Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Pengadilan Negeri Medan)
BAB II
PENGATURAN DIVERSI DI INDONESIA
A. Konsep Diversi
1. Pengertian Diversi
Anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan
pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang
sehat dan cerdas seutuhnya.31 Anak di dalam masa perkembangannya dapat
melakukan sesuatu perbuatan buruk yang dapat merugikan orang lain baik secara
fisik maupun materil. Kejahatan Anak ini dapat dikatakan sebagai kenakalan
anak. Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvenile Deliquency, tetapi
kenakalan anak ini bukan kenakalan anak yang dimaksudkan di dalam Pasal 489
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.32 Kenakalan yang dibahas di dalam
penulisan skripsi ini adalah kenakalan anak yang melakukan perbuatan pidana
sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menurut Kartini Kartono yang dikatakan Juvenile Deliquency adalah
perilaku jahat/dusta, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala
sakit secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang.33
Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan Juvenile Deliquency,
yaitu setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun
31
M.Nasir Djamil, Op.cit, hal.1.
Wagiati Soetedjo, Op.cit, hal.8.
33
Ibid, hal.9.
32
18
Universitas Sumatera Utara
19
dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum
yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang
bersangkutan.34
Juvenile artinya anak-anak,anak muda, ciri karakteristik pada masa muda
sifat khas pada remaja, sedangkan Deliquency artinya terabaikan, mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, dan lain-lain.35
Berdasarkan defenisi mengenai juvenile deliquency dapat ditarik kesimpulan
bahwa, Juvenile deliquency adalah perbuatan jahat yang dilakukan oleh seorang
anak dibawah usia 18 tahun yang menimbulkan kerugian fisik maupun materil
serta immaterial bagi orang lain. Istilah kenakalan anak itu pertama kali
ditampilkan pada Badan Peradilan di Amerika Serikat dalam rangka usaha
membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam
Pembahasanya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada
pula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah
menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum namun,
semua sepakat dasar pengertiannya adalah perbuatan yang bersifat anti sosial.36
Indonesia sendiri telah memiliki undang-undang yang memperhatikan
mengenai kepentingan anak, diantarnya ialah Undang-Undang Perlindungan
Anak, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan UndangUndang Pengadilan Anak yang lama. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak ini mengenal istilah diversi dan restorative justice.
34
Ibid, hal. 11.
Ibid, hal.8.
36
Ibid, hal. 9.
35
Universitas Sumatera Utara
20
Menurut Agustinus Pohan , yang dimaksud Restorative Justice adalah
merupakan konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang kita kenal saat
ini dalam sistem hukum pidana Indonesia yang bersifat retributif. Konsep
restorative justice dari UNICEF menitikberatkan kepada keadilan yang dapat
memulihkan, yaitu memulihkan bagi pelaku tindak pidana anak, korban dan
masyarakat yang terganggu akibat adanya tindak pidana tersebut.37 Proses konsep
restorative justice ini dijalankan melalui diversi.
Pengertian diversi terdapat banyak perbedaan sesuai dengan praktek
pelaksanaanya. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration
of Juvenile Justice butir 6 dan 11 terkandung pernyataan mengenai diversi yakni
sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem
peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga
sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah.38
Diversi adalah Pengalihan atau pemindahan dari proses peradilan ke dalam
proses alternatif penyelesaian perkara, yaitu melalui musyawarah pemulihan atau
mediasi.39 Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke
penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan
korban yang difasilitasi oleh keluarga dan atau/masyarakat, Pembimbing
Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.40 Secara singkat, diversi adalah
37
Ibid, hal.134.
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia ( Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice), Refika Aditama,2009, hal.11 (selanjutnya disebut buku II).
39
Wagiati Soetedjo,Op.cit, hal.135.
40
Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hal.49.
38
Universitas Sumatera Utara
21
pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana.41
2. Tujuan Diversi
Prinsip pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau
pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk
memperbaiki kesalahan.42 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk
taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan
rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan
kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana sseperti ganti rugi, kerja
sosial atau pengawasan orang tua.43 Langkah pengalihan dibuat untuk
menghindarkan anak dari tindakan hukum selanjutnya dan untuk dukungan
komunitas, di samping itu pengalihan bertujuan untuk mencegah pengaruh
negatif dari tindakan hukum berikutnya yang dapat menimbulkan
stigmatisasi.44
Tujuan dilakukan diversi berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sebagai berikut45 ;
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak,
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan,
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan,
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan
41
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
42
Marlina, Buku II, op.cit, hal.13.
Ibid, hlm.14.
44
Wagiati, Op.cit, hal. 135.
45
Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
43
Universitas Sumatera Utara
22
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Tujuan lain dalam proses pengalihan anak dari proses yustisial ke
proses non-yustisial mempunyai urgensi dan relevansi sebagai berikut;46
a. Proses penyelesaian yang bersifat non-yustisial terhadap anak akan
menghindarkan terjadinya kekerasan terpola dan sistematis,
khususnya kekerasan psikologis terhadap anak oleh aparat penegak
hukum. Terjadinya kekerasan terpola dan sistematis terhadap anak
dalam proses pemeriksaan akan menimbulkan trauma yang sangat
mendalam bagi anak. Oleh karenanya, penyelesaian yang bersifat
non-yustisial melalui mekanisme diversi terhadap anak justru akan
menghindarkan anak dari terjadinya kontak antara anak dengan
aparat penegak hukum.
b. Melalui mekanisme diversi anak tetap diberikan peluang untuk
mempertanggungjawabkan
perbuatannya,
tetapi
melalui
mekanisme yang lebih elegan menurut prespektif anak.
Penyelesaian secara non-yustisial tidak dimaksudkan untuk
membebaskan anak dari kemungkinan adanya pertanggungjawaban
anak terhadap segala akibat perbuatannya. Oleh karenanya, melalui
mekanisme diversi akan diperoleh keuntungan ganda. Di satu sisi
anak terhindar dari berbagai dampak negatif akibat kontak dengan
aparat penegak hukum, sementara di sisi lain anak tetap dapat
mempertanggungjawabkan akibat perbuatannyha tanpa harus
terjadi tekanan terhadap mental anak.
c. Mekanisme diversi dapat dianggap sebagai mekanisme koreksi
penyelenggaraan peradilan terhadap anak yang berlangsung selama
ini. Mekanisme formal yang ditonjolkan dalam proses peradilan
pidana termasuk terhadap anak sering menimbulkan dampak
negatif yang demikian kompleks, sehingga menjadi faktor
kriminogen yang sangat potensial terhadap tindak pidana anak.
d. Sebagai pengalihan proses yustisial ke proses non yustisial, diversi
berorientasi pada upaya untuk memberikan pelayanan sosial
kepada pelaku kejahatan, tetapi lebih dipandang sebagai korban
yang membutuhkan berbagai layanan seperti, medis, psikologi,
rohani. Oleh karena sifatnya yang demikian maka diversi
hakekatnya merupakan upaya untuk menghindarkan anak dari
kemungkinan penjatuhan pidana. Dengan demikian, diversi juga
merupakan proses depenalisasi dan sekaligus deskriminalisasi
terhadap pelaku anak.
46
Kusno Adi,Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Alternatif Penanggulangan
Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, hal.110.
Universitas Sumatera Utara
23
Terdapat berbagai teori pemidanaan di dalam hukum pidana, teori
pemidanaan dibagi menjadi tiga golongan, yaitu ;
a. Teori Absolut ( vergeldingstheorien )
Teori Absolut yang dianut oleh Immanuel Kant berpandangan tujuan
pemidanaan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah
melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap
orang lain.47
b. Teori Relatif (doeltheorien )
Teori Relatif ini dilandasi tujuan sebagai berikut ;
1) Menjerakan dengan penjatuhan hukuman diharapkan pelaku atau
terpidana menjadi jera dan tidak lagi mengulangi perbuatannya
dan bagi masyarakat umum dapat mengetahui bahwa jika
melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan hal yang serupa.
2) Memperbaiki pribadi terpidana dalam perlakuan pendidikan yang
diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal
sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan dan kembali kepada
masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.48
c. Teori Gabungan ( vereningingstheorien )
Teori gabungan yang salah satu penganutnya Van Bemmelen dan
Grotius yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan
dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiaptiap pidana adalah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana
beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana
47
48
Juhaja S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Pustaka Setia, Bandung, 2011, hal. 89.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
24
dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur
dan ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.49
Relevansi antara diversi dengan tujuan pemidanaan bagi anak nampak
dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Diversi sebagai pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses
non yustisial bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum
pidana yang sering kali memberikan pengalaman yang pahit berupa
stigmatisasi berkepanjangan,dehumanisasi dan menghindarkan anak
dari kemungkinan terjadinya prisionisasi yang menjadi sarana transfer
kejahatan terhadap anak. Demikian juga tujuan pemidanaan bagi anak
adalah untuk tetap memberikan jaminan kepada anak agar tumbuh dan
berkembang baik secara fisik maupun secara mental.
b. Perampasan kemerdekaan terhadap anak, baik dalam bentuk pidana
penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalui
mekanisme peradilan pidana memberikan pengalaman yang traumatis
terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan
pertumbuhan jiwanya. Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia
peradilan akan menjadi bayang-bayang gelap kehidupan anak yang
tidak mudah untuk dilupakan.50
3. Sejarah Diversi
Sebagaimana diamanatkan dalam Standart Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (SMR-JJ) atau yang lebih dikenal dengan
Beijing Rule, bahwa dipandang penting adanya jaminan bagi aparat penegak
hukum untuk tidak mengambil jalan formal di dalam menyelesaikan perkara anak
yaitu dapat menggunakan kewenangannya (diskresi). Diskresi adalah wewenang
49
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai syarat pemidanaan ( Disertai Teori-teori Pengantar dan
Beberapa Komentar ), Rangkang Enducation, Yogyakarta dan Pukap Indonesia, hal.102-103 yang
dikutip dari http://pn-bangil.go.id/data/?p=207 tanggal 12 Maret 2015. Pukul 13.00 WIB
50
Ibid, hal.118.
Universitas Sumatera Utara
25
dari aparat penegak hukum yang menangani kasus pelaku tindak pidana untuk
mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara. 51
Diskresi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dapat dikatakan
sebagai salah satu bentuk diversi. Dikatakan sebagai salah satu bentuk diversi
dikarenakan diskresi yang dilakukan memiliki sifat menyelesaikan suatu perkara
di luar peradilan sama seperti diversi yang bertujuan menyelesaikan perkara di
luar peradilan.
Diversi telah lama dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar negeri,
hanya saja namanya bukanlah diversi akan tetapi menggunakan bentuk diskresi.
Inggris telah lama melakukan diskresi dan mengalihkan anak kepada proses nonformal seperti pada kasus-kasus yang mempergunakan barang mainan yang
membahayakan orang lain.52 Menurut aturan Children Act tahun 1908 polisi
diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih
memperhatikan pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak
pidana.53 Ketentuan Children Act tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu
bentuk diskresi dan mengenai pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak
pelaku tindak pidana dapat menggunakan program diversi. Perkembangan
pelaksanaan diversi yang dilakukan di Inggris terus dilaksanakan hingga akhir
abad ke 19.54 Menurut sejarah perkembangan hukum pidana, kata diversion
pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan
51
Marlina, Disertasi Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, hlm. 137
52
Marlina, Buku I, Op.cit, hal.25
53
Ibid
54
Ibid
Universitas Sumatera Utara
26
anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana ( President’s Crime Commision )
Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960.55
Pada abad ke 19 , dibuatlah program besar mengenai gerakan keselamatan
anak yaitu untuk membuat bentuk peradilan yang bersifat informal, lebih memberi
perhatian terhadap masalah perlindungan anak secara alami daripada menitik
beratkan sifat pelanggaran yang dilakukan.56 Selain itu, untuk memindahkan
tanggung jawab memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan terbaik untuk
memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan terbaik untuk anak daripada
keadilan terhadap pribadi atau memberikan kekuasaan kepada peradilan untuk
menyatakan anak telah bersalah.57 Konsep Diversi lahir didasarkan pada
kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melalui
sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya daripada
kebaikan.58 Keberadaan diversi ini sangat diperlukan, sebab melalui diversi
tersebut penuntutan pidana gugur dan criminal track-record anak pun serta
stigmatisasi anak terjadi.59
Pada awalnya konsep diversi di Indonesia muncul dikenalkan melalui
sebuah acara-acara seminar yang sering diadakan yang memberikan pengertian
dan pemahamam diversi, sehingga menimbulkan semangat dan keinginan untuk
mempelajari jauh lagi mengenai konsep diversi tersebut. Berdasarkan hasil
55
Ibid, hal.10
Ibid, hal.25-26
57
Ibid
58
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, 2011, hal.73 ( selanjutnya disebut buku
56
III )
59
Hukum Pidana, Sistem Peradilan Restoratif Sebagai Alternatif Peradilan Anak
Indonesia http://musa66.blogspot.com/2009/05/sistem-peradilan-restoratif-sebagai.html. Diakses
pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 16.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
27
seminar yang diketahui bahwa, konsep diversi itu ditunjukan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Selanjutnya pada tahun 2004 di Jakarta diadakan diskusi di antara aparat
penegak hukum yang terkait dalam sistem peradilan pidana anak untuk
membicarakan langkah terbaik dalam upaya penanganan terhadap anak pelaku
tindak pidana. Setelah adanya diskusi tersebut para hakim di Bandung secara
intern membicarakan tentang langkah awal yang dapat dilakukan untuk
memberikan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yaitu
dengan mendirikan ruang sidang khusus anak dan ruang tunggu khusus anak.60
Setelah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak dikeluarkan maka, di dalam undang-undang tersebut dikenalah
istilah diversi yang dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif yang dapat
berupa musyawarah diversi. Melihat sejarah tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa diversi telah lama ada akan tetapi, di luar negeri pelaksanaan program
diversi dilaksanakan dalam bentuk diskresi berbeda dengan di Indonesia yang
menggunakan bentuk musyawarah diversi.
B. Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
1. Dasar Pemikiran Dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
a.
Dasar Pemikiran Sistem Peradilan Pidana Anak
Istilah sistem peradilan pidanan anak merupakan terjemahan dari istilah
The Juvenile Justice System, yaitu istilah yang sama digunakan dengan sejumlah
institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut
60
Marlina, Buku I,op.cit, hal.10
Universitas Sumatera Utara
28
umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak,
dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.61
Hadi Supeno mengatakan dalam tulisannya, bahwa ;
“ Penjara hanya tepat untuk orang dewasa yang melakukan kejahatan.
Anak tidak tepat masuk penjara karena akan mematikan harapan masa
depannya. Anak adalah pribadi otonom yang sedang tumbuh, yang
dibutuhkan adalah bantuan dan bimbingan. Peradilan yang tepat untuk
pelaku delikuensi anak adalah model keadilan restoratif yang bersifat
memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga
harmoni kehidupan tetap terjaga. Hukuman maksimal yang boleh
mereka terima adalah pendidikan paksa. “
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa paradigma lama dari
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak bisa
dipertahankan lagi karena yang terjadi adalah sebuah kriminalisasi anak oleh
negara dan masyarakat.62 Dulu pengadilan anak masuk dalam sistem peradilan
umum. Inilahsumber malapetaka anak karena begitu dia berhadapan dengan
hukum, dia harus menyesuaikan diri dan dipaksakan untuk menerima dalil-dalil
yang dikenakan terhadap orang dewasa.63 Kini, Indonesia telah mengganti
Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama dengan Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang baru yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012. Di
dalam kata sistem peradilan pidana anak, terdapat istilah “sistem peradilan
pidana” dan istilah kata “anak” dalam frase “sistem peradilan pidana anak” mesti
61
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal.35
62
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2010, hal. 193
63
Ibid, hal.211
Universitas Sumatera Utara
29
dicantumkan, karena untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana
dewasa.64
Sistem peradilan pidana anak merupakan sistem peradilan pidana.65
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan peradilan
yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana
materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.66 Sistem
Peradilan Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.67
Setiap pembentukan undang-undang yang baik, harus disertakan dasardasar
pembentukan
perundang-undangan
tersebut.
Dasar-dasar
peraturan
perundang-undangan tersebut dapat berupa dasar filosofis, dasar yuridis, dan
sosiologis. Naskah akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak memuat
ketentuan dasar-dasar pembentukan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, antara
lain :
1.
Dasar Filosofis
Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai Pancasila yakni
Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradan,
sehingga sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi
nilai-nilai religiusitas, maka permasalahan anak yang berhadapan
64
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Catatan Pembahasan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal. 43
65
Ibid, hal. 44
66
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2002, hal.4
67
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Universitas Sumatera Utara
30
dengan hukum harus diberikan prioritas yang terbaik bagi anak. Dasar
filosofis ini adalah pandangan hidup bangsa Indonesia.68
2. Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis ini menyangkut mengenai keadaan sosial.
Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama tidak dapat melindungi
anak dari penjatuhan sanksi pidana dan tidak memberikan
perlindungan hukum dalam melindungi hak-hak yang dimiliki oleh
anak. Dengan demikian, perlu ada peranan dan tugas masyarakat,
pemerintah, dan lembaga negara yang berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan
perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.69
3. Dasar Yuridis
Dasar yuridis berkaitan terhadap ketentuan hukum. Prinsip
perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi
Hak-Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990.70
4. Dasar Psikopolitik Masyarakat
Psikopolitik Masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam
masyarakat mengenai tingkat penerimaan atau penolakan terhadap
suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dilakukan
anak baik langsung maupun tidak langsung merupakan suatu akibat
68
M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 52
Ibid
70
Ibid, hal.53
69
Universitas Sumatera Utara
31
dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam
bersinggungan dengan anak, di mana anak belum mampu secara
dewasa menyikapinya.71
Selain itu, perlu juga dikenal paradigma dekriminalisasi anak.
Paradigma ini mengharuskan suatu tindakan untuk pembebasan anak dari segala
prespektif pidana, sejak pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, sampai
penyangkaan terhadap anak.72 Pelaksanaan paradigma ini ialah dengan
menmpraktekkan hukum progresif, yakni hukum yang diperuntukkan bagi
manusia dan kemanusiaan, dan bukan sebaliknya kemanusiaan mengabdi untuk
hukum.73
b.
Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
Tujuan Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya sama, yakni untuk
melindungi anak dari penjatuhan pidana. Tujuan Sistem Peradilan Pidana
menurut beberapa ketentuan, ialah :
1. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Paradigma Restoratif
Paradigma Restoratif adalah paradigma dalam menyelesaikan
perkara anak dengan tujuan memulihkan kembali keadaan anak
menjadi keadaan semula. Paradigma ini dianut di dalam UndangUndang Sistem Peradilan pidana anak , dapat dilihat melalui Pasal 8
angka 1 dimana di dalam pelaksanaan diversi dilakukan melalui
musyawarah yang berdasarkan keadilan restoratif. Artinya, keadilan
tersebut dirasakan adil bagi anak dan dapat dijalankan oleh pelaku.
71
Ibid, hal.54
Hadi Supeno, Op.cit, hal.193
73
Ibid
72
Universitas Sumatera Utara
32
2. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut The Beijing Rules
Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut The Beijing
Rules, ialah:
“The juvenile justice system shall emphasize the well being of the
juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall
always be in proportionto the circumstances of both the offenders and
the offence.”74
Diartikan : “ Sistem Peradilan bagi anak akan mengutamakan
kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun
terhadap pelanggar-pelanggar hukum anak akan selalu sepadan dengan
keadaan-keadan baik pada pelanggar hukumnya maupun pelanggaran
hukumnya.”75
3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut Konvensi Hak Anak
Tujuan SPPA Menurut Konvensi Hak Anak ialah antara lain
menghindarkan anak dari penyiksaan atau tindakan yang kejam,tidak
manusiawi dan merendahkan martabat, menghindarkan anak dari
penjatuhan hukuman pidana mati maupun pidana penjara seumur
hidup tanpa kemungkinan memperoleh pelepasan/pembebasan.76
Menurut konvensi ini Tujuan SPPA ialah menekankan kepada
perlindungan dan kesejahteraan anak itu sendiri. Dengan tujuan
berdasarkan konvensi hak anak maka, anak dapat terhindarkan dari
penjatuhan hukuman penjara yang dapat merusak masa depannya.
74
The Beijing Rules, Rule 5.1
M.Nasir Djamil, Op.cit, hlm. 49
76
Pasal 37 Konvensi Hak-Hak Anak
75
Universitas Sumatera Utara
33
2. Model-Model Peradilan Anak Di Beberapa Negara
Sebelum membahas penerapan diversi di Indonesia menurut UndangUndang No.11 Tahun 2012 ada baiknya mengenal terlebih dahulu peradilan anak
yang telah ada di beberapa negara, antara lain:
a. Prancis
Di Prancis, Peradilan khusus anak-anak dinamakan Les Jurisdictions
pour enfants.77 Peradilan anak di Prancis ini didasarkan kepada kebutuhankebutuhan yang sangat besar bagi kepentingan anak-anak dalam memperoleh
perlindungan terutama terkait anak sebagai harapan bangsa dan negara untuk
masa depan. Oleh karena itu, perkembangan-perkembangan mereka baik secara
mental, pendidikan maupun fisik harus dilindungi oleh negara.
Tugas Hakim Peradilan Khusus untuk anak diantaranya yaitu
menyidangkan perkara-perkara kejahatan yang telah terlanjur dilakukan oleh
anak-anak remaja. Keputusan yang diambil dalam hal ini dapat berupa tindakan
yakni:
a.
Mengembalikan kepada orangtua
Anak yang melakukan kejahatan dapat dikenai tindakan berupa
pengembalian anak kepada orangtuanya apabila Hakim memiliki
keyakinan bahwa orangtua anak dapat mendidik dan membina anaknya
tanpa harus dikenakan hukuman penjara agar menjadi anak yang
berkelakuan baik. Pengembalian anak kepada orangtua dapat dilihat
berdasarkan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
77
Agung Wahyono dan Siti Rahayu. Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 1993.hal..53
Universitas Sumatera Utara
34
b.
Menempatkan di bawah pengawasan orang lain
Pengawasan yang dimaksudkan adalah Assistans Sociaux, les
deleques dan educateurs (Petugas sosial, wali-wali pengawas dan
pembimbing sosial/pendidik khusus). Mereka bertugas untuk mengawasi
para remaja dan anak-anak yang perkaranya sudah diputus oleh
pengadilan.
c.
Bebas di bawah pengawasan78
b. Inggris
Pengadilan anak Inggris dinamakan Pengadilan Juvenile yaitu pengadilan
anak-anak yang mengadili pelanggar usia muda, mengadili anak-anak nakal, anak
terlantar atau anak di luar perhatian orang tuanya.79 Pengadilan juvenile ini
dijalankan oleh seorang Hakim Ketua,dan dua orang Hakim Anggota dimana
salah seorang harus wanita.
Putusan Pengadilan Juvenile dapat berupa :
a.
Pembebasan sama sekali disertai dengan petuah-petuah
b.
Pembebasan dengan perjanjian
c.
Tindakan Probation
Hakim menjatuhkan putusan berupa tindakan Probation yaitu
terhadap pelanggar hukum tidak perlu dimasukkan dalam penjara
melainkan cukup jika dalam kehidupan sehari-hari diawasi, dibantu dan
dibimbing oleh pegawai probation untuk jangka waktu tertentu 1 (satu)
78
79
Ibid, hal 54
Ibid, hal.63
Universitas Sumatera Utara
35
tahun atau 3 (tiga) tahun. Tindakan ini dikenakan kepada terdakwa yang
telah berusia 14 tahun dan telah dimintai persetujuannya terlebih dahulu.
d.
Tindakan Ganti Rugi
Hakim dalam menjatuhkan putusan ganti rugi lebih menekankan
kepada segi perdata. Di Inggris tindakan ini disamping dapat sebagai
syarat khusus dalam hal pembebasan dengan perjanjian, dapat pula
dikenakan sebagai putusan yang berdiri sendiri.
e.
Pidana denda
f.
Pengiriman ke rumah sakit jiwa
g.
Pidana pencabutan kebebasan
Jenis putusan lain dari Pengadilan Juvenile
ialah tindakan terhadap
orangtua anak yang melakukan pelanggaran, dengan memerintahkan agar
mendidik anaknya hingga berkelakuan baik. Melalui putusan Hakim pula, anak
yang melanggar hukum dapat diserahkan kepada Pemerintah ( Country ), jika
Pemerintah demi kepentingan anak menganggap tidak perlu lagi memelihara
maka, tanpa melalui Pengadilan menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang
tuanya.
3. Diversi Dan Restorative Justice
Indonesia sebagai negara yang tergabung dalam Konvensi Hak-hak anak
memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Indonesia setelah menyetujui konvensi hak-hak anak
telah membuat Sistem Peradilan Pidana Anak sendiri, dimana ditujukan untuk
melindungi hak anak-anak untuk mendapatkan keamanan, keselamatan, dan
Universitas Sumatera Utara
36
kebebasan dari kekerasan, diskriminasi serta stigmatisasi, serta yang dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus mereka untuk tumbuh dan berkembang.
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dibuat untuk menggantikan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
kenyataannya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum
masyarakat, karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada
anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
menyebutkan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak ini menjelaskan Sistem Peradilan
Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.80 Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana ini mengenal konsep diversi dan Restorative Justice dalam menyelesaikan
perkana anak yang berhadapan dengan hukum.
a. Diversi
Diversi dikenal melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlunya Undang-Undang ini dibentuk dengan
alasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 belum secara koprehensif
memberikan perlindungan kepada anak, dan dipandang perlu untuk mewujudkan
peradilan yang menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak
80
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.11Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Universitas Sumatera Utara
37
berhadapan dengan hukum sebagai generasi penerus bangsa. 81 Diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana.82 Pokok-pokok perbedaan yang terdapat di dalam UndangUndang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini : 83
Tabel 1.
Perbedaan UU No.3 Tahun 1997 dan UU 11 Tahun 2012
UU No.3 Tahun 1997
UU No.11 Tahun 2012
Keadilan Retributif
Keadilan Restoratif
Kejahatan adalah pelanggaran sistem
Kejahatan adalah perlakuan terhadap
individu atau masyarakat
Fokus pada pembuktian kesalahan, Fokus pada pemecahan masalah dan
menimbulkan rasa bersalah dan pada memperbaiki kerugian
perilaku masa lalu
Korban diabaikan
Hak
dan
Kebutuhan
Korban
diperhatikan
Pelaku pasif
Pelaku didorong untuk berpartisipasi
81
Gambaran Umum Sistem Peradilan Pidana Anak yang disampaikan dalam Pelatihan
Sertifikasi Hakim Anak Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Ri pada bulan Agustus
2014
82
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
83
Gambaran Umum Sistem Peradilan Pidana Anak yang disampaikan dalam Pelatihan
Sertifikasi Hakim Anak Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI pada bulan Agustus
2014
Universitas Sumatera Utara
38
dan bertanggungjawab
Pertanggungjawaban pelaku adalah Pertanggungjawaban
hukuman
pelaku
adalah
menunjukkan empati dan menolong
untuk memperbaiki kerugian
Respon terfokus pada perilaku masa Respon terfokus pada konsekuensi
lalu pelaku
derita dan kerugian sebagai akibat
perbuatan pelaku
Melihat tabel diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling
mendasar ialah ada kepada keadilan yang dianut. Undang-Undang Pengadilan
Anak yang lama menganut keadilan retributif sedangkan, Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang baru menganut keadilan Restoratif.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana menjelaskan bahwa diversi
yang dilakukan berdasarkan kepada keadilan restoratif. Konsep diversi didasarkan
pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak
pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya
daripada kebaikan.84 Pelaksanaan diversi dapat dilakukan pada tingkat
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.
Pelaksanaan diversi dapat dijalankan apabila perbuatan diancam dengan pidana
penjara dibawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Diversi yang dilakukan wajib melihat kepada kepentingan korban,
kesejahteraan
84
dan
tanggungjawab
anak,
penghindaran
stigma
negatif,
Marlina, Buku I, Op.cit, hal.11
Universitas Sumatera Utara
39
penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan, dan
ketertiban umum. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan
Diversi harus mempertimbangkan katergori tindak pidana,umur anak,hasil
penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga.
Pengecualian persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta
kesediaan dan keluarga korban dapat dilakukan dalam hal tindak pidana berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, nilai kerugian
korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.85
Hasil kesepakatan yang telah dilakukan diversi dapat berisikan
perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang
tua/Wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial paling lama 3 (tiga) bulan
atau pelayanan masyarakat, sesuai dengan ketentuan pasal 11 Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan
kesepakatan diversi dilaksanakan, Pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan
pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
mekanisme pelaksanaan diversi ini diatur di dalam Perma No.4 Tahun 2014.
Terhadap sanksi yang diberikan kepada aparat penegak hukum hanya
berlaku bagi penyidik dan penuntut umum, terkait sanksi yang diberikan kepada
Hakim telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal-pasal yang telah dicabut tersebut
ialah Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
85
Pasal 9 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Universitas Sumatera Utara
40
Anak. Judicial review yang dilakukan terhadap pasal tersebut dilakukan oleh
Ikatan Hakim Indonesia yang diwakili oleh tiga orang hakim yaitu Lilik Mulyadi,
Teguh Satya Bhakti dan Andi Nurvita. Ketiga Hakim tersebut mengajukan
judicial review dengan dalil bahwa, Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak membuat independensi hakim dibatasi dan
dikriminalisasi. Pasal-pasal yang diajukan untuk dicabut itu dinyatakan benar
bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 24 ayat 1, dan Pasal 24 ayat 3 UndangUndang Dasar 1945oleh Mahkamah Konstitusi sehingga, Mahkamah Konstitusi
membatalkan Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 dengan mengeluarkan Putusan
MK Nomor 110/PPU – X/ 2012 tanggal 28 Maret 2013.
b. Restorative Justice
Restorative Justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan.86
Menurut Tony Marshall, Restorative Justice adalah suatu proses dimana
semua pihak terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu secara bersama sama
memecahkan masalah bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang.
Restorative Justice merupakan bentuk resolusi konflik yang membuat jelas
permasalahan dengan saling menghormati individu.
Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur penyelesaian perkara anak
dengan mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Konsep keadilan restoratif
86
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Universitas Sumatera Utara
41
merupakan teori keadilan yang tumbuh dan berkembang dari pelaksanaan
pemidanaan di berbagai negara dan akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya
dalam menangani permasalahan kriminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem
peradilan pidana tradisional.87
Tujuan Restorative Justice ialah memberdayakan korban, pelaku,
keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum
dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk
memperbaiki kehidupan bermasyarakat (konsep melihat keadilan tidak dari satu
sisi, namum menilainya dari berbagai pihak, baik untuk kepentingan korban,
pelaku dan masyarakat).
Kehadiran Restorative Justice telah menggantikan kedudukan Retributif
Justice yang pernah berlaku di Indonesia, perbedaan diantara kedua keadilan ini
ialah dimana keadilan retributif berfokus kepada menjatuhkan pidana kepada
pelaku sebagai upaya pembalasan, sedangkan keadilan restoratif lebih
menekankan kepada pelaku untuk mengakui perbuatannya dan melindungi hakhak korban dengan jalan musyawarah untuk mencapai kesepakatan.
Prinsip Keadilan Restorative ialah mendapatkan persetujuan korban,
membuat pelanggar bertanggung jawab untuk perbaiki kerugianyang timbul oleh
kesalahannya, memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan
kapasitasnya dan kualitasnya dalam mengatasi rasa bersalah secara kontruktif,
melibatkan korban,orang tua, keluarga, masyarakat, dan menciptakan forum kerja
sama dengan masyarakat sekitarnya untuk menangani masalah yang ada serta
87
Marlina, Buku I, Op.cit, hal. 29-30
Universitas Sumatera Utara
42
menetapkan hubungan langsung antara kesalahan dengan reaksi masyarakat,
teman, dan lain-lain.
Untuk lebih jelas perbedaan diversi dan keadilan restoratif dapat dilihat
dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2
Perbedaan Diversi dan Restorative Justice
DIVERSI
Pengalihan Penyelesaian perkara anak
RESTORATIVE JUSTICE
Proses dimana semua yang terlibat
dari proses peradilan formal ke proses
dalam suatu tindak pidana tertentu
di luar peradilan dengan pidana atau
bersama
tanpa syarat
permasalahan yang ada, bagaimana
sama
memecahkan
menangani akibat di masa yang akan
datang
Tujuan diversi salah satunya untuk Tujuan Keadilan Restoratif adalah
untuk pemulihan antara korban dan
menghindari agar anak pelaku tidak di pelaku
proses di peradilan
Diversi dapat dilakukan dengan atau
tanpa persetujuan korban
Diversi fokus pada kepentingan
pelaku
Keadilan Restoratif ini wajib ada
persetujuan korban
Keadilan Restoratif lebih berfokus
pada kepentingan korban
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa diversi dan restorative
justice memiliki tujuan yang sama yaitu melindungi anak
.
Universitas Sumatera Utara
43
C. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 secara khusus menjadi
pedoman pelaksanaan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Mahkamah
Agung mengeluarkan Perma ini dalam rangka untuk mengatasi kekosongan
hukum, yang terjadi diakibatkan oleh ketiadaan Peraturan Pemerintah untuk
menetapkan mekanisme pelaksanaan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pertimbangan lain di dalam mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung ini
ialah bertolak pada pasal 5 sampai pasal 14, Pasal 29, Pasal 42, dan Pasal 52 ayat
(2) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengupayakan Diversi pada tingkat
penyelidikan,penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan dengan
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif dan juga Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 belum mengatur secara jelas tentang tata cara dan tahapan proses
diversi sehingga untuk itu dikeluarkanlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2014.
Berdasarkan Perma No.4 Tahun 2014 ini proses pelaksanaan diversi
dilakukan melalui musyawarah diversi yang melibatkan fasilitator diversi dan
adanya pelaksanaan kaukus yang bertujuan untuk menghasilkan kesepakatan
diversi. Peraturan Mahkamah Agung menjelaskan mengenai musyawarah diversi
dan memberikan arti mengenai fasilitator diversi dan juga kaukus, ialah:
1. Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan
Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perwakilan
Universitas Sumatera Utara
44
masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai
kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan Restoratif
2. Fasilitator Diversi adalah Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
untuk menangani perkara anak yang bersangkutan
3. Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan
salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya.
4. Kesepakatan Diversi adalah kesepakatan hasil proses musyawarah
Diversi yang dituangkan dalam bentuk dokumen dan ditandatangani
oleh para pihak yang terlibat dalam musyawarah Diversi.
5. Hari adalah hari kerja.88
Hari yang dimaksud ialah hari kerja dimana hari tersebut disesuaiakan
dengan jadwal hakim yang menangani perkara tersebut.
Perma No.4 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa, Diversi itu diwajibkan
bagi anak yang diduga melakukan tindak pidana dimana usia anak tersebut telah
berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau
telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun. Hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal
anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di
bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 7 (tahun) atau lebih dalam bentuk surat dakwaan
subsidaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan).89
88
89
Perma No.4 Tahun 2014 Pasal 1 angka 1
Perma No.4 Tahun 2014 Pasal 3
Universitas Sumatera Utara
45
Perma No.4 Tahun 2014 ini juga memuat persiapan diversi ialah sebagai
berikut :
1. Setelah menerima Penetapan Ketua Pengadilan untuk menangani
perkara yang wajib diupayak Diversi Hakim mengeluarkan Penetapan
Hari Musyawarah Diversi
2. Penetapan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat perintah
kepada
penuntut
umum
yang
melimpahkan
perkara
untuk
menghadirkan :
a) Anak dan orang tua/Wali atau Pendampingnya
b) Korban dan/ atau orang tua/Walinya
c) Pembimbing Kemasyarakatan
d) Pekerja Sosial Profesional
e) Perwakilan Masyarakat
f) Pihak-pihak terkait lain yang dipandang perlu dilibatkan dalam
Musyawarah Diversi.
3. Penerapan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2
mencantumkan hari, tanggal, waktu serta tempat dilaksanakannya
musyawarah diversi.90
Mekanisme Tahapan Musyawarah diversi ini ialah Musyawarah dibuka
oleh fasilitator diversi dengan memperkenalkan para pihak yang hadir,
menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi, serta tata tertib
musyawarah untuk disepakati oleh para pihak yang hadir. Fasilitator diversi
90
Perma No.4 Tahun 2014 Pasal 4
Universitas Sumatera Utara
46
pertama sekali menjelaskan mengenai tugas fasilitator diversi , menjelaskan
secara ringkas dakwaan dan pembimbing kemasyarakatan memberikan informasi
tentang perilaku dan keadaan sosial anak serta memberikan saran untuk
memperoleh penyelesaian.
Fasilitator Diversi dalam hal ini wajib memberikan kesempatan kepada
anak untuk didengarkan keterangannya, orang tua/ wali untukl menyampaikan hal
yang berkaitan dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh anak dan bentuk
penyelesaian yang diharapkan, dan memberikan kesempatan kepada korban/anak
korban/orang tua/wali untuk memberikan tanggapan dan pendapat mengenai
bentuk penyelesaian yang diharapkan. Pekerja Sosial setelah mendengarkan hal
tersebut dapat memberikan informasi mengenai keadaan anak korban serta
masukan atau saran sebagai jalan keluar dalam permasalahan anak tersebut.
Fasilitator Diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak
lain atau dapat juga melakukan pertemuan terpisah (kaukus) dengan para pihak
dalam mencari jalan keluar, setelah menemukan kesepakatan maka hasil
musyawarah tersebut dituangkan kedalam bentuk kesepakatan diversi. Fasilitator
Diversi harus memperhatikan dan mengarahkan agar kesepakatan tidak
bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan masyarakat, kesusilaan atau
memuat hal yang tidak dapat dilaksanakan anak atau memuat iktikad baik.
Kesepakatan Diversi tersebut haruslah dimuat kedalam Berita Acara
Diversi dan ditandatangani oleh Fasilitator Diversi dan Panitera/ Panitera
Pengganti, kesepakatan yang telah ditandatangani itu dilaporkan kepada ketua
Pengadilan untuk dibuatkan penetapan telah dilakukan diversi dalam kasus anak
Universitas Sumatera Utara
47
tersebut dan setelah itu hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan
perkara. Pelaksanaan kesepakatan diversi ini harus dilakukan sepenuhnya oleh
pelaku dan apabila pelaku tidak melakukan hasil kesepakatan secara penuh, maka
Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakat dapat melaporkan kepada
Hakim agar perkara tetap dilanjutkan dan dilaksanakan sesuai hukum acara
peradilan anak dan mengenai putusan yang akan dijatuhkan hakim wajib
mempertimbangkan pelaksanaan sebagai kesepakatan diversi.
Mengenai pertanggungjawaban pidana atas isi kesepakatan diversi tidak
dapat diberikan kepada Fasilitator diversi , karena Fasilitator diversi merupakan
seorang Hakim yang ditunjuk ketua Pengadilan untuk menjadi mediator atau
orang yang ditugaskan untuk menangani perkara ini. Pertanggungjawaban pidana
atas hasil kesepakatan diversi ini dapat dijatuhkan kepada pelaku apabila pelaku
melanggar isi kesepakatan yang telah dibuat.
Universitas Sumatera Utara
PENGATURAN DIVERSI DI INDONESIA
A. Konsep Diversi
1. Pengertian Diversi
Anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan
pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang
sehat dan cerdas seutuhnya.31 Anak di dalam masa perkembangannya dapat
melakukan sesuatu perbuatan buruk yang dapat merugikan orang lain baik secara
fisik maupun materil. Kejahatan Anak ini dapat dikatakan sebagai kenakalan
anak. Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvenile Deliquency, tetapi
kenakalan anak ini bukan kenakalan anak yang dimaksudkan di dalam Pasal 489
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.32 Kenakalan yang dibahas di dalam
penulisan skripsi ini adalah kenakalan anak yang melakukan perbuatan pidana
sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menurut Kartini Kartono yang dikatakan Juvenile Deliquency adalah
perilaku jahat/dusta, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala
sakit secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang.33
Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan Juvenile Deliquency,
yaitu setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun
31
M.Nasir Djamil, Op.cit, hal.1.
Wagiati Soetedjo, Op.cit, hal.8.
33
Ibid, hal.9.
32
18
Universitas Sumatera Utara
19
dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum
yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang
bersangkutan.34
Juvenile artinya anak-anak,anak muda, ciri karakteristik pada masa muda
sifat khas pada remaja, sedangkan Deliquency artinya terabaikan, mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, dan lain-lain.35
Berdasarkan defenisi mengenai juvenile deliquency dapat ditarik kesimpulan
bahwa, Juvenile deliquency adalah perbuatan jahat yang dilakukan oleh seorang
anak dibawah usia 18 tahun yang menimbulkan kerugian fisik maupun materil
serta immaterial bagi orang lain. Istilah kenakalan anak itu pertama kali
ditampilkan pada Badan Peradilan di Amerika Serikat dalam rangka usaha
membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam
Pembahasanya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada
pula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah
menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum namun,
semua sepakat dasar pengertiannya adalah perbuatan yang bersifat anti sosial.36
Indonesia sendiri telah memiliki undang-undang yang memperhatikan
mengenai kepentingan anak, diantarnya ialah Undang-Undang Perlindungan
Anak, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan UndangUndang Pengadilan Anak yang lama. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak ini mengenal istilah diversi dan restorative justice.
34
Ibid, hal. 11.
Ibid, hal.8.
36
Ibid, hal. 9.
35
Universitas Sumatera Utara
20
Menurut Agustinus Pohan , yang dimaksud Restorative Justice adalah
merupakan konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang kita kenal saat
ini dalam sistem hukum pidana Indonesia yang bersifat retributif. Konsep
restorative justice dari UNICEF menitikberatkan kepada keadilan yang dapat
memulihkan, yaitu memulihkan bagi pelaku tindak pidana anak, korban dan
masyarakat yang terganggu akibat adanya tindak pidana tersebut.37 Proses konsep
restorative justice ini dijalankan melalui diversi.
Pengertian diversi terdapat banyak perbedaan sesuai dengan praktek
pelaksanaanya. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration
of Juvenile Justice butir 6 dan 11 terkandung pernyataan mengenai diversi yakni
sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem
peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga
sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah.38
Diversi adalah Pengalihan atau pemindahan dari proses peradilan ke dalam
proses alternatif penyelesaian perkara, yaitu melalui musyawarah pemulihan atau
mediasi.39 Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke
penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan
korban yang difasilitasi oleh keluarga dan atau/masyarakat, Pembimbing
Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.40 Secara singkat, diversi adalah
37
Ibid, hal.134.
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia ( Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice), Refika Aditama,2009, hal.11 (selanjutnya disebut buku II).
39
Wagiati Soetedjo,Op.cit, hal.135.
40
Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hal.49.
38
Universitas Sumatera Utara
21
pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana.41
2. Tujuan Diversi
Prinsip pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau
pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk
memperbaiki kesalahan.42 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk
taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan
rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan
kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana sseperti ganti rugi, kerja
sosial atau pengawasan orang tua.43 Langkah pengalihan dibuat untuk
menghindarkan anak dari tindakan hukum selanjutnya dan untuk dukungan
komunitas, di samping itu pengalihan bertujuan untuk mencegah pengaruh
negatif dari tindakan hukum berikutnya yang dapat menimbulkan
stigmatisasi.44
Tujuan dilakukan diversi berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sebagai berikut45 ;
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak,
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan,
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan,
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan
41
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
42
Marlina, Buku II, op.cit, hal.13.
Ibid, hlm.14.
44
Wagiati, Op.cit, hal. 135.
45
Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
43
Universitas Sumatera Utara
22
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Tujuan lain dalam proses pengalihan anak dari proses yustisial ke
proses non-yustisial mempunyai urgensi dan relevansi sebagai berikut;46
a. Proses penyelesaian yang bersifat non-yustisial terhadap anak akan
menghindarkan terjadinya kekerasan terpola dan sistematis,
khususnya kekerasan psikologis terhadap anak oleh aparat penegak
hukum. Terjadinya kekerasan terpola dan sistematis terhadap anak
dalam proses pemeriksaan akan menimbulkan trauma yang sangat
mendalam bagi anak. Oleh karenanya, penyelesaian yang bersifat
non-yustisial melalui mekanisme diversi terhadap anak justru akan
menghindarkan anak dari terjadinya kontak antara anak dengan
aparat penegak hukum.
b. Melalui mekanisme diversi anak tetap diberikan peluang untuk
mempertanggungjawabkan
perbuatannya,
tetapi
melalui
mekanisme yang lebih elegan menurut prespektif anak.
Penyelesaian secara non-yustisial tidak dimaksudkan untuk
membebaskan anak dari kemungkinan adanya pertanggungjawaban
anak terhadap segala akibat perbuatannya. Oleh karenanya, melalui
mekanisme diversi akan diperoleh keuntungan ganda. Di satu sisi
anak terhindar dari berbagai dampak negatif akibat kontak dengan
aparat penegak hukum, sementara di sisi lain anak tetap dapat
mempertanggungjawabkan akibat perbuatannyha tanpa harus
terjadi tekanan terhadap mental anak.
c. Mekanisme diversi dapat dianggap sebagai mekanisme koreksi
penyelenggaraan peradilan terhadap anak yang berlangsung selama
ini. Mekanisme formal yang ditonjolkan dalam proses peradilan
pidana termasuk terhadap anak sering menimbulkan dampak
negatif yang demikian kompleks, sehingga menjadi faktor
kriminogen yang sangat potensial terhadap tindak pidana anak.
d. Sebagai pengalihan proses yustisial ke proses non yustisial, diversi
berorientasi pada upaya untuk memberikan pelayanan sosial
kepada pelaku kejahatan, tetapi lebih dipandang sebagai korban
yang membutuhkan berbagai layanan seperti, medis, psikologi,
rohani. Oleh karena sifatnya yang demikian maka diversi
hakekatnya merupakan upaya untuk menghindarkan anak dari
kemungkinan penjatuhan pidana. Dengan demikian, diversi juga
merupakan proses depenalisasi dan sekaligus deskriminalisasi
terhadap pelaku anak.
46
Kusno Adi,Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Alternatif Penanggulangan
Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, hal.110.
Universitas Sumatera Utara
23
Terdapat berbagai teori pemidanaan di dalam hukum pidana, teori
pemidanaan dibagi menjadi tiga golongan, yaitu ;
a. Teori Absolut ( vergeldingstheorien )
Teori Absolut yang dianut oleh Immanuel Kant berpandangan tujuan
pemidanaan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah
melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap
orang lain.47
b. Teori Relatif (doeltheorien )
Teori Relatif ini dilandasi tujuan sebagai berikut ;
1) Menjerakan dengan penjatuhan hukuman diharapkan pelaku atau
terpidana menjadi jera dan tidak lagi mengulangi perbuatannya
dan bagi masyarakat umum dapat mengetahui bahwa jika
melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan hal yang serupa.
2) Memperbaiki pribadi terpidana dalam perlakuan pendidikan yang
diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal
sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan dan kembali kepada
masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.48
c. Teori Gabungan ( vereningingstheorien )
Teori gabungan yang salah satu penganutnya Van Bemmelen dan
Grotius yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan
dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiaptiap pidana adalah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana
beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana
47
48
Juhaja S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Pustaka Setia, Bandung, 2011, hal. 89.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
24
dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur
dan ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.49
Relevansi antara diversi dengan tujuan pemidanaan bagi anak nampak
dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Diversi sebagai pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses
non yustisial bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum
pidana yang sering kali memberikan pengalaman yang pahit berupa
stigmatisasi berkepanjangan,dehumanisasi dan menghindarkan anak
dari kemungkinan terjadinya prisionisasi yang menjadi sarana transfer
kejahatan terhadap anak. Demikian juga tujuan pemidanaan bagi anak
adalah untuk tetap memberikan jaminan kepada anak agar tumbuh dan
berkembang baik secara fisik maupun secara mental.
b. Perampasan kemerdekaan terhadap anak, baik dalam bentuk pidana
penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalui
mekanisme peradilan pidana memberikan pengalaman yang traumatis
terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan
pertumbuhan jiwanya. Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia
peradilan akan menjadi bayang-bayang gelap kehidupan anak yang
tidak mudah untuk dilupakan.50
3. Sejarah Diversi
Sebagaimana diamanatkan dalam Standart Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (SMR-JJ) atau yang lebih dikenal dengan
Beijing Rule, bahwa dipandang penting adanya jaminan bagi aparat penegak
hukum untuk tidak mengambil jalan formal di dalam menyelesaikan perkara anak
yaitu dapat menggunakan kewenangannya (diskresi). Diskresi adalah wewenang
49
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai syarat pemidanaan ( Disertai Teori-teori Pengantar dan
Beberapa Komentar ), Rangkang Enducation, Yogyakarta dan Pukap Indonesia, hal.102-103 yang
dikutip dari http://pn-bangil.go.id/data/?p=207 tanggal 12 Maret 2015. Pukul 13.00 WIB
50
Ibid, hal.118.
Universitas Sumatera Utara
25
dari aparat penegak hukum yang menangani kasus pelaku tindak pidana untuk
mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara. 51
Diskresi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dapat dikatakan
sebagai salah satu bentuk diversi. Dikatakan sebagai salah satu bentuk diversi
dikarenakan diskresi yang dilakukan memiliki sifat menyelesaikan suatu perkara
di luar peradilan sama seperti diversi yang bertujuan menyelesaikan perkara di
luar peradilan.
Diversi telah lama dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar negeri,
hanya saja namanya bukanlah diversi akan tetapi menggunakan bentuk diskresi.
Inggris telah lama melakukan diskresi dan mengalihkan anak kepada proses nonformal seperti pada kasus-kasus yang mempergunakan barang mainan yang
membahayakan orang lain.52 Menurut aturan Children Act tahun 1908 polisi
diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih
memperhatikan pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak
pidana.53 Ketentuan Children Act tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu
bentuk diskresi dan mengenai pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak
pelaku tindak pidana dapat menggunakan program diversi. Perkembangan
pelaksanaan diversi yang dilakukan di Inggris terus dilaksanakan hingga akhir
abad ke 19.54 Menurut sejarah perkembangan hukum pidana, kata diversion
pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan
51
Marlina, Disertasi Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, hlm. 137
52
Marlina, Buku I, Op.cit, hal.25
53
Ibid
54
Ibid
Universitas Sumatera Utara
26
anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana ( President’s Crime Commision )
Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960.55
Pada abad ke 19 , dibuatlah program besar mengenai gerakan keselamatan
anak yaitu untuk membuat bentuk peradilan yang bersifat informal, lebih memberi
perhatian terhadap masalah perlindungan anak secara alami daripada menitik
beratkan sifat pelanggaran yang dilakukan.56 Selain itu, untuk memindahkan
tanggung jawab memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan terbaik untuk
memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan terbaik untuk anak daripada
keadilan terhadap pribadi atau memberikan kekuasaan kepada peradilan untuk
menyatakan anak telah bersalah.57 Konsep Diversi lahir didasarkan pada
kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melalui
sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya daripada
kebaikan.58 Keberadaan diversi ini sangat diperlukan, sebab melalui diversi
tersebut penuntutan pidana gugur dan criminal track-record anak pun serta
stigmatisasi anak terjadi.59
Pada awalnya konsep diversi di Indonesia muncul dikenalkan melalui
sebuah acara-acara seminar yang sering diadakan yang memberikan pengertian
dan pemahamam diversi, sehingga menimbulkan semangat dan keinginan untuk
mempelajari jauh lagi mengenai konsep diversi tersebut. Berdasarkan hasil
55
Ibid, hal.10
Ibid, hal.25-26
57
Ibid
58
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, 2011, hal.73 ( selanjutnya disebut buku
56
III )
59
Hukum Pidana, Sistem Peradilan Restoratif Sebagai Alternatif Peradilan Anak
Indonesia http://musa66.blogspot.com/2009/05/sistem-peradilan-restoratif-sebagai.html. Diakses
pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 16.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
27
seminar yang diketahui bahwa, konsep diversi itu ditunjukan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Selanjutnya pada tahun 2004 di Jakarta diadakan diskusi di antara aparat
penegak hukum yang terkait dalam sistem peradilan pidana anak untuk
membicarakan langkah terbaik dalam upaya penanganan terhadap anak pelaku
tindak pidana. Setelah adanya diskusi tersebut para hakim di Bandung secara
intern membicarakan tentang langkah awal yang dapat dilakukan untuk
memberikan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yaitu
dengan mendirikan ruang sidang khusus anak dan ruang tunggu khusus anak.60
Setelah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak dikeluarkan maka, di dalam undang-undang tersebut dikenalah
istilah diversi yang dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif yang dapat
berupa musyawarah diversi. Melihat sejarah tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa diversi telah lama ada akan tetapi, di luar negeri pelaksanaan program
diversi dilaksanakan dalam bentuk diskresi berbeda dengan di Indonesia yang
menggunakan bentuk musyawarah diversi.
B. Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
1. Dasar Pemikiran Dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
a.
Dasar Pemikiran Sistem Peradilan Pidana Anak
Istilah sistem peradilan pidanan anak merupakan terjemahan dari istilah
The Juvenile Justice System, yaitu istilah yang sama digunakan dengan sejumlah
institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut
60
Marlina, Buku I,op.cit, hal.10
Universitas Sumatera Utara
28
umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak,
dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.61
Hadi Supeno mengatakan dalam tulisannya, bahwa ;
“ Penjara hanya tepat untuk orang dewasa yang melakukan kejahatan.
Anak tidak tepat masuk penjara karena akan mematikan harapan masa
depannya. Anak adalah pribadi otonom yang sedang tumbuh, yang
dibutuhkan adalah bantuan dan bimbingan. Peradilan yang tepat untuk
pelaku delikuensi anak adalah model keadilan restoratif yang bersifat
memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga
harmoni kehidupan tetap terjaga. Hukuman maksimal yang boleh
mereka terima adalah pendidikan paksa. “
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa paradigma lama dari
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak bisa
dipertahankan lagi karena yang terjadi adalah sebuah kriminalisasi anak oleh
negara dan masyarakat.62 Dulu pengadilan anak masuk dalam sistem peradilan
umum. Inilahsumber malapetaka anak karena begitu dia berhadapan dengan
hukum, dia harus menyesuaikan diri dan dipaksakan untuk menerima dalil-dalil
yang dikenakan terhadap orang dewasa.63 Kini, Indonesia telah mengganti
Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama dengan Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang baru yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012. Di
dalam kata sistem peradilan pidana anak, terdapat istilah “sistem peradilan
pidana” dan istilah kata “anak” dalam frase “sistem peradilan pidana anak” mesti
61
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal.35
62
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2010, hal. 193
63
Ibid, hal.211
Universitas Sumatera Utara
29
dicantumkan, karena untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana
dewasa.64
Sistem peradilan pidana anak merupakan sistem peradilan pidana.65
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan peradilan
yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana
materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.66 Sistem
Peradilan Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.67
Setiap pembentukan undang-undang yang baik, harus disertakan dasardasar
pembentukan
perundang-undangan
tersebut.
Dasar-dasar
peraturan
perundang-undangan tersebut dapat berupa dasar filosofis, dasar yuridis, dan
sosiologis. Naskah akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak memuat
ketentuan dasar-dasar pembentukan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, antara
lain :
1.
Dasar Filosofis
Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai Pancasila yakni
Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradan,
sehingga sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi
nilai-nilai religiusitas, maka permasalahan anak yang berhadapan
64
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Catatan Pembahasan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal. 43
65
Ibid, hal. 44
66
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2002, hal.4
67
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Universitas Sumatera Utara
30
dengan hukum harus diberikan prioritas yang terbaik bagi anak. Dasar
filosofis ini adalah pandangan hidup bangsa Indonesia.68
2. Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis ini menyangkut mengenai keadaan sosial.
Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama tidak dapat melindungi
anak dari penjatuhan sanksi pidana dan tidak memberikan
perlindungan hukum dalam melindungi hak-hak yang dimiliki oleh
anak. Dengan demikian, perlu ada peranan dan tugas masyarakat,
pemerintah, dan lembaga negara yang berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan
perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.69
3. Dasar Yuridis
Dasar yuridis berkaitan terhadap ketentuan hukum. Prinsip
perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi
Hak-Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990.70
4. Dasar Psikopolitik Masyarakat
Psikopolitik Masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam
masyarakat mengenai tingkat penerimaan atau penolakan terhadap
suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dilakukan
anak baik langsung maupun tidak langsung merupakan suatu akibat
68
M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 52
Ibid
70
Ibid, hal.53
69
Universitas Sumatera Utara
31
dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam
bersinggungan dengan anak, di mana anak belum mampu secara
dewasa menyikapinya.71
Selain itu, perlu juga dikenal paradigma dekriminalisasi anak.
Paradigma ini mengharuskan suatu tindakan untuk pembebasan anak dari segala
prespektif pidana, sejak pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, sampai
penyangkaan terhadap anak.72 Pelaksanaan paradigma ini ialah dengan
menmpraktekkan hukum progresif, yakni hukum yang diperuntukkan bagi
manusia dan kemanusiaan, dan bukan sebaliknya kemanusiaan mengabdi untuk
hukum.73
b.
Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
Tujuan Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya sama, yakni untuk
melindungi anak dari penjatuhan pidana. Tujuan Sistem Peradilan Pidana
menurut beberapa ketentuan, ialah :
1. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Paradigma Restoratif
Paradigma Restoratif adalah paradigma dalam menyelesaikan
perkara anak dengan tujuan memulihkan kembali keadaan anak
menjadi keadaan semula. Paradigma ini dianut di dalam UndangUndang Sistem Peradilan pidana anak , dapat dilihat melalui Pasal 8
angka 1 dimana di dalam pelaksanaan diversi dilakukan melalui
musyawarah yang berdasarkan keadilan restoratif. Artinya, keadilan
tersebut dirasakan adil bagi anak dan dapat dijalankan oleh pelaku.
71
Ibid, hal.54
Hadi Supeno, Op.cit, hal.193
73
Ibid
72
Universitas Sumatera Utara
32
2. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut The Beijing Rules
Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut The Beijing
Rules, ialah:
“The juvenile justice system shall emphasize the well being of the
juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall
always be in proportionto the circumstances of both the offenders and
the offence.”74
Diartikan : “ Sistem Peradilan bagi anak akan mengutamakan
kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun
terhadap pelanggar-pelanggar hukum anak akan selalu sepadan dengan
keadaan-keadan baik pada pelanggar hukumnya maupun pelanggaran
hukumnya.”75
3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut Konvensi Hak Anak
Tujuan SPPA Menurut Konvensi Hak Anak ialah antara lain
menghindarkan anak dari penyiksaan atau tindakan yang kejam,tidak
manusiawi dan merendahkan martabat, menghindarkan anak dari
penjatuhan hukuman pidana mati maupun pidana penjara seumur
hidup tanpa kemungkinan memperoleh pelepasan/pembebasan.76
Menurut konvensi ini Tujuan SPPA ialah menekankan kepada
perlindungan dan kesejahteraan anak itu sendiri. Dengan tujuan
berdasarkan konvensi hak anak maka, anak dapat terhindarkan dari
penjatuhan hukuman penjara yang dapat merusak masa depannya.
74
The Beijing Rules, Rule 5.1
M.Nasir Djamil, Op.cit, hlm. 49
76
Pasal 37 Konvensi Hak-Hak Anak
75
Universitas Sumatera Utara
33
2. Model-Model Peradilan Anak Di Beberapa Negara
Sebelum membahas penerapan diversi di Indonesia menurut UndangUndang No.11 Tahun 2012 ada baiknya mengenal terlebih dahulu peradilan anak
yang telah ada di beberapa negara, antara lain:
a. Prancis
Di Prancis, Peradilan khusus anak-anak dinamakan Les Jurisdictions
pour enfants.77 Peradilan anak di Prancis ini didasarkan kepada kebutuhankebutuhan yang sangat besar bagi kepentingan anak-anak dalam memperoleh
perlindungan terutama terkait anak sebagai harapan bangsa dan negara untuk
masa depan. Oleh karena itu, perkembangan-perkembangan mereka baik secara
mental, pendidikan maupun fisik harus dilindungi oleh negara.
Tugas Hakim Peradilan Khusus untuk anak diantaranya yaitu
menyidangkan perkara-perkara kejahatan yang telah terlanjur dilakukan oleh
anak-anak remaja. Keputusan yang diambil dalam hal ini dapat berupa tindakan
yakni:
a.
Mengembalikan kepada orangtua
Anak yang melakukan kejahatan dapat dikenai tindakan berupa
pengembalian anak kepada orangtuanya apabila Hakim memiliki
keyakinan bahwa orangtua anak dapat mendidik dan membina anaknya
tanpa harus dikenakan hukuman penjara agar menjadi anak yang
berkelakuan baik. Pengembalian anak kepada orangtua dapat dilihat
berdasarkan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
77
Agung Wahyono dan Siti Rahayu. Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 1993.hal..53
Universitas Sumatera Utara
34
b.
Menempatkan di bawah pengawasan orang lain
Pengawasan yang dimaksudkan adalah Assistans Sociaux, les
deleques dan educateurs (Petugas sosial, wali-wali pengawas dan
pembimbing sosial/pendidik khusus). Mereka bertugas untuk mengawasi
para remaja dan anak-anak yang perkaranya sudah diputus oleh
pengadilan.
c.
Bebas di bawah pengawasan78
b. Inggris
Pengadilan anak Inggris dinamakan Pengadilan Juvenile yaitu pengadilan
anak-anak yang mengadili pelanggar usia muda, mengadili anak-anak nakal, anak
terlantar atau anak di luar perhatian orang tuanya.79 Pengadilan juvenile ini
dijalankan oleh seorang Hakim Ketua,dan dua orang Hakim Anggota dimana
salah seorang harus wanita.
Putusan Pengadilan Juvenile dapat berupa :
a.
Pembebasan sama sekali disertai dengan petuah-petuah
b.
Pembebasan dengan perjanjian
c.
Tindakan Probation
Hakim menjatuhkan putusan berupa tindakan Probation yaitu
terhadap pelanggar hukum tidak perlu dimasukkan dalam penjara
melainkan cukup jika dalam kehidupan sehari-hari diawasi, dibantu dan
dibimbing oleh pegawai probation untuk jangka waktu tertentu 1 (satu)
78
79
Ibid, hal 54
Ibid, hal.63
Universitas Sumatera Utara
35
tahun atau 3 (tiga) tahun. Tindakan ini dikenakan kepada terdakwa yang
telah berusia 14 tahun dan telah dimintai persetujuannya terlebih dahulu.
d.
Tindakan Ganti Rugi
Hakim dalam menjatuhkan putusan ganti rugi lebih menekankan
kepada segi perdata. Di Inggris tindakan ini disamping dapat sebagai
syarat khusus dalam hal pembebasan dengan perjanjian, dapat pula
dikenakan sebagai putusan yang berdiri sendiri.
e.
Pidana denda
f.
Pengiriman ke rumah sakit jiwa
g.
Pidana pencabutan kebebasan
Jenis putusan lain dari Pengadilan Juvenile
ialah tindakan terhadap
orangtua anak yang melakukan pelanggaran, dengan memerintahkan agar
mendidik anaknya hingga berkelakuan baik. Melalui putusan Hakim pula, anak
yang melanggar hukum dapat diserahkan kepada Pemerintah ( Country ), jika
Pemerintah demi kepentingan anak menganggap tidak perlu lagi memelihara
maka, tanpa melalui Pengadilan menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang
tuanya.
3. Diversi Dan Restorative Justice
Indonesia sebagai negara yang tergabung dalam Konvensi Hak-hak anak
memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Indonesia setelah menyetujui konvensi hak-hak anak
telah membuat Sistem Peradilan Pidana Anak sendiri, dimana ditujukan untuk
melindungi hak anak-anak untuk mendapatkan keamanan, keselamatan, dan
Universitas Sumatera Utara
36
kebebasan dari kekerasan, diskriminasi serta stigmatisasi, serta yang dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus mereka untuk tumbuh dan berkembang.
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dibuat untuk menggantikan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
kenyataannya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum
masyarakat, karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada
anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
menyebutkan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak ini menjelaskan Sistem Peradilan
Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.80 Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana ini mengenal konsep diversi dan Restorative Justice dalam menyelesaikan
perkana anak yang berhadapan dengan hukum.
a. Diversi
Diversi dikenal melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlunya Undang-Undang ini dibentuk dengan
alasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 belum secara koprehensif
memberikan perlindungan kepada anak, dan dipandang perlu untuk mewujudkan
peradilan yang menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak
80
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.11Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Universitas Sumatera Utara
37
berhadapan dengan hukum sebagai generasi penerus bangsa. 81 Diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana.82 Pokok-pokok perbedaan yang terdapat di dalam UndangUndang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini : 83
Tabel 1.
Perbedaan UU No.3 Tahun 1997 dan UU 11 Tahun 2012
UU No.3 Tahun 1997
UU No.11 Tahun 2012
Keadilan Retributif
Keadilan Restoratif
Kejahatan adalah pelanggaran sistem
Kejahatan adalah perlakuan terhadap
individu atau masyarakat
Fokus pada pembuktian kesalahan, Fokus pada pemecahan masalah dan
menimbulkan rasa bersalah dan pada memperbaiki kerugian
perilaku masa lalu
Korban diabaikan
Hak
dan
Kebutuhan
Korban
diperhatikan
Pelaku pasif
Pelaku didorong untuk berpartisipasi
81
Gambaran Umum Sistem Peradilan Pidana Anak yang disampaikan dalam Pelatihan
Sertifikasi Hakim Anak Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Ri pada bulan Agustus
2014
82
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
83
Gambaran Umum Sistem Peradilan Pidana Anak yang disampaikan dalam Pelatihan
Sertifikasi Hakim Anak Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI pada bulan Agustus
2014
Universitas Sumatera Utara
38
dan bertanggungjawab
Pertanggungjawaban pelaku adalah Pertanggungjawaban
hukuman
pelaku
adalah
menunjukkan empati dan menolong
untuk memperbaiki kerugian
Respon terfokus pada perilaku masa Respon terfokus pada konsekuensi
lalu pelaku
derita dan kerugian sebagai akibat
perbuatan pelaku
Melihat tabel diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling
mendasar ialah ada kepada keadilan yang dianut. Undang-Undang Pengadilan
Anak yang lama menganut keadilan retributif sedangkan, Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang baru menganut keadilan Restoratif.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana menjelaskan bahwa diversi
yang dilakukan berdasarkan kepada keadilan restoratif. Konsep diversi didasarkan
pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak
pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya
daripada kebaikan.84 Pelaksanaan diversi dapat dilakukan pada tingkat
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.
Pelaksanaan diversi dapat dijalankan apabila perbuatan diancam dengan pidana
penjara dibawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Diversi yang dilakukan wajib melihat kepada kepentingan korban,
kesejahteraan
84
dan
tanggungjawab
anak,
penghindaran
stigma
negatif,
Marlina, Buku I, Op.cit, hal.11
Universitas Sumatera Utara
39
penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan, dan
ketertiban umum. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan
Diversi harus mempertimbangkan katergori tindak pidana,umur anak,hasil
penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga.
Pengecualian persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta
kesediaan dan keluarga korban dapat dilakukan dalam hal tindak pidana berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, nilai kerugian
korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.85
Hasil kesepakatan yang telah dilakukan diversi dapat berisikan
perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang
tua/Wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial paling lama 3 (tiga) bulan
atau pelayanan masyarakat, sesuai dengan ketentuan pasal 11 Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan
kesepakatan diversi dilaksanakan, Pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan
pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
mekanisme pelaksanaan diversi ini diatur di dalam Perma No.4 Tahun 2014.
Terhadap sanksi yang diberikan kepada aparat penegak hukum hanya
berlaku bagi penyidik dan penuntut umum, terkait sanksi yang diberikan kepada
Hakim telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal-pasal yang telah dicabut tersebut
ialah Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
85
Pasal 9 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Universitas Sumatera Utara
40
Anak. Judicial review yang dilakukan terhadap pasal tersebut dilakukan oleh
Ikatan Hakim Indonesia yang diwakili oleh tiga orang hakim yaitu Lilik Mulyadi,
Teguh Satya Bhakti dan Andi Nurvita. Ketiga Hakim tersebut mengajukan
judicial review dengan dalil bahwa, Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak membuat independensi hakim dibatasi dan
dikriminalisasi. Pasal-pasal yang diajukan untuk dicabut itu dinyatakan benar
bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 24 ayat 1, dan Pasal 24 ayat 3 UndangUndang Dasar 1945oleh Mahkamah Konstitusi sehingga, Mahkamah Konstitusi
membatalkan Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 dengan mengeluarkan Putusan
MK Nomor 110/PPU – X/ 2012 tanggal 28 Maret 2013.
b. Restorative Justice
Restorative Justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan.86
Menurut Tony Marshall, Restorative Justice adalah suatu proses dimana
semua pihak terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu secara bersama sama
memecahkan masalah bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang.
Restorative Justice merupakan bentuk resolusi konflik yang membuat jelas
permasalahan dengan saling menghormati individu.
Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur penyelesaian perkara anak
dengan mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Konsep keadilan restoratif
86
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Universitas Sumatera Utara
41
merupakan teori keadilan yang tumbuh dan berkembang dari pelaksanaan
pemidanaan di berbagai negara dan akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya
dalam menangani permasalahan kriminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem
peradilan pidana tradisional.87
Tujuan Restorative Justice ialah memberdayakan korban, pelaku,
keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum
dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk
memperbaiki kehidupan bermasyarakat (konsep melihat keadilan tidak dari satu
sisi, namum menilainya dari berbagai pihak, baik untuk kepentingan korban,
pelaku dan masyarakat).
Kehadiran Restorative Justice telah menggantikan kedudukan Retributif
Justice yang pernah berlaku di Indonesia, perbedaan diantara kedua keadilan ini
ialah dimana keadilan retributif berfokus kepada menjatuhkan pidana kepada
pelaku sebagai upaya pembalasan, sedangkan keadilan restoratif lebih
menekankan kepada pelaku untuk mengakui perbuatannya dan melindungi hakhak korban dengan jalan musyawarah untuk mencapai kesepakatan.
Prinsip Keadilan Restorative ialah mendapatkan persetujuan korban,
membuat pelanggar bertanggung jawab untuk perbaiki kerugianyang timbul oleh
kesalahannya, memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan
kapasitasnya dan kualitasnya dalam mengatasi rasa bersalah secara kontruktif,
melibatkan korban,orang tua, keluarga, masyarakat, dan menciptakan forum kerja
sama dengan masyarakat sekitarnya untuk menangani masalah yang ada serta
87
Marlina, Buku I, Op.cit, hal. 29-30
Universitas Sumatera Utara
42
menetapkan hubungan langsung antara kesalahan dengan reaksi masyarakat,
teman, dan lain-lain.
Untuk lebih jelas perbedaan diversi dan keadilan restoratif dapat dilihat
dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2
Perbedaan Diversi dan Restorative Justice
DIVERSI
Pengalihan Penyelesaian perkara anak
RESTORATIVE JUSTICE
Proses dimana semua yang terlibat
dari proses peradilan formal ke proses
dalam suatu tindak pidana tertentu
di luar peradilan dengan pidana atau
bersama
tanpa syarat
permasalahan yang ada, bagaimana
sama
memecahkan
menangani akibat di masa yang akan
datang
Tujuan diversi salah satunya untuk Tujuan Keadilan Restoratif adalah
untuk pemulihan antara korban dan
menghindari agar anak pelaku tidak di pelaku
proses di peradilan
Diversi dapat dilakukan dengan atau
tanpa persetujuan korban
Diversi fokus pada kepentingan
pelaku
Keadilan Restoratif ini wajib ada
persetujuan korban
Keadilan Restoratif lebih berfokus
pada kepentingan korban
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa diversi dan restorative
justice memiliki tujuan yang sama yaitu melindungi anak
.
Universitas Sumatera Utara
43
C. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 secara khusus menjadi
pedoman pelaksanaan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Mahkamah
Agung mengeluarkan Perma ini dalam rangka untuk mengatasi kekosongan
hukum, yang terjadi diakibatkan oleh ketiadaan Peraturan Pemerintah untuk
menetapkan mekanisme pelaksanaan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pertimbangan lain di dalam mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung ini
ialah bertolak pada pasal 5 sampai pasal 14, Pasal 29, Pasal 42, dan Pasal 52 ayat
(2) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengupayakan Diversi pada tingkat
penyelidikan,penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan dengan
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif dan juga Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 belum mengatur secara jelas tentang tata cara dan tahapan proses
diversi sehingga untuk itu dikeluarkanlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2014.
Berdasarkan Perma No.4 Tahun 2014 ini proses pelaksanaan diversi
dilakukan melalui musyawarah diversi yang melibatkan fasilitator diversi dan
adanya pelaksanaan kaukus yang bertujuan untuk menghasilkan kesepakatan
diversi. Peraturan Mahkamah Agung menjelaskan mengenai musyawarah diversi
dan memberikan arti mengenai fasilitator diversi dan juga kaukus, ialah:
1. Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan
Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perwakilan
Universitas Sumatera Utara
44
masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai
kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan Restoratif
2. Fasilitator Diversi adalah Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
untuk menangani perkara anak yang bersangkutan
3. Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan
salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya.
4. Kesepakatan Diversi adalah kesepakatan hasil proses musyawarah
Diversi yang dituangkan dalam bentuk dokumen dan ditandatangani
oleh para pihak yang terlibat dalam musyawarah Diversi.
5. Hari adalah hari kerja.88
Hari yang dimaksud ialah hari kerja dimana hari tersebut disesuaiakan
dengan jadwal hakim yang menangani perkara tersebut.
Perma No.4 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa, Diversi itu diwajibkan
bagi anak yang diduga melakukan tindak pidana dimana usia anak tersebut telah
berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau
telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun. Hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal
anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di
bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 7 (tahun) atau lebih dalam bentuk surat dakwaan
subsidaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan).89
88
89
Perma No.4 Tahun 2014 Pasal 1 angka 1
Perma No.4 Tahun 2014 Pasal 3
Universitas Sumatera Utara
45
Perma No.4 Tahun 2014 ini juga memuat persiapan diversi ialah sebagai
berikut :
1. Setelah menerima Penetapan Ketua Pengadilan untuk menangani
perkara yang wajib diupayak Diversi Hakim mengeluarkan Penetapan
Hari Musyawarah Diversi
2. Penetapan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat perintah
kepada
penuntut
umum
yang
melimpahkan
perkara
untuk
menghadirkan :
a) Anak dan orang tua/Wali atau Pendampingnya
b) Korban dan/ atau orang tua/Walinya
c) Pembimbing Kemasyarakatan
d) Pekerja Sosial Profesional
e) Perwakilan Masyarakat
f) Pihak-pihak terkait lain yang dipandang perlu dilibatkan dalam
Musyawarah Diversi.
3. Penerapan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2
mencantumkan hari, tanggal, waktu serta tempat dilaksanakannya
musyawarah diversi.90
Mekanisme Tahapan Musyawarah diversi ini ialah Musyawarah dibuka
oleh fasilitator diversi dengan memperkenalkan para pihak yang hadir,
menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi, serta tata tertib
musyawarah untuk disepakati oleh para pihak yang hadir. Fasilitator diversi
90
Perma No.4 Tahun 2014 Pasal 4
Universitas Sumatera Utara
46
pertama sekali menjelaskan mengenai tugas fasilitator diversi , menjelaskan
secara ringkas dakwaan dan pembimbing kemasyarakatan memberikan informasi
tentang perilaku dan keadaan sosial anak serta memberikan saran untuk
memperoleh penyelesaian.
Fasilitator Diversi dalam hal ini wajib memberikan kesempatan kepada
anak untuk didengarkan keterangannya, orang tua/ wali untukl menyampaikan hal
yang berkaitan dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh anak dan bentuk
penyelesaian yang diharapkan, dan memberikan kesempatan kepada korban/anak
korban/orang tua/wali untuk memberikan tanggapan dan pendapat mengenai
bentuk penyelesaian yang diharapkan. Pekerja Sosial setelah mendengarkan hal
tersebut dapat memberikan informasi mengenai keadaan anak korban serta
masukan atau saran sebagai jalan keluar dalam permasalahan anak tersebut.
Fasilitator Diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak
lain atau dapat juga melakukan pertemuan terpisah (kaukus) dengan para pihak
dalam mencari jalan keluar, setelah menemukan kesepakatan maka hasil
musyawarah tersebut dituangkan kedalam bentuk kesepakatan diversi. Fasilitator
Diversi harus memperhatikan dan mengarahkan agar kesepakatan tidak
bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan masyarakat, kesusilaan atau
memuat hal yang tidak dapat dilaksanakan anak atau memuat iktikad baik.
Kesepakatan Diversi tersebut haruslah dimuat kedalam Berita Acara
Diversi dan ditandatangani oleh Fasilitator Diversi dan Panitera/ Panitera
Pengganti, kesepakatan yang telah ditandatangani itu dilaporkan kepada ketua
Pengadilan untuk dibuatkan penetapan telah dilakukan diversi dalam kasus anak
Universitas Sumatera Utara
47
tersebut dan setelah itu hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan
perkara. Pelaksanaan kesepakatan diversi ini harus dilakukan sepenuhnya oleh
pelaku dan apabila pelaku tidak melakukan hasil kesepakatan secara penuh, maka
Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakat dapat melaporkan kepada
Hakim agar perkara tetap dilanjutkan dan dilaksanakan sesuai hukum acara
peradilan anak dan mengenai putusan yang akan dijatuhkan hakim wajib
mempertimbangkan pelaksanaan sebagai kesepakatan diversi.
Mengenai pertanggungjawaban pidana atas isi kesepakatan diversi tidak
dapat diberikan kepada Fasilitator diversi , karena Fasilitator diversi merupakan
seorang Hakim yang ditunjuk ketua Pengadilan untuk menjadi mediator atau
orang yang ditugaskan untuk menangani perkara ini. Pertanggungjawaban pidana
atas hasil kesepakatan diversi ini dapat dijatuhkan kepada pelaku apabila pelaku
melanggar isi kesepakatan yang telah dibuat.
Universitas Sumatera Utara