleksitas kere-
Pertama, menguatnya alienasi politik dan kekerasan
takan, ketegangan dan konflik yang melibatkan berbagai