T2 752016014 BAB III

BAB III
PEREMPUAN DALAM TRADISI NIAS
Sekilas Pandang Tentang Nias

a. Geografis
Memahami kedudukan perempuan serta makna keluraga dalam
kehidupan masyarakat Nias terlebih dahulu penulis menguraikan gambaran
geografis, penduduk, bahasa,

dan mitos atau cerita rakyat Nias yang

berhubungan denggan penciptaan dan perempuan.
Nias adalah daerah

kepulauan yang

terletak

di

sebelah


barat

pulau Sumatera, Indonesia, dan secara administratif berada dalam wilayah
Provinsi Sumatera UtaraKepulauan Nias terdiri dari 132 pulau, memiliki
luas daratan kurang lebih 5.625 km2 (7,8 % dari wilayah Sumatra Utara),
yang terletak diantara 0ᵒ 12‘ dan 1ᵒ 32‘ garis lintang Utara dan 97ᵒ dan 98ᵒ
bujur Timur. E. Fries yang kutip Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel,
mengatakan bahwa kepulauan Nias berbatasan dengan1:
- Di bagian utara dengan pulau-pulau banyak Aceh
- Di bagian selatan dengan Pulau Mentawai—Sumatra Barat
- Di Bagian Timur dengan Tapanuli Tengah—Sumatra Utara

1

Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib Dan Adu, Studi sejarah dan Sosial-budaya
Perjumpaan Kekristenan dan kebudayaan Asli Di Nias dan Pulau-Pulau Batu, Indonesia (18651965), (Jakarta, BPK Gunung Mulia: 2015), 13

78


- Di bagian Barat dengan Samudra Hindia
Untuk bisa sampai di Nias bisa melalui Laut lewat pelabhan Sibolga
atau Padang, bisa lewat penerbangan Udara dari Kuala Namu Medan atau
Padang ke Binaka Gunungsitoli.
Dulunya kepulauan Nias merupakan salah satu kabupaten di propinsi
Sumatra Utara, namun pada tahun 2003 Kepulauan Nias menjadi dua
kabupatan yakni kabupaten Nias dan Nias Selatan (Nias Selatan mencakup
pulau-pulaau batu yang diakui sebagai kabupaten pada 25 Februari 2003 dan
diresmikan pada 28 Juli 2003). Pada 29 Oktober 2008 terjadi pemekaran
besar-besaran di kabupaten Nias—Nias Induk, Nias Barat, Nias Utara dan
Kota Gunungsitoli. Kemudian ada wacana dan perjuangan (yang belum
terkabulkan) pembentukan propinsi kepulauan Nias.
Gambar 1. Peta Pulau Nias2

2

http://peta-kota.blogspot.co.id/2011/06/peta-pulau-nias.html, diaksese 23 mei 2017

79


A. Agama, Penduduk dan Mata Pencaharian

Agama mayoritas di daerah ini adalah Kristen Protestan dimana 90%
penduduknya

memeluk

agama

ini,

sedangkan

sisanya

beragama Katolik, Islam, dan Budha. Penduduk yang memeluk agama
Islam pada umumnya berada di wilayah pesisir Kepulauan Nias
Tabel 1 : Data pemeluk agama di kepulauan Nias tahun 20153.
Kabupaten/kota
Gunungsitoli

Nias
Nias Barat
Nias Selatan
Nias Utara
Total

Islam
17,151
1,536
1,621
7,394
6,894
34,596

Protestan
99,483
113,293
64,417
223,843
99,529

600,565

Katolik
9,112
16,510
15,740
58,123
20,676
120,161

Hindu
0
0
2
6
2
8

Budha
245

0
12
31
1
289

Konghucu
2
4
1
2
0
9

Jumlah
126,202
131,377
81,807
289,708
127,244

756,338

Kepulauan Nias didiami oleh kelompok etnis Nias yang menyebut
dirinya sebagai Ono Niha (anak Manusia) dan Nias disebut sebagai tanȍ
Niha (tanah Manusia). Ono Niha percaya bahwa nenek moyang mereka

adalah orang pertama yang tiba—diturunkan (nidada) dari Tetehȍli’ana’a
sehingga mereka menyebut diri mereka sebagai penduduk asli (sowanua ),
sementara suku-suku lain disebut sebagai pendatang (sifatewu atau
sanawa )4. Sebagian kecil di daerah perkotaan adalah pendatang yang

berprofesi sebagai pedagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Buruh.
Mayoritas Penduduk Nias bermata pencaraharian petani—terutama
petani karet (sebagian besar daratan Nias ditanami dengan tanaman karet),
beternak (ayam dan babi), berladang; menam ketela rambat (daunya
dijadikan makanan pokok babi) dan ketela pohon, jagung, menanam padi di
sawah, sebagian lainya adalah PNS, buruh bangunan, buruh pelabuhan,
3
4


Sumatra utara dalam Angka BPS tahun 2015
Bdk. Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, 14

80

karyawan, nelayan, pembantu rumah tangga, supir, tukang becak, dan
sebagian lainya menjadi buruh dan pekerja kasar di berbagai perusahaan
swasta di kota-kota besar.

B. Bahasa

Dalam beberapa tulisan mengungkapkan bahwa Nias masuk dalam
rumpun bahasa Melayu-Polinesia (Austronesia) 5, walaupun demikian secara
morfologi (linguistic) bahasa Nias yang disebut Li Niha sangat berbeda
berbeda dan tidak memiliki padanan yang mirip atau sama dengan bahasabahasa yang ada di dunia, kecuali ―kata‖ dua, lima yang sama dengan
bahasa Indonesia dan Ama atau Ina yang mirip tetapi tidak sama dengan
makna Ama dan Ina dalam bahasa Sumba atau Timor.
Secara tata bahasa, kosa kata li Niha selalu terbuka bukan tertutup
atau berakhir dengan huruf fokal bukan konsonan, karena itu setiap
ungkapan tidak memiliki ―huruf‖ penutup, misalnya, manga (makan),

mofanȍ (bepergian), mȍrȍ (tidur), dll.
Ada dua logat (logat Nias Selatan dan Nias bagian Utara), sebagian
kecil ada perbedaan pengungkapan bahasa yang berbeda digunakan di Nias.
Perbedaan pengungkapan terkadang tidak menimbulkan kesalahpahaman
atau

kesulitan

dalam

membangun

komunikasi,

mengingat

proses

komunikasi yang berlangsung lama dan adanya pembauran antara
masyarakat dari Nias Selatan dan Nias, sehingga sudah tidak asing lagi bila

mendengar uangkapan dari salah satu bahasa yang dituturkan.
Bdk. J. Feldman ‗Nias and its traditionl sculpture‘ yang dikutip Telaumbanua dan Hummel,
18, Muhamad Yamin dalam bukunya 6000 tahun sang merah Putih, yang dikutip oleh F. Yama
Zebua, Sumber-Sumber Kebudayaan Tradisional Ono Niha , Gunungsitoli, Tidak diterbitkan;
1985), 12
5

81

Tabel 2. Contoh perbedaan dalam pengungkapan
Bahaa Indonesia
Kepala
Kelapa
Kelapa Muda
Makan
Dibawah
Tuhan

C.


Nias
Hȍgȍ
Banio
Balalu
Manga
Sitou
Lowalangi

Nias Selatan
Telau
Sekhula
ȍlȍmbu
Mana
Tou
Lowalani

Cerita Rakyat Asal-usul Nias

Ada beberapa fersi cerita rakyat yang terdapat dalam masyarakat Nias,
baik cerita tentang kosmologi maupun cerita tentang asal-usul nenek
moyang Nias yang keduanya kadang merupakan cerita yang tidak bisa
dipisahkan (berepisode) dan tidak terlepas dari kuasa-kuasa ilahi. Namun
sebagian lainya (kosmologi da nasal-usul nenek moyang) tidak berhubungan
satu dengan lainya.
Menurut beberapa cerita, kisah kosmologi dan penciptaan manusia
bahwa pada mulanya segala sesuatunya kacau balau dan dipenuhi dengan
kegelapan. Maka dalam situasi ini ―Sang pengada‖ yang dianggap memiliki
kekuatan ajaib, perasaanya sangat halus, pemandanganya kedepan sangat
jauh,

dan memiliki pendengaran yang sangat peka.6 Sang Pengada ini

kemudian dianggap sebagai ilah yang disebut ―Sihai‖7 atau dalam versi lain

Faogȍli Harefa, Hikajat dan Tjeritera Bangsa Serta Adat Nias, (Sibolga, Rapatfonds
Residentie Tapanoeli: 1939), 4
7
Bdk. Faogȍli Harefa, 4; bdk. Tuhoni Telaumbanua Dan Hummel, 20; bdk. Peter Suzuki, The
Religious System And Culture Of Nias, Indonesia : (Granvenhage, Uitgeverij ExcelsiorOranjeplein: 1959), 4
6

82

disebut Inada Samihara Luo8 tidak memiliki ayah dan ibu, dia bukanlah
hasil ciptaan, melainkan pencipta lagit, dewa-dewi.
Sebuah kisah penciptaan9 yang mirip dengan kisah penciptaan dalam
Kitab Kejadian.

Bahwa suatu waktu Sihai sebagai Sang Pengada,

menciptakan seorang yang bernama Sitahu. Lalu Sihai menciptakan sesuatu
dari kehampaan bagaikan lumut yang halus yang disebut lȍlȍu nuwu nangi,
sebesar butir beras, lalu memerintahkan Sitahu untuk mengadu benda
tersebut dengan ujung jarinya, maka dari kesaktian Sitahu

benda itu

semakin besar, maka terjadilah langit yang pertama, kemudian diambilnya
lagi sebesar butir beras dari lagit pertama, lalu diaduk dengan ujung jarinya,
maka terjadilah langit kedua, begitu seterusnya sampai terbentuklah lagit
kedelapan yang disebut Tetehȍli’ana’a, di dalamnya terdapat berbagai
sumber kehidupan dan kekayaan yang tidak ada bandingnya, kemudian
diciptakanlah langit kesembilan yang disebut dengan bumi—itulah Tanȍ
Niha (pulau Nias).

Setelah pekerjaan sembilan tingkatan langit terbentuk, maka
berpikirlah Sihai untuk mengisi dan membuat keteraruran di bumi/tanȍ Niha
(langit ke Sembilan); awalnya Sihai mengadu udara lalu terbentuklah batang
air yang namanya Zea—itulah sumber segala sungai di Nias; selanjutnya dia
mengadu udara dan terbentuklah petir dan kilat sehingga terciptalah api;
kemudian diadunyalah udara yang menyerupai warna merah, maka
terbentuklah matahari yang menerangi alam semesta, kemudian membentuk

8

Suzuki, 3-5; bdk, Telaumbanua dan Hummel, 20
Bdk. Harefa, 4-12, bdk, Zebua 62-96; Bdk, Sadieli Telaumbanua, Representasi Budaya Nias
Dalam Tradisi Lisan; Kajian semiotika dan hereneutika fenomenologis mitos asal-usul kejadian,
(Gunungsitoli, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan ―Nias‖: 2006), 86, 92-104
9

83

ikan dan burung, kemudian tumbuh-tumbuhan, binatang yang bertulang
belakang, dan terakhir adalah segala sesuatu perkakas yang dibutuhkan di
bumi seperti besi, perak, emas, kuningan dll.
Setelah segala sesuatu di bumi dilihat telah lengkap, maka berpikirlah
Sihai untuk menciptakan sesuatu, maka diambilnyalah zat yang sangat
jernih dan dibentuklah sesuatu menyerupai boneka cantik. Dari boneka
tersebut diambilnya sebesar setengah kuku kelingking lalu dibungkus
dengan benda yang sangat halus menyerupai sutera halus lalu ditanamnya di
tanah yang baik, setelah tertiup angin, maka munculah sebentuk kecumbu
lalu semakin besar, berakar, berbatang dan berdaun, tumbuhan ini sangat
harum—kemudian disebut Tora‘a.

Beberapa saat kemudian Tora‘a

berbunga dengan sangat indah, setelah bunganya mekar, dari pucuk bunga
itu keluarlah makluk yang sangat indah bagaikan boneka, lalu jatuh ke
tanah, lalu Sihai mengambil dan memberkati, lalu bergeraklah benda
tersebut, selanjutnya Sihai mengucapkan sesuatu ke benda tersebut, maka
benda itu memiliki akal budi—jadilah seorang manusia yang berjenis
kelamin laki-laki yang diberi nama Mosilaȍwa. Kemudian keluar pucuk
bunga Tora‘a berikutnya, dan seperti proses yang sebelumnya, maka jadilah
perempuan yang diberi nama Buruti. Mosilȍwa dan buruti menjadi
pasangan suami istri; terciptalah keluarga pertama dalam masyarakat Nias.
Mosilaȍwa dan Buruti memiliki tiga orang putra, namun hanya satu
orang memiliki keturunan yakni Tuha Sidunia Lȍlȍmbawa. Pada garis
keturunan yang ke 25 Tuha Sidunia Lȍlȍmbawa keturunan yang diberi
nama Lowalangi Kura`a. Lowalangi Kura‘a memiliki tiga orang putra yakni

84

Langi Sagȍrȍ banua, Mangola Tanȍ, dan Mamulikhe bihara. Langi Sagȍrȍ
banua memiliki memiliki dua putra yakni Sirao dengan beristri Buruti Rao,
Mangaraja Langi. Sirao dan Buruti kemudian menjadi nenek moyang orang
Nias yang diturunkan ke bumi. Anak-anaknya adalah Tuha Bawuadanỡ, 2.
Tuha Zangarỡfa, 3. Tuha Bela, 4. Tuha Simanga Buaweto Alitỡ, 5. Tuha
Samadu Sonamo Dalỡ, 6. Hia Walangi Adu, 7. Gỡzỡ Helahela Danỡ, 8.
Daeli Sanau Talinga, 9. Luo Mewỡna
Berkaitan dengan tulisan ini, sebuah bentuk cerita lain yang dipercaya
oleh masyarakat Nias menuturkan bahwa asal usul orang Nias10 dari Inada
Samihara Luo (Dewi Matahari). Inada Samihara Luo lahir dari kabut,

kemudian menciptakan manusia melalui tubuhnya yang terbelah lalu
lahirlah seorang perempuan yang bernama Inada Samadulo Hösi yang
menjadi ibu para dewa dan manusia. Samadulo Hösi (tanpa bersuami)
memiliki 2 (dua) pasang anak kembar. Pasangan pertama Latura Danö
dengan sebutan lain

Lawaero Watua

—sebagai

penguasa dunia

bawah/neraka, menikah dengan saudari kebarnya Hinaya Ndrao Tane‘a
Danö dengan sebutan lain Hinaya Ndrao Jisiwa Bulua. Pasangan kedua
Sabölö Luo Gögömi (sebagai penguasa dunia atas/Teteholi’ana’a dengan
sebutan lain Sabölö Luo Sabua atau Lowalangi, menikah dengan saudari
kembarnya Nadawa Mölö dengan sebutan lain Najaria Mbanua sering juga
disebut dengan nama Silewe Hai Nazarata, lalu mereka memiliki Anak dan
menjadi nenek Moyang masyarakat Nias yakni Sirao. Salah satu versi Mitos
Asal usul Nias menuturkan bahwa Sirao memiliki 9 orang anak 1. Tuha

10

Bdk. Peter Suzuki, The Religious System And Culture Of Nias, Indonesia : (Granvenhage,
Uitgeverij Excelsior-Oranjeplein: 1959), 4-21

85

Bawuadanỡ, 2. Tuha Zangarỡfa, 3. Tuha Bela, 4. Tuha Simanga Buaweto
Alitỡ, 5. Tuha Samadu Sonamo Dalỡ, 6. Hia Walangi Adu, 7. Gỡzỡ
Helahela Danỡ, 8. Daeli Sanau Talinga, 9. Luo Mewỡna11
Inada Silewe Hai Nazarata disebut-sebut sebagai pribadi yang sangat
berperan dalam kehidupan manusia, menata harmoni kehidupan yang
kemudian membudaya (walaupun budaya tersebut mengalami pergeseran).
Silewe Hai Nazarata disebut sebagai Ibu dari orang Nias. Sebagai ibu, dia
adalah sumber kehidupan, sumber kasih sayang yang tidak berpihak dan
tidak bersyarat (unconditional), sangat bertanggung jawab, sumber suka
cita, dan dunia bagi laki-laki12. Sebaliknya, sebagai respon dari manusia,
Silewe Hai Nazarata yang terimplementasi dalam diri perempuan harus
dihargai, dihormati, disayangi (ira alawe nifolakhömi, Nifosumange sibai).
Sikap seperti ini menjadi budaya dalam masyarakat Nias. Cerita ini sering
sering dituturkan melalui syair-syair tradisional Nias, terutama dalam syairsyair yang menata harmoni dan aturan yang harus di lakukan dalam sebuah
pernikahan. Salah satunya adalah13.;
syair yang dituturkan oleh para penatua adat dari pihak pengantin
perempuan dengan cara penuturan khas adat Nias
Tabel 3: Syair yang menuturkan peranan Silewe Hai Nazarata dalam
menata kehidupan Masyarakat Nias
Syair bahasa Nias
Inada Silewe Hai Zazarata, yaia
mege johayaigö danömö dawuo,

Terjemahan
Inada Silewe Hai Nazarata dulunya
telah menyamai bibit sirih

11

Suzuki, 7; bdk. Ketut Wiradnyana, Legitimasi kekuasaan pada Budaya Nias; Paduan
Penelitian Arkeologi dan antropologi, (Jakarta, Yayasan Obor: 2010),167-169
12
Bdk. Erick Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriaki: Yokyakarta, Jalasutra: 2007), 6-7
13
Wawancara dengan A. Efir Zendratö; Ina Mesra Harefa; A. Tinu Harefa

86

Ya’ia mege janötöigö nösi mbola
marafule,
tobali tawuo sini—(sisokhi)—
tobali tawuo lara,
nano labidi langanga ami gulo
nidano taya wa’owokhi dodo,
tobali tawuo ösi mbola marafule,

Dia memberi wasiat tentang isi
bola 14 pegantin laki-laki,
menjadi daun sirih yang baik,

menjadi
daun
sirih
yang
membahagiakan,
jika sudah digulung dan dikunyah,
maka segala rasa haus akan sirna,
tawuo osi mbola numönö, menjadi isi bola penganti laki-laki
solemba ba baluze nora jowatösonuza

Cerita lain menuturkan bahwa nenek moyang orang Nias berasal dari
suku bangsa besar yakni Austronesian (Sebagian besar suku bangsa tersebut
merupakan orang Taiwan atau dahulu bernama Yunan). Orang Yunan yang
berekspansi sejak 5.000 tahun lalu terdampar di Kepulaan Nias. Mereka
tidak berlabuh di pantai, tetapi menyusuri sungai yakni sungai Susua,
hingga tiba di salah satu desa tua di kecamatan Gomo namanya Börö Nadu
Gomo.15
D. Fondrakȍ dan Famatȍ Harimao

Untuk menjamin keteraturan sosial, menjamin hak-hak seseorang atau
kelompok, masyarakat Nias membuat suatu aturan adat (agama, adat dan
pemeritahan menyatu). Dalam sebuah proses pertemuan para tua-tua adat
yang terdiri dari Balugu atau Tuhenȍri, satua mbanua (kepala adat)/ di Nias

14

Bola atau bola-bola adalah sejenis dompet tradisional Nias yang dianyam dari daun pandan
atau ecek gondok yang digunakan khusus untuk tempat sirih (yang dimaksud sirih bukan hanya
daunya, tetapi yang dimaksud sirih dalam tradisi Nias adalah daun sirih, pinang, tembakau, kapur
sirih, daun gambir). Bagi orang Nias, symbol penghargaan dan relasi yang antara beberapa pihak
berada pada sirih (Afo). Karena itu segala acara adat, tidak akan berjalan bila sirih atau afo tidak
ada. Begitu juga dalam sebuah keluarga, sebagai penghargaan dan penyambutan tamu dirumah,
kepadanya disuguhkan Afo, dalam relasi personal dalam lingkungan sosial, setiap pribadi akan
membawa bola nafo pribadi, bila bertemu dengan orang lain, maka hal yang pertama yang harus
dilakukan adalah menyuguhkan afo dari bola nafo
15
.Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik
Humaniora

87

selatan di hadiri oleh Tuhenȍri, balȍ zi’ulu, Si’ulu dari beberapa kampung
dan ȍri untuk membahas dan menetapkan sebuah hukum baru. Pertemuan
ini disebut Fondrakȍ (Nias Utara) atau Famatȍ harimao (Nias Selatan).
Fondrakȍ

atau Famatȍ harimao di lakukan untuk menjawab setiap

kebutuhan sosial atas berbagai peristiwa atau perubahan sosial dalam sebuah
masyarakat karena perubahan sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat.
Fondrakȍ atau Famatȍ harimao dihadiri oleh para laki-laki yang dipimpin
oleh seorang Ere, dan kemudian hasilnya diumumkan oleh balugu atau
Tuhenȍri tertinggi. Setelah pengumuman hasil pertemuan, maka Ere
membacakan sumpah dengan ritual-ritual, yang kemudian ditutup dengan
jampi-jampi sambil memberkati peserta dengan percikan air

dari daun

kelapa yang masih muda. Bagi yang melanggar akan mendapat kutukan dan
hukuman yan seberat-beratnya.
Beberapa tema besar yang menjadi pembahasan dalam fondrakȍ
atau famatȍ harimao adalah16;
1.

Huku sifakhai ba mboto niha . (segala sesuatu yang berhubungan

dengan keselamatan seseorang). Hukum adat mengatur hukum
peradilan bagi pelaku kejahatan (ringan atau berat) yang mengancam
kehidupan seseorang
2.

Huku sifakhai ba gokhȍta (hukum yang berhubungan dengan harta
benda).

Dalam hukum adat masyarakat Nias ada penjaminan

kepemilikan pribadi, dan juga kepemilikan bersama, misalnya tanah

16

A. Mesra Harefa, A. Suarni Ge`e, A. Setia Laia, A. Efir Zendratȍ; Bdk. Tuhoni
Telaumbanua dan Uwe Hummel, 28-32

88

adat. Tanah adat tersebut berupa lahan atau hutan yang sangat luas
yang menjadi milik masyarakat desa atau kampun tertentu.
3.

Huku sifakhai ba jumange ba lakhȍmi

(hukum yang berhubungan

dengan harga diri dan martabat seseorang), dalam hukum ini, disepakati
hukum-hukum yang berhubungan dengan martabat seseorang terutama
para tua-tua adat, strata sosial, dan lebih lagi pada martabat seorang
perempuan, karena perempuan adalah seorang ibu. Contoh; bagaimana
hukum bagi orang yang main mata, mencoleh tangan saat bersalaman,
mengintip orang mandi. Dll. Pihak yang dilindungi adalah perempuan.
4.

Huku soamakhaita ba wa’atumbu, falȍwa, bȍwȍ, fa’amate, (hukum
yang berhubungan siklus kehidupan dan stratifikasi sosial), apa yang
dilakukan saat seseorang dalam kandungan, lahir, remaja, menikah,
meninggal)

5.

Huku so’amakhaita lala halȍwȍ ba fondrȍnia’ȍ (segala sesuatu yang
berhubungan dengan pekerjaan dan kepemimpinan yang di dalamnya
terdapat pranata/hukum kepemimpinan dalam keluarga

Konsep, Tujuan dan Fungsi Keluarga Dalam Masyarakat Nias
Secara tata bahasa Nias, keluarga diartikan ―ngambatȍ‖, yang terdiri dari
dua suku kata yakni nga artinya satu kesatuan, satu unit, satu rumpun, dan mbatȍ
artinya lantai, tempat tidur dari lantai (tanpa ranjang) dalam rumah tradisional
Nias.17 Dari arti leterlek tersebut, masyarakat Nias memahami secara sederhana,
keluarga sebagai sekelompok orang yang berteduh dalam sebuah rumah di sebuah
kampung yang terdiri dari laki-laki dewasa yang disebut suami dan perempuan
17

F. A. Yana Zebua, 262

89

dewasa

yang disebut istri yang memiliki ikatan pernikahan yang sah secara

adat18. Pernikahan ini ini terjadi bukan atas kehendak berdua atau dilandaskan
cinta, melainkan atas kehendak keluarga besar—pernikahan yang terjadi karena
perjodohan19. Setelah pernikahan, maka suami istri mulai belajar untuk saling
mengenal dan mencintai20. Dalam tradisi, laki-laki dikenal sebagai pembentuk
keluarga karena itu dia disebut sebagai hȍgȍ ngambatȍ (kepala keluarga) dan istri
disebut sebagai solaya talinga mbatȍ (pengelola rumah tangga), sebagai
pengelola, istri bertugas sebagai bendahara atau pemegang kas keluarga. Anakanak disebut sebagai ȍsi ngambatȍ (anggota rumah tangga)
Dikatakan sah secara adat, karena sebelum agama Kristen dan dan
pemerintahan masuk dalam sendi kehidupan masyarakat Nias, maka yang menata
segala sendi kehidupan masyarakat adalah hukum adat yang telah dihukumkan
melalui fondrakȍ atau famatȍ harimao.
Dalam perkembanganya, masyarakat Nias memahami keluarga sebagai
sekelompok orang (seorang laki-laki dewasa yang disebut suami dan atau ayah
dan seorang perempuan dewasa yang disebut istri dan atau ibu beserta beberapa
orang anak kandung atau angkat) yang memiliki komitmen untuk sehidup (namun
tidak semati) bersama dengan memiliki ikatan pernikahan yang sah menurut

18

Yang berhak memutuskan dan mengesahkan sebuah pernikahan adalah warga masyarakat
yang menghadiri pesta pernikahan yang dipimpin oleh kepala suku dan para kepala adat dari kedua
belah pihak (pengantin laki-laki dan perempuan)
19
Perjodohan bisa terjadi atau dilakukan saat sepasang muda-mudi sudah besar, atau
perjodohan juga bisa dilakukan saat sepasang manusia masih kecil atau bayi atau ada perjodohan
yang dilakukan saat manusia tersebut masih dikandungan ibunya. Perjodohan dari kandungan
terjadi karena adanya hubungan kekeluargaan yang baik dari kedua keluarga, sehingga ada
keinginan untuk semakin mempererat hubungan tersebut dengan menikahkan anak mereka kelak.
Perjodohan dari kadndungan atau dari kecil bisa dilakukan antara kerabat dekat dengan tujuan
agar hubunagn persaudaan yang terjalin baik terus terjalin sekaligus agar harta warisan dari
keluarga laki-laki yang melamar tidak beralih ke keluarga yang lain. ( A. Suarni Ge`e, A; A. Reti
Gulȍ; A. Fite Daeli)
20
Bdk. Faogȍli Harefa, 28; F. A. Yana Zebua, 262; A. Gameni Harefa

90

Agama, Pemerintahan dan Adat dan memiliki suatu ikatan bathin yang sangat
kuat21. Beberapa hal yang perlu digaris bawahi dari konsep terakhir yakni;
1. ―Seorang laki-laki dewasa dan perempuan dewasa‖ konsep ini
menandakan bahwa kalau dulu Nias masih memiliki peluang untuk
berpoligami bagi yang menghendaki, memiliki kemampuan ekonomi,
maka dengan masuknya kekristenan, maka masyarakat Nias dilarang untuk
berpoligami—masyarakat menganut monogamy.
2.

―anak angkat‖. Saat pernikahan terjadi, maka kepada pengantin
perempuan diberi salah satu julukan yakni ―bene’ȍ‖ artinya berbunga.
Pengantin perempuan di identikan dengan tumbuhan yang harus selalu
berbuah, artinya melahirkan anak-anak sebagai pewaris bagi suaminya,
jika hal itu tidak bisa dikabulkan, maka suami berhak untuk menikah
kembali (bagi yang mampu secara ekonomi). Namun berkaitan dengan
catatan pertama, seorang laki-laki dilarang untuk menikah kembali atau
menceraikan istrinya, karena demikianlah ajaran agama yang kemudian
jadi tradisi baru yang tidak boleh dilanggar. Namun untuk mendapatkan
seorang pewaris atau membuat sebuah keluarga semakin hangat atau
bahagia, sebuah keluarga ada kemungkinan untuk mengadopsi seorang
atau lebih (hal ini bisa disebabkan karena tidak memiliki anak atau anak
laki-laki).

Masyarakat Nias memiliki beberapa

tujuan dalam pembentukan sebuah

keluarga22;

21
22

A. Citra Zebua, A. Ya‘ia, A. Fite Daeli
I. Desi Harefa, Ina Gaeni Lase, A. Gameni Harefa, A. Ya‘ia Harefa, A. Efir Zendrato

91

1. Memperoleh keturunan sebagai pewaris. Garis keturunan tersebut diwariskan
melalui anak laki-laki. Itulah sebabnya anak laki-laki disebut sebagai ―ono
fangali mbȍrȍ jisi, ono Fangali mbu’u kawongo” (anak laki-laki sebagai
generasi penerus tradisi-tradisi keluarga dan ahli waris dan juga sebagai
pelindung keluarga). Bagi masyarakat Nias, anak laki-laki sangat penting,
dibanding dengan anak perempuan, itulah sebabnya bila sebuah keluarga tidak
memiliki anak laki-laki maka laki-laki (suami) akan menikah kembali—Nias
tradisional terbiasa dengan poligami.
2. Memperoleh tingkatan kedudukan sosial yang lebih tinggi. Masyarakat Nias
mengenal dua belas tingkatan sosial/strata sosial (baca: strata Sosial. Strata
pertama sampai dengan strata ke enam masuk dalam tingkatan perkembangan
umur seseorang (masa anak-anak)—hal ini tidak bisa dikategorikan sebagai
starata/kelas, namun dihitung sebabgai tahap yang harus dilalui seseorang
untuk menuju strata sosial yang tinggi dalam sebuah masyarakat.
3. Berhubungan dengan tujuan nomor dua, seseorang (anak sulung) laki-laki
yang telah menikah berhak mewarisi kedudukan orang tua dalam adat.
Seyogianya dalam adat selalu diwarisi oleh anak sulung, tetap jika anak sulung
belum

menikah

atau

berkebutuhan

khusus,

maka

hak

pewarisan

kedudukan/jabatan adat itu dilabelkan kepada anak laki-laki yang terlebih
dahulu menikah. Namun jika suatu waktu anak sulung menikah, maka hak
pewarisan tersebut akan kembali kepada anak sulung.
4. Masih berhubungan dengan nomor dua, seseorang yang telah menikah

terhitung sebagai orang dewasa dan satu kepala keluarga sehingga layak
mendapat kedudukan dalam adat dan jatah pembagian makanan dalam adat

92

(Fa’asambua mbumbu nomo ma sambua balȍ gȍ,). Seseorang yang berumur
dewasa, namun belum menikah tidak akan diperhitungkan sebagai sebuah
kepala keluarga dalam lingkungan sosialnya—masih dianggap anak-anak.
5. Famakhai zitenga bȍ’ȍ; artinya menjalin dan mempererat hubungan
persaudaran antara keluarga dan atau desa, itulah sebabnya ada ungkapan bagi
perempuan “Ira Alawe Zamaogö Banua, ba ira alawe göi zamoto banua
(perempuan sebagai pemersatu, tetapi bisa juga sebagai pemecah belah dan
biang perselisihan).
6. Media perdamaian antara keluarga atau desa yang lain; ada ungkapan yang
baik bagi perempuan ―Ono Alawe Sanau Tugoa,Ono Alawe Sanau Talinga,
Ono Alawe Samatöla Banua, Ono Alawe Samatöla Gana.” (anak gadis yang

baik dan bijak akan menjadi penghubung dan pemersatu antara desa yang satu
dengan desa lain). Mengapa perlu perdamaian. Pada masa Nias kuno, konflik
antara desa yang satu dengan lainya sering terjadi, konflik yang terjadi akan
berujung perang dan kematian pemuda-pemuda pemberani di kedua belah
pihak. Itulah sebabnya, bila salah satu balungu atau satua mbanua berinisiatif
membangun perdamaian dengan cara melamar anak gadis balugu atau satua
mbanua desa yang sedang bertikai dengan desanya.

7. Tujuan politis. Mengingat hubungan antara desa terkadang terjadi ketegangan,
maka pernikahan antara desa dilakukan, bukan hanya membangun perdamaian,
tetapi juga persekutuan politik, sehingga bila ada desa yang bersengketa
dengan desa lain, maka desa tersebut akan membangun koalisi dengan desa
sahabatnya23.

23

A. Gameni harefa, A. Suarni Ge`e, A. Ya‘ia Harefa

93

Yang berhubungan dengan konsep dan tujuan pembentukan sebuah keluarga
dalam masyarakat Nias, maka ada beberapa fungsi keluarga menurut tradisi Nias;
1. Fungsi reproduksi, terutama anak laki-laki sebagai ahli waris dan penerus
tradisi sekaligus pelindung keluarga
2. Fungsi

perdamaian.

Para

perempuan-perempuan

menjadi

agen

perdamaian baik di dalam keluarga maupun di kampung atau antara desa
(Baca: Agen Perdamaian)
3. Fungsi ekonomi. Di dalam keluarga terjadi pengelolahan perekonomian
untuk mencukupi kebutuhan setiap hari dan peningkatan taraf hidup yang
berujung pada peningkatan strata sosial sebuah keluarga
4. Fungsi sosialisasi tradisi dan nilai-nilai sebuah keluarga dan sosial. Fungsi
keluarga sebagai sosialisasi berlangsung seumur hidup. Namun beberapa
hal yang saling menonjol dalam sosialisasi adalah mempersiapkan
seseorang menjadi pribadi yang mandiri dan mampu membangun rumah
tangga yang sejahtera;
 Famoto (baca: strata sosial) tidak hanya bertujuan untuk kesehatan
seseorang, tetapi Famoto memiliki dua makna yang terkadang tidak
sadari pertama adalah kepatuhan. Seseorang yang baru di boto kelak
harus patuh kepada orang yang mamoto (orang yang menyunat) karena
orang itulah yang mengetahui, memotong dan melepaskan dia dari rasa
malu—karena bagi orang Nias, tanpa Sunat adalah suatu aib. Kedua
adalah Kemandirian. Seseorang yang sudah di boto harus menjadi
laki-laki yang mandiri, kreatif, dan bijak sana

94

 Fame`e ba Folohe Gari (belajar memegang dan menggunakan
pedang), setelah di boto (bagi laki-laki), dan famofo (meratakan gigi
bagi

perempuan)

maka

seorang

laki-laki

akan

dilatih

cara

menggunakan pedang—bukan hanya untuk berperang, tetapi juga
untuk berburu, dan bertani atau mencari kebutuhan hidup. Begitu juga
seorang perempuan dilatih untuk bertani, cara menggunakan pisau
(kecil) untuk berkebut, cara menanam padi, ketela (rambat dan pohon),
dan beternak.
5. Fungsi psikologi; adanya perlindungan kepada setiap anggota keluarga
dari tekanan dan ancaman dari luar—hal ini disimbolkan dengan
tinggalnya sebuah keluarga dalam sebuah rumah24
6. Fungsi cinta kasih.

Keluarga merupakan lembaga pertama untuk

mengekspresikan sekaligus mendapatkan

kasih sayang.

Dalam

keseharian cinta tidak mesti dalam tuturan kata atau syair-syair lagu atau
puisi, tetapi lebih pada ekspresi tingkah laku.
Bentuk-Bentuk Keluarga Dalam Masyarakat Nias25
Dalam masyarakat tradisional Nias ditemukaan beberapa bentuk keluarga;
1. Sangambatö adalah keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari suamiistri yang baru membentuk keluarga (fongambatö), atau mungkin sudah
lama membentuk keluarga sehingga belum memiliki anak, atau mungkin
sudah memiliki beberapa anak, tetapi anak-anak masih belum menikah.

24

Rumah merupakan symbol benteng pertahanan bagi keluarga, rumah adalah zona aman
tanpa ancaman dari luar, itulah sebabnya rumah tradisional Nias bentuknya rumah panggung, pintu
dari samping atau dari bawah rumah dan dari belakang—dengan model rumah seperti ini, maka
segala ancaman dari binatang buas dan atau dari sesama bisa diminimalisir.
25
A. Ya‘ia Harefa, A. Cipta Zebua, A. Gelfina Gulo

95

2. Sangambatö Sebua (keluarga besar) yang dibagi 4;
a. Saudara-saudara yang ada hubungan darah dengan bapak yang disebut
talifuso atau Iwa. Gabungan–gabungan dari sangambatö sebua ini dari

satu leluhur disebut Mado (di Nias Utara, Timur dan Barat). Setiap
nenek moyang dan keluarga keturunannya memiliki atia nadu. Sampai
generasi yang kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang
untuk generasi selanjutnya perkawinan diantara keturunannya tidak
menjadi masalah lagi. Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yakni;
memisahkan

atia nadu

keturunan

tersebut

dari

kumpulan atia nadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu
dengan memotong babi sebesar 4 alisi ( babi seberat 40 kilogram) dan
memberi emas sara siwalu (seekor babi sebesar 8 alisi/80 kg atau emas
14 karat seberat 10 gram)

26

. Babi tersebut diberikan oleh pihak laki-

laki. Upacara pemisahan Atia Nadu ini menandakan bahwa mereka
bukan saudara lagi (tidak memiliki hubungan darah). Dengan demikian
pernikahan

bisa

dilangsungkan27.

Apabila

anak sangambatö tadi

terutama anak perempuan kawin maka yang banyak memegang peranan
ialah keluarga dari pihak suami. Mulai dari awal upacara sampai
berakhir, mereka yang menjadi penghubung antara pihak laki-laki dan
orangtua perempuan serta yang menentukan segala sesuatu yang
berhubungan dengan upacara tersebut. Mereka ini merupakan kelompok

26

Bdk. F. Yama Zebua, 254
Bila pernikahan tersebut terjadi masih pada generasi ke tiga, maka yang dilakukan adalah,
selain babi dan emas, maka ketua adat melakukan upacara Fanila lȍsu (pembelahan lesung dan
alu), sebagai symbol bahwa antara keluarga itu niha bȍ’ȍ atau tidak memiliki hubungan darah
(orang asing), walaupun pernikahan itu tetap berlangsung tetapi dianggap sebagai pernikahan yang
tidak layak dan terkutuk (bdk. F. yama Zebua, 255)
27

96

kekerabatan yang disebut menurut dekatnya dengan sangambatö tadi.
Kelompok keluarga yang paling dekat yaitu yang sekandung dan
sepupu dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki yang disebut Iwa .
b. Saudara/saudari yang ada hubungan darah dengan saudari ayah yang
disebut onoalawe. kelompok-kelompok saudara perempuan yang sudah
kawin beserta keluarga mereka masing-masing, yang disebut fadono
atau

ono

alawe, termasuk

keluarga

yang mengawini anaknya

perempuan. Kelompok ini merupakan pekerja dalam upacara yang
dilaksanakan

oleh

sangambatö tadi.

Itulah

sebabnya

dalam

pembagian urakha (jatah makanan berupa daging babi) yang menjadi
bagian mereka adalah tangan/kedua kaki bagian depan sebagai lambang
kecekatan.
c. Keluarga dari pihak istri (ibu) yang disebut uwu, Menurut tradisi Nias
uwu adalah sumber kehidupan bagi anak-anak sangambatö, hal inilah

yang menjadikan derajat uwu lebih tinggi kedudukannya dari semua
bentuk keluarga, karena itu selalu mendapat penghormatan yang
tertinggi dari ngambatö tersebut. Karena uwu adalah sumber kehidupan
maka mereka harus mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari
kelompok keluarga lainnya. Kalau mereka baru pertama kali
datang/berkunjung kerumah saudarinya (sangambatȍ), maka saudarinya
harus memotong seekor babi. Tidak ada alasan tidak ada persediaan,
harus dicari biarpun berutang. Selain memotong anak babi biasanya
pemilik rumah tersebut haruslah memberikan penghargaan dengan
mengikutsertakan satu ekor anak babi kepada saudaranya di tambah

97

amplop berisi uang sebagai permohonan berkat (fanefe idanö). Jika
pihak keluarga uwu mengamati bahwa keluarga sangambat memiliki
ekonomi yang lemah maka uwu jarang datang kerumah saudari
perempuan yang telah menikah
d. Keluarga yang memberi istri bagi anak laki-laki sangambatö merupakan
satu bentuk keluarga yang disebut sitenga bö’ö. Sangambatȍ harus
memperlakukan zitenga bö’ö sebagai mana halnya keada uwu.
Kelompok ini harus selalu diundang apabila sangambatö mengawinkan
anaknya, mengadakan pesta kematian (syukuran) atau pesta adat
lainnya.
3. Banua (kampung)—kampung dipimpin oleh seorang kepala adat yang
terdiri dari saudara/saudari yang memiliki hubungan darah dengan bapak
(memiliki satu nenek moyang dari bapak)
4. Fongambatȍ lakha (Keluarga janda atau duda) yang terdiri dari seorang
janda atau duda yang memiliki anak dan atau tidak memiliki anak namun
hidup dalam satu rumah atau menumpang di rumah orang lain.

Strata Sosial Masyarakat Nias.28
a. Strata pertama adalah masa jambang bayi masih dalam kandungan. Masa ibu
muda hamil, maka keluarga datang ke rumah mertua (orangtua dan keluarga
perempuan) untuk menginformasikan bahwa keluarga tersebut telah terberkati
dengan sebuah kehamilan (hal ini hanya dilakukan pada anak pertama)
dengan membawa makanan (nasi dan daging anak babi yang dibungkus rapi

28

. A. Gameni Harefa,;A. Ya‘ia Harefa; A. Cipta Zebua, A.Rife Gulo

98

dari daun pisang). Sesampai di rumah mertua maka orang tua perempuan
merestui dengan memberkati dan mendoakan kandungan tersebut. Strata ini
disebut fangaruwusi. Ibu muda ini didoakan dan diberkati, karena kelak dalam
proses persalinan dialami dengan sangat berat. Persalinan tidak dilakukan di
rumah tetapi di bawah pohon besar disebuah hutan, menurut anggapan orang
Nias kuno, bahwa saat persalinan ada roh-roh jahat, karena itu persalinan itu
tidak boleh dilakukan di rumah agar roh-roh jahat tersebut tidak mendekat di
rumah. Saat persalinan akan terjadi, ibu muda di antar dan dilengkapi dengan
doa-doa baik dari orang tua maupun dari Ere sehingga proses tersebut berjalan
dengan baik29.
b. Fa’atumbu ba fangai bowoa. setelah kelahiran anak pertama (laki-laki dan
perempuan), maka orang tua anak tersebut membawa anaknya ke rumah
kakek-neneknya dengan membawa makanan (nasi dan daging seekor anak
babi) serta membawa uang atau emas yang disebut ȍmȍ ndraono (utang anak),
untuk anak laki-laki adatnya dibayar penuh sebesar…sementara untuk anak
perempuan dibayar setengah, karena setengahnya nanti akan dibayar saat anak
perempuan tersebut menikah. Sepulang dari rumah kakek-neneknya, maka
kepadanya diberi periuk yang berisi beras dan telur dan ditutup dengan daun
pisang. Sesampainya di rumah maka daun pisang itu disobek di mulut bayi,
agar cepat dan mahir berbicara. Lain halnya di Nias Selatan, saat pulang dari
rumah mertua, anak laki-laki akan diberikan tombak dan parang sebagai
pertanda bahwa kelak anak ini
c. Famatrör ö töi (pemberian nama); saat pemberian nama maka keluarga

29

A. Mesra Harefa, 17 April 2017

99

memotong satu ekor babi, lalu memanggil keluarga besar, kampung, atau
bahkan lingkungan persekutuan dalam sebuah gereja akan berkumpul dan
makan bersama (setelah agama masuk, maka pendeta atau penatua memimpin
ibadah, namun sebelum Agama Kristen masuk di Nias, yang memimpin
upacara pemberian nama adalah Ere (Imam) dan yang memberi nama adalah
kepala adat atas persetujuan dan diskusi dengan para hadirin dan orangtua
anak
d. Famoto (penyunatan)—penyunatan dilakukan oleh Ere (imam) dengan
menggunakan fasu (sejeni kulit bambo) yang telah disterilkan dengan api, saat
penyunatan dilakukan, maka keluarga menyediakan Luha 30 (tempat makanan
babi) yang belum pernah digunakan, saat itu difungsikan sebagai tempat
daging babi untuk penghargaan yang besar bagi (balugu/tuhenȍri) kepala suku
dan kepala-kepala adat,

saat penyunatan dilakukan maka Ere menyebut

kalimat ―sayalah yang melepaskan anda dari aib,‖ dan mengangkat lurus keatas
fasu lalu berteriak memberitahukan bahwa anak remaja telah dilepas dari masa

anak kecil dan aib31. ungkapan itu sebagai ungkapan simbol kekuasaan Ere
terhadap yang disunat, sehingga kelak, dia harus mendengar dan patuh
terhadap perintah Ere. Saat acara ini dilakukan maka keluarga besar akan
memototong beberapa ekor babi dan makan besar. Untuk seorang anak
perempuan disebut famofo nifö (perataan gigi).
e. Pemberian Keris. Tidak lama setelah Famoto, anak yang menginjak umur

30

Luha itu kemudian digunakan sebagai tempat bakan babi untuk pernikahannya beberapa
tahun ke depan. Karena itu orang tua akan berusaha agar anak itu dinikahkan paling lama 2 tahun
setelah famoto atau berumur 17 tahun. Bila melebihi umur 17 atau 18 tahun, hal itu suatu aib
31
Jauh sebelum agama masuk famoto sudah merupakan budaya bagi orang Nias, karena itu
Famoto sangatlah penting dalam kehidupan seseorang. Tanpa famoto, harga diri seseorang bisa
terinjak-injak, sehebat apapun dan sekaya apapun dia, pribadi itu tidak akan dihargai.

100

pemuda akan diajari cara memegang pedang serta cara penggunaanya untuk
bekerja dan berperang. Bagi anak perempuan dilatih untuk menari.
f. Pelatihan pemakaian/penggunaan keris dan bagi perempuan pelatihan bertani,
beternak, mengelola dapur keluarga.
g. Fongambatȍ (berkeluarga/menikah). Fongambatȍ adalah tahap yang sangat
penting bagi seseorang dalam masyarakat (baca: tujuan pernikahan). Seseorang
baru bisa naik pada strata sosial berikutnya bila telah berkeluarga. Namun
sebelum terjadinya sebuah pernikahan, dua catatan yang perlu digaris bawahi
- Bagi keluarga kepala suku dan kepala-kepala adat, yang memiliki beberapa
budak (gadis), maka kepada anak laki-laki tersebut diberi masa pencobaan
perkawinan dengan mempersitri gadis-gadis budak (gadis-gadis ini sebagai
istri tidak sah) setelah famoto
- Seorang

kesatria

yang

mampu

membunuh

musuh-musuhnya

dan

memenggal kepala kesatria dari kampung yang bersengketa dengan
kampunya, maka kepadanya diberi istri sesuai dengan jumlah kepala yang
dipenggalnya. Pada tahap ini pengantin laki-laki tidak membayar
mahar/belis pernikahan bukanlah emas, uang dan babi.32
h. Tahȍ dȍdȍ. Beberapa hari setelah pernikahan, maka dilakukanlah upacara
besar sebagai ―pemuliaan‖ bagi pengantin perempuan yang disebut dengan
istilah tahȍ dȍdȍ. dengan pemotongan babi, makan bersama, pembagian
daging (baik yang telah dimasak maupun daging mentah) kepada para ibuibu. Upacara ini dihadiri oleh para Tuhenȍri atau balugu, tua-tua adat, warga,
keluarga besar mertua (sitenga bȍ‘ȍ) dan semua keluarga besar), dan di akhir

32

A. gameni Harefa; bdk. Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, 25

101

dari acara ini, ditambalkanlah nama kebesaran bagi perempuan atau pengantin
perempuan tersebut.
i. Famasindro banua . Stara 9 dan sepuluh, seseorang yang telah berkeluarga
dan melakukan upacara tahȍ dȍdȍ bagi istrinya, maka tahapan berikutnya
adalah upacara mendirikan pemerintahan adat sendiri yang beranggotakan
beberapa warga, sehingga dia menjadi kepala adat dari beberapa warga
tersebut.
j. Strata 11 dalam stara sosial angkat 11 tidak digunakan lagi dalam stratas
sosial menurut adat, konon dulu di saat Tuada Sirao melakukan pesta besar
(owasa sebua ), maka pada pesta tersebut, dinyalakan obor sebanyak dua belas
(sesuai starta sosial), kemudian Tuhada Luo Mewȍna meniup kedua belas
obor tersebut, obor yang padam adalah obor kesebelas dimana Tuhada Luo
mewȍna berada pada posisi strata ke sebelas. Maka pada saat itu diputuskan
bahwa strata sebelas tidak digunakan untuk masyarakat secara umum, strata
tersebut hanya untuk Tuhada Luo Mewöna .
k. Strata 12 diperoleh dengan berbagai persyaratan yang diresmikan dengan
pelaksanaan pesta Famasindro gowe (batu besar sebagai lambang kebesaran),
dan pesta adat yang disyahkan oleh balugu/Tuhenȍri (kepala suku) dan ketuaketua yang tertua diantara balugu di dalam dan diluar wilayah banua, pada
pesta ini disertai pemberian nama kebesaran.
Strata sosial masyarakat Nias bisa dikelompokan dalam empat tahapan
a. Strata pertama sampai ketiga adalah tahap pertama (masa kecil); pada
masa ini orang tua berperan aktif melakukan beberapa ritual adat demi
kesehatan dan keselamatan anak

102

b. Strata 4 sampai enam adalah tahap ke dua (masa remaja); pada tahap ini
terjadi sosialisasi nilai-nilai (pendidikan). Sebelum pendidikan formal
diperkenalkan, maka proses pendidikan terhadap anak telah berlangsung
mulai dari masa famoto, folohe gari dan famasa niasa gari bagi laki-laki,
famofo ifȍ, latihan menari dan folohe balatu bagi anak perempuan. Laki-

laki dilatih untuk berperang (melindungi), berburu dan berkebun (untuk
bertahan hidup), bagi perempuan dilatih untuk seni menari, menggunakan
parang untuk berladang, bersawah untuk menjadi calon ibu dan solaya
ngai mbatȍ. Orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang baik dari
orang tuanya dan memiliki karakter yang baik akan menghasilkan generasi
yang bijak—pribadi yang memiliki kepribadian dan wawasan yang baik
(bisa diandalkan dalam segala hal).
c. Strata 7 adalah tahap transisi menuju pada tahap yang lebih menekankan
harga diri
d. Strata 8 sampai 12 adalah tahapan kedelapan (dewasa), pada tahap ini
pengembangan dan pembangunan harga diri menjadi prioritas utama.
Naiknya status seseorang dipengaruhi dua faktor; pertama adalah factor
keturunan dan kedua adalah factor ekonomi.

Proses Terjadinya Keluarga Melalui Pernikahan
Terbentuknya sebuah keluarga melalui pernikahan dengan proses adat yang
berbelit-belit dalam waktu yang cukup lama dan dengan anggaran (uang, emas,
babi) yang sangat banyak, selain itu, dalam proses ini akan semakin kelihatan
bagaimana kedudukan perempuan dalam sebuah keluarga. Berikut proses

103

terjadinya sebuah keluarga melalui sebuah pernikahan.33
1. Peminangan
- Famaigi Niha . Dahulu orangtualah yang berinisiatif untuk mencari siapa
pasangan anak laki-lakinya, karena itu orang tua selalu memperhatikan
anak gadis orang, kemudia melihat latar belakang keluarganya, ekonomi
dan strata sosialnya.
- Fame`e Li (pelamaran) dengan diawali oleh pengutusan seorang ibu-ibu
(disebut perantara, di Nias utara menyebutnya Si’o,

di Nias Selatan

menyebutnya bȍrȍ li) yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga
laki-laki dan bijak, kepada salah seorang ibu yang memiliki hubungan
keluarga dengan perempuan yang akan dilamar, untuk menyampaikan
niat peminangan. Dalam pembicaraan ini kedua si’o tidak mengambil
keputusan—sekedar penyampaian niat peminangan, baru si’o dari pihak
perempuan menyampaikanya kepada orang tua perempuan.

Bila ada

penerimaan pelamaran, maka selanjutnya yang berurusan adalah si’o
laki-laki (bapak-bapak yang memiliki hubungan keluarga dekat dengan
keluarga calon pengantin)di antara kedua belah pihak, baru kemudian si’o
tersebut membicarakanya kepada kelarga yang bersangkutan
2. Tunangan

- Fame,e laiduru silȍ oroma. Bila lamaraan diterima,maka tahapan berikut
adalah pemberian cincin terselubung, dikatakan terselubung karena acra
ini dilakukan bukanlah dirumah orang tua perempuan yang dilamar, tetapi
dirumah kerabat dekat (atau dirumah Si’o dari pihak perempuan), dan

33

. A. Melvina Gulȍ, 29 Juni 2017

104

acara yang dilakukan sangat sederhana. Kepada keluarga laki-laki calon
pengantin harus memberikan 1 cincin emas, Awȍ laiduru (pendamping
cincin) 10 keping koin uang kuo yang disebut rufia , uang sekhe-sekhe
laiduru (penyokong cincin) serta satu ekor babi 4 Alisi (40kg)

- Fame`e laiduru sebua . Pemberian cincin walaupun pada tahap ini tidak ada
lagi cincin yang perlu disandingkan di jari perempuan yang dilamar,
tetapi pada tahap ini, orang tua perempuan memberitahukan kepada Iwa
atau talifusȍ bahwa ada orang yang melamar anak gadis mereka.
Keluarga laki-laki harus memberikan 1 ekor babi 4 alisi dan hundra nomo
(biaya acara yang dilaksanakan).
- Fanunu manu jamatoro. Acara ini sebagai pemberitahuan bagi tetanggga,
saudara jauh bahwa ada peminangan terhadap anak gadis mereka.
- Fanunu manu sebua. Pemberitahuan bagi warga kampung, saudara-saudara
jauh (iwa, talifusȍ), keluarga besar saudara ibu perempuan yang disebut
uwu ma sitenga bȍ’ȍ, saat ini keluarga laki-laki harus memberikan 4 ekor
babi masing-masing 4-5 alisi serta biaya acara tersebut. Pada acara ini
ada sebuah penentuan hari pernikahan (walaupun penentuan tersebut
tidak harus ditepati) yang disebut Fazazi nono zalawa dengan membayar
sejumlah uang sebagai simbol perjanjian yang disebut Ana’a fazazita.
Nias Barat mengenal istilah Fame kȍla dengan jumlah babi 5 ekor babi 4
alisi (lima wa ȍfa), sekaligus membawa minyak kelapa34
- Fanofu li (hauga mbowȍ). Pihak keluarga laki-laki yang dipandu oleh si’o

datang kekeluarga pihak perempuan untuk menanyanyakan besaran

34

A. Melvina Gulȍ; A. Mesra harefa, A. ya‘ia Harefa

105

mahar yang harus mereka bayar, walaupun dalam penetapan besaran
mahar sangat tergantung dari strata sosial dalam adat.

Saat datang

menanyakan besaran mahar pihak keluarga laki-laki molewe (membawa
nasi dan daging anak babi yang dioleh sesaai adat Nias yang dibungkus
dengan pelepah pinang berserta tuak. Tingkatan mahar masing-masing
strata; ( rumpun adat di Luzamanu –Kecamatan Lotu dan sekitanya)35
 strata ke 7 masyarakat biasa 50 rigi (sejenis uang koin kuno) atau 500
firȍ36 (sejenis uang koin kuno), dua ekor babi 8 alisi (80kg) sebagai
babi adat (bawi walȍwa), beras secukupnya, 12-18 ekor babi 4-6 alisi
(40-60 kg)37
 strata 8-9 (kepala adat) sebesar 80 ringgit 800 firo babi 2 ekor 8 alisi di
tambah beberapa ekor babi seperti yang di atas.38
 Strata 10-12 dengan mahar 120 ringgit atau 200 firo di tambah 2 ekor
babi 12 alisi di tambah beras dan beberapa ekor babi seperti di atas39
Tingkatan mahar masing-masing strata; Rumpun adat Laraga —kecamatan
Gunungsitoli dan sekitarnya)
 Kelas budak; 1 ekor babi 8 alisi, di tambah 1 sese (5 firȍ)
A. Ya‘ia Harefa; A. Efir Zendratȍ, 25 Juni, 2017
Bila dirupiahkan sekarang, 1 rigi bernilai Rp. 75.000 dan satu firȍ bernilai Rp.150.000, 1
zese sma dengan 5 firȍ
37
dengan uraian 1 ekor untuk acara Fame’e laiduru sitobini, 1 ekor untuk acara Fame`e
laiduru sebua, 1 ekor pada acara fanunu manu jamatoro, 1 ekor pada acara fanunu manu sebua, 1
ekor pada acara Fanofu li, 1 ekor pada acara saat pengantar jujujuran/mahar (Fanema Ana’a), 1
ekor untuk pemuliaan para ibu (sumange ndra ina ), 1 ekor pada acara Fame’e ba Famotu (acara
penggembalaan pra Nikah dari ibu-ibu), 2 ekor untuk saudara ibu yang disebut uwu, hal ini satu
ekor yang dipotong dan satu ekor yang kasih dengan hidup-hidup). 1 ekor sumange failasa , satu
ekor saat famuli nukha
35
36

38

Bagi anak kepala adat, maka jumlah babi semakin bertambah, yang digunakan sebagai
pemuliaan bagi kepala-kepala adat yang lain.
39
Semakin banyak tamu yang dimuliakan, maka jumlah babi yang dibebankan kepada keluarga
pengantin laki-laki semakin banyak.

106

 Strata 7 sara balaki (setara dengan 2 ekor babi 8 alisi atau 20 firȍ), 1
ekor babi 8 Alisi di tambah 1 sese
 Strata 8 dua balaki di tambah 2 ekor babi 8 alisi di tambah dua sese
(10 Firȍ)
 Strata 9 dan sepuluh, tiga balaki di tambah 3 ekor babi 8 Alisi ditambah
3 sese (15 fir ȍ)
 Strata 12 seratus balaki, di tambah 100 ekor babi 8 alisi ditambah 100
zese40
Sejumlah uang koin kuno, babi yang terurai di atas diterima oleh orang tua, di
tambah lagi, bȍwȍ yang diterima oleh, uwu (saudara ibu dari pengantin
perempuan) awe/tua (nenek kakek) satu ekor babi sebesar 6 alisi, talifusȍ
(saudara perempuan yang telah menikah) masing-masing satu ekor babi 4
alisi, tana nama (om atau saudara ayah laki-laki masing-masing 1 ekor 4 alisi,
sifasambua tua (keluarga dari satu kakek), banua (yang satu kampung)41
- Femanga mbawi nisila hulu. Acara ini pengokohan kembali perjanjian

tentang pernikahan yang pernah dilakukan
- fangȍtȍ mbongi? Pembicaraan dan perencanaan hari pernikahan.

Penentuan hari pernikahan ini ada 3 tipe42
 Bongi nono zalawa , artinya perjanjian yang dibuat oleh para kepala
adat dengan perhitungan kelender perbintangan.

Perjanjian hari

pernikahan pada tipe ini masih bisa berubah.


Bongi dalifusȍ.

Artinya penentuan hari pernikahan yang

40

Strata 11 dan dua belas sebenarnya tidak terdapat lagi dalam strata sosial manusia, karena
strata terssebut terdapat dalam mitos manusia pertama di Nias, dan hal itu tidak yaitu Tuada Luo
Mewȍna dan tuada Sirao
41
Bisa dibandingkan dengan budaya ȍsi ulu moro‘ȍ kabupaten Nias Barat; A. Melvina Gulȍ
42
A. Cipta Zebua; A. Gameni Harefa; Ama Mesra Harefa

107

direncanakan oleh keluarga besar dari kedua belah pihak.

Hari

pernikahan dalam perjanjian ini juga masih bisa berubah
 Bongi Nina yang sering juga disebut bongi adulo (hari telur). Disebut
bongi adulo karena, hari yang ditentukan oleh seorang ibu harus

ditepati, kalau meleset berarti ada yang tidak beres dan pernikahan
tersebut bisa saja dibatalkan. Untuk mendapatkan kepastian hari
pernikahan,

keluarga

laki-laki

mengunjungi

rumah

keluarga

perempuan, dengan membawa kembali bȍwȍ (mahar yang telah
disepakati) 43.
- Sebelum fa me’e, orang tua calon pengantin perempuan mendatangi keluarga
besar uwu (saudara ibu) untuk memberitahukan bahwa ada acara
pernikahan, sekaligus membawa bȍwȍ, sinema nuwu)
3. Pra Pernikahan

- Folau bawi

(membawa Babi yang telah dit