KONSEP PENDIDIKAN HUMANISME DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI KOMUNITAS BELAJAR QARIYAH THAYYIBAH KOTA SALATIGA TAHUN PELAJARAN 20142015 SKRIPSI

  

KONSEP PENDIDIKAN HUMANISME DAN

RELEVANSINYA TERHADAP PENGEMBANGAN

PENDIDIKAN ISLAM

DI KOMUNITAS BELAJAR QARIYAH THAYYIBAH

KOTA SALATIGA TAHUN PELAJARAN 2014/2015

SKRIPSI

  

Disusun untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh:

EEN SIREGAR

  

NIM 111 08 099

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

2015

  

SKRIPSI

KONSEP PENDIDIKAN HUMANISME DAN RELEVANSINYA

TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

DI KOMUNITAS BELAJAR QARIYAH THAYYIBAH

KOTA SALATIGA TAHUN PELAJARAN 2014/2015

DISUSUN OLEH

  

EEN SIREGAR

NIM: 11108099

  Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan PAI, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 15 April 2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Kependidikan Islam

  Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Peni Susapti, M.Si Sekertaris Penguji : Dr. Mukti Ali, M.hum Penguji I : Muh Hafidz, M.Ag Penguji II : Rasimin, M.Pd

  Salatiga, 20 April 2015 Dekan FTIK IAIN Salatiga Suwardi, M.Pd NIP.19670121 199903 1 002

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

  Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Een Siregar NIM : 11108099 Jurusan : Tarbiyah Program Studi : Pendidikan Agama Islam Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

  Salatiga, 30 Maret 2015 Yang Menyatakan,

  Een Siregar

  MOTTO - jika dia seorang yang lemah, maka akan menjadi kuat.

  • jika dia seorang yang hina, maka akan menjadi seorang yang mulia.
  • jika dia seorang yang kalah, maka akan segera mendapatkan pertolongan.
  • jika dia seorang yang berkesempitan, maka akan mendapat kelapangan.
  • jika dia seorang yang berhutang, maka akan segera dapat membayar.
  • jika dia seorang yang berada dalam kesusahan, maka akan hilang kesusahannya.
  • jika dia seorang yang sulit dalam penghidupan, maka akan segera mendapat kelapangan kehidupan.

  Surat At Taubah Ayat 128-129

  

Lembaran ini kupersembahkan

Teruntuk orang-orang yang kusayangi

Ibunda Roaini

Terima Atas segala dorongan, kasih sayangmu, serta doa tulus yang tiada

henti..

  Ayahku Syahri tercinta Yang telah memberikan semangatdaninspirasi dalam hidup Buat istri Siti Munjayana dan anakku Abrizam tersayang terimakasih telah memberikan motifasi dan semangat...

  Buat temen temen satu angkatan terima kasih atas pengertiannya dan dukungannya Buat semua orang yang pernah membuat warna dalam hidupku dan terimakasih atas kasih sayangnya

  

ABSTRAK

  Siregar, Een. 2015. Pembimbing: Dr Mukti Ali, M.Hum Konsep Pendidikan

  Humanisme dan Relevansinya Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Kota Salatiga 2014/2015 Skripsi

  Fakultas Tarbiyah. Jurusan Pendidikan Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Kata kunci: Konsep Humanisme, Pendidikan Islam, Qariyah Thayyibah

  Penelitian ini merupakan upaya untuk Mendeskripsikan Konsep Pendidikan Humanisme dalam Pendidikan Islam di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga, Mengetahui Konsep Pendidikan Humanisme dalam Perspektif Pendidikan Islam.. Fokus penelitian yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah Bagaimana Konsep Pendidikan Humanisme dalam Pendidikan Islam di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga? Bagaimana Implikasi Konsep Pendidikan Humanisme di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga?

  Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (Field Research). Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis datanya menggunakan teknik analisis deskriptif.

  Kesimpulan yang dihasilkan pada penelitian ini adalah (1) Pendidikan humanisme pada pendidikan Islam Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah menggunakan metode praxis yakni aksi kultur, proses pembelajarannya merupakan bagian langsung dari realitas, visi, dan misi yang diintegrasikan ke dalam seharian siswa yang memunculkan kesadaran untuk belajar dalam diri siswa yang nantinya mengantar pada “ belajar sejati” adalah tahap dimana seorang anak punya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari, dan menekuni segala hal yang dialaminya sehari-hari terus menerus. (2) Humanisme yang dimaksud di dalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Secara normatif, humanisme dalam Islam ditempatkan dalam posisi yang sangat tinggi, sebab penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan (humanisme) ditentukan langsung oleh Allah. Islam menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang dijadikan-

  Nya “sebaik-baiknya” dan ditempatkan dalam posisi “paling istimewa” di antara makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia wajib menempatkan martabat dan kemanusiaan pada tempat yang sebaik-baiknya.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW berikut keluarganya, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

  “Konsep Pendidikan Humanisme dan

  

Relevansinya Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam di Komunitas Belajar

Qariyah Thayyibah Kota Salatiga 2014/2015 ”.

  Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Studi Pendidikan Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Skripsi ini disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan dan masih banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun daripembaca. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepadapihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain : 1.

  Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

2. Ibu Rohayati, M.Pdi. selaku Ketua Progam Studi Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

  M.Hum

  3. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar Bapak Dr. Mukti Ali, memberikan bimbingan dan arahan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  4. Seluruh anggota Tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi Pendidikan Agama Islam di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

  5. Semua Dosen-dosen Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga dan seluruh staf Program studi yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan administrasi-administrasi selama perkuliahan.

  6. Bapakku Syahri dan Ibuku Ruaini yang selalu memberi dukungan dan doa yang tiada henti.

  7. Terima kasih secara khusus bagi Seluruh Staf maupun pengurus Komunitas Belajar Qariyah Thayyibah yang telah menjadi informan kunci dalam penelitian ini.

  8. Semua teman-teman PAI angkatan 2008 yang telah memberi warna dalam perjalanan hidupku.

  Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.

  Salatiga, 30 Maret 2015

  Penulis Een Siregar

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara soal pendidikan adalah sesuatu yang tak berujung. Karena

  pendidikan sendiri merupakan proses tanpa akhir (never ending process), ada pula ungkapan pendidikan sepanjang hidup (long life education). Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya pendidikan bagi seseorang. Orang dapat hidup dengan layak di dunia ini manakala mempunyai pendidikan yang cukup baik, dan orang akan hidup menderita manakala tingkat pendidikannya rendah.

  Pendidikan yang dimiliki seseorang sangat menentukan, sekaligus dapat mewarnai perjalanan hidup untuk menggapai masa depannya, karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka dia akan lebih paham akan realita, dan mempunyai kelebihan untuk memecahkan berbagi masalah, sehingga dia dapat menjalani dan melalui hidup ini dengan mudah. Namun, bagi mereka yang pendidikannya di bawah rata-rata akan sulit dalam memahami realitas kehidupan ini, hal itu menyebabkan dia kesulitan dalam menentukan masa depan. Pada hakekatnya pendidikan adalah kebutuhan dasar (basic need) hidup manusia. Pendidikan juga merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia. Dalam pengertian lebih luas, pendidikan bertujuan untuk memberikan kemerdekaan kepada manusia dalam mempertahankan hidupnya (Yunus, 2004:7).

  Selain itu, pendidikan secara umum dapat di pahami sebagai proses dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Achmad: 1992:16). Penghargaan terhadap kebebasan untuk berkembang dan berpikir maju tentu saja sangat besar, mengingat manusia merupakan makhluk yang berpikir dan memiliki kesadaran. Praktek-praktek pendidikan pun harus senantiasa mengacu pada eksistensi manusia itu sendiri. Dari situ akan terbentuk mekanisme pendidikan yang demokratis yang berorientasi pada memanusiakan manusia. (Dhakiri, 2000:3)

  Pendidikan Islam sampai saat ini belum mampu memainkan perannya sebagai agen perubahan (sosial agent of social change). Padahal dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi saat ini, pendidikan Islam dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadiran pendidikan Islam seharusnya memberikan warna baru, kontribusi serta perubahan bagi terciptanya umat Islam yang lebih maju, baik dalam dataran intelektual teoritis maupun praktis.

  Ahmad Syafi‟i Ma‟arif dalam Shofan (2004:5) mengatakan bahwa: “Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan dalam pendidikan Islam mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari segala bentuk himpitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakan gan sosial, budaya dan ekonomi”. Karena semua itu dapat kita lihat, bahwa pendidikan Islam saat ini kalah jauh bila dibandingkan dengan pendidikan non Islam, terutama dari dunia barat.

  Belum lagi masih adanya dikotomi keilmuan bagi sebagian umat Islam, mereka menganggap ilmu-ilmu akherat-lah yang paling penting, sedangkan ilmu yang berhubungan dengan duniawi dianggap kurang penting. Sehingga sebagian umat Islam hanya belajar demi kepentingan kehidupan setelah mati (akherat) sedangkan bagi kehidupan dunia tidak begitu diperhatikan. Selama ini umat Islam menyakini bahwa ajaran Islam telah selesai disusun secara tuntas dalam ilmu agama, sebagai panduan untuk penyelesaian seluruh persoalan kehidupan duniawi. Sementara ilmu- ilmu umum (non agama) dipandang bertentangan dengan ilmu agama, dan membuat kesengsaraan umat Islam. Namun, persoalan duniawi yang terus berkembang, ternyata tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama tersebut (Mulkhan, 2002:187). Redefinisi pendidikan Islam diatas membawa konsekuensi perlunya konsep baru tentang keberagamaan dan keislaman itu sendiri. Dari sini konsep ilmu dalam kesadaran Islam perlu dikaji ulang agar bebas dari dilema kontroversi ilmu agama dan ilmu umum yang selama ini menjadi dasar kontruksi pendidikan Islam (Mulkhan, 2002:49).

  Kehadiran pendidikan Islam saat ini harusnya lebih mampu memberikan pencerahan dan perubahan, hal itu dimungkinkan karena tuntutan zaman. Saat ini pendidikan Islam masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat formalitas, padahal kalau mau jujur tujuan yang bersifat substansial belum terpenuhi.

  Kebutuhan tersebut adalah menciptakan generasi Islam yang aktif humanis. Namun, dalam bebarapa hal pendidikan Islam telah mampu menciptakan perubahan- sekali. Hal itu salah satunya dipengaruhi oleh penggunaan paradigma dalam pendidikan Islam sendiri yang kurang begitu futuristik.

  Diakui atau tidak, paradigma yang dipakai dalam pendidikan Islam masih bersifat konservatif-normatif. Hal itulah yang menyebabkan pendidikan Islam berjalan stagnan dan sulit berkembang. Konservatif berarti kolot, bersikap mempertahankan keadaan dan tradisi yang berlaku Sedangkan normatif lebih berpegang teguh pada norma, menurut norma atau kaidah yang berlaku (Sudarsono, 1993:125-158). Pada dasarnya kedua istilah di atas dalam pendidikan mempunyai satu kelemahan yaitu: anti kritik, anti nalar serta anti pada perubahan. Hal tersebutlah yang sering menjadikan pendidikan sulit berkembang ke arah yang lebih baik.

  Diperlukan sistem pendidkan humanis serta pemikiran yang revolusioner untuk merubah pola pendidikan Islam saat ini. Pola-pola pemikiran yang progresif, liberal yang bertanggung jawab, tanpa meninggalkan nilai-nilai humanisme mutlak diperlukan dalam rangka memajukan pendidikan Islam. Dengan progresif yang senantiasa mempunyai prinsip perubahan ke arah yang lebih maju dan lebih baik, serta ditunjang dengan pola pikir liberal yang senantiasa kritis serta bebas dan terbuka dalam berpikir dan berpandangan merupakan salah satu kelebihan yang mutlak diperlukan dalam meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Serta adanya nilai-nilai humanisme yang senantiasa menempatkan manusia sebagai makhluk yang terus berubah kearah yang lebih baik, demi mencapai predikat sebagai insan kamil merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pendidikan Islam tentunya.

  Di samping itu pula, pendidikan Islam harus berani mengambil resiko demi kemajuan pendidikan Islam sendiri. Bagaimanapun juga pendidikan merupakan media yang dapat menghantarkan umat Islam ke gerbang kemajuan dan kejayaan. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh tokoh serta pemikir pendidikan Islam di era awal abad ke 21 Ahmad Dahlan, menurut Dahlan dalam Nizar (2002:104) upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola pikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan (Nizar, 2002:104). Ini berarti bahwa pendidikan Islam saat ini memerlukan format dan formulasi baru dalam segi landasan agar nantinya pendidikan Islam dapat berperan dalam menjawab tuntutan zaman.

  Konstruk mental yang menggelayuti mindset sebagian generasi Islam saat ini adalah keengganan untuk melakukan refleksi kembali atas apa yang telah dicapai oleh oleh para pemikir dan ulama‟ di abad keemasan Islam yaitu abad pertengahan. Dalam berbagai hal, khususnya wacana generasi Islam masih di dominasi dengan wacana klasik dan dalam dunia pesantren masih mengagungkan kitab kuning sebagai ukuran baku dan tolok ukur satu-satunya kitab paling sahih dan paling penting untuk dipelajari. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya satu penyakit kebekuan pemikiran, hilangnya daya kritis yang dilandasi dengan taklid buta terhadap keberadaan referensi-referensi yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

  Dalam diskursus humanisme, Ali Syari‟ati adalah salah seorang tokoh muslim progresif yang melalui beberapa karyanya memberi perhatian khusus pada memiliki bangunan epistemologinya masing-masing. Setidaknya ada empat kelompok yang memiliki gagasan tersendiri mengenai humanisme, yaitu Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme dan Agama. Dalam konteks pendidikan Islam, humanisme religius menjadi sebuah alternatif baru yang menjadi pijakan pendidikan, di mana nilai-nilai kemanusiaan dipandang secara komprehensif, bukan semata pada aspek materinya, melainkan mencakup spiritualitasnya pula. Tak hanya berkutat pada gagasan teoritis, Ali Syari‟ati menekankan pentingnya kontribusi intelektual muslim dalam upaya membangun masyarakat. Islam yang ideal menurutnya adalah Islam yang bisa mengawal perubahan dalam rangka menegakkan hakhak kaum tertindas. Gerakan perubahan ini dilakukan semata-mata demi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai luhur dalam kehidupan dan ajaran Islam sebagai bekal utama. Nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa lepas dari aspek spiritualitas mengingat kodrat manusia sebagai makhluk spiritual. Untuk itu gerakan pembaruan Islam Ali Syari‟ati paling tidak memiliki dua karakter utama, yaitu ideologi pembebasan sebagai penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan Islam sebagai dasar filosofisnya.

  Dalam perkembangannya istilah tersebut sebenarnya sudah banyak digunakan dalam dunia Islam, khususnya pendidikan. Namun, sampai saat ini juga, Islam masih terbilang belum mau terus terang dan vulgar dalam menggunakan ketiga istilah tersebut. Ini lantaran masih minimnya pengetahuan umat Islam tentang istilah-istilah itu yang dianggap berasal dari dunia barat, sedangkan budaya orang Islam adalah budaya timur yang sering tidak bisa dipadukan dan disamakan ketika berhadapan

  Melihat realitas diatas, kiranya sangat diperlukan kajian mengenai paradigma progresivisme bagi pendidikan Islam, yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan Islam liberalis dan humanis dalam rangka menjawab tuntutan zaman. Kemajuan suatu pendidikan memang tak bisa dilepaskan dari peranan sikap kritis, dan inovatif dalam melakukan kajian dan penelitian dalam rangka menciptakan formula dan keilmuan yang baru, dan semua itu tanpa meninggalkan dimensi kemanusian sebagai hamba Allah. Semuanya itu akan dapat kita peroleh manakala ada niat serta usaha yang sungguh-sunguh dalam mengaplikasikan apa yang telah diajarkan oleh Allah dalam Al-

  Qur‟an dan lewat Sunnah Rasul dalam Al-Hadist. Untuk itulah, dengan melihat gambaran berbagai macam persoalan diatas, menarik minat penulis untuk melakukan kajian tentang paradigma progresivisme dalam pendidikan Islam serta kaitannya dengan upaya memunculkan pendidikan liberalis, humanis yang Islami, dengan judul:

  

“KONSEP PENDIDIKAN HUMANISME DAN RELEVANSINYA

TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI KOMUNITAS

BELAJAR QARIYAH THAYYIBAH KOTA SALATIGA TAHUN

PELAJARAN 2014/2015 ”

  B. Rumusan masalah

  1. Bagaimana Konsep Pendidikan Humanisme dalam Pendidikan Islam di Komunitas Belajar Qariyah Thayyibah Kalibening Salatiga?

  2. Bagaimana Implikasi Konsep Pendidikan Humanisme di Komunitas Belajar Qariyah Thayyibah Kalibening Salatiga?

  C. Tujuan penelitian

  1. Mendeskripsikan Konsep Pendidikan Humanisme dalam Pendidikan Islam di Komunitas Belajar Qariyah Thayyibah Kalibening Salatiga.

  2. Mengetahui Implikasi Konsep Pendidikan Humanisme di Komunitas Belajar Qariyah Thayyibah Kalibening Salatiga.

  D. Manfaat Penelitian

  Sedangkan manfaat penelitian ini adalah agar dapat memberikan sumbangsih wacana serta kontribusi pemikiran kepada dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam supaya mempunyai banyak pilihan dalam rangka mengembangkan pendidikan Islam ke arah yang lebih maju dan lebih baik.

  E. Telaah Pustaka

  Dalam pembahasan penelitian ini, penulis melakukan telaah pustaka pada sejumlah penelitian sebelumnya dan buku-buku yang berkaitan dengan tema yang

  1. Buku berjudul Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat adalah terjemahan dari buku yang ditulis Ali Syari‟ati berjudul Al-Isnsan, Al-Islam wa Madaris Al- Gharb yang diterjemahkan oleh Afif Muhammad

  . Dalam buku ini Ali Syari‟ati memberi perhatian lebih bagi nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan- gagasan Ali Syari‟ati tentang humanisme tertuang dalam buku ini. Dijelaskan bahwa memasuki era modern, perhatian manusia terhadap dirinya sendiri sedikit be rkurang. Ali Syari‟ati mengutip Alexis Carrel yang mengatakan “Derajat keterpisahan manusia dari dirinya, berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia di luar dirinya”. Kritiknya juga diarahkan kepada pandangan tradisi filsafat Barat dan Marxisme timur yang mempertentangkan antara humanisme dan nilainilai ketuhanan.

  Menurutnya nilai-nilai ketuhanan telah tertanam dalam diri setiap manusia.

  2. Buku Mujamil Qomar: Startegi Pendidikan Islam. Buku lebih menekankan pentingnya pendidikan islam yang humanis meninggalkan system pendidikan yang kaku. Dalam buku ditawarkan dan mengurai alternative solusi terhadap problem besar akar persoalan yang kerap dihadapi manajemen pendidikan Islam, sistem pendidikan Islam, konsentrasi manajerial, problem kepemimpinan, dan lainnya.

  3. Buku Abd. Rachman Assegaf: Filsafat Pendidikan Islam Paradigma baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Buku ini menyajikan konsep pembaharuan pendidikan Islam dalam persepektif keilmuan yang integrative- interkonektif, paradigma keilmuan integratif-interkonektif menyajikan kajianterhadap falsafah, sains, dan agama Islam sebagai hubunagn antar entitas yang saling terkait

  4. Skripsi Quthfi Muarif, NIM: 063111127 : Implikasi Konsep Humanisme dalam Pendidikan Islam ( Telaah Filosofis Atas Pemikiran Ali Syari‟ati ) IAIN Walisongo Semarang, 2011. Skripsi ini mengkaji pemikiran Ali Syariati tentang humanisme dan implikasinya dalam pendidikan islam. Pembahasan ini dilatarbelakangi oleh maraknya tradisi keagamaan yang sekedar berkutat pada ritual, namun tidak bisa menunjukkan sikap kepedulian terhadap realitas sosial yang timpang. Padahal berbagai kesenjangan banyak terjadi di tengah masyarakat muslim, seperti neokolonialisme sebagai efek panjang globalisasi kapitalisme. Pada saat keadaan semacam ini, dalam pendidikan Islam perlu dilakukan reorientasi agar dapat membentuk watak muslim yang sadar realitas dan berkomitmen dalam penegakan nilai-nilai kemanusiaan atau humanisasi.

F. Metodologi Penelitian

  1. Pendekatan Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif (descriptive research) dengan teknik studi kasus (case study) dan menggunakan pendekatan kualitatif. Sebagaimana jenis namanya, penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis dan runtut, faktual serta akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Moleong, 2002:6).

  Cara kerja metode ini selalu berhadapan dengan data kualitatif, di mana data yang dikemukakan berbentuk uraian atau simbol-simbol verbal yang penafsirannya bergantung pada pemakaiannya dalam kalimat. Penggunaan data disini adalah untuk memberikan dasar berpikir bukan untuk memberikan hipotesis(Nawawi, 1991:62).

  2. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dimana data diperoleh. Dalam penelitian ini sumber data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.

  a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Sumber data primer ini diperoleh dari membaca dan menganalisis secara langsung buku-buku pokok yang berkaitan dengan penelitian yang dilaksanakan.

  b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber pendukung untuk memperjelas sumber data primer berupa data kepustakaan yang berkorelasi erat dengan pembahasan obyek penelitian (Moloeng, 1989:114). Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari sumbersumber buku, majalah, artikel, serta data-data lain yang dipandang relevan bagi penelitian ini.

  3. Tehnik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data, maka penulis menggunakan metode yang lazim dipakai dalam penelitian ilmiah yaitu:

  Metode observasi atau pengamatan adalah metode penelitian dengan pengamatan yang dicatat dengan sistematika fenomena-fenomena yang diselidiki.

  Dalam melakukan penelitian penulis juga menggunakan alat bantu lain sesuai dengan kondisi lapangan antara lain buku lapangan dan tape recorder.

  b. Interview atau Wawancara Metode interview pertanyaan yang diajukan secara lisan (pengumpulan data bertatap muka). Dengan metode ini diharapkan penulis memperoleh data berupa tanggapan, pendapat mengenai Pendidikan Humanis (Studi Pembelajaran PAI di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga).

  c. Metode Dokumentasi Dokumentasi, berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis.

  Sumber dokumentasi pada dasarnya ialah sumber informasi yang berhubungan baik resmi maupun tidak resmi. Penggunaan metode ini dilakukan untuk mengetahui alat atau benda yang dianggap penting untuk menunjang penelitian.

  4. Metode Analisis Data Dalam menganilisis data, penulis berusaha menggunakan metode analisis deskripstif yaitu Dalam pemaparan gambaran mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif (Sudjana dan Ibrahim, 1989:198.). Selain itu juga digunakan metode content analisys (analisis isi) yaitu analisis terhadap makna yang terkandung dalam pemikiran, menganalisa dan memahami dari sebuah pendapat maupun sebuah buku , baik sebagian maupun keseluruhan untuk mengetahui, memahami dan

G. Sistematika Penulisan Skripsi

  BAB I : PENDAHULUAN Merupakan bagian pendahuluan skripsi. Pada bab ini akan diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan skripsi.

  BAB II: KONSEP PENDIDIKAN HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM Pada bab ini berisi Konsep Pendidikan humanisme, Pengertian Pendidikan Humanisme, Ciri dan Tujuan Pendidikan Humanisme, Pendidikan Humanisme dalam Pendidikan Islam. BAB III : GAMBARAN UMUM KOMUNITAS BELAJAR QARIYAH THAYYIBAH KALIBENING SALATIGA Dalam bab ini penulis ingin menguraikan tentang; Gambaran umum, Sejarah dan Perkembangan Qariyah Thayyibah, Konsep Pendidikan Humanisme di Qariyah Thayyibah, Model Pendidikan Humanisme di Qariyah Thayyibah Kalibening Salatiga.

  BAB IV : ANALISIS Pada bab ini penulis akan mencoba menganalisis mengenai model pendidikan humanisme di komunitas belajar Qariyah Thayyibah pada pembelajaran pendidikan Islam, Analisis pendidikan humanis di Komunitas Belajar Qariyah Thayyibah Kalibening Salatiga.

  BAB V : PENUTUP Dalam bab terakhir ini penulis sajikan kesimpulan, saran dalam kaitannya dengan tema penelitian yang sedang diangkat.

BAB II HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. Pendidikan Humanis

1. Pengertian Humanisme

  Manusia adalah makhluk yang dapat mendidik dan dididik, sedang makhluk lain tidak. Pada dimensi ini manusia memiliki potensi yang dapat menjadi objek dan subjek pengembangan diri. Pendidikan pun harus berpijak pada potensi yang dimiliki manusia, karena potensi manusia tidak akan bisa berkembang tanpa adanya ransangan dari luar berupa pendidikan (Assegaf, 2011:164). Dalam perbedaan ini maka manusia menjadi hamba Allah SWT yang wajib mendapat perlakuan santun dan tidak merusak. Implikasi dari pemahaman tentang hakikat dan wujud manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik adalah; Pertama, pendidikan lebih bersifat memberikan dan menyediakan stimulus agar secara otomatis peserta didik memberikan respon kepadanya. Kedua, pendidik tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada peserta didik. Ketiga, demokratisasi merupakan model pendidikan yang sangat relevan untuk pengembangan potensi dasar manusia sekaligus membantu menanamkan sikap percaya diri dan tanggung jawab. Keempat, proses pendidikan harus selalu mengacu pada sifat-sifat ketuhanan atau tauhid (teo-

  

centris ). Bila dikaitkan dengan Islam, berarti pendidikan tersebut mengacu pada

  pendidikan keimanan yang sesuai dengan ajaran agama Islam, mengingat Islam memuat doktrin tentang hak-hak manusia.

  Humanisme merupakan kesatuan dari manusia yang wajib memanusiakan manusia lainnya. Humanisme, sebagimana halnya progesivisme merupakan bagian dari fokus perhatian manusia (human). Maka aspek ini harus ada dalam pendidikan, walaupun dalam aliran pemikiran kependidikan memiliki perbedaan persepsi dalam memandang aspek manusianya, tetapi memiliki objek yang sama yaitu manusia.

  

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf,

dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,

tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka

adalah orang-orang yang fasik. Qs.3:110

  Dalam Al- Qur‟an surat Ali Imran ayat 110, menyebutkan karakteristik khairu al- ummah terdiri dari amar ma‟ruf, nahi munkar dan iman kepada Allah swt. Dalam kontek sosiologis ketiga karakteristik tersebut terderivasi dalam teori sosial diantaranya yaitu nilai humanisasi, nilai liberasi, dan nilai transendensi yang merupakan derivasi Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 110; yaitu : amar ma'ruf nahi munkar dan Iman kepada Allah. Pertama Nilai-nilai humanisasi terdiri dari : a) nilai kemanusiaan, b) nilai kesatuan umat manusia, c) nilai keseimbangan, d) rahmatalil'alamin. Nilai-nilai humanisasi tersebut secara normatif telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an. Kedua nilai-nilai liberasi terddiri dari : a) toleransi, b) keajemukan (plurasme), c) demokrasi,

  Maka dengan adanya kedua kata diatas, maka paradigma progresif merupakan salah satu pola pikir, cara pandang seseorang yang lebih mengedepankan aspek perubahan dan kemajuan. dalam arti cara pandang yang selalu berorientasi pada kemajuan dan perbaikan dalam segala hal, itu pulalah yang menjadi landasan mengapa dalam sebuah pendidikan, khususnya pendidikan Islam harus mempunyai paradigma tersebut sebagai landasan serta bagian integral dalam pengembangan pendidikan Islam kedepan. Dan semua itu hanyalah bertujuan satu yaitu demi kemajuan, serta kejayaan pendidikan Islam.

  Dari pemahaman diatas maka, humanisme merupakan refleksi timbal balik antara kepentingan individu dengan masyarakat. Karenanya pendidikan harus diselenggarakan dengan memusatkan perhatian pada keduanya. Kemudian mengingat masyarakat itu selalu berkembang dan berubah, nilai-nilai yang dianggap baik dan buruk bagi individu juga mengalami perkembangan dan perubahan. Maka perubahan dan perkembangan tersebut dapat direspon dengan baik oleh pendidikan humanisme.

2. Hubungan Antara Humanisme dan Pendidikan Islam

  Pendidikan merupakan aspek kehidupan yang sangat penting, satu hal yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat, terutama pada masing-masing manusia.

  Semuanya harus saling merefleksi dan terlibat dalam arus perubahan. Keterlibatannya perubahan, tetapi harus lebih pada bagaimana pendidikan itu mampu menjadi agen perubahan sosial (agent of social change).

  Dengan itu, maka perubahan yang diinginkan merupakan hal yang tinggal menunggu waktu saja, baik itu perubahan dalam dunia pendidikan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya (Adzim, 2004:39-40). Dalam berbagai hal, pendidikan memang merupakan aspek terpenting dalam melakukan perubahan.

  Dengan kata lain, dengan pendidikan yang cukup serta kualitas manusia yang memadai maka akan tercipta produk manusia yang bermutu, atau dalam Islam di sebut sebagai Ulul Albab. Dan hal itu tidak akan mudah terwujud manakala pendidikan sendiri sebagai sarana serta proses untuk melakukan hal tersebut belum mempunyai satu paradigma jelas dalam perkembangannya. Sehingga dibutuhkan satu paradigma yang mampu untuk menjawab semua itu.

  Banyak sekali paradigma pendidikan yang telah dilontarkan oleh beberapa orang. Namun, paradigma mana yang relevan untuk masa depan pendidikan terutama bagi masa depan pendidikan Islam dan terkhusus lagi bagi pendidikan di Indonesia perlu analisis spekulatif berdasarkan keadaan obyektif masyarakat kita masa depan, yakni masyarakat madani yang kedudukannya di tengah masyarakat global. Menurut Gibson, masa depan memiliki kreteria khusus yang ditandai dengan adanya hiperkompetisi, suksesi revolusi teknologi serta dislokasi dan konflik sosial, yang akan menghasilkan satu keadaan yang non linier dan sangat tidak dapat diperkirakan dari keadaan masa lampau dan masa kini. Masa depan hanya dapat dihadapi dengan memicu kreativitas kita itu (Djohar, 2003: 85). Dan semua itu dalam pencapaiannya tentunya tak bisa dilepaskan dari peran pendidikan, sehingga diperlukan satu konsep yang matang dalam merealisasikannya.

3. Dasar dan Tujuan Humanis

  Dari penyelidikannya terhadap teori-teori humanisme dari berbagai perspektif, Ali Syariati mendeskripsikan tujuh asas dalam humanisme.

  a. Manusia adalah makhluk asli, artinya memiliki substansi yang mandiri dan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya dengan substansi fisik sekaligus ruh yang dimiliki. Substansi fisik membedakan manusia dengan malaikat yang gaib, dan substansi ruh membedakannya dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan.

  b. Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Ini adalah kekuatan yang paling besar dalam diri manusia karena kehendak bebas adalah sifat manusia yang mencerminkan sifat ilahiyah. Kebebasan berkehendak memberi kesempatan pada manusia untuk menentukan sendiri arah hidupnya yang kemudian harus dipertanggungjawabkan pada Yang Maha Kuasa.

  c. Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir). Dengan kesadaran yang dimiliki memungkinkan manusia memahami realitas. Potensi berpikir menjadi modal paling penting bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya karena dengan berpikir, manusia selalu mampu mencari jalan untuk bertahan hidup dan berkembang menuju kehidupan yang lebih baik. Ketika sebuah ancaman hadir, maka secara d. Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Ini memungkinkan manusia mempelajari dirinya sendiri sebagai subyek yang berbeda dengan hal-hal selain dirinya. Dengan begitu manusia memahami kebutuhannya, apa yang semestinya dilakukan, dan ke arah mana dia berjalan. Kepentingannya adalah tentu saja manusia harus memastikan bahwa dirinya berjalan ke arah yang lebih baik.

  e. Manusia adalah makhluk kreatif. Kreativitas manusia menyatu dalam perbuatannya sendiri sebagai penegasan atas kesempurnaannya di antara makhluk lainnya dan di hadapan Tuhan. Dengan kreativitas, manusia dapat menutup kekurangannya dengan cara-cara yang diusahakannya. Misalnya keterbatasan fisik untuk melakukan pekerjaan berat, maka manusia akan mengerahkan daya kreatifnya untuk membuat peralatan yang bisa membantu memudahkannya bekerja.

  f. Manusia adalah makhluk yang memiliki cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal. Visi tentang sebuah masa depan membuatnya tidak akan puas dengan keadaan kekinian dan membawa manusia selalu bergerak dinamis menuju perubahan positif. Bahkan ini dapat menegaskan bahwa perubahan itu ditentukan oleh manusia itu sendiri.

  g. Manusia adalah makhluk moral yang memiliki nilai-nilai. Nilai-nilai diartikan sebagai ungkapan tentang hubungan manusia dengan fenomena, cara atau kondisi yang di dalamnya terdapat motif yang lebih luhur dari pada keuntungan (Ali Syari‟ati: 47-49).

  Potensi dasar yang paling dominan dalam diri manusia adalah potensi akal pemikiran manusia, bahwa berpikir yang benar adalah jalan menuju pengetahuan yang benar, dan pengetahuan yang benar adalah pengantar menuju keyakinan.

  Keyakinan akan ketuhanan menjadi tujuan utama sekaligus modal bagi kehidupan manusia. Karena pemikiran yang tanpa didasari kesadaran ketuhanan akan melahirkan kesimpulan yang dangkal dan membentuk kebudayaan yang timpang karena manusia tidak mampu mengenal dirinya sendiri dengan benar.

  Berdasarkan etimologi bahasa dari ketiga kata tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa kata tarbiyah memuat kandungan upaya sadar akan pemeliharaan, pengembangan seluruh potensi diri manusia sesuai dengan fitrahnya dan perlindungan menyeluruh terhadap hak- hak kemanusiaannya. Sementara kata ta‟lim mengesankan proses pemberian ilmu pengetahuan dan penyadaran akan fitrahnya dan tugas-tugas kemanusiaannya yang harus diwujudkan oleh individu dalam kehidupan nyata. Sedangkan kata ta‟dib mengesankan proses pembinaan kepribadian dan sikap moral (afektif) dan etika dalam kehidupan. Dengan demikian, ketiga kata tersebut pada intinya mengacu kepada pemeliharaan, perlindungan dan pengembangan keseluruhan potensi diri manusia.

B. Konsep Islam dalam Pendidikan Humanis

1. Pengertian Humanisme dalam Islam

  Islam sebagai agama universal mengajarkan kebebasan, keadilan dan kesetaraan. Sebagai agama, Islam hadir sebagai penyelamat, pembela dan menghidupkan kembali keadilan dalam bentuk yang paling kongkrit. Disamping eksistensi dan aktualisasi manusia untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya menjadi manusia yang beradab, berfikir dan berkesadaran, yang kesemuanya itu akan bermuara pada bagaimana membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain.

  Muhammad sebagai tonggak awal dalam kehadiran Islam (secara legal formal) bisa kita jadikan sebagai panutan, tidak diragukan lagi bahwa Islam lahir dan jadi penanda perubahan yang luar biasa, akan tetapi setelah nabi Muhammad SAW wafat orientasi yang dimiliki kaum muslimin berubah lebih mementingkan individu dari pada orang banyak.

  Humanisme yang dimaksud di dalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al- Qur‟an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan.

  Keempat term tersebut mengandung arti berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al- Qur‟an.

  Secara normatif, humanisme dalam Islam ditempatkan dalam posisi yang sangat tinggi, sebab penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan (humanisme) ditentukan langsung oleh Allah. Islam menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang dijadikan-

  Nya “sebaik-baiknya” dan ditempatkan dalam posisi “paling istimewa” di antara makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia wajib menempatkan martabat dan kemanusiaan pada tempat yang “sebaik-baiknya” (Mohtar Efendi, 2001:325).

  Ketinggian martabat ini diperoleh karena manusia merupakan satu-satunya memikulnya. Penerimaan manusia akan beban ini telah menempatkan manusia pada derajat yang lebih tinggi dibanding dengan makhluk Tuhan, bahkan malaikat, karena hanya manusia saja yang mampu melaksanakan taklif atas tugas kosmik Tuhan.

  Taklif adalah landasan bagi kemanusiaan, makna dan kandungannya. Taklif adalah makna kosmik manusia, dan inilah yang menjadi dasar ciri humanisme Islam, serta yang menjadi pembeda dari humanisme Yunani

  • –Romawi, serta pandangan- pandangan tentang manusia yang lainnya (Raffi al Faruqi 1995:61). Tanggung jawab dan kewajiban (taklif) yang dibebankan kepada manusia sama sekali tidak mengenal batas, yakni sepanjang menyangkut jangkauan dan ruang tindakannya. Manusia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di alam raya. Seluruh manusia merupakan obyek tindakan moralnya dan seluruh alam semesta adalah panggung dan bahan yang harus diolahnya.

2. Nilai-Nilai Humanisme dalam Islam

  Adapun nilai-nilai humanisme menurut Islam ini sesuai dengan pemikiran Abdurrahman Mas‟ud dalam bukunya yang berjudul “Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik”. Dalam buku tersebut terdapat beberapa nilai-nilai kemanusiaan, yang sesuai dengan ajaran Islam antara lain: a. Individualisme menuju kemandirian

  Maksud individualisme disini berbeda dengan arti individualisme yang diartikan sebagai egoisme dan lebih mementingkan diri sendiri, tetapi makna pemuda adalah yang mengandalkan dirinya sendiri, bukanlah seorang pemuda yang membanggakan ayahnya”. Jadi individualisme disini menjadi8kan individu-individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, keluarganya serta tanpa menggantungkan atau mengandalkan orang lain.

  b.

  Common Sense “akal sehat” Dalam hal ini Rahman mengajak umat Islam menggunakan akal sehatnya secara proporsional dengan lebih mengutamakan pemanfaatan telinga sebagai alat pendengar dan mata, dari pada mulut dan tulisan. Dengan akal sehat inilah manusia dijadikan khalifah di bumi. Dengan telinga kita dapat sabar dalam mendengar pengajaran-pengajaran atau pengajian-pengajian dan dengan mata kita bisa menganalisa mana yang baik, benar serta jelek dan salah.

  c. Thirst For Knowledge Dalam ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk semangat dalam mencari ilmu dan meneliti bahkan sampai ke negeri Cina, dan Islam menempatkan derajat yang tinggi bagi mereka yang beriman dan berilmu. Saat ini budaya meneliti mulai hilang dalam dunia pendidikan Islam, padahal budaya tersebut menjadi penentu kemajuan dan langgeng dimasa pendidikan klasik. Dewasa ini budaya tersebut telah berhasil diteruskan oleh orang-orang barat yang notabene nya mayoritas non muslim.

  Melihat ironi sedemikian rupa, tetaplah kiranya apa yang pernah dikatakan oleh seorang filosof humanis zaman klasik Islam Abu Hayyan “Al-insan asykala „alaihil insan” (sungguh manusia telah sengsara oleh manusia yang lainnya.

  Penyebab masalah ini adalah hadirnya pola pikir yang terlalu teosentris, sehingga masalah antroposentais kurang dikembangkan. Untuk itu, perlu adanya peregeserean paradigma berfikir yang bersifat komprehensif integral.

  Dengan demikian, jelas bahwa Islam mempunyai potensi nilai universalisme dan humanisme. Keuniversalan Islam, dibuktikan dengan sikapnya yang lentur terhadap perkembangan zaman yang terus bergulir. Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran kultural yang produktif dan konstruktif serta mampu meyakinkan diri sendiri sebagai pembawa kebaikan untuk semua (rahmatal lil‟alamiin).

3. Paradigma Pendidikan Islam Humanis

  Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini digantikan dengan tradisi taqlid (mengekor). Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh- tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam.

  Abdul Hamid Abu Subiman berkomentar, bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of ummah), stagnasi pemikiran umat (the intellectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad

  

absence of cultural progress in the ummah ), tercerabutnya umat dari norma-norma

  dasar peradaban Islam (the umah losing touch with the basic norm of Islamic civilization ).

  Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma aktif-progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses "isolasi diri" dan dimarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.

  Untuk itu, pendidikan islam harus mampu mengntarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya, sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (QS. al- Baqarah: 185). Alhasil, al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni: