MENGEJAR KEUNTUNGAN DIANTARA DUALISME KO

MENGEJAR KEUNTUNGAN DIANTARA DUALISME KONSEP HUKUM KEKAYAAN
NEGARA : PERANAN DAN TANTANGAN BUMN (PERSERO) DI INDONESIA

Kharisma Bintang Alghazy

Abstract
The State-Owned Enterprises (SOE)(Company) are represent the concept of welfare
state in Indonesia, which have been being the fundamental foundation to run the country. The
genuine function of SOE are to become a private legal entitiy which get a capital from the
state budget and have aim to obtain profits as many as possible, so that they can contribute
and give positive impact toward to the inland revenue which can help the government to do
national development and to create welfare for the citizens. Unfortunately, The SOE have a
fundamental legal problem, that is the dualism of law. There are groups of regulations which
have principle that SOE’s assets are categorized as government’s assets. But, in the other
side, there are another groups of regulations which have a different principle that SOE’s
assets are categorized as company’s assets. This dualism of law represents the improper logic
of legal thinking and putting the Indonesian State-Owned Enterprises in interfering and crisis
situation in the matter of seeking for more profits in order to create prosperity for the country.
Keywords : State-Owned Entreprises, welfare state, government’s assets, company’s assets,
dualism of law.


|1

Sejatinya, landasan fundamental yang menjadi gagasan pokok berdirinya BUMN
(Persero) di Indonesia adalah sebuah konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Argumentasi pembenaran konsep demikian di Indonesia dibenarkan secara positivistik dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), khususnya pada klausula “…dan
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Konsekuensi logis
dari adanya pengakuan untuk menerapkan konsep negara kesejahteraan adalah, negara
Indonesia harus memegang teguh prinsip staatsbemoeienis, dimana negara kesejahteraan
harus memiliki kehendak untuk terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, di samping menjaga
ketertiban dan keamanan (rust en orde).1
Senada dengan pernyataan diatas, Wolfgang Friedmann, seorang professor hukum
internasional di Universitas Columbia yang mengemukakan teori mixed economic systems,
pun menyatakan bahwa negara mengemban fungsi ekonomi yang terejawantahkan ke dalam
peran negara sebagai ‘pengusaha (entrepreneur)’ yang harus mendapatkan sumber
pembiayaan melalui nasionalisasi sektor publik.2 Upaya kongkrit untuk merealisasikan peran
demikian, salah satunya dapat ditempuh dengan cara melakukan kegiatan produktif yang
dapat memberikan kontribusi penambahan pendapatan untuk membiayai pembangunan
kesejahteraan. Dalam konteks Indonesia, entitas yang diberikan kuasa untuk merealisasikan

peran negara dalam kegiatan ekonomi sebagaimana telah disebut diatas, salah satunya adalah
BUMN (Persero).
BUMN (Persero) Sebagai Badan Hukum Privat Dengan Karakter Profit Oriented
Sebagai perusahaan perseroan terbatas yang modalnya terkonstruksikan ke dalam
bentuk saham dengan setidak-tidaknya 51% saham dimiliki oleh negara, hakikat BUMN
(Persero) sesungguhnya adalah sebagai sebuah badan hukum yang tunduk pada ketentuan
hukum privat dan memiliki tujuan utama untuk mengejar keuntungan. 3 Hal demikian selaras
dengan ketentuan dalam Pasal 4 UU No. 4 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)
yang menyatakan bahwa :

“Terhadap perseroan berlaku undang-undang ini, anggaran dasar perseroan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Selain daripada itu, implikasi dari status BUMN (Persero) sebagai badan hukum privat adalah
adanya kewajiban untuk mematuhi dan taat pada prinsip-prinsip usaha yang profesional dan
1 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2011), hlm. 15.
2 Eugene V. Rostow, The State and the Rule of Law in a Mixed Economy (Book Review), (New Haven:
Yale Law School Faculty Scholarship, 1972), hlm. 789
3 Pasal 1 angka 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN) menyatakan bahwa “BUMN
yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima
puluh satu persen) sahamnya dimiliki Pajak/Laba

oleh Negara Usaha
Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan”.

Negara
| 2(Badan Hukum Publik)

(Uang Publik)

BUMN (Persero)
(Badan Hukum Privat)

transparan atau “tata kelola perseroan yang baik (good corporate governance)”. Keharusan
untuk mengamini ketentuan hukum privat atau perdata bagi BUMN (Persero) sejatinya
merupakan bentuk penegasan terhadap kedudukan BUMN (Persero) sebagai entitas yang
dituntut untuk mencari keuntungan dengan maksimal sehingga, negara dapat memanfaatkan
kontribusinya untuk melakukan pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Penyertaan Modal
(Uang Privat)


Sebagaimana yang dapat diperhatikan melalui skema diatas, pembangunan nasional
yang didorong oleh kontribusi positif dari BUMN (Persero) diawali dari adanya pemisahan
kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk disertakan
menjadi modal perusahaan BUMN (Persero). Dengan adanya transformasi uang negara (uang
publik) menjadi modal perusahaan (uang privat), maka BUMN (Persero) diwajibkan
mengelola kapital sesuai dengan kegiatan usahanya dan mengembalikannya ke dalam bentuk
pajak serta laba usaha sesuai dengan porsi kepemilikan saham pemerintah di BUMN
(Persero). Dengan demikian, negara mendapatkan pendapatan tambahan untuk APBN di
tahun berikutnya sehingga, pendapatan hasil kontribusi dari BUMN (Persero) dapat
dimanfaatkan untuk membiayai sektor-sektor strategis yang dapat memajukan kesejahteraan
umum. Dengan kata lain, pendirian BUMN (Persero) dengan karakteristiknya sebagai badan
usaha jelas harus menghasilkan keuntungan atau profitisasi bagi negara. 4
Pengelolaan dan pemeliharaan karakter BUMN (Persero) sebagai sumber profitisasi
bagi negara, sejatinya juga dapat berpotensi mengubah kedudukan perekonomian Indonesia
dalam tatanan global. Sebagaimana telah menjadi bagian dari 8 (delapan) besar negara dengan
kepemilikan saham tertinggi terhadap BUMN (Persero), Indonesia diindikasikan dapat
menyusul kelompok negara G75 pada tahun 2030, bersama Brazil, India, Meksiko, Russia dan
Turki.6 Bilamana pemerintah dapat mengoptimalisasi peran BUMN (Persero) di Indonesia
sebagai sebuah badan hukum privat yang berorientasi pada laba perusahaan maka, perbaikan

keadaan perekonomian Indonesia yang kuat dan stabil sangat berpotensi terealisasikan.
4 Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, (Jakarta: Kencana Media Group,
2012), hlm. 81
5 G7 (Group of Seven) adalah forum informal dengan terdiri dari 7 negara ekonomi maju yang mewakili
hamper setengah dari kekuatan ekonomi global. Negara – negara dengan termasuk ke dalam kelompok G7 hingga
tahun 2017 kini adalah Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat.
6 Public Sector Research, State-Owned Enterprises: Catalysts for Public Value Creation?, (London:
PricewaterhouseCoopers, 2015), hlm. 12

|3

Namun, nyatanya, keadaan BUMN (Persero) di Indonesia hingga kini masih diselimuti oleh
adanya dualisme konsep hukum kekayaan negara yang memberikan dampak buruk terhadap
perkembangan peran BUMN (Persero). Pernyataan diatas kemudian melahirkan pertanyaan
fundamental : Bagaimana bentuk dualisme konsep hukum kekayaan negara dalam BUMN
(Persero) ? Apa dampaknya terhadap perkembangan BUMN (Persero) di Indonesia ?
Dualisme Konsep Hukum Kekayaan Negara di dalam BUMN (Persero) : Sebuah
Tantangan Fundamental
Tantangan hukum yang hingga kini masih dihadapi oleh setiap BUMN (Persero) di
Indonesia sesungguhnya adalah adanya dualisme kelompok peraturan perundang-undangan

yang memiliki perbedaan perspektif dalam menentukan kekayaan negara di dalam BUMN
(Persero). Ketidakselarasan pemahaman peraturan perundang-undangan tentang konsep
kekayaan negara sejatinya, telah menimbulkan kekacauan logika pemikiran hukum dan
menimbulkan dampak serius terhadap fungsi BUMN (Persero), yang pada akhirnya
berdampak pada perekonomian mikro dan makro, termasuk iklim investasi terhadap BUMN
(Persero) di Indonesia.
Kelompok Peraturan PerundanganUndangan dengan Prinsip “Keuangan
BUMN (Persero) = Keuangan Negara”
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang No. 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang No. 15 Tahun 2005
tentang Badan Pemeriksaan Keuangan

Kelompok
Peraturan

PerundangUndangan dengan Prinsip “Keuangan
BUMN (Persero) ≠ Keuangan Negara”
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006
tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah
Fatwa
Mahkamah
Agung
No.
WKMA/Yud/20/VIII/2006

Perseteruan prinsip tentang status keuangan BUMN (Persero) sejatinya berawal saat
diberlakukannya 3 (tiga) paket undang-undang di bidang keuangan negara, khususnya dapat

ditemukan dalam Pasal 2 huruf (g) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU
Keuangan Negara) yang menyatakan secara tegas bahwa :
“kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh atau pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”.7

7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 2 huruf
(g).

|4

Secara sederhana, UU Keuangan Negara beserta undang-undang lain yang memiliki prinsip
bahwa ‘keuangan BUMN adalah keuangan negara’, menganggap negara (dalam hal ini
diwakili oleh pemerintah) akan selalu berperan sebagai badan hukum publik, sekalipun pada
saat memegang saham dominan di BUMN (Persero). Sehingga, konsekuensi dari adanya
prinsip demikian adalah segala kekayaan BUMN (Persero) / aset perusahaan akan selalu
dianggap sebagai kekayaan negara. Konsekuensi hukum lain yang ditimbulkan oleh adanya
prinsip demikian adalah ruang gerak BUMN (Persero) dapat dengan mudahnya
bersinggungan dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Bagaimana bisa ? Salah

satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya “kerugian keuangan negara”. Sedangkan,
menurut UU Tipikor, salah satu keuangan negara adalah :
“hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik
Daerah(BUMD), yayasan, badan hukum,…”.8
Sehingga, bilamana kekayaan atau aset BUMN (Persero) dianggap sebagai kekayaan negara
dan BUMN (Persero) mengalami suatu kerugian, yang merupakan hal wajar dalam dunia
bisnis, maka direktur BUMN (Persero) akan dengan mudahnya dapat terjerat dengan pasalpasal tindak pidana korupsi. Bagaimana bisa sebuah Perseroan Terbatas (subyek badan hukum
privat) dijustifikasi dan diterapkan dengan pasal-pasal hukum yang mengatur subyek badan
hukum publik? Pendirian dan logika hukum yang dikonstruksikan oleh kelompok peraturan
perundang-undangan dengan prinsip ‘keuangan BUMN adalah keuangan negara’ secara
nyata dan pasti adalah sesat pikir dan mengacaukan logika berpikir hukum yang baik, dengan
mencampuradukakan Pertama, konsep hukum publik ke dalam hukum privat dan Kedua,
konsep pemerintah yang dapat berperan sebagai subyek hukum publik sekaligus subyek
hukum privat.
Pertama, dalam konsep pengaturan hukum publik dan hukum privat, R. Kranenburg
menegaskan bahwa, sudah merupakan communis opinio doctorum dalam ilmu hukum
dibedakan secara prinsipiil antara hukum publik dan hukum perdata atau privat, dimana
hukum perdata mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) antara sesama individu
dalam hubungan horizontal.9 Sementara itu, hukum publik menata pertalian hukum antara

negara dengan warga negaranya secara vertikal. Lalu apa korelasinya antara konsep
Kranenburg dengan kekacauan penerapan hukum tersebut diatas ? Sesungguhnya, BUMN
(Persero) merupakan badan hukum privat atau perdata, sehingga, konsekuensi logisnya adalah
segala tindakan dan “kehidupan” BUMN (Persero) sudah sepatutnya diatur dan tunduk pada
8 Penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
9 R. Kranenburg, De Grondslagen der Rechtswetenschap Juridische Kennisleer en Methodologie,
(Harlem: HD Tjeenk Willink, 1995), hlm. 73, sebagaimana dikutip oleh Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan
Publik dalam Perspektif Hukum: Teori Praktik, dan Kritik, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 85

|5

ketentuan hukum privat (perdata) dan tata kelola perseroan yang baik (good corporate
governance).
Kedua, dalam perspektif logika hukum administrasi negara, negara yang diwakili oleh
pemerintah sejatinya dapat berkedudukan sebagai subyek hukum publik maupun privat atau
perdata. Dalam pergaulan hukum, pemerintah seringkali tampil dengan “twee petten”, dengan
dua kepala, sebagai wakil dari jabatan (ambt) yang tunduk pada hukum publik dan wakil dari
badan hukum (rechtpersoon) yang tunduk pada hukum privat. 10 Afirmasi terhadap konsep
kedudukan pemerintah sebagai subyek hukum publik maupun hukum privat (perdata) kembali

ditegaskan oleh Hans Kelsen dalam General Theory of Law, yang menyatakan bahwa :
“If one of the two parties of one the two parties of a right-duty relationship is an organ of
the State, then the other party is not an organ of the State. This is the consequence of the
fact that there is — within a national legal order --- only one person which has to be
considered as the State. Hence, if one subject in a legal relationship is the State, the other
subject cannot be the State; the other subject must be a “private” person. The difficulty
in distinguishing between public and private law resides precisely in the fact that the
relation between the State and its subject can have not only a “public” but also a
“private” character.”11
Sebagaimana dapat kita perhatikan, Kelsen pun telah mengamini bahwa negara (dalam hal ini
diwakili oleh pemerintah), tidak hanya mengandung karakter sebagai subyek hukum publik
melainkan, juga sekaligus memiliki karakter sebagai subyek hukum privat.
Bilamana kita mengaitkan argumentasi sebagaimana tersebut diatas dengan konsep
kekayaan negara yang dipisahkan ke dalam BUMN (Persero) sebagai modal perusahaan
maka, kekayaan negara demikian telah bertransformasi menjadi kekayaan atau aset dari
BUMN

(Persero).

Hal

demikian

disebabkan

karena,

ketika

pemerintah

yang

merepresentasikan negara sebagai subyek hukum publik melakukan pemisahan kekayaan di
APBN untuk dijadikan modal bagi BUMN (Persero), maka pada saat itu juga imunitas publik
dari negara hilang dan terputus hubungan hukumnya dengan keuangan negara yang telah
berubah ke dalam bentuk saham. 12 Seketika itu pula, peran negara (pemerintah) beralih
menjadi subyek hukum privat sebagai pemegang saham yang tunduk sepenuhnya pada
ketentuan hukum privat (perdata) yakni, UU Perseroan Terbatas. Negara sebagai pemegang
saham, seharusnya tidak bertanggungjawab terhadap kontrak dan transaksi yang dilakukan
BUMN (Persero), sekalipun perseroan itu mengalami kerugian. Hal itu sesuai dengan asas
tanggung jawab terbatas (limited liability) yang digariskan pada Pasal 3 ayat (1) UU
Perseroan Terbatas.13 Oleh karena itu, senyatanya BUMN (Persero) tidak dapat diterapkan
10 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, hlm. 69
11 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Anders Wedberg, (New Jersey:
The Lawbook Exchange, 2007), hlm. 201.
12 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik, dan Kritik, hlm.
101
13 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 258.

|6

pasal-pasal tindak pidana korupsi bilamana, perusahaan BUMN mengalami kerugian dalam
mengambil keputusan bisnis.
Dampak Dualisme Konsep Hukum Kekayaan Negara Terhadap BUMN (Persero)
Berdasarkan uraian argumentasi tersebut diatas, sudah tentu dapat kita yakini bahwa
kelompok peraturan perundang-undangan dengan prinsip ‘keuangan BUMN adalah keuangan
negara’ mengandung ketidaksesuaian antara teori hukum dengan penerapan hukumnya
terhadap BUMN (Persero). Sebaliknya, kelompok peraturan perundang-undangan dengan
prinsip ‘keuangan BUMN (Persero) bukan merupakan keuangan negara’, telah berusaha
dengan baik untuk mengakomodasi konsep hukum yang tepat mengenai pengaturan hukum
publik dan privat serta konsep kedudukan negara sebagai subyek hukum publik dan subyek
hukum privat. Walaupun begitu, sayangnya sebagian besar pola pikir pemerintah dan aparat
penegak hukum masih memegang teguh paradigma salah yang menyatakan bahwa ‘keuangan
BUMN adalah keuangan negara’.
Meskipun BUMN (Persero) diandalkan sebagai entitas dengan fungsi profitisasi dan
alat pembantu pelaksana pembangunan nasional, kedua fungsi demikian jelas tidak dapat
terealisasikan bilamana, organ BUMN (Persero) dibatasi dan diciutkan ruang geraknya dalam
mengambil keputusan bisnis oleh kelompok peraturan perundang-undangan UU Keuangan
Negara. Kedua fungsi demikian tidak dapat terselenggarakan dengan optimal bilamana,
pembedaan peran atau kedudukan pemerintah tidak dihiraukan. Lebih lanjut, tanpa adanya
perbedaan peran atau kedudukan itu, sistem hukum yang kondusif dan yang memberikan
dukungan paling besar bagi tercapainya tingkat pareto optimum bagi perkembangan ekonomi
dan good governance dan good coporate governance akan sukar untuk dapat dicapai. 14
Kesukaran untuk mewujudkan keadaan-keadaan sebagaimana tersebut diatas, sejatinya akan
berujung pada kesulitan negara untuk memperoleh alokasi pendapatan atau pemasukan dari
kontribusi BUMN (Persero). Pada akhirnya, pendapatan yang minimal akan berdampak pada
penyelenggaraan pembangunan yang tidak optimal sehingga, bermuara pada terhambatnya
perwujudan cita-cita negara kesejahtaraan (welfare state).

14 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik, dan Kritik, hlm.
109.

|7

Adapun saran yang dapat penulis berikan terhadap permasalahan yang
mengemuka pada penelitian ini adalah:
1. Pemerintah Indonesia seyogyanya segera melakukan evaluasi terhadap
regulasi yang mengatur tentang kekayaan BUMN (Persero) di Indonesia.
Dalam hal ini, evaluasi terhadap regulasi tersebut wajib didasarkan pada
penelitian tentang regulasi dan kinerja BUMN (Persero) dalam kurun
waktu pasca pembentukan UU BUMN. Penelitian ini penting dalam
rangka untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang terjadi
dan akan terjadi serta dampaknya terhadap permasalahan tersebut,
khususnya dalam hal permasalahan status hukum kekayaan negara di
BUMN (Persero). Pemerintah Indonesia dapat melibatkan mahasiswa,
akademisi,

lembaga

swadaya

masyarakat,

dan

perwakilan

dari

Kementerian BUMN dalam menyelenggarakan penelitian tersebut.
2. Sebagai bentuk upaya tindak lanjut terhadap penelitian tersebut,
pemerintah Indonesia sebaiknya membentuk Satuan Tugas/Unit Kerja
yang dilandasi oleh Peraturan Presiden dan setidak-tidaknya terdiri dari
akademisi, praktisi, pengusaha, dan perwakilan Kementerian BUMN.
Pendirian Satuan Tugas/Unit Kerja demikian ditujukan dalam rangka
untuk memetakan solusi terhadap identifikasi permasalahan regulasi yang
mengatur tentang status hukum kekayaan negara di BUMN (Persero),
berdasarkan hasil penelitian diatas. Pemetaan solusi tersebut harus
disesuaikan dengan kebijakan perusahaan induk (holding company)
BUMN (Persero) yang sekarang sedang berjalan dan menitikberatkan pada
pendayagunaan BUMN (Persero) sebagai entitas bisnis.
3. Dalam rangka untuk mengoptimalkan pemetaan

solusi

tersebut,

pemerintah Indonesia maupun Satuan Tugas/Unit Kerja yang telah/akan
dibentuk seyogyanya juga merujuk pada negara yang telah terbukti secara
nyata mampu untuk mengelola BUMN (Persero)-nya sebagai kekuatan
ekonomi negaranya. Dengan demikian, diharapkan pemerintah Indonesia
dapat mengadopsi konsep pendayagunaan BUMN (Persero) di negara yang
telah

terbukti

mampu

mengelola

perusahaan

negaranya

dengan

penyesuaian terhadap kebijakan yang sedang berjalan di Indonesia.
4. Berdasarkan penelitian dan pembentukan Satuan Tugas/Unit Kerja yang
dapat menghasilkan identifikasi permasalahan BUMN (Persero), pemetaan
|8

opsi-opsi solusi terhadap permasalahan BUMN (Persero), dan rujukan
terhadap negara yang telah terbukti mampu mengelola perusahaan
negaranya, pemerintah Indonesia dapat menjadikan hasil penelitian
tersebut untuk menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam
melakukan perubahaan atau revisi terhadap kaedah hukum UU Keuangan
Negara, khususnya Pasal 2 huruf (g).

|9

Daftar Pustaka
Atmadja, Arifin P. Soeria. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori Praktik, dan
Kritik Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006
Harahap, M. Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo, 2011.
Ilmar, Amiruddin. Hak Menguasai Negara dalam Privatisasi BUMN. Jakarta: Kencana, 2013.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Diterjemahkan oleh Anders Wedberg. New
Jersey: The Lawbook Exchange, 2007.
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah
Public Sector Research. State-Owned Enterprises: Catalysts for Public Value Creation?.
London: PricewaterhouseCoopers, 2015.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Mengenai
Peningkatan Peran Badan Usaha Milik Negara Sebagai Agen Pembangunan di
Bidang Pangan, Infrastruktur, dan Perumahan, Jakarta: Kementerian Hukum dan
HAM, 2016.
Rahadian, Inda. “Kedudukan BUMN Persero sebagai Separate Legal Entity dalam Kaitannya
dengan Pemisahan Keuangan Negara pada Permodalan BUMN”. Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM No.4, Vol 20 (2013).
Rostow, Eugene V. The State and the Rule of Law in a Mixed Economy (Book Review). New
Haven: Yale Law School Faculty Scholarship, 1972.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

| 10

Wati, Dwi Ananda Fajar. “Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Kerugian Keuangan Negara
Pada BUMN/Persero”. Badamai Law Journal, Vol.1 (2016).

| 11