Lage Hambian (Studi Etnografi Mengenai Fungsi dan Kegunaan Tikar Adat Batak Angkola di Kota Medan)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Kekayaan nilai

tradisi

dalam

kehidupan bermasyarakat

semakin

terpinggirkan seiring dengan perkembangan waktu yang dipengaruhi beragam
aspek kehidupan, seperti perubahan bentuk kebutuhan kehidupan hingga pada
bentuk-bentuk penyesuaian (adaptasi) dalam kehidupan yang terkait dengan
wilayah perkotaan. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa terpinggirkannya
nilai tradisi dalam kehidupan disebabkan oleh pandangan masyarakat terhadap
nilai tradisi dengan memberi stigma kolot, kampungan dan tertinggal bila
dibandingkan dengan kehidupan modern masyarakat perkotaan.

Bentuk-bentuk perubahan dan penyesuaian itu terjadi oleh karena
bersinggungan dengan dimensi waktu dan tempat. Perubahan yang terjadi juga
mempengaruhi nilai kekayaan tradisi yang hidup dalam kehidupan masyarakat,
salah satunya masyarakat Batak-Angkola 1.
Kekayaan nilai tradisi yang dimanifestasikan dalam beragam bentuk,
seperti seni yang meliputi musik, lukisan, linguistik mengandung kekayaan nilainilai luhur tradisi yang berakar pada adat-istiadat masyarakat. Sehingga kekayaan
nilai-nilai tradisi sangat mungkin untuk diperkuat pada saat sekarang ini sebagai
kekuataan dalam menghadapi kehidupan.

1 Dalam penulisan ini istilah Angkola dipergunakan sebagai kata ganti tempat atau wilayah yang
merujuk sebagai daerah asal etnis Batak-Angkola, sedangkan penulisan Batak-Angkola
merujuk pada penyebutan etnis.

Universitas Sumatera Utara

Kekayaan tradisi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Lage
Hambian yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai tikar adat dalam
budaya masyarakat Batak-Angkola. Tikar adat Lage Hambian ini memiliki nilai
dan fungsi yang berkaitan dengan penggunaan pada waktu-waktu tertentu, seperti
penggunaan dalam lingkup ritual maupun lingkup profan (hiburan).

Pemilihan Lage Hambian sebagai judul dipengaruhi oleh keadaan
sekarang ini, dimana penggunaan Lage Hambian terbatas pada bentuk upacara
tertentu seperti perkawinan dan terlepas dari nilai yang dimilikinya, selain itu
literatur yang minim mengenai deskripsi masyarakat Batak-Angkola secara umum
dan minimnya literatur mengenai beragam aspek dalam kehidupan masyarakat
Batak-Angkola turut menjadi alasan pemilihan topik penelitian.
Tikar secara harfiah dapat disebut sebagai alas untuk duduk dan secara
umum hal ini dikenal dalam beragam kebudayaan di Indonesia dan masih
dipergunakan hingga saat ini. Tikar yang berfungsi sebagai alas untuk duduk ini
memiliki beragam nilai yang terkait dengan nilai budaya, dari sekedar alas tempat
duduk biasa yang dapat bebas dipergunakan hingga pada alas tempat duduk bagi
individu yang memiliki nilai sosial tertentu dalam kehidupan masyarakat BatakAngkola.

Latar belakang penulisan penelitian ini disebabkan oleh kurangnya
perhatian pada nilai tradisi yang bernilai dalam kehidupan dan sedikitnya literatur
atau penulisan yang membahas nilai tradisi Batak-Angkola secara umum dan

Universitas Sumatera Utara

tidak adanya tulisan yang secara khusus membahas tentang tikar adat BatakAngkola serta bentuk pengembangan pada tikar adat Batak-Angkola yaitu Lage

Hambian sebagai hasil kerajinan tangan yang memiliki nilai dalam kegiatan
wisata.

1.2 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka sangat penting dalam menentukan jalannya suatu
penelitian. Tinjauan pustaka adalah suatu usaha untuk membatasi penelitian yang
akan dilakukan agar tidak keluar dari maksud penelitian. Tinjauan pustaka dalam
penelitian ini disusun secara sistematis agar secara runut dan teratur
dideskripsikan untuk menjalankan penelitian.
1.2.1 Batak-Angkola
Definisi mengenai suku Batak sebagaimana diungkapkan oleh Purba,
(2004:50-51) adalah terdiri dari enam sub-grup, yaitu Toba, Simalungun, Karo,
Pakpak, Mandailing dan Angkola, keenam sub-group tersebut terdistribusi di
sekeliling Danau Toba kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh
dari daerah Danau Toba, dekat ke perbatasan Sumatera Barat, di dalam kehidupan
sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan “orang Batak
Toba”. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama sub-grupnya
seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola.
Kozok (2009:11) menjelaskan bahwa mengenai penggunaan istilah
“Batak” yang pada saat ini sudah jarang dipergunakan sebagai istilah yang

merujuk pada kelompok etnis, walaupun pada awalnya istilah “Batak” lazim

Universitas Sumatera Utara

dipergunakan pada masa prakolonial hingga awal penjajahan untuk merujuk pada
kelompok etnis Batak itu sendiri.
Untuk dapat melihat secara keseluruhan mengenai istilah Batak sebagai
etnis yang mendiami wilayah di Sumatera Utara, kutipan dari Hodges (2009:75)
memberikan pandangan bahwa Batak sebagai bentuk suku (etnis) yang mendiami
wilayah Sumatera Utara dan terbagi atas enam sub-grup Batak (Toba,
Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola) yang berbagi persamaan dalam
aspek struktur sosial, adat dan sejarah. Secara linguistik 2, Batak terbagi atas tiga
wilayah, yaitu : a. Mandailing, Angkola dan Toba di wilayah Selatan, b. Pakpak
dan Karo di Utara, c. Simalungun di wilayah Timur laut.
Selain itu Hodges (2009:77) juga memberikan pandangan mengenai
perubahan yang terjadi pada proses interaksi sosial, kepercayaan religi dan adat
akibat kedatangan kolonial Belanda (VOC) yang merubah kondisi sosial budaya,
religi dan ekonomi masyarakat Batak secara umum.
Suku Batak-Angkola, adalah salah satu suku Batak yang bermukim di
daerah Angkola yang berada di kabupaten Tapanuli Selatan provinsi Sumatra

Utara. Nama Angkola berasal dari nama sungai di Angkola yaitu (sungai) Batang
Angkola. Menurut cerita, sungai ini diberi nama oleh Rajendra Kola (Chola) I,
penguasa kerajaan Chola (1014 - 1044 M) di India Selatan ketika itu yang masuk
melalui Padang Lawas 3. Daerah Angkola sendiri terbagi dua wilayah yang sebelah

2 Hubungan antara linguistik dan aksara penulisannya dikemukakan oleh Van der Tuuk dan
Parkin (Kozok, 2009:69) turut memberikan gambaran mengenai proses perkembangan dan
penyebaran dari selatan ke utara serta berasal dari Mandailing yang dibuktikan adanya varian
aksara yang muncul di wilayah Toba, Simalungun, Pakpak dan Karo.
3
(www.wikipedia.com/batak_angkola diakses pada 16 April 2013).

Universitas Sumatera Utara

Selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae 4 (Hilir) dan sebelah Utara
diberi nama Angkola Julu (Hulu).
Pada perkembangannya kemudian masuklah suku-suku lain dari segala
penjuru ke wilayah Angkola. Suku-suku pendatang ini ada yang berbaur dengan
suku Angkola dan ikut dalam adat-istiadat suku Angkola, tetapi ada juga yang
tetap mempertahankan adat nya sendiri.

Marga-marga

pada

masyarakat

Angkola

pada

umumnya

adalah

Dalimunthe, Harahap, Siregar, Ritonga, Daulay dan lainnya. Beberapa margamarga yang ada pada suku Angkola ini terdapat juga pada suku Batak Toba dan
Batak Mandailing. Secara sejarah, sepertinya suku Batak Angkola ini masih
berkerabat dengan suku Batak Toba dan Batak Mandailing. Walaupun saat ini
mereka menyatakan berbeda satu sama lain 5.
Bagi masyarakat lain di luar suku Batak untuk membedakan antara suku
Batak Angkola dengan suku Batak Mandailing dapat dilihat dari segi budaya dan

bahasa, bisa dikatakan memiliki kesamaan, hanya dibedakan dari dialek yang
berbeda. Intonasi bahasa Batak-Angkola sendiri lebih lembut dibanding dengan
intonasi bahasa Batak-Toba, tetapi masih lebih keras dibanding intonasi bahasa
Batak-Mandailing.
Perbedaan mendasar antara suku Batak-Angkola dan Batak-Mandailing
adalah penggunaan istilah raja atau pemimpin masyarakat yang sekarang ini

4 Mengenai istilah “Jae” dan “Julu” juga dipergunakan di daerah Mandailing untuk membagi
wilayah pada dua daerah yang dipisahkan oleh aliran sungai Batang Gadis.
5 Perbedaan mengenai penggunaan istilah Batak sebagai penamaan etnis didorong oleh
masuknya pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat Batak secara umum, mengenai hal ini
dapat dilihat

Universitas Sumatera Utara

memegang peranan dalam kehidupan adat adalah istilah raja panusunan atau raja
daripada raja yang mengepalai beberapa wilayah sedangkan di wilayah Angkola
disebut sebagai raja panusunan bulung.
Selain perbedaan 6 dalam istilah adat-budaya, masyarakat Batak-Angkola
seperti masyarakat Batak pada umumnya juga memiliki beberapa persamaan yaitu

: tikar adat Lage Hambian dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, yang
dalam kehidupan masyarakat Batak-Mandailing disebut dengan rompayan. Pada
masyarakat Batak dikenal kain adat, yang dalam kehidupan masyarakat BatakAngkola dan Batak-Mandailing disebut sebagai ulos Abit Godang dan Ulos
Parumpa Sadun sedangkan pada masyarakat Batak-Toba disebut ulos Ragi Idup
dan beragam hal lainnya yang memiliki persamaan dan perbedaan.
Sebagian masyarakat suku Batak-Angkola memeluk agama Islam setelah
mendapat pengaruh Islam dari Tuanku Lelo (bermarga Nasution), yang
menyebarkan Islam dengan pedangnya, dalam misi Padri (1821) dari
Minangkabau. Tetapi sebagian lain tetap mempertahankan agama adat yang telah
mereka amalkan sejak dari zaman leluhurnya, seperti pelbegu dan malim. Tetapi
tak lama kemudian masuknya pasukan Belanda ke wilayah ini mengusir pasukan
Padri yang berusaha mengislamkan wilayah Angkola ini, dan sebagian
masyarakat Angkola yang tadinya bertahan dari pengaruh Islam Padri, akhirnya
menerima ajaran Kristen yang diperkenalkan oleh para misionaris Belanda di
6 Kesatuan wilayah Sumatera Utara yang didiami oleh masyarakat Batak dan terbagi atas
beberapa bagian, yaitu Pakpak, Karo, Simalungun, Toba, Mandailing dan Angkola memiliki
beberapa perbedaan dalam kehidupannya walaupun sebenarnya hal tersebut hanya mencakup
istilah saja, seperti Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak-Toba dan Simalungun yang pada
masyarakat Batak-Mandailing dan Batak-Angkola disebut dan dituliskan dengan Dalian Na
Tolu.


Universitas Sumatera Utara

wilayah Angkola ini.
Masyarakat Batak-Angkola pada umumnya hidup sebagai petani, seperti
membuka lahan padi sawah maupun ladang. Selain itu mereka juga menanam
berbagai jenis sayur-sayuran sampai ke tanaman keras seperti kopi arabica dan
lain-lain. Kegiatan lain adalah memelihara ternak seperti ayam, bebek, angsa dan
juga kerbau atau sapi
1.2.2 Kebudayaan
Kebudayaan

secara

singkat

dideskripsikan

oleh


Koentjaraningrat

(1980:193) sebagai : keseluruhan sistem gagasan atau ide, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia melalui proses belajar, bergerak dari deskripsi kebudayaan ini, maka
Lage Hambian dapat dikatakan sebagai hasil karya manusia, untuk menjadikan
sebagai suatu hasil karya manusia diperlukan adanya proses penyampaian hasil
karya tersebut kepada generasi selanjutnya, proses transmisi ini meliputi cara
pandang, cara pembuatan maupun penggunaan yang dapat diperoleh melalui tiga
wujud kebudayaan yang secara singkat dituliskan oleh Koentjaraningrat
(1980:201-203) sebagai berikut, yaitu : wujud ide/gagasan, wujud sistem sosial
serta wujud kebudayaan fisik.

Untuk memperkuat hal ini digunakan analisis folklor, dimana folklor
adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara
turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak

Universitas Sumatera Utara


isyarat atau alat peraga pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja,
1986:2), hal ini juga berlaku bagi Lage Hambian.
1.2.3 Fungsi
Fungsi dalam lingkup penelitian ini merujuk pada penggunaan konsep
fungsi yang dikemukakan oleh Theodor W. Adorno, hal ini dimaksudkan agar
konsep fungsi yang dipergunakan mengarah pada fungsi dalam bentuk seni atau
dalam hal ini Lage Hambian.
Adorno (dalam Burger, 1984:10) mengatakan bahwa fungsi seni : “a
social realm that is set apart from the means-end rationality of daily bourgeois
existence. Precisely for this reason, it can criticize such an existence,” yang
diartikan sebagai sebuah dunia sosial yang diatur terpisah dari sarana akhir
rasionalitas keberadaan borjuis (kaya) sehari-hari. Justru untuk alasan ini, bisa
mengkritik keberadaan tersebut. Secara lebih lanjut, fungsi dalam seni juga
memiliki definisi yang sama seperti fungsi dalam bahasa yang didefinisikan oleh
Jakobson (dalam Marcus dan Myers, 1995:13) yaitu :
“Fungsi di mana tanda-tanda linguistik datang (muncul)
harus dihargai (bernilai) bukan karena apa yang mereka
lihat transparan (penanda mereka), tetapi untuk kombinasi
mereka sebagai bahan, badan teraba. Adapun lukisan
(hasil karya), di mana fungsi representasional digantikan
oleh pelukis (pembuat karya).”
Secara sederhana, definisi mengenai fungsi yang dikemukakan oleh
Jakobson adalah mengenai suatu hal yang dapat memiliki nilai akibat dari proses
pencampuran dalam kehidupan, sehingga dalam hal ini Lage Hambian merupakan

Universitas Sumatera Utara

benda (materi) yang memiliki fungsi yang ditimbulkan oleh akibat penggunaan,
dan secara singkat tanpa adanya penggunaan maka fungsi dari materi tersebut
tidak akan muncul.
1.2.4 Makna Simbolis
Makna simbolis atau interpretasi simbolik yang terdapat pada Lage
Hambian akan dilihat dalam konsep yang dikemukakan oleh Clifford Geertz.
Secara khusus Geertz (1973:216) mengatakan proses interpretasi atas simbol yang
muncul dalam kegiatan manusia sebagai proses interprestasi simbol dimana
bentuk yang tersimpan atau tersembunyi namun memiliki informasi penting yang
dapat memberikan penjelasan terhadap kehidupan manusia. Lebih lanjut Geertz
(1973: 353) juga mengemukakan bahwa “to produce symbolic structures capable
of formulating and communicating objective (which is not to say accurate)
analyses of the social and physical worlds 7.” Pendapat tersebut berarti sebagai
usaha memproduksi struktur simbol mencapai formulasi dan menyampaikan
pesan simbolik sebagai bagian dari analisis sosial dan fisik.
Dalam tahapan interpretasi selanjutnya, Geertz (1983:120) memberikan
penekanan terhadap usaha interpretasi dalam seni yang disebutnya sebagai :

“To be of effective use in the study of art, semiotics must
move beyond the consideration of signs as means of
communication, code to be deciphered, to a consideration
of them as modes of thought, idiom to be interpreted.”
Terjemahan :
7 Terjemahan : “untuk menghasilkan struktur simbolis yang mampu merumuskan dan
mengkomunikasikan tujuan (yang tidak berarti akurat) analisis dari dunia sosial dan fisik. "

Universitas Sumatera Utara

“Agar efektif dalam penggunaan studi seni, semiotika
harus bergerak melampaui pertimbangan tanda-tanda
sebagai sarana komunikasi, kode harus diuraikan, dengan
pertimbangan

sebagai

cara

berpikir,

idiom

untuk

ditafsirkan.”
1.2.5 Pariwisata
Untuk dapat menjadikan Lage Hambian sebagai komoditi yang dihasilkan
melalui proses kegiatan wisata, maka diperlukan adanya konsep mengenai
pariwisata yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan.
Mengutip

tulisan

Sukadijo

(1996:2)

mengenai

pariwisata

yang

mengatakan bahwa pariwisata merupakan keseluruhan segala kegiatan yang
berhubungan dengan wisatawan, hal ini membuktikan bahwa ini erat
hubungannya dengan antropologi yang tampak dalam kajian mengenai manusia
dan aspek sosialnya dan dituntut untuk belajar mengetahui apa yang diinginkan
orang-orang sebagai calon wisatawan sebagai dasar atau awal usaha pemenuhan
kebutuhan yang benar-benar mereka inginkan. Hal ini diciptakan untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan, yaitu mendatangkan banyak pengunjung atau
wisatawan karena mereka berhasil “dipuaskan” kebutuhannya.
Mengutip Suastika (2011: 14-15) yang menuliskan bahwa terdapat
berbagai pendapat dalam mendefinisikan kata pariwisata tersebut, namun hal yang
paling penting adalah harus memandang pariwisata secara menyeluruh
berdasarkan cakupan atau komponen yang terlibat dan mempengaruhi pariwisata,
yang dalam hal ini dipergunakan tiga hal, yaitu wisatawan, industri penyedia
barang dan jasa dan masyarakat setempat :

Universitas Sumatera Utara

1. Wisatawan, setiap wisatawan ingin mencari dan menemukan pengalaman
fisik dan psikologis yang berbeda – beda antara satu wisatawan dengan
wisatawan lainnya. Hal inilah yang membedakan wisatawan dalam
memilih tujuan dan jenis kegiatan di daerah yang dikunjungi.
2.

Industri Penyedia Barang dan Jasa, orang – orang bisnis atau investor
melihat pariwisata sebagai suatu kesempatan untuk mendatangkan
keuntungan dengan cara menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan
wisatawan.

3. Masyarakat setempat, masyarakat lokal biasanya melihat pariwisata dari
faktor budaya dan pekerjaan karena hal yang tidak kalah pentingnya bagi
masyarakat lokal adalah bagaimana pengaruh interaksi wisatawan dengan
masyarakat lokal baik pengaruh yang menguntungkan maupun yang
merugikan.
Berdasarkan pendapat mengenai pariwisata tersebut, penelitian yang akan
dilakukan ini melihat bahwa menjadikan Lage Hambian sebagai komoditi
pariwisata berbasis hasil kerajinan tradisi Batak-Angkola di Kota Medan memiliki
beberapa unsur yang terkait satu dan lainnya, seperti hubungan antara masyarakat
setempat (lokal) yang memiliki kemampuan dan pengetahuan atas nilai tradisi
dengan pihak lain yang memiliki kemampuan menjadi Lage Hambian sebagai
komoditi pendukung kegiatan pariwisata di Kota Medan.
Komponen yang mempengaruhi pariwisata dalam hal ini memberi
penekanan pada aspek masyarakat lokal atau masyarakat Batak-Angkola yang
memiliki nilai adat-budaya dan menjadi komoditas wisata, yang diharapkan dapat

Universitas Sumatera Utara

memberi penjelasan secara mendalam mengenai nilai adat-budaya BatakAngkola. Aspek berikutnya adalah aspek wisatawan yang memiliki peranan
menentukan nilai komoditas pariwisata, yaitu Lage Hambian sehingga perubahan
bentuk dan warna merupakan bentuk kesepakatan antara masyarakat BatakAngkola di Kota Medan dengan wisatawan.
Selain kedua komponen tersebut juga akan dilibatkan komponen penyedia
barang dan jasa yang berguna sebagai perantara antara masyarakat Batak-Angkola
dan wisatawan dalam memasarkan Lage Hambian sebagai produk wisata yang
berbasiskan nilai adat-budaya Batak-Angkola.
Lage Hambian sebagai bentuk komoditi wisata merupakan bentuk jamak
yang terjadi pada setiap kehidupan masyarakat yang masih memegang nilai adatbudaya dan berproses menjadikan nilai adat-budaya sebagai bagian dari komoditi
wisata, contoh mengenai penggunaan nilai adat-budaya sebagai komoditi
pariwisata terlihat seperti dalam kajian Niessen (2010) yang berjudul “Legacy of
Cloth” yang memberi penjelasan mendetail mengenai fungsi dan peran ulos dalam
kehidupan masyarakat Batak-Toba dan strategi memasarkan ulos dalam dunia
wisata.
Kajian mengenai tenunan tradisional sutra mandar di Sulawesi Barat oleh
Bahrum dan Anwar (2009) yang melihat proses pembuatan, perubahan corak serta
usaha merevitalisasi tenunan tradisional sebagai bagian dari penguatan nilai adatbudaya serta mendorong aspek eksternal penggunaan tenun tradisional sebagai
daya tarik wisata, dengan memberi penekanan terhadap perubahan bentuk motif
sebagai strategi mendekatkan antara nilai adat-budaya terhadap kegiatan wisata

Universitas Sumatera Utara

dan terbukti bahwa hal tersebut dapat menambah nilai ekonomis serta menguatkan
kembali nilai adat-budaya melalui penggunaan tenun tradisional sutra mandar.
Selain bentuk nilai adat-budaya yang dimanifestasikan dalam tenun, kain
dan hal lainnya yang bersinggungan dengan hasil karya, juga terdapat bentuk nilai
adat-budaya lainnya yang juga turut menjadi komoditi kegiatan pariwisata, seperti
tulisan dari Atmojo (2011) yang mendeskripsikan mengenai barong dan garuda
yang mengalami perubahan dari bentuk sakral pada bentuk profan serta
penggunaannya sebagai barang cinderamata bagi wisatawan yang berkunjung ke
Bali dan sebagai bagian dari menjaga kelangsungan nilai barong dan garuda
dalam kehidupan masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh religi Hindu.
Tulisan dari Liyansyah (2010) tentang kesenian tradisional rondang
bintang pada masyarakat Batak-Simalungun yang merupakan bagian dari upacara
kehidupan masyarakat Batak-Simalungun sebagai persembahan atas hasil panen
yang berlimpah yang dikaitkan dengan konsep pariwisata untuk mendatangkan
wisatawan serta memunculkan potensi-potensi yang dimiliki sebagai komoditi
pariwisata.
Contoh-contoh keterkaitan antara nilai adat-budaya dalam kegiatan wisata
seperti dijelaskan sebelumnya, memiliki satu tujuan utama yaitu memperluas
penggunaan dan memperkenalkan seni tradisi dalam balutan kegiatan pariwisata.
Hal ini memberikan penambahan nilai bagi nilai adat-budaya dalam kehidupan
masa kini.
Antara pariwisata dengan kebudayaan memiliki hubungan yang dapat
dijelaskan berdasarkan dari cerita. Dimana hubungan antara pariwisata dan

Universitas Sumatera Utara

kebudayaan berawal dari rasa ingin tahu seseorang. Perasaan ini yang mendorong
orang untuk melakukan perjalanan (berwisata). Lebih lanjut dilakukan
penyimpulan bahwa makin banyak orang melakukan perjalanan, makin bertambah
pula pengetahuan serta pengalamannya. Kemudian berlanjut pada bertambahnya
‘kekayaan’ intelegensia dan jiwanya. Hal inilah yang dinamakan emansipasi
seseorang (Pendit, 2003: 195).
Emansipasi seseorang lazim pula disebut budaya pribadi (personal culture
atu subjective culture). Makin tinggi nilai watak dan sifat seseorang, makin tinggi
pula emansipasi yang dicapai olehnya. Dalam hal ini ia disebut seseorang yang
berkebudayaan, manusia budaya (a cultured man) yang dihasilkan oleh
pengetahuan serta pengalamannya dalam melakukan perjalanan selama hidupnya.

Kebudayaan tampak dalam tingkah laku dan hasil karya manusia (culture
in act and artifact). Manifestasi kebudayaan itulah yang diharapkan kepada
wisatawan untuk dinikmati sebagai atraksi wisata. Dengan kata lain, di belakang
manifestasi kebudayaan terdapat nilai kebudayaan yang dapat dijual (Soekadijo,
1996: 288-289).

1.3 Perumusan Masalah
Perumusan masalah sangat penting agar diketahui jalannya suatu
penelitian, hal ini berlaku bagi penulisan tentang “Lage Hambian; Studi Etnografi
Tentang Tikar Adat Batak-Angkola Sebagai Komoditi Pariwisata di Kota Medan”,
bertujuan untuk melihat fungsi yang terkandung dalam Lage Hambian sebagai
tikar adat, baik fungsi sebagai kelengkapan ritual maupun fungsi profan (hiburan)

Universitas Sumatera Utara

juag dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terkait dengan penggunaan
ritual. Selain melihat fungsi yang terkandung pada Lage Hambian, juga akan
dilihat makna simbolis yang terdapat pada tikar adat Lage Hambian dari unsur
bentuk, warna dan hal lainnya yang memiliki nilai makna simbolis. Penelitian ini
melihat tikar adat Lage Hambian sebagai kekayaan nilai tradisi yang didasarkan
pada budaya masyarakat Batak-Angkola.
Lage Hambian dalam penelitian ini dideskripsikan secara rinci yang
memiliki fungsi dalam kegiatan ritual maupun fungsi dalam kegiatan hiburan dan
digunakan dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Batak-Angkola di Kota
Medan, yang juga memiliki nilai sebagai hasil kerajinan tangan yang memiliki
nilai jual dalam kegiatan wisata.
Perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam
beberapa pertanyaan penelitian, yaitu :
1. Apa saja kegunaan dan fungsi Lage Hambian ?
2. Makna simbolis apa yang terdapat pada Lage Hambian ?, dan
bagaimana nilai Lage Hambian dalam kehidupan masyarakat BatakAngkola di Kota Medan ?

3. Bagaimana menjadikan Lage Hambian sebagai komoditi pariwisata ?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan harus memiliki tujuan yang hendak
dicapai dan manfaat dari penelitian tersebut, adapun yang menjadi tujuan dan
manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

1.4.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai sebentuk tulisan ilmiah yang bermaksud
untuk dapat menghadirkan suasana dan gambaran mengenai fungsi dan makna
simbolis yang terdapat pada Lage Hambian secara utuh dan menyeluruh.
Tujuan selanjutnya dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk
melihat secara keseluruhan penggunaan Lage Hambian bagi masyarakat BatakAngkola yang bertempat tinggal di Kota Medan, hal ini ditujukan untuk melihat
bagaimana penggunaan terhadap Lage Hambian sebagai suatu manifestasi
kebudayaan Batak-Angkola dan bentuk pengembangan terhadap tikar adat Lage
Hambian dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola di Kota Medan yang
diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu bentuk studi antropologis.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Sebagai sebentuk penelitian, besar harapan penulis agar nantinya hasil dari
penelitian dapat memberikan sumbangan nyata yang berarti bagi khalayak umum
dan masyarakat Batak-Angkola pada khususnya, secara sederhana manfaat yang
diharapkan dari penelitian dan hasil penelitian ini dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat deskripsi tentang
penggunaan dan fungsi Lage Hambian bagi masyarakat Batak-Angkola Kota
Medan, untuk mendapatkan gambaran tentang penggunaan dan fungsi Lage
Hambian pada masyarakat Batak-Angkola di Kota Medan secara utuh, penelitian
ini melihat Lage Hambian sebagai suatu ekspresi yang memiliki nilai ritual adat
dan hiburan dalam lingkup masyarakat Batak-Angkola di Kota Medan didalam

Universitas Sumatera Utara

penerapannya. Penelitian tentang Lage Hambian ini juga bermanfaat sebagai
suatu yang penting, menarik dan berguna untuk melestarikan bentuk alat dan
bentuk ritual adat dari penggunaan Lage Hambian tersebut.
Menariknya

penelitian

ini

untuk

semakin

memperkokoh

jatidiri

masyarakat Batak-Angkola melalui media Lage Hambian dengan tujuan utama
agar para generasi berikutnya mengenal bentuk kesenian tradisional mengingat
kemunculan beragam bentuk kesenian modern.
Adapun manfaat penelitian ini nantinya adalah :


Pada bidang akademis, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi
penambah khasanah penelitian bidang antropologi.



Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi suatu bahan evaluasi terhadap
penelitian yang telah ada sebelumnya mengenai lage hambiyan sebagai
suatu hasil kerajina adat dengan nilai ritual adat maupun sebagai suatu
bentuk hiburan.

1.5. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan, dengan lokasi yang dianggap
merepresentasikan etnis Batak-Angkola di Kota Medan, adapun lokasi tersebut
meliputi : kawasan Kecamatan Medan Tembung, pemilihan lokasi penelitian ini
dilakukan dengan didasarkan atas :
1. Kota Medan merupakan pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara,
sehingga Kota Medan adalah bentuk kota modern yang dihuni oleh
berbagai masyarakat dalam hal ini yang menjadi fokus adalah

Universitas Sumatera Utara

masyarakat Batak-Angkola.
2. Adanya komunitas Batak-Angkola dengan kelengkapan adat istiadat di
Kota Medan.
3. Kawasan Kecamatan Medan Tembunng merupakan daerah pusat
transportasi antar daerah di Kota Medan yang didiami oleh masyarakat
Batak-Angkola.
Masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini
nantinya, hal ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap
sebagai suatu lokasi yang mewakili keberadaan etnik Batak-Angkola yang
bertempat tinggal di Kota Medan.
Pemilihan lokasi ini juga mempertimbangkan beberapa hal pendukung
dalam pemilihan lokasi penelitian, yaitu : sejarah lokasi, letak strategis lokasi dan
juga memperhatikan beberapa bentuk karakteristik masyarakat Batak-Angkola di
Kota Medan, mengutip Matondang (2008:32) yang memberi penjelasan mengenai
karakteristik masyarakat sebagai suatu penjelasan mengenai seberapa jauh
masyarakat dalam memandang dan melakukan adat budaya mereka dalam
kehidupan sehari-hari yang dalam hal ini adalah masyarakat Batak-Angkola.
Karakteristik yang diungkapkan oleh Matondang (2008:32) terdiri dari tiga
karakteristik utama, yaitu :
1. Karakteristik masyarakat yang masih memegang nilai adat-budaya
dalam kehidupan dan tanpa adanya usaha menggabungkan dengan nilai adatbudaya lainnya yang terdapat disekitar lingkungannya,
2. Karakteristik masyarakat yang memegang nilai adat-budaya dan

Universitas Sumatera Utara

melakukan proses penggabungan dengan nilai adat-budaya lain, yang juga bernilai
sebagai bentuk adaptasi,
3. Karakteristik masyarakat yang tidak mengenal nilai adat-budaya dan
mempergunakan nilai adat-budaya lain dalam kehidupannya.

Karakteristik masyarakat tersebut dapat dilihat atas indikator penggunaan
bahasa daerah/lokal dalam kehidupan, indikator sosial dan indikator budaya.
Ketiga indikator itu dipergunakan dalam penelitian untuk melihat pengaruh nilai
adat-budaya dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola di daerah perantauan,
yaitu Kota Medan.

1.6 Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan bersifat deskriptif dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, yang bermaksud menggambarkan secara
terperinci mengenai Lage Hambian pada masyarakat Batak-Angkola Kota Medan,
selain melihat Lage Hambian sebagai suatu jenis ekspresi seni tradisi BatakAngkola, juga akan melihat Lage Hambian sebagai suatu keseluruhan, hal ini
sejalan dengan Goodenough (1970:101) :
“When I speak of describing a culture, then formulating a
set of standards that will meet this critical test is what I
have in mind. There are many other things, too, that we
anthropologists wish to know and try to describe. We have
often reffered to these other things as culture, also
consequently.”

Universitas Sumatera Utara

Terjemahan :
“Ketika berbicara tentang menggambarkan suatu budaya,
kemudian merumuskan satu standar yang akan dihadapkan
pada tes kritis inilah yang ada dalam pikiran. Ada banyak
hal lain, juga yang terkait dengan hal tersebut, maka kita
sebagai antropolog ingin mengetahui dan berusaha untuk
menguraikan budaya tersebut. Kita sering masuk ke
berbagai hal lain dari perihal budaya, hal ini merupakan
konsekwensi dari menguraikan suatu budaya.”
Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah orientasi teoritik
dalam bentuk kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif, cara-cara memainkan, caracara pandang, ataupun ungkapan-ungkapan emosi dari masyarakat yang diteliti
mengenai makna yang ada dalam ritual adat melalui media Lage Hambian, itu
justru digunakan sebagai data dalam penelitian ini.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal mendeskripsikan tentang penggunaan Lage Hambian pada
masyarakat Batak-Angkola, maka dilakukan penelitian lapangan sebagai suatu
upaya untuk memperoleh data primer. Selain itu diperlukan juga penelitian dari
berbagai sumber kepustakaan sebagai upaya untuk memperoleh data sekunder.
Dalam penelitian kualitatif, untuk memperoleh data primer tersebut, metode yang
digunakan adalah metode etnografi dengan pendekatan observasi atau pengamatan
dan wawancara.
Metode etnografi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bentuk
kerja lapangan dengan pendekatan observasi partisipasi sebagai jalan untuk

Universitas Sumatera Utara

mendapatkan data lapangan yang valid, hal ini diungkapkan oleh Van Maanen
(1996:263-265) sebagai berikut :
“When used as a method, ethnography typically refers to
fieldwork (alternatively, participant-observation)
conducted by a single investigator who 'lives with and
lives like' those who are studied, usually for a year or
more.”
Terjemahan :
“Ketika digunakan sebagai sebuah metode, etnografi
biasanya mengacu pada kerja lapangan (alternatif, peserta
observasi) yang dilakukan oleh penyidik tunggal yang
'tinggal bersama dan hidup seperti' mereka yang dipelajari,
biasanya selama satu tahun atau lebih.”
1.6.2.1 Data Primer
Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara penelitian lapangan, yaitu :
Metode observasi dilakukan guna mengetahui situasi dalam konteks ruang
dan waktu pada daerah penelitian. Menurut penulis, data yang diperoleh dari hasil
wawancara saja tidaklah cukup untuk menjelaskan fenomena yang terjadi, oleh
karena itu diperlukan suatu aktivitas dengan langsung mendatangi tempat
penelitian dan melakukan pengamatan. Pengamatan akan dilakukan pada setiap
kegiatan atau peristiwa yang dianggap perlu atau berhubungan dengan tujuan
penelitian.
Bentuk pengamatan langsung memberikan akses terhadap informasi
penelitian melalui keterlibatan penulis dalam suatu kegiatan yang berlangsung dan

Universitas Sumatera Utara

hal ini menjadikan peneliti memiliki keterikatan terhadap subjek penelitian.
Observasi secara non-partisipasi dan partisipasi merupakan bentuk dari
kerja lapangan untuk mendapatkan informasi yang mendukung jalannya suatu
penelitian. Kutipan dari Emerson (1995:1-2) memberi penekanan terhadap kerja
lapangan seorang etnografer sebagai :
“Ethnographers are committed to going out and getting
close to the activities and everyday experiences of other
people. "Getting close" minimally requires physical and
social proximity to the daily rounds of people's lives and
activities; the field researcher must be able to take up
positions in the midst of the key sites and scenes of other's
lives in order to observe and understand them.”
Terjemahan bebas :
“Etnografer berkomitmen untuk pergi keluar dan semakin
dekat dengan kegiatan dan pengalaman sehari-hari orang
lain. "Semakin dekat" minimal membutuhkan kedekatan
fisik

dan

sosial

untuk

putaran

harian

kehidupan

masyarakat dan kegiatan; peneliti lapangan harus mampu
mengambil posisi di tengah-tengah tempat (informan)
kunci dan adegan kehidupan lain dalam rangka untuk
mengamati dan memahami mereka.”
Metode yang dipakai adalah observasi (partisipasi maupun non-partisipasi)
observasi partisipasi membantu untuk memahami lingkungan dan menilai keadaan
yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat, hanya dapat dirasakan)
dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan, yang mana dalam
observasi jenis ini peneliti tidak hanya sebatas melakukan pengamatan, tetapi juga

Universitas Sumatera Utara

ikut serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dimana penelitian ini akan
dilakukan, hal ini tidak tidak terlalu sulit bagi peneliti dikarenakan peneliti
merupakan penduduk Kota Medan sendiri, observasi diharapkan dapat berjalan
dengan baik oleh karena sebelumnya telah dilakukan pra-penelitian dan peneliti
telah membangun rapport 8 yang baik. Walaupun demikian peneliti akan berusaha
berfikir secara objektif sehingga data yang diperoleh dilapangan adalah benar dan
sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan.
Dalam hal perlengkapan pada saat melakukan kegiatan penelitian yang
bersifat observasi non-partisipasi, digunakan kamera dan video kamera untuk
mempublikasikan hal-hal penting yang dianggap mendukung penelitian. Dengan
adanya kamera dan video kamera dapat memudahkan peneliti untuk
menggambarkan keadaan dari masyarakat tempat penelitian berlangsung.
Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth
interview) kepada beberapa informan yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Informan disini adalah para pembuat tikar adat Lage Hambian dan penjual tikar
adat Lage Hambian sebagai informan utama, para tokoh-tokoh adat dan
masyarakat Batak-Angkola lainnya sebagai informan biasa. Para pembuat tikar
adat Lage Hambian adalah mereka yang secara luas mengetahui seluk beluk
tentang Lage Hambian tersebut secara menyeluruh, selain para pembuat tikar adat
Lage Hambian tersebut tokoh-tokoh adat dan masyarakat Batak-Angkola
dikategorikan sebagai informan untuk memperoleh pengetahuan masyarakat luas
tentang makna penggunaang Lage Hambian. Besar kecilnya jumlah informan
8 Hubungan/kedekatan antara peneliti dengan informan.

Universitas Sumatera Utara

tergantung pada data yang diperoleh di lapangan.
Wawancara mendalam ini dilakukan dengan mendatangi para pembuat
tikar adat Lage Hambian yang dianggap mempunyai dan memiliki pengetahuan
yang luas dan lengkap tentang sejarah, asal-usul dan makna yang terdapat pada
Lage Hambian. Hal ini perlu dilakukan karena pengetahuan akan sejarah, asalusul Lage Hambian tersebut memberikan sumbangan yang berarti dalam
memahami makna dan merupakan tema pokok penelitian yang akan dilakukan.
Teknik wawancara juga dilakukan dengan cara komunikasi verbal atau
langsung dengan informan utama maupun informan biasa dengan berpedoman
pada interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mendapatkan
data konkrit yang lebih rinci dan mendalam. Perlengkapan yang digunakan pada
saat wawancara adalah catatan tertulis untuk mencatat bagian-bagian yang penting
dari hasil wawancara dan tape recoder serta video kamera yang digunakan untuk
merekam proses wawancara dalam rangka antisipasi terhadap keabsahan data
yang diperoleh ketika melakukan wawancara serta sebagai bahan video lapangan
etnografi (field video ethnography).
1.6.2.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi
memiliki keterkaitan fungsi dengan salah satu aspek pendukung bagi keabsahan
suatu penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian, data sekunder dalam penelitian ini
adalah :
Studi

kepustakaan

sebagai

teknik

pengumpul

data

selanjutnya,

Universitas Sumatera Utara

dimaksudkan peneliti sebagai suatu sarana pendukung untuk mencari dan
mengumpulkan data dari beberapa buku dan hasil penelitian para ahli lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian guna lebih menambah pengertian dan
wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir penelitian ini.
1.6.3. Analisis Data
Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam
penelitian ini penulis berusaha untuk bersikap objektif terhadap data yang
diperoleh dilapangan. Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian
lapangan tersebut akan diteliti kembali atau diedit ulang, pada akhirnya kegiatan
ini bertujuan untuk memeriksa kembali kelengkapan data lapangan dan hasil
wawancara.
Langkah selanjutnya data-data ini akan dianalisa secara kualitatif melalui
teknik taxonomy data, sehingga data yang diperoleh akan dikategorikan
berdasarkan jenisnya. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi, wawancara
dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan pemahaman akan fokus penelitian
atau berdasarkan kategori-kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian.
1.7. Pengalaman Lapangan

Penelitian saya dimulai pada bulan Oktober 2013 sampai Februari 2014.
Hal pertama yang saya lakukan adalah berdiskusi dahulu dengan kedua orang tua
saya yang juga paham akan pembahasan penelitian yang akan saya lakukan.
Kemudian saya dianjurkan untuk terlebih dahulu menemui H. Persatuan Harahap
(62 Tahun), sebagai sosok yang dituakan dan dianggap tahu lebih banyak tentang

Universitas Sumatera Utara

tikar adat Lage hambian. Sebelumnya, tidak lupa saya juga mengurus izin ke
Kantor Kecamatan Medan Tembung untuk melakukan penelitian di Kecamatan
tersebut. Setelah meminta izin, saya pun bergegas menemui informan pertama
saya, yaitu H. Persatuan Harahap (62 Tahun). Saya menemui beliau di Toko
Jepara miliknya yang berada di jalan Denai. Namun, ketika saya tiba di toko
tersebut, ternyata beliau sedang tidak berada disana. Ia baru saja keluar. Istrinya
mengatakan bahwa beliau mungkin sedang berada di kedai kopi dekat tokonya.
Saya pun meminta nomor telepon bapak H. Persatuan Harahap (62 Tahun) agar
saya bisa menghubungi dan menanyakan keberadaan beliau. Selanjutnya, saya
menelepon beliau, dan membuat janji untuk menemuinya di kedai kopi tempat ia
berada.

Setibanya di kedai kopi, saya pun bergegas untuk segera melakukan
wawancara pada informan pertama saya. Hal yang pertama saya sampaikan
kepada informan, yaitu mengenai maksud dan tujuan saya melakukan wawancara
dengan beliau. Beliau pun menyambut baik akan maksud tersebut sehingga Ia
mau membantu saya untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Tak lama
kemudian tanpa diduga saya menemukan informan lain yang juga mengetahui
tentang tikar adat Lage hambian. Informan tersebut yaitu, Bangsawan Siregar (51
Tahun), dan Alwi Siregar (52 Tahun). Wawancara saat itu dilakukan pada pukul
10.00 Wib. Kebetulan pada saat itu cuacanya sangat mendukung saya untuk
melakukan penelitian pertama saya. Tidak terasa, wawancara saat itu berlangsung
selama ± 4 jam. Percakapan berlangsung sangat menyenangkan dan nyaman

Universitas Sumatera Utara

sehingga saya tidak merasa kalau ternyata proses wawancara kami pada waktu itu
berlangsung selama berjam-jam..
Setelah mewawancarai H. Persatuan Harahap (62 Tahun), Bangsawan
Siregar (51 Tahun), dan Alwi Siregar (52 Tahun), saya melakukan wawancara
yang kedua dengan informan berikutnya. Kali ini saya langsung mendatangi dan
melakukan wawancara dengan seorang wanita bernama Irma, pemilik “toko mas
Seribu”. Toko tersebut merupakan sebuah toko yang menjual perhiasan emas dan
tikar adat Lage Hambian Batak angkola. Toko mas tersebut berada di Medan Mall
Lantai 1 no.33 Medan.
Informasi yang ingin saya dapatkan dari beliau adalah mengenai berapa
harga tikar adat Lage Hambian yang Ia jual, ukuran, bahan, tujuan penggunaan,
motif, dan proses pembuatannya. Beliau mengaku barang yang Ia jual dibuat di
sebuah sanggar yang ada di desa Hutasuhut, Sipirok. Tikar adat tersebut dibuat
secara manual dan untuk motif hiasan menggunakan umbul-umbul untuk
mempercantik tikar. Tikar terbuat dari anyaman pandan. Harga 1 lapis tikar adat
berkisar Rp. 250.000, tikar adat 3 lapis berkisar Rp. 650.000, tikar adat 5 lapis
berkisar Rp. 900.000, dan tikar adat 7 lapis berkisar Rp. 1.000.000. Wawancara
dengan kak Irma (44 Tahun) berlangsung pada pukul 15.30 Wib.
Selama proses pencarian data, saya mendapat begitu banyak pengalaman
dan pelajaran berharga. Salah satunya, adalah menambah wawasan saya tentang
tikar adat Lage Hambian, cara menghargai waktu dan saya mendapat kenalan
serta keluarga baru yang mengetahui dan memahami tikar adat Lage Hambian
sebagai salah satu adat Batak Angkola. Apa pun yang ingin kita capai, tentu harus

Universitas Sumatera Utara

melalui perjuangan dan pengorbanan. Bagaimana pun sulitnya, tapi jika itu demi
kebaikan maka harus kita jalani agar apa yang kita inginkan dapat kita raih.
Dalam hal ini saya merasa sulitnya mencari informan dan data mengenai tikar
adat Lage hambian. Saya merasakan perjuangan dan pengorbanan yang begitu
besar yang saya lakukan agar informasi yang ingin saya dapatkan mencapai hasil
yang maksimal. Melalui penelitian ini, saya juga dapat melatih kesabaran saya
agar lebih baik dari sebelumnya. Namun, setelah melewati itu semua, data yang
saya cari pun akhirnya saya dapatkan.

Berwawancara selama berjam-jam terjadi pada saat saya mewawancarai
informan-informan berikutnya yaitu, Abdul Halim Hasibuan (43 Tahun), Mukhlis
Harahap (63 Tahun), dan Uswatun Daulay (32 Tahun). Jika melakukan wawancara
dengan 2-3 informan, biasanya saya hanya sedikit bertanya karena dari pertanyaan
tersebut akan muncul informasi-informasi yang terus mengalir berdasarkan
argumentasi antar mereka. Namun, jika hanya berwawancara dengan 1orang,
maka tak jarang proses wawancara terasa kaku dan membosankan.

Penelitian selanjutnya saya lakukan dengan menemui Bapak Hotman.
Harahap (51 Tahun) bersama istrinya Nurhanifah Dalimunthe (48 Tahun). Beliau
menjelaskan tentang makna dan pengertian Lage Hambian. Beliau mengatakan
bahwa Lage Hambian merupakan tempat duduk dalam kegiatan adat, seperti
makkobar, acara perkawinan, dan lain-lain. Lage hambian juga merupakan barang
yang dibawa oleh pengantin wanita. Tujuannya sebagai tempay duduk (alas
duduk) untuk dirumah yang baru. Untuk jumlah lapisannya tergantung kepada

Universitas Sumatera Utara

kemampuan ekonomi individunya. Lapisan-lapisan pada tikar adat Lage Hambian
biasanya dibuat berjumlah ganjil dengan maksud bahwa tikar tersebut menjadi hal
yang penting dalam adat, sehingga terasa ganjil jika tikar adat tersebut tidak ada.

Penelitian saya lakukan di Kecamatan Medan Tembung. Saya tidak begitu
mengalami kesulitan yang berat ketika berada di lapangan. Hanya saja
menentukan waktu bertemu yang agak sulit menurut saya. Karena setiap informan
memiliki kesibukan masing-masing sehingga saya harus menunggu sampai
mereka memiliki waktu luang untuk saya wawancarai.

Universitas Sumatera Utara