Lage Hambian (Studi Etnografi Mengenai Fungsi dan Kegunaan Tikar Adat Batak Angkola di Kota Medan)

(1)

Lampiran

1. Nama : Abdul Halim Hasibuan

Daftar Nama Informan

Gelar : Tongku Dollar Paya-Paya Somarsik Umur : 43 Tahun

2. Nama : H. Persatuan Harahap Gelar : Tongku Raja Adat Umur : 62 Tahun

3. Nama : Irma Umur : 44 Tahun

4. Nama : Mukhlis Umur : 63 Tahun

5. Nama : Uswatun Daulay Umur : 32 Tahun

6. Nama : Bangsawan Siregar Umur : 51 Tahun

7. Nama : Hotman Harahap Gelar : Sutan Maujalo


(2)

Umur : 51 Tahun

8. Nama : Nurhanifah Dalimunthe Umur : 48 Tahun

9. Nama : Saiful Bahri Siregar Umur : 47 Tahun

10. Nama : Sontang Muda Harahap Umur : 65 tahun

11. Nama : Alwi Siregar Umur : 52 Tahun


(3)

Daftar Pustaka

Atmojo, Wahyu Tri. 2011. Barong dan Garuda; dari sakral ke profan. Yogyakarta. Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Bahrum, Shaifuddin dan Dalif Anwar. 2009 Tenunan Tradisional Sutra Mandar di Sulawesi Barat. Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Burger, Peter. 1984. Theory of Avant Garde. Trans. Michael Shaw. Minneapolis University of Minnesota Press.

Danandjaja, James P. 1994. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain lain. Jakarta: Rajawali Press.

Emerson, Fretz, dan Linda L Shaw. 1995. Writing Ethnography Fieldnotes. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Inc.

Geertz, Clifford. 1983. Local Knowledge; Further Essay in Interpretive Anthropology. New York: Basic Books Inc.

Goodenough, Ward E. 1970. Description and Comparison in Cultural Anthropology. Cambridge University Press.

Hodges, William Robert Jr. 2009. Ganti Andung, Gabe Ende (Replacing Laments, Becoming Hymns): The Changing Voice of Grief in the Pre-funeral Wakes of Protestant Toba Batak (North Sumatra, Indonesia). Santa Barbara: Disertasi Ph.D University of California (tidak diterbitkan).

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1980. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi I. 1996. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi II. 1998.”Pokok-Pokok Etnografi”. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI-Press.

Kozok, Uli. 2009. Surat Batak; Sejarah Perkembangan Tulisan Batak. Jakarta: Ècole française d'Extrème-Orient – KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).


(4)

Simalungun. Dalam Ibnu Avena (Ed). Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Maanen, J. Van. 1996. Ethnography. Dalam A. Kuper and J. Kuper (Eds) The Social Science Encyclopedia, 2nd ed., pages 263-265. London: Routledge. Marcus, George E dan Fred R Myers. 1995. The Traffic in Culture; Refiguring Art

and Anthropology. Berkeley, Los Angeles, California: University of California Press.

Matondang, Ibnu Avena. 2008. Gordang Sambilan; Video Etnografi tentang Penggunaannya ditengah-tengah Masyarakat Mandailing di Kota Medan. Medan: Skripsi Sarjana S1 Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik – Universitas Sumatera Utara (tidak diterbitkan).

Moleong, Prof.DR. Lexy J, M.A. 2005. Metodologi Penelitian kualitatif. Rev.ed. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Niessen, Sandra, 2009. Legacy in Cloth; Batak Textiles of Indonesia. Leiden: KITLV Press Leiden.

Pendit Nyoman S, 2003: Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana, Jakarta. PT. Pradaya Paramita

Purba, Mauly. 2004. Mengenal Tradisi Gondang Dan Tortor Pada Masyarakat Batak Toba. Dalam Ben M. Pasaribu (Ed) : Pluralitas Musik Etnik : Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo dan Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi Dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen.

Saifuddin, Achmad Fedyani, Ph.D. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.

Sinar, Tengku Lukman. 1971. Riwayat Hamparan Perak.

Siregar, Ahmad Samin. 1977. Kamus Bahasa Angkola/Mandailing. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soekadijo R. G, 1996: Anatomi Pariwisata Memahami Pariwisata sebagai “systemic Lingkage”, Jakatra. PT. Gramedia Pusaka Utama


(5)

Yogya.

Suastika, Rebecca Hanatri. 2011. Wisata Sejarah; Studi Etnografi Tentang Wisata Sejarah Tjong A Fie Di Kota Medan. Medan: Skripsi S1 Departemen Antropologi (tidak diterbitkan).

Yoeti, Oka. A. 1983. Pengantar Ilmu Pariwisata. Penerbit Angkasa, Bandung. ---. 1987. Tour and Travel Management. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

• www.wikipedia.com/batak_angkola (diakses pada 16 April 2013). Sumber internet:


(6)

BAB III LAGE HAMBIAN

3.1 Pengertian Lage Hambian

Lage hambian dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola merupakan sebentuk tikar yang dianyam dan berbahan dasar berupa pandan. Tikar ataupun alas duduk dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola tidak terbatas pada bentuk lage hambian saja melainkan terdapat jenis lainnya dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, seperti bide, amak, basiang dan amparan9

Penggunaan bide di lantai ruang depan rumah tersebut akan dilapisi dengan amak sebagai tanda penghormatan kepada tamu yang datang kerumah tersebut, dan juga berarti sebagai meninggikan posisi tamu yang bertandang

.

Secara sederhana lage hambian dapat diartikan sebagai tikar “lage” dan dianyam/dilapis “hambian”, sehingga kata lage hambian bermakna sebagai tikar yang dianyam atau dilapis dan dipergunakan pada waktu-waktu tertentu saja.

Kehidupan masyarakat Batak-Angkola mengenal tikar sebagai alas yang digelar lantai ruang rumah (bagas godang), namun dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola membagi penggunaan tikar berdasarkan tempat dan tujuannya, seperti tikar yang digelar di ruang depan rumah disebut dengan bide dan terbuat dari anyaman rotan.

9 Dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola juga dikenal rompayan sebagai tikar adat namun istilah tersebut dipinjam dari khasanah kebudayaan masyarakat Mandailing yang berbatasan wilayah geografis dengan Angkola secara langsung, sehingga tukar-menukar dan pinjam-meminjam istilah dalam dua kebudayaan tersebut (Angkola dan Mandailing) adalah suatu hal


(7)

kerumah dengan maksud dan tujuan tertentu. Amak yang dipergunakan sebagai tikar terbuat dari anyaman rotan dengan kualitas yang lebih baik dari anyaman rotan pada bide.

Dalam penggunaan tradisi masyarakat Batak-Angkola, amak umum dipergunakan oleh anggota masyarakat yang memiliki posisi adat dan keuangan yang mencukupi, apabila anggota masyarakat Batak-Angkola tidak memiliki posisi adat dan dari segi keuangan tidak mencukupi biasanya sebagai alas bide dipergunakan tikar yang terbuat dari anyaman rumput atau pandan yang biasa disebut dengan basiang.

Penggunaan tikar dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola adalah sebagai bentuk simbol melayani tamu dan penghormatan kepada tamu, oleh karena itu tikar atau amak yang dipergunakan sebagai alas duduk tamu selalu dipilih yang terbaik dari persediaan yang dimiliki oleh tuan rumah, dan tikar-tikar tersebut biasanya hanya dipergunakan untuk keperluan-keperluan tertentu saja.

Amak yang dikenal sebagai tikar dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola terbagi atas beberapa jenis dan fungsi. Diantaranya adalah jenis amak langkat yang dipergunakan pada upacara adat seperti perkawinan, dan tikar ini memiliki jumlah lapisan yang ganjil yaitu satu, tiga, lima, tujuh dan sembilan. Lage hambian termasuk dalam jenis tikar amak langkat, karena terbuat dari pandan dan memiliki jumlah lapisan ganjil yang diperuntukkan bagi golongan-golongan tertentu.


(8)

Salah seorang informan, yakni Abdul Halim Hasibuan gelar Tongku Dollar Paya-paya Somarsik (43 Tahun) mengatakan bahwa :

“lage hambian itu tempat duduk dalam kegiatan adat, seperti makkobar, acara perkawinan dan lain lain ... tanpa lage hambian kegiatan adat terasa hambar.”

Keterangan informan tersebut memberikan pandangan bahwa lage hambian merupakan suatu hal yang bernilai dan penting dalam setiap kegiatan adat Batak-Angkola, tanpa adanya kehadiran lage hambian dalam kegiatan adat maka kegiatan adat tersebut akan kekurangan nilai bahkan kegiatan adat tersebut akan mengalami suatu gangguan.

3.2 Sejarah Penggunaan Lage Hambian

Lage hambian secara sederhana dibuat dengan cara dianyam dan dilapis yang dalam terminologi masyarakat Batak-Angkola disebut dengan di-hambi. Setiap orang didalam suku Batak-Angkola sudah diberi tanggung-jawab sejak lahir, dewasa hingga kematian yang sejalan dengan ritus hidup yang dimiliki oleh masyarakat Batak-Angkola.

Penggunaan lage hambian dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola dimulai ketika memiliki keturunan/anak, dimana pada waktu itu lage hambian akan dipergunakan sebagai alat kelengkapan dalam upacara mengayun.

Selanjutnya lage hambian juga akan dipergunakan dalam upacara upa-upa ketika seorang ibu memiliki usia kandungan tujuh bulan, namun pada penggunaan upacara upa-upa, lage hambian yang dipergunakan disebut dengan parompa. Hal


(9)

ini bermakna sebagai pengingat kepada bayi tersebut kelak akan melaksanakan upacara seperti itu pada sanak-saudaranya.

Pengguna lage hambian harus menjadi bagian dari adat dengan cara mengikuti dan menjalani beragam proses acara adat dan menyelesaikan utang-utang adat yang belum dibayarkan oleh keluarganya agar dapat menggunakan lage hambian dalam beragam upacara adat, dalam hal ini lage hambian juga berfungsi sebagai simbol terhadap status sosial seorang individu dalam lingkup masyarakat Batak-Angkola.

Lage hambian yang dipergunakan dalam upacara adat juga berhubungan dengan bentuk upacara adat yang dilaksanakan, pada umumnya lage hambian hanya dipergunakan pada upacara adat besar (adat nagodang) yang ditandai oleh penyembelihan hewan seperti kambing dan kerbau.

3.3 Simbol Pada Lage Hambian

Lage Hambian yang dipergunakan sebagai tikar dalam upacara adat memiliki simbol tersendiri dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, seperti penggunaan simbol pada bentuk warna dan juga pada penggunaan lapisan pada tikar dengan jumlah tertentu seperti satu, tiga, lima, tujuh dan sembilan10

Hitungan ganjil pada lapisan lage hambian sebagaimana diungkapkan oleh informan penelitian, Abdul Halim Hasibuan gelar Tongku Dollar Paya-paya

.

10 Kehidupan masyarakat Batak-Angkola mempercayai bahwa angka sempurna adalah sembilan, dan angka-angka ganjil lainnya seperti satu, tiga, lima dan tujuh memiliki arti yang baik dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola hal ini didasarkan pemahaman mereka bahwa angka ganjil tidak dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama dikarenakan sistem kekerabatan Batak-Angkola didasarkan pada dalihan na tolu (tiga setungku) yang juga berjumlah ganjil.


(10)

Somarsik (43 Tahun) yang mengatakan bahwa :

“ ... lapisan dibuat ganjil sebagai tanda bahwa tikar tersebut menjadi suatu hal yang penting dalam adat Batak-Angkola, sehingga terasa ganjil apabila tikar tersebut tidak ada dalam acara.”

Setiap simbol warna dan lapisan memiliki makna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, seperti simbol warna yang terdiri dari : 1. Warna merah, yang berarti sebagai lapisan dasar yang menggambarkan kehidupan manusia di alam semesta,

2. Warna hijau, yang menggambarkan kehidupan mahluk hidup lainnya yang mendukung kehidupan manusia di bumi ini, dan hubungan diantaranya merupakan hubungan antar mahluk hidup yang saling tolong-menolong,

3. Warna kuning, adalah warna yang digunakan sebagai simbol kebesaran bagi penguasa (raja) dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, penggunaan warna kuning selain sebagai simbol kebesaran juga menggambarkan sikap raja yang adil dalam menentukan keputusan pada kehidupan masyarakat.

Penggunaan simbol warna pada lage hambian merupakan simbol perulangan yang menggambarkan posisi yang diemban seseorang dalam kehidupan, satu lapisan lage hambian dengan warna merah biasanya dipergunakan sebagai tikar mereka yang belum mendapatkan kedudukan dalam kehidupan dan juga sebagai pembungkus barang bawaan ketika dalam upacara perkawinan.


(11)

tikar berwarna hijau dan kuning sehingga berjumlah tiga lapisan warna merupakan tikar yang diperuntukkan bagi para undangan dan wakil raja pada upacara-upacara adat.

Lage hambian dengan lima lapisan, yaitu merah sebagai dasar dan kemudian hijau, kuning, merah serta hijau dipergunakan sebagai tikar untuk golongan raja kampung atau raja pamusuk sedangkan lage hambian dengan tujuh lapis warna diperuntukkan bagi raja panusunan bulung yang memiliki posisi sebagai raja diantara raja-raja kampung (pamusuk).

Tab el 7

Jumlah Lapisan dan Warna Serta Peruntukkan Lage Hambian JUMLAH

LAPISAN

WARNA PERUNTUKKAN UPACARA

1 Lapisan Merah Untuk membungkus barang bawaan pada upacara-upacara adat dan juga sebagai tikar bagi individu yang akan menerima gelar adat dalam upacara perkawinan

Perkawinan, penabalan marga dan gelar adat, sidang adat, makkobar

3 Lapisan Merah, hijau dan kuning

Tikar dengan tiga lapisan warna

Perkawinan, sidang adat, makkobar


(12)

diperuntukkan bagi undangan dalam upacara adat sebagai bentuk penghormatan kepada tamu dan juga sebagai tikar untuk golongan wakil raja 5 Lapisan Merah, hijau,

kuning, merah, hijau

Diperuntukkan bagi golongan raja kuria/huta atau raja kampung yang

mewakili marga-marga

Perkawinan, sidang adat, makkobar

7 Lapisan Merah, hijau, kuning, merah, hijau, kuning, merah

Tikar dengan tujuh lapisan warna diperuntukkan bagi raja pamusuk atau raja dari perkumpulan marga dan daerah

Perkawinan, sidang adat, makkobar


(13)

9 Lapisan Merah, hijau, kuning, merah, hijau, kuning, merah, hijau, kuning

Tikar dengan lapisan tertinggi yang

dipergunakan oleh raja diatas raja pamusuk yang disebut dengan raja panusunan bulung

Perkawinan, sidang adat, makkobar

Sumber : hasil wawancara selama penelitian antara bulanOktober – Desember 2013

3.3.1 Lage Hambian 1 Lapisan

Lage hambian yang memiliki satu lapisan dipergunakan sebagai kain pembungkus barang bawaan ketika dalam pelaksanaan upacara perkawinan dalam adar Batak-Angkola, selain sebagai pembungkus barang bawaan dalam upacara perkawinan juga dipergunakan sebagai tikar pengantin. Warna pada lapisan lage hambian yang dipergunakan adalah warna merah yang mengelilingi seluruh bidang tikar pandan.

Dalam pelaksanaan upacara adat Batak-Angkola, lage hambian yang memiliki satu lapisan juga dipergunakan sebagai tikar bagi individu yang akan menerima gelar adat Batak-Angkola maupun dalam acara penabalan marga, hal ini didasarkan bahwa individu tersebut tidak memiliki gelar adat sebelumnya


(14)

sehingga hanya diperbolehkan mempergunakan lage hambian satu lapis.

Gambar 1: Lage hambian dengan satu lapisan Sumber : penulis

3.3.2 Lage Hambian 3 Lapisan

Lage hambian yang memiliki lapisan sebanyak tiga lapis, dipergunakan sebagai tikar bagi individu yang memiliki posisi-posisi tertentu, seperti wakil raja dalam konteks adat Batak-Angkola dan juga kepada undangan yang dianggap mewakili tokoh masyarakat dan memiliki pengaruh dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar 2: Lage hambian dengan tiga lapisan Sumber : penulis

Penggunaan lage hambian di Kota Medan telah mengalami perubahan bentuk, hal ini dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak-Angkola seringkali dianggap sebagai bagian dari masyarakat Mandailing sehingga bentuk dan penggunaan lage hambian juga dipertukarkan dengan tikar adat milik Mandailing yang juga memiliki nilai yang sama.


(15)

3.3.3 Lage Hambian 5 Lapisan

Tikar lage hambian dengan jumlah lapisan sebanyak lima lapis dipergunakan sebagai alas bagi individu yang memiliki posisi sebagai raja kuria atau raja huta yang mewakili satu golongan marga.

Lage hambian dengan lima lapisan memiliki lima lapisan warna yang berulang, yaitu warna merah, warna hijau, warna kuning, warna merah dan warna kuning. Hal ini dilihat sebagai simbol posisi yang menduduki lage hambian tersebut memiliki posisi yang tinggi dan kekuasaan untuk menentukan terselenggara atau tidaknya upacara adat tersebut.

Gambar 3: Lage hambian dengan lima lapisan Sumber : penulis

3.3.4 Lage Hambian 7 Lapisan

Seperti halnya lage hambian dengan lima lapisan warna, lage hambian dengan tujuh lapisan warna juga memiliki warna yang berulang pada lapisan-lapisannya, yaitu warna merah sebagai warna dasar kemudian warna hijau, warna kuning, warna merah, warna hijau, warna kuning dan warna merah sebagai warna


(16)

yang berada paling atas lapisan.

Gambar 4: Lage hambian dengan tujuh lapisan Sumber : penulis

Pada saat ini lage hambian dengan tujuh lapisan sangat jarang dipergunakan, hal ini dikarenakan posisi raja pamusuk sudah digantikan posisinya oleh individu lain yang memiliki pengaruh dalam adat Batak-Angkola di Kota Medan. Selain itu, bentuk lage hambian dengan tujuh lapisan ini juga memiliki lapisan warna yang berbeda dengan warna asalnya yang disebabkan oleh penggunaan rompayan atau tikar adat Mandailing dalam kegiatan upacara adat Batak-Angkola.


(17)

Gambar 5: Rompayan Mandailing dengan tujuh lapisan Sumber : penulis

3.3.5 Lage Hambian 9 Lapisan

Lage hambian yang memiliki sembilan lapisan warna sudah sangat jarang diketemukan maupun dipergunakan dalam berbagai upacara adat Batak-Angkola, hal ini disebabkan lage hambian dengan sembilan lapisan warna merupakan bentuk penghormatan kepada raja panusunan bulung sebagai posisi tertinggi dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola.

Posisi raja panusunan bulung dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola di Kota Medan tidak dapat digantikan oleh siapapun sehingga hal ini semakin menghilangkan peran penggunaan lage hambian dengan sembilan lapisan warna, dan pada saat ini lage hambian dengan sembilan lapisan warna juga dianggap sebagai benda dalam kebudayaan Batak-Angkola yang memiliki nilai sakral.

3.4 Jenis Upacara yang Menggunakan Lage Hambian

Setiap individu dalam kehidupan mengalami tiga siklus yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Ketiga momen tersebut menjadi lingkaran kehidupan yang dijalani oleh masyarakat dimana terdapat momen yang direncanakan namun ada juga yang tidak dapat direncanakan karena di luar konteks akal pikiran manusia, yang telah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa.


(18)

selalu disertai dengan penggunaan lage hambian, hal ini sebagai wujud pelaksanaan nilai adat dan juga penghormatan terhadap tamu yang mewakili golongan raja di Batak-Angkola.

Selain membagi upacara yang menandakan tiga siklus dalam kehidupan, masyarakat Batak-Angkola juga membagi upacara adat menjadi tiga bagian berdasarkan besar-kecilnya cakupan upacara adat tersebut, yaitu:

Adat namenek (upacara adat kecil)

Dalam upacara ini diadakan upacara sederhana yang terdiri dari keluarga dan juga kerabat. Ketika mangupa pangoli mereka memotong ayam sebagai makanan pangupa. Hal ini menujukkan bahwa upacara adat ini sangatlah sederhana dan keluarga yang mengadakan juga berasal dari keluarga yang sangat sederhana sekali.

Adat pakupangi (upacara adat sedang)

Upacara adat ini juga tergolong sederhana namun dari pihak yang menghadiri sudah terdapat unsur dalihan na tolu (kahanggi, anak boru, dan mora) dan juga keluarga serta kerabat. Dalam upacara adat ini bahan untuk mangupa dipotong kambing. Upacara ini biasanya diadakan oleh keluarga dari golongan menengah ke atas.

Adat nagodang (upacara besar)

Upacara adat nagodang adalah bentuk upacara adat yang melibatkan banyak orang, mulai dari dalihan na tolu, hatobangon-harajaon, dan pisang raut.

Kata “godang” dalam nagodang berarti besar. Dikatakan besar selain melibatkan dalihan natolu, juga melibatkan kerabat dari jauh dan dekat begitu


(19)

juga warga sekampung. Dalam adat nagodang ini, setiap pihak mendapatkan tugas dalam pesta nagodang dimana raja-raja telah menentukan terlebih dahulu dalam sidang adat raja-raja.

Adat nagodang juga menunjukkan besarnya upacara dengan dipotongnya kerbau sebagai binatang yang besar. Dalam adat nagodang, raja-raja turut mengambil bagian dalam menentukan dan menetapkan bagaimana supaya upacara adat tersebut dapat berjalan dengan baik sesuasi dengan harapan.

Upacara adat nagodang hanya diadakan oleh keturunan raja-raja dan sudah mendapat gelar. Dan selama proses persiapan perkawinan ini, raja-raja akan membicarakan hal terbaik demi berjalannya adat dengan baik pula. Sehingga ada proses-proses upacara nagodang yang perlu dipersiapkan.

3.4.1 Bentuk Upacara Adat

Bentuk upacara adat yang menggunakan lage hambian dalam pelaksanaannya adalah :

1. Upacara Adat Perkawinan

Upacara adat perkawinan yang meliputi upacara adat perkawinan marlojong, diparbuat dan marhabuatan. Diluar upacara adat perkawinan tersebut tidak dipergunakan lage hambian ataupun tidak menjadi keharusan untuk menyediakan lage hambian.

Lage hambian dalam upacara perkawinan dipergunakan sebagai tikar bagi tamu yang datang (saudara, tetangga dan raja), selain itu juga sebagai bahan pembungkus bawaan dan juga sebagai tikar bagi pasangan pengantin yang


(20)

melaksanakan upacara perkawinan tersebut. 2. Martahi Marunungunug Ni Bodat

Martahi marunungunug ni bodat yaitu rapat adat yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Rapat adat ini dihadiri oleh suhut bolon, anak boru, dan mora, dikatakan martahi marunungunug nibodat adalah karena diibaratkan binatang monyet ketika menyampaikan sesuatu hanya kelompok mereka saja yang tahu.

Rapat adat ini dapat terselenggara dengan baik dan juga akan menghasilkan suatu keputusan yang baik apabila yang menghadiri rapat adat tersebut duduk diatas lage hambian, dikarenakan lage hambian dianggap dapat menghantarkan pesan kepada Tuhan.

3. Upacara Manabalkon Goar

Manabalkon goar artinya memberi gelar kepada seseorang individu. Dalam upacara adat nagodang, peserta upacara adat ataupun mereka yang akan ikut serta dalam upacara adat nagodang akan diberi gelar terlebih dahulu dan juga kepada individu yang telah memiliki gelar akan diperbaharui dengan gelar sesuai dengan keadaan individu saat mengikuti upacara adat tersebut, dimana gelar baru tersebut seperti yang telah dimiliki oleh orangtua mereka.

Gelar ini hanya diberikan kepada keturunan raja dan yang mengadakan upacara adat nagodang serta individu yang dianggap memberikan sumbangsih besar terhadap perkembangan adat Batak-Angkola.

Kebanyakan gelar ini diambil dari gelar kakek atau ayah dari peserta upacara adat, namun bisa saja nama gelar itu diusulkan oleh keluarga kepada


(21)

raja-raja adat. Adapun gelar adat tersebut mencakup Sutan, Mangaraja-raja, Baginda, Tongku dan lain sebagainya.

Setelah mendapatkan gelar adat, maka nama yang paling sering mereka pergunakan adalah nama mereka setelah ditabalkan. Bahkan dalam menyebut dan memanggil nama, lebih sering mempergunakan gelar tersebut.

Lage hambian dalam upacara adat manabalkon goar merupakan sebagai tanda bahwa terdapat tanggung-jawab yang harus ditanggung oleh individu yang menerima gelar tersebut, baik itu tanggung-jawab terhadap diri sendiri, keluarga maupun terhadap adat budaya Batak-Angkola.

4. Upacara Kematian (Siluluton)

Lazimnya dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, lage hambian menyertai segala proses kehidupan dari lahir hingga kematian, hal ini dimaksudkan sebagai bentuk adat yang selalu menyertai tiap kehidupan masyarakat Batak-Angkola.

Informan penelitian yaitu Bapak H. Persatuan Harahap gelar Tongku Raja Adat (62 Tahun) mengatakan bahwa :

“Adat merupakan norma dan peraturan yang berlaku dalam kehidupan Batak-Angkola, sehingga dari lahir hingga meninggal dunia orang Batak-Angkola akan selalu disertai oleh adat.”

Pendapat informan ini setidaknya memberikan gambaran kehidupan masyarakat Batak-Angkola dan kuatnya adat dalam kehidupan mereka, sehingga menciptakan suatu kondisi yang saling terjalin dengan kuat antara manusia – adat


(22)

– kehidupan.

3.5 Alat Kelengkapan Dalam Upacara Adat

Upacara adat Batak-Angkola mensyaratkan adanya lage hambian dalam pelaksanaan upacara adat, selain sebagai bentuk kelengkapan adat juga sebagai bukti bahwa lage hambian memiliki hubungan terhadap kehidupan masyarakat Batak-Angkola.

Selain mensyaratkan kehadiran lage hambian dalam upacara adat, terdapat alat kelengkapan lainnya yang harus dipergunakan sejalan dengan penggunaan lage hambian, adapun alat kelengkapan lainnya tersebut mencakup :

• Burangir Partahian Sitolu Rangkap, merupakan seperangkat sirih yang dipersembahkan kepada golongan raja-raja yang hadir dalam upacara adat tersebut.

• Santan pamurgo-murgoi, adalah air santan yang menjadi simbol penyucian bagi alat kelengkapan acara lainnya dan upacara tersebut dapat berjalan dengan baik hingga akhir nanti, selain itu juga sebagai pertanda bahwa upacara tersebut dapat dimulai apabila telah dipercikkan oleh raja panusunan bulung ke alat kelengkapan upacara adat lainnya.

• Abit Godang, merupakan kain adat Batak-Angkola yang selalu menyertai upacara adat dan bermakna melindungi bagi yang memakainya dari beragam gangguan.

• Payung Rarangan, podang dengan tombak, adalah alat kelangkapan dalam upacara adat yang menandakan bahwa upacara tersebut dihadiri oleh


(23)

seluruh anggota masyarakat Batak-Angkola dan juga menyimbolkan sikap kemegahan dan kehebatan masyarakat Batak-Angkola

• Tuku

• Gondang saraban, adalah seperangkat alat musik yang mengiringi upacara adat yang berarti sebagai permohonan kepada Tuhan untuk dapat melaksanakan upacara adat dengan baik dan juga sebagai medium perantara antara Tuhan dan manusia.

Dalam pelaksanaannya keseluruhan alat kelengkapan upacara adat tersebut dipersiapkan diatas tikar lage hambian yang telah disiapkan di bagas godang tersebut. Kemudian perlengkapan ini diletakkan ditengah pertemuan harajaon-hatobangon, suhut habolonan, kahanggi, anak boru, pisangraut, dan mora. Selanjutnya dilakukan penyerahan burangir kepada hatobangon-harajaon oleh anak boru dan setelah itu diletakkan di depan raja pamusuk. Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan maksud mulai dari bagian ama dari suhut bolon, kahanggi, anak boru, pisang raut, dan mora. Maksud ini akan dijawab oleh hatobangon-harajaon bonabulu bahwa mereka sudah menerima maksud kedatangan tersebut.

Raja pamusuk akan menyampaikan kembali bagaimana niat pelaksanaan

upacara adat tersebut kepada raja pangondian bulung, raja panusunan bulung, haruaya mardomu bulung, torbing balok dalam musyawarah besar (maralok-alok) untuk mengadakan adat nagodang dalam upacara adat tersebut.

Raja Pamusuk akan menyampaikan kepada pemain gondang supaya


(24)

untuk membuka payung rarangan, podang dan tombak dipajang dan dikibarkan di depan rumah hasuhuton dan kahanggi. Setelah itu mereka memasuki acara mangan santan (makan santan) sebagai tanda upacara adat telah dimulai.


(25)

BAB IV

LAGE HAMBIAN SEBAGAI KOMODITI PARIWISATA

Lage hambian pada saat sekarang ini tidak hanya sekedar sebagai alat kelengkapan dalam upacara adat Batak-Angkola yang mengiringi setiap tahapan kehidupan mereka melainkan juga telah menjadi benda yang memiliki nilai jual dalam pariwisata sebagai cenderamata.

Bab ini akan membahas mengenai lage hambian sebagai cendermata khas dari Batak-Angkola yang dapat menaikkan nilai Batak-Angkola sebagai daerah tujuan wisata di Sumatera Utara.

4.1 Pembuatan Lage Hambian

Lage hambian secara sederhana dapat diartikan sebagai tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Hal ini dimungkinkan daerah yang didiami oleh masyarakat Batak-Angkola di Tapanuli Selatan memenuhi pasokan mereka terhadap ketersediaan daun pandan sebagai bahan utama pembuatan lage hambian.

Pada kehidupan masyarakat Batak-Angkola lage hambian dikenal sebagai tikar yang memiliki nilai dalam adat budaya mereka namun dalam penggunaannya diperlukan seperangkat alat lainnya dan proses upacara yang kompleks dan memakan waktu yang lama.

Untuk itu dalam penggunaan keseharian dibuat tikar adat yang bebas dari nilai adat sehingga seluruh masyarakat dapat menggunakannya, tikar ini dibuat


(26)

dari daun pandan dengan lapisan yang polos tidak bermotif hanya diberi hiasan kain berwarna merah dipinggir tikar dan diberi umbul-umbul ataupun manik-manik untuk mempercantik tikar tersebut.

Tikar yang tidak memiliki nilai adat tersebut pada mulanya merupakan bentuk lage hambian yang paling rendah, yaitu hanya dipergunakan sebagai alas duduk pengantin dan pembungkus barang bawaan dalam upacara perkawinan. Berdasarkan pemahaman tersebut masyarakat Batak-Angkola akhirnya mengembangkan lage hambian sebagai cenderamata khas mereka. Hal ini didasarkan pemahaman mereka bahwa setiap individu akan melewati tahapan hidup yaitu perkawinan sehingga lage hambian tersebut dapat dipergunakan oleh semua orang. Informan penelitian, yaitu Irma (44 Tahun) mengatakan bahwa :

“Pada awalnya penjualan lage hambian sebagai cendermata dilarang oleh raja-raja dan masyarakat Angkola, tapi setelah diadakan musyawarah dan diceritakan bahwa lage hambian yang dijadikan cenderamata adalah lage hambian untuk pengantin maka hal ini dibolehkan ... tapi sekarang ini tidak hanya lage hambian buat perkawinan saja yang dijadikan cendermata, lage hambian lima lapis pun dijadikan cendermata selain lebih bercorak juga lebih banyak orang yang mau.”


(27)

Gambar 6: wawancara peneliti dengan informan bernama Irma (44 tahun) di Toko Mas Seribu.

Sumber: penulis

Lage hambian yang dijual dan dijadikan sebagai cendermata bagi wisatawan baik yang berkunjung ke daerah Tapanuli Selatan maupun Kota Medan dibuat dan diambil dari pengrajin lage hambian yang terdapat di Sipirok atau tepatnya di Desa Hutasuhut.

Lage hambian tersebut dibuat secara manual di sanggar-sanggar seni di daerah Sipirok, hal ini selain sebagai bentuk kerjasama antara pedagang dan pengrajin juga sebagai bentuk menjaga nilai dan mutu lage hambian yang dibuat langsung dari daerah asalnya.

4.2 Penjualan Lage Hambian


(28)

memiliki harga jual dan lokasi penjualan yang tidak biasa, yaitu diperjualbelikan di toko-toko emas di Kota Medan. Penjualan lage hambian di toko emas dikarenakan secara historis masyarakat Batak-Angkola yang datang ke Kota Medan pada sekitar tahun 1940an merupakan masyarakat pekerja keras dan memiliki kekayaan.

Kekayaan yang mereka bawa dari Tapanuli Selatan tersebut pada awalnya bukanlah sebagai modal usaha melainkan sebagai modal yang dipergunakan sebagai ongkos untuk meraih pendidikan tinggi di Kota Medan yang dianggap lebih maju pada waktu itu.

Berawal dari ongkos pendidikan tersebut kemudian dijadikan sebagai modal usaha berdagang di Kota Medan, masyarakat Batak-Angkola lebih memilih berdagang emas di Kota Medan dikarenakan kemampuan mereka terhadap emas telah teruji semenjak mereka tinggal di daerah asal. Mukhlis Harahap (63 Tahun) mengatakan bahwa :

“dulu di kampung kan banyak tambang emas, makanya di daerah Mandailing itu dikenal sebagai tano sere (tanah emas), banyak orang dulu selain berkebun juga menambang emas dipinggir-pinggir sungai, dapat duitnya pun lebih cepat dari berkebun ... orang Sipirok itu bagus-bagus kalau jadi tukang emas ... ya itu tadi, selain ikut nambang juga jago buat dari emas.”

Pernyataan informan tersebut menggambarkan kemampuan masyarakat Batak-Angkola yang sedari awal sudah berkecimpung dalam lingkup penambangan emas dan ditambah lagi dengan kemampuan mereka yang lainnya


(29)

yaitu mengolah emas menjadi suatu benda yang memiliki harga jual tinggi. Kemampuan menambang dan mengolah emas oleh masyarakat Batak-Angkola seiring perkembangan zaman juga disertai dengan usaha penjualan alat-kelengkapan adat yang menyertai usaha penjualan emas mereka, mereka melihat hal ini sebagai bentuk memudahkan bagi masyarakat Batak-Angkola yang akan membuat acara perkawinan, dimana upacara perkawinan menbutuhkan emas dan juga beragam perlengkapan adat lainnya.

Peluang tersebut dianggap sebagai peluang yang cukup menjanjikan sehingga sampai saat ini penjualan emas oleh masyarakat Batak-Angkola di Kota Medan selalu disertai dengan penjualan alat kelengkapan upacara adat. Selain itu untuk menandakan bahwa toko emas tersebut dikelola oleh masyarakat Batak-Angkola, pada umumnya mereka mencantumkan nama marga sebagai nama toko mereka.

Adapun penjualan lage hambian di toko-toko emas di Kota Medan memiliki rentang harga yang cukup tinggi bila dibandingkan membeli lage hambian langsung kepada pengrajin lage hambian di daerah Sipirok, hal ini mereka lakukan mengingat sulitnya mencari alat kelengkapan upacara dan juga sebagai bentuk penghormatan kepada adat budaya Batak-Angkola, mengenai hal ini Uswatun Daulay (32 Tahun) salah seorang informan penelitian mengatakan :

“lage hambian sengaja dijual mahal tapi maksudnya bukan memahalkannya tapi supaya orang-orang punya kesadaran terhadap budaya Angkola ... paling gak orang yang beli pun tau kalo lage hambian itu tinggi (nilai) dalam adat Angkola.”


(30)

Informasi mengenai harga jual lage hambian ini selain memberikan gambaran mengenai harga jual yang mahal juga menggambarkan kesadaran masyarakat Batak-Angkola terhadap kebudayaan mereka. Adapun harga jual lage hambian di Kota Medan berkisar antara Rp. 250.000.- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) hingga Rp. 1.000.000.- (satu juta rupiah) tergantung banyaknya lapisan pada lage hambian.

Tab el 8

Jumlah Lapisan dan Harga Jual Lage Hambian di Kota Medan

Lapisan Harga Keterangan

1 Lapis Rp. 250.000.- -

3 Lapis Rp. 500.000.- s/d Rp. 700.000.- Rentang harga tersebut dipengaruhi oleh kualitas dan motif yang terdapat pada lage hambian, semakin banyak motif maka harga lage hambian akan semakin mahal 5 Lapis Rp. 900.000.- s/d Rp. 1.200.000.- Harga lage hambian yang

memiliki lima lapisan selain dipengaruhi oleh mutu dan motif juga turut dipengaruhi oleh nilai


(31)

budaya Batak-Angkola terhadap lage hambian lima lapis

7 Lapis Rp. 1.000.000.- s/d Rp. 1.500.000.- Harga jual lage hambian tujuh lapis dipengaruhi oleh ragam motif dan nilai budaya yang melingkupinya Sumber : hasil penelitian antara bulan Oktober – Desember 2013

4.3 Lage Hambian Sebagai Komoditi Pariwisata

Menurut Yoeti (1983) pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha (business) atau mencari nafkah ditempat yang dikunjungi, tetapi semata – mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi atau unutk memenuhi keinginan yang beraneka ragam.

Mengutip Wahab (dalam Pendit, 1990, 29) menjelaskan pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktivitas lainnya. Sebagai sektor yang kompleks, pariwisata juga meliputi industri-industri klasik seperti kerajinan tangan dan cenderamata, penginapan, transportasi secara ekonomi juga dipandang sebagai industri.


(32)

Usaha kegiatan pengembangan pariwisata membutuhkan kerjasama diantara pihak, mengutip Suastika (2011:14-15) yang mengatakan bahwa dalam dunia pariwisata terdapat tiga hal yang saling mempengaruhi antara satu sama lain, yaitu : wisatawan, industri penyedia barang dan layanan jasa serta, masyarakat setempat.

Keterkaitan diantara ketika hal tersebut mendukung jalannya suatu program pariwisata yang dilakukan di suatu daerah, dan tidak tercapainya kerjasama diantara ketiga hal tersebut dapat menyebabkan usaha pariwisata yang dilakukan akan mengalami gangguan.

Lage hambian sebagai komoditi pariwisata di Sumatera Utara perlu untuk dilihat berdasarkan ketiga hal tersebut agar pengembangan pariwisata yang berdasar pada komoditi pariwisata dapat berjalan dengan baik.

Lage hambian yang dijadikan sebagai komoditi pariwisata di Sumatera Utara memiliki dan memenuhi syarat menjadi hal tersebut, dikarenakan lage hambian merupakan produk olah budaya yang menyimpan nilai budaya dan memiliki nilai estetika sebagai suatu produk.

Lage hambian sebagai hasil olah budaya yang dimiliki oleh masyarakat batak-Angkola selain memiliki nilai dalam kebudayaan mereka juga turut memiliki nilai jual dalam konteks pariwisata, hal ini disebabkan ketertarikan seseorang yang menjadi wisatawan dalam perjalanan wisatanya adalah mencari sesuatu yang baru (something new) baik itu berupa pengalaman, suasana maupun benda. Lage hambian menjadi komoditi pariwisata disebabkan memiliki nilai tradisional yang masih terjaga, baik dalam proses pembuatan hingga nilai yang


(33)

terdapat sebaliknya hal ini juga didukung oleh masyarakat Batak-Angkola yang masih mempergunakan lage hambian dalam beragam kesempatan upacara adat.

Penggunaan lage hambian pada masyarakat Batak-Angkola dalam beragam upacara adat turut memelihara nilai yang terdapat pada lage hambian, wisatawan yang dalam perjalanan wisatanya mencari sesuatu bentuk cendermata sebagai tanda telah mengunjungi lokasi wisata tersebut, tentu mengharapkan suatu produk yang memenuhi unsur khas (karakteristik), estetika dan penggunaan.

Lage hambian memenuhi unsur tersebut seperti menjad ciri khas Batak-Angkola dan diperkuat dengan masih dipergunakan hingga saat ini dalam konteks upacara adat, memiliki simbol, warna dan bentuk yang memenuhi nilai estetika serta yang paling penting adalah aspek penggunaan. Sebagai produk lage hambian tetap memiliki nilai penggunaan sebagai tikar yang dapat dipergunakan walaupun nilai penggunaan dapat berkembang seiring dengan waktu.

Masyarakat Angkola yang menjadi pemilik kebudayaan Batak-Angkola beserta dengan lage hambian sebagai produk kebudayaan mereka turut mendukung lage hambian menjadi komoditi dalam konteks pariwisata, selain memberikan pemasukan secara finansial juga sebagai usaha pelestarian terhadap produk kebudayaan yang mereka miliki.

Lage hambian sebagai komoditi pariwisata selain memenuhi unsur yang telah disebutkan sebelumnya, juga memiliki aspek sebagai komoditi pariwisata yang sulit dipenuhi oleh produk budaya lainnya (benda). Ukuran lage hambian yang kecil dan ringan menjadikan lage hambian sebagai komoditi pariwisata yang ringkas sehingga mudah untuk dibawa dan tidak memberi kesulitan bagi


(34)

wisatawan untuk menjadikannya sebagai bentuk cendermata.

4.3.1 Proses Menjadikan Lage Hambian Sebagai Komoditi Pariwisata

Untuk dapat menjadikan lage hambian sebagai komoditi pariwisata Sumatera Utara yang berasal dari masyarakat Batak-Angkola diperlukan beberapa proses yang terkait dengan dunia pariwisata, seperti :

1. Nilai

Lage hambian memiliki nilai budaya Batak-Angkola hal ini tampak pada penggunaan simbol warna pada lage hambian dan juga peruntukkan lage hambian dalam kebudayaan Batak-Angkola.

2. Estetika

Lage hambian sebagai produk budaya masyarakat Batak-Angkola memiliki nilai seni yang tinggi mencakup penggunaan bahan baku alami berupa daun pandan dan corak warna yang beragam. Korelasi antara penggunaan bahan baku alami dan corak warna memperkuat lage hambian sebagai produk budaya yang memiliki seni tinggi, selain itu mengutip pendapat Niessen (2010) yang mengatakan bahwa fungsi dan peran ulos dalam kehidupan masyarakat Batak-Toba telah menjadikan ulos sebagai strategi memasarkan ulos dalam dunia wisata. Hal ini sejalan dengan menjadikan lage hambian sebagai produk wisata dengan memberikan penguatan pada fungsi dan perannya dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola serta memberikan suatu komoditi pariwisata yang memiliki cerita dibalik produk budaya tersebut.


(35)

3. Penggunaan

Aspek penggunaan sangat menentukan suatu produk budaya menjadi bentuk komoditi pariwisata, lage hambian hingga saat ini masih dipergunakan dalam beragam kesempatan upacara adat masyarakat Batak-Angkola sehingga lage hambian memiliki kekuatan penggunaan hingga saat ini. Hal ini berbeda dengan komoditi pariwisata lainnya yang merupakan hasil reka-cipta dari suatu kebudayaan sehingga tidak memiliki kekuatan yang melekat pada produk kebudayaan tersebut menjadi komoditi pariwisata.

4. Ringkas

Faktor utama dalam komoditi pariwisata adalah ringkas dan tahan lama, hal ini dimaksudkan agar wisatawan yang membeli komoditi pariwisata tersebut dapat menjadikannya sebagai cenderamata yang dapat dibawa pulang ke daerah asalnya dan juga tahan lama agar dapat ditunjukkan sebagai bukti kedatangannya ke daerah tersebut kepada orang lain.

Lage hambian yang merupakan tikar adat memenuhi unsur ringkas tersebut, dimana lage hambian berukuran kecil dan ringan sehingga dapat dibawa oleh wisatawan tanpa menimbulkan kesulitan bagi dirinya untuk dapat membawa pulang dengan melipat ataupun menggulung lage hambian.

5. Aksesbilitas

Aksesbilitas dalam mendapatkan lage hambian sebagai komoditi pariwisata berbeda dengan komoditi pariwisata lainnya yang pada umumnya dijual pada lokasi tertentu dan tidak terdapat produk lainnya serta harus mendatangi langsung lokasi dimana komoditi pariwisata itu dibuat.


(36)

Lage hambian tersedia di toko-toko emas di Kota Medan yang menyebabkan aksesbilitas mendapatkan lage hambian dapat dikatakan mudah dan juga dengan dijualnya lage hambian di toko-toko emas juga membuka peluang terhadap produk lainnya sebagai bagian dari komoditi pariwisata.

Aksesbilitas untuk mendapatkan lage hambian juga dapat dilakukan di Kota Medan tanpa perlu mendatangi langsung daerah Angkola-Sipirok, hal ini didasarkan pada kenyataan dilapangan dimana wisatawan memiliki waktu yang terbatas dalam mengunjungi objek wisata serta letak daerah Angkola-Sipirok yang sampai saat ini harus ditempuh melalui jalan darat dalam waktu yang cukup lama.

Durasi waktu yang lama dan waktu wisatawan yang terbatas dapat dipersingkat melalui penjualan lage hambian di toko-toko emas di Kota Medan, selain itu penjual emas yang turut menjual lage hambian pada umumnya adalah masyarakat Batak-Angkola sehingga penyampaian informasi mengenai lage hambian masih dapat terjaga.

Selain beberapa hal yang telah disebutkan sebelumnya mengenai beberapa tahapan dalam proses menjadikan lage hambian sebagai komoditi pariwisata, terdapat hal lainnya yang berkaitan dengan usaha menjadikan lage hambian sebagai komoditi pariwisata, terdapat kajian dalam pengembangan pariwisata yang terhubung pada tiga hal penting agar dapat menarik dan banyak dikunjungi wisatawan. Menurut Oka A Yoeti (1983) karakteristik pengembangan usaha wisata dirumuskan sebagai :

1. Something to see, artinya di tempat tersebut harus ada objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan apa yang di miliki daerah lain. Dengan kata


(37)

lain, daerah itu harus mempunyai daya tarik yang khusus dan unik.

Dalam konteks lage hambian dan masyarakat Batak-Angkola, konsep something to see yang berarti sebagai sesuatu yang dapat dilihat maka hal ini akan tampak secara kasat mata pada bentuk dan keindahan yang terdapat pada lage hambian, proses pembuatan lage hambian hingga pada proses jualbeli lage hambian yang menarik untuk disajikan sebagai komoditi pariwisata.

2. Something to do, artinya di tempat tersebut selain banyak yang dapat disaksikan, harus disediakan pula fasilitas rekreasi atau amusement yang dapat membuat wisatawan betah tinggal lebih lama di tempat itu.

Usaha dalam menjadikan lage hambian sebagai komoditi pariwisata juga turut menyertakan keikutsertaan wisatawan dalam proses pembuatan lage hambian, dan atraksi menarik ini dapat menarik minat wisatawan yang lebih banyak, tidak hanya terbatas pada proses pembuatan lage hambian akan tetapi wisatawan dapat juga mengekspresikan nilai seni yang dimilikinya dengan melakukan pembuatan lage hambian sesuai dengan motif yang diinginkannya.

Kerjasama antara wisatawan dan masyarakat Batak-Angkola dalam pembuatan lage hambian memberikan nilai apresiasi dan kontinuitas lage hambian.

3. Something to buy, artinya di tempat tersebut harus ada fasilitas untuk berbelanja, terutama barang-barang souvenir dan kerajinan tangan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang.

Adanya proses transaksi jualbeli terhadap komoditi pariwisata seperti lage hambian, selain menambah pemasukan secara ekonomis bagi masyarakat


(38)

Angkola juga dapat menjadi bentuk usaha pelestarian terhadap kebudayaan Batak-Angkola.

Berkaitan dengan proses transaksi jualbeli komoditi pariwisata yang pada umumnya dijual langsung oleh masyarakat ataupun dijual melalui unit usaha kerjasama, lage hambian menawarkan sesuatu yang berbeda dengan proses transaksi jualbeli yang dilakukan di toko-toko emas. Proses transaksi lage hambian di toko-toko emas selain menarik juga memberi kesempatan atau peluang munculnya komoditi pariwisata lainnya yang berasal dari daerah Batak-Angkola.

Selain karakteristik dalam pengembangan pariwisata, juga diperlukan adanya syarat agar suatu hal dapat dikembangkan menjadi usaha wisata, dengan syarat-syarat sebagai berikut (Syamsuridjal dalam Lusianna M.E. Hutagalung, 2009) yaitu :

Attraction (atraksi) yang diartikan sebagai segala sesuatu yang menjadi

ciri khas atau keunikan dan menjadi daya tarik wisatawan agar mau datang berkunjung ketempat wisata tersebut. Lage hambian memenuhi unsur sebagai sesuatu hal yang memiliki nilai atraksi dalam dunia wisata.

Atraksi wisata terdiri dari 2 yaitu :

a. Site Attraction, yaitu daya tarik yang dimiliki oleh objek wisata semenjak objek itu ada, contohnya proses pembuatan lage hambian, upacara yang melingkupi penggunaan lage hambian, penjualan lage hambian, corak warna pada lage hambian.


(39)

b. Event Attraction, yaitu daya tarik yang dimiliki oleh suatu objek wisata setelah dibuat manusia. Dalam hal ini lage hambian dapat dijadikan suatu event attraction dengan memberikan peluang bagi wisatawan untuk turut serta dalam proses pembuatan lage hambian meliputi corak warna, motif dan lain sebagainya, selain itu wisatawan juga berkesempatan untuk turut serta dalam upacara yang menyertakan lage hambian sebagai suatu proses mendapatkan pengalaman dan pemahaman mengenai lage hambian.

Accessbility, yaitu kemudahan cara untuk mencapai tempat wisata

tersebut. Fasilitas transportasi dan jalan menuju lokasi masih terbatas pada kebutuhan setempat, seperti jalan setapak dan sarana transportasi yang hanya dimiliki oleh individu masyarakat (bukan transportasi umum).

Amenity, yaitu fasilitas yang tersedia di daerah usaha wisata seperti

akomodasi dan restoran. Ketika penelitian dilakukan telah terdapat fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung kegiatan pariwisata di lokasi tersebut, dalam artian telah terdapat usaha-usaha hotel, restoran yang menyediakan lage hambian sebagai cenderamat pariwisata.

Institution, yaitu lembaga atau organisasi yang mengolah objek wisata

tersebut. Pengembangan lage hambian pada saat ini telah menikutsertakan peran serta aktif pemerintah dalam usaha menaikkan pamor pembuatan lage hambian sebagai bentuk usaha pelestarian kebudayaan Batak-Angkola dan juga sebagai sebentuk usaha yang mendorong kegiatan ekonomi pada masyarakat Batak-Angkola.


(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran dalam suatu penelitian memegang peranan yang penting, yaitu kesimpulan memberikan gambaran mengenai hal yang dicapai dalam penelitian yang telah dilakukan sedangkan saran merupakan kumpulan masukan yang didasarkan atas hasil penelitia yang nantinya berguna untuk digunakan sebagai aspek pendorong maupun perubahan ke arah yang lebih baik. 5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah :

1. Kegunaan dan fungsi lage hambian bagi masyarakat Batak-Angkola telah mengalami perubahan fungsi, dimana fungsi dasar sebagai alas atau tempat duduk telah berubah menjadi fungsi status sosial bagi masyarakat Batak-Angkola yang menggunakannya. Selain itu kegunaan dalam upacara perkawinan turut menjadi bagian yang menentukan terhadap keberlanjutan kebudayaan Batak-Angkola dalam konteks material adat berupa lage hambian.

2. Makna simbolis yang terangkum dalam selembar lage hambian masih terjaga hingga saat ini walaupun pada penggunaannya telah mengalami pergeseran dalam konteks penggunaan di Kota Medan. Makna simbolis yang terkandung pada lage hambian menggambarkan status sosial seorang individu Batak-Angkola, nilai dari makna simbolis tersebut mencakup makna simbolis mengenai status, kedudukan hingga makna simbolis berupa jumlah lapisan yang menjadi


(41)

bagian lage hambian dan juga penggunaan warna yang menjadi simbol dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, dimana jumlah lapisan yang berjumlah ganjil seperti satu lapisan, tiga lapisan, lima lapisan, tujuh lapisan hingga Sembilan lapisan. Satu lapisan menyimbolkan lapisan dasar yang dipergunakan sebagai kain pembungkus pada upacara perkawinan dan juga sembilan lapisan yang menyimbolkan tingginya status sosial individu yang boleh menduduki lage hambian tersebut.

Penggunaan warna, yatu warna merah yang menyimbolkan kehidupan dasar manusia, warna hijau yang menyimbolkan hubungan antara manusia dengan ekologis wilayah setempat dan juga menyimbolkan hubungan yang tercipta dalam kehidupan manusia (manusia dengan manusia, manusia dan lingkungan) serta warna kuning yang memiliki arti sebagai kebesaran dan kemegahan budaya Batak-Angkola.

3. Salah satu upaya yag dilakukan untuk dapat melestarikan penggunaan lage hambian ditengah-tengah kehidupan masyarakat Batak-Angkola adalah melalui proses menjadikan lage hambian sebagai komoditi pariwisata berbasis budaya. Lage hambian sebagai komoditi pariwisata tidak menjadikan lage hambian kehilangan makna asli sebagaimana lage hambian ketika dipergunakan dalam konteks kehidupan masyarakat Batak-Angkola, melalui proses menjadian lage hambian sebagai komoditi pariwisata justru meluaskan penggunaan lage hambian.

Menjadikan lage hambian sebagai komoditi pariwisata merupakan bagian dari usaha pelestarian nilai budaya Batak-Angkola, dalam konteks ini lage


(42)

hambian dapat dibentuk ulang menjadi bentuk-bentuk yang menarik bagi wisatawan untuk dijadikan sebagai souvenir khas dari Angkola. Hal ini juga memberi daya dukung terhadap kegiatan pariwisata yang dapat dan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat Batak-Angkola di Kota Medan.

5.2 Saran

Saran terhadap penelitian yang telah dilakukan ini adalah :

1. Melakukan proses penyebarluasan pengetahuan mengenai lage hambian yang berdampak pada keberlangsungan penggunaan dan fungsi lage hambian pada kehidupan masyarakat Batak-Angkola,

2. Menjadikan lage hambian sebagai komoditas pariwisata turut memberikan peluang terhadap kemunculan kreasi baru yang mencakup penggunaan bahan baku, keterbukaan lapangan pekerjaan, reka-ulang, variasi warna dan bentuk hingga pada aspek ringkas yang memiliki nilai sebagai komoditi pariwisata,

3. Menjadikan proses pembuatan lage hambian sebagai usaha yang mampu memberikan kemampuan tambahan (finansial maupun pekerjaan) yang mencakup banyak orang sebagai bagian dari produksi,

4. Adanya pembagian antara lage hambian sebagai komoditi pariwisata dan juga sebagai bagian ritual atau acara dalam lingkup budaya Batak-Angkola, hal ini dilakukan agar dapat menjaga nilai asli dari lage hambian dan juga agar dapat menjadi suatu produk pariwisata. Pemilahan ini dilakukan agar lage hambian tidak saling tumpang-tindih antara lage hambian untuk kepentingan


(43)

(44)

BAB II

LETAK DAN LOKASI PENELITIAN

2.1 Kota Medan

Letak dan lokasi penelitian ini terletak di Kota Medan, yang merupakan ibukota propinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian di Kota Medan didasarkan pemahaman bahwa Kota Medan merupakan tempat berkumpul beberapa masyarakat dari beragam latar belakang etnis yang menjadi komposisi masyarakat Kota Medan.

Pemahaman lain yang mendasarkan lokasi penelitian adalah Kota Medan dikarenakan terdapat etnis Batak-Angkola yang menjadi bagian dari komposisi penduduk Kota Medan yang turut membawa pemahaman kebudayaan mereka dalam kehidupan yang multi-etnis di Kota Medan.

Hubungan antara etnis dalam kehidupan di Kota Medan menyebabkan suatu kondisi kompleksitas kehidupan, sebagaimana juga dialami oleh masyarakat Batak-Angkola di Kota Medan beserta dengan pemahaman dan nilai budaya mereka.

2.1.1 Sejarah Kota Medan

Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan “Medan”, bermula dari wilayah kecil dan dijadikan pusat perkebunan tembakau menuju pada bentuk kota metropolitan.


(45)

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri oleh Guru Patimpus. dalam bahasa Karo, kata "Guru" berarti "Tabib" ataupun "Orang Pintar", kemudian kata "Pa" merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata "Timpus" berarti bungkusan, atau balutan pembungkus. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat dilihat pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan di sekitar Balai Kota Medan, tepatnya di Jalan Kapten Maulana Lubis persimpangan Jalan Letjen. S. Parman

Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisikannya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu.

Pada perkembangan lanjutan, cikal-bakal Kota Medan ditentukan oleh pemberian konsesi tanah oleh Sultan Mahmud kepada Nienhuys yang turut menyeret pengakuan atas hak tanah-tanah rakyat yang termasuk dalam konsesi tanah tersebut (Said, 1977:36-37). Konsesi tanah tersebut yang meliputi Kampung Baru dan Deli menjadi lahan bagi tanaman tembakau dan pala pada masa itu, menurut Said (1977:37-38) pada tahun 1870 kegiatan perkebunan atas konsesi


(46)

tanah tersebut atau disebut juga perkebunan Deli Mij telah menjadi luas. Nienhuys yang menjadi pelopor atas konsesi tanah Sultan Mahmud kembali ke Belanda dan untuk kemudian digantikan posisinya oleh J.T. Cremer, usaha perkebunan yang semakin pesat ditunjukkan dengan dibukanya kebun-kebun baru dengan beragam nama, dan hal ini berdampak pada pembangunan kantor perkebunan Deli Mij di Medan Putri, suatu wilayah yang berada di pertemuan dua sungai, yaitu sungai Deli dan sungai Babura. Kelak wilayah yang menjadi pertemuan kedua sungai tersebut menjadi asal penamaan Kota Medan.

Keberadaan Kota Medan tidak lepas dari peranan para pendatang asing yang datang ke Medan sebagai pedagang maupun lainnya, peranan Nienhuys sebagai pemilik modal perkebunan tembakau telah menjadi cikal-bakal pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau telah memindahkan pusat perdagangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang pada saat sekarang ini dikenal dengan kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan perkembangan cikal-bakal Kota Medan seperti sekarang ini, sedang dijadikannya Medan menjadi ibukota dari Deli juga telah mendorong Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus ibukota Sumatera Utara.

2.1.2 Gambaran Umum Kota Medan

Medan sebagai ibukota propinsi Sumatera Utara secara umum dapat dilihat sebagai kota kelima terbesar di Indonesia dan kota terbesar di Pulau Sumatera. Perkembangan Kota Medan mengalami pasang surut, pada masa sebelum munculnya perkebunan di Sumatera Utara, Kota Medan berada dibawah


(47)

Padang. Namun sejak munculnya industri perkebunan di Sumatera Utara atau tepatnya Sumatera Timur, pertumbuhan Kota Medan mengalami peningkatan yang cukup drastis.

Kota Medan muncul sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi pemerintahan, politik dan kebudayaan. Kota Medan sebagai pusat kegiatan ekonomi perkebunan menjadi daya tarik yang luar biasa bagi kaum pendatang untuk mengadu nasib. Akibatnya berbagai macam kelompok etnik, diantaranya adalah : Karo, Toba, Mandailing, Minangkabau, Aceh, Cina, Jawa, India dan lain lain menjadi penghuni kota medan bersama dengan etnik asli yakni Melayu (Suprayitno : 2005).

Komposisi masyarakat Kota Medan yang heterogen terbagi-bagi atas beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut merupakan daerah awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di Kota Medan. Perbedaan lokasi tersebut bukan merupakan gambaran penduduk yang terpecah-belah melainkan sebagai wujud persatuan etnisitas yang dimiliki setiap masyarakat di Kota Medan.

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu kota memiliki berbagai kelebihan yang dapat dilihat dari berbagai aspek.

Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia,


(48)

Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.109.339 jiwa (BPS:2010).

Luas kota Medan mecapai 26.510 hektar (265,10 Km2 ) atau 3.6% dari keseluruhan wilayah sumatera utara (BPS:2010). Dengan demikian, dibandingkan dengan kota /kabupaten lainnya, Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar.

Geografi Kota Medan terletak pada 3o 30’ – 3o 43’ lintang utara dan 98o 35’- 98o 44’ bujur timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 37.5 meter di atas permukaan laut (BPS:2010)

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat.

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD,


(49)

tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefinitifan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

2.1.3 Data Kependudukan Kecamatan Medan Tembung

Lokasi penelitian yang terletak di Kecamatan Medan Tembung yang merupakan salah satu daerah kecamatan yang terdapat didalam pemerintahan Kota Medan (Pemko Medan), adapun Kecamatan Medan Tembung berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara dan Timur sedangkan batas di wilayah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Denai dan batas wilayah Barat yang berbatasan dengan Kecamatan Medan Perjuangan.

Tab el 1

Batas Wilayah Kecamatan Medan Tembung

Wilayah Batas

Utara Kabupaten Deli Serdag


(50)

Selatan Kecamatan Medan Denai

Barat Kecamatan Medan Perjuangan

Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)

Kecamatan Medan Tembung merupakan salah satu kecamatan di Kota Medan yang memiliki luas wilayah sekitar 7,78 Km2, Kecamatan Medan Tembung memiliki tujuh kelurahan

Tab el 2

Wilayah Kelurahan di Kecamatan Medan Tembung Kelurahan

Indra Kasih Sidorejo Hilir Sidorejo Bantan Timur Bandar Selamat Bantan

Tembung

Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)

Adapun data kependudukan masyarakat Kecamatan Medan Tembung berdasarkan data dari setiap kelurahan, adalah :


(51)

Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Kelurahan Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Luas Wilayah (Km2)

Indra Kasih 21 904 1,49

Sidorejo Hilir 19 728 1.16

Sidorejo 21 601 1,19

Bantan Timur 20 494 0,89

Bandar Selamat 18 212 0,9

Bantan 29 075 1,51

Tembung 10 772 0,64

TOTAL 141 786 7,78

Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)

Tab el 4

Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Medan Tembung Kelurahan Pegawai

Negeri Sipil (Jiwa)

Pegawai Swasta (Jiwa)

ABRI (Jiwa) Petani (Jiwa)

Indra Kasih 556 5 934 243 28


(52)

Sidorejo 892 3 027 106 17

Bantan Timur 294 5 234 52 0

Bandar Selamat

663 1 647 114 5

Bantan 482 1 846 98 6

Tembung 238 542 52 9

TOTAL 3 563 23 422 734 97

Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)

Tab el 5

Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Medan Tembung (Lanjutan)

Kelurahan Nelayan (Jiwa)

Pedagang (Jiwa)

Pensiunan (Jiwa)

Lainnya (Jiwa)

Indra Kasih 0 512 93 0

Sidorejo Hilir 1 567 158 0

Sidorejo 0 4 416 384 0

Bantan Timur 0 2 428 126 0

Bandar Selamat


(53)

Bantan 0 1 062 137 0

Tembung 1 1 158 103 0

TOTAL 2 10 927 1 159 0

Sumber : Kecamatan Medan Tembung dalam Angka 2009 (Data diolah penulis)

Tab el 6

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Per-Kecamatan Kota Medan Kecamatan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan

Perempuan

Medan Tuntungan 39.729 42.25 81.974

Medan Johor 60.912 62.557 123.469

Medan Amplas 58.320 59.456 117.776

Medan Denai 71.346 70.496 141.842

Medan Area 47.590 48.801 96.361

Medan Kota 35.258 37.603 72.861

Medan Maimun 19.402 20.517 39.919

Medan Polonia 25.897 26.655 52.552

Medan Baru 18.838 23.351 42.189


(54)

Medan Sunggal 55.164 57.262 112.426

Medan Helvetia 70.880 73.598 114.478

Medan Petisah 29.590 32.572 62.162

Medan Barat 34.596 36.117 70.713

Medan Timur 52.438 55.970 108.408

Medan Perjuangan 45.171 48.791 93.962

Medan Tembung 65.760 69.003 134.763

Medan Deli 84.671 82.521 167.192

Medan Labuhan 56.795 54.696 111.491

Medan Marelan 70.903 68.917 139.820

Medan Belawan 48.833 46.751 95.584

Sumber : bps.go.id/ diakses pada tanggal 21 Desember 2013

Berdasarkan data kependudukan diatas, masyarakat yang tinggal di kawasan Medan Tembung termasuk dalam kategorisasi daerah dengan jumlah penduduk yang tinggi di Kota Medan. Daerah Medan Tembung menjanjikan lahan yang luas dan pengembangan menuju tahapan lanjutan yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Kota Medan.

Berdasarkan nilai yang dimiliki oleh daerah Medan Tembung, hal ini menyebabkan tumbuhnya daerah tersebut menjadi daerah alternatif pengembangan dan juga menuju pada padatnya tingkat masyarakat yang penjadi


(55)

penduduknya.

2.2 Penyebaran Masyarakat Batak-Angkola Ke Kota Medan

Masyarakat Batak-Angkola berasal dari wilayah Tapanuli Bagian Selatan, berada di antara Rao (Sumatera Barat) dan Pahae (Tapanuli Utara), Samudera Hindia, dan Rokan Hulu (Riau), yang kemudian menyebar ke berbagai kota di Indonesia dan Malaysia. Etnik Batak-Angkola berdiam di wilayah yang dialiri dua sungai besar dan bertemu di Muara Batang Gadis menuju Samudera Hindia. Kedua sungai itu adalah Sungai (Batang) Gadis dan Gunung Kulabu.

Budaya etnis Batak-Angkola memadukan tradisi dan agama Islam yang biasa disebut dengan istilah Hombar do Adat dohot Ugamo yang artinya segala aktivitas budaya mereka berlandaskan nilai-nilai keislaman.

Sebenarnya migrasi kelompok etnik Batak-Angkola ke Kota Medan sudah berlangsung lama, tetapi tidak dapat diketahui secara tepat tahun kedatangan mereka ke Medan. Penyebaran kelompok etnik Batak-Angkola berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai literature pada masa awal kemerdekaan sudah terlihat penyebaran berbagai variasi. Seperti yang diungkapkan Bruner dalam Pelly (1998:13) bahwa setelah kemerdekaan pada tahun 1950 dimana kekuasaan Kesultanan Melayu sudah terkikis habis. Kota Medan telah didiami oleh lebih dari selusin kelompok etnik perantau yang tidak memiliki suatu kekuatan dominan dan bukan merupakan mayoritas yang unggul.

Migrasi berbagai kelompok etnik ke Kota Medan sangat terkait dengan dibuka dan berkembangnya perkebunan-perkebunan di wilayah Sumatera Timur.


(56)

Berkembangnya Kota Medan pada waktu itu sebagai Ibu Kota Keresidenan Sumatera Timur telah menyebabkan terpilih menjadi salah satu wilayah perkebunan besar yang mengakibatkan dibutuhkannya tenaga kerja untuk perusahaan perkebunan dan ditinjau dari berbagai aspek termasuk demografis, daya dukung lokal amat tidak memadai.

Didatangkannya orang-orang dari Jawa bukan satu-satunya fenomena yang muncul setelah pembukaan perusahaan perkebunan. Orang yang disebut Timur asing lainnya juga berdatangan, terutama Cina, Arab, dan India. Sesama pribumi terdapat perkayaan kemajemukan dengan datangnya orang-orang dari arah selatan seperti Mandailing, Angkola, Minang, dan juga Batak Toba. Gejala ini semakin menambah besarnya minat para migrant untuk datag ke Kota Medan.

Di Kota Medan para migran biasanya tinggal dan hidup berkelompok dengan kelompok etniknya masing-masing. Karena hampir sebagian besar mereka dating dengan menggunakan jalur keluarga atau kenalan sekampung. Hal ini terlihat dari pola pemukiman penduduk yang ada di Kota Medan yang cenderung mengelompok berdasarkan etnik. Misalnya kelompok etnik Minangkabau cenderung mendiami kawasan Sukaramai, Karo berdiam di wilayah Padang Bulan, Batak di kawasan Pasar Merah, dan Mandailing di sekitar kawasan Jalan Serdang.

Umumnya orang-orang di daerah penelitian yang tinggal dalam satu Kelurahan saling mengenal satu sama lain. Pengenalan itu tidak hanya sebatas nama dan alamat rumah, melainkan jauh lebih dalam sampai pada watak dan sifat pribadi seseorang. Hal ini, karena di samping di antara mereka masih banyak


(57)

keluarga dekat, memang orang-orang di desa ini masih memiliki tradisi yang kuat untuk mengenali orang lain secara lebih mendalam. Jadi, kebiasaan saling menyapa dan sering bercerita antara satu sama lain membuat pengenalan mereka tidak sebatas aspek formalnya saja.

Tradisi yang saling menghubungkan diantara meraka adalah suatu kegiatan adat istiadat. Tradisi itu dilaksanakan ketika pelaksanaan horja (kerja) berlangsung. Pada saat horja berlangsung biasanya melibatkan beberapa kesatuan sosial yang ada di kawasan Kota Medan. Acara-acara adat atau horja juga sebagai wadah memberikan sosialisasi yang bertujuan membentuk suatu pola tindakan pada seorang anak Angkola. Biasanya kalau di kampung asalnya diselenggarakan suatu pesta perkawinan, maka menjadi kesempatan bagi anak untuk belajar manortor, markobar (menyampaikan kata) di depan para kerabatnya yang merupakan sebuah sistem dalihan natolu. Pada saat horja anak-anak mulai belajar untuk mengerti prosesi adat di Angkola, pertuturan (urutan kekeluargaan), adat istiadat, dan bahasa.

2.3 Mata Pencaharian Masyarakat Batak Angkola

Dalam tulisannya Pelly (1998:297) menunjukkan bahwa pemilihan perkerjaan-pekerjaan yang dipilih oleh kelompok Mandailing, Sipirok dan Angkola menunjukkan adanya suatu pola yaitu kecenderungan untuk memilih jenis pekerjaan sebagai pegawai negeri. Menurut Pelly (1998) hal ini disebabkan oleh sosialisasi yang dihadapi dalam lingungan yang bersifat aritrokatis yaitu dalam sistem kehidupannya mereka menganut sistem pemerintahan tradisional


(58)

dan hukum adat yang disebut kuria. Pilihan atas pekerjaan lebih mengarah pada suatu sistem kekuasaan formal dan otoritas. Prefensi dibidang pekerjaannya meliputi pegawai negeri/swasta, polisi atau bahkan pejabat militer.

2.4 Sistem Kekerabatan Batak Angkola

Garis keturunan pada kelompok etnik Batak-Angkola dihitung berdasarkan garis petrilineal. Artinya anak yang lahir termasuk ke dalam keluarga besar ayahnya dan bukan keluarga ibunya. Oleh sebab itu, si anak akan memperoleh marga dari ayahnya yang marga-marga yang secara umum terdapat di kawasan Tapanuli Selatan khususnya marga dari kelompok budaya Batak-Angkola. Marga-marga yang terdapat dalam kelompok etnik Batak-Angkola diantaranya: Siregar, Harahap, Pohan, Hasibuan, Hutasuhut, Daulay, Rambe, Pane, dan Sagala. Masing-masing marga mempunyai peranan, kedudukan, dan fungsi dalam sistem pengaturan bermasyarakat dan berbudaya di daerah itu.

Dalam hubungan kesatuan sosial etnik Batak-Angkola yang terkecil adalah kelompok keluarga batih. Keluarga batih yaitu keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Setelah anak-anaknya tersebut menikah maka anak ini akan membentuk embali keluarga batih tersebut.

Ayah dan ibu memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai budaya Batak-Angkola karena dalam masyarakat Batak-Angkola diikat oleh dalihan na tolu (kahanngi, ank boru, dan mora), juga menerapkan sistem gotong royong dalam kehidupannya untuk memperoleh satu kekuatan yang dapat menciptakan suasana yang kondusif dengan motto atau semboyan hidup yang


(59)

selalu diterapkan oleh ayah dan ibu kepada anak-anaknya yaitu manat-manat markahanggi (berhati-hati terhadap satu marga yang terdekat), elek maranak boru (pandai-pandai mengambil hati dari pihak menantu laki-laki), hormat marmora (hormat kepada besan dari pihak menantu perempuan)

Orang Batak-Angkola yang selama ini dianggap sebagai satu kelompok dengan Mandailing mempunyai perangkat struktur sosial yang merupakan susunan dari unsur-unsur yang pokok dalam masyarakat. Struktur sosial yang terdapat dalam setiap masyarakat, khususnya orang Batak-Angkola merupakan warisan dari nenek moyang.

Struktur sosial dalam kelompok etnik Batak-Angkola memperlihatkan suatu tatanan kekerabatan sesama anggota masyarakat, baik yang termasuk golongan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga (klan), serta orang yang berbeda marga. Struktur sosial ini dapat dilihat dari sistem keerabatan yang dijalankan pada saat upacara adat berlangsung. Struktur sosial pada kelompok etnik Angkola tersusun berdasarkan komposisi yaitu:

1. Mora, yaitu pihak keluarga boru. mora ini mendapat posisi

didahulukan, karena pihak mora dalam hubungan kekeluargaan memiliki posisi yang sangat dihormati, di samping raja-raja maupun pemangku adat.

2. Kahanggi, yaitu golongan yang merupakan teman semarga atau

teman serumpun menurut golongan marga.

3. Anak Boru, yaitu pihak keluarga penerima boru (pangalehenan


(60)

Dalihan na tolu dalam struktur sosial masyarakat secara etimologi berarti tungku yang tiga. Tungku artinya tempat (landasan) menjerangkan periuk ke atas api pada waktu memasak. Alat masak ini kemudian dijadikan sebagai lambing identitas dalam sistem kekerabatan mereka. Dalam struktur ini yang menduduki posisi yang di istimewaan adalah mora. Wujud dari pengistimewaan posisi mra adalah dengan makna pemberian suatu restu yang memiliki nilai dan norma budaya yang dimiliki oleh kelompok masyarakat Batak-Angkola.

Di dalam lingkungan keluarga batih, peran kedua orang tua sangat besar terutama mengasuh seluruh anggota keluarga hingga dewasa. Selain mengasuh secara alamiah kedua orang tua mensosialisasikan adat Angkola dengan melibatkan anak-anak pada suatu acara seperti siluluton yaitu istilah untuk menyebutkan acara duka cita. Dalam acara ini orang tua memerintahkan anak untuk membantu kebutuhan yang berduka. Kemudian anak-anak juga dilibatkan dalam acara siriaon yaitu acara suka cita, pada acara ini orang tua juga memerintahkan anak untuk dapat berperan serta dalam membantu persiapan pernikahan.

Terlibat dalam kegiatan mengundang atau disebut mandohoni Kegiatan Siluluton

Membantu mempersiapkan acara siriaon, seperti membersihkan buah nangka muda yang akan digulai, bersama-sama naposo nauli bulung mencuci beras ke sungai yang akan dimasak dan dihidangkan pada saat acara siriaon berlangsung.


(61)

kerbau sampai menggulainya.

Membantu menghias dan mengatur tempat siriaon. • Terlibat dalam penerimaan tamu.

• Membantu mengangkat barang pengantin perempuan yang akan dibawa ke tempat pengatin laki-laki.

Melakukan acara mangolat (menghentikan keberangkatan pengatin) sampai pengantin laki-laki memberikan tebusan berupa uang yang jumlahnya tidak ditentukan.

• Terlibat dalam kegiatan memberitahukan kepada kaum kerabat baik langsung maupun diumumkan melalui mesjid.

Kegiatan Siriaon

• Membantu mempersiapkan tempat dan semua yang dibutuhkan dalam pelaksanaan siluluton (duka).

• Membantu mempersiapkan acara pemakaman dan tempat kuburan.

• Mengikuti acara tahlilan 3 malam dan membantu acara kenduri malam ke-tiga.

Dalam upacara siluluton dan siriaon yang dilaksanakan oleh anak-anak Batak-Angkola bertujuan untuk memperkenalkan adat istiadat Batak-Angkola. Dengan melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan seperti ini secara otomatis mereka berhubungan lansung dengan budayanya, selain itu juga dapat memposisikan diri sesuai dengan peran dan tugannya masing-masing. Hal ini dapat terlihat dari struktur dalam kegiatan tersebut yang menempatkan anak Batak-Angkola dalam struktur kekerabatan naposo nauli bulung. Sedangkan


(62)

ketika di Medan, meskipun anak-anak Batak-Angkola dilibatkan dalam kegiatan upacara adat ini, namun mereka tidak termasuk dalam struktur kekerabatan naposo nauli bulung.


(63)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Kekayaan nilai tradisi dalam kehidupan bermasyarakat semakin terpinggirkan seiring dengan perkembangan waktu yang dipengaruhi beragam aspek kehidupan, seperti perubahan bentuk kebutuhan kehidupan hingga pada bentuk-bentuk penyesuaian (adaptasi) dalam kehidupan yang terkait dengan wilayah perkotaan. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa terpinggirkannya nilai tradisi dalam kehidupan disebabkan oleh pandangan masyarakat terhadap nilai tradisi dengan memberi stigma kolot, kampungan dan tertinggal bila dibandingkan dengan kehidupan modern masyarakat perkotaan.

Bentuk-bentuk perubahan dan penyesuaian itu terjadi oleh karena bersinggungan dengan dimensi waktu dan tempat. Perubahan yang terjadi juga mempengaruhi nilai kekayaan tradisi yang hidup dalam kehidupan masyarakat, salah satunya masyarakat Batak-Angkola1

1 Dalam penulisan ini istilah Angkola dipergunakan sebagai kata ganti tempat atau wilayah yang merujuk sebagai daerah asal etnis Batak-Angkola, sedangkan penulisan Batak-Angkola merujuk pada penyebutan etnis.

.

Kekayaan nilai tradisi yang dimanifestasikan dalam beragam bentuk, seperti seni yang meliputi musik, lukisan, linguistik mengandung kekayaan nilai-nilai luhur tradisi yang berakar pada adat-istiadat masyarakat. Sehingga kekayaan nilai-nilai tradisi sangat mungkin untuk diperkuat pada saat sekarang ini sebagai kekuataan dalam menghadapi kehidupan.


(64)

Kekayaan tradisi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Lage Hambian yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai tikar adat dalam budaya masyarakat Batak-Angkola. Tikar adat Lage Hambian ini memiliki nilai dan fungsi yang berkaitan dengan penggunaan pada waktu-waktu tertentu, seperti penggunaan dalam lingkup ritual maupun lingkup profan (hiburan).

Pemilihan Lage Hambian sebagai judul dipengaruhi oleh keadaan sekarang ini, dimana penggunaan Lage Hambian terbatas pada bentuk upacara tertentu seperti perkawinan dan terlepas dari nilai yang dimilikinya, selain itu literatur yang minim mengenai deskripsi masyarakat Batak-Angkola secara umum dan minimnya literatur mengenai beragam aspek dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola turut menjadi alasan pemilihan topik penelitian.

Tikar secara harfiah dapat disebut sebagai alas untuk duduk dan secara umum hal ini dikenal dalam beragam kebudayaan di Indonesia dan masih dipergunakan hingga saat ini. Tikar yang berfungsi sebagai alas untuk duduk ini memiliki beragam nilai yang terkait dengan nilai budaya, dari sekedar alas tempat duduk biasa yang dapat bebas dipergunakan hingga pada alas tempat duduk bagi individu yang memiliki nilai sosial tertentu dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola.

Latar belakang penulisan penelitian ini disebabkan oleh kurangnya perhatian pada nilai tradisi yang bernilai dalam kehidupan dan sedikitnya literatur atau penulisan yang membahas nilai tradisi Batak-Angkola secara umum dan


(65)

tidak adanya tulisan yang secara khusus membahas tentang tikar adat Batak-Angkola serta bentuk pengembangan pada tikar adat Batak-Batak-Angkola yaitu Lage Hambian sebagai hasil kerajinan tangan yang memiliki nilai dalam kegiatan wisata.

1.2 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka sangat penting dalam menentukan jalannya suatu penelitian. Tinjauan pustaka adalah suatu usaha untuk membatasi penelitian yang akan dilakukan agar tidak keluar dari maksud penelitian. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini disusun secara sistematis agar secara runut dan teratur dideskripsikan untuk menjalankan penelitian.

1.2.1 Batak-Angkola

Definisi mengenai suku Batak sebagaimana diungkapkan oleh Purba, (2004:50-51) adalah terdiri dari enam sub-grup, yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola, keenam sub-group tersebut terdistribusi di sekeliling Danau Toba kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari daerah Danau Toba, dekat ke perbatasan Sumatera Barat, di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan “orang Batak Toba”. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola.

Kozok (2009:11) menjelaskan bahwa mengenai penggunaan istilah “Batak” yang pada saat ini sudah jarang dipergunakan sebagai istilah yang merujuk pada kelompok etnis, walaupun pada awalnya istilah “Batak” lazim


(66)

dipergunakan pada masa prakolonial hingga awal penjajahan untuk merujuk pada kelompok etnis Batak itu sendiri.

Untuk dapat melihat secara keseluruhan mengenai istilah Batak sebagai etnis yang mendiami wilayah di Sumatera Utara, kutipan dari Hodges (2009:75) memberikan pandangan bahwa Batak sebagai bentuk suku (etnis) yang mendiami wilayah Sumatera Utara dan terbagi atas enam sub-grup Batak (Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola) yang berbagi persamaan dalam aspek struktur sosial, adat dan sejarah. Secara linguistik2

Suku Batak-Angkola, adalah salah satu suku Batak yang bermukim di daerah Angkola yang berada di kabupaten Tapanuli Selatan provinsi Sumatra Utara. Nama Angkola berasal dari nama sungai di Angkola yaitu (sungai) Batang Angkola. Menurut cerita, sungai ini diberi nama oleh Rajendra Kola (Chola) I, penguasa kerajaan Chola (1014 - 1044 M) di India Selatan ketika itu yang masuk melalui Padang Lawas

, Batak terbagi atas tiga wilayah, yaitu : a. Mandailing, Angkola dan Toba di wilayah Selatan, b. Pakpak dan Karo di Utara, c. Simalungun di wilayah Timur laut.

Selain itu Hodges (2009:77) juga memberikan pandangan mengenai perubahan yang terjadi pada proses interaksi sosial, kepercayaan religi dan adat akibat kedatangan kolonial Belanda (VOC) yang merubah kondisi sosial budaya, religi dan ekonomi masyarakat Batak secara umum.

3

2 Hubungan antara linguistik dan aksara penulisannya dikemukakan oleh Van der Tuuk dan Parkin (Kozok, 2009:69) turut memberikan gambaran mengenai proses perkembangan dan penyebaran dari selatan ke utara serta berasal dari Mandailing yang dibuktikan adanya varian aksara yang muncul di wilayah Toba, Simalungun, Pakpak dan Karo.


(1)

skripsi yang baik dan berguna bagi masyarakat. Demikian pengantar dari saya, semoga skripsi ini bermanfaat memberikan kontribusi demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, April 2014

Penulis


(2)

DAFTAR ISI

Halaman persetujuan ...

Pernyataan originalitas ... i

Abstrak ... ii

Ucapan terimakasih ... iii

Riwayat hidup ... vi

Kata pengantar ... vii

Daftar isi ... x

Daftar tabel ... xii

Daftar gambar ... xiii

Lampiran ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian……….. 1

1.2 Tinjauan Pustaka……… 3

1.2.1 Batak-Angkola... 3

1.2.2 Kebudayaan... 7

1.2.3 Fungsi... 8

1.2.4 Makna Simbolis... 9

1.2.5 Pariwisata... 10

1.3 Perumusan Masalah……… 15

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 16

1.4.1 Tujuan Penelitian... 16

1.4.2 Manfaat Penelitian... 16

1.5 Lokasi Penelitian... 18

1.6 Metode Penelitian………... 20

1.6.1 Jenis Penelitian...………... 20

1.6.2 Teknik Pengumpulan data………. 21

1.6.2.1 Data Primer………. 22

1.6.2.2 Data Sekunder... 25

1.6.3 Analisis Data...……… 25

1.7 Pengalaman Lapangan... 26

BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN 2.1 Kota Medan ... 31


(3)

BAB III LAGE HAMBIAN

3.1 Pengertian Lage hambian ... 50

3.2 Sejarah Penggunaan lage hambian ... 52

3.3 Simbol Pada Lage Hambian ... 53

3.3.1 Lage hambian 1 Lapisan ... 57

3.3.2 Lage Hambian 3 Lapisan ... 58

3.3.3 Lage Hambian 5 lapisan ... 58

3.3.4 Lage hambian 7 Lapisan ... 59

3.3.5 Lage hambian 9 Lapisan ... 61

3.4 Jenis Upacara Yang Menggunakan Lage hambian ... 61

3.4.1 Bentuk Upacara Adat ... 63

3.5 Alat Kelengkapan Dalam Upacara Adat ... 65

BAB IV LAGE HAMBIAN SEBAGAI KOMODITI PARIWISATA 4.1 Pembuatan lage Hambian ... 68

4.2 Penjualan Lage Hambian...,... ... 70

4.3 Lage hambian Sebagai Komoditi Pariwisata ... 74

4.3.1 Proses Menjadikan Lage hambian sebagai Komoditi Pariwisata ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 83

5.2 Saran... 85

DAFTAR PUSTAKA... 87

LAMPIRAN


(4)

DAFTAR TABEL

TABEL 1: Batas Wilayah Kecamatan Medan Tembung... 36 TABEL 2: wilayah Kelurahan di Kecamatan Medan... 37 TABEL 3: Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah... 38 TABEL 4: Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan

Medan Tembung... 38 TABEL 5: Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan

Medan Tembung (Lanjutan)... 39 TABEL 6: Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Per-Kecamatan Kota Medan... 40 TABEL 7: Jumlah Lapisan dan Warna Serta Peruntukkan

Lage Hambian... 55 TABEL 8: Jumlah Lapisan dan Harga Jual Lage Hambian


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Lage hambian dengan satu lapisan ….…………... 57

Gambar 2 : Lage hambian dengan tiga lapisan……….. 58

Gambar 3 : Lage hambian dengan lima lapisan... 59

Gambar 4 : Lage hambian dengan tujuh lapisan... 60

Gambar 5 : Rompayan mandailing dengan tujuh lapisan... 60 Gambar 6 : wawancara peneliti dengan informan bernama

Irma (44 tahun) di Toko Mas Seribu...


(6)

LAMPIRAN

Daftar Nama Informan Daftar interview guide Surat Izin Penelitian