this PDF file Evaluasi Sistem Kompensasi Kayu Hutan Produksi pada Hak Ulayat Suku Sougbabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat | Marwa | Jurnal Ilmu Kehutanan 1 PB

Jurnal Ilmu Kehutanan
Journal of Forest Science
https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt

Evaluasi Sistem Kompensasi Kayu Hutan Produksi pada Hak Ulayat
Suku Sougb, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat
Evaluation of Compensation System of Production Forest in Communal Land Right of Sougb
Tribe, Teluk Bintuni Regency, West Papua Province
1*

Jonni Marwa & Simson Werimon
1

2

Fakultas Kehutanan, Universitas Papua, Jl. Gunung Salju Amban, Manokwari 98314

2

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Papua, Jl. Gunung Salju Amban, Manokwari 98314


*

Email: jonnimarwa@gmail.com

HASIL PENELITIAN
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 11 April 2017
Diterima (accepted): 14 September 2017

KEYWORDS
communal land right
compensation system
willingness to accept
willingness to pay
Sougb Papua nations

ABSTRACT
In West Papua Province, the compensation program was intended to solve
the conflict between local people and logging corporations. Nevertheless,
the program has not been implemented effectively. Therefore, the goal of

this study was to evaluate the compensation of communal land right of
Sougb Tribe in term of benefit flow, WTP, WTA, the mechanism as well as
the compensation policy. This research took place in Teluk Bintuni Regency
and data were collected in five villages (Kampung Bina Desa, Kampung
Lama, Tirasai, Atibo and Tihibo) as communal landowner of Sougb Tribe.
Then, the local people and corporation were purposively interviewed using
questionnaire. Data were analysed statistically and presented descriptively.
The results showed that the compensation of communal land right of Sougb
Tribe per year was IDR 293,764,482 on average; WTA of local people for
Merbau was IDR 729,032 ; and WTP of logging corporation ranged from IDR
60,000/m3 to IDR 100,000/m3. The mechanism of compensation has been
carried out for about couple of years without paying full attention to the key
criteria. Consequently, compensation policy has not been enforced fully such
as standard payment of compensation, the payment procedures, local
community development, controlling and reporting.

INTISARI
KATA KUNCI
hak ulayat
sistem kompensasi

kesediaan menerima
kesediaan membayar
Sukubangsa Soug Papua

Kompensasi di Provinsi Papua Barat merupakan upaya pemerintah
menekan konflik pemanfaatan kayu dari hutan produksi antara korporasi
dan masyarakat adat. Hanya saja dalam implementasinya sering timbul
ketidakpuasaan terhadap aliran manfaat yang diterima. Penelitian ini
bertujuan mengevaluasi sistem kompensasi kayu yang dipungut dari hak
ulayat Suku Sougb berdasarkan: aliran manfaat, nilai WTP dan WTA,
mekanisme, dan isi kebijakan kompensasi. Penelitian ini dilakukan di wilayah

74

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016

Kabupaten Teluk Bintuni khususnya pada hak ulayat masyarakat Suku Sougb
yang berdiam di Kampung Bina Desa, Kampung Lama, Tirasai, Atibo, dan
Tihibo. Obyek kajian adalah pemilik hak ulayat Suku Sougb dan pihak

perusahaan yang dipilih secara purposif. Pengambilan data dilakukan
dengan cara wawancara dengan menggunakan kuisioner. Selanjutnya data
yang terkumpul dianalis secara statistik dan disajikan secara deskriptif.
Hasil kajian menunjukkan bahwa kompensasi kayu dari hutan produksi
yang berada di wilayah hak ulayat Suku Sougb telah memberikan manfaat
rata-rata per tahun mencapai Rp. 293.764.482. Nilai WTA masyarakat adat
untuk jenis kayu merbau rata-rata total Rp. 729.032,- sedangkan WTP
perusahaan Rp. 60.000/m3 sampai Rp. 100.000/m3. Mekanisme kompensasi yang dipraktekkan selama ini dalam pengusahaan hutan produksi di
Papua Barat menunjukkan bahwa tidak satupun dari kriteria kunci yang
dilaksanakan secara utuh atau lengkap. Terdapat celah kebijakan yang
menjadi permasalahan tentang kompensasi baik pada standar pengenaan
kompensasi, prosedur dan tata cara pembayaran, serta pembinaan,
pengawasan, dan pelaporan.
© Jurnal Ilmu Kehutanan-All rights reserved

Pendahuluan

insentif,

mekanisme


pelaksanaan,

ketentuan

transparansi, dan penyelesaian perselisihan (IUCN

Kompensasi atas sumberdaya hutan merupakan

2009). Bila gagal, maka skema kompensasi yang
dibangun akan berjalan tidak adil dan tidak wajar.

salah satu bentuk pembagian manfaat yang banyak
dipraktekkan

sebagai

masalah-masalah

untuk


wilayah Papua Barat khususnya komunitas adat Suku
Sougb, salah satu suku di wilayah Kabupaten Teluk

negara-negara sedang berkembang (Nkhata et al.

Bintuni yang mengklaim sebagian wilayah hutan

2012). Walaupun demikian, sering terjadi ketidak-

produksi di distrik Bintuni dan Manimeri sebagai hak

adilan dan kerugian dalam kompensasi yang berujung

milik komunal. Masyarakat adat Sougb secara defacto

pada terciptanya konflik.

mengklaim sumberdaya hutan sebagai hak milik


ketidakadilan

dengan

Fakta seperti disebutkan di atas terjadi juga di

sosial-ekologi yang sangat kompleks terutama di

Indonesia,

terkait

mengatasi
sistem

Di

yang

sarana


dan

komunal secara turun temurun. Hak kepemilikan

kerugian
oleh

sumberdaya hutan merupakan hak milik masyarakat

masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, Dayak Meratus

adat berbasis klaim teritorial, sumberdaya alam,

di pegunungan Meratus, masyarakat Tabuyung di

penguasaan fisik, dan identitas kebudayaan (Safitri et

Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal,


al.

masyarakat Adat Kuntu di Kabupaten Kampar Kiri,

kepemilikan sumberdaya hutan di Papua menyebab-

dan

kan

kompensasi

di

Masyarakat

hutan

produksi


Warbiadi

di

dialami

Distrik

Ransiki

2014).

Kuatnya

pemerintah

klaim

Papua


adat
secara

terhadap

hak

berturut-turut

Kabupaten Manokwari Papua Barat (Wulan et al.

mengeluarkan SK. Nomor 13 tahun 2000 dan SK.

2004; Tokede et al. 2005; Rahmawati 2013). Kasus

Nomor 50 tahun 2001 tentang standar kompensasi

yang sama ditemukan juga di beberapa negara seperti

bagi Masyarakat Adat Atas Kayu yang dipungut pada

di Desa Goute dan Djemiong di Kamerun, Rwanda

areal hak ulayat di Provinsi Irian Jaya (Papua). Pada

dan Uganda (Bakeret al.2003; Lescuyer 2012). Praktek

tahun 2007 dan 2014 pemerintah Papua Barat juga

kompensasi kayu dari hutan produksi diharapkan

mengeluarkan SK. No. 144/2007 dan SK Nomor 5/2014

sejalan

tentang

dengan

perjanjian

stakeholders,

desain

75

standar

pemberian

kompensasi

bagi

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016

masyarakat adat atas kayu yang dipungut pada areal hak

yang dipraktekkan selama ini untuk dapat memper-

ulayat di Provinsi Papua Barat. Secara legal, kompensasi

baiki performa skema kompensasi dalam pengelolaan

kayu tidak termasuk dalam jenis pungutan sektor

hutan produksi yang berada dalam hak ulayat

kehutanan seperti PSDH (Provisi Sumberdaya Hutan)

masyarakat adat. Penelitian ini bertujuan meng-

dan DR (Dana Reboisasi) yang dibebankan kepada

evaluasi sistem kompensasi kayu yang dipungut dari hak

pemegang ijin HPH. Kompensasi secara hukum hanya

ulayat Suku Sougb berdasarkan : aliran manfaat, nilai

disebutkan dalam peraturan perundangan terkait

WTP, dan WTA, mekanisme, dan isi kebijakan kompen-

dengan pinjam pakai kawasan hutan, itu pun untuk

sasi. Hasil analisis diharapkan juga dapat digunakan

lahan dan bukan hasil hutan kayu. Artinya kompen-

untuk mengatasi permasalahan kompensasi yang sering

sasi kayu hak ulayat tidak memiliki dasar hukum yang

menimbulkan konflik diantara masyarakat adat dengan

kuat untuk dijadikan dasar pembayaran. Di Papua

pemerintah dan masyarakat adat dengan perusahaan dan

Barat, alat legalitasnya terdapat dalam UU Nomor 21

memperbaiki perfoma mekanisme kompensasi.

Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua dan

Kompensasi dalam penelitian ini adalah biaya

produk turunannya hanya dalam bentuk surat

yang dikeluarkan perusahaan pengusahaan hutan

keputusan gubernur.

sebagai akibat eksploitasi kegiatan pengusahaan

Namun hal ini telah dilakukan oleh pemerintah

hutan dalam hak ulayat masyarakat adat. Pembayaran

daerah di Papua untuk mencegah terjadinya konflik

kompensasi sudah mencakup biaya penggunaan

antara masyarakat dan perusahaan maupun dengan

lahan, jalan, base camp, logpond, tanaman, pohon

pemerintah. Upaya ini sekaligus menunjukkan

dan material pembuatan jalan (SK Gub. No.144/2007).

keseriusan pemerintah daerah untuk mengimple-

Bahan dan Metode

mentasi undang-undang otonomi khusus Papua
khususnya pasal 43. Sebab secara umum dipercaya

Kerangka konseptual

bahwa hak kepemilikan yang lebih baik–ekslusif,
enforceable, transferable, akan mendorong investasi

Penegasan hak memiliki hubungan yang sangat

(Besley 1995; Deininger & Jin 2006) dan peningkatan

kuat dengan pembagian manfaat seperti kompensasi

efisiensi produksi (Pejovic 1990). Dengan demikian

kayu (Nawir et al. 2012).

hak kepemilikan akan mempengaruhi perilaku dan

masyarakat adat tidak hanya dipandang dalam bentuk

kesempatan pihak yang memilikinya (Grafton et al.

kompensasi uang, barang atau kesempatan pekerjaan,

2000).

tetapi bagaimana jaminan legal hak untuk mengambil

Manfaat yang diterima

keputusan terhadap investasi di dalam wilayah
Sekalipun kebijakan kompensasi kayu telah

tersebut. Sebaliknya seseorang akan merasa dirugikan

diterima oleh pemegang ijin konsesi dan sudah

(worse off) apabila sejumlah manfaat diambil dari-

berlangsung sejak tahun 2000-an, namun masih

padanya. Hak kepemilikan akan mempengaruhi

timbul ketidakpuasan pada masyarakat pemilik hak

perilaku dan kesempatan pihak yang memilikinya

ulayat dalam hal besaran nilai uang kompensasi dan

(Grafton et al. 2000) termasuk di dalamnya

aliran manfaat. Sementara di sisi lain pihak

memperoleh manfaat dari hak ulayat.

perusahaan juga tidak boleh dibebani dengan biaya
yang tinggi yang pada akhirnya berdampak pada iklim

Aliran manfaat yang diterima pemilik hak ulayat

investasi. Masyarakat adat berkepentingan untuk

berbasis hak-hak komunal secara turun temurun,

memaksimumkan manfaat dan perusahaan berkepen-

sehingga tidak mengakomodir kepentingan masyara-

tingan memaksimumkan keuntungan. Berdasarkan

kat bukan pemilik hak ulayat. Karena itu, kompensasi

uraian di atas, diperlukan evaluasi sistem kompensasi

kayu bersifat eksklusif. Sifat ekslusif ini didasarkan

76

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016

pada hak yang melekat pada pemilik hak ulayat

hak ulayat, pemerintah daerah dan perusahaan.

sebagai owner (Schlager & Ostrom 1992). Pemindahan

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara

hak baik berupa barang dan jasa maupun asset

kuantitatif dan kualitatif melalui metode statistik

produktif, baik sementara maupun permanen, dilaku-

deskriptif. Responden yang didata dalam penelitian

kan dengan kontrak yang disepakati dalam pertukar-

ini berupa responden umum (25 orang) dan

an (Eggertsson 1990) sebagai sebuah kemitraan.

responden kunci (8 orang). Pengambilan contoh

Dalam hubungan kemitraan tersebut, ada dua

responden

masalah yang umumnya dapat terjadi yaitu masalah

masyarakat pemilik hak ulayat, dan masyarakat bukan

yang berkaitan dengan ketidaksepadanan informasi

pemilik hak ulayat.

yang dimiliki oleh masing-masing pelaku dan masalah

dilakukan

secara

purposif

terhadap

Pengolahan dan analisis data

yang berkenaan dengan pemindahan hak kepemilikan. Apabila ketidaksepadanan informasi muncul,

Untuk mengevaluasi sistem kompensasi diguna-

maka kerjasama tersebut rentan terhadap resiko salah

kan tiga pendekatan. Pertama, menghitung nilai

dalam memilih mitra sebelum kejadian dan bahaya

kesediaan menerima masyarakat adat dan kesediaan

ingkar janji setelah kejadian. Kemitraan yang terjadi

membayar perusahaan dengan terlebih dahulu

harus dikontrol dan dievaluasi agar efektif dan

menghitung stumpage price menggunakan persama-

memberikan keuntungan yang adil bagi kedua pihak

an (Soedomo 2012) : ln = p – (qp +d)– Cq. Dimana ln =

yang bermitra. Alat kontrol dan evaluasi yang

Stumpage price (kompensasi); p= harga patokan

digunakan

mekanisme

(P.68/Menhut-II/2014); Cq = biaya produksi; qp =

kompensasi, dan kesediaan menerima dan membayar

PSDH dan d = DR( PP 12/Menhut-II/2014). Kesediaan

masing-masing pihak.

membayar dan menerima dinilai menggunakan

berupa

aliran

manfaat,

metode kontingensi (Contingensi Valuation Method)

Tempat dan waktu

dengan cara pertanyaan menyatu. Kedua, mengguna-

Komunitas masyarakat adat Suku Sougb yang

kan mekanisme pembagian manfaat (IUCN 2009)

berada di Kampung Bina Desa, Kampung Lama,

yang dimodifikasi. Ketiga, pendekatan teori property

Tirasai, Atibo dan Tihibo terpilih sebagai obyek

right dan kelembagaan dan analisis gap terhadap

penelitian termasuk dalam wilayah administrasi

kebijakan pemberian kompensasi.

Distrik

Bintuni dan Manimeri

Kabupaten Teluk

Hasil dan Pembahasan

Bintuni Provinsi Papua Barat. Kegiatan penelitian
berlangsung selama bulan Juli-Agustus 2016. Alat

Aliran manfaat dan nilai kayu kompensasi bagi
Suku Sougb

yang digunakan dalam penelitian ini berupa GPS, tape
recorder, kamera, alat tulis menulis, serta kuisioner.

Dasar hukum pembayaran kompensasi atas kayu

Metode pengumpulan data

yang dipungut di areal hak ulayat masyarakat adat di
Papua Barat adalah SK Gubernur Provinsi Papua Barat

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuanti-

nomor 144/2007 yang kemudian diubah dengan SK

tatif dan kualitatif menggunakan data primer dan

No. 5/ 2014. Perubahan SK tersebut menaikkan

sekunder, meliputi aliran manfaat kompensasi,

standar kompensasi pada setiap kelompok jenis kayu

kesediaan membayar pihak perusahaan, kesediaan

dengan rata-rata kenaikan sebesar 36%–40% (Tabel 1)

menerima masyarakat adat Sougb. Pengumpulan data

untuk kelompok jenis kayu indah, merbau, dan

dilakukan melalui observasi, wawancara mengguna-

meranti.

kan kuisioner, dan wawancara mendalam terhadap
responden terpilih, antara lain kepala suku, pemilik

77

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016

Nilai manfaat yang diperoleh dari kompensasi

Sekalipun dari sisi manfaat bersifat eksklusif dan

atas kayu yang dipungut di areal hak ulayat Suku

distribusinya belum merata, namun dari sisi hak

Sougb diberikan dalam bentuk uang tunai. Kompen-

kepemilikan menunjukkan adanya pengakuan yang

sasi kayu yang diperoleh dalam setahun rata-rata

semakin menguat terhadap keberadaan hak-hak

mencapai Rp. 293.764.482. Nilai kompensasi maksi-

masyarakat adat. Sebab secara umum dipercaya

mum yang pernah diterima oleh pemilik hak ulayat

bahwa property rights yang lebih baik–ekslusif,

adalah Rp 1.321.759.700 dan jumlah minimum Rp.

enforceable, transferable, akan mendorong investasi

8.532.600 (Tabel 2.).

(Besley 1995; Deininger & Jin 2006) dan peningkatan
efisiensi produksi (Pejovic 1990). Dengan demikian

Distribusi manfaat (uang tunai) tersebut berbeda

hak kepemilikan akan mempengaruhi perilaku dan

di antara masyarakat pemilik hak ulayat. Perbedaan

kesempatan pihak yang memilikinya (Grafton et al.

tersebut tergantung volume kayu dan kesepakatan

2000).

pembagian uang di dalam marga. Bagi marga yang

Besarnya pembayaran kompensasi yang diterima

memiliki potensi kayu besar akan menerima kompensasi

lebih

besar.

Dengan

demikian

ada

pemilik hak ulayat berdasarkan laporan hasil produksi

gap

penerimaan di antara individu dalam marga pemilik

(LHP) yang dibuat perusahaan.

hak ulayat tersebut. Distribusi pendapatan yang tidak

kebanyakan tidak memiliki kapasitas untuk menge-

merata dalam masyarakat ini sebagai konsekuensi

tahui berapa potensi tegakan/pohon dan jenis yang

dari konsep hak yang diatur oleh hukum, adat dan

dimiliki. Sebab itu informasi yang simetris harus

tradisi atau konsensus antar anggota masyarakat

dimiliki oleh masyarakat adat, untuk menghindari

dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya

terjadinya moral hazard dalam mekanisme kompen-

hutan (North 1990). Beberapa marga yang telah

sasi.

menerima kompensasi hak ulayat di antaranya marga

Masyarakat adat

Pada tahun 2010-2013 IUPHHK PT. Yotefa Sarana

Tiri, Tenom, Menci, dan Yettu. Jumlah penerima

Timber

manfaat rata-rata per tahun sebanyak 4,66 orang.

(YTS)

telah

melakukan

kompensasi hak ulayat marga Tiri, Tenom, Menci,

Semakin besar jumlah anggota dalam kelompok

dan Yettu dengan nilai kompensasi rata-rata sebesar

marga, aliran manfaat yang diterima semakin kecil.

Rp. 293.764.482 dari produksi kayu sebesar 3.358 m3.

Tabel 1. Perbandingan harga kompensasi kayu di Papua Barat tahun 2004-2014
Table 1. Price comparison of wood compensation in West Papua in 2004-2014
Kelompok Jenis

SK No. 184 Tahun
2004

Kelompok kayu indah
Kelompok jenis merbau
Kayu non merbau
Kayu Bakau
Kelompok bulat/kecil

Rp. 100.000/m
3
Rp. 50.000/m
3
Rp. 10.000/m
3
Rp. 3.000/m

SK Nomor 144 Tahun
2007

3

3

Rp. 110.000/m
3
Rp. 60.000/m
3
Rp. 25.000/m
3
Rp. 6.000/m
-

SK Nomor 5 Tahun
2014
3

Rp. 150.000/m
3
Rp. 100.000/m
3
Rp. 40.000/m
3
Rp. 40.000/m
3
Rp. 10.000/ m

Tabel 2. Volume kayu, nilai kompensasi, penerima manfaat hutan produksi dari hak ulayat
Suku Sougb
Table 2. Wood volume, compensation value, beneficiaries of production forest from communal
land right of Sougb Tribe
3

Volume (m )
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Stdev

80
15.629
3.358
3.624

pembayaran

Penerima
manfaat (orang)
4
20
14
6

Nilai kompensasi
kayu (Rp)
8.532.600
1.321.759.700
293.764.482
316.491.827

78

Nilai kompensasi pemilik
hak ulayat (Rp/orang)
736.645
103.764.313
22.530.971
23.967.186

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016

Fakta ini menunjukkan bahwa nilai kompensasi per

sebenarnya mempunyai landasan yang sama dengan

meter kubik yang diterima masyarakat pemilik hak

PSDH dan DR yakni per meter kubik kayu, maka

ulayat untuk semua jenis kayu dalam satu tahun

sebaiknya pemerintah cukup memberlakukan satu

3

sebesar Rp. 87.482/m .

jenis pungutan saja (Gray 1983; Soedomo 2012) agar
tidak membebani bisnis kehutanan dan berimplikasi

Angka kompensasi per meter kubik (Rp.

pada hancurnya sumberdaya hutan.

87.482/m3) tersebut lebih kecil bila dibandingkan

Kesediaan menerima Suku Sougb (WTA) dan
kesediaan membayar (WTP) perusahaan

dengan pungutan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH)
dan Dana Rebosisasi (DR). Misalnya untuk jenis kayu
merbau tarif PSDH telah mencapai Rp. 180.000/m3,
dana DR untuk kayu merbau

Besarnya nilainya WTA dari masyarakat adat

mencapai Rp.

Suku Sougb bervariasi. Dalam studi ini lebih fokus

130.000/m3, sementara kompensasi hak ulayat untuk

pada kompensasi untuk jenis kayu merbau karena

jenis kayu merbau hanya Rp. 100.000/m3 (sesuai SK

kayu merbau merupakan salah satu jenis komersil di

Gub. 05/2014). Jika dana kompensasi dipandang

Tanah Papua yang menjadi primadona dalam kegiat-

sebagai ganti rugi atas hak ulayat Suku Sougb, maka

an pengusahaan hutan, sehingga menjadi incaran

biaya kompensasi seharusnya sama dengan

nilai

korporasi yang beroperasi di Papua. Khusus untuk

tegakan

yang

jenis kayu merbau, WTA responden terhadap nilai

dibayarkan bagi kayu berdiri yang siap panen

kompensasi minimal sebesar Rp. 150.000 per meter

(Klemperer 1996; Gray 2002). Secara ekonomi

kubik dan maksimum Rp. 1.000.000,- per meter kubik.

persamaan nilai tegakan dapat ditulis sebagai berikut

Dugaan nilai rataan WTA (estimating mean WTA)

(Soedomo 2012) : ln = p – (qp +d)– Cq. Bila persamaan

responden dihitung berdasarkan distribusi WTA

tersebut ditambahkan variabel kompensasi kayu

responden

merbau (Kmb) maka persamaanya menjadi ln = p –

responden dari perhitungan adalah sebesar Rp.

(qp +d)– (Cq+Kmb). Sebagai ilustrasi digunakan kayu

729.032/m3 (Tabel 3).

(stumpage

value)

yakni

jumlah

merbau dengan harga patokan (p) sebesar Rp

dari

180.000/m3, DR (d) Rp. 160.000/m3, kompensasi kayu

antara

3

pendapatan (income effect) dan interpretasi yang
berbeda pada kedua pihak, oleh karena itu nilai WTA
selalu lebih tinggi dari nilai WTP (Diamon et al. 1993).

seharusnya diterima. Berdasarkan SK Gubernur nilai

Selain itu, perbedaan antara WTP dan WTA juga

tersebut sudah termasuk biaya penggunaan lahan,

tergantung

jalan, base camp, logpond, tanaman, pohon, dan

pada

ketersediaan

pengganti,

hak

kepemilikan dan ketidakpastian nilai yang diminta

material pembuatan jalan. Namun tanaman dan

(Mitchell & Carson 1989; Hanemann 1991; Zhao &

pohon seharusnya dipisahkan dan diperhitungkan
Karena

berkisar

629.032/m3. Perbedaan ini disebabkan pengaruh

Papua Barat tiga kali lebih rendah dari nilai yang

ekonominya.

Sougb

WTA dan WTP terdapat selisih sebesar Rp.

patokan

pemilik hak ulayat sesuai SK Gubernur

nilai

Suku

Nomor 144 tahun 2007. Bila dibandingkan antara nilai

kompensasi, maka nilai manfaat kompensasi yang

sendiri

ulayat

minimal yang tertera dalam SK Gubernur Papua Barat

1995) maka sisa nilai tegakan sebesar Rp. 396.340/m3.

diterima

WTA

pihak perusahaan sama dengan nilai kompensasi

normal perusahaan 30% dari nilai tegakan (Saputra
sebagai

rataan

Rp.60.000/m sampai Rp.100.000/m . Artinya WTP

kayu merbau adalah Rp. 566.200/m3. Keuntungan

dijadikan

hak

3

merbau (Kmb) Rp. 100.000/m3 maka nilai tegakan

tegakan

nilai

pihak perusahaan terhadap kompensasi kayu merbau

793.900/m3 (Soedomo 2012), PSDH Merbau (qp) Rp.

nilai

dugaan

Sementara itu, nilai kesediaan membayar (WTP)

1.800.000/m3, biaya produksi (Cq) untuk Papua Rp.

Bila

dengan

Kling 2001). Jika pengambil kebijakan berfokus pada

kompensasi,

keuntungan

79

ekonomi

tanpa

memperhitungkan

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016
Tabel 3. Besaran WTA kompensasi responden untuk jenis kayu merbau
Table 3. Quantity of willingness to accept (WTA) by respondents from wood species merbau
3

3

WTA (Rp/m )

Frekuensi (orang)

Frekuensi relatif

Rerata WTA (Rp/m )

150.000.00
200.000.00
300.000.00
500.000.00
1.000.000.00
2.150.000.00

2
2
3
18
6
31

0,064
0,064
0,096
0,580
0,193
1

9.677
12.903
29.032
580.645
96.774
729.032

Tabel 4. Mekanisme kompensasi kayu dari hak ulayat Suku Sougb
Table 4. Mechanism of wood compensation from communal land right of Sougb Tribe
Kriteria Kunci

Mekanisme yang dilakukan

1. Pembayaran dilakukan saat kayu ditebang dan berada di TPn
2. Pembayaran dilakukan setelah pengapalan
3. Pembayaran menggunakan dua mekanisme yakni sekali
pembayaran dan sistem Panjar
Perjanjian stakeholders 1. Identifikasi pemilik hak ulayat melalui musyawarah adat
2. Konsultasi dengan pemilik hak ulayat
3. Membangun kapasitas lokal
Desain insentif
1. Estimasi biaya-biaya yang dikorbankan masyarakat
2. menentukan tingkat/level insentif
3. Menentukan bentuk manfaat
4. Menentukan waktu distribusi manfaat
Mekanisme
1. Inventarisasi potensi sebelum penebangan bersama pemilik hak
pelaksanaan
ulayat
2. Penetapan Usulan Rencana Kerja Tahunan (URKT)
3. Perhitungan volume di TPn bersama pemilik hak ulayat
4. Penentuan nilai kompensasi kayu
5. Pelaporan hasil pembayaran kompensasi
Ketentuan transparansi 1. Memanfaatkan kekuatan internal untuk meningkatkan
transparansi
2. Memanfaatkan kekuatan eksternal untuk meningkatkan
transparansi
Penyelesaian
1. Mempersiapkan perubahan
perselisihan
2. Adopsi mekanisme resolusi

Implementasi
(Frekuensi)

Sistem pembayaran

Sering

Sering

Jarang

Jarang

Sering

Sering

Sumber : Adaptasi dari IUCN (2009) dengan modifikasi
Keterangan :Sering : sebagian mekanisme dilakukan; jarang : seperempat mekanisme dilakukan
Source : Adaptation from IUCN (2009) with modification
Remarks : Often : part of mechanism was done; rare : one fourth mechanism was done

kerugian terhadap sumberdaya dan lingkungan hidup

karena pada saat kayu ditebang nilai manfaat kayu di

maka WTP adalah ukuran yang benar, demikian

masa datang telah berkurang atau hilang (Fisher 1981)

sebaliknya (Pearce et al. 2006).

dan pemilik hak ulayat tidak akan mendapatkanya
kembali karena haknya sudah dipindahkan secara

Evaluasi mekanisme kompensasi kayu
Mekanisme

kompensasi

yang

permanen ke pemegang ijin. Pembayaran kompensasi

dipraktekkan

disaksikan oleh kepala distrik, kepala kampung,

selama ini dalam pengusahaan hutan produksi di

pegawai dinas kehutanan, dan aparat keamanan di

Papua Barat menunjukkan bahwa tidak satupun dari

lokasi sekitar. Bentuk pelaporan dalam pembayaran

kriteria kunci yang dilaksanakan secara utuh atau

kompensasi berupa kuitansi pembayaran dan berita

lengkap (Tabel 4). Pemegang ijin konsesi melakukan

acara pembayaran yang ditandatangani oleh pene-

pembayaran kompensasi pada saat pengapalan

rima manfaat dan manajer perusahaan.

bahkan ada yang dilakukan setelah pengapalan.

Perjanjian stakeholders dilakukan sesuai kontrak

Seharusnya pembayaran dilakukan saat kayu ditebang

antara pemegang ijin dan masyarakat pemilik hak

dan berada di tempat penimbunan kayu sementara,
80

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016

dengan mengacu pada hasil identifikasi

meniadakan prinsip persetujuan atas dasar informasi

pemilik hak ulayat. Identifikasi pemilik hak ulayat

di awal tanpa paksaan (PADIATAPA) sesuai dengan

sebenarnya dilakukan dalam suatu musyawarah adat,

pasal 32 deklarasi PBB tentang hak masyarakat adat.

namun dalam prakteknya hal itu tidak dilaksanakan

Pasal 32 menyebutkan bahwa “negara harus menye-

karena alasan pembiayaan dan alasan teknis.

diakan mekanisme ganti rugi yang efektif dan adil

Selanjutnya dilakukan konsultasi dengan pemilik hak

untuk setiap kegiatan seperti itu, dan tindakan-

ulayat (kadang diwakili juga oleh aparat kampung)

tindakan yang tepat harus diambil untuk mengurangi

untuk memastikan areal kepemilikan dan besarnya

dampak lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, atau

kompensasi yang akan diterima. Di sini sebenarnya

spiritual yang merugikan” (Springer & Retana 2014).

ulayat

terjadi negosiasi antara pemilik hak ulayat dan
perusahaan.

Negosiasi

dapat

mengurangi

Dalam

atau

pelaksanaan

inventarisasi

potensi

sebelum penebangan, pengukuran volume kayu di

menambah nilai kompensasi seperti yang ditetapkan

tempat penimbunan kayu sementara masyarakat

dalam SK Gubernur. Hal ini sama seperti yang

pemilik hak ulayat tidak terlibat secara aktif, karena

dipraktekkan komunitas pemilik lahan di Riau dan

kapasitas yang rendah. Pemilik hak baru mengetahui

Kalimantan Selatan karena komunitas tersebut

potensi kayu yang dimiliki setelah laporan hasil

memiliki kekuatan bernegosiasi untuk menentukan

produksi (LHP) perusahaan diterbitkan. Keadaan ini

bentuk atau jenis dan besarnya kompensasi (Nugroho

dapat menimbulkan asimetrik informasi. Informasi

2011). Sekalipun demikian, pengembangan kapasitas

yang tidak sepadan akan menyebabkan kerjasama di

masyarakat adat belum dilakukan optimal. Pemegang

antara para pihak rentan terhadap resiko salah

ijin kebanyakan berfokus pada kompensasi hak ulayat

memilih mitra dan bahaya ingkar janji (moral hazard).

sedangkan upaya pemberdayaan, peningkatan penge-

Salah satu bahaya ingkar janji adalah munculnya

tahuan, dan ketrampilan masyarakat adat terabaikan.

perilaku oportunis (opportunistic behavior). Perilaku

Hal ini terlihat dari alokasi dana untuk pembinaan

oportunis

masyarakat desa hutan (PMDH) hanya sekitar 2% dan

terjadi

apabila

salah

satu

pihak

memanfaatkan kelebihan informasi yang dimiliki

sisanya 98% untuk pembayaran kompensasi ( PT. YST

untuk mengeksploitasi pihak lain (Barney & Ouchi

2013). Hal yang sama terjadi juga dengan alokasi

1986). Asimetrik informasi memiliki hubungan

PMDH dan kompensasi IUPHHK. PT. Wukirasari

dengan transparansi baik secara internal maupun

Teluk Bintuni tahun 2000-2005 dimana dana PMDH

eksternal yang dimiliki oleh pihak perusahaan dan

4% dan kompensasi 96% (Yeny & Innah 2007). Fakta

masyarakat adat pemilik hak ulayat. Bila masing-

ini membuktikan bahwa kompensasi hak ulayat telah

masing pihak memanfaatkan kekuatan maka akan

menggeser posisi PMDH yang merupakan kewajiban

menjadi alat penyelesaian konflik. Hanya saja dalam

pihak perusahaan terhadap masyarakat adat di dalam

pelaksanaan selama ini kekuatan menjaga trans-

areal konsesi.

paransi pelaksanaan belum berjalan secara baik.

Berpijak pada perjanjian stakeholder yang telah

Kompensasi dalam konteks hak kepemilikan

disepakati desain insentif ditetapkan dengan mencantumkan nilai kompensasi per meter kubik dan

Pemberian hak pengusahaan hutan harus diikuti

bentuk manfaat yang akan diterima. Sementara waktu

oleh pengakuan masyarakat adat. Sebab salah satu

distribusi manfaat sangat tergantung pada proses

roda

pengapalan kayu. Pemegang ijin juga tidak melakukan

pengakuan publik (dan negara) terhadap hak

sosialisasi kepada masyarakat terkait biaya-biaya

kepemilikan yang merupakan produk dari adat

lingkungan, maupun sosial yang akan ditanggung

kebiasaan atau tradisi masyarakat (Schmid 1987).

dengan adanya aktivitas pemanfaatan kayu. Fakta ini

Sampai saat ini masih menjadi permasalahan bagi
81

pengerak

property

rights

adalah

adanya

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016

pengusahaan

hutan

produksi

yaitu

pada

saat

konflik pemanfaatan hutan. Hak kepemilikan yang

pemerintah bersama pemegang HPH menetapkan

dimiliki Suku Sougb bila ditinjau dari starata hak

batas-batas kawasan hutan secara fisik. Bila tidak ada

sudah sangat efisien (Tabel 5). Pemilik memiliki hak

pengakuan dari masyarakat yang terjadi adalah

penuh atas lahan dan kayu karena hak turun temurun.

Tabel 5. Efisiensi kepemilikan atas sumberdaya hutan Suku Sougb
Table 5. The efficiency of property right over on forest resource in Sougb Tribe
Strata hak

Pemilik (Owner)

Memasuki dan memanfaatkan ( access and
withdrawal )
Menentukan bentuk pengelolaan ( management)
Menentukan keikutsertaan/mengeluarkan pihak lain (
exlucion)
Dapat diperjualbelikan hak (alienation )

User

X
X
X

Tabel 6. Gap isi kebijakan Pergub Nomor 144/2007
Table 6. Gap of content in Governor Decree Number 144/2007
Isi kebijakan

Standar pengenaan
kompensasi

Masalah

Rekomendasi pembaharuan

Tidak mencantumkan harga patokan,
proporsi (tarif) pengenaan kompensasi, dan
jenis biaya yang dikeluarkan dalam formula
perhitungan kompensasi.

Mencantumkan formula perhitungan biaya
kompensasi atau asumsi yang digunakan dalam
perhitungan dengan menyebutkan jenis-jenis
biaya apa saja yang dikeluarkan

Tidak mencatumkan lampiran jenis-jenis
kayu berdasarkan pengelompokan jenis,
ukuran, dan kualitas

Penetapan pemilik hak ulayat tidak
berdasarkan musyawarah karena high cost

Melampirkan jenis -jenis kayu yang diproduksi.
Khusus kelompok meranti dan rimba campuran
diklaster berdasarkan ukuran diameter. Jenis
kayu indah dibagi menjadi kayu indah kelas
satu dan kelas dua
Untuk tanaman budidaya adopsi aturan bupati
setempat. Untuk pohon keramat tetap dihitung
kompensasi tersendiri. Untuk areal
pengambilan material berupa batu kapur
mengacu pada aturan bahan galian golongan C
Perlu mekanisme lain yang disepakati oleh
semua pihak

Dasar pembayaran kompensasi dengan hanya
menggunakan LHP tidak representatif, karena
ada kemungkinan kayu yang sudah ditebang
rusak, hilang, tertimbun, dicuri dan lain -lain.

Mencantumkan penggunaan dokumen Daftar
kayu Bulat (DKB), Laporan Hasil Cruising
(LHC), dan hasil survey rata-rata potensi
setempat

Belum ada kejelasan jangka waktu
pembayaran kompensasi dan kesepakatan
antara masyarakat adat dan perusahaan
apakah dalam bentuk kontrak tertulis atau
bentuk lainnya

Mencantumkan jangka waktu pembayaran. Jika
jangka waktu tersebut disepakati dalam
perjanjian maka harus dicantumkan dalam
kontrak antar perusahaan dan masyarakat
pemilik hak ulayat

Harga kayu per meter kubik ditetapkan tanpa
partisipasi pemilik hak ulayat

Partisipasi masyarakat adat dalam penentuan
harga kompensasi dengan prinsip PADIATAPA

Sebuah peraturan atau kebijakan tanpa sanksi
tidak akan memberikan perlindungan bagi
masyarakat adat maupun negara. Dalam SK
ini tidak ada sanksi yang ditetapkan bagi yang
melanggar. Tetapi pembinaan, pengawasan
dan pelaporan dicantumkan, artinya ada
proses yang terputus.

Mencantumkan sanksi administratif atau denda
keterlambatan sebagai sumber kekuatan akses
dan kontrol terhadap sumberdaya

Pembayaran kompensasi seharusnya tidak
memasukan tanaman yang dibudidayakan,
pohon keramat dan material pembuatan
jalan sebagai biaya kompensasi karena tidak
termasuk dalam biaya produksi

Prosedur dan tata
cara pembayaran

Pembinaan,
pengawasan dan
pelaporan

82

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016

Kesimpulan

Dalam pelaksanaan pengusahaan hutan, pemegang
ijin konsesi hanya mendapat hak access dan

1. Aliran manfaat kompensasi kayu dari hutan
produksi yang berada di wilayah hak ulayat Suku
Sougb rata-rata per tahun mencapai Rp.
293.764.482 dengan alokasi dana di atas 90%
sehingga menggeser posisi kegiatan Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH).

withdrawal berdasarkan batasan Schlager dan Ostrom
(1992). Rendahnya tingkatan hak pemilikan diduga
menjadi penyebab rendahnya inovasi pemegang ijin
untuk melaksanakan pembayaran kompensasi yang
wajar dimana seringkali terjadi negosiasi yang
berujung pada turunnya nilai kompensasi atau

2. Dugaan nilai rataan WTA pemilik hak ulayat Suku
Sougb untuk jenis kayu merbau adalah Rp.
729.032/m3 dan WTP perusahaan maksimum
adalah Rp. 100.000/m3 sehingga terdapat selisih
sebesar Rp. 629.032/m3. Selisih nilai tersebut
merupakan salah satu penyebab ketidakpuasan
masyarakat adat terhadap standar kompensasi.

bahkan naik. Selain itu, karena kayu di hutan tidak
menjadi aset HPH maka tidak masuk dalam akunting
atau register yang harus diperhitungkan keutuhan
nilainya oleh pemegang ijin (Kartodihardjo 2006).
Hak pemilikan bagi masyarakat adat membuat
perusahaan harus melaksanakan kewajiban mem-

3. Dari 6 (enam) kriteria yang digunakan untuk
mengevaluasi mekanisme kompensasi yang
dipraktekkan selama ini dalam pengusahaan
hutan produksi di Papua Barat menunjukkan
bahwa tidak satupun dari kriteria kunci yang
dilaksanakan secara utuh atau lengkap. Dengan
demikian diperlukan upaya-upaya melengkapi dan
memperbaiki.

bayar kompensasi sekalipun kompensasi bukanlah
suatu kewajiban bagi IUPHHK-HA. Tetapi dari
alokasi pembiayaan yang dikeluarkan setiap tahun
cenderung meningkat mengikuti produksi kayu
sehingga kompensasi telah menjadi kegiatan utama.
Dengan demikian, hak kepemilikan telah mempengaruhi perilaku pihak perusahaan dan kesempatan

4. Terdapat celah kebijakan yang menjadi
permasalahan pada isi SK Gubernur No.144/2007
tentang kompensasi kayu baik pada standar
pengenaan kompensasi, prosedur dan tata cara
pembayaran, serta pembinaan, pengawasan, dan
pelaporan.

pihak yang memilikinya (Grafton et al. 2000).
Kompensasi yang diberikan perusahaan kepada
pemilik hak ulayat merupakan wujud pengakuan
terhadap eksistensi Suku Sougb sehingga kompensasi
yang diterima adalah kompensasi berbasis hak yang
bersifat ekslusif. Sementara masyarakat lokal lainnya
yang berdiam di dalam atau sekitar kawasan tidak

Rekomendasi

mendapat alokasi. Di sini sebenarnya diperlukan
intervensi pemerintah daerah untuk memfasilitasi

1. Kompensasi kayu mempunyai landasan yang sama
dengan PSDH dan DR yakni per meter kubik kayu,
maka sebaiknya pemerintah cukup memberlaku-

aliran manfaat yang berkeadilan.
Evaluasi isi kebijakan kompensasi

kan satu jenis pungutan saja agar tidak membebani bisnis kehutanan dan berimplikasi pada
hancurnya sumberdaya hutan.

Batang tubuh peraturan kebijakan (SK Gub.No.
144/ 2007) yang dibuat oleh pemerintah provinsi

2. Untuk mengatasi konflik antara masyarakat adat
dengan perusahaan dan masyarakat adat dengan
pemerintah maka selisih nilai WTA dan WTP
diperkecil yakni dengan cara menaikkan standar
pembayaran atau melalui negosiasi yang hasilnya
tertuang dalam perjanjian kerjasama/kontrak yang
jelas.

terdapat beberapa masalah, baik pada standar pengenaan kompensasi, prosedur dan tata cara maupun
pembinaan, pengawasan dan pelaporan sebagaimana
dijelaskan pada Tabel 6.

83

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016
hasil hutan untuk perhitungan provisi sumber daya
hutan, ganti rugi tegakan dan penggantian nilai tegakan.
Mitchell RC, Carson RT. 1989. Using surveys to value public
goods: The contingent valuation method. Hlm. 463.
Resources for the Future. Johns Hopkins University
Press, Washington,
Nkhata B, Mosimane, Downsborough L, Breen C, Roux DJA.
Typology of benefit sharing arrangements for the
governance of social-ecological systems in developing
countries.
Ecology
and
Society
17(1):17.
http://dx.dooi.org/10.5751/ES-04662-170117.
Nawir AA, Paudel NS, Wong G, LuttrellC. 2015. Thinking
about REDD+ benefit sharing mechanism (BSM).
Lessons from community forestry (CF) in Nepal and
Indonesia. Info Brief No.112 CIFOR.
Nugroho B. 2011. Land Rigth community forest plantation
policy: Analysis from institution perspective. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika 17(3):111-118.
Panayotou T. 1993. Green market: The economic of
sustainable development. ICS. Press.
Pemerintah Indonesia 2006. Peraturan Menteri Kehutanan
No.P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan. Jakarta
Pejovich S. 1990. The economics of property rights: Towards
a theory of comparative systems. Kluwer Academic
Publishers, Dordrecht, The Netherlands.
Pearce DW, Atkinson G, Mourato S. 2006. Cost-benefit
analysis and the environment: Recent developments.
Hlm. 315. Organisation for Economic Co-operation and
Development, Paris.
Pemerintah Provinsi Papua Barat. 2014. Surat Keputusan
Gubernur Papua Barat Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Standar Pembayaran Kompensasi Hak Ulayat atas Kayu
bulat di Provinsi Papua Barat.
Pemerintah Republik Indonesia. 2014. Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku
pada Kementerian Kehutanan.
PT. Youtefa Sarana Timber. 2013. Laporan Rencana Karya
Tahunan IUPHHK PT. Youtefa Sarana Timber.
Rahmawati R. 2013. Konflik-konflik Sumberdaya Hutan di
Jawa Barat dan Kalimantan Barat, Indonesia. Disertasi
(Tidak dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor.
Safitri MA, Uliyah L. 2014. Adat di tangan Pemerintah
Daerah. Epistema Intitute, Jakarta.
Schmid A. 1987. Property, power, and an inquiry into law
and economic. Prager, New York.
Schlager, Ostrom. 1992. Property right regimes and natural
resources : A conceptual analysis. Land Economic 68(3)
:249-262.
Saputra US. 1995. Sistem penetapan pungutan hasil hutan
kayu bulat oleh pemerintah di areal HPH : Suatu analisis
kebijaksanaan
kehutanan.
Disertasi
(Tidak
dipublikasikan). Program Pasca Sarjana IPB.
Soedomo S. 2012. Jenis pungutan dari perspektif ekonomi
sumberdaya alam. Jurnal Manajemen Hutan 18(1):60-67.
Springer J, Retana V. 2014. Persetujuan atas dasar informasi
di awal tanpa paksaan dan REDD+: Pedoman dan
sumber daya. WWF dan Norad, Jakarta.

3. Memperbaiki celah kebijakan dan meningkatkan
performa mekanisme kompensasi khususnya
standar pengenaan kompensasi, prosedur dan tata
cara pembayaran serta pembinaan, pengawasan
dan pelaporan.

Daftar Pustaka
Baker M, Clausen R, Kanaan R, N’Goma G, Roule T,
Thomson J. 2003. Conflict timber: Dimensions of the
problem in Asia and Africa Volume III. African Cases.
Bromley DW. 1990. Arresting renewable resource
degradation in the third world: Discussion. American
Journal of Agricultural Economics 72(5):1274–1275.
Proceedings Issue.
Besley T. 1995. Property rights and investment incentives:
Theory and evidence from Ghana. The Journal of
Political Economy 103(5):903–937.
Deininger K, Jin S. 2006. Tenure security and land-related
investment: Evidence from Ethiopia. European
Economic Review 50:1245–1277.
Diamond P, Hausman JA, Leonard GK, Denning MA. 1993.
Does contingent valuation measure preferences?
Experimental evidence. Hlm. 41-85 dalam Hausman JA,
editor. Contingent valuation: A critical assessment.
North-Holland, Amsterdam, New York
Fisher AC. 1981. Resource and environmental economics.
Cambridge University Press, Cambridge.
Grafton RQ, SquiresD, Fox KJ. 2000. Private property and
economic efficiency: A study of a common-pool
resource. Journal of Law and Economics 43(2):679–713.
Gray J. 1983. Forest revenue systems in developing countries:
Their Role in income generation and forestmanagement
strategies. FAO Forestry Paper 43. Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Rome.
Gray JA. 2002. Forest concession policies and revenue
systems: Country experience and policy changes for
sustainable tropical forestry. Technical Paper No. 522.
The World Bank,Washington DC.
Hanemann M, Loomis J, Kanninen B. 1991. Statistical
efficiency of double-bounded dichotomous choice
contingent valuation. American Journal of Agricultural
Economics 73(4):1255–1263.
IUCN. 2009. REDD plus and benefit sharing: Experience in
forest conservation and other resource management
sectors. Forest Conservation Program. USA.
Klemperer WD. 1996. Forest resources economics and
finance. Mac.Graw Hill.Inc., New York.
Kartodihardjo H. 2006. Ekonomi dan institusi pengelolaan
hutan: Telaah lanjut analisis kebijakan usaha
kehutanan. Institute for Development Economics of
Agriculture and Rural Areas (IDEALS), Bogor.
Lescuyer G, Assembe S, Mvondo, Essoungou JN, Toison V,
Trébuchon JF, Fauvet N. 2012. Logging concessions and
local livelihoods in Cameroon: from indifference to
alliance? Ecology and Society 17(1):7.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 2014. Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
p.68/Menhut-II/2014 tentang penetapan harga patokan

84

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 2 - Juli-September 2016
Tokede M, Nugroho, Gandhi Y. 2005. Policy brief : Akses
masyarakat adat terhadap peluang-peluang pembangunan kehutanan di Kabupaten Manokwari.CIFOR,
Bogor.
Wulan YC, Yasmi Y, Pruba C, Wollenberg. 2004. Analisa
konflik sektor kehutanan di Indonesia tahun 1997-2003.
CIFOR, Bogor.
Yustika EA. 2006. Ekonomi kelembagaan: Defenisi, teori
dan strategi. Bayumedia Publishing, Malang.
Yeny I, Innah HS. 2007. Kajian pelaksanaan Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH) di Papua. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 4(1):73 – 91.
Zhao J, Kling CL. 2001. A new explanation for the WTP/WTA
disparity. Economics Letters 73(3):293–300.

85

Dokumen yang terkait

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3