HUBUNGAN PARENTAL PERMISSIVENESS TERHADAP TINGKAT KREATIVITAS KOGNITIF PADA REMAJA.

(1)

HUBUNGAN PARENTAL PERMISSIVENESS TERHADAP TINGKAT KREATIVITAS KOGNITIF PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

I’in Khalimatus Sa’diyah

B07212051

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Kreativitas kognitif berguna dalam kelangsungan hidup setiap idnividu, karena dalam setiap menyelesaikan permasalahan individu dituntut untuk berfikir secara efektif dalam pemecahan masalah. Masing-masing indidvidu memiliki tingkat kreativitas kognitif yang berbeda-beda, hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah lingkungan. Orang tua sebagai salah satu lingkungan yang berpengaruh besar terhadap kreativitas seseorang. Sikap permisif orang tua (parental permissiveness) sebagai suatu kebebasan yang memberikan jalan akan perkembangan atau peningkatan terhadap kreativitas kognitif yang dimiliki seseorang. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara parental permissiveness dengan tingkat kreativitas kognitif pada remaja.

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif korelasional, yaitu untuk mencari korelasi atau hubungan antara variabel satu dengan yang lainnya berdasarkan koefisien korelasi yang ada. Sampel pada penelitian ini adalah 41 siswa/i kelas X SMA Islam Duduksampeyan Gresik yang berjumlah 70 remaja dengan kriteria usia 15 sampai 18 tahun. Sampel tersebut diambil secara random dari jumlah populasi 70 siswa/i kelas X SMA Islam Duduksampeyan Gresik. Alat ukur yang digunakan untuk parental permissiveness adalah skala sikap parental permissiveness model likert, sedangkan untuk mengukur tingkat kreativitas kognitifnya menggunakan tes kreativitas figural.

Berdasarkan hasil koefisien korelasi hasil uji hipotesis pada penelitian ini adalah 0.441 dengan signifikansi 0,000. Karena signifikansi < 0,050 maka dalam hasil analisis tersebut dikatakan bahwa terdapat hubungan antara parental permissiveness terhadap tingkat kreativitas kognitif pada remaja.


(7)

Abstract

Cognitive creativity useful in the survival of each person, because every person is required to resolve problems effectively thinking in problem solving. Each person has a level of cognitive creativity different, it is influenced by many factors, one of which is the environment. Parents as one of the neighborhoods that will greatly affect one's creativity. Permissive attitude of parents (parental permissiveness) as a freedom are on the road will be the development or improvement of the cognitive one's own creativity. The focus of this study was to determine whether there is a relationship between parental permissiveness with the level of cognitive creativity in adolescents.

This study uses a quantitative correlation, ie to find a correlation or relationship between the variables with each other based on the correlation coefficient. Samples in this study were 41 students / i of class X SMA Islam Duduksampeyan Gresik numbering 70 adolescenses with a minimum age requirement of 15 to 18 years. The samples were taken at random from a population of 70 students / i of class X SMA Islam Duduksampeyan Gresik. Measuring devices used for parental permissiveness permissiveness is the parental attitude scale Likert models, while to measure the level of cognitive creativity using figural creativity test.

Based on the correlation coefficient test results hypothesis in this study is 0441 to 0,000 significance. Because of the significance of <0,050 then in the analysis, it is said that there is a relationship between parental permissiveness of the level of cognitive creativity in adolescents.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ……… vii

DAFTAR TABEL ……… ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……….... 1

B. Rumusan Masalah ……… 10

C. Tujuan Penelitian ………. 11

D. Manfaat Penelitian ……….. 11

E. Keaslian Penelitian ……….. 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….. 14

A. Kreativitas kognitif ………... 14

1. Pengertian Kreativitas Kognitif ………... 14

2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kreativitas Kognitif …... 18

3. Ciri-Ciri Individu Kreatif ………. 25

4. Kendala dalam Pengembangan Kreativitas Kognitif ... 26

B. Parental Permissiveness ………. 30

1. Pengertian Parental Permissiveness ……… 30

2. Sikap Orang Tua ……….. 32

C. Remaja ………. 38

1. Pengertian Remaja ………... 38

2. Batasan dan Karakteristik Remaja ………... 39

D. Hubungan Parental Permissiveness dengan Kreativitas Kognitif 41 E. Landasan Teoritis ………. 42


(9)

BAB III METODE PENELITIAN ……… 46

A. Variabel dan Definisi Operasional ………... 46

1. Variabel ……… 46

2. Definisi Operasional ……… 46

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ……….. 47

1. Populasi ……… 47

2. Sampel ………. 47

3. Teknik Sampling ………. 48

C. Teknik Pengumpulan Data ……….. 50

D. Validitas dan Reliabilitas ………. 58

E. Analisis Data ………. 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

A.Hasil Penelitian ... 68

1. Deskripsi Subjek ... 68

2. Pengujian Hipotesis ... 71

B.Pembahasan ... 75

BAB V PENUTUP ... 81

A.Kesimpulan ... 81

B.Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ……….. 83


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelangsungan hidup setiap individu sangat ditentukan oleh kemampuan masing-masing dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi dalam hidupnya secara kreatif, baik dalam skala yang besar maupun kecil. Begitupun dalam berbagai aspek kehidupan, kebutuhan individu akan kreativitas kognitif sangat terasa. Karena kreativitas kognitif digunakan sebagai salah satu cara menghadapi berbagai macam tantangan, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik, dan sosial. Adanya kemajuan teknologi yang terus meningkat dan ledakan penduduk yang terus terjadi dengan disertai berkurangnya persediaan sumber-sumber alami menuntut individu untuk beradaptasi secara kreatif dan mencari pemecahan masalah yang imajinatif (Munandar 1999).

Perhatian utama terhadap kreativitas kognitif dan kesadaran akan pentingnya bagi dunia ilmu pengetahuan juga datang dari bidang di luar psikologi. Banyak perusahaan yang mengakui makna besar dari gagasan-gagasan baru dan banyak departemen pemerintah yang mencari orang-orang yang memiliki potensi kreatif. Namun kebutuhan-kebutuhan ini belum cukup dapat dilayani (Munandar, 2009)

Pada dasarnya pola pemikiran yang berbeda atau berfikir secara kreatif terkadang menyimpang dari jalan yang telah dirintis sebelumnya dan mencari variasi. Pemikiran tersebut melampaui apa yang jelas dan nyata


(11)

2

dengan mempertimbangkan apa yang mungkin ada untuk suatu masalah bukan hanya satu penyelesaian yang benar. Hal ini berbeda dari pemikiran pada umumnya, yang menhgikuti jalur secara konvensional dimana pemikir hanya menggunakan informasi yang tersedia untuk samapai pada kesimpulan yang mengarah ke suatu jawaban yang benar dimana hal tersebut dapat dicapai juga oleh orang lain. Orang yang kreatif suka mengutak-atik segala sesuatu dan berani mencoba berbagai hal dan lebih luwes serta lancar dan tidak terikat dengan apa yang ada. Hal tersebut yang menimbulkan arus gagasan yang lebih kaya dan hasilnya membuka jalan ke arah penyelesaian yang baru dan lebih kreatif (Hurlock 1999).

Mengenai pengembangan kreativitas kognitif dalam sistem pendidikan juga disebutkan dalam GBHN (1993) menekankan bahwa Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin ,beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani”. Selanjutnya ditekankan pula bahwa “Iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif inovatif dan keinginan untuk maju (Munandar 2009).

Dalam GBHN 1993 (Kaidah Penuntun) termasuk bahwa Pembangunan ekonomi harus selalu mengarah kepada mantapnya sistem


(12)

3

ekonomi nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1943 yang disusun untuk mewujudkan Demokratis Ekonomi yang harus dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan yang memiliki ciri, antara lain potensi, inisiatif, dan daya kreatif setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum. Dan situasi pengajaran atau pendidikan di Indonesia penekanannya lebih pada hafalan dan kemampuan individu mencari satu jawaban yang benar dari soal-soal yang diberikan sehingga akan terjadi proses pemikiran yang tinggi dan proses berfikir kreatif, namun hal tersebut masih jarang dilatih pada peserta didik begitupun di negara-negara lainnya (Munandar 2009).

Guilford 1950 dalam Munandar 1999 yang menyatakan bahwa pengembangan kreativitas kognitif ditelantarkan dalam pendidikan formal padahal ini amat bermakna bagi pengembangan potensi individu secara utuh dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan serta seni budaya. Oleh karena kurang terlatih melakukan proses berpikir yang menantang, siswa tidak mampu melihat kemungkinan bermacam-macam solusi penyelesaian masalahnya sehingga siswa Indonesia melakukan respon yang buruk terhadap kesulitan yang dihadapi atau kurang mampu bertahan terhadap kesulitan yang terjadi didalam mengatasi masalahnya.

Pendidikan mempunyai peran yang amat penting dalam menentukan perkembangan dan perwujudan dari individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung pada cara kebudayaan tersebut mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya


(13)

4

manusia dalam hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada seluruh peserta didik atau masyarakatnya umumnya. Seperti remaja akhir yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), yang nantinya akan memasuki dunia kerja ataupun ke perguruan tinggi, memiliki peran yang besar dalam meningkatkan kondisi ekonomi serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi negara Indonesia, sehingga kreativitas kognitif juga perlu dikembangkan dalam dunia sekolah. Dengan kreativitas kognitif, peserta didik juga dapat mencapai keberhasilan di bidang yang berarti bagi mereka dan dipandang baik oleh orang yang berarti baginya. Hal ini akan menjadi kepuasan ego yang besar pada periode remaja (Hurlock, 1997).

Namun pada hasil survey dari Poetri (dalam Aliyati, 2014) menunjukkan, bahwa tingkat kreativitas kognitif seseorang menurun sangat drastis yang semula dari 98% pada umur 5 tahun menjadi 2% pada usia 15 tahun yaitu pada usia remaja yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Penurunan ini dikarenakan adanya perbedaan penekanan pendidikan dimana di indonesia lebih menekankan pada kepatuhan untuk menerima informasi dari figurotoritas (Prematura, 2006).

Kreativitas kognitif di Indonesia sendiri masih berada pada tingkat yang cukup rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Global Creativity Index tahun 2010 memaparkan data tentang kreativitas kognitif. Sample diambil darimasyarakat yang ada di Ibukota dari 78 negara di dunia, yang bekerja di berbagai bidang seperti sains, teknologi, managemen, seni, kebudayaan, kesehatan, pendidikan, dan entertainment tentang level


(14)

5

pemecahan masalah dalam pekerjaan sehari-harinya. Hasilnya menunjukkan bahwa, Indonesia berada di peringkat 76 dari 78 negara (Global Creative Index dalam Aliyati 2014).

Kreativitas kognitif juga bisa terhambat pada periode-periode perkembangan tertentu, seperti yang dilaporkan oleh Arasteh (dalam Aliyati 2014). Arasteh menyebutkan bahwa perkembangan kreativitas kognitif dapat terhambat di beberapa periode kritis, yaitu salah satu diantaranya usia remaja 17-19 tahun yaitu pada usia remaja yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Terhambatnya perkembangan kreatifitas ini disebabkan karena beberapa individu dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang menyebabkan kebekuan kreativitas kognitif mereka (Aliyati 2014).

Menurut Hermans dalam Monks, 1989 dalam Setyabudi, siswa yang pasif dan tidak mempunyai semangat memunculkan ide-ide kreatifnya, terutama disebabkan oleh ketakutan akan gagal. Ketakutan akan gagal siswa jaman sekarang mungkin berhubungan dengan situasi pengajaran, juga dengan situasi hidup keseluruhan, dan sebagian disebabkan karena siswa makin dihadapkan dengan kemungkinan pilihan yang lebih banyak di dalam maupun di luar situasi pengajaran, sehingga kapasitas intelektual tidak sepenuhnya dapat bekerja.

Kreativitas kognitif adalah suatu aktifitas kognitif yang menghasilkan pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil pragmatis yaitu selalu dipandang menurut kegunaanya. Proses kreativitas kognitif bukan hanya sebatas menghasilkan suatu yang bermanfaat


(15)

6

saja (meskipun hampir sebagian besar orang kreatif selalu menghasilkan penemuan, tulisan maupun sebuah teori) (Solso dkk 2007). Jika anak memiliki kreativitas kognitif yang tinggi maka diharapkan anak mampu memecahkan persoalan yang dihadapinya secara efektif dan efisien. Akibatnya anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses di masa depannya dan kreativitas kognitif merupakan kemampuan anak menciptakan gagasan baru yang asli, imajinatif, dan juga kemampuan mengadaptasi kemampuan baru dengan gagasan yang sudah dimiliki (Safaria 2005).

Beberapa pengertian mengenai kreativitas kognitif oleh para tokoh dapat ditarik kesimpulkan bahwa kreativitas kognitif merupakan proses berfikir individu secara berbeda daripada umumnya untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara cepat dan tepat.

Guilford (dalam Munandar, 1999) mengemukakan aspek-aspek dari kreativitas kognitif antara lain: a. Kelancaran berpikir (fluency of thinking), yaitu kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir, yang ditekankan adalah kuantitas dan bukan kualitas. b. Keluwesan berpikir (flexibility), yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang beda, mencari alternatif atau arah yang berbeda-beda, serta mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir. Mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan


(16)

7

menggantikannya dengan cara berpikir yang baru. c. Originalitas (originality), yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli. d. Elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

Hurlock (1999) menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kreativitas kognitif yaitu waktu, kesempatan menyendiri, dorongan, sarana, lingkungan yang merangsang, hubungan orang tua dan anak yang tidak posesif, cara mendidik anak, dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, menurut Hurlock (1999) terdapat berbagai faktor lainnya yang dapat menyebabkan munculnya variasi atau perbedaan kreativitas kognitif yang dimiliki individu yaitu jenis kelamin, status sosial ekonomi, urutan kelahiran, ukuran keluarga, lingkungan kota vs lingkungan pedesaan, dan inteligensi.

Kreativitas kognitif juga dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal (faktor yang berasal dari atau terdapat pada diri individu yang bersangkutan atau disebut motivasi intrinsik) (Munandar 2009). Faktor ini meliputi keterbukaan, locus of control yang internal, kemampuan untuk bermain atau bereksplorasi dengan unsur-unsur, bentuk-bentuk, konsep-konsep, serta membentuk kombinasi-kombinasi baru berdasarkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya.

Faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar diri individu yang bersangkutan atau disebut motivasi ekstrinsik) atau motivai ekstrinsik.


(17)

8

Faktor-faktor ini antara lain meliputi keamanan dan kebebasan psikologis, sarana atau fasilitas terhadap pandangan dan minat yang berbeda, adanya penghargaan bagi orang yang kreatif, adanya waktu bebas yang cukup dan kesempatan untuk menyendiri, dorongan untuk melakukan berbagai eksperimen dan kegiatan-kegiatan kreatif, dorongan untuk mengembangkan fantasi kognisi dan inisiatif serta penerimaan dan penghargaan terhadap individual.

Dalam kebebasan psikologis dijelaskan jika orang tua atau guru mengizinkan atau memberi kesempatan pada anak untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaannya yaitu permissiveness. Permissiveness ini berarti memberikan kepada anak sebuah kebebasan yang luas dalam hal berfikir atau merasa sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya. Mengekspresikan dalam tindakan konkrit perasaan-perasaanya yang tidak selalu dimungkinkan, karena hidup dalam masyarakat selalu ada norma dan batasan-batasannya, tetapi untuk sebuah ekspresi secara simbolis hendaknya dilakukan. Motivasi pada remaja itu sendiri ditandai oleh harapan untuk sukses dalam memecahkan masalah tingkah laku, tinjauan masa depan dan optimistis dan prestasi akademis, dorongan sosial dan lain sebagainya (Hamalik 2010).

Berpijak pada paparan di atas maka diasumsikan bahwa kreativitas kognitif individu dapat dipengaruhi pula oleh faktor internal (motivasi intrinsik) dan faktor eksternal (motivasi ekstrinsik). Pada salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu faktor eksternal tersebut kreativitas kognitif


(18)

9

individu dapat dipengaruhi dari kebebasan psikologisnya yaitu sikap permisif (permissiveness) dari lingkungan. Dalam hal ini peneliti mengambil sikap permisif dari orang tua (parental permissiveness) sebagai lingkungan yang dimungkinkan dapat mempengaruhi kreativitas kognitif individu tersebut.

Parental permissiveness diartikan sebagai sikap orang tua yang membiarkan anak-anaknya melakukan apapun yang ia inginkan. Serba membolehkan dan penuh dengan kebebasan menjadi karakteristik pada sikap orang tua tersebut. Bahkan beberapa orang tua dengan sengaja mengasuh bersikap permisif kepada anak-anaknya karena mereka berkeyakinan bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit kekangan akan melibatkan anak yang kreatif dan percaya diri (Santrock 2011). Dimana dalam hal ini sikap orang tua memberikan kebebasan atau serba membolehkan atas apa yang hendak remaja kerjakan sehingga diharapkan mampu mempengaruhi kreativitas kognitif remaja tersebut.

Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian guna mengetahui hubungan yang lebih spesifik antara sikap orang tua yang permisif (parental permissiveness) terhadap tingkat kreativitas kognitif pada remaja dalam sebuah judul penelitian Hubungan Parental Permissiveness Terhadap Kreativitas Kognitif. Dalam penelitian ini juga subjek yang ditentukan adalah remaja kerena dalam fase tersebut terjadi proses kritis pada kreativitas kognitif mereka. Hal tersebut terkait pula dengan adanya pengaruh lingkungan yang terkadang kurang mendukung adanya


(19)

10

perkembangan pada kreativitas kognitif remaja seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Penelitian ini dilakukan di SMA Islam Duduksampeyan Gresik dikarenakan saat pre-eliminary study peneiliti menemukan fenomena yang mengindikasikan kreativitas pada siswa/inya masih cenderung rendah. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pemanfaatan kegiatan ekstrakurikuler dan pengoptimalan kemampuan diri dengan baik oleh para siswa. Semisal pada ekstrakurikuler menjahit, membordir, menari, dan bela diri, menurut pengajar dari masing-masing ekstrakurikuler tersebut ada beberapa siswa/i yang memiliki kemampuan lebih pada salah satu bidang ekstrakurikuler, namun nampak dari mereka masih rendah keinginannya dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki masing-masing individu pada salah satu bidang. Padahal jika kegiatan ekstrakurikuler tersebut dapat diikuti dengan maksimal maka dapat menciptakan hasil karya (produk) kreativitas yang luar biasa. Begitupun dengan sikap orang tua (wali murid) yang masih rendah dalam mengontrol dan mengarahkan anaknya untuk mengikuti salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini mengindikasikan Parental Permissiveness yang relatif rendah. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melihat hubungan Parental Permissiveness terhadap kreativitas kognitif remaja.

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :

Apakah parental permissiveness berhubungan dengan tingkat kreativitas kognitif pada remaja?


(20)

11

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas diperoleh tujuan penelitian sebagai berikut :

Untuk mengetahui hubungan parental permissiveness dengan tingkat kreativitas kognitif pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu:

1. Manfaat teoritis, yaitu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang studi psikologi perkembangan serta untuk memperkaya pengetahuan psikologi umunya dan pengetahuan tentang pengaruh parental permissiveness (sikap orang tua permisif/serba membolehkan) terhadap kreativitas kognitif khususnya.

2. Manfaat praktis, yaitu untuk dijadikan rujukan bagi orang tua ataupun pendidik dalam menyikapi kreativitas kognitif remaja.

E. Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penelitian terdahulu dengan penelitian ini adapun beberapa kesamaan baik dalam topik maupun yang lainnya. Seperti pada Jurnal berjudul Hubungan Antara Perceived Autonomy Support Siswa terhadap Guru dengan Kreativitas kognitif Siswa Kelas XI SMA Insan Mulia Surabaya (Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 3, No. 01, April 2014) memiliki kesamaan pada variabel dependennya dan subjek yang dipilih yaitu menggunakan variabel dependen kreativitas kognitif pada remaja SMA kelas XI namun dalam penelitian tersebut tidak terdapat spesifikasi usia


(21)

12

bagi subjek yang ditentukan, hanya terkait dalam kelas XI saja, sedangkan dalam penelitian ini subjek yang ditentukan adalah seluruh siswa kelas X SMA Islam Duduksampeyan Gresik yang berusia 15 sampai 18 tahun.

Adapun pada Jurnal Psikologi Indonesia Mei 2014, Vol. 3, No. 02 yang berjudul Motivasi Intrinsik, Pola Asuh Orangtua Demokratis Dan Kreativitas kognitif Anak Sekolah Dasar memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu pada salah satu variabel prediktornya yakni motivasi intrinsik serta dua variabel prediktor lainnya namun variabel terikat yang digunakan memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu kreativitas kognitif. Jika dalam penelitian tersebut motivasi intrinsik dipilih sebagai varibel yang mampu mempengaruhi kreativitas kognitif sedangkan dalam penelitian ini menggunakan motivasi ekstrinsik (faktor eksternal) sebagai variabel prediktornya bahkan lebih dispesifikasikan lagi yaitu sikap permisif orang tua (parental permissiveness) yang termasuk dalam lingkup kebebasan psikologis individu akan digunakan sebagai variabel prediktornya terhadap kreativitas kognitif. Begitupun dengan subjek yang ditentukan pada penelitian sebelumnya dengan penelitian ini juga memiliki perbedaan. Di mana pada penelitian sebelumnya anak SD dipilih sebagai respondennya sedangkan dalam penelitian ini remaja dengan usia 15 sampai 18 tahun dipilih sebagai responden atau subjeknya.

Pada jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vo.1 No.02, Juni 2012 yang berjudul Hubungan Antara Self Efficacy dengan Kreativitas kognitif Pada Siswa SMK memiliki kesamaan pada jenis penelitiannya yaitu


(22)

13

penelitian korelasional dan variabel terikatnya yaitu kreativitas kognitif. Subjek dalam penelitian tersebut adalah siswa SMK sedangkan pada penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Islam Duduksampeyan Gresik yang


(23)


(24)

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kreativitas Kognitif

1. Pengertian Kreativitas Kognitif

Menurut Munandar dalam Sari (2013) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru, asosiasi baru berdasarkan bahan, informasi, data atau elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya menjadi hal-hal yang bermakna dan bermanfaat. Hafeele dalam Munandar (2002) mengatakan kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial.

Menurut Hurlock (1999) kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru serta dapat berupa apa saja. Hal baru tersebut berawal dari adanya kemampuan dalam menkombinasikan gagasan-gagasan yang sudah ada sebelumnya sehingga terwujud suatu penemuan yang baru.

Menurut Solso dkk (2007) kreativitas adalah suatu aktifitas kognitif yang menghasilkan pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil pragmatis yaitu selalu dipandang menurut kegunaanya. Proses kreativitas bukan hanya sebatas menghasilkan suatu yang bermanfaat saja (meskipun hampir sebagian besar orang kreatif selalu menghasilkan penemuan, tulisan maupun sebuah teori).


(25)

15

Sedangkan menurut Gordon dan Bowne dalam Moelichatoen dalam Yuliati (2010) kreativitas merupakan kemampuan anak menciptakan gagasan baru yang asli, imajinatif, dan juga kemampuan mengadaptasi kemampuan baru dengan gagasan yang sudah dimiliki. Hasil sebuah adaptasi dari gagasan-gagasan yang sudah ada diciptakan melalui proses imajinatif dan kemampuan adaptasi yang baik.

Menurut Drevdahl dalam Hurlock (1999) kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya. Ia dapat berupa kegiatan imajinatif yang dihasilkan dari proses kognitifnya.

Kreativitas adalah kemampuan berfikir secara berbeda (divergen) dalam berbagai macam sudut pandang yang fleksibel dan bervariasi (Safaria, 2005). Kemampuan berfikir yang terjadi pada individu akan menghasilkan sebuah sudut pandang yang berbeda dan lebih variatif tentunya.

Menurut Guilford dalam Munandar (1999) pada studi-studi faktor analisis seputar ciri-ciri utama dari kreativitas membedakan antara aptitude (kognitif) dan non aptitude traits (afektif) yang berhubungan dengan kreativitas. Ciri-ciri aptitude (kognitif) dari kreativitas meliputi kelancaran, kelenturan dan orisinalitas dalam berfikir. Sedangkan ciri-ciri kreativitas dari non aptitude traits meliputi kepercayaan diri, keuletan, apresiasi estetik dan kemandirian. Jika individu memiliki kreativitas


(26)

16

kognitif yang tinggi maka diharapkan individu mampu memecahkan persoalan yang dihadapinya secara efektif dan efisien. Akibatnya anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses di masa depannya (Munandar 1999).

Dapat dijelaskan bahwa dari segi kognitif, kreativitas merupakan kemampuan berfikir yang memiliki ciri-ciri antara lain kelancaran, kelenturan, orisinalitas dan elaborasi. Selain itu terbentuknya kreativitas tidak terlepas dari aspek kognitif karena dalam kreativitas terjadi proses berfikir kreatif (berfikir divergen) yang melibatkan kognisi dari individu itu sendiri. Kreativitas kognitif yang baik akan melalui proses berfikir kreatif (berfikir divergen) yang tinggi, bukan semata-mata mengutamakan pada hasil (produk) berfikir yang konvergen. Sebelum suatu produk kreatif dihasilkan maka akan melewati tahap kogntitif terlebih dahulu. Dalam tahap kognitif tersebut terjadi proses berfikir yang lancar, lentur, dan orisinal sehingga terciptalah sebuah produk (hasil) dari proses kreativitas kognitif tersebut. Sehingga dengan adanya perkembangan kreativitas kognitif individu dapat memberikan pengaruh yang besar pada hal pemecahan masalah ataupun hal-hal kreatif lainnya, karena dalam setiap sikap kreatif (afektif) akan terlebih dahulu melalui tahap proses berfikir kreatif (kognitif) terlebih dahulu.

Dari beberapa pengertian kreativitas dan penjelasan oleh para tokoh dapat disimpulkan bahwa kreativitas kognitif merupakan suatu proses


(27)

17

berpikir yang lancar dan orisinal dalam menciptakan suatu gagasan yang bersifat unik, berbeda, baru, dan bermakna.

Sejalan dengan penjelasan di atas menurut Munandar (1999) mengatakan terdapat empat ciri-ciri kreativitas dari segi kognitif antara lain :

a. Kelancaran (fluency).

Kelancaran yaitu kesigapan, kelancaran, kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan secara cepat. Dalam kelancaran berfikiryang ditekankan adalah kuantitas bukan kualitas.

b. Kelenturan/Keluwesan (flexibility).

Kelenturan/Keluwesan yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam cara dalam mengatasi masalah, kemampuan untuk mempoduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda, mencari alternatif atau arah yang berbeda, serta mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berfikir. Mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara berfikir lama dan menggantikannya dengan cara berfikir baru.

c. Originalitas (original).

Originalitas yaitu kemampuan dalam berpikir atau memberi gagasan-gagasan yang unik atau asli.


(28)

18

d. Kemampuan mengelaborasi (elaboration).

Elaboration yaitu kemampuan untuk melakukan hal yang detail. Untuk melihat gagasan atau detail yang nampak pada objek disamping gagasan pokok yang muncul, kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci datail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas kognitif

Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas kognitif, menurut Munandar 1999 antara lain :

a. Kecerdasan (inteligensi) dan memperbanyak bahan berpikir berupa pengalaman dan ketrampilan.

b. Sikap, motivasi, nilai dan ciri kepribadian yang lain yang berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Faktor kepribadian terdiri dari rasa ingin tahu, harga diri, dan kepercayaan diri, sifat mandiri, berani dalam mengambil resiko dan asertif.

Hurlock (1999) mengukapkan faktor lain yang dapat mempengaruhi kreativitas adalah:

a. Jenis kelamin

Beberapa penelitian menunjukan anak laki-laki mempunyai kreativitas kognitif yang lebih tinggi daripada anak perempuan, terutama setelah berlalunya masa kanak-kanak. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam perlakuan yaitu laki-laki lebih diberi kesempatan untuk mandiri, lebih berani mengambil resiko,


(29)

19

sedangkan perempuan cenderung diberi perlakuan untuk lebih patuh kepada perintah orang tua, kurang diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan cenderung dimanja.

b. Status sosial – ekonomi.

Anak dari keluarga dengan sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung lebih kreatif dari pada anak-anak dari keluarga dengan sosial ekonomiyang rendah. Hal ini disebabkan karena orang tua dengan sosial ekonomi yang tinggi sebagian besar mendidik anak dengan cara demokratis, sedangkan keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung menggunakan sistem otoriter.

c. Urutan kelahiran.

Urutan kelahiran juga mempengaruhi tingkat kreativitas kognitif. Anak pertama cenderung lebih ditekankan untuk menyesuaikan dengan harapan orang tua, dibanding dari anak yang lahir kemudian (anak nomor dua, tiga, dst) yang lebih diberi kebebasan untuk berkreasi.

d. Ukuran keluarga.

Anak yang tumbuh dalam keluarga kecil, cenderung lebih kreatif daripada anak dari keluarga besar. Pada keluarga besar cara mendidik anak yang otoriter dan kondisi sosial ekonomi yang kurang menguntungkan dapat menghalangi perkembangan kreativitas kognitif.


(30)

20

e. Lingkungan kota versus lingkungan pedesaan.

Anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif dari anak lingkungan pedesaan. Anak desa cenderung dididik secara otoriter dan kurang merangsang kreativitas kognitif. Sedangkan anak kota cenderung dididik secara demokratis serta lebih diberi kebebasan untuk berkreasi.

f. Inteligensi.

Pada setiap tingkatan umur, anak yang pandai (IQ diatas rata-rata) menunjukkan kreativitas kognitif yang lebih besar daripada anak yang kurang pandai. Anak yang pandai lebih banyak mengeluarkan gagasan baru untuk menangani suasana konflik sosial dan mampu merumuskan lebih banyak penyelesaian konflik tersebut. Pendapat masyarakat tentang anak yang mempunyai inteligensi yang tinggi selalu mempunyai kreativitas kognitif yang tinggi pula, belum tentu benar sepenuhnya. Hal ini disebabkan karena kreativitas kognitif dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mendukung atau tidak serta faktor dari dalam diri seseorang sering mengganggu perkembangan kreativitas kognitif.

Menurut Munandar (2009) kreativitas individu dapat terwujud dengan adanya pengaruh dua faktor, yaitu :

1. Faktor internal atau motivasi intrinsik (faktor yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan atau disebut motivasi


(31)

21

Motivasi adalah suatu perubahan energi dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan. Rumusan ini mengandung unsur-unsur bahwa motivasi dimulai dari adanya perubahan energi di dalam pribadi. Pada setiap orang terdapat kecenderungan atau dorongan dari dalam dirinya untuk mewujudkan seluruh potensinya, dorongan untuk berkembang menjadi matang, dorongan untuk mengungkapkan dan mengaktifkan seluruh kapasitas. Dorongan ini merupakan motivasi yang utama untuk sebuah kreativitas kognitif ketika individu membentuk hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya dalam upaya menjadi dirinya yang sepenuhnya. Dorongan pada setiap orang yang bersifat internal ada dalam individu itu sendiri namun membutuhkan kondisi yang tepat untuk mewujudkannya.

Faktor internal (motivasi intrinsik) ini meliputi keterbukaan, locus of control yang internal, kemampuan untuk bermain atau bereksplorasi dengan unsur-unsur, bentuk-bentuk, konsep-konsep, serta membentuk kombinasi-kombinasi baru berdasarkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya.

2. Faktor eksternal atau motivasi ekstrinsik (faktor yang berasal dari dorongan atau pengaruh lingkungan).

Lalu kondisi lingkungan yang bagaimana yang mampu menjadi pendorong bagi individu untuk meningkatkan kreativitas kognitif nya. Kreativitas kognitif memang tidak dapat dipaksakan


(32)

22

namun dapat selalu untuk ditumbuh kembangkan. Menurut pengalaman Rogers dalam Munandar 1999 bahwa penciptaan kondisi keamanan dan kebebasan memungkinkan timbulnya kreativitas kognitif pada inidividu. Jadi dalam motivasi eksternal kondisi yang mampu meningkatkan kreativitas kognitif individu adalah yang penuh dengan keamanan dan kebebasan psikologis. a. Keamanan psikologis

Keamanan psikologis akan terbentuk dari tiga proses yang saling berhubungan yaitu :

1. Menerima individu dengan apa adanya dan segala kelebihan serta keterbatasannya. Jika lingkungan memberikan kepercayaan pada individu bahwa ia pada dasarnya baik dan mampu, bagaimanapun tingkah laku dan prestasi yang dicapai individu tersebut maka kondisi itu akan mampu mendorong kreativitas kognitifnya. Pengaruhnya adalah baha individu telah mengahayati suasana keamanan.

2. Mengusahakan tidak adanya evaluasi eksternal. Evaluasi kesternal selalu mengandung ancaman sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan. Bagi individu untuk berada di dalam suasana dimana ia tidak dinilai dan tidak diukur menurut patokan dari luar maka akan menimbulkan rasa kebebasan.


(33)

23

3. Memberikan pengertian secara empatis (dapat ikut menghayati). Mengenal dan ikut menghayati perasaan individu, pemikiran-pemikirannya, tindakan-tindakannya, dapat melihat dari sudut pandang anak dan tetap menerimanya, dan benar-benar memberikan rasa keamanan. b. Kebebasan psikologis.

Jika lingkungan mengizinkan atau memberi kesempatan kepada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaan-perasaanya disebut permissiveness. Sikap permissiveness akan memberikan kepada individu kebebasan dalam berfikir atau merasa sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya. Mengekspresikan dalam tindakan konkrit perasaan-perasaanya (semisal dengan memukul) tidak selalu dimungkinkan, karena hidup dalam masyarakat selalu ada norma dan batasan-batasannya. Namun sikap permissiveness dalam hal ini adalah sikap selalu mengizinkan atau selalu membolehkan atas apa yang akan dilakukan individu sehingga diharapkan mampu meningkatkan kreativitas kognitif individu tersebut.

Dalam kebebasan psikologis dijelaskan jika lingkungan memberi kesempatan dan bersikap selalu membolehkan kepada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaannya melalui sebuah kreativitas kognitif


(34)

24

yaitu permissiveness. Dimana dalam hal ini lingkungan yang dimaksudkan adalah orang tua atau guru, sehingga sikap permisif (permissiveness) dari orang tua atau guru itulah yang dianggap mampu mempengaruhi dan memberikan dorongan terhadap kreativitas kognitif individu.

Dalam penelitian ini telah ditentukan salah satu lingkungan yang menjadi pendorong kreativitas kognitif individu yaitu orang tua yang memberikan kebebasan secara psikologis, sehingga dapat dispesifikasikan bahwa sikap permisif dari orang tua (parental permissiveness) tersebut dapat memberikan dorongan terhadap tingkat kretaifitas individu tersebut.

Amabile dalam Safaria (2005) menegaskan pula bahwa sikap orang tua memiliki pengaruh terhadap kreativitas individu dalam hal ini dilihat dari aspek kognitifnya. Beberapa sikap dari orang tua yang menentukan perkembangan kreatif individu salah satunya yaitu kebebasan (permisif). Orang tua yang permisif akan percaya untuk memberikan kebebasan kepada anaknya. Mereka tidak otoriter, tidak selalu mengawasi anak, dan tidak terlalu membatasi kegiatan anak. Mereka juga tidak terlalu cemas mengenai anak mereka. Teori Amabile di atas menguatkan pernyataan dari Munandar (2009) yang mengatakan bahwa adanya kebebasan dari orang tua (Parental


(35)

25

permissiveness) mampu memberikan dorongan positif terhadap tingkat kreativitas individu.

3. Ciri-ciri Individu kreatif

Torrance (Safaria, 2005), mengemukakan ciri-ciri lain dari individu yang kreatif, yaitu :

a. Tidak takut untuk berada dalam segala hal dengan orang lain. Mereka memegang teguh pendirian dan keyakinannya sekaligus berani mengungkapkannya. Meskipun bertemu dengan orang-orang yang baru ia temui individu kreatif tidak akan mudah canggung dengan lingkungan pada saat itu, ia tetap percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya.

b. Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi atau melit. Keingin tahuan individu terhadap suatu hal yang dilihat dan dialami sangat tinggi dan harus ia ketahui.

c. Mandiri dalam berpikir dan dalam memberikan pertimbangan serta tidak mudah ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Ketika menghadapi sebuah permasalahan individu kreatif akan berfikir cepat dan lebih efektif dalam memecahkan masalah tersebut.

d. Memiliki semangat dan energi yang besar dalam melakukan kegiatan yang diminatinya dan tidak mudah teralihkan oleh hal lain sebelum tugasnya selesai.

e. Intuitif, artinya dalam memecahkan suatu masalah anak tidak hanya berdasar pemikiran rasional, tetapi juga alam bawah sadarnya.


(36)

26

f. Memiliki keuletan yang tinggi, tidak mudah putus asa, karena proses kreatif membutuhkan waktu yang lama untuk diselesaikan.

g. Tidak begitu saja menerima pendapat orang lain (termasuk figur otoritas) jika tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya.

h. Memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi, berani mengekspresikan dirinya dan memiliki keyakinan bahwa mereka bisa menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi.

4. Kendala dalam Pengembangan Kreativitas Kognitif

Dalam mengembangkan dan mewujudkan potensi kreatifnya, seseorang apakah dia anak, remaja atau dewasa dapat mengalami berbagai hambatan, kendala atau rintangan yang dapat merusak bahkan mematikan kreativitasnya. Sumber kendla itu dapat bersifat internal, yaitu berasal dari individu itu sendiri, dan dapat bersifat eksternal yaitu terletak pada lingkungan individu, baik lingkungan makro (kebudayaan, masyarakat) maupun lingkungan mikro (keluarga, sekolah, teman sebaya).

Menurut Schalcross dalam Munandar (1999) kendala dalam pengembangan kreativitas kognitif individu antara alain :

a. Kendala historis

Shallcross menyebut sebagai contoh di dunia barat, kehidupan pada abad Victoria tidak memberikan banyak kebebasan untuk perilaku termasuk pemikiran anggota masyarakatnya. Sehubungan dengan ini timbul perntanyaan, sejauh mana masyarakat dan kebudayaan


(37)

27

Indonesia saat ini mampu membuat iklim yang kondusif untuk penegembangan kreativitas.

b. Kendala biologis

Ditinjau dari sudut biologis, beberapa pakar menekankan bahwa kemampuan kreatif merupakan ciri herediter, sementara pakar lainnya percaya bahwa lingkunganlah yang menjadi penentu utama. Harus diakui bahwa gen yang diwarisi berperan dalam menentukan batas-batas intelegensi, tetapi sering dalam hal ini hereditas lebih banyak digunakan sebagai alasannya.

c. Kendala fisiologis

Seseorang dapat mengalami kendala faal karena terjadi kerusakan otak karena penyakit atau karena kecelakaan. Atau seseorang menyandang salah satu keturunan fisik yang menghambatnya untuk mengungkapkan kreativitasnya.

d. Kendala sosiologis

Lingkungan sosial mempunyai dampak terhadap lingkungan kreatif kita. Setiap masyarakat memiliki norma, nilai dan tradisi tertentu. Sering anggota masyarakat menganggap perilaku ynag menyimpang dari norma sebagai tindakan yang tak bermoraljika menyimpang dari aturan hukum yang tertulis ataupun tidak tertulis.

e. Kendala psikologis

Kendala yang dikemukakan sebagaian besar hanya dari faktor eksternal. Dalam kenyataannya beberapa orang meyakinkan dirinya


(38)

28

bahwa faktor eksternal menyebabkan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya, dan keyakinan inipun sudah merupakan sebagai kendala psikologis.

f. Kendala diri sendiri

Terdapat beberapa faktor internal yang menghambat perilaku kreatif, seperti pengaruh dari kebiasaan atau pembiasaan, perkiraan harapan orang lain, kurangnya usaha atau kemalasan mental, dan ketidaklenturan dalam berfikir.

Menurut Amabile dalam Munandar (1999) mengemukakan adanya empat penghambat kreativitas kognitif, antara lain :

a. Evaluasi

Salah satu syarat untuk memupuk kreatvitas ialah bahwa pendidik tidak memberikan evaluasi, atau paling tidak menunda pemberian evaluasi sewaktu anak sedang asyik berkreasi. Bahkan menduga akan dievaluasi pun akan mengurangi kreativitas individu. Apakah anak-aanak yang lukisannya dinilai kurang kreatif dalam membuat kolase, karena mereka menjadi kecil hati sebagai akibat lukisan mereka dikritik? Kenyataannya lukisan mereka tidak dikritik. Ucapan yang diberikan cukup positif, jadi pujianpun dapat menjadikan anak kurang kreatif, jika pujian itu membuat mereka memusatkan perhatian pada harapan akan dinilai.


(39)

29

b. Hadiah

Dalam salah satu studi, siswa sekolah dapat ditugaskan membuat cerita untuk melengkapi buku bergambar, dengan atau tanpa hadiah. Satu kelompok anak diberitahu bahwa sebagai hadiah mereka boleh mengambil foto dengan alat pemotret instan. Pada kelompok yang tidak dijanjikan hadiah, anak-anak diberitahu bahwa mengambil foto merupakan kegiatan lain yang dapat mereka lakukan sesudah membuat cerita. Pada kelompok yang diberi hadiah anak-anak diberitahu bahwa mereka hanya boleh mengambil foto jika mereka membuat cerita. Kemudia guru menilai kekreatifan cerita tersebut, dan ternyata hasil membuat cerita dari kelompok yang tidak diberi hadiah lebih kreatif daripada kelompok yang diberi hadiah.

c. Persaingan

Persaingan lebih kompleks daripada pemberian evaluasi atau hadiah secara tersendiri, karena persaingan meliputi keduanya. Biasanya persaingan terjadi apabila siswa merasa bahwa pekerjaannya akan dinilai terhadap pekerjaan siswa lain dan bahwa yang terbaik akan mendapatkan hadiah. Hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sayangnya dapat mematikan kreativitas.

d. Lingkungan yang membatasi

Alber Einstein yakin bahwa belajar dn kreativitas tidak dapat ditingkatkan dengan paksaan. Sebagai anak ia mempunyai pengalaman mengikuti sekolah yang sangat menekankan pada disiplin


(40)

30

dan hafalan semata-mata. Ia selalu diberitahu apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya dan pada ujian harus dapat mengulanginya dengan tepat, pengalaman yang baginya amat menyakitkan dan menghilangkan minat terhadap ilmu, meskipun hanya untuk sementara. Padahal sewaktu berumur lima tahun ia amat tertarik untuk belajar ketika ayahnya menunjukkan kompas kepadanya. Dcontoh ini menunjukkan bahwa jika berfikir dan belajar dipaksakan dalam lingkungan yang amat membatasi, minat dan motivasi intrinsik dapat tidak sengaja dirusak.

B. Parental Permissiveness (Sikap Permisif Orang Tua) 1. Pengertian Parental Permissiveness

Permissiveness diartikan sebagai sikap memberikan banyak kelonggaran dan pembolehan kepada anak dan remaja (Yusuf 2012). Menurut Munandar 1999 permissiveness adalah sikap orang tua atau guru yang selalu memberikan perizinan atau memberi kesempatan pada anak untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaan-perasaanya. Sikap permisif dilakukan orang tua atau guru kepada anak atau peserta didiknya. Sikap tersebut cenderung kepada sikap pemberian kelonggaran dan pembolehan yang besar serta pemberian perizinan oleh orang tua ataupun guru. Permissiveness didapatkan individu dari orang tua dan guru ataupun aspek lingkungan lainnya. Namun dalam hal ini sikap permisif kepada individu lebih


(41)

31

dispesifikasikan lagi yaitu sikap permisif dari orang tua (parental permissiveness).

Parental permissiveness dalam penelitian ini didefinisikan sebagai sikap permisif (serba membolehkan) dari orang tua kepada anak atau remajanya. sikap permisif ini memberikan kepada anak atau remaja kebebasan dalam berpikir atau merasa sesuai dengan dirinya denga mengekspresikan dalam tindakan konkrit perasaan-perasaannya yang tidak selalu dimungkinkan tetapi jika ekspresi tersebut secara simbolis hendaknya dimungkinkan (Munandar 1999). Lingkungan sangat mempengaruhi sifat dan kepribadian individu adapun pengaruh dari sikap orang tua terhadap tingkat kreativitas kognitif remaja karena beberapa sikap dari orang tua yang dapat mempengaruhi tingkat perkembangan kreativitas kognitif anak salah satunya yaitu kebebasan (permisif) dalam Amabile dalam Safaria 2005.

Menurut Yusuf (2012) terdapat beberapa sikap dari orang tua yang dapat dikatakan sebagai sikap permisif orang tua (parental permissiveness) antara lain orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya kepada remaja atau anak untuk berfikir dan berusaha, orang tua selalu menerima gagasan/pendapat yang disampaikan remaja/anak, orang tua berusaha membuat anak merasa diterima dan merasa kuat, orang tua memiliki sikap toleransi yang tinggi, memahami kelemahan remaja atau anak dan tidak menjatuhkannya melalalui kekurangan yang dimiliki anak,


(42)

32

dan cenderung orang tua lebih suka memberi yang diminta remaja atau anak daripada menerima sesuatu dari mereka.

2. Sikap Orang Tua

Pada umumnya sikap dari orang tua tidak hanya secara permisif (permissiveness) saja, melainkan ada beberapa sikap yang biasanya dilakukan oleh orang tua antara lain otoriter dan demokratis. Setiap orang tua memiliki pola asuh dan sikap yang berbeda dalam mendidik anak-anaknya.

Menurut Yusuf 2012 terdapat beberapa indikator perilaku dari parental permissiveness (sikap orang tua permisif) antara lain :

a. Orang tua memberikan kebebasan kepada remaja untuk berfikir dan berusaha sendiri.

b. Orang tua selalu menerima gagasan/pendapat yang mereka sampaikan. c. Orang tua berusaha membuat remaja selalu diterima dan menjadikan

mereka merasa semakin kuat.

d. Orang tua lebih menyukai apa yang diminta remaja daripada orang tua yang menerima sesuatu atau meminta sesuatu dari remaja tersebut.

Adapun beberapa pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya yang mampu mempengaruhi tingkah laku dan kepribadian anak tersebut antara lain :


(43)

33

Tabel 1

Sikap atau Perlakuan Orang Tua dan Dampak yang Ditimbulkan (Yusuf, 2012)

Pola sikap orang

tua Sikap orang tua

Profil tingkah laku anak

1. Permissiveness

(Pembolehan) 1. Memberikan kebebasan untuk berfikir atau berusaha

2. Menerima

gagasan/pendapat. 3. Membuat anak

merasa diterima dan merasa kuat

4. Toleran dan memahami

kelemahan anak 5. Cenderung lebih

suka memberi yang diminta anak daripada menerima

1. Pandai mencari jalan keluar. 2. Dapat bekerja

sama. 3. Percaya diri. 4. Penuntut

2. Overprotection (terlalu

melindungi)

1. Kontak yang berlebihan dengan anak.

2. Pemberian bantuan kepada anak yang terus menerus meskipun anak sebenarnya sudah mampu.

3. Mengawasi kegiatan anak secara berlebihan.

4. Memcahkan masalah anak.

1. Perasaan tidak aman.

2. Agresif 3. Mudah gugup 4. Sangat tergantung 5. Ingin menjadi

pusat perhatian 6. Mudah menyerah 7. Kurang mampu

mengendalikan emosi 8. Menolak tanggung jawab 9. Mudah terpengaruh 10.Suka bertengkar

sulit bergaul 11.Pembuat onar


(44)

34

3. Rejection

(penolakan) 1. Bersikap bodoh masa 2. Bersikap kaku 3. Kurang

mempedulikan kesejahteraan anak 4. Menampilkan sikap

permusuhan

1. Agresif

2. Kurang dapat mengerjakan tugas 3. Pemalu 4. Mudah tersinggung 5. Penakut 6. Sulit bergaul 7. Pendiam 8. Sadis 4. Acceptence

(penerimaan) 1. Memberikan perhatian dan cinta kasih kepada anak 2. Menempatan anak

dalam posisi yang penting di dalam rumah

3. Mengembangkan hubungan yang dekat dengan anak 4. Bersikap respek

kepada anak

5. Mendorong anak untuk

menyampaikan pendapat atau perasaannya

6. Berkomunikasi dengan anak

1. Mau bekerja sama

2. Bersahabat 3. Loyal

4. Emosinya stabil 5. Ceria

6. Bertanggung jawab 7. Jujur

8. Dapat dipercaya 9. Bersikap realistik

5. Domination

(dominasi) Mendominasi anak 1. Bersikap sopan dan sangat berhati-hati 2. Pemalu, penurut,

inferior dn mudah bingung

3. Tidak dapat bekerja sama 6. Submission

(penyerahan) 1. Senantiasa memberikan apapun yang diminta anak 2. Membiarkan anak

berperilaku

semaunya jika di rumah

1. Tidak patuh 2. Tidak bertanggung

jawab 3. Agresif 4. Otoriter 5. Over confident


(45)

35

7. Punitiveness/ov erdicipline (terlalu disiplin)

1. Mudah memberikan hukuman

2. Menanamkan

kedisiplinan secara keras

1. Impulsif 2. Tidak dapat

mengambil keputusan 3. Nakal

4. Suka bermusuhan Sumber : Yusuf, 2012: 49-50 Sebenarnya sikap orang tua yang dimunculkan pada pengasuhan mereka bukan hanya sikap permisif saja. Bermacam-macam sikap dan pengasuhan yang dilakukan orang tua akan memiliki dampak yang berbeda bagi setiap individu.adapun seperti yang dijelaskan dalam tabel di atas. Menurut Khalid dalam Farzana 2013 dkk :

Two dimensional model of parenting: warmth-hostility and restrictiveness- permissiveness was presented by Becker, high in warmth and restrictiveness Parents produce complaint, well-behaved children, whereas those high in warmth and permissiveness promote socially outgoing, independent, and creative children ( as cited in khalid, 2004).

Berpendapat bahwa terdapat dua dimensi model pengasuhan yaitu kehangatan - permusuhan dan pembatasan - permisif yang disajikan oleh Becker jika anak disikapi dengan kehangatan dan pembatasan akan menghasilkan anak-anak yang berperilaku baik, sedangkan anak yang disikapi dengan kehangatan dan sikap permisif menghasilkan anak yang memiliki sosial tinggi, mandiri dan kreatif.

Adapun beberapa pernyataan lain mengenai parental permissiveness (sikap orang tua permisif) yang dapat diambil dari kutipan berikut :


(46)

36

Those adolescents who had tried alcohol, tobacco and cannabis during their lifetime perceived higher levels of parental permissiveness toward such use, as well as less control and more affect from both their father and their mother.

Diartikan bahwa terdapat remaja yang telah mencoba mengkonsumsi alkohol, tembakau dan ganja selama hidup mereka, perilaku tersebut muncul karena adanya sikap permisif yang lebih tinggi dari orangtua terhadap penggunaan alcohol dan lain sebagainya, serta kurang kontrol khususnya dari kedua ayah dan ibu mereka (Becona dkk). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa parental permissiveness merupakan sikap orang tua permisif yang hanya sedikit saja memberikan kontrol kepada remajanya. Dalam kutipan dari pernyataan lain mengatakan bahwa :

Parental Permissiveness—Allowance of Drinking Perceived parental allowance of drinking was assessed using one item, “How old were you the first time you drank alcohol (more than a few sips) with permission from your parents?” and response options were recoded as (0) never permitted, and (1) ever permitted.

Diartikan bahwa orang tua permisif jika dihubungan dengan perilaku minum (alkohol) dan perizinan atau permissiveness orang tua diukur dengan menggunakan satu item,yaitu "Berapa umur Anda saat pertama kali Anda minum alkohol (lebih dari beberapa teguk) tentunya dengan izin dari orang tua Anda?" dan pilihan respon sebagai berikut (0) tidak pernah diizinkan, dan (1) pernah diizinkan (dalam Weld dkk). Dari pernyataan di atas parental permissiveness diartikan sebagai sikap orang tua permisif


(47)

37

yang berkaitan dengan kemudahan orang tua dalam memberikan izin bagi remaja untuk melakukan sesuatu yang diinginkan remaja tersebut.

Parental Permissiveness—Perceived Parental Limits Perceived parental limits were assessed using one item, “During your senior year of high school, how many drinks would your parents consider to be an upper limit for you to consume on any given occasion?” with the following response options: (0) no amount, (1) one drink, (2), two drinks, (3) three drinks, (4) four drinks, (5) five drinks, (6) six to 12 drinks, and (7) there is no upper limit (Abar et al. 2009).

Diartikan bahwa orang tua permisif berhubungan dengan batasan dari orang tua kepada individu yang dinilai menggunakan satu aitem “Selama Anda sekolah di perguruan tinggi, berapa kali anda minum (alkohol) dan orang tua dianggap sebagai pihak yang memberikan batasan kepada Anda untuk mengkonsumsi (alkohol) tersebut” dengan pilihan respon berikut tidak ada jumlah, satu minuman, dua minuman, tiga minuman, empat minuman, lima minuman, enam sampai dua belas minuman, dan tak terbatas (dalam Abar dalam Weld dkk 2013). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa parental permissiveness adalah sikap permisif orang tua yang berhubungan dengan pemberian batasan kepada remaja (orang tua permisif tidak memberikan banyak batasan kepada remaja) atas suatu tindakan atau keinginan remaja itu sendiri.


(48)

38

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Konsep remaja bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan dari bidang ilmu-ilmu sosial. Di Indonesia sendiri konsep remaja tidak dikenal dalam sebagaian undang-undang yang berlaku. Hukum di Indonesia hanya mnegenal anak-anak dan remaja, walaupun batasan yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam. Hukum pidana misalnya yang memberikan batasan usia 16 tahun sebagai dewasa (pasal 45,47 KUHP). Anak-anak yang berusia kurang dari 16 tahun masih menjadi tanggung jawab orang tuanya jika ia melanggar hukum pidana (Sarwono, 2011).

Beberapa Undang-undang lain juga tidak mengenal istilah remaja. Undang-Undang kesejahteraan Anak (UU. No. 4/1979) misalnya, menganggap semua orang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah dianggap sebagai anak-anak dan berhak mendapat perlakuan dan kemudahan-kemudahan yang diperuntukkan bagi anak. Tetapi batas usia ini lebih rendah yaitu 16 tahun dalam UU Perlindungan Anak no. 23/2002 pasal 1 (Sarwono, 2011).

Dalam hubungan ini tampaknya Undang-undang perkawinan saja yang mengenal konsep remaja meskipun tidak terbuka. Usia minimal untuk suatu perkawinan menurut Undang-Undang tersebut adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria 9pasal 7 UU No.1/1974 tentang perkawinan). Jelas bahwa undang-undang tersebut menganggap


(49)

39

orang di atas usia itu bukanlah anak-anak sehingga mereka sudah diperbolehkan menikah. Remaja dalam arti psikologis sendiri sangat berkaitan dengan kehidupan dan keadaan masyarakat dimana masa remajanya sangat panjang. Dapat disimpulkan pengertian dari remaja adalah suatu masa transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, agama, kognitif dan social (Sarwono, 2011).

2. Batasan dan Karakteristik Remaja

Pada tahun 1974, WHO (Worl Health Organization) menetaptan batasan usia remaja yaitu antara 10 – 20 tahun dengan pembagian kurun usia menjadi 2 bagian, yaitu remaja awal (usia 10 – 14 tahun) dan remaja akhir (usia 15 – 20 tahun). Monks, dkk tahun 2000 memberi batasan usia remaja adalah mereka yang sudah memasuki usia 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang usia 12-23 tahun.

Menurut PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menetapkan usia remaja yaitu usia 15 – 24 tahun sebagai usia pemuda (youth) dalam rangka keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda Internasioal (Hanifah dalam Sarwono 2011). Jika dihubungkan dengan teori-teori di atas dapat dijelaskan bahwa dalam peneltian ini subjek yang akan dipilih adalah remaja, lalu karakter pada subjek yang akan ditentukan nantinya adalah mereka yang masuk pada usia remaja akhir yaitu antara usia 15 – 18 tahun.


(50)

40

Adapun beberapa karakter yang dimiliki dari remaja itu sendiri. Berikut adalah karakteristik yang dimiliki oleh remaja, Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja antara lain :

a. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan. b. Ketidakstabilan emosi.

c. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.

d. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.

e. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.

f. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.

g. Senang bereksperimentasi. h. Senang bereksplorasi.

i. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.

j. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok.

Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian. Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa permasalahan remaja


(51)

41

yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang ada pada diri remaja. Berikut ini dirangkum beberapa permasalahan utama yang dialami oleh remaja

Adapun pada salah satu karakteristik yang dimiliki remaja yaitu senang bereksperimentasi dan bereksplorasi dimana pada kedua karakteristik tersebut merupakan ciri dari sikap yang dapat menumbuhkan kreativitas kognitif remaja. Dijelaskan pula dalam Munandar 1999 bahwa sikap permisif diberikan oleh orang tua kepada remaja dengan memberikan kebebasan dan selalu membolehkan remaja untuk bereksplorasi.

D. Hubungan Parental Permissiveness dan Kreativitas Kognitif.

Dalam sebuah teori dijelaskan individu yang disikapi dengan kehangatan dan sikap permisif menghasilkan anak yang memiliki sosial tinggi, mandiri dan kreatif (Khalid dalam Bibi dkk 2013). Begitupun dengan dampak daripada sikap permisif orang tua (parental permissiveness) itu sendiri akan muncul beberapa sikap pada anak/remaja diantaranya yaitu kemampuan dalam memecahkan masalah yang lebih cepat dan tepat serta tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Kedua perilaku tersebut merupakan salah satu dari beberapa ciri-ciri yang dimiliki oleh individu yang kreatif seperti yang dijelaskan Torrance dalam Safaria tahun (2005).

Menurut Munandar (1999) Kreativitas kognitif individu dipengaruhi pula oleh faktor yaitu faktor internal (motivasi intrinsik) dan


(52)

42

faktor eksternal (motivasi ekstrinsik). Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri semisal motivasi. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar individu atau lingkungan. Dijelaskan bahwa sikap permisif orang tua (parental permissiveness) sebagai salah satu motivasi ekstrinsik yang berpengaruh dalam mengembangkan kreativitas kognitif individu dan parental permissiveness sebagai kebebasan psikologis yang didapatkan individu dari lingkungan yaitu orang tua. Parental permissiveness diartikan sebagai sikap memberikan kebebasan atau selalu membolehkan kepada anak/remaja dalam mengekspresikan perasaannya melalui tindakan konkrit sehingga mampu memberikan implikasi tersendiri kepada individu terhadap kreativitas kognitifnya.

Berdasarkan keterangan dari sebelumnya juga dikatakan bahwa parental permissiveness akan mempengaruhi pola tingkah laku anak/remaja, antara lain anak/remaja menjadi pribadi yang lebih intuitif (pandai memecahkan masalah) dan merasa percaya diri seperti beberapa ciri-ciri dari individu yang kreatif (Yusuf, 2012).

E. Landasan Teoritis

Kreativitas adalah kemampuan berfikir kreatif (secara kognitif) yang berbeda dalam berbagai macam sudut pandang yang fleksibel dan bervariasi (Safaria, 2005). Menurut Munandar 2009 kreativitas individu dapat terwujud dengan adanya pengaruh dua faktor, yaitu faktor internal atau motivasi intrinsik (faktor yang berasal dari dalam diri individu yang


(53)

43

bersangkutan atau disebut motivasi intrinsik) dan faktor eksternal atau motivasi ekstrinsik (faktor yang berasal dari dorongan atau pengaruh lingkungan). Faktor internal seperti motivasi pada seseorang. Motivasi ini merupakan dorongan yang utama untuk sebuah kreativitas ketika individu membentuk hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya dalam upaya menjadi dirinya yang sepenuhnya. Dorongan pada setiap orang yang bersifat internal ada dalam individu itu sendiri namun membutuhkan kondisi yang tepat untuk mewujudkannya.

Faktor eksternal atau motivasi ekstrinsik (faktor yang berasal dari dorongan atau pengaruh lingkungan) seperti kondisi lingkungan yang yang mampu menjadi pendorong bagi individu untuk meningkatkan kreativitasnya. Adapun lingkungan yang dimaksudkan seperti keamanan psikologis dan kebebasan psikologis. Keamanan psikologis akan terbentuk dari tiga proses yang saling berhubungan yaitu dengan menerima individu dengan apa adanya dan segala kelebihan serta keterbatasannya, mengusahakan tidak adanya evaluasi eksternal, dan memberikan pengertian secara empatis (dapat ikut menghayati).

Kebebasan psikologis yaitu apabila lingkungan mengizinkan atau memberi kesempatan kepada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaan-perasaanya (permissiveness). Sikap permissiveness akan memberikan kepada individu kebebasan dalam berfikir atau merasa sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya. Dalam kebebasan psikologis dijelaskan pula jika lingkungan memberi


(54)

44

kesempatan dan bersikap selalu membolehkan kepada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaannya melalui sebuah kreativitas yaitu permissiveness. Salah satu faktor lingkungan yang memiliki peran dalam memberikan kebebasan (permissiveness) kepada individu adalah orang tua.

Sikap permisif (permissiveness) dari orang tua akan memberikan kebebasan kepada individu dalam berfikir secara lancar dan orisinal sehingga mampu menghasilkan gagasan baru melalui proses kreativitas kognitifnya karena individu mendapatkan kesempatan sepenuhnya dari lingkungan untuk berfikir secara luar biasa dan melakukan apa yang diinginkannya. Menurut Amabile dalam Safaria (2005) menegaskan pula bahwa sikap orang tua memiliki pengaruh terhadap kreativitas individu dalam hal ini dilihat dari aspek kognitifnya. Beberapa sikap dari orang tua yang dapat menentukan perkembangan kreatif individu salah satunya yaitu kebebasan (permisif).

Untuk mempermudah pembaca dalam memahaminya dapat dilihat dan dipahami pada bagan di berikut ini :

Parental permissiveness


(55)

45

Berdasarkan bagan tersebut dijelaskan bahwa variabel Parental permissiveness (sikap permisif orang tua) berhubungan dengan kreativitas kognitif.

F. Hipotesis

Dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

Ha : Ada hubungan antara parental permissiveness (sikap permisif orang tua ) dengan tingkat kreativitas kognitif kognitif pada remaja

H0 : Tidak ada hubungan antara parental permissiveness (sikap permisif orang tua ) dengan tingkat kreativitas kognitif kognitif pada remaja


(56)


(57)

46

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menekankan analisinya pada data-data numerikal (angka) tentang perilaku yang diolah dengan metode statistika (Muhid, 2012). Jenis penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk mencari korelasi atau hubungan antara variabel satu dengan yang lainnya berdasarkan koefisien korelasi dalam Muhid (2012). Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel. Variabel-variabel tersebut adalah :

a. Variabel terikat : kreativitas kognitif

b. Variabel bebas : parental permissiveness (sikap permisif orang tua)

2. Definisi operasional

Kreativitas kognitif merupakan suatu proses berpikir yang lancar dan orisinal dalam menciptakan suatu gagasan yang bersifat unik, baru, dan bermakna.

Parental permissiveness adalah sikap permisif dari orang tua (serba membolehkan dan selalu memberikan kesempatan) kepada remaja untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.


(58)

47

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampel 1. Populasi

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalilasi hasil penelitian (Azwar 2012). Populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2010). Sebagai populasi kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain. Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh siswa/i kelas X SMA Islam Duduk Sampeyan Gresik berjumlah 70 siswa/i dengan kriteria usia 15 sampai 18 tahun.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah data karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono 2010). Setelah menentukan populasi dalam penelitian ini maka akan dipilih sampel dari populasi tersebut, salah satu metode yang digunakan dalam menentukan sampel adalah dengan rumus Slovin dalam Riduwan (2005) :

n = N/(1+N e2 )

Keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi


(59)

48

n = 70/(1+70x0,102 )

= 70/(1+0,7) = 70/1,7 = 41,176

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 41 siswa kelas X diambil dari populasi yang sudah ditentukan. Karena sampel merupakan bagian dari populasi, tentu ia harus memiliki ciri-ciri dan karakteristik yang dimiliki oleh populasinya. Apakah suatu sampel merupakan representasi (mewakili) yang baik bagi populasinya sangat tergantung pada sejauh mana karakteristik sampel itu sama dengan karakteristik populasinya. Karena analisis penelitian didasarkan pada data sampel sedangkan kesimpulannya akan diterapkan pada populasi maka sangatlah penting untuk memperoleh sampel yang representatif bagi populasi tersebut (Azwar 2010).

3. Teknik Sampling

Teknik dalam pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

cara probabilitas (probability sampling). Probability sampling adalah cara

pengambilan sampling dengan memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel dan random yang

digunakan adalah simple random sampling. Dikatakan simple atau sederhana

karena pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut. Lebih jelasnya dijelaskan pada bagan berikut ini :


(60)

49

Diambil secara random

Berdasarkan bagan di atas dijelaskan bahwa setelah penentuan populasi pada penelitian ini maka akan dilakukan teknik pengambilan

sampling secara rendom yaitu dengan menggunakan simple random sampling

kemudian akan didapatkan jumlah sampel dalam penelitian ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang telah ditetapkan (Sugiyono 2010). Data penelitian dikumpulkan baik melalui sebuah instrumen pengumpulan data, observasi maupun lewat data dokumentasi (Azwar 2011). Pada penelitian ini teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan hasil dari sebuah tes kreativitas, yaitu tes ktreativitas figural dan skala sikap model likert.

1. Tes Kreativitas Figural

Kreativitas figural adalah kemampuan memunculkan ide-ide atau gagasan baru melalui gambar yang dibuat. Kreativitas figural ini berbasiskan pada aktifitas menggambar untuk menimbulkan ide atau gagasan baru, tetapi tidak membutuhkan keahlian atau keahlian


(61)

50

menggambar (Munandar, 1999). Terdapat dua alat ukur yang dikonstruksikan di Indonesia dan dapat digunakan sebagai alat ukur tes kreativitas dari segi kognitif yaitu Tes Kreativitas Verbal (TKV) dan Tes Kreativitas figural (TKF). Alat ukur kreativitas kognitif yang mengacu pada aspek yang dikemukakan tersebut salah satunya adalah Tes Kreativitas figural. Tes kreativitas kognitif figural merupakan adaptasi dari Circle Test dari Torance yang pertama digunakan di Indonesia pada

tahun 1976 (Munandar, 1999). Pada tahun 1988 dilakukan penelitian

standarisasi TKF untuk usia 10 hingga 18 tahun oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, bagian Psikologi Pendidikan (Munandar, 2009).

Tes Kreativitas figural memiliki beberapa kelebihan tersendiri sebagai alat ukur kreativitas dari segi kognitifnya. Selain waktu yang singkat (10 menit) dalam pengerjaan tes kreativitas figural ini terdapat juga nilai tambah bahwa di samping aspek-aspek tersebut TKF juga memungkinkan mendapat ukuran dari kreativitas kognitif sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi antara unsur-unsur yang diberikan, yaitu dengan memberikan skor untuk bonus orisinalitas jika subjek mampu menggabungkan dua lingkaran atau lebih menjadi satu objek, makin banyak lingkaran yang dapat digabung makin tinggi nilai skor yang diperoleh. Meskipun TKF bukan satu-satunya alat ukur yang dapat digunakan dalam mengukur kreativitas kognitif individu namun TKF ini memliki beberapa kelebihan atau nilai tambah (seperti yang dijelaskan sebelumnya) sebagai suatu alat ukur kreativitas kognitif.


(62)

51

Bentuk TKF ini berupa tes lingkaran-lingkaran yang terdiri dari 40 lingkaran. Subjek diminta untuk menciptakan gambar-gambar sesuai dengan yang dibayangkan oleh setiap subjek. Dasar pemikiran dari lingkaran tersebut adalah apabila subjek diberi stimulus yang sama secara berulang-ulang maka ada kecenderungan stimulus tersebut akan direspon dengan bermacam-macam jawaban atau bentuk. Lingkaran yang berjumlah 40 diberi bersama, subjek diharapkan dapat memberikan suatu ciptaan yang baru, baik secara penggabungan dari lingkaran-lingkaran tersebut maupun secara sendiri-sendiri. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tes ini adalah 10 menit yang dapat diberikan secara massal (tes kelompok) maupun sendiri.

Adapun perbedaan penilaian Tes Kreativitas Verbal dengan Tes Kreativitas Figural yaitu selain mengukur aspek kelancaran, keluwesan, orisinalitas, dalam TKF juga mengukur aspek elaborasi yaitu menambahkan, melengkapi atau mengembangkan suatu bentuk agarmenjadi lebih variatif dan menarik. Menurut Munandar (1999) Kreativitas figural lebih menekankan pada kemampuan mencetuskan aspek-aspek dalam berpikir kreatif (kreativitas kognitif) serta mengukur aspek-aspek yang diungkap kreativitas figural antara lain sebagai berikut :


(63)

52

a. Kelancaran (fluency)

Kemampuan berfikir kreatif yang lancar dapat dilihat dari jumlah gagasan-gagasan yang relevan dan kemampuan dalam menghasilkan sejumlah gambar-gambar figural.

b. Kelenturan/Keluwesan (flexibility)

Dalam berpikir atau memberi gagasan akan mencangkup pemikiran yang abstrak. Hal ini dapat diukur dari sebuah judul melalui labeling konkrit suatu gambar.

c. Originalitas (original)

Diukur dari jumlah gagasan atau gambar yang tidak biasa, dimana akan menujukkan kemampuan menghasilkan respon yang unik.

d. Kemampuan mengelaborasi (elaboration)

Melalui adanya jumlah dari gagasan tambahan, menjukkan kemampuan untuk mengembangkan dan mengelaborasi suatu gagasan atau gambar.

Dari keempat aspek yang diungkap melalui Tes Kreativitas Figural di atas maka akan didapatkan suatu gambaran ciri-ciri kognitif dari suatu kreativitas. Pada penelitian ini subjek yang ditentukan memiliki salah satu karakteristik yaitu berusia 15 sampai 18 tahun sehingga dapat menggunakan TKF ini sebagai alat ukur kreativitas kognitifnya. Tes ini bertujuan untuk mengukur kemampuan membuat berbagai asosiasi dari suatu stimulus (Munandar 1999).


(64)

53

Pada pelaksanaan tes kreativitas figural terdapat perbandingan skala dalam penilaiannya yang akan dijelaskan pada tabel di bawah ini : Tabel 2

Perbandingan Skala Tes Kreativitas Figural (TTCT)

Sumber : Tes kreativitas figural (TTCT)

Skor total pada tes TKF diperoleh dengan menjumlahkan AK (Angka Kasar) fluency, flekxibility, originalitas, dan elaboration. Setelah didapatkan AK maka akan diubah kedalam bentuk AS (Angka Skala). Seperti pada contoh skor total dimana pada AK<74 jika diubah kedalam bentuk AS menjadi 7. Skor total dengan AK 75 – 98 diubah kedalam bentuk AS menjadi 8 dan seterusnya sampai pada AK 294 – 395 jika diubah kedalam bentuk AS menjadi 13.

Norma Tes Kreativitas Figural berupa penentuan klasifikasi tingkatan pada hasil skor total yang diperoleh, klasifikasi dibuat oleh pemeriksa dalam hal ini ialah psikolog yang melakukan tes tersebut.

FLUENCY FLEXIBILITY ORIGINALI TAS

ELABORATI

ON TOTAL

AK AS AK AS AK AS AK AS AK AS

4-9 3 4-7 3 6-17 3 14-50 3 <74 7

10-16 4 8-12 4 18-31 4 51-89 4 75-98 8

17-22 5 13-16 5 32-44 5 90-126 5 99-158 9

23-28 6 17-22 6 45-58 6 127-165 6 159-220 10

29-35 7 23-30 7 59> 7 166-182 7 221-285 11

36-45 8 31> 8 183-194 8 286-293 12

46-60 9 195-287 9 294-395 13


(1)

80

maka semakin tinggi pula tingkat kreativitas kognitif pada remaja. Begitupun sebaliknya, semakin rendah parental permissiveness (sikap permisif orang tua) maka akan semakin rendah pula tingkat kreativitas kognitif pada remaja.


(2)

81

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara parental permissiveness (sikap permisif orang tua) dengan tingkat kreativitas kognitif pada remaja. Artinya semakin tinggi sikap permisif orang tua maka semakin tinggi pula tingkat kreativitas kognitif pada remaja.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Saran untuk remaja

Pada masa remaja merupakan salah satu masa dimana individu sedang menikmati masa eksperimentasi dan mencoba hal-hal baru demi menemukan jati diri dan kemampuan sesungguhnya. Jika kemampuan dan keinginan sudah dimiliki ditambah dengan kesempatan atau kebebasan yang diberikan oleh lingkungan khususnya orang tua maka sebaiknya remaja memanfaatkan dengan penuh kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya selama hal itu positif dan tentunya memberikan pengaruh yang baik terhadap pengalaman dan keberhasilan diri sendiri serta lingkungan.


(3)

82

2. Saran untuk orang tua

Orang tua sebaiknya memahami kemampuan-kemampuan yang dimiliki anaknya. Apalagi ketika anak sudah memasuki masa remaja, orang tua hendaknya memberikan kesempatan atau ruang kebebasan karena kesempatan tersebut penting bagi remaja dalam pencapaian keberhasilannya kelak dan proses penemuan jati dirinya. Namun kebebasan tersebut tetap harus mendapat kontrol yang cukup dari orang tua sebagai salah satu lingkungan yang paling berpengaruh baginya.

3. Saran untuk pihak sekolah

Pihak sekolah diharap lebih tanggap terhadap kemampuan atau keahlian yang dimiliki siswa/inya dengan cara memfasilitasi kebutuhan mereka sehingga dapat menyalurkan kreativitas yang dimilikinya.

4. Saran untuk peneliti lain

Diharapkan pada penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber data untuk penelitian selanjutnya dan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut berdasarkan faktor-faktor lainnya, variabel yang berbeda, jumlah sampel yang lebih banyak, dan tempat yang berbeda. Sehingga perkembangan ilmu tidak berhenti tetapi semakin berkembang dan lebih baik lagi.


(4)

83

DAFTAR PUSTAKA

Aliyati, P, D. Yoenanto, N, H.(2014).Hubungan Antara Perceived Autonomy Support Siswa terhadap Guru Dengan Kreativitas kognitif Siswa Kelas XI SMA Insan Mulia Surabaya.Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan.Vol. 3, No. 1, April 2014

Arikunto, S.(2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi V. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar Saifuddin.(2011).Metode Penelitian.Pustaka Belajar:Yogyakarta Azwar, S. (2012).Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Becona,E.(2013).Parental Permissiveness, Control, And Affect And Drug Use Among Adolescents. JournalPsicothema 2013, Vol. 25, No. 3, 292-298 Bibi Farzana dkk.(2013).Contribution of parenting Style in life domain of Children.Journal of Humanities And Social Science. Vol. 12, Issue 2 (May-Juni) 2013, PP 91-95 e-ISSN : 2279-0837, p-ISSN : 2279-0845. Chaplin, James P. (2002).Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Gunarsa, S. D. (1989).Psikologi Perkembangan : Anak dan Remaja. Jakarta: BPK. Gunung Mulia

Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: CV.Andi Offset

Hamalik Oermar.(2010).Psikologi Belajar dan Mengajar.Bandung:Sinar Baru Algesindo

Hurlock, E.B.(1999).Psikologi Perkembangan. Jilid II Edisi ke 6. Penerjemah: Tjandrasa, M.M. Jakarta:Erlangga.

Monks, F. J. dkk. (2000).Psikologi Perkembangan:Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Muhid, A. (2010). Analisis Statistik SPSS for Windows Cara Praktis Melakukan Analisis Statistik. Surabaya: LEMLIT IAIN Sunan Ampel Surabaya & Duta Aksara.


(5)

84

Muhid, A.(2012).Analisis Statistik 5 Langkah Praktis Analisis Statistik dengan SPSS for windows.Zifatama:Sidoarjo

Munandar, U.(1999).Kreativitas kognitif dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat.Gramedia Pustaka Utama:Jakarta

Munandar,U.(2009).Pengembangan Kreatifitas Dan Anak Berbakat.Pt Rineka Cipta:Jakarta

Noor, J. (2011). Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenodamedia

Riduwan.(2005).Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula.Alfabeta:Bandung

Safaria, T.(2005).Creativity Quotient Panduan Mancetak Anak Super-Kreatif.Platinum Diglossia Media Baru:Jogjakarta

Santoso, S. (1999). SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta : Gramedia

Santrock, J, W.(2007).Psikologi Pendidikan.Kencana:Jakarta

Santrock J, W.(2012).Life Span Development Perkembangan Masa Hidup Edisi ke tigabelas jilid 1.Erlangga

Sarwono, S, S.(2011).Psikologi Remaja.Jakarta:Rajawali Press Solso, Robert L. dkk.(2007).Psikologi Kognitif. Jakarta : Erlangga.

Sugiyono.(2010).Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan

R&D.Alfabeta:Bandung

Suliyanto. (2011). Ekonometrika Terapan: Teori & Aplikasi dengan SPSS. Yogyakarta: CV. Andi Offset

Syukri M,R.Zulkarnaen.(2005).Asertivitas dan Kreativitas pada Karyawan yang Bekerja di Multi Level Marketing.Jurnal Psikologi.Vol.1, No.2, Desember 2005

Weld, L, V dkk.(2013).Hurting, Helping, Or Neutral? The Effect Of Parental Permissiveness Toward Adolescent Drinking On College Student Alcohol Use And Problems. Journal Society Prevention Research. DOI


(6)

85

Yulianti Dwi.(2010).Bermain Sambil Belajar Sains Di Taman Kanak-Kanak.Jakarta:Pt. Indeks

Yusuf Syamsu.(2012).Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja.Pt Remaja Rosdakarya:Bandung