Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Pengadilan Negeri Medan)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap keluarga
untuk dijaga dan dipelihara. Kehadiran seorang anak adalah sebagai pelengkap di
dalam suatu keluarga. Bagi orangtua kesusksesan anak adalah hal yang
membanggakan, akan tetapi pada saat ini telah banyak kasus kriminal yang
dilakukan oleh seorang anak di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perilaku
anak
dalam
kehidupan
sehari-hari
dapat
mengalami
penyimpangan dikarenakan anak sedang mengalami masa perkembangan menuju
dewasa. Penggolongan proses perkembangan anak dibagi dalam 3(tiga) fase,
yaitu;1
1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan
7 tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa
perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh,
perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi
anak-anak, masa kritis pertama tumbuhnya seksualitas pada anak.
2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut sebagai
masa kanak-kanak, di mana dapat digolongkan ke dalam 2 periode,
yaitu :
a. Masa anak Sekolah Dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode
intelektual.
b. Masa remaja/pra pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan
sebutan periode pueral.
3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun, yang
dibamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan
adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari
anak menjadi orang dewasa.
1
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak edisi Revisi, Refika Aditama,
Bandung, 2013, hal.7-8
1
Universitas Sumatera Utara
2
Pada masa pubertas, anak mengalami gejolak dalam diri untuk
menunjukkan siapa dirinya sebenarnya dan dalam fase ini anak sedang mencari
jadi dirinya. Pada fase ini, anak sering malakukan kenakalan yang terkadang
menimbulkan perbuatan jahat yang dikenal dengan istilah juvenile deliquency.
Perilaku delikuensi anak atau juvenile deliquency adalah perilaku anak yang
melanggar hukum yang apabila dilanggar oleh orang dewasa termasuk kategori
kejahatan.2
Kejahatan
(Crimes)
1.
Secara Praktis
2.
Secara Religius
3.
Secara Yuridis
Bagan 1.1 Bagan Kejahatan.3
1. Secara Yuridis adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
yang melanggar ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan
dan terhadap pelakunya diberikan sanksi pidana.
2. Secara Religius adalah suatu pengertian mengidentikkan jahat dengan
dosa. Jahat dan Dosa dala arti religius itu merupakan sinonim.
3. Secara Yuridis adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum atau
dilarang oleh Undang-undang.4
Suatu perbuatan itu dapat disebut sebagai delikuen apabila perbuatan
tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum janganlah sampai
2
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, Citra
Aditya Bakti, 1997, hal. 3
3
Ediwarman,dkk,Monograf Kriminologi Edisi Ketiga , Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2012, hal.8
4
Ibid, hal.9
Universitas Sumatera Utara
3
memunculkan stigmatisasi atau labelling dan kurangnya atau bahkan ketiadaan
pembinaan terhadap mereka sehingga membuyarkan harapan mereka menjadi
pemuda yang dapat berguna bagi bangsanya.5
Permasalahan terbesar dari anak yang berhadapan dengan hukum adalah
karena Undang-Undang No.3 Tahun 1997 sudah tidak relevan lagi, undangundang ini tidak memberikan solusi yang tepat bagi penanganan anak sebagai
anak yang berhadapan dengan hukum akibatnya, akan ada tekanan mental dan
psikologis terhadap anak dan mengganggu pertumbuhannya.6
Alasan lain Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tidak relevan lagi, yakni:7
1. Pasal 23 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menunjukkan begitu
mudahnya menjatuhkan pidana kepada seorang anak yanpa
memperhatikan keadaan yang di alami oleh anak.
2. Alasan Karakteristik Anak
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyebutkan: ...”untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia ,...” Jadi, anak merupakan individu yang masih harus
tumbuh dan berkembang dalam segala aspek, sehingga anak belum
dapat menentukan pilihan perbuatan secara benar.
3. Alasan Masa Depan Anak
Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, anak yang dipidana
terlabel dan terstigmatisasi selepas pemidanaan sehingga menyulitkan
pertumbuhan psikis dan sosial anak ke depan.
4. Undang-undang ini tidak memberikan jalan untuk memulihkan keadaan
anak kepada keadaan semula dimana anak belum berhadapan dengan
hukum.
Model di dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak tidak sesuai lagi dalam mengatasi permasalahan hukum mengenai anak dan
untuk itu Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
5
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013,
6
Ibid, hal.3
Ibid, hal.4
hal.4
7
Universitas Sumatera Utara
4
Anak
lebih mengutamakan konsep diversi dan restorative justice dalam
menyelesaikan permasalahan anak dibandingkan dengan melakukan penjatuhan
penjara terhadap anak.
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak memerintahkan agar dikeluarkan
Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan diversi akan tetapi, pelaksanaan diversi
tersebut belum juga ada dan untuk mengisi kekosongan hukum di dalam pedoman
pelaksanaan diversi ini maka, diterbitkanlah PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Model restorative justice yang dimuat dalam undang-undang ini adalah
mengenai pemulihan ke kondisi semula dan menggunakan pemidanaan sebagai
jalan terakhir bagi anak, sehingga perlu proses penyelesaian di luar peradilan
pidana yakni dengan cara diversi.8 Diversi ini sendiri masih dapat dikatakan baru
sehingga, banyak aparat penegak hukum belum mengetahui aturan pelaksanaan
ini dan ketika memperoleh berkas perkara aparat penegak hukum langsung
melimpahkannya kepada kejaksaan maupun pengadilan untuk disidangkan dan ini
menjadi hambatan dalam pelaksanaan diversi yang merupakan suatu kewajiban.
Selain itu, di dalam undang-undang dan Perma yang telah di terbitkan oleh
Mahkamah Agung terkait pengaturan diversi di Indonesia masih dapat dikatakan
abu-abu karena belum jelas memuat mengenai syarat-syarat untuk menjadi
fasilitator diversi dan kemampuan apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi
seorang fasilitator diversi.
8
Ibid, hal.6
Universitas Sumatera Utara
5
Tempat pelaksanaan yang dibutuhkan dalam melakukan diversi ini juga
tidak banyak dimiliki oleh pengadilan bahkan, ada pengadilan yang tidak
memiliki tempat pelaksanaan diversi dan terkadang menggunakan ruang sidang
sebagai tempat melakukan diversi. Hambatan terbesar selanjutnya ialah kurangnya
pengetahuan mengenai diversi bagi aparat penegak hukum di dalam
menyelesaikan kasus, ini dapat dilihat dengan banyaknya perkara yang
dilimpahkan ke pengadilan tanpa melalui proses diversi.
Hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan diversi ini juga dapat
terbilang cukup berat dikarenakan diversi baru dikenal di Indonesia dan
masyarakat sendiri juga masih banyak yang tidak mengerti dengan tata cara
pelaksanaan diversi baik di tingkat penidikan, penuntutan, maupun tingkat
pengadilan sehingga, dapat memungkinkan tidak terlaksananya diversi di dalam
setiap tingkatan yang ada baik penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan anak
di pengadilan.
Berdasarkan latar belakang mengenai pengaturan diversi di Indonesia dan
peraturan pelaksanaan serta hambatan yang di hadapi dalam melaksanakan
diversi, maka mengenai latar belakang tersebut diangkatlah penulisan mengenai
“Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan
studi di Pengadilan Negeri Medan” untuk dijadikan sebagai judul skripsi.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah di dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan diversi dalam peraturan perundang-undanggan
di Indonesia ?
Universitas Sumatera Utara
6
2. Bagaimana pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri Medan ?
3. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hambatan
dalam pelaksanaan diversi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaturan diversi di dalam peraturan perundangundangan di Indonesia.
b. Untuk mengetahui pelaksanaan diversi yang dilakukan di Pengadilan
Negeri Medan.
c. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi
hambatan divesi.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :
a.
Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat membantu memahami pengaturan
diversi yang dimuat di dalam peraturan perundang-undangan, mengetahui
bagaimana pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri Medan, dan
memberikan pemahaman dalam mengatasi hambatan pelaksanaan diversi.
b.
Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan dapat memberikan bantuan dalam
menerapkan diversi sesuai dengan pengaturan di dalam perundangundangan, memberikan gambaran mengenai pelaksanaan diversi yang ada
Universitas Sumatera Utara
7
di Pengadilan Negeri Medan dan juga memberikan masukan dalam
mengatasi hambatan pelaksanaan diversi.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan oleh
pihak Fakultas Hukum Universitas mengenai Penerapan Diversi Terhadap
Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan studi Pengadilan Negeri Medan
dinyatakan bahwa belum pernah ada dilakukan penulisan yang sama dengan judul
skripsi diatas. Keaslian penulisan ini berfokus kepada pengaturan diversi dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia, penelitian terhadap mekanisme
pelaksanaan diversi, hambatan dalam pelaksanaan diversi, penyelesaian terhadap
hambatan diversi, syarat-syarat pelaksanaan diversi, dan jenis tindak pidana yang
dapat dilakukan diversi oleh Pengadilan Negeri Medan. Penelitian inilah yang
membedakan dengan penelitian lainnya yang ada di dalam Universitas Sumatera
Utara maupun diluar Universitas Sumatera Utara.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini juga dapat disebut
penelitian doktrinal. Penelitian doktrinal ini terdiri atas penelitian yang berupa
usaha menginvntarisasi hukum positif, penelitian yang berusaha untuk
menemukan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif dan penelitian yang
berusaha menemukan hukum in concerto yang layak diterapkan untuk
Universitas Sumatera Utara
8
menyelesaikan suatu perkara.9 Penelitian hukum yang dilakukan juga didukung
oleh data empiris.
2. Sumber Data
Sumber data dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data
sekunder. Data Sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum yang
berhubungan dengan penulisan ini. Antara lain : Buku-buku Hukum, Kamus
Hukum, Jurnal Hukum, Seminar, Wawancara, dan Bahan Kuliah.10 Data sekunder
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku milik
pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari
media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk
peraturan perundang-undangan.
3. Metode Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini menggunakan metode Library Research (Penelitian
Kepustakaan). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatancatatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan
dipecahkan.11
4. Analisa Data
Metode analisis yang akan di gunakan untuk penelitian hukum normatif ini
adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Perolehan data dari
analisis kualitatif ini ialah diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan
9
M.Dhana Ginting, Bahan Mata Kuliah Metodelogi Penelusuran dan Penelitian Hukum,
April 2014, hal.6
10
Ibid, hal. 2
11
M.Nazir, Metode Penelitian , Ghalia Indonesia,Jakarta, Cet.ke-5, 2003, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
9
teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi).12 Data kualitatif
adalah data yang nonangka, yaitu berupa kata, kalimat,pernyataan dan dokumen.
Dalam penelitian kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses di
lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.13
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Diversi
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan
pidana ke proses proses peradilan di luar peradilan pidana.14 Menurut Jac E.
Bynum dalam bukunya Juvenile Deliquency a Sociological Approach , yaitu:
Diversion is ‘an attempt to diveert, or channel out, youthful offenders from the
juvenile system’ (terjemahan diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk
mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidan anak keluar dari sistem
peradilan pidana).15
Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan diversi ini adalah untuk
mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak secara
non-litigasi serta menanamkan rasa bertanggung jawab dan bersalah kepada
seorang anak dan untuk mencegah seorang anak menjadi pelaku tindak pidana di
masa depan.
Diversi tidak bertujuan untuk mengabaikan hukum dan keadilan sama
sekali,akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk
12
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif , Alfabeta, Bandung, 2013, hal.87
Ibid, hal.90
14
Pasal 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
15
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice , USU Press, 2010, hal.14
(selanjutnya disebut dengan Buku I)
13
Universitas Sumatera Utara
10
membuat orang mentaati hukum.16 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat
untuk
taat
dan
menegakkan
hukum
negara,
pelaksanaannya
tetap
mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian
kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi,
kerja sosial atau pengawasan orang tua.
Tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu :
a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu
aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab
pengawasan atau pengamatan masyarakat dengan ketaatan pada
persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung
jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan
kedua bagi pelaku oleh masyarakat.
b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi,
mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada keluarga
dan pelaku. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk
memberikan perbaikan atau pelayanan.
c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (ballanced or
restorative justice), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan
pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan
membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat.
Pelaksanaaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersamasama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.17
2. Pengertian Anak
Pengertian mengenai anak belum serempak dan masih sangat bervariatif di
Indonesia. Khusus dalam lingkup hukum pidana, pengertian mengenai anak juga
masih sangat banyak. Batasan usia anak menurut hukum positif di Indonesia,
antara lain:
16
17
Ibid, hal:14
Ibid, hal.15
Universitas Sumatera Utara
11
a. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
menyatakan , anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun,termasuk anak yang masih didalam kandungan.18
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, anak dikategorikan menjadi dua, yakni:
1) Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana.19
2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana20.
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan, anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.21
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana menyatakan, anak yang diperbolehkan untuk
18
19
Pasal 1 angka 1Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 2Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentangSistem Peradilan Pidana
20
Pasal 1 angka 3Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
21
Pasal 1 angka 5Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Anak
Anak
Universitas Sumatera Utara
12
memberikan keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya
belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin.22
e. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
menyatakan, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.23
f. Konvensi Hak Anak menyatakan, anak adalah setiap orang yang berusia
dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku
untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.24
Berdasarkan Konvensi Hak-Hak anak, hak-hak anak secara umum dapat
dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain :
a. Hak untuk kelangsungan hidup ( The Right To Survival ) yaitu hak-hak
untuk melestarikan dan mempertahankan hidup ( The Right of Live )
dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan
sebaik-baiknya.
b. Hak terhadap perlindungan ( Protection Right ) yaitu hak-hak dalam
konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi,
tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai
keluarga bagi anak-anak pengungsi.
c. Hak untuk tumbuh kembang ( Developments Rights ) yaitu hak-hak
anak dalam konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk
pendidikan dan hak untuk mencapai standar hidup bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak ( The rights of standart of
living ).
d. Hak untuk berpartisipasi ( Participation Rights ), yaitu hak-hak anak
yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak.25
3. Pengertian Pelaku Tindak Pidana
Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang
melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur
22
Pasal 171 angka 1 Kitab Hukum Acara Pidana
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
24
Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak
25
M.Nasir Djamil, Op.Cit, hal.14-16
23
Universitas Sumatera Utara
13
tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Kata “barang
siapa” menunjukkan pelaku perbuatan tersebut adalah seorang manusia dan bukan
badan hukum. Pelaku tindak pidana dapat dihukum sebagai orang yang
melakukan peristiwa pidana, apabila :
a. Orang yang melakukan,yang menyuruh melakukan atau turut
melakukan perbuatan itu;
b. Orang yang dengan pemberian,perjanjian,salah memakai kekuasaan
atau pengaruh,kekerasan,ancaman atau tipu daya atau dengan memberi
kesempatan,daya-upaya atau keterangan,sengaja membujuk untuk
melakukan sesuatu perbuatan.26
Berdasarkan hal di atas Pelaku Tindak Pidana dikategorikan menjadi 4
(empat) macam yaitu27 :
1) Orang yang melakukan (pleger).
Orang yang melakukan adalah seorang pribadi yang melakukan
suatu peristiwa pidana yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Orang ini adalah seorang yang sendirian telah berbuat
mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana.
2) Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger)
Orang yang menyuruh melakukan sedikitnya ada dua orang
yaitu seorang yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (plegen).
Orang yang menyuruh melakukan adalah satu-satunya orang yang dapat
dihukum atas perbuatannya sendiri sedangkan, orang yang disuruh
(plegen) tidak dapat dihukum dikarenakan sebagai suatu alat yang
digunakan oleh seorang yang menyuruh (doen plegen).
26
27
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Pasal 55 angka 1, hal.72
Lihat penjelasan pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara
14
Orang yang disuruh (plegen) tidak dapat dihukum karena tidak
dapat dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya sendiri, misalnya :
orang tersebut tidak cakap, perbuatan tersebut dilakukan pada saat
keadaan terpaksa (overmacht), atas perintah jabatan yang tidak sah,tidak
adanya unsur kesengajaan yang terdapat didalam diri orang yang
disuruh.
3) Orang yang turut melakukan (medpleger)
Orang yang turut melakukan adalah seorang yang ikut melakukan
suatu perbuatan secara bersama-sama. Turut melakukan dalam arti kata
bersama-sama melakukan. Tidak boleh hanya melakukan perbuatan
persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya menolong, sebab jika
demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger ” akan
tetapi dihukum sebagai “ membantu melakukan “ (medeplichtge). Turut
melakukan memiliki sifat yang berupa pelaksanaan dari suatu perbuatan
pidana,sedangkan membantu melakukan adalah sifat membantu di dalam
menjalankan suatu tindak pidana.Perbuatan yang sifatnya membantu
dihukum berdasarkan pasal 56 KUHP.
4) Orang yang membujuk melakukan (uitlokking)
Orang yang membujuk melakukan disini adalah seseorang yang
membujuk orang lain dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya
sendiri,melakukan suatu pemberian kepada orang lain, melakukan
kekerasan agar seseorang takut dan mau mengikuti perkataan yang
diucapkan olehnya.
Universitas Sumatera Utara
15
Syarat-syarat uit lokking:
harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan
tindak pidana
(b) harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana
(c) cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang
tersebut didalam pasal 55 (1) sub 2e (pemberian,perjanjian, ancaman,
dan lain sebagainya)
(d) orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai
dengan keinginan orang yang menggerakan28
(a)
Pelaku tindak pidana dapat berupa manusia maupun badan hukum.
Manusia sebagai pelaku tindak pidana dapat dilihat berdasarkan pasal 55 KUHP
sedangkan, terhadap badan hukum tidak dapat dikatakan sebagai pelaku tindak
pidana berdasarkan KUHP dikarenakan KUHP hanya ditujukan terhadap manusia
atau naturlijke persoon. Badan Hukum adalah suatu perkumpulan atau organisasi
yang oleh hukum dilakukan seperti manusia, yaitu memiliki hak dan kewajiban,
dan memiliki hak digugat maupun menggugat di pengadilan.29 Badan Hukum
dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana apabila melakukan kejahatan
korporasi. Menurut Bismar, di dalam KUHP yang dianggap sebagai subjek hukum
pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami
(naturlijkee person)30 sehingga, KUHP saat ini tidak bisa dijadikan sebagai
landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya
dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Berdasarkan
pandangan yang diberikan oleh Bismar tesebut dapat disimpulkan, bahwa
korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana yang ditujukan kepada
28
Lisa, Hukum Pidana , diakses dari http://makalah-hukumpidana.blogspot.com/2014/01/pelaku-tindak-pidana-dader.html pada tanggal 27 Maret 2015.
Pukul 22.12 WIB.
29
Jurnal Cendikia, Vol.1, No.2, Oktober 2012, hal.2-3
30
Bismar Nasution, Kegiatan Hukum Ekonomi, diakses dari
https://bismar.wordpress.com/page/2/ pada tanggal 18 April 2015 pukul 15.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
16
pengurus korporasi. Dengan pandangan tersebut juga dapat disimpulkan,
korporasi tidak dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana akan tetapi,
pengurus korporasi dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh sesuai dengan aturan dan
penulisan karya ilmiah, maka penulisan dibuat secara sistematika penulisan
hukum. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I :
Berisikan Pendahuluan yang menguraikan latar belakang judul
penulisan diangkat, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan,
keaslian
penulisan,
metode
penulisan,
tinjauan
kepustakaan, sistematika penulisan.
BAB II :
Bab ini membahas mengenai pengaturan penerapan diversi yang
meliputi
pembahasan
konsep
diversi
dan
keadilan
restoratif
(restorative justice), perbedaan konsep diversi dan restorative justice,
pembahasan diversi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 dan mekanisme pelaksanaan diversi menurut Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014.
BAB III : Bab ini membahas mengenai ketentuan Tindak Pidana yang dapat
dilakukan proses diversi, syarat-syarat pelaksanaan diversi, dan
membahas mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan diversi di
Pengadilan Negeri Medan, serta mempelajari hambatan-hambatan di
dalam penerapan diversi di Pengadilan Negeri Medan.
Universitas Sumatera Utara
17
BAB IV : Bab ini membahas mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk
menghadapi hambatan pelaksanaan diversi dengan cara melihat dari
segi substansi hukum, cultur, dan struktur aparat penegak hukum yang
ada.
BAB V :
Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab terdahulu serta berisi saran
terhadap penerapan diversi terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap keluarga
untuk dijaga dan dipelihara. Kehadiran seorang anak adalah sebagai pelengkap di
dalam suatu keluarga. Bagi orangtua kesusksesan anak adalah hal yang
membanggakan, akan tetapi pada saat ini telah banyak kasus kriminal yang
dilakukan oleh seorang anak di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perilaku
anak
dalam
kehidupan
sehari-hari
dapat
mengalami
penyimpangan dikarenakan anak sedang mengalami masa perkembangan menuju
dewasa. Penggolongan proses perkembangan anak dibagi dalam 3(tiga) fase,
yaitu;1
1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan
7 tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa
perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh,
perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi
anak-anak, masa kritis pertama tumbuhnya seksualitas pada anak.
2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut sebagai
masa kanak-kanak, di mana dapat digolongkan ke dalam 2 periode,
yaitu :
a. Masa anak Sekolah Dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode
intelektual.
b. Masa remaja/pra pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan
sebutan periode pueral.
3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun, yang
dibamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan
adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari
anak menjadi orang dewasa.
1
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak edisi Revisi, Refika Aditama,
Bandung, 2013, hal.7-8
1
Universitas Sumatera Utara
2
Pada masa pubertas, anak mengalami gejolak dalam diri untuk
menunjukkan siapa dirinya sebenarnya dan dalam fase ini anak sedang mencari
jadi dirinya. Pada fase ini, anak sering malakukan kenakalan yang terkadang
menimbulkan perbuatan jahat yang dikenal dengan istilah juvenile deliquency.
Perilaku delikuensi anak atau juvenile deliquency adalah perilaku anak yang
melanggar hukum yang apabila dilanggar oleh orang dewasa termasuk kategori
kejahatan.2
Kejahatan
(Crimes)
1.
Secara Praktis
2.
Secara Religius
3.
Secara Yuridis
Bagan 1.1 Bagan Kejahatan.3
1. Secara Yuridis adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
yang melanggar ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan
dan terhadap pelakunya diberikan sanksi pidana.
2. Secara Religius adalah suatu pengertian mengidentikkan jahat dengan
dosa. Jahat dan Dosa dala arti religius itu merupakan sinonim.
3. Secara Yuridis adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum atau
dilarang oleh Undang-undang.4
Suatu perbuatan itu dapat disebut sebagai delikuen apabila perbuatan
tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum janganlah sampai
2
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, Citra
Aditya Bakti, 1997, hal. 3
3
Ediwarman,dkk,Monograf Kriminologi Edisi Ketiga , Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2012, hal.8
4
Ibid, hal.9
Universitas Sumatera Utara
3
memunculkan stigmatisasi atau labelling dan kurangnya atau bahkan ketiadaan
pembinaan terhadap mereka sehingga membuyarkan harapan mereka menjadi
pemuda yang dapat berguna bagi bangsanya.5
Permasalahan terbesar dari anak yang berhadapan dengan hukum adalah
karena Undang-Undang No.3 Tahun 1997 sudah tidak relevan lagi, undangundang ini tidak memberikan solusi yang tepat bagi penanganan anak sebagai
anak yang berhadapan dengan hukum akibatnya, akan ada tekanan mental dan
psikologis terhadap anak dan mengganggu pertumbuhannya.6
Alasan lain Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tidak relevan lagi, yakni:7
1. Pasal 23 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menunjukkan begitu
mudahnya menjatuhkan pidana kepada seorang anak yanpa
memperhatikan keadaan yang di alami oleh anak.
2. Alasan Karakteristik Anak
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyebutkan: ...”untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia ,...” Jadi, anak merupakan individu yang masih harus
tumbuh dan berkembang dalam segala aspek, sehingga anak belum
dapat menentukan pilihan perbuatan secara benar.
3. Alasan Masa Depan Anak
Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, anak yang dipidana
terlabel dan terstigmatisasi selepas pemidanaan sehingga menyulitkan
pertumbuhan psikis dan sosial anak ke depan.
4. Undang-undang ini tidak memberikan jalan untuk memulihkan keadaan
anak kepada keadaan semula dimana anak belum berhadapan dengan
hukum.
Model di dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak tidak sesuai lagi dalam mengatasi permasalahan hukum mengenai anak dan
untuk itu Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
5
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013,
6
Ibid, hal.3
Ibid, hal.4
hal.4
7
Universitas Sumatera Utara
4
Anak
lebih mengutamakan konsep diversi dan restorative justice dalam
menyelesaikan permasalahan anak dibandingkan dengan melakukan penjatuhan
penjara terhadap anak.
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak memerintahkan agar dikeluarkan
Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan diversi akan tetapi, pelaksanaan diversi
tersebut belum juga ada dan untuk mengisi kekosongan hukum di dalam pedoman
pelaksanaan diversi ini maka, diterbitkanlah PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Model restorative justice yang dimuat dalam undang-undang ini adalah
mengenai pemulihan ke kondisi semula dan menggunakan pemidanaan sebagai
jalan terakhir bagi anak, sehingga perlu proses penyelesaian di luar peradilan
pidana yakni dengan cara diversi.8 Diversi ini sendiri masih dapat dikatakan baru
sehingga, banyak aparat penegak hukum belum mengetahui aturan pelaksanaan
ini dan ketika memperoleh berkas perkara aparat penegak hukum langsung
melimpahkannya kepada kejaksaan maupun pengadilan untuk disidangkan dan ini
menjadi hambatan dalam pelaksanaan diversi yang merupakan suatu kewajiban.
Selain itu, di dalam undang-undang dan Perma yang telah di terbitkan oleh
Mahkamah Agung terkait pengaturan diversi di Indonesia masih dapat dikatakan
abu-abu karena belum jelas memuat mengenai syarat-syarat untuk menjadi
fasilitator diversi dan kemampuan apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi
seorang fasilitator diversi.
8
Ibid, hal.6
Universitas Sumatera Utara
5
Tempat pelaksanaan yang dibutuhkan dalam melakukan diversi ini juga
tidak banyak dimiliki oleh pengadilan bahkan, ada pengadilan yang tidak
memiliki tempat pelaksanaan diversi dan terkadang menggunakan ruang sidang
sebagai tempat melakukan diversi. Hambatan terbesar selanjutnya ialah kurangnya
pengetahuan mengenai diversi bagi aparat penegak hukum di dalam
menyelesaikan kasus, ini dapat dilihat dengan banyaknya perkara yang
dilimpahkan ke pengadilan tanpa melalui proses diversi.
Hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan diversi ini juga dapat
terbilang cukup berat dikarenakan diversi baru dikenal di Indonesia dan
masyarakat sendiri juga masih banyak yang tidak mengerti dengan tata cara
pelaksanaan diversi baik di tingkat penidikan, penuntutan, maupun tingkat
pengadilan sehingga, dapat memungkinkan tidak terlaksananya diversi di dalam
setiap tingkatan yang ada baik penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan anak
di pengadilan.
Berdasarkan latar belakang mengenai pengaturan diversi di Indonesia dan
peraturan pelaksanaan serta hambatan yang di hadapi dalam melaksanakan
diversi, maka mengenai latar belakang tersebut diangkatlah penulisan mengenai
“Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan
studi di Pengadilan Negeri Medan” untuk dijadikan sebagai judul skripsi.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah di dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan diversi dalam peraturan perundang-undanggan
di Indonesia ?
Universitas Sumatera Utara
6
2. Bagaimana pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri Medan ?
3. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hambatan
dalam pelaksanaan diversi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaturan diversi di dalam peraturan perundangundangan di Indonesia.
b. Untuk mengetahui pelaksanaan diversi yang dilakukan di Pengadilan
Negeri Medan.
c. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi
hambatan divesi.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :
a.
Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat membantu memahami pengaturan
diversi yang dimuat di dalam peraturan perundang-undangan, mengetahui
bagaimana pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri Medan, dan
memberikan pemahaman dalam mengatasi hambatan pelaksanaan diversi.
b.
Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan dapat memberikan bantuan dalam
menerapkan diversi sesuai dengan pengaturan di dalam perundangundangan, memberikan gambaran mengenai pelaksanaan diversi yang ada
Universitas Sumatera Utara
7
di Pengadilan Negeri Medan dan juga memberikan masukan dalam
mengatasi hambatan pelaksanaan diversi.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan oleh
pihak Fakultas Hukum Universitas mengenai Penerapan Diversi Terhadap
Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan studi Pengadilan Negeri Medan
dinyatakan bahwa belum pernah ada dilakukan penulisan yang sama dengan judul
skripsi diatas. Keaslian penulisan ini berfokus kepada pengaturan diversi dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia, penelitian terhadap mekanisme
pelaksanaan diversi, hambatan dalam pelaksanaan diversi, penyelesaian terhadap
hambatan diversi, syarat-syarat pelaksanaan diversi, dan jenis tindak pidana yang
dapat dilakukan diversi oleh Pengadilan Negeri Medan. Penelitian inilah yang
membedakan dengan penelitian lainnya yang ada di dalam Universitas Sumatera
Utara maupun diluar Universitas Sumatera Utara.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini juga dapat disebut
penelitian doktrinal. Penelitian doktrinal ini terdiri atas penelitian yang berupa
usaha menginvntarisasi hukum positif, penelitian yang berusaha untuk
menemukan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif dan penelitian yang
berusaha menemukan hukum in concerto yang layak diterapkan untuk
Universitas Sumatera Utara
8
menyelesaikan suatu perkara.9 Penelitian hukum yang dilakukan juga didukung
oleh data empiris.
2. Sumber Data
Sumber data dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data
sekunder. Data Sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum yang
berhubungan dengan penulisan ini. Antara lain : Buku-buku Hukum, Kamus
Hukum, Jurnal Hukum, Seminar, Wawancara, dan Bahan Kuliah.10 Data sekunder
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku milik
pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari
media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk
peraturan perundang-undangan.
3. Metode Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini menggunakan metode Library Research (Penelitian
Kepustakaan). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatancatatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan
dipecahkan.11
4. Analisa Data
Metode analisis yang akan di gunakan untuk penelitian hukum normatif ini
adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Perolehan data dari
analisis kualitatif ini ialah diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan
9
M.Dhana Ginting, Bahan Mata Kuliah Metodelogi Penelusuran dan Penelitian Hukum,
April 2014, hal.6
10
Ibid, hal. 2
11
M.Nazir, Metode Penelitian , Ghalia Indonesia,Jakarta, Cet.ke-5, 2003, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
9
teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi).12 Data kualitatif
adalah data yang nonangka, yaitu berupa kata, kalimat,pernyataan dan dokumen.
Dalam penelitian kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses di
lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.13
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Diversi
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan
pidana ke proses proses peradilan di luar peradilan pidana.14 Menurut Jac E.
Bynum dalam bukunya Juvenile Deliquency a Sociological Approach , yaitu:
Diversion is ‘an attempt to diveert, or channel out, youthful offenders from the
juvenile system’ (terjemahan diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk
mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidan anak keluar dari sistem
peradilan pidana).15
Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan diversi ini adalah untuk
mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak secara
non-litigasi serta menanamkan rasa bertanggung jawab dan bersalah kepada
seorang anak dan untuk mencegah seorang anak menjadi pelaku tindak pidana di
masa depan.
Diversi tidak bertujuan untuk mengabaikan hukum dan keadilan sama
sekali,akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk
12
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif , Alfabeta, Bandung, 2013, hal.87
Ibid, hal.90
14
Pasal 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
15
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice , USU Press, 2010, hal.14
(selanjutnya disebut dengan Buku I)
13
Universitas Sumatera Utara
10
membuat orang mentaati hukum.16 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat
untuk
taat
dan
menegakkan
hukum
negara,
pelaksanaannya
tetap
mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian
kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi,
kerja sosial atau pengawasan orang tua.
Tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu :
a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu
aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab
pengawasan atau pengamatan masyarakat dengan ketaatan pada
persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung
jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan
kedua bagi pelaku oleh masyarakat.
b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi,
mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada keluarga
dan pelaku. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk
memberikan perbaikan atau pelayanan.
c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (ballanced or
restorative justice), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan
pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan
membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat.
Pelaksanaaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersamasama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.17
2. Pengertian Anak
Pengertian mengenai anak belum serempak dan masih sangat bervariatif di
Indonesia. Khusus dalam lingkup hukum pidana, pengertian mengenai anak juga
masih sangat banyak. Batasan usia anak menurut hukum positif di Indonesia,
antara lain:
16
17
Ibid, hal:14
Ibid, hal.15
Universitas Sumatera Utara
11
a. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
menyatakan , anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun,termasuk anak yang masih didalam kandungan.18
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, anak dikategorikan menjadi dua, yakni:
1) Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana.19
2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana20.
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan, anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.21
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana menyatakan, anak yang diperbolehkan untuk
18
19
Pasal 1 angka 1Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 2Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentangSistem Peradilan Pidana
20
Pasal 1 angka 3Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
21
Pasal 1 angka 5Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Anak
Anak
Universitas Sumatera Utara
12
memberikan keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya
belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin.22
e. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
menyatakan, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.23
f. Konvensi Hak Anak menyatakan, anak adalah setiap orang yang berusia
dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku
untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.24
Berdasarkan Konvensi Hak-Hak anak, hak-hak anak secara umum dapat
dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain :
a. Hak untuk kelangsungan hidup ( The Right To Survival ) yaitu hak-hak
untuk melestarikan dan mempertahankan hidup ( The Right of Live )
dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan
sebaik-baiknya.
b. Hak terhadap perlindungan ( Protection Right ) yaitu hak-hak dalam
konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi,
tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai
keluarga bagi anak-anak pengungsi.
c. Hak untuk tumbuh kembang ( Developments Rights ) yaitu hak-hak
anak dalam konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk
pendidikan dan hak untuk mencapai standar hidup bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak ( The rights of standart of
living ).
d. Hak untuk berpartisipasi ( Participation Rights ), yaitu hak-hak anak
yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak.25
3. Pengertian Pelaku Tindak Pidana
Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang
melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur
22
Pasal 171 angka 1 Kitab Hukum Acara Pidana
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
24
Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak
25
M.Nasir Djamil, Op.Cit, hal.14-16
23
Universitas Sumatera Utara
13
tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Kata “barang
siapa” menunjukkan pelaku perbuatan tersebut adalah seorang manusia dan bukan
badan hukum. Pelaku tindak pidana dapat dihukum sebagai orang yang
melakukan peristiwa pidana, apabila :
a. Orang yang melakukan,yang menyuruh melakukan atau turut
melakukan perbuatan itu;
b. Orang yang dengan pemberian,perjanjian,salah memakai kekuasaan
atau pengaruh,kekerasan,ancaman atau tipu daya atau dengan memberi
kesempatan,daya-upaya atau keterangan,sengaja membujuk untuk
melakukan sesuatu perbuatan.26
Berdasarkan hal di atas Pelaku Tindak Pidana dikategorikan menjadi 4
(empat) macam yaitu27 :
1) Orang yang melakukan (pleger).
Orang yang melakukan adalah seorang pribadi yang melakukan
suatu peristiwa pidana yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Orang ini adalah seorang yang sendirian telah berbuat
mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana.
2) Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger)
Orang yang menyuruh melakukan sedikitnya ada dua orang
yaitu seorang yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (plegen).
Orang yang menyuruh melakukan adalah satu-satunya orang yang dapat
dihukum atas perbuatannya sendiri sedangkan, orang yang disuruh
(plegen) tidak dapat dihukum dikarenakan sebagai suatu alat yang
digunakan oleh seorang yang menyuruh (doen plegen).
26
27
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Pasal 55 angka 1, hal.72
Lihat penjelasan pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara
14
Orang yang disuruh (plegen) tidak dapat dihukum karena tidak
dapat dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya sendiri, misalnya :
orang tersebut tidak cakap, perbuatan tersebut dilakukan pada saat
keadaan terpaksa (overmacht), atas perintah jabatan yang tidak sah,tidak
adanya unsur kesengajaan yang terdapat didalam diri orang yang
disuruh.
3) Orang yang turut melakukan (medpleger)
Orang yang turut melakukan adalah seorang yang ikut melakukan
suatu perbuatan secara bersama-sama. Turut melakukan dalam arti kata
bersama-sama melakukan. Tidak boleh hanya melakukan perbuatan
persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya menolong, sebab jika
demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger ” akan
tetapi dihukum sebagai “ membantu melakukan “ (medeplichtge). Turut
melakukan memiliki sifat yang berupa pelaksanaan dari suatu perbuatan
pidana,sedangkan membantu melakukan adalah sifat membantu di dalam
menjalankan suatu tindak pidana.Perbuatan yang sifatnya membantu
dihukum berdasarkan pasal 56 KUHP.
4) Orang yang membujuk melakukan (uitlokking)
Orang yang membujuk melakukan disini adalah seseorang yang
membujuk orang lain dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya
sendiri,melakukan suatu pemberian kepada orang lain, melakukan
kekerasan agar seseorang takut dan mau mengikuti perkataan yang
diucapkan olehnya.
Universitas Sumatera Utara
15
Syarat-syarat uit lokking:
harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan
tindak pidana
(b) harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana
(c) cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang
tersebut didalam pasal 55 (1) sub 2e (pemberian,perjanjian, ancaman,
dan lain sebagainya)
(d) orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai
dengan keinginan orang yang menggerakan28
(a)
Pelaku tindak pidana dapat berupa manusia maupun badan hukum.
Manusia sebagai pelaku tindak pidana dapat dilihat berdasarkan pasal 55 KUHP
sedangkan, terhadap badan hukum tidak dapat dikatakan sebagai pelaku tindak
pidana berdasarkan KUHP dikarenakan KUHP hanya ditujukan terhadap manusia
atau naturlijke persoon. Badan Hukum adalah suatu perkumpulan atau organisasi
yang oleh hukum dilakukan seperti manusia, yaitu memiliki hak dan kewajiban,
dan memiliki hak digugat maupun menggugat di pengadilan.29 Badan Hukum
dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana apabila melakukan kejahatan
korporasi. Menurut Bismar, di dalam KUHP yang dianggap sebagai subjek hukum
pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami
(naturlijkee person)30 sehingga, KUHP saat ini tidak bisa dijadikan sebagai
landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya
dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Berdasarkan
pandangan yang diberikan oleh Bismar tesebut dapat disimpulkan, bahwa
korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana yang ditujukan kepada
28
Lisa, Hukum Pidana , diakses dari http://makalah-hukumpidana.blogspot.com/2014/01/pelaku-tindak-pidana-dader.html pada tanggal 27 Maret 2015.
Pukul 22.12 WIB.
29
Jurnal Cendikia, Vol.1, No.2, Oktober 2012, hal.2-3
30
Bismar Nasution, Kegiatan Hukum Ekonomi, diakses dari
https://bismar.wordpress.com/page/2/ pada tanggal 18 April 2015 pukul 15.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
16
pengurus korporasi. Dengan pandangan tersebut juga dapat disimpulkan,
korporasi tidak dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana akan tetapi,
pengurus korporasi dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh sesuai dengan aturan dan
penulisan karya ilmiah, maka penulisan dibuat secara sistematika penulisan
hukum. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I :
Berisikan Pendahuluan yang menguraikan latar belakang judul
penulisan diangkat, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan,
keaslian
penulisan,
metode
penulisan,
tinjauan
kepustakaan, sistematika penulisan.
BAB II :
Bab ini membahas mengenai pengaturan penerapan diversi yang
meliputi
pembahasan
konsep
diversi
dan
keadilan
restoratif
(restorative justice), perbedaan konsep diversi dan restorative justice,
pembahasan diversi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 dan mekanisme pelaksanaan diversi menurut Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014.
BAB III : Bab ini membahas mengenai ketentuan Tindak Pidana yang dapat
dilakukan proses diversi, syarat-syarat pelaksanaan diversi, dan
membahas mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan diversi di
Pengadilan Negeri Medan, serta mempelajari hambatan-hambatan di
dalam penerapan diversi di Pengadilan Negeri Medan.
Universitas Sumatera Utara
17
BAB IV : Bab ini membahas mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk
menghadapi hambatan pelaksanaan diversi dengan cara melihat dari
segi substansi hukum, cultur, dan struktur aparat penegak hukum yang
ada.
BAB V :
Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab terdahulu serta berisi saran
terhadap penerapan diversi terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana.
Universitas Sumatera Utara