Pemanfaatan Eceng Gondok di Samosir (Studi Tentang Ekonomi Kreatif Masyarakat Desa Huta Namora)

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1

Latar Belakang Masalah
Dalam penelitian ini mengkaji mengenai pemanfaatan eceng gondok sebagai

produk kerajinan dan ekonomi kreatif masyarakat Desa Huta Namora, Kabupaten
Samosir. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan modal
kreativitas yang dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono1 “ekonomi gelombang ke-4 adalah gelombang
ekonomi dengan orientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan
lingkungan”. Masyarakat Indonesia mulai menyadari bahwa saat ini mereka tidak
bisa hanya mengandalkan bidang industri sebagai sumber ekonomi di negaranya
tetapi mereka harus lebih mengandalkan Sumber Daya Manusia yang kreatif karena
kreativitas manusia itu berasal dari daya pikirnya yang menjadi modal dasar untuk
menciptakan inovasi dalam menghadapi daya saing atau kompetisi pasar yang
semakin besar.
Indonesia merupakan provinsi yang memiliki daerah perairan yang luas.
Selama 106 tahun berada di bumi Indonesia, eceng gondok telah menyebar ke seluruh

perairan yang ada dan memenuhi setiap jengkalnya baik waduk, rawa, danau maupun
sungai. Tanaman ini sudah menyebar ke seluruh perairan di Jawa, Kalimantan,
1

http://www.presidenby.info/index.php/fokus/2007/07/11/2009.html (diakses pada tanggal 1 Maret
2016 pukul 13.00 WIB).

1
Universitas Sumatera Utara

Sumatera. Di Samosir khususnya salah satu kabupaten di Sumatera Utara, yang
terkenal dengan Danau Toba namun sangat disayangkan Danau Toba banyak
ditumbuhi tanaman eceng gondok, yang dianggap mengganggu keindahan dan
merusak lingkungan.
Eceng gondok2 termasuk dalam famili Pontederiaceae. Tanaman ini memiliki
bunga yang indah berwarna ungu muda. Daunnya berbentuk bulat telur dan berwarna
hijau segar mengkilat bila diterpa sinar matahari. Daun-daun tersebut ditopang oleh
tangkai berbentuk silinder memanjang yang kadang-kadang sampai mencapai 1 meter
dengan diameter 1-2 cm. Tangkai daunnya berisi serat yang kuat dan lemas serta
mengandung banyak air.

Eceng gondok diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 1894. Penanaman
eceng gondok yang berasal dari negara Brazil saat itu bertujuan untuk melengkapi
dan memperindah suasana kebun raya Bogor, karena eceng gondok yang hidup
terapung di permukaan air itu memiliki bunga ungu yang cukup indah. Apabila
pertumbuhannya terkendali, eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai makanan
ternak, membantu menetralkan air yang tercemar, dan sebagai pelindung ikan.
Eceng gondok di Danau Toba berkembang secara liar dan menjadi gulma
(tanaman pengganggu). Tanaman air yang pertumbuhannya sangat cepat ini
mengganggu ekosistem dalam air. Tumbuhan gulma ini hidup terapung pada air

2

Eceng gondok (Euchornia Crassipes) termasuk dalam kelompok gulma perairan yang memiliki
kecepatan berkembang biak yang tinggi dan memenuhi perairan Indonesia hingga menyebar ke Danau
Toba, Samosir.

2
Universitas Sumatera Utara

Danau Toba yang dalam dan mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada air

yang dangkal. Eceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara
vegetatif maupun generatif. Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba melaporkan bahwa satu batang eceng
gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1
tahun mampu menutupi area seluas 7 m2. Heyne menyatakan bahwa dalam waktu 6
bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 ha dapat mencapai bobot basah
sebesar 125 ton. Di kawasan perairan danau, eceng gondok tumbuh pada bibir-bibir
pantai sampai sejauh 5-20 m (dalam Gunawan Pasaribu dan Sahwalita 2006).
Salah satu upaya yang cukup prospektif untuk menanggulangi eceng gondok
yang ada di Danau Toba, adalah dengan memanfaatkan tanaman eceng gondok
sebagai bahan baku kerajinan. Meskipun usaha ini belum dapat dikatakan berhasil
sepenuhnya, tetapi dengan adanya usaha pengendalian tersebut memberi peluang
usaha baru bagi masyarakat. Pengolahan eceng gondok di Desa Huta Namora ini,
memberi beberapa keuntungan baik dilihat dari segi ekonomi dan lingkungan.
Pertama, dilihat dari segi ekonomi yaitu memanfaatkan dan memodifikasi eceng
gondok untuk menambah penghasilan masyarakat pengrajin. Kedua, dari segi
lingkungan berguna untuk mengurangi jumlah eceng gondok di Danau Toba, guna
menunjang aktivitas masyarakat dan mendukung pelestarian Danau Toba.
Masyarakat memanfaatkan tangkai daun eceng gondok sebagai bahan baku
untuk kerajinan anyaman seperti tas baik ransel maupun sandang, sandal,topi dan

lain-lain. Kerajinan eceng gondok ini merupakan kegiatan kreatif yang berkaitan
3
Universitas Sumatera Utara

dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat atau dihasilkan oleh tenaga
pengrajin mulai dari desain awal sampai proses penyelesaian produknya. Eceng
gondok dimanfaatkan untuk mencapai keuntungan serta kelanjutan usahanya. Eceng
gondok diolah semenarik mungkin, dilakukan dengan cara menciptakan kerajinan
tangan berbahan baku eceng gondok untuk dipasarkan, dikembangkan, dikemas
dengan tampilan menarik dan lebih komersial agar menarik minat konsumen.
Kegiatan mengolah eceng gondok ini dilakukan oleh tangan-tangan terampil.
Tumbuhan penggangu ini menjadi barang-barang kerajinan dengan nilai jual tinggi.
Muncul watak wirausaha yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan
inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Masyarakat Samosir menambahkan guna
atau manfaat terhadap eceng gondok dengan pengetahuan dan keterampilan. Para
pengrajin mengembangkan ide dan meramu sumber daya yang tersedia. Pengetahuan
sendiri salah satu unsur kebudayaan universal yang merupakan wujud ideal dari
kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam
kepala dengan perkataan lain, dalam alam pikiran masyarakat berupa ide-ide,
gagasan, nilai-nilai yang diinterpretasikan ke dalam kegiatan masyarakat termasuk

kegiatan mengolah eceng gondok.
Prakarya sederhana eceng gondok ini sangat banyak memberi manfaat bagi
masyarakat Samosir. Seperti contoh yang sudah penulis lihat, bahwa setiap hari
Kamis seluruh guru dan murid yang ada di sekolah Samosir menggunakan tas eceng
gondok, hal ini merupakan peraturan dari Dinas Pendidikan Samosir dan menjadi
ikon kerajinan lokal hasil ide kreatif masyarakat Samosir. Berdasarkan latar belakang
4
Universitas Sumatera Utara

yang telah diuraikan dengan melihat bagaimana masyarakat Samosir mengolah eceng
gondok, mengemas eceng gondok menjadi barang yang bersifat profan atau komersial
menjadi tolak ukur dan ketertarikan penulis untuk menelitinya. Penulis mencoba
untuk menjelaskannya melalui penelitian ini.
1.2

Tinjauan Pustaka
Pendapat McClelland dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (2003), yang

mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam suatu masyarakat terkait dengan
adanya tipe-tipe kepribadian kreatif yang dominan dalam masyarakat. Istilah

Ekonomi Kreatif sendiri pertama kalinya dikembangkan oleh Jhon Howkins penulis
buku Creative Economy, “Make Money From Ideas”, menurutnya ekonomi kreatif
disebut ketika input dan output adalah gagasan. Menurut Robert Lukas seorang
pemenang Nobel di bidang ekonomi, dia menyatakan saat ini ekonomi kreatif muncul
sebagai fenomena ekonomi dunia masa depan (dalam Jurnal-Jurnal Ilmu Sosial
2009).
Oleh karena itu, ekonomi kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi yang
lebih mengutamakan informasi dan kreativitas, dengan mengandalkan ide-ide dan
pengetahuan dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam
kegiatan ekonominya. Ekonomi kreatif lebih berfokus pada penciptaan barang dan
jasa yang mengandalkan keahlian, bakat, dan kreativitas sebagai kekayaan intelektual
yang dimiliki oleh seseorang.

5
Universitas Sumatera Utara

Koentjaraningrat (2005:72) mendefenisikan kebudayaan sebagai keseluruhan
gagasan, pengetahuan, pikiran, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat. Dijadikan milik diri manusia yang diperoleh melalui proses
belajar dan pengalaman manusia. Sehingga apa yang didapat oleh manusia itu adalah

melalui tahapan dari belajar dan tersusun sedemikian rupa dalam mind manusia itu
sendiri.
Dalam konsep ini, segala aktivitas manusia yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari merupakan bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, usaha ekonomi
kreatif kerajinan eceng gondok ini merupakan kreativitas dari karya manusia berupa
benda-benda kerajinan yang merupakan salah satu bagian dari hasil kebudayaan.
Ekonomi kreatif juga tidak terlepas dari pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat.
Pengetahuan sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan bentuk primer dari
modal ekonomi kreatif. Pengetahuan dapat memberikan kehidupan dan berguna bagi
para pengrajin.
Kerajinan tangan (handy craft) adalah “a work produced by hand labor, a
trade requiring skill of hands”3. Hal ini mengandung pengertian tentang suatu karya
yang dibuat oleh seseorang berdasarkan ide-ide yang dimilikinya dengan
menggunakan tangan mereka sendiri, dan memerlukan keterampilan untuk
mengkreasikan kerajinan tersebut sehingga mempunyai suatu nilai. Kerajinan itu
sendiri merupakan bagian dari ekonomi kreatif.

“Handy Craft”, http:/arti kata.com/arti-85438-handicraft.html (Diakses pada tanggal 29 Juni 2016,
pukul 11.00 WIB).
3


6
Universitas Sumatera Utara

Kementrian perdagangan Republik Indonesia Tahun 2007 dalam buku
Rachma Fitriati tentang Ekonomi Kreatif (2012:5) membagi klasifikasi atas 14
subsektor industri kreatif yang berbasis kreativitas, yaitu periklanan, arsitektur, pasar
barang seni, kerajinan, desain, fashion, video, film dan fotografi, permainan
interaktif, musik, seni pertunjukan, penertiban dan percetakan, layanan computer dan
piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan. Berdasarkan keempat
belas (14) subsektor industri kreatif di atas, produk eceng gondok termasuk ke dalam
bagian kerajinan, yang dimaknai sebagai kegiatan kreatif yang berkaitan dengan
kreasi, produksi dan distribusi yang dibuat atau dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang
berawal dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya. Barang
kerajinan ini terbuat dari sumber daya alam yang tersedia, seperti tumbuhan eceng
gondok.
Manusia dengan pengetahuannya mengolah sumber daya alam yang ada,
seperti yang dikatakan oleh Marx (dalam Anthony Giddens, terj Soeheba
Kramadibrata 1986), bahwa manusia hidup dalam suatu pola hubungan yang aktif
dengan alam. Perkembangan masyarakat adalah hasil interaksi yang produktif dan

berungkali antara alam dan manusia. Manusia mulai membedakan dirinya dari
binatang, segera setelah ia mulai memproduksi peralatan kehidupannya. Manusia
sebagai mahluk berbudaya, memerlukan kebutuhan yang bersifat hayati dan
manusiawi. Menurut Malinowski kebutuhan hidup manusia dapat dibagi 3 kategori
yaitu kebutuhan alamiah, kebutuhan kejiwaan, dan kebutuhan sosial.

7
Universitas Sumatera Utara

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia bekerja dengan melakukan
suatu kegiatan. Kegiatan tersebut disebut juga sebagai kegiatan ekonomi sebagaimana
didefenisikan oleh ahli antropologi ekonomi oleh Karl Polanyi dalam Sairin
(2002:16) bahwa kegiatan ekonomi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup ditengah lingkungan alam dan lingkungan sosial. Dalam
konteks jenis kegiatan ekonomi masyarakat, kegiatan ekonomi para pengrajin eceng
gondok di Desa Huta Namora dikatakan sebagai kegiatan industri. Kegiatan industri
itu sendiri diartikan sebagai aktivitas manusia dibidang ekonomi produktif untuk
mengolah bahan mentah menjadi barang yang lebih bernilai untuk dijual.
Hadirnya usaha ekonomi kreatif tidak terlepas dari adanya kewirausahaan.
Kewirausahaan merupakan padanan kata dari entrepreneurship dalam bahasa Inggris.

Kata entrepreneurship berawal dari bahasa Prancis yaitu „entreprende‟ yang berarti
petualang, pencipta, dan pengelola usaha. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh
Rihard Cantillon dan istilah ini semakin popular setelah digunakan oleh pakar
ekonomi J.B Say untuk menggambarkan pengusaha yang mampu memindahkan
sumber daya ekonomi dari tingkat produktivitas rendah ke tingkat yang lebih tinggi
serta menghasilkan lebih banyak lagi (dalam Yuyus Suryana dan Kartib Bayu, 2010).
McClelland dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (2003) mengatakan mereka yang
wirausaha ternyata memiliki “virus” positif yang disebutnya virus “n-Ach” atau need
for Achievement, yakni nafsu untuk bekerja secara baik, bekerja tidak demi
pengakuan sosial atau gengsi, tetapi dorongan kerja demi memuaskan batin dari
dalam atau kebutuhan untuk berprestasi. Para wirausahawan memiliki dorongan yang
8
Universitas Sumatera Utara

lebih besar, yang menjadi semacam kebutuhan pribadi, untuk mencapai prestasi
tertentu. Virus n-Ach4 diperoleh dari pengalaman hidup individu-individu atau proses
sosialisasi yang dia alami, yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lain.
Ini berarti bahwa virus tersebut dapat ditanamkan pada diri seseorang, maka virus ini
tentunya berada pada tingkat pengetahuan. Maka penanamannya pada diri seseorang
dapat dilakukan melalui pendidikan atau berbagai pelatihan.

Selain adanya virus n-Ach dalam diri seorang wirausaha, hal lain yang
mendukung seseorang menjadi wirausaha adalah organisasi sosial. Organisasi sosial
akan berarti banyak bagi pengembangan usaha kewirausahaan apabila lingkungan
sosial budaya dan kebijakan pemerintah mendukung untuk tumbuhnya usaha-usaha
yang baru. Keberhasilan suatu kegiatan wirausaha dengan organisasi sosial mencoba
menampilkan unsur-unsur budaya yang dianggap memberikan sumbangan penting
pada munculnya kegiatan wirausaha di kalangan etnik tertentu dan tidak lupa untuk
memperhatikan organisasi sosial yang ada di kalangan mereka.
Keberhasilan suatu aktivitas yang dilakukan manusia juga tidak terlepas dari
adanya kerja sama dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Gender
adalah pembedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh sebuah
masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Gender berbeda dengan jenis kelamin (sex),
gender adalah bentukan manusia bukan kodrat, yang artinya dapat berubah setiap
saat. Laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina adalah kodrat,

4

Virus n-Ach merupakan virus positif yang dimiliki wirausaha yaitu adanya nafsu untuk bekerja.
Virus ini diperoleh dari pengalaman hidup yang membentuk sikap dan perilaku individu.

9
Universitas Sumatera Utara

perempuan haid dan melahirkan adalah kodrat yang tidak dapat dirubah oleh
manusia. Tetapi masak, berburu, mencuci, membersihkan rumah, kerja kebun,
mengambil kayu, ikut dalam pertemuan bukanlah kodrat. Pada pekerjaan atau peran
ini, baik laki-laki maupun perempuan dapat melakukannya. Untuk peran-peran yang
diciptakan manusia, tidak ada batasan kodrati.
Gender erat hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam, karena di
dalamnya terkait persoalan hubungan kuasa dan peran laki-laki dan perempuan dalam
menjadikan alam sebagai sumber kehidupan. Sumber daya alam adalah sumber
kehidupan, tanpa itu manusia tidak dapat hidup. Sumber daya alam sangat penting
dalam kehidupan manusia, tergantung cara manusia mengelola SDA. Suatu budaya
mempengaruhi cara manusia mengelola SDA. Ada yang menganggap bahwa alam
harus ditaklukkan dan dikuasai untuk kepentingan manusia, tetapi ada juga
masyarakat

yang

memandang

alam

adalah

mitra

untuk

mempertahankan

kelangsungan hidup.
Karena cara mengelola dan perubahan-perubahan alam, manusia mencari akal
untuk menyesuaikan diri dan menciptakan budaya baru dalam berhubungan terus
dengan alam. Budaya berkembang, artinya pengetahuan juga berkembang, hubunganhubungan antar manusia juga berkembang, tidak ada yang tetap karena waktu tidak
pernah berhenti. Manusia melakukan hubungan dengan sumber daya alam untuk
memenuhi kebutuhan hidup seperti mengolah eceng gondok, bertani, beternak,
mengambil hasil hutan. Setiap usaha pengelolaan sumber daya alam berawal dari

10
Universitas Sumatera Utara

proses bekerja menghasilkan suatu produk dan kemudian untuk dikonsumsi sendiri
atau diperdagangkan untuk menghasilkan uang.
Relasi antara laki-laki dan perempuan dibagi-bagi, ada pekerjaan laki-laki dan
ada pekerjaan perempuan. Pembedaan peran, kegiatan, kerja biasanya berdasarkan
kegiatan yang menghasilkan uang, memelihara dan merawat keluarga, pergaulan
masyarakat, keagamaan, ritual, pesta, maupun kegiatan politik yang berhubungan
dengan pengambilan keputusan. Antara laki-laki dan perempuan umunya pembedaan
peran dibagi sebagai:


Produktif

:

adalah

kegiatan

yang

menghasilkan

uang

atau

menghasilkan barang-barang yang tidak dikonsumsi (digunakan)
sendiri. Misalnya bertani, beternak, berburu, menjadi buruh,
berdagang.


Reproduktif : adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya merawat
keluarga, memperbaiki perkakas dan rumah, mengambil air, mencari
obat-obatan alam.

Begitu juga masyarakat di Desa Huta Namora dalam mengolah eceng gondok
ini, mereka memiliki peran pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Namun
pembagian peran kerja produktif dan reproduktif tidak begitu mencolok. Pekerjaan
menganyam eceng gondok ini dilakukan sama-sama, antara laki-laki dan perempuan
memiliki hubungan kerja sama. Kegiatan produktif dilakukan oleh laki-laki seperti
mengambil eceng gondok dari Danau toba, namun pekerjaan ini juga dapat dilakukan

11
Universitas Sumatera Utara

oleh perempuan. Begitu juga dengan kegiatan reproduktif yang dilakukan oleh
perempuan yaitu menganyam eceng gondok, namun kegiatan ini juga dikerjakan oleh
laki-laki.
1.3

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang

akan menjadi fokus penelitian adalah:
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Desa Huta Namora
mengolah eceng gondok?
2. Bagaimana sistem produksi eceng gondok menjadi barang bernilai ekonomi
di Desa Huta Namora?
1.4

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian pada skripsi komodifikasi

eceng gondok di Samosir ini adalah:
1. Mendeskripsikan mengenai usaha kerajinan eceng gondok pada masyarakat
Desa Huta Namora serta faktor-faktor kemunculan usaha ekonomi kreatif ini.
2. Mendeskripsikan bagaimana sistem produksi kerajinan eceng gondok. Melalui
penelitian ini penulis melihat bagaimana tahap-tahap produksi eceng gondok,
bentuk-bentuk produk kerajinan eceng gondok, harga dan pemasaran produk.

12
Universitas Sumatera Utara

Selain itu manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan referensi bagi masyarakat di kalangan akademisi, mahasiswa,
aktivis dan lain sebagainya tentang pemahaman kegiatan produksi eceng
gondok.
2. Menambah

kepustakaan

Departemen

Antropologi

FISIP

USU

dan

memperluas kajian mengenai proses produksi kerajinan eceng gondok dengan
menggunakan metode etnografi dan pendekatan antropologi.
1.5

Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif berupa metode etnografi. Dimana penulis melakukan wawancara
langsung dengan pengrajin eceng gondok di Desa Huta Namora dan berdasarkan pada
kenyataan di lapangan. Untuk mendeskripsikan secara rinci maka penulis melakukan
penelitian lapangan (field research) selama dua bulan. Selama dua bulan tersebut
penulis mencoba memahami suatu pandangan hidup secara rinci, dibentuk dengan
kata-kata dan gambaran holistik.
Seperti dikatakan oleh Spradley (2006:108) Etnografer harus memberi
perhatian khusus pada hubungan persahabatan dimasing-masing suasana budaya
untuk mempelajari berbagai segi yang bersifat lokal, segi-segi yang terikat pada
budaya yang membangun hubungan. Membangun rapport5 yang baik terhadap
informan bertujuan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian,

5

Rapport adalah keterampilan dalam membina hubungan baik antara peneliti dengan informan.

13
Universitas Sumatera Utara

serta membuat informan menjadi lebih nyaman, tidak sungkan dan merasa curiga
kepada peneliti. Peneliti memposisikan diri sebagai orang yang sedang belajar, dan
tidak mengetahui mengenai perihal usaha pemanfaatan eceng gondok sebagai produk
kerajinan pada masyarakat Desa Huta Namora dan menempatkan informan sebagai
guru yang menjadi tempat bertanya. Peneliti juga menunjukkan rasa ketertarikan akan
hal tersebut, sehingga mereka menjadi bersemangat untuk menceritakan apa saja
pengetahuan yang dimiliki tanpa adanya rasa takut pendapat tersebut benar atau
salah.
Untuk menjalin rapport ini merupakan suatu keterampilan yang perlu dilatih.
Cara-cara yang saya lakukan dalam menjalin hubungan baik dengan informan yaitu
dengan terlebih dahulu memperkenalkan diri dan sering-sering berkunjung ke rumah
pengrajin. Setelah saya merasa pengrajin sudah nyaman dengan kehadiran peneliti,
maka dilakukanlah tahap pendekatan dengan bertanya tentang pertanyaan yang
ringan.
1.5.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data primer
yakni observasi partisipasi, wawancara, dan pengembangan rapport terhadap
informan. Namun di samping itu juga sebelum melakukan penelitian lapangan,
penulis melakukan pengumpulan data sekunder yakni pengumpulan data dari
beberapa buku, jurnal, majalah, koran dan hasil penelitian para ahli lain yang
berhubungan dengan pemanfaatan eceng gondok sebagai produk kerajinan guna
menambah pengertian dan wawasan penulis demi kesempurnaan akhir penelitian ini.
14
Universitas Sumatera Utara

Maka dengan demikian penulis melakukan 2 teknik pengumpulan data: primer dan
sekunder. Adapun data primer yang peneliti lakukan sebagai berikut:
1.5.1.1 Observasi Partisipasi
Dalam metode observasi atau pengamatan, penulis berada di tengah-tengah
masyarakat pengrajin eceng gondok, melihat dan mengamati serta menuliskan hasil
pengamatan yang diperoleh dari lapangan dalam sebuah catatan lapangan (fieldnote).
Hasil dari observasi ini peneliti memperoleh gambaran penuh mengenai aktivitas,
tindakan, tingkah laku dan semua hal yang dapat ditangkap panca indra.
Observasi partisipasi dilakukan di Desa Huta Namora, peneliti melakukan
pengamatan dan pencatatan apapun yang terjadi selama proses pengambilan data.
Peneliti terjun langsung ke rumah pengrajin eceng gondok dan ikut dalam proses
menganyam eceng gondok. Lama observasi dan pengambilan data penelitian,
dilakukan kurang lebih selama dua bulan. Peneliti juga menghadiri rapat kampung
literasi dan ikut serta memberi pendapat pada saat rapat berlangsung.
Peneliti juga berusaha sedekat mungkin membangun rapport dengan informan
dengan menggunakan sudut pandang informan yang diteliti atau emic view. Peneliti
mencatat apa saja yang ditangkap dan disaksikan. Catatan-catatan lapangan ini
berfungsi sebagai alat bantu dalam pengolahan data dan membantu untuk
memperjelas data-data yang didapatkan melalui wawancara, serta sebagai bukti
otentik keberadaan penulis di lapangan. Penggunaan alat-alat tersebut terlebih dahulu
telah mendapat persetujuan dari informan.

15
Universitas Sumatera Utara

Selain itu penulis juga mengumpulkan data sekunder seperti pengumpulan
data dari sumber pustaka atau literatur yang berkenaan dengan skripsi yang ditulis.
Dan beberapa sumber lain seperti jurnal-jurnal, artikel, blog dan sumber internet
lainnya untuk menambah informasi yang diperlukan.
1.5.1.2 Wawancara
Wawancara adalah peristiwa percakapan (speech event) yang khusus dengan
maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang
mengajukan pertanyaan dan informan yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut. Wawancara yang dilakukan peneliti adalah secara langsung dan terbuka
dengan pengrajin eceng gondok agar mereka dapat menjawab pertanyaan dan
bercerita panjang lebar tentang apa yang dialami, dihadapi dan dirasakannya.
Wawancara ini dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview)
dan dengan cara yang santai seperti berbicara dengan sahabat kita, agar proses
wawancara berjalan lancar dan tidak kaku.
Wawancara mendalam (indepth interview) merupakan wawancara yang
terstruktur dan mendalam. Wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti dengan
menggali informasi secara mendalam, terbuka, tegas dan bebas tetapi dengan tetap
memperhatikan fokus dalam penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dengan
bantuan pedoman wawancara (interview guide) yaitu berupa daftar pertanyaan yang
disusun peneliti sebelum melakukan wawancara di lapangan. Interview guide ini
bersifat terbuka, selama wawancara peneliti mengembangkan pertanyaan di dalam
interview guide guna mempertajam data yang dicari.
16
Universitas Sumatera Utara

Dalam proses wawancara saya menggunakan tape recorder, untuk membantu
merekam dan mencatat hasil wawancara yang berlangsung, sebagai bentuk kehatihatian saya akan terbatasnya daya ingat. Peneliti juga menggunakan alat lain seperti
kamera foto, buku tulis, pulpen dan alat tulis lainnya. Alat-alat perekam selama di
lapangan sangat membantu peneliti ketika melakukan wawancara sehingga data yang
diperoleh ketika melakukan wawancara tersimpan dengan baik. Dimana informasiinformasi tidak akan hilang, bermanfaat untuk mengabadikan peristiwa di lapangan
guna mendukung data dan bukti lapangan dan dapat juga memberikan gambaran
penelitian secara visual.
Wawancara dengan para pengrajin dilakukan sambil kegiatan menganyam
berlangsung. Namun ada juga pengrajin yang harus terlebih dahulu buat janji untuk
kita wawancarai, seperti Pak Janter karena bertepatan saat itu ada juga mahasiswa
Belanda datang untuk belajar menganyam ke rumah beliau. Peneliti datang ke lokasi
penelitian pada pukul 08.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB setiap hari selama
penelitian berlangsung. Terkadang peneliti harus menunggu pengrajin pulang dari
ladangnya, mengingat bertani adalah pekerjaan utama para pengrajin. Peneliti harus
sabar menunggu untuk 2-4 jam. Wawancara dilakukan kepada semua informan
penelitian yang berjumlah empat orang dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Proses wawancara tidak cukup sulit dilakukan, karena sifat informan yang
tidak tertutup dan senang bercerita dengan peneliti. Walaupun peneliti terkadang
harus berulang-ulang memperjelas maksud dari pertanyaan tersebut dan peneliti

17
Universitas Sumatera Utara

menggunakan bahasa sehari-hari mereka yaitu bahasa Batak Toba agar lebih mudah
melakukan komunikasi dengan para pengrajin.
Informan peneliti adalah orang-orang yang dipilih oleh peneliti dan
melakukan kegiatan menganyam eceng gondok. Dalam penelitian ini penulis
memiliki informan sebanyak empat orang. Masing-masing infoman berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda. Adapun informan pada penelitian ini adalah Janter
Gurning (46 tahun) yang berprofesi sebagai pengrajin eceng gondok, menganyam
eceng gondok merupakan pekerjaan utama beliau.
Informan berikutnya yaitu Heddy Simbolon (54 tahun) seorang ibu rumah
tangga sekaligus kepala keluarga karena suami beliau sudah lama meninggal,
memiliki 4 orang anak, memiliki latar belakang pendidikan SMP dan dan pekerjaan
utamanya adalah bertani. Informan lainnya adalah Merli Sinurat (56 tahun) seorang
ibu rumah tangga dan menganyam eceng gondok adalah pekerjaan sampingan beliau.
Wanjen Simbolon (32 tahun) yang berprofesi sebagai Satpol PP di kantor Bupati
Samosir.
1.5.1.3 Analisis Data
Setelah melakukan semua teknik penelitian dan menemukan data maka
penulis akan melakukan analisis data. Data yang telah ditemukan dari lapangan akan
dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yakni pengetahuan menganyam eceng
gondok oleh pengrajin, proses menganyam yang juga memiliki keterkaitan dengan
motif sosial antar para pengrajin, cara atau proses mereka mengolah eceng gondok,
faktor yang melatarbelakangi pemanfaatan eceng gondok di Desa Huta Namora.
18
Universitas Sumatera Utara

Analisis data dilakukan untuk mengetahui makna yang ada dibalik data
informasi yang telah diperoleh dari informan. Data diperoleh dari naskah wawancara,
catatan lapangan, foto, video, dan hasil pemberitaan yang berasal dari media massa,
buku-buku yang berkaitan dengan pengelolahan eceng gondok. Dari semua data yang
telah dikumpulkan, peneliti harus memilah dan memeriksa kembali kelengkapan data
lapangan dan hasil wawancara.
1.6

Pengalaman Peneliti
Pengalaman berkesan adalah para pengrajin yang ramah dan welcome

terhadap saya. Kebetulan saya juga adalah orang Samosir sehingga mudah untuk
berkomunikasi dengan para pengrajin yang mayoritas menggunakan Bahasa Batak
Toba. Hari pertama ke lapangan saya datang menjumpai kepala desa Huta Namora
dan meminta data kependudukan. Saya disambut baik oleh Bapak Kepala Desa,
beliau mengajak saya masuk ke dalam ruangannya. Kemudian saya menjelaskan
tujuan saya datang ke Desa Huta Namora adalah untuk melakukan penelitian tentang
usaha mengolah eceng gondok di Desa Huta Namora, beliaupun merespon dengan
baik.
Sambutan yang ramah membuat saya merasa nyaman datang, beliau mengajak
saya masuk ke ruang Sekretaris Desa dan membantu saya untuk menjelaskan tujuan
saya datang. Kemudian Sekdes memberikan keseluruhan data penduduk tahun
2015/2016 dalam bentuk softcopy. Setelah itu saya diajak mengobrol lagi dengan
Bapak Kepala Desa, beliau memberi tahu siapa-siapa saja di Desa Huta Namora yang
mengolah eceng gondok ini menjadi kerajinan. Sembari mengobrol Pak Kepdes
19
Universitas Sumatera Utara

memesan teh manis dan ditambah dengan gorengan, Bapak Kepala Desa menjadi
infoman pangkal saya. Dan tidak lama kemudian saya mengucapkan terima kasih dan
berpamitan dengan Bapak Kepala Desa.
Keesokan harinya saya langsung mendatangi rumah salah satu pengrajin
eceng gondok yaitu Bu Heddy Simbolon. Beliau adalah pengrajin eceng gondok di
Desa Huta Namora. Saya disambut baik oleh Bu Heddy namun beliau lagi buru-buru
mau ke pesta, kebetulan yang pesta adalah saudaranya “lagi buru-buru pulak lah
namboru dek, malam aja kau datang ke rumah namboru ya atau besok pagi terserah
mu lah. Sekarang bou lagi gak bisa, gak apa-apa ya fit”, ujar Bu Heddy. “Tidak apaapa bou, besok pagi aja saya datang lagi ya”, balas saya sambil pamit pulang.
Keesokan harinya saya datang kembali ke rumah Bu Heddy dan disambut
baik oleh ibu itu. Singkat cerita setelah menjelaskan maksud dan tujuan saya datang
ke rumahnya, saya langsung ke pertanyaan penelitian. Saya menanyakan nama
lengkap dari namboru tersebut. Heddy Simbolon, jawab beliau dengan nada senang.
Di tengah-tengah pembicaraan beliau bercerita banyak mengenai usaha menganyam
eceng gondok ini. Beliau juga menunjukkan hasil anyaman dan cara dia menganyam
eceng gondok tersebut. Setelah merasa cukup dengan informasi yang diberikan Bu
Merli, saya pun mengucapkan terima kasih dan segera pamit pulang.
Beberapa hari setelah itu, saya kembali menjumpai informan yang bernama
Janter Gurning. Saya mengetahui informasi mengenai Pak Janter dari kepala Desa
Huta Namora. Beliau sudah cukup lama menganyam eceng gondok ini. Dan memiliki
banyak pengetahuan serta pengalaman dalam menganyam eceng gondok. Saya
20
Universitas Sumatera Utara

mengalami kesulitan mencari rumah Pak Janter, karena jarak rumahnya yang cukup
jauh dengan rumah saya. Ketika saya sudah menemukan rumah Pak Janter, saya
langsung memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan saya pada
beliau. Setelah itu Pak Janter menyuruh saya untuk duduk dulu dan menunggu
sampai beliau memanggil saya. Saya menunggu Pak Janter sekitar 3 jam lebih, karna
pada saat itu ada hal penting yang harus diurus Pak Janter. Setelah cukup lama
menunggu, kemudian saya kembali menemui Pak Janter ini yang sedang duduk di
dermaga bersama kawannya. Awalnya beliau bersikap cuek dan tidak memperhatikan
saya, beliau hanya fokus bercerita dengan temannya. Namun saya berusaha
menghampiri beliau dan mengajaknya bicara, saya banyak bertanya dan akhirnya
beliau siap untuk saya wawancarai.
Sepanjang wawancara, Pak Janter banyak bercerita tentang kerajinan eceng
gondok ini. Mulai dari beliau belajar ke Yogyakarta yang didanai oleh perusahaan
JICA dari Jepang, jenis eceng gondok yang bagus untuk dianyam, penjemuran eceng
gondok, alat yang digunakan, bahan-bahan yang digunakan, serta teknik dasar
menganyam eceng gondok. Bu Inceng Sitanggang yang merupakan istri Pak Janter
menyuguhi kami gorengan dan minum teh.
Sebelum saya pulang, Pak Janter menyuruh saya untuk datang kembali besok
pagi. Karena akan ada tiga orang mahasiswi dari Belanda datang untuk belajar
menganyam eceng gondok bersama pak Janter. Sebelumnya pak Janter sudah sering
kedatangan mahasiswa/i dari luar negeri untuk belajar menganyam eceng gondok.

21
Universitas Sumatera Utara

Mendengar hal tersebut saya sedikit semangat, karena selain menambah pengetahuan,
juga menambah data dan dokumentasi saya untuk penelitian skripsi ini.
Saya datang kembali menemui Pak Janter dan saya disambut cukup ramah
dari hari sebelumnya. Mungkin karena pak Janter sudah tidak merasa canggung
bertemu saya seperti hari sebelumnya. Sekitar 20 menit saya dan pak Janter
menunggu tiga mahasiswi tersebut. Sembari menunggu, saya dan pak Janter bercerita
tentang eceng gondok sambil menikmati teh manis panas buatan istri Pak Janter.
Setelah 20 menit menunggu, tiga mahasiswi Belanda itu pun datang ke rumah
Pak Janter. Kami pun menyambut dan berkenalan dengan mereka bertiga. Mereka
adalah Kelly, Annaka, Sabine. Kemudian saya pun bertanya maksud kedatangan
mereka serta hal apa yang mendasari mereka sampai datang ke Samosir hanya untuk
belajar menganyam eceng gondok ini. Setelah saya dan ketiga mahasiswi tersebut
selesai berbincang, pak Janter pun datang menghampiri kami. Beliau mengajak kami
untuk berkumpul di luar halaman rumahnya. Dengan beralaskan tikar, kami pun
duduk untuk mendengar instruksi Pak Janter serta penjelasan teori dan praktek
menganyam eceng gondok. Saya sangat senang karena bisa belajar menganyam
kerajinan unik ini. Saya ingin menggali lebih dalam lagi informasi tentang
menganyam eceng gondok, serta meminta pendapat atau pandangan dari tiga
mahasiswi Belanda tersebut.

22
Universitas Sumatera Utara

Seminggu saya belajar dan sekaligus membantu Pak Janter menganyam eceng
gondok, begitu juga dengan ketiga mahasiswi Belanda tersebut. Setelah merasa data
saya cukup, saya minta izin pamit pulang. Keesokan harinya saya mengikuti rapat
kampung literasi ekklesia yang diadakan oleh Dinas Pendidikan. Sebelumnya saya
tahu informasi rapat ini dari Kepala Desa Huta Namora, beliau menghubungi saya
dan memberi izin untuk ikut menghadiri rapat.
Rapat ini dipimpin oleh Sekretaris Dinas Pendidikan, dan dihadiri oleh tujuh
orang pengrajin eceng gondok. Rapat ini membahas mengenai perkembangan usaha
kerajinan eceng gondok di Desa Huta Namora, sekaligus pengrajin diminta untuk
membuat kerajinan anyaman alas kaki, keranjang sampah dan vas bunga dalam
jumlah besar yang akan dijual keseluruh sekolah yang ada di Samosir. Saya juga
diminta bicara oleh Sekretaris Dinas Pendidikan kepada para pengrajin untuk
menyampaikan maksud dan tujuan datang di Desa Huta Namora.
Setelah rapat selesai saya langsung menghampiri salah satu pengrajin yaitu Bu
Merli Sinurat untuk saya wawancara. Tapi beliau tidak mau diwawancara disitu dan
saya diajak ke rumahnya. Beliau bercerita banyak mengenai usaha kerajinan eceng
gondok ini dan mengatakan bahwa baru kali ini ada mahasiswa yang wawancara
mengenai usahanya. Beliau merasa senang dan percakapan kami berlangsung dengan
baik. Beliau juga menawarkan makan siang di rumahnya, tapi saya merasa segan dan
menolaknya dengan mengatakan saya sudah makan walaupun sebenarnya saya sudah
lapar sekali. Dari siang sampai sore saya di rumah beliau sambil ikut belajar
menganyam.
23
Universitas Sumatera Utara

Saya merasa senang selama penelitian karena para pengrajinnya yang ramah.
Pendekatan saya yang mungkin berkenan di hati mereka. Begitu juga dengan
informan saya Pak Wanjen saya mendatangi rumah beliau dan melakukan percakapan
biasa seperti bercerita, sehingga saya lebih mudah memperoleh informasi. Mereka
bercerita banyak mengenai usaha kerajinan anyaman yang mereka tekuni. Dengan
pengalaman yang peneliti peroleh selama melakukan penelitian, untuk ke depannya
akan lebih mudah melakukan penelitian selanjutnya.

24
Universitas Sumatera Utara