Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik Eksek

EDISI 07 - November 2007

  Pilkada dan Pemerintahan Yang Terbelah (Divided Government)

  S dikuasai oleh satu partai sementara kekuasaan legislatif (Dewan

  ALAH satu fenomena politik pasca Pilkada adalah adanya pemerintahan yang terbelah (divided government) di daerah. Ini terjadi ketika kekuasaan pemerintahan eksekutif (kepala daerah)

  Perwakilan Rakyat DaerahDPRD) dikuasai oleh partai lain. Hingga Desember 2006, dari 290 wilayah Pilkada yang telah melangsungkan

  Pilkada dan Pemerintahan

  Pilkada, menunjukkan sebagian besar (56.9) daerah ditandai dengan

  Yang Terbelah

  pemerintahan yang terbelah. Fenomena divided government ini meru-

  (Divided Government)

  pakan konsekuensi dari pemilihan langsung, dimana anggota legislatif

  Jika pemerintah tidak didukung

  (DPRD) dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh pemilih. Feno- mena ini kurang terlihat dalam sistem pemilihan tidak langsung—di

  kekuatan mayoritas di legislatif,

  mana kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD.

  dikhawatirkan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan.

  Fenomena divided government penting dibahas karena berhubungan

  Hlm. 1

  dengan efektivitas pemerintahan di daerah pasca Pilkada. Apakah peme- rintahan berjalan secara efektif, berbagai kebijakan pembangunan bisa

  Fluktuasi Hubungan Lembaga

  dijalankan ataukah justru pemerintahan di daerah diwarnai dengan

  Politik (Eksekutif-Legislatif) dan

  konflik yang berkepanjangan, terutama antara kepala derah dengan

  Birokrat Pasca Pilkada

  DPRD. Meski demikian, tidak selamanya wilayah dengan kondisi divided

  Apa yang terjadi jika Kepala

  government, pasti kondisi politik lokal tidak stabil (terjadi konflik antara

  Daerah, DPRD dan birokrasi

  kepala daerah dengan DPRD).

  serta masyarakat terus mengalami keretakan

  Masalahnya, banyak kepala daerah yang melihat divided government

  hubungan?

  ini sebagai monster yang menakutkan dan harus dihindari. Jika peme- rintah tidak didukung kekuatan mayoritas di legislatif, dikhawatirkan

  Hlm. 13

  pemerintahan tidak berjalan dan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi suasana politik di banyak daerah. Akibatnya, banyak kepala daerah yang melakukan politik akomodasi yang tidak sehat—mulai dari bagi-bagi kekuasan kepada orang partai, hingga korupsi kolusi berjamaah (bersama-sama).

  www.lsi.co.id

  LINGKARAN SURVEI INDONESIA

  HASIL Pilkada yang telah lewat menunjukkan salah satu fenomena menarik di daerah, yakni terciptanya suatu pemerintahan yang terbelah (divided government). Ini terjadi ketika kekuasaan pemerintahan eksekutif (kepala daerah) dikuasai oleh satu partai sementara kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat DaerahDPRD) dikuasai oleh partai lain. Hingga Desember 2006, dari 290 wilayah Pilkada yang telah melangsungkan Pilkada, menunjukkan sebagian besar (56.9) daerah ditandai dengan pemerintahan yang terbelah. Sebanyak 56.9 wilayah ditandai dengan adanya kepala daerah yang diusung oleh partai yang bukan partai dengan kursi mayoritas di DPRD. Sebanyak 43.1 lainnya ditandai dengan adanya kepala daerah yang diusung oleh partai dengan kursi mayoritas di DPRD (lihat Grafik 1).

  Tabel 1 menyajikan secara detil pola pemerintahan di daerah pasca Pilkada menurut provinsi. Pemerintahan yang terbelah (divided government) dengan jumlah besar ditemukan di provinsi Bengkulu, Irian Jaya Barat, Kali- mantan Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Barat. Sementara peme- rintahan yang tidak terbelah (unified government) dengan jumlah besar ditemukan di provinsi Jawa Timur, Kepu- lauan Riau dan Nusa Tenggara Barat. Tabel 2 menya- jikan contoh divided dan unified government di wilayah provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Timur.

  Fenomena divided government ini merupakan konse- kuensi dari pemilihan langsung, dimana anggota legislatif (DPRD) dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh pemilih. Fenomena ini kurang terlihat dalam sistem pemi- lihan tidak langsung—dimana kepala daerah dipilih oleh

  anggota DPRD. Dalam sistem pemilihan tidak langsung, kemungkinan besar kepala daerah berasal dari partai dengan kursi mayoritas di DPRD. Jika tidak ada politik uang dan suara anggota DPRD dari partai solid, calon yang didukung oleh partai mayoritas itu hampir bisa dipastikan akan terpilih sebagai kepala daerah.

  Fenomena divided government kerap dikaitkan dengan kecenderungan pemilih untuk memilih calon dari partai yang berbeda untuk beberapa jenis pemilihan (split-ticket voting). Di sini, pemilih membagi suara (split) untuk bebe- rapa posisi. Untuk pemilihan anggota legislatif, pemilih memilih partai A, sementara untuk pemilihan kepala daerah, pemilih memilih calon yang didukung oleh partai

  B, dan seterusnya. Akibat logis dari pembagian suara (split) itu adalah adanya dua kekuasaan yang dikuasai oleh partai yang berbeda. Misalnya, untuk kekuasaan eksekutif dikuasai oleh partai A, sementara untuk kekua- saan pembuatan legislasi (legislatif) dikuasai partai B.

  Dalam literatur perilaku pemilih (voter behavior), kecen- derungan pemilih untuk membagi suara dan berakibat pada terjadinya divided government ini umumnya dijelaskan lewat dua penjelasan utama.

  Pertama, penjelasan non intensional. Adanya peme- rintahan yang terbelah adalah akibat logis dari sistem pemilihan yang memilih orang, dan bukan partai. Pemilih lebih mengevaluasi kandidat (baik anggota legislatif ataupun kepala daerah) daripada partai pendukung. Pemilih akan memilih kandidat yang disukai tanpa mem- perhitungkan asal partai dari kandidat tersebut. Ini meng- akibatkan terjadinya kemungkinan dimana pemilih

  Keterangan : Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Hingga Desember 2006, menurut Depertemen Dalam Negeri ( www.depdagri.go.id), Pilkada telah dilangsungkan di 296 wilayah di seluruh Indonesia. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

  Grafik 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada

  Divided Government

  Unified Government

  KAJIAN BULANAN

  Tabel 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada Menurut Provinsi

  PROVINSI

  Divided Government

  Unified Government

  Bangka Belitung

  Daerah Istimewa Yogyakarta

  Irian Jaya Barat

  Jawa Barat

  Jawa Tengah

  Jawa Timur

  Kalimantan Barat

  Kalimantan Selatan

  Kalimantan Tengah

  Kalimantan Timur

  Kepulauan Riau

  Maluku Utara

  Nanggroe Aceh Darussalam

  Nusa Tenggara Barat

  Nusa Tenggara Timur

  Sulawesi Barat

  Sulawesi Selatan

  Sulawesi Tengah

  Sulawesi tenggara

  Sulawesi Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Sumatera Utara

  Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

  LINGKARAN SURVEI INDONESIA

  Tabel 2: Contoh Divided Government dan Unified Government di Provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Timur

  Kursi Partai

  Partai

  Kursi Partai

  Kabupaten

  Kursi di

  Kepala Daerah

  di DPRD

  Jumlah

  Persen

  Jumlah Persen

  Bengkulu

  Prov. Bengkulu

  Kab.Kaur

  25 Golkar

  4 16 PDIP, PKPB, P. Pelopor, PPD dan PKPI

  Kab. Seluma

  Kab. Muko-Muko

  25 Golkar

  4 16 PDIP dan PKS

  Kab. Lebong

  20 Golkar

  5 25 PPP, PBB

  Kab. Kepahiang

  25 Golkar

  8 32 PDIP dan PPP

  Kab. Rejang Lebong

  30 Golkar

  11 37 PKPB, PAN, PBR

  Kab. Bengkulu Utara

  Kab. Sumba Timur

  Kab. Sumba Barat

  Kab. Flores Timur

  30 Golkar

  7 23 PPDI, Demokrat, PKS, PBSD

  Kab. Timor Timur Utara

  Kab. Lembata

  Kab. Ngada

  30 Golkar

  7 23 PD, PAN, PKPI

  Kab. Manggarai

  40 Golkar

  11 28 PKB, PD, PPDI, PNBK, PAN

  Kab. Manggarai Barat

  25 PDIP

  5 20 PPDK, PD, PKB, PNBK, PBB, PPD, PKS, PDS

  Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia. memilih anggota legislatif dari partai A, dan kepala daerah

  pa partai. Penjelasan mana yang lebih sesuai dalam

  dari partai B.

  konteks Indonesia, tentu perlu penelitian tersendiri.

  Kedua, penjelasan intensional. Penjelasan ini umumnya

  Efektivitas Pemerintahan di Daerah

  bersumber dari pendekatan-pendekatan rasional

  Fenomena divided government penting dibahas karena

  (ekonomi politik) dalam studi mengenai perilaku pemilih.

  berhubungan dengan efektivitas pemerintahan di daerah

  Tindakan pemilih dalam membagi suara (split) di sini

  pasca Pilkada. Apakah pemerintahan berjalan secara

  dipahami sebagai sikap rasional dan sengaja (purposif)

  efektif, berbagai kebijakan pembangunan bisa dijalankan

  dari pemilih. Sebelum masuk ke bilik suara pemilih

  ataukah justru pemerintahan di daerah diwarnai dengan

  memang secara sadar berusaha membagi suara agar

  konflik yang berkepanjangan—terutama antara kepala

  kekuasaan tidak berpusat kepada salah satu partai.

  derah dengan DPRD.

  Pemilih berusaha untuk menciptakan keseimbangan, dan

  Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

  itu bisa diperoleh jika kekuasaan tersebar pada bebera-

  Daerah (UU Pemda), memberi kekuasaan yang besar

  KAJIAN BULANAN

  pada DPRD. Paling tidak terdapat tiga hubungan antara Secara teoritis, pemerintahan dengan pola unified

  DPRD dengan kepala daerah. 1 Pertama, hubungan dalam government relatif lebih efektif dibandingkan dengan

  konteks legislasi. Hubungan antara kedua lembaga pemerintahan dengan pola divided government. Pada negara di sini adalah pada saat membuat peraturan pemerintahan yang terbelah (divided government) daerah (Perda). Kedua lembaga sama-sama berhak potensial terjadi konflik—terutama apabila antara DPRD untuk membuat perda (Pasal 140 ayat 1). Tetapi pada dan kepala daerah tidak sejalan. Baik dalam hal anggaran, saat pembahasan tentang perda yang substansinya pembuatan peraturan daerah hingga pengawasan, sama maka yang harus didahulukan adalah perda yang potensial terjadi konflik antara DPRD dengan kepala dibuat oleh legislatif, sedangkan perda yang dibuat oleh daerah. Kalangan DPRD bisa terus menerus memper- eksekutif sebagai bahan perbandingan (Pasal 140 ayat soalkan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah. DPRD 2). Sebisa mungkin, sebuah perda memiliki kandungan juga bisa tidak menyetujui anggaran (APBD) yang diajukan filosofis, sosiologis, yuridis; atau dalam bahasa hukum oleh kepala daerah, sehingga berbagai kebijakan yang seperti yang tertera dalam Pasal 137 - syarat perda dan telah dirancang oleh kepala daerah bisa terbengkalai. Pasal 138 - asas perda). Sementara satu-satunya perda Jika kepala daerah tidak bisa menyelesaikan masalah yang dibuat oleh pemda yang juga dibahas bersama dengan DPRD, pemerintahan akan terus menerus DPRD adalah perda tentang Anggaran dan Pendapatan diwarnai oleh konflik berkepanjangan. Belanja Daerah (ABPD) (Pasal 181).

  Salah satu ilustrasi dari konflik antara kepala daerah

  Kedua, hubungan dalam konteks anggaran. Semua dengan DPRD adalah apa yang terjadi di Kabupaten urusan pemerintahan di daerah didanai oleh APBD. APBD Banyuwangi. Selama masa pemerintahan, bupati Ratna tersebut harus mendapat persetujuan dari DPRD karena Ani Lestari tidak bisa berkonsentrasi dalam menjalankan APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah program kerja akibat konflik yang berkepanjangan dengan (Pasal 179) dalam melakukan pelayanan publik dalam DPRD. Bahkan berkali-kali anggota DPRD berencana masa satu tahun anggaran. Eksekutif kendati memiliki memberhentikan (impeach) bupati. Kursi di DPRD ma- hak untuk membuatnya, tidak berarti harus menafikan yoritas dikuasai oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama (Pasal Dari 45 kursi yang ada, PKB menguasai 16 kursi. Dalam 181). Dengan demikian keterlibatan DPRD di sini adalah pemilihan kepala daerah, Ratna Ani Lestari didukung membahas atau memberikan persetujuan atas ran- oleh partai kecil yang tidak mempunyai kursi di DPRD— cangan APBD yang dibuat oleh eksekutif (Pasal 42 b). PAN, PBR, PNBK dan sejumlah partai lain. Dalam kondisi Walau akhirnya, eksekutif merupakan pemegang kekua- seperti ini berbagai program kepala daerah bisa diganjal saan pengelolaan keuangan daerah (Pasal 156 ayat 1).

  oleh DPRD. Lebih lanjut mengenai kecenderungan konflik pasca Pilkada, terutama di Kabupaten Banyuwangi, lihat

  Ketiga, hubungan dalam konteks pengawasan. Peng- dalam tulisan 2 dalam newsletter ini (Fluktuasi Hubungan awasan yang dilakukan oleh DPRD sebenarya meru- Lembaga Politik dan Birokrasi Pasca Pilkada). pakan manifestasi dari mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi. Beberapa fungsi pengawasan Besar kecilnya potensi konflik antara kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD tersebut adalah sebagai dengan DPRD ini tergantung kepada dua hal. Pertama, berikut: a) mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan kemampuan kepala daerah dalam menjalin hubungan perundang-undangan lainnya, b) mengawasi pelaksa- dengan DPRD. Jika kepala daerah bisa melakukan komu- naan keputusan pemerintah daerah (gubernur, bupati nikasi (lobi) dengan anggota DPRD, potensi konflik ini walikota), c) mengawasi pelaksanaan APBD, d) meng- bisa diredam. Kedua, dukungan kursi minimal yang awasi kebijakan pemerintah daerah, dan e) mengawasi dipunyai, terutama dari partai pendukung kepala daerah. pelaksanaan kerja sama internasional di daerah (Pasal Dalam perjalanannya, kepala daerah memang bisa

  42 ayat 1 huruf c), serta mengawasi KPUD dalam penye- mendapat dukungan dari partai lain. Tetapi paling tidak

  lenggaraan pemilihan kepala daerah. 2 dukungan minimal bisa didapatkan dari partai pendukung

  1 Uraian dan penjelasan mengenai hubungan antara kepala daerah dan DPRD ini disarikan dari sejumlah bahan, diantaranya Lexy Armanjaya, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari 2007; Budiman Rusli,” Hubungan DPRD - Kepala Daerah Pasca-Pilkada Langsung”, Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005.

  2 Ketika DPRD melakukan tugas-tugas pengawasan tersebut dan ternyata banyak hal yang diharapkan tidak terlaksana dengan baik oleh eksekutif maka DPRD dapat menggunakan hak-haknya seperti pada Pasal 43 ayat (1) yaitu hak menyatakan pendapat, hak interpelasi dan hak angket. Penggunaan ketiga hak ini oleh DPRD memungkinkan pemerintah daerah di-impeach. Sehingga

  kemungkinan munculnya implikasi negatif dari pemberian hak yang sangat besar kepada DPRD (legislative heavy) juga perlu mendapat perhatian, yaitu kemungkinan terjadinya “konflik” yang berkepanjangan antara kepala daerah dan DPRD.

  LINGKARAN SURVEI INDONESIA

  Grafik 2: Apakah Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD?

  Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih

  Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih

  Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD

  Tidak Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD

  Keterangan: Yang dimaksud kursi mayoritas di sini adalah jumlah kursi di atas 50 persen dari total kursi di DPRD. Untuk kepala daerah yang didukung oleh koalisi partai, perolehan kursi dibuat dengan menjumlah kursi dari semua partai anggota koalisi. Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia

  saat pencalonan dalam pemilihan kepala daerah. Yang

  DPRD. Yang menarik, sebanyak 9.66 wilayah ditandai

  menarik, dari 290 wilayah yang telah melangsungkan

  oleh kekuatan partai yang sangat lemah—jumlah kursi di

  Pilkada hingga Desember 2006, sebagian besar ditandai

  DPRD di bawah 15. 3

  dengan fakta bahwa partai pendukung kepala daerah tidak menguasai kursi mayoritas di DPRD. Sebanyak

  Tabel 4 merinci lebih lanjut kekuatan kursi partai

  86.21 dari wilayah yang telah melangsungkan Pilkada,

  pendukung kepala daerah terpilih ini menurut provinsi.

  partai pengusung kepala daerah tidak mempunyai kursi

  Besar kecilnya kekuatan partai pendukung di DPRD ini

  mayoritas di DPRD (Lihat Grafik 2). Tabel 3 merinci lebih

  menentukan potensi besar kecilnya konflik dan pola

  lanjut mengenai kursi di DPRD ini menurut provinsi.

  hubungan antara kepala daerah dengan DPRD. Kepala daerah yang didukung oleh partai dengan kursi minoritas

  Jika partai atau koalisi partai pendukung kepala daerah

  di DPRD harus siap-siap konflik dengan DPRD.

  tidak mengusai mayoritas kursi di DPRD, lalu seberapa besar kekuatan dari partai penyokong kepala daerah ini?

  Pola Akomodasi dan Konsolidasi

  Grafik 3 memperlihatkan kekuatan kursi yang dipunyai

  Tulisan ini hanya memfokuskan pada potensi konflik yang

  oleh partai penyokong kepala daerah di DPRD. Dari grafik

  mungkin terjadi akibat pemerintah di daerah yang terbelah

  ini terlihat, sebagian besar (45.52), wilayah yang telah

  —dimana kepala daerah dan mayoritas kursi di DPRD

  melangsungkan Pilkada ditandai dengan kenyataan partai

  dikuasai oleh partai yang berbeda. Apakah pemerintahan

  penyokong kepala daerah mempunyai kekuatan lemah—

  daerah yang mengalami divided government cenderung

  dengan jumlah kursi di DPRD antara 15 hingga 30 persen.

  tidak stabil kondisi politiknya, perlu penelitian lebih lanjut.

  Ini menunjukkan, pasca Pilkada di banyak wilayah poten-

  Tidak selamanya wilayah yang mengalami unified

  sial terjadi konflik antara kepala daerah terpilih dengan

  government, politik lokal akan stabil. Sebaliknya, tidak

  3 Ini terjadi di sejumlah wilayah. Sebagai ilustrasi sebagai berikut. Di Kabupaten Belitung Timur, partai pendukung kepala daerah (PIB, PNBK) hanya menguasi 3 kursi (15) dari total kursi DPRD. Di Kabupaten Banyuwangi, partai pendukung kepala daerah bahkan

  tidak mempunyai satu pun kursi di DPRD. Di Kota Tomohan, kepala daerah didukung oleh partai dengan kursi minoritas di DPRD (PNIM, PNBK, PKPB, PPD dan P. Pancasila). Total kursi dari partai-partai ini adalah 2 kursi (10) dari total 21 kursi di DPRD Kota Tomohon. Di Kabupaten Seram Bagian Timur juga demikian. Partai pendukung kepala daerah (PKS, PKPB, PKPI) hanya mempunyai

  2 kursi (10) dari keseluruhan kursi di DPRD. Di Kabupaten Rembang, kepala daerah terpilih didukung oleh PAN dan partai kecil lain, yang total hanya menguasai 2 kursi (4) dari total kursi di DPRD yang mencapai 45 kursi. Di Kabupaten Dompu, dari total 21 kursi di DPRD, hanya 3 kursi saja yang dikuasai oleh partai pendukung kepala daerah (Golkar). Di Kabupaten Bulukumba juga demikian. Kepala daerah terpilih hanya didukung oleh partai yang menguasai 14 persen (5 kursi) kursi di DPRD—dalam hal ini PDIP dan PBB.

  KAJIAN BULANAN

  Tabel 3: Kursi Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Menurut Provinsi

  Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Mempunyai Kursi

  Tidak Mempunyai Kursi

  PROVINSI

  Mayoritas di DPRD

  Bangka Belitung

  Daerah Istimewa Yogyakarta

  Irian Jaya Barat

  Jawa Barat

  Jawa Tengah

  Jawa Timur

  Kalimantan Barat

  Kalimantan Selatan

  Kalimantan Tengah

  Kalimantan Timur

  Kepulauan Riau

  Maluku Utara

  Nanggroe Aceh Darussalam

  Nusa Tenggara Barat

  Nusa Tenggara Timur

  Sulawesi Barat

  Sulawesi Selatan

  Sulawesi Tengah

  Sulawesi tenggara

  Sulawesi Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Sumatera Utara

  Keterangan: Yang dimaksud kursi mayoritas di sini adalah jumlah kursi di atas 50 persen dari total kursi di DPRD. Untuk kepala daerah yang diukung oleh koalisi partai, perolehan kursi dibuat dengan menjumlah kursi dari semua partai anggota koalisi. Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia

  LINGKARAN SURVEI INDONESIA

  Grafik 3: Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih di DPRD

  Sangat lemah

  Sangat kuat

  (Jumlah kursi

  (Jumlah kursi

  (Jumlah kursi

  (Jumlah kursi

  (Jumlah kursi

  di DPRD <15)

  di DPRD 15-30)

  di DPRD 31-45)

  di DPRD 46-60)

  di DPRD >60)

  Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

  selamanya juga wilayah dengan kondisi divided

  dari legislatif. Kepala daerah hasil Pilkada meski didukung

  government, pasti kondisi politik lokal tidak stabil (terjadi

  oleh minoritas partai politik di DPRD, tetap mempunyai konflik antara kepala daerah dengan DPRD). 4 kesempatan besar mendapat dukungan dai DPRD asal bisa berkomunikasi dengan baik, melakukan konsensus.

  Tulisan ini hanya memperlihatkan adanya potensi

  Mengapa? Hal ini karena partai pemenang Pemilu

  masalah yang harus dihadapi oleh kepala daerah terpilih

  Legislatif sebenarnya juga tidak menguasai mayoritas

  hasil Pilkada. Tetapi pada akhirnya, keberhasilan dan

  kursi di DPRD. Dalam sistem multi partai, kursi di DPRD

  efektifitas pemerintahan lebih ditentukan oleh kemam-

  dikuasi oleh banyak partai, sehingga antara kepala daerah

  puan kepala daerah dalam menjalin komunikasi dengan

  dengan partai terbesar di DPRD sebenarnya tidak

  DPRD. Konflik harus dipahami secara sehat sebagai

  berhadapan secara diametral.

  bagian dari kritik dan chek and balances kekuasaan.

  Grafik 4 memperlihatkan dengan jelas kondisi tersebut.

  Kepala daerah harus melihat kondisi divided government

  Dari grafik ini terlihat, pemenang Pemilu Legislatif

  ini tidak hitam putih. Lobi dan komunikasi dengan anggota

  sebagian besar hanya menguasai antara 15-30 kursi

  DPRD bisa dilakukan agar program dan kebijakan bisa

  di DPRD. Ini berarti kekuatan pemenang Pemilu Legislatif

  dijalankan dengan baik. Sistem politik yang multi partai

  juga lemah di DPRD. Baik partai pemenang pemilu

  seperti di Indonesia sebenarnya memberi kesempatan

  legislatif maupun partai pendukung kepala daerah harus

  luas kepada kepala daerah untuk mendapatkan dukungan

  bekerjasama atau koalisi dengan partai lain dalam

  4 Jika melihat pengalaman beberapa negara yang mengalami divided government, tidaklah otomatis divided government selalu menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif. Di Amerika Serikat, selama 50 tahun lebih, hampir semua pemerintahan hidup dalam

  divided government. Ternyata mereka mampu bekerja sama dengan Kongres yang dikuasai partai oposisi untuk menghasilkan berbagai agenda penting. Presiden Bill Clinton (Partai Demokrat), misalnya, bersama Kongres yang mutlak dikuasai Partai Republik berhasil melahirkan UU untuk besar-besaran mereformasi welfare system. Presiden Ronald Reagan (Republikan) bersama Kongres yang dikuasai Partai Demokrat mampu menghasilkan sistem perpajakan yang dipakai hingga kini. UU Udara Bersih, yang didorong Presiden Richard Nixon (Republikan) juga dihasilkan ketika Kongres dikuasai Partai Demokrat. Suatu penelitian yang dilakukan Joseph Klesner (profesor di Kenyon College, Ohio, AS) atas divided government pada periode Kepresidenan Ernesto Zedillo (1997- 2000) menunjukkan, pemerintah dapat membangun koalisi temporer dengan partai-partai oposisi berdasar isu-isu tertentu. Penelitian lain yang dilakukan Benito Nacif, peneliti di lembaga think thank di Meksiko bernama CIDE, atas periode kepresidenan Vincente Fox 2000-2003 juga menunjukkan pemerintah dan partai yang berseberangan tetap bisa bekerja sama dan membangun koalisi berdasar isu-isu. Dikutip dari Bara Hasibuan, “ Pemerintahan Yang Terbelah”, Kompas, 7 Agustus 2003.

  KAJIAN BULANAN

  Tabel 4: Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih di DPRD Menurut Provinsi

  Lemah (Jumlah Kursi

  Sedang (Jumlah Kursi

  Kuat (Jumlah Kursi

  PROVINSI

  di DPRD < 30)

  di DPRD 31-45)

  di DPRD >45) Total

  Bangka Belitung

  Irian Jaya Barat

  Jawa Barat

  Jawa Tengah

  Jawa Timur

  Kalimantan Barat

  Kalimantan Selatan

  Kalimantan Tengah

  Kalimantan Timur

  Kepulauan Riau

  Maluku Utara

  Nusa Tenggara Barat

  Nusa Tenggara Timur

  Sulawesi Barat

  Sulawesi Selatan

  Sulawesi Tengah

  Sulawesi tenggara

  Sulawesi Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Sumatera Utara

  Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

  LINGKARAN SURVEI INDONESIA

  Grafik 4: Perbandingan Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih dan Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD

  Sangat lemah

  Sangat kuat

  (Jumlah kursi

  (Jumlah kursi

  (Jumlah kursi

  (Jumlah kursi

  (Jumlah kursi

  di DPRD <15)

  di DPRD 15-30)

  di DPRD 31-45)

  di DPRD 46-60)

  di DPRD >60)

  Kursi Partai Pemenang Pilkada di DPRD Kursi Partai Pemenang Pemilu Legilatif di DPRD

  Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

  menggolkan suatu kebijakan. Tabel 5 merinci kekuatan

  tidak mendapat dukungan di legislatif ingin memperluas

  partai pemenang Pemilu Legislatif menurut partai politik.

  dukungan dari partai dengan menempatkan orang-orang

  Tabel 6 merinci kekuatan partai pemenang Pemilu Legis-

  partai atau orang yang didukung oleh partai di jajaran

  latif menurut provinsi.

  birokrasi. Kepala derah umumnya “bagi-bagi jabatan” kepada orang dari partai politik. Penempatan orang-orang

  Masalahnya, banyak kepala daerah yang melihat divided

  partai di jajaran birokrasi ini juga untuk menegaskan

  government ini sebagai monster yang menakutkan dan

  kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah adalah

  harus dihindari dengan segala cara. Jika pemerintah tidak

  tanggungjawab bersama, tidak bisa ditimpakan kepada

  didukung kekuatan mayoritas di legislatif, dikhawatirkan

  satu orang. 5

  pemerintahan tidak lancar dan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi

  Kedua, memberikan insentif kepada anggota legislatif—

  suasana politik di banyak daerah. Akibatnya, banyak kepala

  bisa berupa kenaikan gaji, pemberian tunjangan, tam-

  daerah melakukan politik akomodasi yang tidak sehat.

  bahan fasilitas dan sebagainya—yang dananya didapat- kan dari APBD. Kerap kali terjadi, berbagai fasilitas dan

  Ada beberapa politik akomodasi yang kerap dilakukan.

  tunjangan ini diusulkan oleh kepala daerah. Pola ako-

  Pertama, membagi-bagi kekuasaan di daerah kepada

  modasi ini dimaksudkan agar anggota DPRD tidak kritis

  orang-orang yang dekat dengan partai. Terpilihnya kepala

  dengan apa yang dilakukan oleh kepala daerah. Ketiga,

  daerah baru kerap diikuti dengan gerbong mutasi kepala

  melakukan sogokan kepada anggota legislatif atau korup-

  dinas-kepala dinas. Tujuannya jelas, kepala daerah yang

  si yang dilakukan secara bersama-sama. Ini umumnya

  5 Pola ini bukan khas politik lokal tetapi juga nasional. Agar pemerintahannya didukung oleh partai besar, Presiden Susilo Bambang Yuhoyono membentuk kabinet yang terdiri dari orang dari beragam partai. Tujuannya jelas, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh

  pemerintah nantinya didukung minimal tidak diganggu gugat oleh partai-partai di parlemen.

  KAJIAN BULANAN

  Tabel 5: Kekuatan Kursi Partai Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD

  Lemah (Jumlah Kursi

  Sedang (Jumlah Kursi

  Kuat (Jumlah Kursi

  PARTAI

  di DPRD < 30)

  di DPRD 31-45)

  di DPRD >45) Total

  Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

  terjadi saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Be-

  Governance, Jakarta, Partnership for Governance

  lanja daerah (APBD). Kepala daerah umumnya mengalo-

  Reform in Indonesia, 2004.

  kasikan anggaran untuk anggota legislatif dengan tujuan

  Armanjaya, Lexy, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala

  agar rancangan APBD diterima oleh DPRD. 6 Jika ini yang

  Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari 2007

  terjadi divided government bukan melahirkan chek and

  Hasibuan, Bara, “ Pemerintahan Yang Terbelah”, Kompas,

  balances, sebaliknya melahirkan korupsi dan nepotisme

  7 Agustus 2003.

  bersama. (Eriyanto)

  Lewis-Beck, Michael and Richard Nadeau, “Split-Ticket Voting: The Effect of Cognitive Madisonianism”, The

  Daftar Pustaka

  Journal of Politics, Vol. 65, No. 1, February 2004.

  Alvarez, Michael and Matthew M. Schousen, “Policy

  Roscoe, Douglas D.,” The Choosers or the Choice? Voter

  Moderation or Conflicting Expectations: Testing the

  Characteristics and the Structure of Electoral

  Intentional Models of Split-Ticket Voting”, American

  Competition as Explanations for Ticket Splitting”, The

  Politics Quarterly, Vol. 21, No. 4, Oktober, 1993.

  Journal of Politics, Vol. 65, No. 4, November, 2003.

  Anugrah, Panji, “ Pilkada Langsung dan Mitos Good

  Rusli, Budiman, “ Hubungan DPRD - Kepala Daerah

  Governance”, dalam Pheni Chalid (ed), Pilkada

  Pasca-Pilkada Langsung”, Pikiran Rakyat, 27 Juni

  Langsung: Demokratisasi daerah dan Mitos Good

  6 Lihat Panji Anugrah, “ Pilkada Langsung dan Mitos Good Governance”, dalam Pheni Chalid (ed), Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Jakarta, Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2004.

  LINGKARAN SURVEI INDONESIA

  Tabel 6: Kekuatan Kursi Partai Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD Menurut Provinsi

  Lemah (Jumlah Kursi

  Sedang (Jumlah Kursi

  Kuat (Jumlah Kursi

  PROVINSI

  di DPRD < 30)

  di DPRD 31-45)

  di DPRD >45) Total

  Bangka Belitung

  Irian Jaya Barat

  Jawa Barat

  Jawa Tengah

  Jawa Timur

  Kalimantan Barat

  Kalimantan Selatan

  Kalimantan Tengah

  Kalimantan Timur

  Kepulauan Riau

  Maluku Utara

  Nusa Tenggara Barat

  Nusa Tenggara Timur

  Sulawesi Barat

  Sulawesi Selatan

  Sulawesi Tengah

  Sulawesi tenggara

  Sulawesi Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Sumatera Utara

  Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

  KAJIAN BULANAN

Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik (Eksekutif-Legislatif) dan Birokrat Pasca Pilkada

  efektif. Melalui Pilkada, rakyat memiliki kesempatan lebih luas untuk C

  ITA-CITA utama adanya penyelenggaraan Pilkada secara langsung adalah terpilihnya sebuah struktur politik lokal yang demokratis dan sistem pemerintahan yang mampu berjalan secara

  menentukan pasangan pemimpin eksekutif sesuai dengan yang dikehendaki. Harapan terbesar tentunya para pemimpin yang terpilih melalui Pilkada agar mampu menjalankan fungsi dan perannya dalam berbagai kebijakan publik dengan lebih optimal.

  Apa yang terjadi jika pasangan bupatiwakil bupati, walikotawakil walikota, gubernurwakil gubernur, DPRD dan birokrasi serta masyarakat terus mengalami keretakan hubungan internal, eksternal, vertikal dan horizontal? Kondisi inilah yang seringkali mewarnai relasi kekuasaan Pasca Pilkada. Ada beberapa fenomena yang kerapkali terjadi. Pertama, keretakan internal terjadi ketika kedua pasangan tersebut tidak lagi harmonis. Kedua, keretakan eksternal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya mengalami ketegangan dan konflik dengan pimpinan DPRD atau pihak DPRD. Ketiga, keretakan vertikal terjadi ketika kedua pasangan tersebut mengalami ketegangan dan konflik dengan pimpinan birokrasi dan struktur birokrasi di semua lapisan. Keempat, keretakan horizontal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya terus menerus mendapatkan desakan mundur (deligitimasi) oleh publik.

  KEEMPAT model keretakan, ketegangan dan keterbelahan

  keterbelahan yang melibatkan eksekutif-legislatif dan

  inilah yang akan menjadi ulasan dalam artikel ini. Kasus

  birokrasi yang terus berlangsung pasca Pilkada.

  pasca Pilkada di Kabupaten Banyuwangi dan Kota Depok akan disajikan untuk menggambarkan bagaimana model-

  Pasca Pilkada, tidak semua daerah mampu meng-

  model keretakan dan ketegangan yang melibatkan

  hasilkan struktur dan sistem pemerintahan yang efektif.

  eksekutif-legislatif pasca Pilkada berlangsung. Beberapa

  Padahal, Pilkada sejak semula didesain untuk melahir-

  data juga akan disajikan bagaimana potensi konflik yang

  kan sistem demokrasi pada level lokal dengan dukungan

  muncul menjelang Pilkada ikut memberikan dampak

  kinerja pemerintahan yang kuat dan efektif. Bahkan pasca

  terhadap konflik-konflik pada level aktor, kelembagaan dan

  Pilkada, di berbagai daerah seringkali diwarnai dengan

  konflik massa pasca Pilkada. Analisis juga memaparkan

  berbagai keretakan, ketegangan dan konflik. Hal tersebut

  bagaimana solusi yang memungkinkan untuk dilakukan

  bisa muncul baik pada level aktor politik, lembaga-

  di dalam menyikapi fenomena keretakan, ketegangan dan

  lembaga politik dan birokrasi dan masyarakat.

  LINGKARAN SURVEI INDONESIA

  Salah satu sumber keretakan, ketegangan dan konflik

  dapat dipisahkan dari model relasi kekuasaan di atas.

  pasca Pilkada yang sangat menonjol adalah antara

  Proses pilkada di Indonesia seringkali memiliki latar

  eksekutif (kepala daerahwakil kepala daerah) dengan

  belakang dan konteks ekonomi-politik yang beragam dan

  legislatif (DPRD), Parpol, NGOLSM dan massa. Feno-

  sangat kompleks. Arus kepentingan ekonomi-politik dari

  mena keretakan, ketegangan dan konflik antara lembaga-

  para aktor politik, maupun lembaga-lembaga politik yang

  lembaga politik dan masyarakat tersebut pada akhirnya

  menjadi pelaku Pilkada berdampak besar bagi muncul-

  memunculkan keterbelahan kekuasaan pemerintahan,

  nya keretakan, ketegangan dan konflik pasca Pilkada 3 .

  tidak efektif dan rentan dengan berbagai keretakan, kete- gangan dan konflik.

  Ada beberapa model keretakan, ketegangan dan konflik yang muncul pasca Pilkada. Pertama, keretakan, kete-

  Pemerintahan dengan kondisi tersebut seringkali dikenal

  gangan dan konflik di kalangan elitaktor politik. Kedua,

  dengan istilah divided government. 1 Divided government

  keretakan, ketegangan dan konflik di kalangan lembaga-

  berlangsung ketika kepala daerah atau wakil kepala dae-

  lembaga politik dan birokrasi. Ketiga, keretakan, kete-

  rah tidak berasal satu partai dengan mayoritas anggota

  gangan dan konflik pada level massa. Realitas politik di

  DPRD. Sebaliknya, united governmentunified government

  lapangan menunjukkan bahwa ketiga model keretakan,

  berlangsung ketika kepala daerah atau wakil kepala

  ketegangan dan konflik tersebut seringkali memiliki

  daerah berasal dari satu partai dengan mayoritas anggota

  keterkaitan satu sama lain. Bahkan masing-masing

  DPRD 2 . Fenomena Divided government didominasi oleh

  model ikut memberikan dampak terhadap sirkulasi

  adanya beragam keretakan, ketegangan dan konflik yang

  keretakan, ketegangan dan konflik pada masing-masing

  berlangsung pada elitaktor politik dan lembaga-lembaga

  aktorelit politik maupun pada lembaga-lembaga politik.

  birokrasi. Namun ketegangan antara elitaktor politik dan lembaga-lembaga birokrasi dengan massa juga bisa

  Ketegangan dan Konflik di Kalangan ElitAktor Politik

  memperuncing derajat keretakan, ketegangan dan konflik

  Ada beberapa model keretakan, ketegangan dan konflik

  yang berdampak pada kinerja lembaga pemerintahan dan

  pada level ini. Pertama, keretakan, ketegangan dan konflik

  sistem demokrasi di masing-masing daerah.

  antar ketuaanggota parpol (baik pada level DPDDPW dan DPC) 4 . Kedua, ketegangan dan konflik antar partai

  Fenomena keretakan, ketegangan dan konflik antar aktor

  politik. Ketiga, ketuaanggota partai politik versus ketua

  politik maupun antar lembaga politik di Indonesia tidak

  wakil ketua DPRD 5 .

  1 Fenomena divided government dan united government di berbagai negara demokrasi memiliki dampak terhadap efektifitas kinerja pemerintahan dan arah kebijakan publik. Secara umum, divided government berdampak pada munculnya berbagai kebijakan publik

  yang tidak responsif terhadap kebutuhan publik dan menimbulkan pola kebijakan yang tidak efektif. Sebaliknya united government— baik pada level Negara maupun pemerintahan lokalfederal—akan memberikan dampak berlangsungnya sistem pemerintahan yang lebih efektif dan kebijakan yang mampu merespon kebutuhan, keinginan dan tuntutan publik. Lebih lanjut tentang hal ini lihat dalam John J. Coleman, “Unified Government, Divided Government, and Party Responsiveness”, The American Political Science Review, Vol. 93, No. 4, Desember 1999, pp. 821-835. Bandingkan dengan William Niskanen (2003), A Case for Divided Government, dalam http:www.cato.orgdailys05-07-03.html. Selain itu, lihat juga dalam Stephen Slivinski (2005), Would Divided Government Be Better?, dalam http:www.cato.orgpub_display.php?pub_id=6650. 2 Fenomena divided government dan united government telah berlangsung di berbagai negara yang menerapkan demokrasi langsung dalam pemilihan eksekutif (kepala daerah dan wakil kepala daerah) dan legislatif (senate dan house of representative). Studi komparasi tentang fenomena divided government dan united government di Amerika Serikat, Ekuador, Meksiko, Finlandia, Perancis, Polandia, Denmark, Jerman dan Irlandia lihat dalam Robert Elgie (Eds), Divided Government in Comparative Perspective. Robert Dublin City University, Ireland, 2001 3 Kuatnya warisan struktur sosial feodal dan rejim oligarki di daerah menjadikan proses demokrasi didominasi oleh kepentingan ekonomi-politik para elit. Otonomi daerah bahkan menciptakan ruangan bagi perjuangan kepentingan individu elit daerah. Syarif Hidayat (2006) melihat ada tiga bentuk kepentingan individu para elit lokal. Pertama, kepentingan ekonomi (seeking economic ends). Kedua, kepentingan untuk pengembangan karier (career advancement). Ketiga, kepentingan untuk sponsor politik (political sponsorship). Lihat Syarif Hidayat “Mencari Terapi Pilkada Terbaik”, Batam Pos, 26 Agustus, 2006. 4 Keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini biasa berlangsung sejak menjelang pencalonan hingga pasca pencalonan dalam Pilkada. Salah satu contoh di sini misalnya konflik terjadi antara DPC Partai Demokrat Kota Semarang dan DPD Partai Demokrat Jawa Tengah. Dalam hal ini terjadi silang pendapat menyangkut kepengurusan partai dalam mengusung calon wali kota Semarang. Contoh lainnya misalnya, konflik dalam tubuh DPC PDI-P Boyolali. Hal ini dilatarbelakangi kondisi politik dimana Antara DPC dan sebagian besar PAC terjadi ketidaksepakatan menyangkut calon bupati yang akan mereka ajukan. 5 Hal ini banyak terjadi di berbagai daerah pasca pilkada. Salah satunya misalnya di Kabupaten Banyuwangi. Jajaran pimpinan dan fraksi-fraksi di DPRD menyimpulkan kinerja Bupati Ratna Ani Lestari tidak efektif dan ditolak oleh masyarakat. Oleh karena itu mereka mendukung bupati secara legowo mengundurkan diri (Tempointeraktif, 4 Mei 2006).

  KAJIAN BULANAN

  Keempat, keretakan, ketegangan dan konflik antara

  partisipasi dan kompetisi politik secara formal sudah

  kepala daerahwakil kepala daerah 6 . Kelima, keretakan,

  terbangun. Kedua, konsep-konsep demokrasi elektoral

  ketegangan dan konflik antara kepala daerahwakil kepala

  beresiko menimbulkan potensi kekeliruan elektoralisme.

  daerah versus ketua partai politik 7 . Keenam, ketegangan

  Kekeliruan elektoralisme ini terjadi ketika konsep itu

  dan konflik antara kepala daerah wakil kepala daerah

  mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain,

  versus tokoh-tokoh masyarakat. Ketujuh, ketegangan dan

  dan mengabaikan kemungkinan yang bisa ditimbulkan

  konflik antara pimpinan KPUD, DPRD dan pimpinan partai

  pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian

  politik 8 .

  masyarakat tertentu untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepen-

  Keretakan, ketegangan dan konflik di atas terus menerus

  tingannya, atau menciptakan arena-arena pembuatan

  tidak lepas dari proses politik yang terjebak dalam

  kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat

  perangkap demokrasi elektoral. Demokrasi elektoral

  terpilih 10 .

  merupakan konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat. Pasca Pilkada

  Ketiga, optimisme yang menggebu dari konsep

  langsung dalam kadar tertentu elit politik seringkali terpe-

  demokrasi elektoral dalam menciptakan kepastian-

  rangkap demokrasi elektoral. Di kalangan aktor politik

  kepastian membuat konsep ini mengabaikan faktor-faktor

  masing-masing daerah ada kecenderungan kuat dimana

  di luar dimensi pemilu dan partai politik, seperti budaya

  dalam merumuskan makna demokrasi para aktor politik

  politik dan legitimasi demokrasi. Keempat, demokrasi

  selalu merujuk pada tiga hal yang paling elementer;

  elektoral cenderung formalis dan prosedural sehingga

  partisipasi, kompetisi dan liberalisasi. Akibatnya fluktuasi

  gagal untuk menjelaskan kemunculan bentuk-bentuk

  relasi kekuasaan terus menerus terjadi di tengah berbagai

  partisipasi dan kompetisi semu 11 .

  ketidakpuasan hasil Pilkada dan model kepemimpinan politik dari pejabat publik yang telah terpilih.

  Ketegangan dan Konflik di Kalangan Lembaga Politik dan Birokrasi

  Trend menguatnya penekanan yang berlebihan pada

  Ketegangan dan konflik yang berlangsung dalam

  elektoralisme menimbulkan beberapa kosekuensi 9 .

  lembaga-lembaga politik (eksekutif dan legislatif) dan

  Pertama, demokrasi seolah-olah sudah selesai untuk

  birokrasi pada umumnya berlangsung secara kompleks.

  dibicarakan ketika sistem pemilihan yang menjamin

  Masing-masing kelembagaan politik memiliki derajat

  6 Keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini kecenderungan kuat berlangsung di kalangan pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki latarbelakang partai politik, latarbelakang kepentingan ekonomi-politik dan latarbelakang personalitas

  yang berbeda. Latarbelakang partai politik (dukungan politik) dan latar belakang kepentingan ekonomi-politik merupakan faktor yang cukup menonjol dibalik keretakan, ketegangan dan konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. 7 Fenomena ketegangan dan konflik ini pada umumnya berlangsung ketika pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah salah satunya atau keduanya tidak berasal dari partai politik yang dominan di DPRD atau berasal dari partai yang memiliki dukungan legislatif yang rendah. Kendatipun tidak menutup kemungkinan ada beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah, pasca Pilkada berpindah dukungan partai politik atau bahkan menjadi ketua partai yang memiliki kursi dominan di DPRD dalam rangka mendapatkan dukungan politik. 8 Konfigurasi politik seperti ini misalnya berlangsung di Kabupaten Semarang Pasca Pilkada. Beberapa anggota DPRD Kabupaten Semarang menyatakan menolak hasil pemilihan bupati 31 Juli 2005. Mereka berdalih, KPUD setempat telah melanggar hukum. Anggota DPRD yang menolak hasil pemilihan adalah Achsin Ma’ruf (Ketua FPAN) dan Bambang Kusriyanto (Wakil Ketua DPRD dari PDI Perjuangan). Menurut mereka, KPUD telah berpihak pada pasangan Bambang Guritno-Siti Ambar Fathonah, yang dicalonkan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia. KPUD meloloskan Ambar meski keabsahan ijazahnya yang dikeluarkan Pesantren Pabelan, Magelang, dipertanyakan. KPUD jugs mengundur tahapan pemilihan seperti penetapan pasangan calon yang lolos administrasi (mestinya 30 Juni menjadi 1 Juli) serta pengambilan nomor urut pasangan calon (semula 1 Juli menjadi 4 Juli) Lihat Tempo Interaktif, 5 Agustus 2005. 9 AAGA Ari Dwipayana, Pilkada Langsung otonomi Daerah, dalam http:www.bainfokomsumut.go.idopen.php?id=13db=pilkada. 10 Keyakinan mendapatkan legitimasi yang kuat bagi kalangan pejabat publik seringkali memunculkan otoritas yang luar biasa sehingga cenderung mengabaikan tuntutan publik. Hal ini membawa implikasi dimana para pejabat publik pimpinan eksekutif mengedepankan kepentingannya, kepentingan politik kelompoknya, kepentingan bisnisnya atau bahkan kepentingan keluarganya dengan mengabaikan berbagai harapan publik pasca Pilkada. 11 Kecenderungan ini menguat terutama jika pimpinan eksekutif cenderung gagal memahami aspirasi elemen-elemen politik dan masyarakat. Legitimasi yang pernah didapatkan ketika Pilkada berlangsung terus mengalami penurunan, karena sikap dan ketidakpuasan publik terhadap pimpinan eksekutif terus menguat. Potensi ketegangan, keretakan dan konflik kian terbuka, ketika pimpinan eksekutif gagal mengakomodasi kepentingan elemen-elemen politik dan masyarakat pendukungnya.

  LINGKARAN SURVEI INDONESIA

  ketegangan dan konflik satu sama lain. Selain itu, masing-

  bulkan dampak yang meluas. Padahal keterkaitan antara

  masing aktor politik yang ada di dalamnya juga ber-

  keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32

  pengaruh terhadap realitas politik yang berlangsung 12 .

  tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 19 ayat 2 bahwa keduanya sebagai mitra sejajar

  Ada beberapa model keretakan dan konflik di kalangan

  yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyeleng-

  lembaga-lembaga politik dan birokrasi. Pertama, kere-

  gara pemerintahan daerah. Itu berarti bahwa salah satu

  takan internal terjadi ketika kepala daerah dan wakil

  dari keduanya tidak boleh ada yang disubordinatkan. Tidak

  kepala daerah tersebut tidak lagi harmonis 13 . Kedua,

  ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain 17 .

  keretakan eksternal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya mengalami ketegangan dan

  Realitas politik pasca Pilkada menunjukkan, salah satu

  konflik dengan DPRD atau faksi-faksi yang ada di DPRD.

  diantaranya seringkali lebih dominan di dalam penye-

  Ketiga, keretakan vertikal terjadi ketika Kepala daerah dan

  lenggaraan pemerintahan. Bahkan perebutan otoritas

  wakil kepala daerah tersebut mengalami ketegangan dan

  seringkali terjadi terkait wewenangan dan koordinasi

  konflik dengan birokrasi di beberapa lapisan atau bahkan

  kelembagaaan dengan dinas dan badan-badan peme-

  semua lapisan. Keempat, keretakan horizontal terjadi

  rintahan daerah. Akibatnya format hubungan ideal diantara

  ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut,

  keduanya cukup sulit dilakukan.

  atau salah satunya terus menerus mendapatkan desakan

  mundur (delegitimasi) oleh publik 14 . Kelima, ketegangan

  Ketegangan dan Konflik Pada level Massa

  dan konflik antara KPUD dan Parpol, karena ketidak-

  Ketegangan dan konflik pasca Pilkada juga kadangkala

  puasan terhadap proses penyelenggaraan Pilkada 15 .

  terjadi pada level massa. Beberapa kotakabupaten yang

  Keenam, ketegangan dan konflik antara Kepala Daerah

  dilanda konflik politik horizontal seperti demonstrasi yang

  dan LSM organisasi lokal 16 .

  berbuntut pada terjadinya kerusuhan sosial sebagai bentuk protes terhadap hasil perhitungan suara pikada.

  Berbagai keretakakan, ketegangan dan konflik antara

  Adanya iklim politik yang kontroversial sangat berpengaruh

  lembaga-lembaga politik(eksekutif-legislatif) dan

  pasca diselenggarakannya pilkada langsung.

  birokrasi ini secara umum mulanya tidak nampak ke permukaan. Namun ketika skala relasi semakin mem-

  Ada beberapa fakta yang cukup signifikan terkait dengan

  buruk, ketegangan dan konflik pun seringkali menim-

  ketergangan dan konflik pasca Pilkada.

  12 Selama Pilkada gelombang pertama Juli 2005, tercatat beberapa DPRD yang enggan meneruskan hasil pilkada ke gubernur, antara lain Kabupaten Gorontalo, Banyuwangi, Padang Pariaman, Samosir, Mandailing Natal, Poso, Seram Bagian Timur, dan Manggarai.

  Sementara daerah yang masih menunggu keputusan pengadilan adalah Kabupaten Tanah Toraja, Kota Surabaya, Kota Gresik, Kabupaten Kediri, dan Kota Manado. Sedangkan Pilkada Kota Bitung diliputi permasalahan, karena DPRD menyatakan status quo terhadap keputusan KPUD yang menyatakan pencoblosan ulang di beberapa TPS bermasalah (Pikiran Rakyat, 8 September 2005) 13 Keretakan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam kadar tertentu terus berlangsung pasca Pilkada. Secara umum, tidak banyak media massa yang mengekspos fenomena tersebut. Namun rumor-rumor politik tentang keretakan hubungan antar keduanya seringkali banyak menjadi pembicaraan di kalangan birokrat, elit parpol dan para tokoh masyarakat. 14 Contoh di sini misalnya yang terjadi di Kota Surabaya, Propinsi Jawa Timur. Tanggal 12 Juli 2005, massa melakukan perusakan di gedung DPRD. Massa juga memaksa anggota dewan untuk menandatangani pernyataan yang menolak hasil penetapan pemilihan walikota (Suara Karya, 19 Juli 2005) 15 Contoh di Kabupaten Cilegon, Jawa Barat. PKS mengadukan kecurangan penghilangan suara dalam tahap pendataan pemilih di Pilkada Cilegon pada Desk Pusat Pilkada di Departemen Dalam Negeri. Sekitar 56.208 suara atau 24,3 persen dari jumlah pemilih tidak dapat memberikan suara karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap walaupun mereka menyoblos dalam Pemilu 2004 lalu (Kompas, 11 Juni 2005). Selain itu fakta serupa juga terjadi di Kota Bitung. DPRD Kota Bitung yang mementahkan keputusan KPU setempat yang telah lebih dulu menetapkan pengulangan pilkada pada 13 Agustus 2005 di 12 TPS bermasalah (Kompas, 05 Agustus 2005). 16 Kabupaten Bone Bolango, Propinsi Gorontalo, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama sejumlah warga meminta agar bupati- wakil bupati terpilih Bone Bolango yang baru saja dilantik, segera melakukan perombakan ‘kabinet‘, karena kinerja mereka selama ini dinilai tidak berhasil. Ketua LSM Walihua, Iwan Hulakati, mengatakakan, jika ingin ada perubahan dalam pemerintah dan pemba- ngunan, maka bupati-wakil bupati definitif, Ismet Mile-Mohammad Kilat Wartabone segera melakukan perombakan personil di jajaran pemerintah kabupaten setempat (Suara Merdeka, 28 September 2005) . Kasus lainnya misalnya di Kabupaten Fak-Fak, Propinsi Papua. Masyarakat adat Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua akan menolak pelantikan bupati terpilih hasil pilkada langsung 2005 karena yang bersangkutan dinilai “cacat hukum”. Penolakan terhadap Bupati terpilih Wahidin Puarada karena selama kepemimpinan sebagai bupati pada periode 2001-2005 dia dianggap banyak terlibat kasus pidana yang dilakukan(Suara Karya, 30 November 2005) 17 Lexy Armanjaya, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari, 2005.

  KAJIAN BULANAN

  nampak mencerminkan bagaimana kompleksitas kere-

  Pertama, menguatnya alienasi politik dan kekerasan

  takan, ketegangan dan konflik yang melibatkan berbagai