Lage Hambian (Studi Etnografi Mengenai Fungsi dan Kegunaan Tikar Adat Batak Angkola di Kota Medan)
BAB II
LETAK DAN LOKASI PENELITIAN
2.1 Kota Medan
Letak dan lokasi penelitian ini terletak di Kota Medan, yang merupakan
ibukota propinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian di Kota Medan
didasarkan pemahaman bahwa Kota Medan merupakan tempat berkumpul
beberapa masyarakat dari beragam latar belakang etnis yang menjadi komposisi
masyarakat Kota Medan.
Pemahaman lain yang mendasarkan lokasi penelitian adalah Kota Medan
dikarenakan terdapat etnis Batak-Angkola yang menjadi bagian dari komposisi
penduduk Kota Medan yang turut membawa pemahaman kebudayaan mereka
dalam kehidupan yang multi-etnis di Kota Medan.
Hubungan antara etnis dalam kehidupan di Kota Medan menyebabkan
suatu kondisi kompleksitas kehidupan, sebagaimana juga dialami oleh masyarakat
Batak-Angkola di Kota Medan beserta dengan pemahaman dan nilai budaya
mereka.
2.1.1 Sejarah Kota Medan
Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses
perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan
berkembangnya daerah yang dinamakan “Medan”, bermula dari wilayah kecil dan
dijadikan pusat perkebunan tembakau menuju pada bentuk kota metropolitan.
47
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang
panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri oleh Guru Patimpus.
dalam bahasa Karo, kata "Guru" berarti "Tabib" ataupun "Orang Pintar",
kemudian kata "Pa" merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat
atau keadaan seseorang, sedangkan kata "Timpus" berarti bungkusan, atau balutan
pembungkus. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai
seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang
diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat
dilihat pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan di sekitar Balai Kota
Medan, tepatnya di Jalan Kapten Maulana Lubis persimpangan Jalan Letjen. S.
Parman (http://id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 27-Agustus-2013).
Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisikannya
menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan
Sungai
Deli
dan
Babura,
serta
adanya
kebijakan
Sultan
Deli
yang
mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah
mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (eksporimpor) sejak masa lalu.
Pada perkembangan lanjutan, cikal-bakal Kota Medan ditentukan oleh
pemberian konsesi tanah oleh Sultan Mahmud kepada Nienhuys yang turut
menyeret pengakuan atas hak tanah-tanah rakyat yang termasuk dalam konsesi
tanah tersebut (Said, 1977:36-37). Konsesi tanah tersebut yang meliputi Kampung
Baru dan Deli menjadi lahan bagi tanaman tembakau dan pala pada masa itu,
menurut Said (1977:37-38) pada tahun 1870 kegiatan perkebunan atas konsesi
48
Universitas Sumatera Utara
tanah tersebut atau disebut juga perkebunan Deli Mij telah menjadi luas. Nienhuys
yang menjadi pelopor atas konsesi tanah Sultan Mahmud kembali ke Belanda dan
untuk kemudian digantikan posisinya oleh J.T. Cremer, usaha perkebunan yang
semakin pesat ditunjukkan dengan dibukanya kebun-kebun baru dengan beragam
nama, dan hal ini berdampak pada pembangunan kantor perkebunan Deli Mij di
Medan Putri, suatu wilayah yang berada di pertemuan dua sungai, yaitu sungai
Deli dan sungai Babura. Kelak wilayah yang menjadi pertemuan kedua sungai
tersebut menjadi asal penamaan Kota Medan.
Keberadaan Kota Medan tidak lepas dari peranan para pendatang asing
yang datang ke Medan sebagai pedagang maupun lainnya, peranan Nienhuys
sebagai pemilik modal perkebunan tembakau telah menjadi cikal-bakal
pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau
telah memindahkan pusat perdagangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang
pada saat sekarang ini dikenal dengan kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini
telah dapat menciptakan perkembangan cikal-bakal Kota Medan seperti sekarang
ini, sedang dijadikannya Medan menjadi ibukota dari Deli juga telah mendorong
Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, disamping
merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus ibukota Sumatera Utara.
2.1.2 Gambaran Umum Kota Medan
Medan sebagai ibukota propinsi Sumatera Utara secara umum dapat
dilihat sebagai kota kelima terbesar di Indonesia dan kota terbesar di Pulau
Sumatera. Perkembangan Kota Medan mengalami pasang surut, pada masa
sebelum munculnya perkebunan di Sumatera Utara, Kota Medan berada dibawah
49
Universitas Sumatera Utara
Padang. Namun sejak munculnya industri perkebunan di Sumatera Utara atau
tepatnya Sumatera Timur, pertumbuhan Kota Medan mengalami peningkatan
yang cukup drastis.
Kota Medan muncul sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi
pemerintahan, politik dan kebudayaan. Kota Medan sebagai pusat kegiatan
ekonomi perkebunan menjadi daya tarik yang luar biasa bagi kaum pendatang
untuk mengadu nasib. Akibatnya berbagai macam kelompok etnik, diantaranya
adalah : Karo, Toba, Mandailing, Minangkabau, Aceh, Cina, Jawa, India dan lain
lain menjadi penghuni kota medan bersama dengan etnik asli yakni Melayu
(Suprayitno : 2005).
Komposisi masyarakat Kota Medan yang heterogen terbagi-bagi atas
beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut
merupakan daerah awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di Kota
Medan. Perbedaan lokasi tersebut bukan merupakan gambaran penduduk yang
terpecah-belah melainkan sebagai wujud persatuan etnisitas yang dimiliki setiap
masyarakat di Kota Medan.
Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Propinsi Sumatera
Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis
secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu kota
memiliki berbagai kelebihan yang dapat dilihat dari berbagai aspek.
Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab
berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat
dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia,
50
Universitas Sumatera Utara
Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan
diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak
terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010
diperkirakan telah mencapai 2.109.339 jiwa (BPS:2010).
Luas kota Medan mecapai 26.510 hektar (265,10 Km2 ) atau 3.6% dari
keseluruhan wilayah sumatera utara (BPS:2010). Dengan demikian, dibandingkan
dengan kota /kabupaten lainnya, Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif
kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar.
Geografi Kota Medan terletak pada 3o 30’ – 3o 43’ lintang utara dan 98o
35’- 98o 44’ bujur timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke
utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 37.5 meter di atas permukaan laut
(BPS:2010)
Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi
Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951,
Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951,
yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan
dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul
keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21
September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat.
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan
kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11
Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama
maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD,
51
Universitas Sumatera Utara
tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144
Kelurahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH
Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996
tentang pendefinitifan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992
tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II
Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21
Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan
administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan
sosial ekonomis.
2.1.3 Data Kependudukan Kecamatan Medan Tembung
Lokasi penelitian yang terletak di Kecamatan Medan Tembung yang
merupakan salah satu daerah kecamatan yang terdapat didalam pemerintahan Kota
Medan (Pemko Medan), adapun Kecamatan Medan Tembung berbatasan langsung
dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara dan Timur sedangkan batas di
wilayah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Denai dan batas wilayah
Barat yang berbatasan dengan Kecamatan Medan Perjuangan.
Tabel 1
Batas Wilayah Kecamatan Medan Tembung
Wilayah
Batas
Utara
Kabupaten Deli Serdag
Timur
Kabupaten Deli Serdang
52
Universitas Sumatera Utara
Selatan
Kecamatan Medan Denai
Barat
Kecamatan Medan Perjuangan
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Kecamatan Medan Tembung merupakan salah satu kecamatan di Kota
Medan yang memiliki luas wilayah sekitar 7,78 Km2, Kecamatan Medan
Tembung memiliki tujuh kelurahan
Tabel 2
Wilayah Kelurahan di Kecamatan Medan Tembung
Kelurahan
Indra Kasih
Sidorejo Hilir
Sidorejo
Bantan Timur
Bandar Selamat
Bantan
Tembung
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Adapun data kependudukan masyarakat Kecamatan Medan Tembung
berdasarkan data dari setiap kelurahan, adalah :
Tabel 3
53
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah
Kelurahan
Jumlah Penduduk
Luas Wilayah (Km2)
(Jiwa)
Indra Kasih
21 904
1,49
Sidorejo Hilir
19 728
1.16
Sidorejo
21 601
1,19
Bantan Timur
20 494
0,89
Bandar Selamat
18 212
0,9
Bantan
29 075
1,51
Tembung
10 772
0,64
TOTAL
141 786
7,78
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Tabel 4
Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Medan Tembung
Kelurahan
Pegawai
Pegawai
Negeri Sipil
Swasta (Jiwa)
ABRI (Jiwa) Petani (Jiwa)
(Jiwa)
Indra Kasih
556
5 934
243
28
Sidorejo Hilir
438
5 192
69
32
54
Universitas Sumatera Utara
Sidorejo
892
3 027
106
17
Bantan Timur
294
5 234
52
0
Bandar
663
1 647
114
5
Bantan
482
1 846
98
6
Tembung
238
542
52
9
TOTAL
3 563
23 422
734
97
Selamat
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Tabel 5
Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Medan Tembung
(Lanjutan)
Kelurahan
Nelayan
Pedagang
Pensiunan
Lainnya
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
Indra Kasih
0
512
93
0
Sidorejo Hilir
1
567
158
0
Sidorejo
0
4 416
384
0
Bantan Timur
0
2 428
126
0
Bandar
0
784
158
0
Selamat
55
Universitas Sumatera Utara
Bantan
0
1 062
137
0
Tembung
1
1 158
103
0
TOTAL
2
10 927
1 159
0
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Tabel 6
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Per-Kecamatan Kota Medan
Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki dan
Perempuan
Medan Tuntungan 39.729
42.25
81.974
Medan Johor
60.912
62.557
123.469
Medan Amplas
58.320
59.456
117.776
Medan Denai
71.346
70.496
141.842
Medan Area
47.590
48.801
96.361
Medan Kota
35.258
37.603
72.861
Medan Maimun
19.402
20.517
39.919
Medan Polonia
25.897
26.655
52.552
Medan Baru
18.838
23.351
42.189
Medan Selayang
48.587
50.780
99.367
56
Universitas Sumatera Utara
Medan Sunggal
55.164
57.262
112.426
Medan Helvetia
70.880
73.598
114.478
Medan Petisah
29.590
32.572
62.162
Medan Barat
34.596
36.117
70.713
Medan Timur
52.438
55.970
108.408
Medan Perjuangan 45.171
48.791
93.962
Medan Tembung
65.760
69.003
134.763
Medan Deli
84.671
82.521
167.192
Medan Labuhan
56.795
54.696
111.491
Medan Marelan
70.903
68.917
139.820
Medan Belawan
48.833
46.751
95.584
Sumber : bps.go.id/ diakses pada tanggal 21 Desember 2013
Berdasarkan data kependudukan diatas, masyarakat yang tinggal di
kawasan Medan Tembung termasuk dalam kategorisasi daerah dengan jumlah
penduduk yang tinggi di Kota Medan. Daerah Medan Tembung menjanjikan lahan
yang luas dan pengembangan menuju tahapan lanjutan yang tidak dimiliki oleh
daerah lain di Kota Medan.
Berdasarkan nilai yang dimiliki oleh daerah Medan Tembung, hal ini
menyebabkan
tumbuhnya
daerah
tersebut
menjadi
daerah
alternatif
pengembangan dan juga menuju pada padatnya tingkat masyarakat yang penjadi
57
Universitas Sumatera Utara
penduduknya.
2.2 Penyebaran Masyarakat Batak-Angkola Ke Kota Medan
Masyarakat Batak-Angkola berasal dari wilayah Tapanuli Bagian Selatan,
berada di antara Rao (Sumatera Barat) dan Pahae (Tapanuli Utara), Samudera
Hindia, dan Rokan Hulu (Riau), yang kemudian menyebar ke berbagai kota di
Indonesia dan Malaysia. Etnik Batak-Angkola berdiam di wilayah yang dialiri dua
sungai besar dan bertemu di Muara Batang Gadis menuju Samudera Hindia.
Kedua sungai itu adalah Sungai (Batang) Gadis dan Gunung Kulabu.
Budaya etnis Batak-Angkola memadukan tradisi dan agama Islam yang
biasa disebut dengan istilah Hombar do Adat dohot Ugamo yang artinya segala
aktivitas budaya mereka berlandaskan nilai-nilai keislaman.
Sebenarnya migrasi kelompok etnik Batak-Angkola ke Kota Medan sudah
berlangsung lama, tetapi tidak dapat diketahui secara tepat tahun kedatangan
mereka ke Medan. Penyebaran kelompok etnik Batak-Angkola berdasarkan data
yang diperoleh dari berbagai literature pada masa awal kemerdekaan sudah
terlihat penyebaran berbagai variasi. Seperti yang diungkapkan Bruner dalam
Pelly (1998:13) bahwa setelah kemerdekaan pada tahun 1950 dimana kekuasaan
Kesultanan Melayu sudah terkikis habis. Kota Medan telah didiami oleh lebih dari
selusin kelompok etnik perantau yang tidak memiliki suatu kekuatan dominan dan
bukan merupakan mayoritas yang unggul.
Migrasi berbagai kelompok etnik ke Kota Medan sangat terkait dengan
dibuka dan berkembangnya perkebunan-perkebunan di wilayah Sumatera Timur.
58
Universitas Sumatera Utara
Berkembangnya Kota Medan pada waktu itu sebagai Ibu Kota Keresidenan
Sumatera Timur telah menyebabkan terpilih menjadi salah satu wilayah
perkebunan besar yang mengakibatkan dibutuhkannya tenaga kerja untuk
perusahaan perkebunan dan ditinjau dari berbagai aspek termasuk demografis,
daya dukung lokal amat tidak memadai.
Didatangkannya orang-orang dari Jawa bukan satu-satunya fenomena
yang muncul setelah pembukaan perusahaan perkebunan. Orang yang disebut
Timur asing lainnya juga berdatangan, terutama Cina, Arab, dan India. Sesama
pribumi terdapat perkayaan kemajemukan dengan datangnya orang-orang dari
arah selatan seperti Mandailing, Angkola, Minang, dan juga Batak Toba. Gejala
ini semakin menambah besarnya minat para migrant untuk datag ke Kota Medan.
Di Kota Medan para migran biasanya tinggal dan hidup berkelompok
dengan kelompok etniknya masing-masing. Karena hampir sebagian besar mereka
dating dengan menggunakan jalur keluarga atau kenalan sekampung. Hal ini
terlihat dari pola pemukiman penduduk yang ada di Kota Medan yang cenderung
mengelompok berdasarkan etnik. Misalnya kelompok etnik Minangkabau
cenderung mendiami kawasan Sukaramai, Karo berdiam di wilayah Padang
Bulan, Batak di kawasan Pasar Merah, dan Mandailing di sekitar kawasan Jalan
Serdang.
Umumnya orang-orang di daerah penelitian yang tinggal dalam satu
Kelurahan saling mengenal satu sama lain. Pengenalan itu tidak hanya sebatas
nama dan alamat rumah, melainkan jauh lebih dalam sampai pada watak dan sifat
pribadi seseorang. Hal ini, karena di samping di antara mereka masih banyak
59
Universitas Sumatera Utara
keluarga dekat, memang orang-orang di desa ini masih memiliki tradisi yang kuat
untuk mengenali orang lain secara lebih mendalam. Jadi, kebiasaan saling
menyapa dan sering bercerita antara satu sama lain membuat pengenalan mereka
tidak sebatas aspek formalnya saja.
Tradisi yang saling menghubungkan diantara meraka adalah suatu kegiatan
adat istiadat. Tradisi itu dilaksanakan ketika pelaksanaan horja (kerja)
berlangsung. Pada saat horja berlangsung biasanya melibatkan beberapa kesatuan
sosial yang ada di kawasan Kota Medan. Acara-acara adat atau horja juga sebagai
wadah memberikan sosialisasi yang bertujuan membentuk suatu pola tindakan
pada seorang anak Angkola. Biasanya kalau di kampung asalnya diselenggarakan
suatu pesta perkawinan, maka menjadi kesempatan bagi anak untuk belajar
manortor, markobar (menyampaikan kata) di depan para kerabatnya yang
merupakan sebuah sistem dalihan natolu. Pada saat horja anak-anak mulai belajar
untuk mengerti prosesi adat di Angkola, pertuturan (urutan kekeluargaan), adat
istiadat, dan bahasa.
2.3 Mata Pencaharian Masyarakat Batak Angkola
Dalam tulisannya Pelly (1998:297) menunjukkan bahwa pemilihan
perkerjaan-pekerjaan yang dipilih oleh kelompok Mandailing, Sipirok dan
Angkola menunjukkan adanya suatu pola yaitu kecenderungan untuk memilih
jenis pekerjaan sebagai pegawai negeri. Menurut Pelly (1998) hal ini disebabkan
oleh sosialisasi yang dihadapi dalam lingungan yang bersifat aritrokatis yaitu
dalam sistem kehidupannya mereka menganut sistem pemerintahan tradisional
60
Universitas Sumatera Utara
dan hukum adat yang disebut kuria. Pilihan atas pekerjaan lebih mengarah pada
suatu sistem kekuasaan formal dan otoritas. Prefensi dibidang pekerjaannya
meliputi pegawai negeri/swasta, polisi atau bahkan pejabat militer.
2.4 Sistem Kekerabatan Batak Angkola
Garis
keturunan
pada
kelompok
etnik
Batak-Angkola
dihitung
berdasarkan garis petrilineal. Artinya anak yang lahir termasuk ke dalam keluarga
besar ayahnya dan bukan keluarga ibunya. Oleh sebab itu, si anak akan
memperoleh marga dari ayahnya yang marga-marga yang secara umum terdapat
di kawasan Tapanuli Selatan khususnya marga dari kelompok budaya BatakAngkola. Marga-marga yang terdapat dalam kelompok etnik Batak-Angkola
diantaranya: Siregar, Harahap, Pohan, Hasibuan, Hutasuhut, Daulay, Rambe,
Pane, dan Sagala. Masing-masing marga mempunyai peranan, kedudukan, dan
fungsi dalam sistem pengaturan bermasyarakat dan berbudaya di daerah itu.
Dalam hubungan kesatuan sosial etnik Batak-Angkola yang terkecil adalah
kelompok keluarga batih. Keluarga batih yaitu keluarga kecil yang terdiri dari
ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Setelah anak-anaknya tersebut
menikah maka anak ini akan membentuk embali keluarga batih tersebut.
Ayah dan ibu memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan
nilai-nilai budaya Batak-Angkola karena dalam masyarakat Batak-Angkola diikat
oleh dalihan na tolu (kahanngi, ank boru, dan mora), juga menerapkan sistem
gotong royong dalam kehidupannya untuk memperoleh satu kekuatan yang dapat
menciptakan suasana yang kondusif dengan motto atau semboyan hidup yang
61
Universitas Sumatera Utara
selalu diterapkan oleh ayah dan ibu kepada anak-anaknya yaitu manat-manat
markahanggi (berhati-hati terhadap satu marga yang terdekat), elek maranak boru
(pandai-pandai mengambil hati dari pihak menantu laki-laki), hormat marmora
(hormat kepada besan dari pihak menantu perempuan)
Orang Batak-Angkola yang selama ini dianggap sebagai satu kelompok
dengan Mandailing mempunyai perangkat struktur sosial yang merupakan
susunan dari unsur-unsur yang pokok dalam masyarakat. Struktur sosial yang
terdapat dalam setiap masyarakat, khususnya orang Batak-Angkola merupakan
warisan dari nenek moyang.
Struktur sosial dalam kelompok etnik Batak-Angkola memperlihatkan
suatu tatanan kekerabatan sesama anggota masyarakat, baik yang termasuk
golongan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga (klan), serta orang yang
berbeda marga. Struktur sosial ini dapat dilihat dari sistem keerabatan yang
dijalankan pada saat upacara adat berlangsung. Struktur sosial pada kelompok
etnik Angkola tersusun berdasarkan komposisi yaitu:
1. Mora, yaitu pihak keluarga boru. mora ini mendapat posisi
didahulukan, karena pihak mora dalam hubungan kekeluargaan
memiliki posisi yang sangat dihormati, di samping raja-raja
maupun pemangku adat.
2. Kahanggi, yaitu golongan yang merupakan teman semarga atau
teman serumpun menurut golongan marga.
3. Anak Boru, yaitu pihak keluarga penerima boru (pangalehenan
boru).
62
Universitas Sumatera Utara
Dalihan na tolu dalam struktur sosial masyarakat secara etimologi berarti
tungku yang tiga. Tungku artinya tempat (landasan) menjerangkan periuk ke atas
api pada waktu memasak. Alat masak ini kemudian dijadikan sebagai lambing
identitas dalam sistem kekerabatan mereka. Dalam struktur ini yang menduduki
posisi yang di istimewaan adalah mora. Wujud dari pengistimewaan posisi mra
adalah dengan makna pemberian suatu restu yang memiliki nilai dan norma
budaya yang dimiliki oleh kelompok masyarakat Batak-Angkola.
Di dalam lingkungan keluarga batih, peran kedua orang tua sangat besar
terutama mengasuh seluruh anggota keluarga hingga dewasa. Selain mengasuh
secara alamiah kedua orang tua mensosialisasikan adat Angkola dengan
melibatkan anak-anak pada suatu acara seperti siluluton yaitu istilah untuk
menyebutkan acara duka cita. Dalam acara ini orang tua memerintahkan anak
untuk membantu kebutuhan yang berduka. Kemudian anak-anak juga dilibatkan
dalam acara siriaon yaitu acara suka cita, pada acara ini orang tua juga
memerintahkan anak untuk dapat berperan serta dalam membantu persiapan
pernikahan.
Kegiatan Siluluton
•
Terlibat dalam kegiatan mengundang atau disebut mandohoni
•
Membantu mempersiapkan acara siriaon, seperti membersihkan buah
nangka muda yang akan digulai, bersama-sama naposo nauli bulung
mencuci beras ke sungai yang akan dimasak dan dihidangkan pada saat
acara siriaon berlangsung.
•
Terlibat dalam kegiatan memotong dan membersihkan kambing atau
63
Universitas Sumatera Utara
kerbau sampai menggulainya.
•
Membantu menghias dan mengatur tempat siriaon.
•
Terlibat dalam penerimaan tamu.
•
Membantu mengangkat barang pengantin perempuan yang akan dibawa
ke tempat pengatin laki-laki.
•
Melakukan acara mangolat (menghentikan keberangkatan pengatin)
sampai pengantin laki-laki memberikan tebusan berupa uang yang
jumlahnya tidak ditentukan.
Kegiatan Siriaon
•
Terlibat dalam kegiatan memberitahukan kepada kaum kerabat baik
langsung maupun diumumkan melalui mesjid.
•
Membantu mempersiapkan tempat dan semua yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan siluluton (duka).
•
Membantu mempersiapkan acara pemakaman dan tempat kuburan.
•
Mengikuti acara tahlilan 3 malam dan membantu acara kenduri malam ketiga.
Dalam upacara siluluton dan siriaon yang dilaksanakan oleh anak-anak
Batak-Angkola bertujuan untuk memperkenalkan adat istiadat Batak-Angkola.
Dengan melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan seperti ini secara otomatis
mereka berhubungan lansung dengan budayanya, selain itu juga dapat
memposisikan diri sesuai dengan peran dan tugannya masing-masing. Hal ini
dapat terlihat dari struktur dalam kegiatan tersebut yang menempatkan anak
Batak-Angkola dalam struktur kekerabatan naposo nauli bulung. Sedangkan
64
Universitas Sumatera Utara
ketika di Medan, meskipun anak-anak Batak-Angkola dilibatkan dalam kegiatan
upacara adat ini, namun mereka tidak termasuk dalam struktur kekerabatan
naposo nauli bulung.
65
Universitas Sumatera Utara
LETAK DAN LOKASI PENELITIAN
2.1 Kota Medan
Letak dan lokasi penelitian ini terletak di Kota Medan, yang merupakan
ibukota propinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian di Kota Medan
didasarkan pemahaman bahwa Kota Medan merupakan tempat berkumpul
beberapa masyarakat dari beragam latar belakang etnis yang menjadi komposisi
masyarakat Kota Medan.
Pemahaman lain yang mendasarkan lokasi penelitian adalah Kota Medan
dikarenakan terdapat etnis Batak-Angkola yang menjadi bagian dari komposisi
penduduk Kota Medan yang turut membawa pemahaman kebudayaan mereka
dalam kehidupan yang multi-etnis di Kota Medan.
Hubungan antara etnis dalam kehidupan di Kota Medan menyebabkan
suatu kondisi kompleksitas kehidupan, sebagaimana juga dialami oleh masyarakat
Batak-Angkola di Kota Medan beserta dengan pemahaman dan nilai budaya
mereka.
2.1.1 Sejarah Kota Medan
Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses
perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan
berkembangnya daerah yang dinamakan “Medan”, bermula dari wilayah kecil dan
dijadikan pusat perkebunan tembakau menuju pada bentuk kota metropolitan.
47
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang
panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri oleh Guru Patimpus.
dalam bahasa Karo, kata "Guru" berarti "Tabib" ataupun "Orang Pintar",
kemudian kata "Pa" merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat
atau keadaan seseorang, sedangkan kata "Timpus" berarti bungkusan, atau balutan
pembungkus. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai
seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang
diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat
dilihat pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan di sekitar Balai Kota
Medan, tepatnya di Jalan Kapten Maulana Lubis persimpangan Jalan Letjen. S.
Parman (http://id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 27-Agustus-2013).
Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisikannya
menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan
Sungai
Deli
dan
Babura,
serta
adanya
kebijakan
Sultan
Deli
yang
mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah
mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (eksporimpor) sejak masa lalu.
Pada perkembangan lanjutan, cikal-bakal Kota Medan ditentukan oleh
pemberian konsesi tanah oleh Sultan Mahmud kepada Nienhuys yang turut
menyeret pengakuan atas hak tanah-tanah rakyat yang termasuk dalam konsesi
tanah tersebut (Said, 1977:36-37). Konsesi tanah tersebut yang meliputi Kampung
Baru dan Deli menjadi lahan bagi tanaman tembakau dan pala pada masa itu,
menurut Said (1977:37-38) pada tahun 1870 kegiatan perkebunan atas konsesi
48
Universitas Sumatera Utara
tanah tersebut atau disebut juga perkebunan Deli Mij telah menjadi luas. Nienhuys
yang menjadi pelopor atas konsesi tanah Sultan Mahmud kembali ke Belanda dan
untuk kemudian digantikan posisinya oleh J.T. Cremer, usaha perkebunan yang
semakin pesat ditunjukkan dengan dibukanya kebun-kebun baru dengan beragam
nama, dan hal ini berdampak pada pembangunan kantor perkebunan Deli Mij di
Medan Putri, suatu wilayah yang berada di pertemuan dua sungai, yaitu sungai
Deli dan sungai Babura. Kelak wilayah yang menjadi pertemuan kedua sungai
tersebut menjadi asal penamaan Kota Medan.
Keberadaan Kota Medan tidak lepas dari peranan para pendatang asing
yang datang ke Medan sebagai pedagang maupun lainnya, peranan Nienhuys
sebagai pemilik modal perkebunan tembakau telah menjadi cikal-bakal
pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau
telah memindahkan pusat perdagangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang
pada saat sekarang ini dikenal dengan kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini
telah dapat menciptakan perkembangan cikal-bakal Kota Medan seperti sekarang
ini, sedang dijadikannya Medan menjadi ibukota dari Deli juga telah mendorong
Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, disamping
merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus ibukota Sumatera Utara.
2.1.2 Gambaran Umum Kota Medan
Medan sebagai ibukota propinsi Sumatera Utara secara umum dapat
dilihat sebagai kota kelima terbesar di Indonesia dan kota terbesar di Pulau
Sumatera. Perkembangan Kota Medan mengalami pasang surut, pada masa
sebelum munculnya perkebunan di Sumatera Utara, Kota Medan berada dibawah
49
Universitas Sumatera Utara
Padang. Namun sejak munculnya industri perkebunan di Sumatera Utara atau
tepatnya Sumatera Timur, pertumbuhan Kota Medan mengalami peningkatan
yang cukup drastis.
Kota Medan muncul sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi
pemerintahan, politik dan kebudayaan. Kota Medan sebagai pusat kegiatan
ekonomi perkebunan menjadi daya tarik yang luar biasa bagi kaum pendatang
untuk mengadu nasib. Akibatnya berbagai macam kelompok etnik, diantaranya
adalah : Karo, Toba, Mandailing, Minangkabau, Aceh, Cina, Jawa, India dan lain
lain menjadi penghuni kota medan bersama dengan etnik asli yakni Melayu
(Suprayitno : 2005).
Komposisi masyarakat Kota Medan yang heterogen terbagi-bagi atas
beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut
merupakan daerah awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di Kota
Medan. Perbedaan lokasi tersebut bukan merupakan gambaran penduduk yang
terpecah-belah melainkan sebagai wujud persatuan etnisitas yang dimiliki setiap
masyarakat di Kota Medan.
Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Propinsi Sumatera
Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis
secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu kota
memiliki berbagai kelebihan yang dapat dilihat dari berbagai aspek.
Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab
berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat
dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia,
50
Universitas Sumatera Utara
Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan
diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak
terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010
diperkirakan telah mencapai 2.109.339 jiwa (BPS:2010).
Luas kota Medan mecapai 26.510 hektar (265,10 Km2 ) atau 3.6% dari
keseluruhan wilayah sumatera utara (BPS:2010). Dengan demikian, dibandingkan
dengan kota /kabupaten lainnya, Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif
kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar.
Geografi Kota Medan terletak pada 3o 30’ – 3o 43’ lintang utara dan 98o
35’- 98o 44’ bujur timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke
utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 37.5 meter di atas permukaan laut
(BPS:2010)
Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi
Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951,
Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951,
yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan
dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul
keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21
September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat.
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan
kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11
Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama
maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD,
51
Universitas Sumatera Utara
tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144
Kelurahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH
Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996
tentang pendefinitifan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992
tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II
Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21
Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan
administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan
sosial ekonomis.
2.1.3 Data Kependudukan Kecamatan Medan Tembung
Lokasi penelitian yang terletak di Kecamatan Medan Tembung yang
merupakan salah satu daerah kecamatan yang terdapat didalam pemerintahan Kota
Medan (Pemko Medan), adapun Kecamatan Medan Tembung berbatasan langsung
dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara dan Timur sedangkan batas di
wilayah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Denai dan batas wilayah
Barat yang berbatasan dengan Kecamatan Medan Perjuangan.
Tabel 1
Batas Wilayah Kecamatan Medan Tembung
Wilayah
Batas
Utara
Kabupaten Deli Serdag
Timur
Kabupaten Deli Serdang
52
Universitas Sumatera Utara
Selatan
Kecamatan Medan Denai
Barat
Kecamatan Medan Perjuangan
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Kecamatan Medan Tembung merupakan salah satu kecamatan di Kota
Medan yang memiliki luas wilayah sekitar 7,78 Km2, Kecamatan Medan
Tembung memiliki tujuh kelurahan
Tabel 2
Wilayah Kelurahan di Kecamatan Medan Tembung
Kelurahan
Indra Kasih
Sidorejo Hilir
Sidorejo
Bantan Timur
Bandar Selamat
Bantan
Tembung
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Adapun data kependudukan masyarakat Kecamatan Medan Tembung
berdasarkan data dari setiap kelurahan, adalah :
Tabel 3
53
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah
Kelurahan
Jumlah Penduduk
Luas Wilayah (Km2)
(Jiwa)
Indra Kasih
21 904
1,49
Sidorejo Hilir
19 728
1.16
Sidorejo
21 601
1,19
Bantan Timur
20 494
0,89
Bandar Selamat
18 212
0,9
Bantan
29 075
1,51
Tembung
10 772
0,64
TOTAL
141 786
7,78
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Tabel 4
Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Medan Tembung
Kelurahan
Pegawai
Pegawai
Negeri Sipil
Swasta (Jiwa)
ABRI (Jiwa) Petani (Jiwa)
(Jiwa)
Indra Kasih
556
5 934
243
28
Sidorejo Hilir
438
5 192
69
32
54
Universitas Sumatera Utara
Sidorejo
892
3 027
106
17
Bantan Timur
294
5 234
52
0
Bandar
663
1 647
114
5
Bantan
482
1 846
98
6
Tembung
238
542
52
9
TOTAL
3 563
23 422
734
97
Selamat
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Tabel 5
Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Medan Tembung
(Lanjutan)
Kelurahan
Nelayan
Pedagang
Pensiunan
Lainnya
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
Indra Kasih
0
512
93
0
Sidorejo Hilir
1
567
158
0
Sidorejo
0
4 416
384
0
Bantan Timur
0
2 428
126
0
Bandar
0
784
158
0
Selamat
55
Universitas Sumatera Utara
Bantan
0
1 062
137
0
Tembung
1
1 158
103
0
TOTAL
2
10 927
1 159
0
Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)
Tabel 6
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Per-Kecamatan Kota Medan
Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki dan
Perempuan
Medan Tuntungan 39.729
42.25
81.974
Medan Johor
60.912
62.557
123.469
Medan Amplas
58.320
59.456
117.776
Medan Denai
71.346
70.496
141.842
Medan Area
47.590
48.801
96.361
Medan Kota
35.258
37.603
72.861
Medan Maimun
19.402
20.517
39.919
Medan Polonia
25.897
26.655
52.552
Medan Baru
18.838
23.351
42.189
Medan Selayang
48.587
50.780
99.367
56
Universitas Sumatera Utara
Medan Sunggal
55.164
57.262
112.426
Medan Helvetia
70.880
73.598
114.478
Medan Petisah
29.590
32.572
62.162
Medan Barat
34.596
36.117
70.713
Medan Timur
52.438
55.970
108.408
Medan Perjuangan 45.171
48.791
93.962
Medan Tembung
65.760
69.003
134.763
Medan Deli
84.671
82.521
167.192
Medan Labuhan
56.795
54.696
111.491
Medan Marelan
70.903
68.917
139.820
Medan Belawan
48.833
46.751
95.584
Sumber : bps.go.id/ diakses pada tanggal 21 Desember 2013
Berdasarkan data kependudukan diatas, masyarakat yang tinggal di
kawasan Medan Tembung termasuk dalam kategorisasi daerah dengan jumlah
penduduk yang tinggi di Kota Medan. Daerah Medan Tembung menjanjikan lahan
yang luas dan pengembangan menuju tahapan lanjutan yang tidak dimiliki oleh
daerah lain di Kota Medan.
Berdasarkan nilai yang dimiliki oleh daerah Medan Tembung, hal ini
menyebabkan
tumbuhnya
daerah
tersebut
menjadi
daerah
alternatif
pengembangan dan juga menuju pada padatnya tingkat masyarakat yang penjadi
57
Universitas Sumatera Utara
penduduknya.
2.2 Penyebaran Masyarakat Batak-Angkola Ke Kota Medan
Masyarakat Batak-Angkola berasal dari wilayah Tapanuli Bagian Selatan,
berada di antara Rao (Sumatera Barat) dan Pahae (Tapanuli Utara), Samudera
Hindia, dan Rokan Hulu (Riau), yang kemudian menyebar ke berbagai kota di
Indonesia dan Malaysia. Etnik Batak-Angkola berdiam di wilayah yang dialiri dua
sungai besar dan bertemu di Muara Batang Gadis menuju Samudera Hindia.
Kedua sungai itu adalah Sungai (Batang) Gadis dan Gunung Kulabu.
Budaya etnis Batak-Angkola memadukan tradisi dan agama Islam yang
biasa disebut dengan istilah Hombar do Adat dohot Ugamo yang artinya segala
aktivitas budaya mereka berlandaskan nilai-nilai keislaman.
Sebenarnya migrasi kelompok etnik Batak-Angkola ke Kota Medan sudah
berlangsung lama, tetapi tidak dapat diketahui secara tepat tahun kedatangan
mereka ke Medan. Penyebaran kelompok etnik Batak-Angkola berdasarkan data
yang diperoleh dari berbagai literature pada masa awal kemerdekaan sudah
terlihat penyebaran berbagai variasi. Seperti yang diungkapkan Bruner dalam
Pelly (1998:13) bahwa setelah kemerdekaan pada tahun 1950 dimana kekuasaan
Kesultanan Melayu sudah terkikis habis. Kota Medan telah didiami oleh lebih dari
selusin kelompok etnik perantau yang tidak memiliki suatu kekuatan dominan dan
bukan merupakan mayoritas yang unggul.
Migrasi berbagai kelompok etnik ke Kota Medan sangat terkait dengan
dibuka dan berkembangnya perkebunan-perkebunan di wilayah Sumatera Timur.
58
Universitas Sumatera Utara
Berkembangnya Kota Medan pada waktu itu sebagai Ibu Kota Keresidenan
Sumatera Timur telah menyebabkan terpilih menjadi salah satu wilayah
perkebunan besar yang mengakibatkan dibutuhkannya tenaga kerja untuk
perusahaan perkebunan dan ditinjau dari berbagai aspek termasuk demografis,
daya dukung lokal amat tidak memadai.
Didatangkannya orang-orang dari Jawa bukan satu-satunya fenomena
yang muncul setelah pembukaan perusahaan perkebunan. Orang yang disebut
Timur asing lainnya juga berdatangan, terutama Cina, Arab, dan India. Sesama
pribumi terdapat perkayaan kemajemukan dengan datangnya orang-orang dari
arah selatan seperti Mandailing, Angkola, Minang, dan juga Batak Toba. Gejala
ini semakin menambah besarnya minat para migrant untuk datag ke Kota Medan.
Di Kota Medan para migran biasanya tinggal dan hidup berkelompok
dengan kelompok etniknya masing-masing. Karena hampir sebagian besar mereka
dating dengan menggunakan jalur keluarga atau kenalan sekampung. Hal ini
terlihat dari pola pemukiman penduduk yang ada di Kota Medan yang cenderung
mengelompok berdasarkan etnik. Misalnya kelompok etnik Minangkabau
cenderung mendiami kawasan Sukaramai, Karo berdiam di wilayah Padang
Bulan, Batak di kawasan Pasar Merah, dan Mandailing di sekitar kawasan Jalan
Serdang.
Umumnya orang-orang di daerah penelitian yang tinggal dalam satu
Kelurahan saling mengenal satu sama lain. Pengenalan itu tidak hanya sebatas
nama dan alamat rumah, melainkan jauh lebih dalam sampai pada watak dan sifat
pribadi seseorang. Hal ini, karena di samping di antara mereka masih banyak
59
Universitas Sumatera Utara
keluarga dekat, memang orang-orang di desa ini masih memiliki tradisi yang kuat
untuk mengenali orang lain secara lebih mendalam. Jadi, kebiasaan saling
menyapa dan sering bercerita antara satu sama lain membuat pengenalan mereka
tidak sebatas aspek formalnya saja.
Tradisi yang saling menghubungkan diantara meraka adalah suatu kegiatan
adat istiadat. Tradisi itu dilaksanakan ketika pelaksanaan horja (kerja)
berlangsung. Pada saat horja berlangsung biasanya melibatkan beberapa kesatuan
sosial yang ada di kawasan Kota Medan. Acara-acara adat atau horja juga sebagai
wadah memberikan sosialisasi yang bertujuan membentuk suatu pola tindakan
pada seorang anak Angkola. Biasanya kalau di kampung asalnya diselenggarakan
suatu pesta perkawinan, maka menjadi kesempatan bagi anak untuk belajar
manortor, markobar (menyampaikan kata) di depan para kerabatnya yang
merupakan sebuah sistem dalihan natolu. Pada saat horja anak-anak mulai belajar
untuk mengerti prosesi adat di Angkola, pertuturan (urutan kekeluargaan), adat
istiadat, dan bahasa.
2.3 Mata Pencaharian Masyarakat Batak Angkola
Dalam tulisannya Pelly (1998:297) menunjukkan bahwa pemilihan
perkerjaan-pekerjaan yang dipilih oleh kelompok Mandailing, Sipirok dan
Angkola menunjukkan adanya suatu pola yaitu kecenderungan untuk memilih
jenis pekerjaan sebagai pegawai negeri. Menurut Pelly (1998) hal ini disebabkan
oleh sosialisasi yang dihadapi dalam lingungan yang bersifat aritrokatis yaitu
dalam sistem kehidupannya mereka menganut sistem pemerintahan tradisional
60
Universitas Sumatera Utara
dan hukum adat yang disebut kuria. Pilihan atas pekerjaan lebih mengarah pada
suatu sistem kekuasaan formal dan otoritas. Prefensi dibidang pekerjaannya
meliputi pegawai negeri/swasta, polisi atau bahkan pejabat militer.
2.4 Sistem Kekerabatan Batak Angkola
Garis
keturunan
pada
kelompok
etnik
Batak-Angkola
dihitung
berdasarkan garis petrilineal. Artinya anak yang lahir termasuk ke dalam keluarga
besar ayahnya dan bukan keluarga ibunya. Oleh sebab itu, si anak akan
memperoleh marga dari ayahnya yang marga-marga yang secara umum terdapat
di kawasan Tapanuli Selatan khususnya marga dari kelompok budaya BatakAngkola. Marga-marga yang terdapat dalam kelompok etnik Batak-Angkola
diantaranya: Siregar, Harahap, Pohan, Hasibuan, Hutasuhut, Daulay, Rambe,
Pane, dan Sagala. Masing-masing marga mempunyai peranan, kedudukan, dan
fungsi dalam sistem pengaturan bermasyarakat dan berbudaya di daerah itu.
Dalam hubungan kesatuan sosial etnik Batak-Angkola yang terkecil adalah
kelompok keluarga batih. Keluarga batih yaitu keluarga kecil yang terdiri dari
ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Setelah anak-anaknya tersebut
menikah maka anak ini akan membentuk embali keluarga batih tersebut.
Ayah dan ibu memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan
nilai-nilai budaya Batak-Angkola karena dalam masyarakat Batak-Angkola diikat
oleh dalihan na tolu (kahanngi, ank boru, dan mora), juga menerapkan sistem
gotong royong dalam kehidupannya untuk memperoleh satu kekuatan yang dapat
menciptakan suasana yang kondusif dengan motto atau semboyan hidup yang
61
Universitas Sumatera Utara
selalu diterapkan oleh ayah dan ibu kepada anak-anaknya yaitu manat-manat
markahanggi (berhati-hati terhadap satu marga yang terdekat), elek maranak boru
(pandai-pandai mengambil hati dari pihak menantu laki-laki), hormat marmora
(hormat kepada besan dari pihak menantu perempuan)
Orang Batak-Angkola yang selama ini dianggap sebagai satu kelompok
dengan Mandailing mempunyai perangkat struktur sosial yang merupakan
susunan dari unsur-unsur yang pokok dalam masyarakat. Struktur sosial yang
terdapat dalam setiap masyarakat, khususnya orang Batak-Angkola merupakan
warisan dari nenek moyang.
Struktur sosial dalam kelompok etnik Batak-Angkola memperlihatkan
suatu tatanan kekerabatan sesama anggota masyarakat, baik yang termasuk
golongan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga (klan), serta orang yang
berbeda marga. Struktur sosial ini dapat dilihat dari sistem keerabatan yang
dijalankan pada saat upacara adat berlangsung. Struktur sosial pada kelompok
etnik Angkola tersusun berdasarkan komposisi yaitu:
1. Mora, yaitu pihak keluarga boru. mora ini mendapat posisi
didahulukan, karena pihak mora dalam hubungan kekeluargaan
memiliki posisi yang sangat dihormati, di samping raja-raja
maupun pemangku adat.
2. Kahanggi, yaitu golongan yang merupakan teman semarga atau
teman serumpun menurut golongan marga.
3. Anak Boru, yaitu pihak keluarga penerima boru (pangalehenan
boru).
62
Universitas Sumatera Utara
Dalihan na tolu dalam struktur sosial masyarakat secara etimologi berarti
tungku yang tiga. Tungku artinya tempat (landasan) menjerangkan periuk ke atas
api pada waktu memasak. Alat masak ini kemudian dijadikan sebagai lambing
identitas dalam sistem kekerabatan mereka. Dalam struktur ini yang menduduki
posisi yang di istimewaan adalah mora. Wujud dari pengistimewaan posisi mra
adalah dengan makna pemberian suatu restu yang memiliki nilai dan norma
budaya yang dimiliki oleh kelompok masyarakat Batak-Angkola.
Di dalam lingkungan keluarga batih, peran kedua orang tua sangat besar
terutama mengasuh seluruh anggota keluarga hingga dewasa. Selain mengasuh
secara alamiah kedua orang tua mensosialisasikan adat Angkola dengan
melibatkan anak-anak pada suatu acara seperti siluluton yaitu istilah untuk
menyebutkan acara duka cita. Dalam acara ini orang tua memerintahkan anak
untuk membantu kebutuhan yang berduka. Kemudian anak-anak juga dilibatkan
dalam acara siriaon yaitu acara suka cita, pada acara ini orang tua juga
memerintahkan anak untuk dapat berperan serta dalam membantu persiapan
pernikahan.
Kegiatan Siluluton
•
Terlibat dalam kegiatan mengundang atau disebut mandohoni
•
Membantu mempersiapkan acara siriaon, seperti membersihkan buah
nangka muda yang akan digulai, bersama-sama naposo nauli bulung
mencuci beras ke sungai yang akan dimasak dan dihidangkan pada saat
acara siriaon berlangsung.
•
Terlibat dalam kegiatan memotong dan membersihkan kambing atau
63
Universitas Sumatera Utara
kerbau sampai menggulainya.
•
Membantu menghias dan mengatur tempat siriaon.
•
Terlibat dalam penerimaan tamu.
•
Membantu mengangkat barang pengantin perempuan yang akan dibawa
ke tempat pengatin laki-laki.
•
Melakukan acara mangolat (menghentikan keberangkatan pengatin)
sampai pengantin laki-laki memberikan tebusan berupa uang yang
jumlahnya tidak ditentukan.
Kegiatan Siriaon
•
Terlibat dalam kegiatan memberitahukan kepada kaum kerabat baik
langsung maupun diumumkan melalui mesjid.
•
Membantu mempersiapkan tempat dan semua yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan siluluton (duka).
•
Membantu mempersiapkan acara pemakaman dan tempat kuburan.
•
Mengikuti acara tahlilan 3 malam dan membantu acara kenduri malam ketiga.
Dalam upacara siluluton dan siriaon yang dilaksanakan oleh anak-anak
Batak-Angkola bertujuan untuk memperkenalkan adat istiadat Batak-Angkola.
Dengan melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan seperti ini secara otomatis
mereka berhubungan lansung dengan budayanya, selain itu juga dapat
memposisikan diri sesuai dengan peran dan tugannya masing-masing. Hal ini
dapat terlihat dari struktur dalam kegiatan tersebut yang menempatkan anak
Batak-Angkola dalam struktur kekerabatan naposo nauli bulung. Sedangkan
64
Universitas Sumatera Utara
ketika di Medan, meskipun anak-anak Batak-Angkola dilibatkan dalam kegiatan
upacara adat ini, namun mereka tidak termasuk dalam struktur kekerabatan
naposo nauli bulung.
65
Universitas Sumatera Utara