Analisis Dampak Usaha Kerajinan Eceng Gondok Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai

(1)

ANALISIS DAMPAK USAHA KERAJINAN ECENG GONDOK

TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

DI KECAMATAN SERBAJADI KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI

TESIS

Oleh

SYAFRIDAH SIREGAR

087003034/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

ANALISIS DAMPAK USAHA KERAJINAN ECENG GONDOK

TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

DI KECAMATAN SERBAJADI KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYAFRIDAH SIREGAR

087003034/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : ANALISIS DAMPAK USAHA KERAJINAN ECENG

GONDOK TERHADAP SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT DI KECAMATAN SERBAJADI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Nama Mahasiswa : Syafridah Siregar Nomor Pokok : 087003034

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD)

Menyetujui Komisi Pembimbing:

(Prof. Dr. Badaruddin, MA) Ketua

(Prof. Aldwin Surya, SE, MPd., Ph.D) Anggota

(Drs. Rujiman, MA) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Bachtiar Hassan Miraza)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 07 Juni 2010

---

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, MA

Anggota : 1. Prof. Aldwin Surya, SE, MPd., Ph.D 2. Drs. Rujiman, MA

3. Dr. Ir. Rahmanta, MSi 4. Drs. H.B. Tarmizi, SU 5. Ir. Agus Purwoko, Msi


(5)

ABSTRAK

Industri kerajinan telah berkembang menjadi salah satu bidang usaha setelah terjadi krisis ekonomi. Berbagai macam kerajinan yang dihasilkan ternyata mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan permintaan terhadap barang-barang tersebut terus meningkat, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjadi komoditas ekspor. Salah satu usaha kerajinan adalah dengan menggunakan bahan baku eceng gondok. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak usaha kerajinan eceng gondok terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, dan bagaimana pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perkembangan usaha kerajinan eceng gondok dan menganalisis dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, serta untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin eceng gondok di Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, sebanyak 32 pengrajin. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, daftar pertanyaan (questionaire) dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan uji beda rata-rata dan regresi linear.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa usaha kerajinan eceng gondok berdampak positif terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat. Usaha kerajinan telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya pengrajin dan karyawannya. Dengan demikian, usaha kerajinan eceng gondok telah menjadi salah satu usaha yang memberikan lapangan kerja kepada masyarakat. Peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sebagai dampak usaha kerajinan eceng gondok, selanjutnya berpengaruh terhadap pengembangan wilayah, khususnya Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi, dan umumnya Kabupaten Serdang Bedagai. Dampak terhadap pengembangan wilayah merupakan multiplier effect dari usaha kerajinan eceng gondok di wilayah tersebut.


(6)

ABSTRACT

Industry of crafting have rounded become one of business the economic crisis. Many crafting product with the high economics value and the request to the goods increasing, not merely in country but become the export commodity. One of the raw material of crafting business using water hyacinth. Formulation of the problem in this research is how the impact of water hyacinth business crafting for economic social of society at Serbajadi Subdistrict of Serdang Bedagai District, and how the influence of economics social of water hyacinth business crafting for regional development at Serdang Bedagai District. The research objective is to determine know the growth of the water hyacinth business crafting and analyse the impact to economic social of society at Serbajadi Subdistrict of Serdang Bedagai District, and to determine and analyse the social economic influence of water hyacinth business crafting to regional development at Serdang Bedagai District.

The sampel in this study all of the water hyacinth crafter and their employee at Karang Tengah Village at Serbajadi District as many 32 people. Data collection techniques conducted through interviews, questionnaire and study the documentation. The data analyse conducted with the different test of mean and multiple linear regression.

The results shows that water hyacinth business crafting have a positive effect to change of economics social of society. The water hyacinth business crafting have improved the society prosperity, specially crafter and its employees. Thereby, the water hyacinth business crafting become the one of employment to society. The change of economics social of society hereinafter have an effect to regional development, specially at Karang Tengah Village of Serbajadi Subdistrict, and generally at Serdang Bedagai District. The effect to regional development represent the multiplier effect water hyacinth business crafting in the region.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya kepada Alah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, mengucapkan syukur kehadirat-Mu atas segala rahmad dan hidayah yang telah Engkau limpahkan kepadaku, dan dari sebagian rahmad dan hidayah-Mu pula tesis ini dapat rampung seluruhnya.

Tesis ini disusun guna melengkapi persyaratan dalam rangka mengakhiri masa pendidikan Sekolah Pascasarjana dan untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada penulisan tesis ini, penulis memilih judul “Analisis Dampak Usaha Kerajinan Eceng Gondok terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai”.

Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan tesis ini penulis banyak memberoleh bantuan, bimbingan, petunjuk, nasehat dan dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM) Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

4. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membantu memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Aldwin Surya, SE, MPd, beserta Bapak Drs. Rujiman, MA, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membantu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

6. Bapak Dr. Ir. Rahmanta, MSi, Bapak Drs. H.B. Tarmizi, SU, dan Bapak Ir. Agus Purwoko, MSi, selaku Komisi Dosen Pembanding yang banyak memberikan masukan dan pengarahan demi kesempurnaan tesis ini.

7. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi SPs USU yang telah banyak membantu proses administrasi dan kelancaran kegiatan akademis selama mengikuti perkuliahan.

8. Rekan-rekan mahasiswa PWD angkatan 2008 yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

9. Bapak Camat Serbajadi, Bapak Kepala Desa Karang Tengah dan seluruh pengrajin dan karyawan yang telah berkenan memberikan data dan informasi dalam proses penelitian tesis ini.

10.Suami tercinta, Drs. Hardi Pasaribu, MSi, dan anakku tersayang Nadira, Amelia, Haikal dan Haidar, yang telah sabar dan memberikan do’anya selama


(9)

Penulis yakin Allah SWT akan membalas seluruh amal dan melimpahkan rahmad-Nya kepada kita semua. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak pada umumnya dan kepada penulis khususnya.

Amin ya rabbal’alamin Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, Juni 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Syafridah Siregar lahir di Medan pada tanggal 17 Oktober 1969, anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan Ayahanda Abdul Manan Siregar (Alm) dan Ibunda Dra. Harliyah Pohan (Alm). Menikah dengan Drs. Hardi Pasaribu, MSi dan dikaruniai empat orang anak bernama Nadira, Amelia, Haikal dan Haidar.

Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Sekolah Dasar (SD) Negeri 110 Medan, tamat tahun dan lulus tahun 1982. Melanjutkan pendidikan ke MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) Medan, tamat dan lulus tahun 1985. Selanjutnya menempuh pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 8 Medan, tamat dan lulus tahun 1988. Kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Medan Area di Medan, tamat dan lulus pada tahun 1993. Tahun 2008 melanjutkan studi Strata Dua (S-2) di Universitas Sumatera Utara pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD).

Sejak tahun 1995 diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Deli Serdang. Saat ini penulis bertugas pada Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagai Kepala Subbidang Pengelolaan Limbah Domestik dan B3.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Pembangunan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Wilayah ... 8

2.1.1. Konsep Pembangunan Ekonomi... 8

2.1.2. Pembangunan Sosial ... 12

2.1.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah... 15

2.2. Pembangunan Daerah ... 21

2.3. Pembangunan Pedesaan... 25

2.4. Industri Kerajinan ... 29

2.5. Tumbuhan Eceng Gondok ... 35

2.6. Kerangka Pemikiran ... 39

2.7. Hipotesis... 39

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40

3.1. Lokasi Penelitian ... 40

3.3. Populasi dan Sampel ... 40

3.3. Data dan Sumber Data ... 40

3.4. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 41

3.5. Metode Analisis ... 43


(12)

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 48

4.1. Gambaran Umum ... 48

4.2. Karakteristik Responden ... 53

4.3. Deskripsi Kerajinan Eceng Gondok... 56

4.3.1. Proses Pengolahan Eceng Gondok ... 56

4.3.2. Ketenagakerjaan ... 60

4.3.3. Produksi dan Pemasaran ... 63

4.3.4. Pendapatan Usaha ... 64

4.4. Distribusi Jawaban Responden ... 65

4.4.1. Distribusi Jawaban Responden Atas Dampak Sosial ... 65

4.4.2. Distribusi Jawaban Responden Atas Dampak Ekonomi .. 68

4.4.3. Distribusi Jawaban Responden Atas Pengembangan Wilayah ... 72

4.5. Analisis dan Pembahasan ... 75

4.5.1. Dampak Sosial Ekonomi ... 75

4.5.2. Pengaruh terhadap Pengembangan Wilayah ... 77

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

5.1. Kesimpulan ... 84

5.2. Saran... 84


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen...43

3.2. Definisi Operasional Variabel... 47

4.1. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai…...49

4.2. Luas Wilayah Kecamatan Serba Jadi Berdasarkan Desa...50

4.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ...51

4.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Sumber Mata Pencaharian...52

4.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ...54

4.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia...55

4.7. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 55

4.8. Penyerapan Tenaga Kerja pada Usaha Kerajinan Eceng Gondok ...61

4.9. Pendapatan Pengrajin Sebelum dan Sesudah Kerajinan Eceng Gondok...65

4.10. Penjelasan Responden Atas Dampak Sosial ...66

4.11. Penjelasan Responden Atas Dampak Ekonomi ...68

4.12. Penjelasan Responden Atas Pengembangan Wilayah ...72

4.13. Hasil Uji Beda Rata-rata ...76


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 39


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ...90

2. Data Responden Penelitian ...95

3. Pengolahan Data ...99

4. Dokumentasi Penelitian ...102


(16)

ABSTRAK

Industri kerajinan telah berkembang menjadi salah satu bidang usaha setelah terjadi krisis ekonomi. Berbagai macam kerajinan yang dihasilkan ternyata mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan permintaan terhadap barang-barang tersebut terus meningkat, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjadi komoditas ekspor. Salah satu usaha kerajinan adalah dengan menggunakan bahan baku eceng gondok. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak usaha kerajinan eceng gondok terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, dan bagaimana pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perkembangan usaha kerajinan eceng gondok dan menganalisis dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, serta untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin eceng gondok di Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, sebanyak 32 pengrajin. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, daftar pertanyaan (questionaire) dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan uji beda rata-rata dan regresi linear.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa usaha kerajinan eceng gondok berdampak positif terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat. Usaha kerajinan telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya pengrajin dan karyawannya. Dengan demikian, usaha kerajinan eceng gondok telah menjadi salah satu usaha yang memberikan lapangan kerja kepada masyarakat. Peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sebagai dampak usaha kerajinan eceng gondok, selanjutnya berpengaruh terhadap pengembangan wilayah, khususnya Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi, dan umumnya Kabupaten Serdang Bedagai. Dampak terhadap pengembangan wilayah merupakan multiplier effect dari usaha kerajinan eceng gondok di wilayah tersebut.


(17)

ABSTRACT

Industry of crafting have rounded become one of business the economic crisis. Many crafting product with the high economics value and the request to the goods increasing, not merely in country but become the export commodity. One of the raw material of crafting business using water hyacinth. Formulation of the problem in this research is how the impact of water hyacinth business crafting for economic social of society at Serbajadi Subdistrict of Serdang Bedagai District, and how the influence of economics social of water hyacinth business crafting for regional development at Serdang Bedagai District. The research objective is to determine know the growth of the water hyacinth business crafting and analyse the impact to economic social of society at Serbajadi Subdistrict of Serdang Bedagai District, and to determine and analyse the social economic influence of water hyacinth business crafting to regional development at Serdang Bedagai District.

The sampel in this study all of the water hyacinth crafter and their employee at Karang Tengah Village at Serbajadi District as many 32 people. Data collection techniques conducted through interviews, questionnaire and study the documentation. The data analyse conducted with the different test of mean and multiple linear regression.

The results shows that water hyacinth business crafting have a positive effect to change of economics social of society. The water hyacinth business crafting have improved the society prosperity, specially crafter and its employees. Thereby, the water hyacinth business crafting become the one of employment to society. The change of economics social of society hereinafter have an effect to regional development, specially at Karang Tengah Village of Serbajadi Subdistrict, and generally at Serdang Bedagai District. The effect to regional development represent the multiplier effect water hyacinth business crafting in the region.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan kemudian berlanjut dengan krisis keuangan global membawa dampak terhadap perekonomian Indonesia. Dari sisi produksi, kontribusi sektor-sektor yang memiliki pangsa besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung terus mengalami penurunan. Pertumbuhan kedua sektor terbesar yaitu pertanian dan industri pengolahan dalam periode 2001 – 2007 mengalami penurunan. Dengan pangsa yang semakin mengecil serta pertumbuhan yang cenderung stagnan, kontribusi sektor pertanian dan industri pengolahan pada pertumbuhan ekonomi semakin menurun. Lemahnya kinerja sektor industri pengolahan, khususnya industri pengolahan non migas, tidak dapat dilepaskan dari kondisi permintaan domestik yang terus mengalami tekanan. Dengan karakteristik sektor industri di mana orientasi dari industri-industri yang berskala besar lebih tertuju ke pasar domestik, maka lemahnya permintaan masyarakat jelas akan mempengaruhi kinerja sektor industri secara keseluruhan.

Penurunan permintaan masyarakat terhadap produk industri sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dunia usaha dan kesempatan kerja. Perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai jalan terakhir karena perusahaan tidak dapat mempertahankan kinerjanya sesuai dengan


(19)

target yang telah ditetapkan. Bahkan banyak yang sudah berproduksi jauh di bawah kapasitas normal perusahaan.

Kondisi ini akan mempengaruhi perekonomian masyarakat, khususnya yang selama ini bergantung pada sektor industri. Demikian juga terhadap masyarakat lainnya, dengan kenaikan harga barang-barang pokok yang tidak sesuai dengan peningkatan pendapatan akan menyulitkan pemenuhan kebutuhan hidup dan kesejahteraan masyarakat tersebut.

Dalam kondisi demikian, mencari alternatif sumber pendapatan banyak dilakukan oleh masyarakat. Namun demikian hal tersebut tergantung pada kreativitas dan motivasi berusaha dari individu yang bersangkutan. Salah satu alternatif sumber pendapatan yang banyak berkembang di Indonesia setelah terjadi krisis ekonomi adalah industri kerajinan. Berbagai macam kerajinan yang dihasilkan ternyata mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan permintaan terhadap barang-barang tersebut terus meningkat, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjadi komoditas ekspor.

Sesuai dengan kreativitas para pengusaha industri kerajinan tersebut, bahan baku kerajinan juga bermacam-macam, mulai dari bahan-bahan yang dibeli hingga bahan-bahan yang sudah dipergunakan lagi oleh masyarakat (daur ulang). Salah satu bahan kerajinan yang dimanfaatkan oleh beberapa pengrajin di berbagai daerah di Indonesia, seperti Yogyakarta, Tangerang, Semarang, dan Sumatera Utara adalah tumbuhan eceng gondok.


(20)

Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart.) Solm.) merupakan tumbuhan gulma di wilayah perairan yang hidup terapung pada air yang dalam atau mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada air yang dangkal. Eceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari. Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba (2003) dalam Pasaribu dan Sahwalita (2006) melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutupi area seluas 7 m2. Heyne (1987) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 ha dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton.

Perkembangbiakannya yang demikian cepat menyebabkan tumbuhan eceng gondok telah berubah menjadi tumbuhan gulma di beberapa wilayah perairan di Indonesia. Di kawasan perairan danau, eceng gondok tumbuh pada bibir-bibir pantai sampai sejauh 5 – 20 m. Sedangkan di sungai dan perairan lainnya, seperti saluran irigasi, eceng gondok bahkan dapat menutupi badan sungai dan saluran irigasi tersebut. Perkembangbiakan ini juga dipicu oleh peningkatan kesuburan di wilayah perairan tersebut (eutrofikasi) sebagai akibat dari erosi dan sedimentasi lahan, berbagai aktivitas masyarakat (mandi, cuci, kakus/MCK), budidaya perikanan (keramba jaring apung), limbah transportasi air, dan limbah pertanian.

Karena gangguan yang ditimbulkan oleh tumbuhan eceng gondok ini mengakibatkan dampak yang cukup serius, maka usaha untuk memberantas


(21)

tumbuhan ini terus dilakukan. Meskipun usaha ini belum dapat dikatakan berhasil, tetapi dengan adanya usaha pengendalian tersebut sekaligus dapat memberi peluang usaha baru bagi masyarakat. Hampir semua bagian tumbuhan eceng gondok dapat dimanfaatkan. Misalnya saja bunganya yang indah dapat dimanfaatkan untuk rangkaian bunga, sementara itu daunnya juga dapat dimanfaatkan untuk melengkapi rangkaian bunga, makanan ternak dan pupuk tanaman (kompos). Tangkai daunnya juga dapat digunakan untuk isi vas (rangkaian bunga), media tanam jamur merang, bahan kertas, tali, dan kerajinan anyaman.

Sadar akan potensi yang terdapat dalam tumbuhan eceng gondok, oleh tangan-tangan terampil tumbuhan pengganggu ini dapat dijadikan menjadi barang-barang kerajinan dengan nilai jual tinggi. Di Surabaya di bawah binaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, berkembang beberapa pengrajin yang memanfaatkan tumbuhan eceng gondok menjadi barang seni yang bernilai jual tinggi. Namun demikian sebagian masyarakat Indonesia belum sepenuhnya “familiar” dengan

kerajinan dari eceng gondok. Padahal dari segi kualitas dan tampilan produk dari bahan eceng gondok tidak kalah baiknya dengan produk dari bahan-bahan seperti bambu, rotan dan kayu. Produk dari bahan eceng gondok bahkan memiliki kesan tekstur yang unik yang tidak dimiliki produk dari bahan lain.

Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai di Sumatera Utara memberikan perhatian yang serius dalam pengembangan industri kecil sebagai salah satu sumber ekonomi masyarakat, termasuk kerajinan dengan menggunakan bahan baku eceng gondok. Usaha kerajinan eceng gondok di Kabupaten Serdang Bedagai terdapat


(22)

di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan Sei Rampah, Serbajadi, Perbaungan dan Sei Bamban. Namun perkembangan yang cukup pesat hingga saat ini adalah di Kecamatan Serbajadi dimana sebagian masyarakatnya mengolah tumbuhan eceng gondok menjadi salah satu bahan baku untuk kerajinan, antara lain tas, vas bunga, tempat tissu dan meja kursi.

Berdasarkan penelitian pendahuluan di Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi, usaha kerajinan eceng gondok telah memberikan manfaat ekonomis kepada masyarakat pengrajin dan juga masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja. Setiap usaha kerajinan eceng gondok rata-rata mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 3 – 6 orang, baik yang berasal dari dalam keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga. Dalam hal pemasaran produk-produk yang dihasilkan, hingga saat ini belum ada permasalahan, karena produk yang dihasilkan masih lebih rendah dari permintaan. Dalam hal pemasaran ini, para pengrajin mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten dan sudah ada permintaan tetap dari Jakarta.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam hal dampak sosial ekonomi dari usaha kerajinan eceng gondok tersebut di Kabupaten Serdang Bedagai, sehingga diketahui potensi ekonomi yang dapat diperoleh dari pengolahan tumbuhan pengganggu eceng gondok.


(23)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana dampak usaha kerajinan eceng gondok terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Bagaimana pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui perkembangan usaha kerajinan eceng gondok dan menganalisis

dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Menganalisis pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang antara lain adalah:

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai dampak usaha kerajinan eceng gondok terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai.


(24)

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam meningkatkan dan pembinaan usaha kerajinan, khususnya usaha kerajinan eceng gondok.

3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Wilayah 2.1.1. Konsep Pembangunan Ekonomi

Pengertian pembangunan ekonomi yang dijadikan pedoman dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1996). Berdasarkan atas definisi ini dapat diketahui bahwa pembangunan ekonomi berarti adanya suatu proses pembangunan yang terjadi terus menerus yang bersifat menambah dan memperbaiki segala sesuatu menjadi lebih baik lagi. Adanya proses pembangunan itu diharapkan adanya kenaikan pendapatan riil masyarakat berlangsung untuk jangka panjang.

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang terjadi terus-menerus yang bersifat dinamis. Apapun yang dilakukan, hakikat dari sifat dan proses pembangunan itu mencerminkan adanya terobosan yang baru, jadi bukan merupakan gambaran ekonomi suatu saat saja. Pembangunan ekonomi berkaitan pula dengan pendapatan perkapita riil, di sini ada dua aspek penting yang saling berkaitan yaitu pendapatan total atau yang lebih banyak dikenal dengan pendapatan nasional dan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita berarti pendapatan total dibagi dengan jumlah penduduk.


(26)

Pembangunan ekonomi dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensif baik ekonomi maupun non ekonomi. Oleh sebab itu, sasaran pembangunan yang minimal dan pasti ada menurut Todaro dalam Suryana (2000) adalah:

1. Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian atau pemerataan bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti perumahan, kesehatan dan lingkungan.

2. Mengangkat taraf hidup temasuk menambah dan mempertinggi pendapatan dan penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya manusiawi, yang semata-mata bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, akan tetapi untuk meningkatkan kesadaran akan harga diri baik individu maupun nasional. 3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu dan

nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya hubungan dengan orang lain dan negara lain, tetapi dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan.

Suryana (2000) menyebutkan ada empat model pembangunan, yaitu model pembangunan ekonomi yang beorientasi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan model pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasarkan atas model pembangunan tersebut, semua itu bertujuan pada perbaikan kualitas hidup, peningkatan barang-barang dan jasa, penciptaan lapangan kerja baru dengan upah yang layak, dengan harapan tercapainya


(27)

tingkat hidup minimal untuk semua rumah tangga yang kemudian sampai batas maksimal.

Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pada pertumbuhan (growth) turut memperparah ketimpangan antara desa-kota. Ekonomi pedesaan tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus komoditas primer dari pedesaan, sehingga sering terjadi kebocoran wilayah yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri (Tarigan, 2005).

Dalam konteks pembangunan spasial, terjadi urban bias yang cenderung mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan yang diharapkan dapat menimbulkan efek penetesan (trickle down effect) ke wilayah

hinterland-nya. Ternyata net-effect-nya menimbulkan pengurasan besar (massive backwash effect). Dengan perkataan lain, dalam konteks ekonomi telah terjadi

transfer sumberdaya dari wilayah pedesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran. Walaupun kawasan perkotaan juga berperan penting dalam mensuplai barang-barang dan pelayanan untuk pertumbuhan dan produktivitas pertanian.

Kegagalan pembangunan di wilayah pedesaan selain mengakibatkan terjadinya backwash effect, juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar, kapital dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Sebagai akibatnya kondisi masyarakat pedesaan semakin terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan. Keadaan ini juga dinyatakan oleh Yudhoyono (2004) bahwa pembangunan yang telah berkembang selama ini melahirkan kemiskinan dan


(28)

pengangguran struktural di pertanian dan pedesaan. Untuk itu tantangan pembangunan ke depan adalah mengintegrasikan pembangunan pertanian dan pedesaan secara berimbang. Melihat kondisi yang demikian, masyarakat pedesaan secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan, yang semakin lama semakin deras (speed up proccesses), meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan, tetapi bagi mereka kehidupan di kota lebih memberikan harapan untuk menambah penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan terhadap masyarakat kawasan perkotaan, antara lain timbulnya pemukiman kumuh dan rumah liar, masalah kemacetan, keadaan sanitasi dan air bersih yang buruk, menurunnya kesehatan masyarakat dan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat di kawasan perkotaan.

Model pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan sulit dijadikan model pembangunan yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan apabila tidak melibatkan peran aktif dari semua stakeholder dari awal perencanaan hingga pasca proyek. Pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan harus menyentuh (1) pembangunan fisik wilayah, seperti: pembangunan jalan, pasar, terminal, dan lain-lain, (2) sumberdaya manusia dan sosial yaitu: koordinasi antar

stakeholder dan pemahaman tentang konsep agropolitan, (3) aspek tekhnologi yaitu:


(29)

2.1.2. Pembangunan Sosial

Pembangunan sosial muncul dan ramai diperdebatkan sejak awal tahun 1990-an. Topik perdebatan tidak hanya terbatas pada substansinya, tetapi juga menyangkut terminologi yang dianggap lebih tepat untuk mewakili gagasan baru itu. Ada beberapa terminologi yang ditawarkan, antara lain Pembangunan Alternatif, Pembangunan Berbasis Rakyat, Pembangunan Partisipatoris. Isu sentral dari gagasan tersebut adalah mencari alternatif bagi pembangunan yang berfokus pertumbuhan, yang menempatkan uang sebagai yang paling pokok (capital centered development), berubah menjadi pembangunan sebagai proses yang manusiawi (people centered

development). Kenyataan bahwa pembangunan yang sangat berfokus pertumbuhan

memang telah berhasil dengan gemilang mewujudkan kemakmuran, tetapi gagal mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata, bahkan sebaliknya banyak membawa masalah yang sulit dicari pemecahannya (Tangdilintin, 1999).

Wawasan yang lebih luas mengenai pembangunan sosial, mulai berkembang dan diterima secara luas pula pada tahun 1970-an, dengan berbagai varian pemikiran yang dipelopori oleh berbagai disiplin ilmu yang bebeda. Secara garis besar muncul berbagai pemikiran yang memberi makna yang berbeda terhadap pembangunan sosial. Ada yang sangat menyederhanakan sebagai identik dengan pelayanan (services), ada yang memberi makna sebagai pemenuhan kebutuhan dasar (basic

need), pembangunan mandiri, pembangunan berkelanjutan, dan bahkan pembangunan


(30)

Menurut Paiva (1977) dalam Munandar (2002), pembangunan sosial adalah

development of the capacity of people to work continuosly for their own and society’s welfare”. Definisi ini mewakili pemikiran pemberdayaan individu yang akhirnya secara luas dikenal dengan people centered development. Pembangunan sosial sebagai paradigma alternatif, menempatkan masyarakat sebagai pusat dari proses pembangunan dan ekonomi sebagai cara untuk melayani kebutuhan manusia. Setiap orang, pemerintah, atau lembaga apapun harus menghormati arti kehidupan manusia secara global yang bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya dan melindungi kelangsungan lingkungan hidup.

Menurut Margareth dan Midgley (1982) model pembangunan sosial pada dasarnya menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok marjinal, yakni peningkatan taraf hidup masyarakat yang kurang memiliki kemampuan ekonomi secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dicapai melalui (1) upaya menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah secara ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja, (2) menyediakan dan memberikan pelayanan sosial khususnya pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, perumahan, serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan produktivitas dan partisipasi sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Upaya pertama mengarah pada penciptaan peluang bagi kelompok yang lemah secara ekonomi. Upaya yang kedua mengarah pada peningkatan kemampuan mereka dalam merebut dan memanfaatkan peluang yang telah diciptakan tadi. Untuk mewujudkan kedua hal ini diperlukan adanya intervensi pemerintah, misalnya melalui perundang-undangan


(31)

yang mengatur quota (keterwakilan sosial) dalam bidang pendidikan dan pekerjaan bagi golongan penduduk yang lemah.

Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang bermatra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006). Pembangunan melalui investasi sosial mempunyai dampak langsung berupa penciptaan lapangan kerja, prakarsa partisipasi dalam pembangunan yang lebih luas biarpun pada awalnya dalam lapangan pembangunan sosial yang sederhana. Investasi dalam pembangunan sosial akan meningkatkan produktivitas karena adanya rasa ikut memiliki serta kepercayaan melalui partisipasi yang lebih ikhlas. Karena partisipasi itu dilakukan dengan ikhlas, maka lebih mudah memberikan kepuasan berkat dipenuhinya hak-hak sosial ekonomi dan budaya yang sangat mendasar.

Intervensi pembangunan sosial yang mulai marak di berbagai negara maju menghendaki pendekatan pembangunan bukan lagi untuk mengembangkan negara kesejahteraan (welfare state) dalam arti sempit, tetapi menciptakan suatu komunitas yang bekerja keras (workfare community) yang akhirnya akan menciptakan suatu

workfare state yang mengharuskan negara memberikan dukungan fasilitasi yang kuat

dalam proses pemberdayaan yang lebih adil dan merata, yang memihak kepada keluarga atau penduduk yang tertinggal.


(32)

Biarpun pendekatan baru ini memerlukan dukungan pertumbuhan ekonomi yang memadai, namun bukan tidak mungkin bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada awalnya tidak akan tercapai. Proses pemerataan akan mengharuskan kesempatan kerja diupayakan meluas secara horizontal sehingga keluarga dan penduduk yang tingkat produktivitasnya rendah harus diberikan kesempatan pemberdayaan untuk dapat bekerja agar rasa keadilan bisa ditegakkan. Karena penduduk yang kualitas dan produktivitasnya masih rendah harus diusahakan bekerja secara merata, tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi bisa tidak tercapai. Kegiatan ekonomi harus lebih dikuasai oleh pelaku yang terdiri dari rakyat biasa yang sedang berjuang untuk maju. Karenanya, ketika pemberdayaan atau kesempatan kerja diberikan kepada rakyat secara luas, pertumbuhan ekonomi tidak mungkin setinggi upaya yang berorientasi pertumbuhan tinggi.

Namun dapat dipastikan penduduk berubah, dari sekadar sebagai penonton pembangunan menjadi pelaku pembangunan. Kalau proses ini dilakukan dengan baik dan konsisten, pada waktunya akan menumbuhkan massa baru, workfare society/ yang lebih berkualitas dan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang disertai kepuasan sosial yang sangat tinggi.

2.1.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah


(33)

dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antarmanusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region).

Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi: 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/

homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut

kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antarbagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling


(34)

berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antarbagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan.

Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan


(35)

berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado, 2002).

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah:

1. Sebagai growth center

Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.


(36)

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah. 3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari

daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat

bagi perencanaan pengembangan kawasan.

Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).

Studi pengembangan wilayah melalui tiga indikator, yakni: penghasilan resipien (recipient’a income), pengembangan daerah (regional development) dan

pertumbuhan kelembagaan (institusional growth). Keberhasilan program pengembangan wilayah diukur dari ada tidaknya “perubahan” (dan atau peningkatan)

dalam ketiga indikator tersebut. Suatu program dinilai berhasil apabila program ini berhasil membawakan kenaikan dalam penghasilan resipien (keluarga), membantu mengembangkan daerah, dan mendorong pertumbuhan kelembagaan.

Pembangunan regional adalah bagian yang integral dalam pembangunan nasional. Karena itu diharapkan bahwa hasil pembangunan akan dapat terdistribusi dan teralokasi ke tingkat regional. Untuk mencapai keseimbangan regional terutama dalam perkembangan ekonominya maka diperlukan beberapa kebijaksanaan dan


(37)

program pembangunan daerah yang mengacu pada kebijaksanaan regionalisasi atau perwilayahan. Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep pusat-pusat pertumbuhan ini menekankan pada fakta bahwa pembangunan tidak terjadi dimana-mana secara serentak, tetapi di tempat-tempat tertentu yang disebut sebagai pusat pertumbuhan dan pada akhirnya akan menyebar melalui berbagai saluran dan mempunyai akibat akhir yang berlainan pada perekonomian secara keseluruhan.

Pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di pedesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal.

Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan pedesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan.


(38)

2.2. Pembangunan Daerah

Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang secara parsial dapat membantu bagaimana memahami arti penting pembangunan ekonomi daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori-teori tersebut berkisar pada dua hal, yaitu pembahasan yang berkisar tentang metode dalam menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu (Arsyad, 1999).

Pengembangan metode untuk menganalisis suatu perekonomian suatu daerah penting sekali kegunaannya sebagai sarana mengumpulkan data tentang perekonomian daerah yang bersangkutan serta proses pertumbuhannya. Pengembangan metode analisis ini kemudian dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang harus diambil guna mempercepat laju pertumbuhan yang ada. Akan tetapi di pihak lain harus diakui, menganalisis perekonomian suatu daerah sangat sulit (Arsyad, 1999). Beberapa faktor yang sering menjadi penghambat dalam melakukan analisis perekonomian di antaranya:

a. Data tentang daerah sangat terbatas terutama kalau daerah dibedakan berdasarkan pengertian daerah nodal (berdasarkan fungsinya).

b. Data yang dibutuhkan umumnya tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan untuk analisis daerah, karena data yang terkumpul biasanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan analisis perekonomian secara nasional.


(39)

c. Data tentang perekonomian daerah sangat sukar dikumpulkan sebab perekonomian daerah lebih terbuka jika dibandingkan dengan perekonomian nasional. Hal tersebut menyebabkan data tentang aliran-aliran yang masuk dan keluar dari suatu daerah sukar diperoleh.

d. Bagi Negara Sedang Berkembang, di samping kekurangan data sebagai kenyataan yang umum, data yang terbatas itu pun banyak yang kurang akurat dan terkadang relatif sulit dipercaya, sehingga menimbulkan kesulitan untuk melakukan analisis yang memadai tentang keadaan perekonomian yang sebenarnya di suatu daerah.

Ada beberapa teori dalam pembangunan daerah yang berhubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)

Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson yang menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad, 1999). Dalam penjelasan selanjutnya dijelaskan bahwa pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Asumsi ini memberikan pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor (Suyatno, 2000).


(40)

Ada serangkaian teori ekonomi sebagai teori yang berusaha menjalankan perubahan-perubahan regional yang menekankan hubungan antara sektor-sektor yang terdapat dalam perekonomian daerah. Teori yang paling sederhana dan populer adalah teori basis ekonomi (economic base theory). Menurut Glasson (1990), konsep dasar basis ekonomi membagi perekonomian menjadi dua sektor yaitu:

1) Sektor-sektor Basis adalah sektor-sektor yang mengekspor barang-barang dan jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan atas masukan barang dan jasa mereka kepada masyarakat yang datang dari luar perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan.

2) Sektor-sektor Bukan Basis adalah sektor-sektor yang menjadikan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang yang bertempat tinggal di dalam batas perekonomian masyarakat bersangkutan. Sektor-sektor tidak mengekspor barang-barang. Ruang lingkup mereka dan daerah pasar terutama adalah bersifat lokal.

Secara implisit pembagian perekonomian regional yang dibagi menjadi dua sektor tersebut terdapat hubungan sebab-akibat di mana keduanya kemudian menjadi pijakan dalam membentuk teori basis ekonomi. Bertambahnya kegiatan basis di suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan sehingga menambah permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan, akibatnya akan menambah volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya semakin berkurangnya kegiatan basis akan menurunkan permintaan terhadap


(41)

produk dari kegiatan bukan basis yang berarti berkurangnya pendapatan yang masuk ke daerah yang bersangkutan. Dengan demikian kegiatan basis mempunyai peran sebagai penggerak utama.

b. Teori Tempat Sentral

Teori Tempat Sentral (central place theory) menganggap bahwa ada hirarki tempat dimana setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya. Teori tempat sentral memperlihatkan bagaimana pola-pola lahan dari industri yang berbeda-beda terpadu membentuk suatu sistem regional kota-kota (Supomo, 2000).

Teori tempat sentral ini bisa diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah, baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Misalnya, perlunya melakukan pembedaan fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan). Beberapa daerah bisa menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan daerah lainnya hanya sebagai wilayah pemukiman. Seorang ahli pembangunan ekonomi daerah dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan peranan fungsional mereka dalam sistem ekonomi daerah.

c. Teori Interaksi Spasial

Merupakan arus gerak yang terjadi antara pusat-pusat pelayanan baik berupa barang, penduduk, uang maupun yang lainnya. Untuk itu perlu adanya hubungan antardaerah satu dengan yang lain karena dengan adanya interaksi antarwilayah


(42)

maka suatu daerah akan saling melengkapi dan bekerja sama untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya.

Dalam teori ini didasarkan pada teori gravitasi, di mana dijelaskan bahwa interaksi antardua daerah merupakan perbandingan terbalik antara besarnya massa wilayah yang bersangkutan dengan jarak keduanya. Di mana massa wilayah diukur dengan jumlah penduduk. Model interaksi spasial ini mempunyai kegunaan untuk:

1) Menganalisa gerakan antaraktivitas dan kekuatan pusat dalam suatu daerah. 2) Memperkirakan pengaruh yang ada dan ditetapkannya lokasi pusat

pertumbuhan terhadap daerah sekitarnya.

Interaksi antarkelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lain sebagai produsen dan konsumen serta barang-barang yang diperlukan menunjukkan adanya gerakan. Produsen suatu barang pada umumnya terletak pada tempat tertentu dalam ruang geografis, sedangkan para langganannya tersebar dengan berbagai jarak di sekitar produsen.

2.3. Pembangunan Pedesaan

Pembangunan pedesaan di Indonesia dewasa ini memasuki saat-saat sulit karena sebagai suatu komunitas, sangat sulit untuk mencari faktor pengikat yang dapat dijadikan sebagai landasan bagi suatu gerakan bersama dalam membangun desa. Kondisi ini berbeda dengan keadaan pada awal pelaksanaan pembangunan di era Orde Baru. Banyak faktor yang dapat menjadi pemersatu seluruh gerakan


(43)

masyarakat desa, terutama karena masyarakat berada pada kondisi yang relatif hampir sama dan menghadapi masalah yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Jamal, 2009).

Perdebatan yang mewarnai pemikiran tentang pembangunan pedesaan di Indonesia pada masa Orde Baru dan awal Orde Reformasi adalah mengenai pendekatan yang digunakan dalam pembangunan itu sendiri. Secara sederhana terdapat tiga kutub pemikiran tentang pembangunan pedesaan di Indonesia. Kelompok pertama melihat wilayah pedesaan dan masyarakatnya sebagai sesuatu yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan di wilayah pedesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Pada sisi lain, para pemikir yang melingkari kekuasaan pada saat itu, sebagai kelompok kedua, cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal. Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan pedesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis, serta menjadi 'alat pemerintah' dalam pembangunan.

Kelompok ketiga mencoba menyeimbangkan kekuatan masyarakat pedesaan dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat pedesaan. Beberapa pemikiran dari kelompok pertama antara lain dapat diikuti pada tulisan Rozelle dan Swinnen (2000), Harianto (2007), serta Timer (2007) yang menekankan perlunya dilakukan transformasi kekuasan politik dan penguasaan


(44)

alat-alat produksi kepada lapisan masyarakat yang memiliki potensi produksi terbesar, tetapi berada dalam kedudukan yang lemah. Kelompok ini mensyaratkan perlunya dilakukan pengaturan kembali struktur penguasaan atas tanah, sistem hubungan penguasaan, pemilikan, sakap menyakap sebagai dasar dalam modernisasi pedesaan. Kegiatan industri akan berkembang sebagai akibat surplus dari pertanian, dan kelebihan tenaga kerja dari pertanian secara bertahap akan diserap sektor pengolahan hasil pertanian dan industri.

Pemikiran kelompok kedua dapat dilihat dalam tulisan Kartasasmita (1997), Pakpahan (2000), Lokollo (2004), dan para teknokrat Orde Baru, yang menekankan pada upaya penyeragaman pendekatan dalam pembangunan pedesaan. Pemikiran dari kelompok inilah yang banyak mewarnai berbagai kebijakan pembangunan pedesaan di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Pemikiran kelompok ketiga antara lain dapat dilihat pada tulisan Kasryno et al. (1999), serta Islam dan Braun (2007), yang menyatakan harus ada equal-partnership antara rakyat desa dan aparat perencana dan pelaksana pembangunan. Beberapa persepsi yang keliru dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan adalah persepsi bahwa aparat desa merupakan sumber energi dalam pembangunan dan bukan sumber informasi. Selain itu, masyarakat desa sering kali diposisikan sebagai pihak yang digerakkan untuk mendukung pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan pemerintah tanpa diminta pendapatnya. Sistem panutan dalam pembangunan pedesaan sebagai sesuatu yang tidak berdasar, dan desa di Indonesia beragam sehingga hendaknya tidak ada upaya penyeragaman.


(45)

Sistem cetak biru dalam pembangunan pedesaan akan membuat pembangunan efisien, namun tidak menumbuhkan partisipasi dari masyarakat. Tidak ada yang keliru dari ketiga pendekatan tersebut karena semuanya mempunyai dasar berpijak dan alasan yang kuat. Namun, ketiga pemikiran tersebut belum dengan jernih memilah persoalan masyarakat desa sebagai persoalan individu masyarakat dan sebagai persoalan suatu komunitas. Bila hal ini dapat dipilah dengan baik maka pentahapan pembangunan pedesaan dapat dilakukan dengan melihat tingkat perkembangan kebutuhan mereka secara individu dan sebagai sebuah komunitas. Pada tahap awal pembangunan Orde Baru, tingkat kebutuhan individu di pedesaan relatif sama, yaitu bagaimana dapat memenuhi kebutuhan dasar, dan perlunya gerakan bersama dalam komunitas untuk mendukung inisiatif pemerintah dalam pembangunan. Oleh karena itu, upaya penyeragaman pembangunan pedesaan dalam bentuk cetak biru bukanlah suatu hal yang keliru. Kekeliruan baru terjadi bila pola ini diterapkan secara permanen untuk waktu yang lama tanpa melihat tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan dalam suatu komunitas.

Beranjak dari pemikiran tersebut maka pendekatan pembangunan pedesaan yang sebaiknya digunakan bergantung pada homogenitas kebutuhan individu di suatu wilayah serta ragam keperluan bagi kebersamaan masyarakat desa dalam pembangunan itu sendiri. Pada tataran ini, pendekatan komando didefinisikan sebagai pendekatan instruktif, di mana inisiatif pemerintah sangat dominan dan masyarakat berperan sebagai pihak yang digerakkan.


(46)

Pendekatan semipartisipatif merupakan pendekatan yang memadukan inisiatif masyarakat dan campur tangan pemerintah, sedangkan pendekatan partisipatif lebih mengedepankan inisiatif masyarakat dan meminimalkan campur tangan pemerintah. Pada masyarakat yang kebutuhan individunya relatif homogen dan kebutuhan kebersamaan sebagai suatu komunitas lebih pada upaya mendukung inisiatif pemerintah, atau sebagai partner pemerintah maka pendekatan komando bukan suatu hal yang tabu untuk dilaksanakan. Pendekatan partisipatif yang lebih menekankan inisiatif masyarakat akan efektif dilaksanakan bila kebutuhan individu masyarakat pada suatu wilayah sangat heterogen, dan kebersamaan sebagai komunitas merupakan energi utama penggerak pembangunan pedesaan atau sebagai partner pemerintah. Pada wilayah dengan tingkat perkembangan individu yang heterogen namun kebersamaan sebagai komunitas merupakan energi utama penggerak pembangunan pedesaan, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan. Pada kondisi yang tidak termasuk kedua hal tersebut, pendekatan semipartisipatif lebih tepat digunakan dalam pembangunan pedesaan.

2.4. Industri Kerajinan

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, yang menyebutkan bahwa industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancangan dan perekayasaan industri. Pengertian industri juga meliputi semua perusahaan yang


(47)

mempunyai kegiatan tertentu dalam mengubah secara mekanik atau secara kimia bahan-bahan organis sehingga menjadi hasil baru.

Dari pengertian di atas maka industri mencakup segala kegiatan produksi yang memproses pembuatan bahan-bahan mentah menjadi bahan-bahan setengah jadi maupun barang jadi atau kegiatan yang bisa mengubah keadaan barang dari suatu tingkat tertentu ke tingkat yang lain, kearah peningkatan nilai atau daya guna yang berguna untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Industri sebagai suatu sistem terdiri dari unsur fisik dan unsur perilaku manusia. Unsur fisik yang mendukung proses industri adalah komponen tempat meliputi pula kondisinya, peralatan, bahan mentah/bahan baku, dan beberapa hal yang memerlukan sumber energi. Sedangkan unsur perilaku manusia meliputi komponen tenaga kerja, ketrampilan, tradisi, transportasi, dan komunikasi, serta kpeadaan pasar dan politik (Dumairy, 1998).

Menurut Azhary (1986) industri di Indonesia digolongkan dalam empat kriteria yaitu:

1. Industri besar menggunakan tenaga kerja mencapai 100 orang atau lebih. 2. Industri sedang menggunakan tenaga kerja mencapai 20-99 orang. 3. Industri kecil menggunakan tenaga kerja 5-19 orang.

4. Industri rumah tangga menggunakan tenaga kerja mencapai 1-4 orang.

Menurut Deperindag industri juga dapat dibedakan berdasarkan tingkat investasinya, yaitu:

1. Industri besar dengan tingkat investasi lebih dari Rp. 1 milyar. 2. Industri sedang dengan tingkat investasi Rp. 200 juta – 1 milyar.


(48)

3. Industri kecil dengan tingkat investasi Rp. 5 juta – 200 juta.

4. Industri kerajinan rumah tangga dengan tingkat investasi kurang dari Rp. 5 juta.

Perusahaan industri kecil merupakan kesatuan produksi yang terkecil di suatu tempat tertentu yang melakukan kegiatan untuk mengubah barang secara mekanis atau kimia sehingga menjadi barang atau produk baru yang sifatnya lebih dekat dengan konsumen. Karakteristik industri kecil menurut Tambunan (1999) antara lain: 1. Proses produksi lebih mechanized, dan kegiatannya dilakukan di tempat khusus (pabrik) yang biasanya berlokasi di samping rumah si pengusaha atau pemilik usaha.

2. Sebagian besar tenaga kerja yang bekerja di industri kecil adalah pekerja bayaran (wage labour).

3. Produk yang dibuat termasuk golongan barang-barang yang cukup

sophisticated.

Berdasarkan eksistensinya dinamisnya industri kecil (dan kerajinan rumah tangga) di Indonesia dapat dibagi dalam tiga (3) kelompok kategori, yaitu:

1. Industri lokal, yaitu kelompok industri yang menggantungkan kelangsungan hidupnya kepada pasar setempat yang terbatas, serta relatif tersebar dari segi lokasi.

2. Industri sentra, yaitu kelompok jenis industri yang dari segi satuan usaha mempunyai skala kecil, tetapi membentuk suatu pengelompokan atau


(49)

kawasan produksi yang terdiri dari kumpulan unit usaha yang menghasilkan barang sejenis.

3. Industri mandiri, adalah kelompok jenis industri yang masih mempunyai sifat-sifat industri kecil, namun telah berkemampuan mengadakan teknologi produksi yang cukup canggih (Saleh, 1986 dalam Subekti, 2007).

Klasifikasi industri kecil menurut Departemen Perindustrian (dalam Subekti, 2007) antara lain:

1. Industri Kecil Modern

Menurut definisi Departemen Perindustrian, industri kecil modern meliputi industri kecil yang:

a. Menggunakan teknologi yang proses madya (intermediate process

technologies).

b. Mempunyai skala produksi yang terbatas.

c. Tergantung pada dukungan Litbang dan usaha-usaha kerekayasaan (industri besar).

d. Dilibatkan dalam sistem produksi industri besar dan menengah dan dengan sistem pemasaran domestik dan ekspor.

e. Menggunakan mesin khusus dan alat perlengkapan modal lainnya. 2. Industri Kecil Tradisional

Ciri-cirinya antara lain:


(50)

b. Teknologi pada bantuan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang disediakan oleh Departemen Perindustrian sebagai bagian dari program bantuan teknisnya kepada industri kecil.

c. Mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal lainnya relatif sederhana.

d. Lokasinya di daerah pedesaan.

e. Akses untuk menjangkau pasar di luar lingkungan yang berdekatan terbatas.

3. Industri Kerajinan Kecil

Industri kerajinan kecil meliputi industri kecil yang sangat beragam mulai dari industri kecil yang menggunakan teknologi proses yang sederhana, sampai industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya atau malahan teknologi proses yang maju. Selain potensinya untuk menyediakan lapangan kerja dan kesempatan untuk memperoleh pendapatan bagi kelompok-kelompok yang berpendapatan rendah, terutama di daerah pedesaan, industri kerajinan kecil juga didorong atas landasan budaya yakni mengingat peranan pentingnya dalam pelestarian warisan budaya Indonesia.

Menurut Saleh (1986) dalam Subekti (2007) alasan-alasan yang mendukung pentingnya pengembangan industri kecil adalah:

1. Fleksibel dan adaptabilitasnya yang ditopang oleh kemudahan relatif dalam memperoleh bahan mentah dan peralatan.


(51)

2. Relevansinya dengan proses desentralisasi kegiatan ekonomi guna menunjang terciptanya integrasi kegiatan pada sektor-sektor ekonomi lainnya.

3. Potensinya terhadap penciptaan dan perluasan kesempatan kerja bagi pengangguran.

4. Berperan sebagai basis bagi suatu kemandirian pembangunan ekonomi, karena pada dasarnya diusahakan oleh pengusaha dalam negeri serta proses produksinya dengan dengan kandungan impor (impor content).

Menurut Wening (1998) dalam Subekti (2007), bahwa usaha kecil mempunyai potensi untuk dikembangkan, yaitu:

1. Memiliki potensi penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.

2. Kemampuan untuk memanfaatkan bahan baku lokal serta menghasilkan barang serta jasa yang dibutuhkan masyarakat luas dengan harga terjangkau. 3. Suasana kekeluargaan lebih mudah diciptakan.

4. Memiliki kelebihan dibanding dengan usaha besar, yaitu lebih leluasa bergerak, lebih fleksibel dan cepat mengantisipasi perubahan yang terjadi. Menurut surat edaran Menteri Perindustrian No. 1556/M/III/1989 penggolongan industri kecil yang tercantum dalam surat keputusan Menteri Perindustrian No. 286/M/SK/10/1989 dapat dijelaskan sebagi berikut:

1. Industri kecil yang mempunyai kaitan dengan industri menengah dan besar yaitu:

a. Industri kecil yang menghasilkan barang-barang yang diperlukan oleh industri menengah dan besar.


(52)

b. Industri kecil yang memerlukan produk dari industri menengah dan besar baik bahan baku maupun barang setengah jadi.

c. Industri kecil yang memerlukan bahan-bahan limbah dari industri menengah dan besar untuk diperlukan sebagai bahan baku.

2. Industri kecil yang berdiri sendiri ialah industri kecil yang menghasilkan barang-barang yang langsung dipakai konsumen dari barang-barang tersebut. 3. Industri penghasil barang seni adalah

a. Industri yang menghasilkan barang hasil seni (art product).

b. Industri yang menghasilkan barang-barang atas dasar ketrampilan yang berkembang dalam masyarakat.

4. Industri yang mempunyai prasarana lokal dan bersifat pedesaan.

Pembangunan industri kecil dan industri rumah tangga ditujukan dan diarahkan untuk memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Dengan demikian, akan dapat menumbuhkan kemandirian berusaha serta meningkatkan pendapatan pengusaha kecil dan pengrajin, karena industri kecil cukup potensial keberadaannya sebagai warisan budaya pada setiap suku bangsa di Indonesia. Berkaitan dengan itu, keberadaan industri kecil di setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan sumber daya yang ada dalam masyarakat (Alifiati, dkk, 2003).

2.5. Tumbuhan Eceng Gondok

Eceng gondok atau enceng gondok (Latin: Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng gondok,


(53)

di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang dikenal dengan nama Kelipuk, di Lampung dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado dikenal dengan nama Tumpe (Falah, 2003). Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya (Triyatna, 2007).

Orang lebih banyak mengenal tanaman ini tumbuhan pengganggu (gulma) di perairan karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Awalnya didatangkan ke Indonesia pada tahun 1894 dari Brazil untuk koleksi Kebun Raya Bogor. Ternyata dengan cepat menyebar ke beberapa perairan di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman keluarga Pontederiaceae ini justru mendatangkan manfaat lain, yaitu sebagai biofilter cemaran logam berat, sebagai bahan kerajinan, dan campuran pakan ternak. Eceng gondok hidup mengapung bebas bila airnya cukup dalam tetapi berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Tingginya sekitar 0,4 – 0,8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna


(54)

hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.

Eceng gondok memiliki daya adaptasi yang besar terhadap berbagai macam hal yang ada di sekelilingnya dan dapat berkembang biak dengan cepat. Eceng gondok dapat hidup di tanah yang selalu tertutup oleh air yang banyak mengandung makanan. Selain itu daya tahan eceng gondok juga dapat hidup di tanah asam dan tanah yang basah (Thahar, 2001).

2.5.1. Manfaat Eceng Gondok

Little dan Lawrence dalam Muladi (2001), menyebutkan bahwa eceng gondok banyak menimbulkan masalah pencemaran sungai dan waduk, tetapi mempunyai manfaat sebagai berikut:

a. Mempunyai sifat biologis sebagai penyaring air yang tercemar oleh berbagai bahan kimia buatan industri.

b. Sebagai bahan penutup tanah dan kompos dalam kegiatan pertanian dan perkebunan.

c. Sebagai sumber gas yang antara lain berupa gas ammonium sulfat, gas hidrogen, nitrogen dan metan yang dapat diperoleh dengan cara fermentasi. d. Bahan baku pupuk tanaman yang mengandung unsur NPK yang merupakan

tiga unsur utama yang dibutuhkan tanaman. e. Sebagai bahan industri kertas dan papan buatan. f. Sebagai bahan baku karbon aktif.


(55)

2.5.2. Kerugian Eceng Gondok

Kondisi merugikan yang timbul sebagai dampak pertumbuhan eceng gondok yang tidak terkendali di antaranya adalah:

a. Meningkatnya evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman), karena daun-daun-daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat.

b. Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO:

Dissolved Oxygens).

c. Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.

d. Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia. e. Menurunkan nilai estetika lingkungan perairan.


(56)

2.6. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

2.7. Hipotesis

3. Usaha kerajinan eceng gondok berdampak positif terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai.

4. Dampak sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok berpengaruh positif terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Serdang Bedagai melalui dampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Kerajinan Eceng Gondok

Sosial - Pendidikan - Kesehatan

Pengembangan Wilayah Ekonomi

- Penyerapan Tenaga Kerja - Kesempatan


(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17 kecamatan dengan fokus penelitian ini adalah kerajinan eceng gondok yang terdapat di Kecamatan Serbajadi. Usaha kerajinan eceng gondok yang berkembang pesat berada di Kecamatan Serbajadi, oleh karena itu yang menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai. Kerajinan eceng gondok di Kecamatan Serbajadi terdapat di Desa Karang Tengah.

3.2. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin eceng gondok di Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, sebanyak 32 pengrajin. Prosedur penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel jenuh, yaitu seluruh populasi dijadikan sebagai sampel penelitian, karena populasi kecil (Sugiyono, 2005).

3.3. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui kuesioner dengan menggunakan daftar


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap usaha kerajinan eceng gondok di Kecamatan Serbajadi diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Usaha kerajinan eceng gondok berdampak positif terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat. Usaha kerajinan telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya pengrajin dan karyawannya. Dengan demikian, usaha kerajinan eceng gondok telah meningkatkan pendapatan yang lebih baik. 2. Peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sebagai dampak usaha

kerajinan eceng gondok, selanjutnya berpengaruh terhadap pengembangan wilayah, khususnya Desa Serbajadi Kecamatan Karang Tengah, dan umumnya Kabupaten Serdang Bedagai. Dampak terhadap pengembangan wilayah merupakan multiplier effect dari usaha kerajinan eceng gondok di wilayah tersebut.

5.2. Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian ini, maka diberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Dampak positif usaha kerajinan eceng gondok terhadap sosial ekonomi masyarakat menunjukkan bahwa potensi usaha kerajinan eceng gondok


(2)

di Desa Karang Tengah masih dapat dikembangkan menjadi lebih besar. Sehubungan dengan hal tersebut, dibutuhkan peran aktif dari berbagai pihak, yaitu pengrajin itu sendiri, masyarakat sekitar, pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang berhubungan dengan usaha kecil. Permasalahan pokok yang dihadapi pengrajin adalah mutu produk serta peningkatan produksi, oleh karena itu, para pengrajin disarankan untuk senantiasa aktif belajar, baik melalui berbagai media dan juga melalui pelatihan.

2. Kepada Pemerintah Daerah disarankan untuk aktif melakukan pelatihan secara terprogram dan berkesinambungan serta melakukan studi banding ke daerah-daerah yang lebih maju sehingga para pengrajin dapat meningkatkan kualitas produknya. Selanjutnya disarankan agar pemerintah memfasilitasi pengembangan usaha kerajinan eceng gondok ke daerah-daerah lain dalam rangka mendukung pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. 3. Dalam rangka pengembangan wilayah, kepada Pemerintah Kabupaten

Serdang Bedagai disarankan untuk tetap memeliharan kondisi infrastruktur di Kecamatan Serbajadi, khususnya transportasi dan komunikasi sehingga semakin meningkatkan akses daerah tersebut ke pusat-pusat perekonomian di sekitarnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad, 2008. Industri Kecil Sebagai Gerakan Sosial. Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya.

Alifiati; I Nyoman Dhana, dan I Nyoman Suarsana, 2003. Wanita Pekerja pada Industri Kerajinan Ukiran Kayu di Banjar Batannyuh, Desa Belayu, Marga, Tabanan. Hasil Penelitian, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Denpasar.

Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan: Tinjauan Kritis. P4W Press, Bogor.

Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Bagian Penerbitan STIE YKPN, Yogyakarta.

________. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE Yogyakarta, Yogyakarta.

Chan, Syafrizal, 2007. Dampak KUR terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Universitas Bung Hatta, Padang. Dinas Koperasi dan UKM Propinsi Sumatera Utara, 2006. Kajian Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Perkembangan Usaha UKM di Propinsi Sumatera Utara. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 1 Tahun 1.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2003. Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Citra Kreasi, Jakarta.

Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi. 2003. Penyusunan Strategic Development Regions (SDR), Jakarta.

Ellyana, Asvin. 1999. Rezeki Nomplok dari Eceng Gondok, Harian Media Indonesia, 15 Agustus.

Falah, U. Sirojul. 2003. Eceng Gondok, Gulma Sahabat Manusia? Harian Pikiran Rakyat, 28 September.

Glasson, John. 1990. Pengantar Perencanaan Regional. Terjemahan Paul Sitohang. LPFEUI, Jakarta.


(4)

Gujarati, Damodar. 2003. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.

Harianto. 2007. Peranan Pertanian dalam Ekonomi Pedesaan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pembangunan Ekonomi Rakyat, 4 Desember 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Islam, N. and J. van Braun. 2007. Agricultural and Rural Development for Reducing Poverty and Hunger in Asia: Past performance and priorities for the future. A policy brief from high-level policy forum, Agricultural and Rural Development for Reducing Poverty and Hunger in Asia: In Pursuit of Inclusive and Sustainable Growth, organized by the International Food Policy Research Institute and the Asian Development Bank, Manila, August 2007. Jamal, Erizal, 2009. Membangun Momentum Baru Pembangunan Pedesaan

di Indonesia. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.

Kartasasmita, G. 1997. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. http://www.ginandjar.com. [27 Nopember 2009]. Kasryno, F., H. Nataatmadja, and B. Rachman. 1999. Agricultural Development in

Indonesia Entering the 21st Century. In P. Simatupang, S. Pasaribu, S. Bahri, and R. Stringer (Eds.). Indonesia’s Economic Crisis: Effect on Agriculture and Policy Responses. Published for CASER by Centre for International Economic Studies, University of Adelaide.

Lokollo, E.M. 2004. Linking Farmers with Markets: Ways to Reduce Poverty Through Supply Chain Management. CGPRT Flash 2(9): September 2004. Margaret, Hardiman & James Midgley, 1982. The Social Dimensions o Development:

Social Policy and Planning in the Third World. John Wiley & Sons Ltd., United States of America.

Mercado, R.G. 2002. Regional Development in The Philippine: A Review of Experience, State of The Art and Agenda for Research and Action, Discussion Paper Series. Phillipine Institute for Development Studies.

Muladi, S. 2001. Kajian Eceng Gondok sebagai Bahan Baku Industri dan Penyelamat Lingkungan Hidup di Perairan. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI), Samarinda.


(5)

Munandar, Aris, 2002. Pembangunan Nasional, Keadilan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 1, September.

Pakpahan, A. 2000. Increasing the Scale of Small-farm Operations in Indonesia. Indonesian Center for Agro-Socioeconomic Research, Bogor.

Pasaribu, Gunawan dan Sahwalita, 2006. Pengolahan Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku Kertas Seni, Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September. Rozelle, S. and J.F.M. Swinnen. 2000. Transition and Agriculture. Working Paper

No. 00-021 Department of Agricultural and Resource Economics, University of California Davis.

Saefulhakim, dkk. 2006. Studi Penyusunan Wilayah Pengembangan Strategis (Strategic Development Regions). IPB dan Bapenas, Bogor.

Sarmini (2003). Politik Usaha Pengusaha Islam: Kiat Manipulatif dalam Industri Penyamakan Kulit di Magetan Jawa Timur” dalam Ahimsa-Putra (251-385). Kepel, Yogyakarta.

Subekti, Mohamad Agus, 2007. Pengaruh Upah, Nilai Produksi, Nilai Investasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Kecil Genteng di Kabupaten Banjarnegara. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

Suharto, Edi, 2006. Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam Pusaran Desentralisasi dan Good Governance, makalah yang disampaikan pada Semiloka Kompetensi Sumberdaya Manusia Kesejahteraan Sosial di Era Desentralisasi dan Good Governance, Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), Banjarmasin 21 Maret 2006.

Sugiyono, 2005. Metode Penelitian Bisnis. CV. Alfabeta, Bandung.

Sukirno, Sadono. 1996. Pengantar Teori Makro Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suryana. 2000. Ekonomi Pembangunan (Problematika dan Pendekatan). Salemba Empat, Jakarta.

Supomo, 2000. Model Gravitasi sebagai Alat Pengukur Hiterland dari Central Place: Satu Kajian Teoritik. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 15. Hal 414-423. UGM, Yogyakarta.


(6)

Sutanto, A. 1996. Keusahawanan dan Usaha Kecil di Pedesaan. Populasi 7 (2):79-80. Yogyakarta.

Suyatno, Prasetyo, 2000. Analisa Econimic Base terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Tingkat II Wonogiri: Menghadapi Implementasi UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 1. No. 2. Hal. 144-159. UMS, Surakarta.

Tangdilintin, Paulus. 1999. Pembangunan Sosial: Respon Dinamis dan Komprehensif Terhadap Situasi Krisis Suatu Catatan Bagi Sistem Ekonomi Kerakyatan. Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UI, Jakarta.

Tarigan, R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT Bumi Aksara, Jakarta. Timer, P. 2007. Poverty in Asia and the Transition to High-Priced Food Staples. A

Policy Brief from High-level Policy forum, Agricultural and Rural Development for Reducing Poverty and Hunger in Asia: In Pursuit of Inclusive and Sustainable Growth, Organized by the International Food Policy Research Institute and the Asian Development Bank, Manila, August 2007. Thahar, Nasrul. 2001. Mengendalikan Eceng Gondok Danau Kerinci. Harian

Kompas, 28 Maret.

Triyatna, Stefanus Osa. 2007. Ngadiman Berbagi Ilmu Eceng Gondok. Harian Kompas, 15 Januari.

Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran. Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.