Aplikasi Bahan Organik dan Biochar untuk Meningkatkan C-Organik, P dan Zn Tersedia pada Tanah Sawah Berkadar P Tinggi

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Lingkungan Tanah Sawah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi
sawah, baik terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan
tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukanlah istilah taksonomi , tapi
merupakan istilah umum sama seperti tanah hutan, tanah perkebunan, tanah
pertanian dan sebagainya. Segala macam jenis sawah dapat disawahkan
asalkan cukup air tersedia. Kecuali itu padi sawah juga ditemukan pada
berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibandingkan jenis tanaman
lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat tanah sawah sangat beragam
sesuai dengan sifat tanah asalnya (Hardjowigeno, dkk., 2004).
Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian
disawahkan, atau dari tanah rawa- rawa yang dikeringkan dengan membuat
saluran drainase. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah
irigasi, sedangkan yang menerima langsung dari air hujan disebut dengan
sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut, terdapat sawah pasang surut,
sedangkan yang dikembangkan di rawa – rawa lebak disebut dengan sawah
lebak

(Simanungkalit, 2008).
Secara fisik, lahan sawah merupakan suatu ekosistem lahan yang


realtif stabil dan mempunyai keberlanjutan yang sangat tinggi (Kyuma,
2004). Hal ini dicirikan dengan penyediaan dan peredaran hara yang lebih
efisien, rendahnya perkolasi, erosi dan pencucian hara karena adanya
lapisan tapak bajak, terjadinya penambahan hara secara alami dari air
irigasi, dan lain – lain. Namun karena pengelolaannya yang kurang tepat dan

Universitas Sumatera Utara

7

over exploitation, lahan sawah sering mengalami penurunan kesuburan atau
produktivitas dan sering disebut dengan tanah sakit atau tanah lelah. Selain
itu lahan sawah juga mengalami degradasi akibat pencemaran, baik yang
disebabkan oleh limbah agrokimia, maupun industri dan domestik
(perubahan/perkotaan) (Setyorini, dkk., 2007).
Faktor penting dalam proses pembentukan profil tanah sawah
adalah genangan air di permukaan, dan penggenangan serta pengeringan
yang bergantian. Proses pembentukan tanah sawah meliputi berbagai proses
, yaitu (a) proses utama berupa pengaruh konsisi reduksi – oksidasi yang

bergantian, (b) penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel
tanah, dan (c) perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologi tanah , akibat
penggenangan pada tanah kering yang disawahkan , atau perbaikan drainase
pada tanah rawa yang disawahkan.
Akibat genangan tanah sawah terbagi atas dua lapisan. Lapisan
pertama terbentuk dari tanah lumpur setebal beberapa milimeter yang
berbatasan langsung dengan air yang menggenanginya disebut lapisan
oksidatif. Lapisan ini masih mengandung oksigen yang berasal dari udara
yang menembus lapisan air dan berasal dari asimilasi ganggang – ganggang
dalam air. Dalam lapisan oksidatif tersebut hidup jasad renik aerob. Selain
itu, terdapat pula hasil – hasil oksidasi seperti nitrat, sulfat, dan ferri.
Oksigen tidak dapat menembus lebih dalam lagi sehingga lapisan tanah
lumpur di bawah lapisan oksidatif ini miskin oksigen dan disebut lapisan
reduktif. Lapisan reduktif berwarna lebih kelam, yang terkait dengan warna
– warna hasil reduksi. Potensial oksidasi – reduksi (Eh) di lapisan ini rendah

Universitas Sumatera Utara

8


dan jasad renik yang mampu hidup adalah jasad renik yang bersifat anaerob
(Abdulrachman, dkk., 2009). Menurut Ponnamperuma (1985), besarnya
nilai Eh berpengaruh terhadap ketersediaan unsur – unsur hara, yang mana
Eh rendah meningkatkan ketersediaan P, K, Fe, Mn, dan Si tetapi
mengurangi ketersediaan S dan Zn. Penggenangan tanah juga meningkatkan
pH

(Setyorini, dkk., 2004).
Selain ketersediaan hara , produktivitas tanaman padi ditentunkan

kesuburan tanah, kondisi iklim (radiasi surya dan curah hujan), varietas
tanaman, serta pengendalian hama penyakit tanaman. Dalam kondisi
lingkungan biotik dan abiotik yang optimal, tanaman padi dapat tumbuh dan
berproduksi secara optimal sesuai dengan potensi hasil atau hasil maksimum
untuk varietas tertentu. Namun demikian kondisi ideal seperti ini tidak
mudah terpenuhi karena banyaknya faktor penghambat pertumbuhan
tanaman padi di sawah (Setyorini, dkk., 2004).
Unsur Seng (Zn) dalam Tanah
Seng merupakan unsur yang sedikit konsentrasinya dijumpai di
tanah.. Fungsi dari unsur seng (Zn) didalam tanah adalah untuk

pertumbuhan yang sehat bagi tanaman tingkat tinggi. Seng (Zn) dibutuhkan
dalam jumlah yang sedikit, namun jika jumlah ini tidak dipenuhi tanaman
akan mengalami stress karena mengalami disfungsi dari beberapa enzim dan
beberapa fungsi metabolik dimana unsur seng (Zn) berperan di dalamnya
(Alloway, 2008).
Seng (Zn) terdapat di dalam tanah dalam bentuk yang berbeda –
beda, yang dibedakan menurut kelarutannya dan ketersediaannya bagi

Universitas Sumatera Utara

9

tanaman. Seng (Zn) ditemukan di dalam tanah sebagai : (i) air yang terlarut
dan dapat dipertukarkan, (ii) terikat secara organik, (iii) berikatan dengan
besi (Fe) oksida amorf, (iv) berikatan dengan besi (Fe) oksida kristalin, (v)
berikatan dengan mangan (Mn), dan (vi) berikatan dengan karbonat dan
sulfida

(Mandal and Das, 2013).
Ketersediaan Zn turun dengan naiknya pH. Pengapuran yang


berlebihan sering menyebabkan keersediaan Zn menurun (Coetenie, et. al.,
1982 dalam Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Hal ini sejalan dengan Havlin
et.al. (2005) yang juga menyatakan ketersediaan dari seng (Zn) tergantung
oleh pH tanah, dimana kadar Zn2+ akan semakin menurun seiring dengan
meningkatnya pH. Pada pH tinggi, Zn berada pada bentuk tidak larut
(ZnFe2O4 dan ZnSiO4). Pada tanah – tanah yang pH nya >6,0 dapat
menyebabkan defisiensi Zn, terutama pada tanah – tanah berpasir. Tanah
yang mempunyai pH tinggi sering menunjukkan adanya gejala defisiensi
Zn, terutama pada tanah berkampur (Yoshida dan Tanaka, 1970).
Kahat seng (Zn) mungkin merupakan gangguan unsur mikro yang
paling meluas pada padi tropika. Di daerah persawahan, kekahatan seng
berkaitan

dengan

tanah

bergamping


dan

dipertegas

oleh

waktu

penggenangan yang lebih lama. Gejala kahat seng terlihat lebih jelas pada
tahap awal pertumbuhan, dan kadang – kadang pada tahap pertumbuhan
lebih lanjut tanaman benar – benar pulih kembali. Tanaka dan Yoshida
menganggap pengaruh ini disebabkan kadar bikarbonat yang tinggi selama
berada pada puncak reduksi tanah, yang mengakibatkan ketidaklaksakan
seng di dalam akar. Namun, tidak semua tanah bergamping kahat seng. Uji

Universitas Sumatera Utara

10

tanah sebagaimana lazimnya, berkaitan erat dengan kandungan seng dalam

tanaman dan tanggapan tanaman terhadap seng

(IRRI, 1972).

Kekahatan Zn umumnya terjadi pada tanah alkalis (pH tinggi) (Rosmarkam
dan Yuwono, 2002). Tingkat kritis yang diperoleh dengan metode Lindsay
adalah 1,5 ppm Zn di dalam tanah; ini dikaitkan dengan tingkat 14 ppm Zn
di dalam jaringan tanaman.
Rekomendasi pemupukan seng (Zn) adalah sebesar 5 – 10 kg/
hektar dalam bentuk ZnO, ZnCl, atau ZnSO4 untuk jangka waktu 5 tahun
pada tahan sawah intensifikasi (Doberman and Fairhurst , 2000). Total
jerapan seng (Zn) oleh tanaman padi sebesar 300 g/ 6 ton gabah + jerami.
Untuk mengurangi kadar kahat seng (Zn) pada tanah, bahan organik berupa
jerami supaya dikembalikan ke dalam tanah, karena 60% seng (Zn) terdapat
dalam jerami (Setyorini, dkk., 2007).
Bahan organik berperan penting dalam mengendalikan ketersediaan
unsur seng (Zn) di dalam tanah dan ketersediaannya agar dapat diserap oleh
tanaman. Ini disebabkan karena seng (Zn) membuat ikatan kompleks dengan
bahan organik tanah. Fraksi asam humik dan asam fulvik dalam bahan
organik secara nyata dapat menyerap unsur seng (Zn) (Mandal and Das,

2013).
Unsur Fosfor (P) dalam Tanah
Fosfor dalam tanah merupakan unsur yang tidak mobil, sebagian
besar terikat oleh partikel tanah, sebagian sebagai P – Organik dan hanya
sedikit dalam bentuk tersedia bagi tanaman. Pada tanah sawah ketersediaan
P meningkat setelah penggenangan. Hal ini terjadi disebabkan karena

Universitas Sumatera Utara

11

penggenangan membantu terjadinya proses reduksi feri fosfat menjadi fero
fosfat, hidrolisis alumunium fosfat, peningkatan kelarutan kalsium fosfat,
dan netralnya reaksi tanah (Abdurrachman, dkk., 2009).
Serapan P oleh akar tanaman hanya dapat berlangsung melalui
mekanisme intersepsi akar dan difusi dalam jarak pendek sehingga efisiensi
pupuk P biasanya sangat rendah, yaitu hanya berkisar 15% - 20%. Dari
sejumlah P yang tidak diserap tanaman hanya sebagian kecil yang hilang
tercuci bersama dengan air perkolasi, sebagian besar berubah menjadi P
nonmobil yang tidak tersedia bagi tanaman dan terfiksasi sebagai ikatan Al

atau Fe – Fosfat pada tanah masam atau Ca – Fosfat pada tanah alkalis
(Adianingsih, 2004).
Fenomena menunjukkan bahwa pemberian pupuk fosfat secara
terus menerus menyebabkan penimbunan P, sehingga menurunkan respon
tanaman terhadap pemupukan fosfat. Penimbunan P selain mengurangi
efisiensi P juga dapat mempengaruhi ketersediaan hara lain bagi tanaman,
diantaranya adalah Fe dan Mn. Oleh karena itu pemberian P hendaknya
didasarkan pada status P untuk tanah bersangkutan (Makarim, dkk., 1993).
Dalam tanaman, P merupakan unsur penting penyusun adenosin
tripHospate (ATP) yang secara langsung berperan langsung dalam proses
penyimpanan dan transfer energi yang terkait dalam proses metabolisme
tanaman (Dobermann dan Fairhust, 2000). Hara P sangat diperlukan
tanaman padi terutama pada saat awal pertumbuhan. Pada fase pertumbuhan
tanaman tersebut, P berfungsi untuk memicu pembentukan akar dan

Universitas Sumatera Utara

12

penambahan jumlah anakan. Disamping itu P juga berfungsi mempercepat

pembungaan dan pemasakan gabah (Abdurrachman, dkk., 2009).
Defisiensi P ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan vegetatif
tanaman. Daun terlihat menyempit, kecil , sangat kakudan berwarna hijau
gelap. Batang kurus dan sering timbul warna keunguan, sehingga tanaman
menjadi kerdil. Dobermann dan Fairhust (2000) menyatakan bahwa
defisiensi P dapat meningkatkan presentase gabah hampa, menurunkan
bobot dan kualitas gabah, menghambat pemasakan, bahkan pada keadaan
defisiensi P yang parah, tanaman padi tidak akan berbunga sama sekali.
Kekurangan hara P juga menurunkan respon tanaman terhadap pemupukan
N. Adiningsih (2004) juga menyatakan bahwa defisiensi P seringkali
berasosiasi dengan kadar Fe yang meracun dan kekurangan Zn, terutama
pada tanah ber pH tanah rendah

(Abdurrachman, dkk., 2009).

C-Organik Tanah
Kandungan bahan organik tanah (C-Organik ) merupakan salah
satu indikator kesuburan tanah. Tanah yang mengalami kemerosotan
kandungan C-organik menandakan tanah tersebut mengalami penurunan
kesuburan tanah atau degradasi kesuburan. Tanah miskin bahan organik dan

didominasi mineral liat 1 : 1, mempunyai KTK yang rendah, sehingga
efisiensi pemupukan akan berkurang karena sebagian besar hara mudah
hilang dari perakaran tanaman

(Setyorini, dkk., 2007).

Akibat pengelolaan hara yang kurang bijaksana serta pengangkutan
jerami sisa panen keluar lahan, sebagian besar lahan sawah terindikasi
berkadar bahan organik rendah (C-organik < 2%). Hasil kajian yang

Universitas Sumatera Utara

13

dilakukan oleh Kasno,dkk.(2003), menunjukkan bahwa dari 1.577 contoh
tanah sawah di Sumatera Barat dan Selatan, Kalimantan Selatan mencapai
angka di atas 2 %, karena tergolong tanah gambut. Sedangkan tanah sawah
di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lombok rata – rata berkadar C-organik
dibawah 2%.
Terdapat korelasi positif antara kadar bahan organik dan
produktivitas tanaman padi sawah, dimana makin rendah kadar bahan
organik makin rendah produktivitas lahan. Menurunya kadar C-Organik
tanah disebabkan oleh : 1) di daerah tropis tingkat pelapukan bahan organik
sangat intensif akibat curah hujan dan suhu tinggi, 2) pengelolaan lahan
kurang tepat, 3) intensitas tanam yang tinggi serta 4) penggunaan jerami ke
luar sawah untuk penggunaan industri

(Setyorini, dkk., 2004).

Lahan sawah di Indonesia mempunyai kadar C-Organik yang
relatif rendah. Dari 1.548 contoh tanah lahan sawah, 17% berkadar COrganik 40.
Tingginya kadar C dalam pukan sapi dapat menghambat penggunaan
langsung ke lahan pertanian karena akan menekan pertumbuhan tanaman
utama. Penekanan pertumbuhan terjadi karena mikroba dekomposer akan
menggunakan N yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik
tersebut

sehingga

tanaman

utama

akan

kekurangan

N.

Untuk

memaksimalkan penggunaan pukan sapi, harus dilakukan pengomposan
agan menjadi kompos pukan sapi dengan rasio C/N dibawah 20. Jika telah
dikomposkan maka kandungan hara pukan sapi adalah sebagai berikut : N
2%, P2O5 1,5 %, K2O 2,2 %, Ca 2,9%, Mg 0,7%, bahan organik 69,9 %, dan
kadar air 7,9% (Hartatik dan Widowati, 2007).

Universitas Sumatera Utara