Dialektika tafsir al-Qur’an dan budaya Sunda dalam tafsir rawdat al-‘Irfan fi ma’rifat al-Qur’an karya Ahmad Sanusi.
DIALEKTIKA TAFSIR AL-
QUR’AN DAN
BUDAYA SUNDA
DALAM TAFSIR
Rawd}at al-
‘
Irfa>n Fi>
Ma’rifat
al-Qur
’
an
KARYA AHMAD SANUSI
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
MUHAMMAD LUTFI ROBANI NIM: E73213137
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Produk budaya merupakan media yang sangat bagus untuk menanamkan nilai-nilai budaya secara efektif. Nilai budaya ini perlu diajarkan dan dijaga agar tetap menjadi ciri khas bangsa. Salah satu produk budaya di bidang karya sastra adalah
tafsir karya Ahmad Sanusi yang diberi judul Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an
yang ditulis dalam lingkup sosial budaya Sunda. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan tentang faktor yang mempengaruhi Ahmad Sanusi untuk menulis kitab tafsir tersebut, metodologi penafsirannya serta bagaimana dialektika tafsir tersebut dengan nilai-nilai budaya Sunda?
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang datanya bersumber dari
kepustakaan (library research) dan wawancara. Penelitian ini dikaji dengan
pendekatan hermeneutika dan didukung dengan pendekatan historis antropologis
guna mengungkap dialektika tafsir al-Qur’an dengan nilai budaya Sunda. Sehingga
mewujudkan dialektika yang dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu tah}mi>l, tah}ri>m dan
taghyi>r.
Kemudian dapat disimpukan mengenai latar belakang Ahmad Sanusi menyusun kitab tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an adalah untuk lebih mempermudah dan memenuhi kebutuhan intelektual masyarakat Sunda dalam
mempelajari agama dan mendalami al-Qur’an. Dan metode yang digunakannya
adalah ijmali. Dilihat dari sumber penafsirannya, tafsir tersebut tergolong tafsi>r bi
al-ra’yi. Adapun corak atau aliran dari tafsir tersebut bersifat umum dan tidak
didominasi oleh suatu aliran tertentu, Dialektika tafsir al-Qur’an dengan budaya
Sunda membentuk 3 (tiga) pola dialektika; pertama tah}mi>l, adalah sikap apresiatif
dan menerima berlakunya suatu budaya. Kedua tah}ri>m, adalah sikap penolakan
terhadap berlakunya suatu budaya. Ketiga taghyi>r, adalah sikap menerima terhadap
tradisi, tetapi memodifikasinya hingga berubah karakter dasarnya.
(7)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ii
ABSTRAK ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN... iv
PENGESAHAN SKRIPSI ... v
PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
PEDOMAN TRANSLITASI ... xiv
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian... 10
D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian... 11
1. Secara Teoritis... 11
2. Secara Praktis ... 11
E. Kerangka Teoritik ... 11
(8)
G. Metode Penelitian ... 15
1. Model dan Jenis Penelitian ... 16
2. Sumber Data Penelitian ... 16
3. Teknik Pengumpulan Data ... 17
4. Teknik Analisis Data... 18
H. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II: KEBUDAYAAN SUNDA DAN ASPEK DIALEKTIKANYA A. Suku Sunda ... 22
1. Kebudayaan Sunda ... 22
2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda ... 24
3. Islam dan Budaya Sunda ... 25
B. Adat dan Tradisi dalam Masyarakat Sunda... 27
1. Adat Istiadat... 27
2. Upacara Tradisional... 28
3. Pamali ... 33
4. Budaya Komunikasi Masyarakat Sunda ... 33
C. Nilai-nilai Sosial Kemasyarakatan ... 35
1. Harmoni Sosial ... 36
2. Pergaulan Hidup ... 36
D. Dialektika Teks dan Konteks ... 37
BAB III: AHMAD SANUSI DAN TAFSIR RAWD}AT AL-‘IRFA>N A. Mengenal Lebih Dekat Ahmad Sanusi... 43
1. Biografi Ahmad Sanusi ... 43
2. Aktivitas Ahmad Sanusi ... 46
(9)
C. Tentang Tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an ... 57
1. Latar Belakang Penulisan ... 57
2. Sumber Penafsiran... 60
3. Metode dan Corak Penafsiran ... 60
4. Sistematika Penafsiran ... 64
BAB IV: POLA DIALEKTIKA TAFSIR RAWD}AT AL-‘IRFA>N FI> MA’RIFAT AL-QUR’ANDAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA A. Tah}mi>l (Adoptive-Complement) ... 67
1. Statifikasi Bahasa (Undak-Ususk Basa) ... 68
2. Pergaulan Hidup (Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh) ... 73
B. Tah}ri>m (Destructive) ... 74
1. Masalah Zakat ... 74
2. Tradisi Abdaka Maula ... 76
C. Taghyi>r (Adoptive-Reconstructive) ... 79
1. Tradisi Pagelaran Wayang Golek ... 79
BAB V: PENUTUP 1. Simpulan ... 84
2. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara terminologis, para ulama memberi rumusan definisi al-Qur’an
yang beragam, diantaranya:
Menurut as-Sabuni, al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang
diturnkan kepada Nabi dan Rasul terakhir melalui malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf dan sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, membecanya merupakan ibadah yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Sedangkan menurut az-Zarqani, Alquran adalah kalam yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di dalam mushaf, dinukil dengan cara mutawatir, dan membacanyanya dalah ibadah.
Dua rumusan di atas menujukan sifat-sifat dari al-Qur’an, yaitu:
a) kalam Allah,
b) mengandung mu’jizat,
c) diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
d) melalui malaikat Jibril,
e) tertulis dalam mushaf,
f) disampaikan dengan jalan mutawatir,
g) membacanya merupakan ibadah, dan
(11)
2
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’an al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
Untuk memahami makna kandungan ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an dibutuhkan tafsir. Tafsir berasal dari kata al-Fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup. Karenanya ia dipahami sebagai penjelasan, penyingkapan,
serta penangkapan makna yang dipahami akal dari al-Qur’an dengan menjelaskan
makna yang sulit atau belum jelas.1 Berbeda dengan terjemah yang
mengalihbahasakan baik harfiyah maupun tafsiriyah secara terbatas, tujuan tafsir
diorientasikan bagi terwujudnya fungsi utama al-Qur’an sebagai petunjuk hidup
manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.2
Penafsiran al-Qur’an telah dimulai sejak al-Qur’an itu disampaikan
Nabi Muhammad Saw kepada umatnya. Hal ini merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun, termasuk oleh sejarawan Barat dan Timur, baik muslim maupun nonmuslim. Fakta yang mendukung penafsiran al-Qur’an sangat valid dan mutawatir sehingga tidak mungkin ditolak.3
Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasulullah SAW yang berfungsi
sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya
tentang arti dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang
1
Jajang A Rohmana, “Kajian Al-Qur’an di Tatar Sunda”. Suhuf: Jurnal Kajian Alquran, Vol.6 No.2 (November,2013), 213. Lihat Manna’ Al- Qattan, Mabahis Fi Ulumil Quran (Beirut: Mansurat Al-„Asr al-Hadis, t.th), 323.
2
Ibid., 214. Lihat Muhammad „Abduh, tafsir Al-Fatihah wa Juz ‘Amma, (Kairo: Al-Hay’ah Al
-„Ammah li Qusur as-Saqafah, 2007), 8.
3
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Quran di Indonesia,(Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 4.
(12)
3
tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah SAW, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasulullah SAW sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.
Adapun pada masa Rasulullah SAW, para sahabat menanyakan langsung kepadanya persoalan-persoalan yang tidak jelas, maka setelah wafatnya, mereka melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan
semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an
kepada tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang
disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para ta>bi’i>n, khususnya di
kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirnya tokoh-tokoh tafsir baru dari
kalangan ta>bi’i>n di kota-kota tersebut, seperti: (a) Sa’id bin Jubair, Mujahid bin
Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas; (b) Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab; dan (c) al-Hasan al-Bashriy, Amir asy-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.4
4
(13)
4
Selanjutnya perkembangan penafsiran al-Qur’an pun sampai di
Indoneia, Perkembangan penafsiran al-Qur’an di Indonesia jelas berbeda dengan
yang terjadi di dunia Arab (Timur Tengah), tempat turunnya al-Qur’an sekaligus
tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan
berbedanya latar belakang budaya dan bahasa.5
Tafsir di Indonesia, kerap berangkat dari corak penafsiran yang terkandung di dalamnya. Ini berkaitan dengan cara penyampaian dan klasifikasi materi yang bermuara pada sejauh mana karya tafsir mudah dipahami oleh para
peminatnya. Vernakularisasi al-Qur’an baik lisan maupun tulisan berkembang
dihampir semua kawasan di Nusantara, jauh sebelum abad ke-16.6
Kemudian berkembang menjadi pembahasalokalan al-Qur’an ke dalam
bahasa lokal Nusantara. Misalnya Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Aceh, Mandar, Gorontalo, Makassar-Kaili, Sasak dan lainnya. Upaya ini tidak berarti menafikan
tradisi pengkajian al-Qur’an Nusantara yang ditulis dalam bahasa Arab.7
Pandangan bahwa tafsir merupakan sebuah mekanisme kebudayaan,
berarti tafsir al-Qur’an diposisikan sebagai suatu yang khas insani. Hal ini
sekaligus mempertegas perbedaan dua entitas yaitu al-Qur’an sebagai wujud
kalam ilahi yang suci, di satu pihak. dan tafsir al-Qur’an sebagai karya manusia
yang profane, di pihak lain. Di samping itu, berdasarkan definisi yang
5
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia, 31.
6Rohmana, “Kajian Al
-Qur’an”, 200.
7
Misalnya Tasir Marah Labid karya Sayyid Ulama Hijaz al-Nawawi al-Bantani (1813-1879) dan sejumlah tafsir bahasa Arab yang ditulis ulama pesantren di Jawa. Diantaranya, Durus Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya KH. M Bashori Ali Malang, KH. Ahmad Yasin Asymuni juga menulis Tafsir Bismillahirrahmaanirrahiim Muqaddimah Tafsir Al-Fatihah, Tafsir Al-Fatihah, Tafsir Surat Al-Ikhlas, Tafsir Al-Mu’awwidatain, Tafsir Ma Asaabak, Tafsir Ayat Al-Kursi, dan Tafsir Hasbunallah. Lihat Ahmad Rifa’I Hasan (ed.), Warisan Intelektual Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), 39-56.
(14)
5
dikemukakan oleh para ulama,8 keberadaan tafsir al-Qur’an tidak bisa lepas dari
peran akal; potensi dasar terpenting yang dimiliki manusia sebagai pembentuk
kebudayaan.9 Jika segala sesuatu yang dihasilkan atau diperbuat oleh manusia
disebut sebagai kebudayaan, maka tafsir al-Qur’an sebagai hasil kerja akal
manusia pada dasarnya merupakan fenomena kebudayaan.10
Pemahaman tersebut didasarkan pada konsepsi kebudayaan sebagai cipta, rasa dan karsa manusia, yang aktualisasinya hadir dalam tiga wujud. Pertama, komplek ide-ide, gagasan, nilai, norma, dan aturan-aturan. Kedua,
komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga,
benda-benda hasil karya manusia.11 Wujud pertama disebut “kebudayaan ideal”,
wujud kedua disebut “system sosial” dan wujud ketiga disebut “kebudayaan fisik”.12
Berdasarkan klasifikasi wujud kebudayaan tersebut, maka tafsir al-Qur’an
yang muncul dari gagasan seseorang (penafsir) setelah membaca dan memahami
ayat-ayat al-Qur’an dapat dikategorikan ke dalam wujud pertama, yaitu
kebudayaan ideal. Ketika gagasan itu dinyatakan lewat tulisan, maka lokasi kebudayaan ideal tersebut terdapat dalam berbagai karanagan berupa kitab-kitab
tafsir. Dalam konteks inilah penafsiran al-Qur’an yang telah didokumentasikan
8
Di antara definisi itu menyebutkan bahwa tafsir adalah penjelsan, atau penyingkapan serta penampakan makna-makna yang dapat dipahami dengan akal (al-ma’qul). Baca Manna’ al -Qhaththan, mabahis fi Ulum al-Quran, 323. Sementara itu, al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir
adalah “ilmu yang membahas tentang al-Qu’ran al-Karim dari sisi dalalah (petunjuknya) sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Menurut batas kemampuan manusia”. Lihat al -Zaqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran, jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 3.
9Baca Musa Asy’ari,
Manusia pembentukan Kebudayaan dalam al-Quran (Yogyakarta: LESFI, 1992), 105.
10
Cornelis Anthonie van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 10-11.
11
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1975), 83.
12
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.
(15)
6
dalam berbagai karya tafsir berupa teks tulisan pada dasarnya merupakan sumber data yang dapat dianalisis dalam perspektif ilmu pengetahuan budaya.
Konsekuensi logis dari keberadaan tafsir al-Qur’an sebagai fenomena
kebudayaan adalah munculnya keragaman dalam tafsir al-Qur’an, baik bentuk
maupun corak. Munculnya keragaman itu merupakan suatu yang tidak dapat dihindari, lebih kepada peran manusia sebagai pelaku pertama dalam proses
penafsiran al-Qur’an tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan keragaman
bentuk dan corak karya tafsir al-Qur’an itu. Faktor-faktor tadi tidak berdiri
sendiri, dalam arti satu faktor paling dominan, tetapi bergerak secara unteraktif dan dinamik dalam proses penafsiran.
Salah satu faktor yang pengaruhnya sangat besar terhadap proses
penafsiran al-Qur’an dan hasil akhirnya adalah latar belakang sosio-budaya
mufassir. Hal ini dapat dipahami mengingat tafsir al-Qur’an merupakan hasil
kontruksi intelektual seorang mufassir dalam menjelaskan pesan-pesan wahyu
Allah yang tekandung di dalam al-Qur’an sesuai dengan kebutuhan manusia di
dalam lingkungan social dan budaya dengan kompleksitas nilai-nilai yang
melengkapinya. Al-Qur’an sebagai teks yang hadir dalam realitas budaya manusia
yang konkret dan beragam selanjutnya akan dipahami dan ditafsirkan berdasarkan keragaman budaya manusia itu sendiri. Inilah salah satu hal yang dapat
menjelaskan mengapa interpretasi atau penafsiran terhadap al-Qur’an yang sama
tetapi hasilnya dapat berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya.
(16)
7
Di antara unsur penting yang senantiasa ada dan melekat dalam kebudayaan masyarakat adalah bahasa. Bahasa dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena bahasa dapat membentuk realitas, atau dapat pula sebaliknya, bahasa merupakan refleksi dari realitas. Dengan kata lain, bahasa merupakan perangkat social yang paling penting dalam menangkap dan mengorganisasi dunia. Berbicara tentang bahasa tidak mungkin terlepas dari budaya dan realitas masyarakat pengguna bahasa tersebut. Hal ini menurut Nasr
Hamid Abu Zaid bahkan berlaku pada teks al-Qur’an ketika ia diposisikan sebagai
wacana kebahasaan.13
Di Tatar Sunda, tafsir ditulis dan diajarkan dalam beragam bahasa. Tafsir berbahasa Arab banyak beredar di pesantren, sementara umumnya tafsir Sunda dan Indonesia banyak beredar di masyarakat. Di lingkungan pesantren,
tafsir Arab termasuk kedalam elemen inti kurikulum.14 Tafsir Sunda beraksara
pegon masih digunakan, meski terbatas di pesantren tradisional. Meski pesantren
Sunda banyak menggunakan tafsir Arab, seperti al-Jala>layn, tetapi bahasa
pengantarnya masih menggunakan bahasa lokal (Sunda atau Jawa).15
Kajian tafsir Sunda setidaknya dimulai sejak Mustafa menulis Qur’an
al ‘Adzim dalam aksara pegon sekitar awal abad ke-20. Pada saat yang sama, Ahmad Sanusi juga produktif menulis beberapa tafsir Sunda dan Melayu, di antaranya: Malja>’ al-T}a>libi>n fi> Tafsi>r Kala>m Rabb al- ‘Alami>n, Tamsyiyyat al-Muslimi>n Fie fi> Tafsi>r Kala>m Rabb al- ‘Alami>n, Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
13
Imam Muhsin, Tafsir Al-Quran dan Budaya Lokal; Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid (Badan LITBANG dan DIKAT Kementrian Agama RI, 2010), 4-7.
14Rohmana, “Kajian Al
-Qur’an”, 214.
15
(17)
8
Qur’an dan banyak lainnya.16Malja>’ al-T}a>libi>n merupakan tafsir Sunda beraksara pegon yang ditulis sampai juz 9 (Surah al-A’raf ayat 7) dalam 28 jilid tipis.
Sedang Rawd}at al-‘Irfa>n juga beraksara pegon ditulis dengan system terjemah
antar baris (interliner, logat gantung). tafsirnya diletakan di bagian pinggir.
Terdiri dari dua jilid (Juz 1 s/d 15 dan Juz 2 s/d 30). Tidak seperti tafsir
sebelumnya yang memicu polemik (Tamsyiyyat al-Muslimi>n), tafsir ini disambut
baik oleh para ulama pesantren dan masyarakat priangan. Tafsir ini bahkan telah
mengalami puluhan kali cetak ulang sampai lebih dari 50.000 eksemplar.17 Van
Bruinessen mencatat bahwa hingga 1990-an Rawd}at al-‘Irfa>nmasih menjadi salah
satu kitab pegangan sejumlah pesantren di Jawa Barat.18
Ahmad Sanusi adalah seorang putera Sukabumi yang pernah berkiprah di panggung nasional di era 1920-an, pernah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga tidak heran apabila beliau diangkat sebagai salah satu perintis kemerdekaan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan mendapat anugerah penghargaan Bintang Maha Putera Utama pada tanggal 12 Agustus 1992 dan Bintang Maha Putera Adipradan pada
tanggal 10 November 2009 dari Presiden Republik Indonesia.19
Namun kiprah dan perjuangan yang ia lakukan nyaris terlupakan oleh sejarah dan masyarakat Sukabumi khususnya dan masyarakat Jawa Barat pada
16
Ahmad Sanusi, Malja>’ al-T}a>libi>n, Batavia Centrum, Kantor Cetak Al-Ittihad, 1931/1949 H.; Ahmad Sanusi, Rawd}at al-‘Irfa>n,; Ahmad Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimi>n,; Tentang Sanusi, lihat Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kyai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.
17Rohmana, “Kajian Al
-Qur’an” 214.
18
Ibid., 215.
19
Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi “Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergerakan Nasional”, (Tangerang: Jelajah Nusa, 2014), 1.
(18)
9
umumnya, sehingga tidak mengherankan jika ada generasi muda tidak begitu tahu dan mengenal sosok ketokohan Ahmad Sanusi, walaupun mereka mengenal hanyalah sebatas nama jalan dan pendiri pondok pesantren Syamsul „Ulum
Gunungpuyuh yang ada di wilayah Kota Sukabumi.20
Sebagai seorang tokoh pendiri pesantren sekaligus pejuang kemerdekaan, beliau memiliki berbagai macam pemikiran, salah satunya adalah
pemikiran keumatan yang ia buktikan sikapnya dengan memimpin organisasi
Al-Ittihaadiyatul Islamiyyah (AII), yang berubah menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) dan melakukan fusi dengan Perikatan Umat Islam (PUI) dari Majalengka yang dipimpin oleh K.H. Abdul Halim (teman seperjuangan ketika bermukim di Mekkah al-Mukarromah) menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Organisasi ini oleh Ahmad Sanusi dimanfaatkan untuk sarana dakwah, pendidikan dan perjuangan. Semangat perjuangan untuk membebaskan dari kebodohan, penindasan, kemiskinan, penjajahan, dan lain-lain dalam konteks pergerakan nasional, dibangun dan dikembangkan dengan dikemas dalam pembahasan tafsir al-Qur’an.21 Dan kitab tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an yang merupakan kitab tafsir paling lengkap 30 Juz yang terbagi menjadi 2 jilid.
Sebagai sebuah karya tafsir, kitab tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an sangat menarik untuk dikaji terkait dengan karakteristik serta model-model dialektika yang dilakukan Ahmad Sanusi ketika menafsirkan ayat
al-Qur’an. Salah satu hal yang menarik dalam kitab tafsir ini adalah penyebutan
jumlah kalimat hingga jumlah huruf di dalam beberapa surat. Kemudian
20
Ibid., 2.
21
(19)
10
penafsiran-penafsiran yang erat kaitannya dengan tradisi-tradisi yang ada pada jaman penjajahan Belanda. Akan tetapi banyak dari para peniliti yang lebih tertarik membahas tentang sejarah pergerakan dan perjuangan Ahmad Sanusi dalam proses kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, perlu diformulasikan beberapa rumusan permasalahan pokok, sebagai berikut:
1. Apa faktor yang mempengaruhi serta mendorong Ahmad Sanusi untuk
menulis kitab tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an?
2. Bagaimana bentuk metode dan corak penafsiran yang digunakan Ahmad
Sanusi dalam tafsirRawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an?
3. Bagaimana dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an dengan
nilai-nilai budaya sunda?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi serta mendorong Ahmad Sanusi
untuk menulis kitab tafsir
2. Untuk mengetahui bentuk metode dan corak penafsiran dalam tafsir Rawd}at
al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui pola dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
(20)
11
D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini ada dua signifikansi yang akan dicapai yaitu aspek keilmuan yang bersifat teoritis, dan aspek praktis yang bersifat fungsional.
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan rumusan tentang
dialektika dan pola hubungan antara Ahmad Sanusi, al-Qur’an, dengan
lokalitas budaya Sunda, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam memahami ajaran agama Islam dan nilai-nilai budaya yang mengakar dalam struktur masyarakat Sunda.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam pengembangan khazanah tafsir di Indonesia, khususnya untuk masyarakat Sunda sendiri dan bangsa Indonesia pada umumnya.
E. Kerangka Teoritik
Penelitian ini memposisikan karya tafsir sebagai suatu fenomena budaya. Budaya dalam hal ini diartikan sebagai keseluruhan cara hidup yang khas dengan penekanan pada pengalaman sehari-hari. Oleh karena penelitian ini ingin
mengungkap dialektika tafsirRawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an dengan
nilai-nilai budaya Sunda, maka teori enkulturasi budaya merupakan teori yang tepat untuk menganalisa kitab tafsir tersebut sebagai usaha untuk masuk dalam suatu budaya, meresapi suatu kebudayaan, menjadi senyawa, dan membudaya dengan menjelma dalam suatu kebudayaan.
(21)
12
Konsep kebudayaan itu sendiri mencakup aspek yang amat luas karena meliputi hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Namun demikian, untuk kepentingan analisis konsep kebudayaan tersebut dapat dibatasi cakupannya pada unsur-unsur universal yang ada dalam setiap kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, unsur-unsur universal setiap kebudayaan di dunia meliputi tujuh macam, yaitu system religi dan upacara keagamaan; system dan organisasi kemasyarakatan; system pengetahuan; bahasa; kesenian; system mata pencaharian
hidup; serta system teknologi dan peralatan.22 Urutan-urutan ketujuh unsur
universal kebudayaan itu sekaligus menggambarkan tingkat kesukarannya dalam menerima perubahan atau pengaruh yang disebabkan oleh kontak dengan budaya lain.23
Dari berbagai unsur kebudayaan yang muncul dalam kehidupan manusia di atas, bahasa menempati kedudukan yang sangat penting. Hal ini dikarenakan bahasa merupakan medium utama dalam pembentukan dan penyampaian makna-makna kultural. Selain itu, bahasa juga menjadi alat dan medium yang dapat dipakai untuk membentuk pengetahuan tentang manusia dan
dunia social.24 Oleh karena itu, unruk memahami suatu kebudayaan, salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah dengan menyelidiki bagaimana makna
dihasilkan secara simbolis lewat praktik-praktik pemaknaan bahasa.25
22
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 2.
23
Imam Muhsin, Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal (Badan LITBANG dan DIKLAT KEMENAG RI,2010), 28.
24
Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, terj. Tim KUNCI Cultural Studies Ceter, (Yogyakarta: Bentang, 2005), 89. Lihat. Imam Muhsin, Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal (Badan LITBANG dan DIKLAT KEMENAG RI,2010), 29.
25
(22)
13
Jika bahasa merupakan medium utama yang digunakan dalam pembentukan dan penyampaian makna-makna kultural, maka bahasa memiliki kedudukan penting untuk memahami kebudayaan dan kontruksi pengetahuan manusia. Hal ini terkait dengan kemampuan bahasa sebagai media komunikasi yang dapat mengungkapkan cara berpikir manusia penggunanya. Demikian juga, setiap tindakan hidup manusia dipengaruhi oleh bahasa, karena bahasa marupakan kreasi dasar kultural mereka. Kata-kata dalam bahasa memiliki kemampuan untuk membantuk pengalaman manusia, dan cara bertutur tentang pengalamannya itu mengandung makna social serta psikologis tertentu.
F. Telaah Pustaka
Penelitian tentang karya tafsir yang ditulis oleh mufasir Indonesia sudah banyak dilakukan oleh para sarjana. Sementara untuk objek penelitian tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an karya Ahmad Sanusi, sejauh pengetahuan penulis belum ada penelitian secara spesifik dan komprehensif yang mengkajinya.
Meski demikian, ada artikel yang menyinggung secara sepintas tentang tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an karya Ahmad Sanusi yang ditulis
oleh Jajang A. Rohmana, Kajian Al-Qur’an di Tatar Sunda “Suhuf: Jurnal Kajian
Al-Qur’an dan Kebudayaan”, 200. Dalam artikel yang diterbitkan Jurnal Kajian Al-Qur’an dan Kebudayaan vol.6 No.2 (November,2013) ini, Jajamg A. Rohmana menguraikan tentang banyaknya kajaian lokal al-Quran dengan publikasi terbatas cenderung termarginalkan dan luput dari perhatian. Tafsir Sunda misalnya, sejak awal abad ke-20 turut memperkuat indigenisasi ajaran
(23)
14
Qur’an ke dalam tradisi Islam di tatar Sunda. Ia mencerminkan pengalaman keagamaan orang Sunda (Jawa Barat). Pada arikel ini juga di fokuskan pada publikasi terjemah dan tafsir Sunda sepanjang akhir abad 19 hingga sekaranng,
serta berusaha membuktikan bahwa berkembangnya kajian al-Qur’an di tatar
Sunda mencerminkan kuatnya pengaruh Islam yang direfleksikan ke dalam apresiasi terhadap sumber utamanya. Kajian menunjukan bahwa ajaran Islam tidak lagi di permukaan, tetapi sudah menjadi bagian dari identitas Islam di tatar
Sunda. Adapun penelitian tentang karya yang ditulis oleh ulama Sunda atau
penelitian-penelitian sejenis dengan objek penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:
1. Tesis karya Alam Tarlam dari STAIN Kediri magister program studi Ilmu
al-Qur’an dan Tafsir (IAT) dengan judul Tafsir Di Tanah Pasundan (Kajian
Metodologi Kitab Tafsir Raudlatul Irfan Fi Ma’rifat alQuran Karya K.H. Ahmad Sanusi Surah al-Fatihah Ayat 1-7). Tesis ini memiliki titik fokus pembahsan pada metodologi K.H. Ahmad Sanusi dalam menafsirkan alQuran.
2. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal (Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid) karya Imam Muhsin yang diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat KEMENAG RI, Desember 2010. Karya ini mengungkap aspek lokalitas dalam karya tafsir. Objek formal penelitian ini
adalah Tafsir al-Huda karya Bakri Syahid dengan fokus kajian tentang
analisa bahasa yang menunjukkan adanya enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa
(24)
15
melahirkan tiga pola hubungan antara al-Qur’an dan nilai-nilai budaya Jawa,
yaitu pola adaptasi, integrasi, dan negoisasi.
3. Skripsi karya Asep Mukhtar Mawardi dari IAIN Syarif Hidayatullah jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam dengan judul Haji Ahmad Sanusi (Riwayat
Hidup dan Perjuangannya). Dalam kajiannya, Asep Mukhtar Mawardi Menjelaskan perjalanan hidup K.H. Ahmad Sanusi dari sejak lahir hingga wafat serta menjelaskan kiprah beliau dalam perjuangan kemerdekaan NKRI dan perjuangan keisalaman.
4. Skripsi karya Abdullah al-Mahdi dari UIN Syarif Hidayatullah Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dengan judul Rawd}at al-‘Irfa>n Fi>
Ma’rifat al-Qur’an. Dalam kajiannya, Abdullah al-mahdi menjelaskan metodologi penafsiran yang digunakan Ahmad Sanusi dalam menafsirkan al-Qur’an pada tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya sebagaimana disebutkan di atas, nampak bahwa belum ada pembahasan tentang dialektika tafsir al-Qur’an dan nilai-nilai budaya Sunda khususnya tentang tafsirRawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an karya Ahmad Sanusi.
G. Metodologi Penelitian
Pada hakikatnya, penelitian merupakan suatu tindakan yang diterapkan manusia untuk memenuhi hasrat yang selalu ada pada kesadaran manusia, yakni
(25)
16
rasa ingin tahu.26 Meski demikian, dibutuhkan sebuah metode guna mewujudkan
penelitian yang akurat, jelas, dan terarah. Secara terperinci metode dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Model dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang tujuan Ahmad Sanusi dalam menyusun tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an, metode penafsiran yang aplikasikan
oleh Ahmad Sanusi, serta dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
-Qur’an karya Ahmad Sanusi dengan nilai-nilai budaya Sunda melalui riset kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-analitis.
Artinya, penelitian ini akan mendiskripsikan motif dan kepentingan
Ahmad Sanusi dalam menyusun tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an,
langkah-langkah metodis yang ditempuh Ahmad Sanusi dalam menafsirkan al-Qur’an, serta menyingkap ideologi yang terselip dibalik penafsirannya ketika bersinggungan dengan konstruksi sosial-budaya Sunda di mana karyanya
diproduksi.
2. Sumber Data Penelitian
Data primer27 dalam penelitian ini adalah karya Ahmad Sanusi yang
berhubungan langsung dengan aspek penafsirannya, yaitu tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an. Selain itu, juga menyertakan kitab-kitab karya
26
Moh. Soehada, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta: Suka Press, 2012), 53.
27
Informasi yang langsung dari sumbernya disebut sebagai sumber data primer. Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah (Jakarta: Penerbit Kencana, 2011), 137.
(26)
17
Ahmad Sanusi yang lain untuk memetakan pemikirannya serta
mengidentifikasi kegelisahan intelektualnya. Sebagai sumber sekunder,28 dan
karya-karya tulis berupa buku atau artikel yang membahas tentang teori yang
dipakai oleh Ahmad Sanusi dalam menafsirkan al-Qur’an serta bagaimana
dialektika yang terdapat dalam karya tafsirnya dengan nilai-nilai budaya lokal Sunda, antara lain:
a. Metodologi Penelitian al-Qur’an karya Nashruddin Baidan. b. Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir karya Abdul Mustaqim.
c. Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya karya Ali Sodiqin.
d. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal karya Imam Muhsin. e. Tata bahasa dan ungkapan bahasa Sunda.
f. K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Nasional karya Munandi Saleh
g. Wawancara dan interview kepada keluarga Ahmad Sanusi dan muridnya
serta sejarawan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang menyangkut aspek tujuan, metode penafsiran al-Qur’an
Ahmad Sanusi, dan dialektika penafsiran Ahmad Sanusi dengan nilai-nilai budaya Sunda ditelusuri dari tulisan Ahmad Sanusi sendiri yang notabenenya
sebagai sumber primer, yaitu tafsirRawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
28
(27)
18
Sedangkan data yang berkaitan dengan biografi, latar belakang pendidikan, karir intelektual dan lain-lainnya dilacak dari wawancara kepada keluarga, murid-murid, serta tokoh-tokoh agama di daerah Gunung puyuh, Sukabumi. Selain itu, untuk analisis metode penafsirannya dilacak dari literatur dan hasil penelitian terkait. Sumber sekunder ini diperlukan, terutama dalam rangka mempertajam analisis persoalan.
4. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Setelah itu dilakukan kajian mendalam atas data-data yang memuat objek penelitian dengan
menggunakan content analysis.29 Dalam hal ini content analysis digunakan
untuk menganalisa tujuan, langkah-langkah metodis, dialektika tafsir Rawd}at
al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an dengan nilai-nilai budaya Sunda, dan ideologi
yang tersembunyi dibalik penafsiran Ahmad Sanusi dalam tafsir Rawd}at
al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
Metode analisis data yang diterapkan melalui pendekatan hermeneutik.
Peran hermeneutik untuk mengungkap episteme yang digunakan Ahmad
Sanusi dalam membangun metode tafsirnya, menunjukkan hubungan triadic
dalam proses kreatif penafsirannya, serta kondisi-kondisi di mana Ahmad
29
Content analysis merupakan teknik sistematis untuk menganalisis isi pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan dan mengelolahnya. Selain itu, content analysis dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak (peneliti). Sementara Holsti mengartikulasikan content analysis sebagai teknik membuat inferensi-inferensi secara obyektif dan sistematis dengan mengidentifikasikan karakteristik-karakteristik yang spesifik dari pesan (messages). Cole R. Holsti, Content Analysis for the Social Sciences and Humanities (Vantower: Department of Political Science University of British Columbia, 1969). 14.
(28)
19
Sanusi memahami teks al-Qur’an. Selain itu digunakan analisis wacana kritis
untuk menyingkap kepentingan dan ideologi yang terselip dibalik bahasa yang
digunakan dalam penulisan tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
Analisis ini menekankan pada proses produksi dan reproduksi makna. Artinya, individu tidak dipandang sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, sebab proses itu dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya, untuk memaparkan kondisi objektif latar belakang kultur, pendidikan, dan kondisi sosial-budaya yang melingkupi kehidupan Ahmad
Sanusi, terutama yang memberi inspirasi bagi tujuan menulis tafsir Rawd}at
al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an dan rumusan metode penafsirannya digunakan
pendekatan thaqa>fi>-ijtima>‘i> yaitu sebuah pendekatan yang menempatkan
nilai-nilai sosisal dan budaya kemasyarakatan sebagai acuan dalam mengelaborasi
pesan-pesan suci al-Qur’an sehingga dengan demikian diperoleh pemahaman
yang bersifat kultur-kontekstual. Dengan menggunakan pendekatan tersebut
itulah sebuah tafsir berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal tersebut
dilakukan melalui proses dialektika tripartite antara al-Qur’an sebagai objek
yang ditafsirkan, warisan budaya pengarang, dan kondisi social yang
melingkupinya.30
Namun demikian, karena tidak semua yang diartikulasikan Ahmad Sanusi bisa dipahami secara mudah, maka perlu dilakukan telaah persoalan yang sama dari sumber lain dengan memanfaatkan analisis perbandingan.
30
Imam Muhsin, Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal (Badan LITBANG dan DIKLAT KEMENAG RI,2010), 228.
(29)
20
Analisis perbandingan ini menjadi krusial, terutama dalam membantu memahami di mana Ahmad Sanusi selayaknya ditempatkan dalam sejarah
penafsiran al-Qur’an. Selanjutnya, untuk menarik kesimpulan dari analisis data
digunakan metode deduksi31 dan induksi.32
H. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Bab pertama menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoretik, penelitian terdahulu, metode penelitian serta sistematika pembahasan, sehingga posisi penelitian ini dalam wacana keilmuan tafsir al-Qur’an akan diketahui secara jelas.
Bab kedua menjelaskan mengenai struktur masyarakat Sunda, sosio-kultur masyarakat Sunda, dan nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat Sunda dengan beberapa aspeknya. Bahasan ini dimaksudkan sebagai dasar pijakan menetapkan kriteria dalam menemukan dan memposisikan dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an karya Ahmad Sanusi dan nilai-nilai budaya Sunda.
Bab ketiga mengungkap perkembangan intelektualitas Ahmad Sanusi dan sisi kehidupan yang mengitarinya, sehingga perlu untuk membahas berbagai macam dimensi yang mempengaruhi pemikiran Ahmad Sanusi secara umum dan
31
Metode deduksi yaitu cara menarik kesimpulan pengetahuan yang didasarkan pada suatu kaidah yang bersifat umum. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Vol.1 (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1974), 48.
32
Metode induksi yaitu cara menarik kesimpulan yang didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan dan fakta-fakta khusus. Ibid., 50.
(30)
21
metode penafsirannya secara khusus. Untuk memperjelas pokok bahasan, akan diungkap biografi, latar belakang pendidikan dan karir intelektualnya, kondisi sosio-kultur, dan peran Ahmad Sanusi dalam kajian tafsir. Selain itu, akan dibahas
latar belakang Ahmad Sanusi menulis tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
-Qur’an, metode, dan corak penafsiran yang digunakan oleh Ahmad Sanusi sebagai bentuk ekspresi intelektualnya ketika bersinggungan dengan konstruksi
sosial-budaya di mana karyanyadiproduksi serta karya-karya Ahmad Sanusi.
Bab keempat akan dilakukan analisis terhadap penafsiran Ahmad
Sanusi serta uraian tentang dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
-Qur’an dengan nilai-nilai budaya Sunda. Setelah itu dilanjutkan dengan
pengelompokan pola dialektika antara tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
-Qur’an dengan nilai-nilai budaya Sunda ke dalam tiga pola: pertama tah}mi>l,
adalah sikap apresiatif dan menerima berlakunya suatu budaya. Kedua tah}ri>m,
adalah sikap penolakan terhadap berlakunya suatu budaya. Ketiga taghyi>r, adalah
sikap menerima terhadap tradisi, tetapi memodifikasinya hingga berubah karakter dasarnya..
Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas dan diperbincangkan dalam keseluruhan penelitian. Bahasan ini sebagai jawaban terhadap masalah-masalah yang diajukan dalam rumusan masalah.
(31)
BAB II
KEBUDAYAAN SUNDA DAN ASPEK DIALEKTIKANYA
A. Suku Sunda
Secara antropologi-budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa-ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah
Pasundan atau Tatar Sunda.1
1. Kebudayaan Sunda
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Bab XIII Pasal 32 dikatakan, kebudayaan bangsa ialah yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan
bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.2
Kebudayaan tampil sebagai perantara yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi
1
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2010), 307.
2
(32)
23
kebudayaan tersebut. Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Misalnya kita membaca kitab fikih, maka fikih yang
merupakan pelaksanaan dari nash al-Qur’an maupun hadis sudah melibatkan unsur
penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama. Misalnya manusia menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul bermasyarakat, dan sebagainya.
Islam di Tatar Sunda muncul dalam wajah yang lebih egaliter, harmonis, jauh dari kekerasan struktural maupun kultural dan memiliki kepribadian yang jauh lebih dari sekedar Islam dalam arti sebatas fenomena saja. Oleh sebab itu, maka Islam di Tatar Sunda layak menjadi Islam sebuah mazhab. Bila kita melihat konteks mazhab-mazhab hukum Islam, maka mazhab-mazhab tersebut pada awalnya dibentuk berdasarkankan klaim daerah, seperti mazhab Irak, Madinah, Bashrah, dan Kufah. Kemudian kelompok-kelompok ini mengalami perubahan bentuk dari organisasi
(33)
24
berdasarkan daerah menjadi organisasi berdasarkan kesetiaan kepada tokoh tertentu.
Perubahan ini dimulai pada periode asy-Syafi’i.3
Fenomena di atas kiranya dapat disaksikan di Tatar Sunda, dimana keberadaan Islam di Tatar Sunda dapat diibaratkan seperti gula dan manisnya karena, dalam kenyataannya, perkembangan Islam di Tatar Sunda seiring sejalan dengan local genium (kondisi asli) masyarakat Sunda itu sendiri. Islam lebih mudah berinteraksi dengan sistem dan nilai yang berlaku pada saat itu. Disinilah titik
pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Sunda dapat lebih dimaknai.4
Kemudian yang dimaksud dengan mazhab dalam tulisan ini adalah mazhab dalam arti tradisi Islam, bukan dalam pengertian hukum (fikih atau ushul fikih). Dengan demikian Islam mazhab Sunda dapat dikatakan sebagai Islam yang mendasarkan cara pandangnya kepada ajaran-ajaran Islam yang masuk ke dalam tradisi masyarakat Sunda sehingga menghasilkan tradisi Islam yang bercorak lokal akibat dari perpaduan antara ajaran-ajaran Islam dengan kultur dan tradisi
masyarakan Sunda.5
2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda
Masyarakat Sunda adalah salah satu suku di Indoneisa yang mayoritas beragama Islam. Sekitar 80% masyarakat Sunda beragama Islam dan sisanya beragama Katolik, Kristen, Hindu dan Buddha. Dalam kehidupan masyarakat Baduy,
3Deden Sumpena: “Islam dan Budaya Lokal”.
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 6, No. 19 Edisi Januari-Juni 2012, 109.
4
Ibid.
5
(34)
25
meskipun mereka telah mengenal agama Islam, namun dalam praktik kehidupan
sehari-harinya mereka masih menjalankan praktik-praktik sinkretisme dan mistik.6
3. Islam dan Budaya Sunda
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah swt kepada Rasulullah saw, melalui malaikat Jibril untuk disampaikan kepada umatnya agar mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.7 Lebih jelas, Ambary (1997) menjelaskan bahwa
Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah swt yang
ajaran-ajaran-Nya terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk perintah
-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di
dunia maupun diakhirat.8
Islam yang merupakan representasi dari nilai-nilai al-Qur’an memberikan
kebebasan pada manusia untuk mencari sendiri berbagai hal yang dapat disebut dengan perinsip sekunder. Hal demikian dikarenakan agama adalah sesuatu yang berkembang sesuai dengan perkembangan pemeluknya. Dan setiap pemeluk agama mempunya tradisi budaya yang diwarisi dan dikembangkan juga dari generasi ke generasi atau turun-temutun. Dalam perkembangan itu terjadi interaksi antar keyakinan keagamaan dan ajaran-ajaran yang sering dianggap suci serta kreativitas
manusia serta budayanya yang dianggap profan.9
6
Rohmat Kurnia, Mengenal Keanekaragaman Suku Sunda (Depok: CV. Arya Duta, 2011), 54
7Ujang Saefullah, “Dialektika Komunikasi, Islam, dan Budaya Sunda”,
Jurnal Penelitian Komunikasi, Vol. 16 No. 1 (Juli, 2013), 75.
8
Ambary, dkk, Ensiklopedia Islam 2 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), 26.
9
Salah satu contoh konkritnya ialah ketika tafsir al-Qur’an yang merupakan hasil pemahaman Bakri Syahid sebagai mufassir terhadap al-Qur’an berdialog dengan budaya jawa. Pola yang dihasilkan yaitu
(35)
26
Sedangkan budaya Sunda atau kebudayaan Sunda merupakan manifestasi gagasan dan pikiran serta kegiatan, baik yang abstrak maupun yang berbentuk bendawi sekelompok manusia yang disebut atau menamakan dirinya sebagai orang
Sunda.10
Islam dan kebudayaan adalah dua hal yang dapat dibedakan meskipun tidak dapat dipisahkan. Islam adalah agama yang berasal dari wahyu Allah.
Ajaran-ajarannya bersifat teologis karena didasarkan pada kitab suci al-Qur’an. Kebudayaan
didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa, dan karya manusia sehingga bersifat antropologis. Ruang lingkup kebudayaan meliputi keseluruhan cara hidup yang khas dengan penekanan pada pengalaman sehari-hari. Makna sehari-hari meliputi: nilai (ideal-ideal abstrak), norma (prinsip atau aturan-aturan yang pasti) dan benda-benda material/simbolis. Makna tersebut dihasilkan oleh kolektivitas dan bukan oleh
individu, sehingga konsep kebudayaan mengacu pada makna-makna bersama.11
Secara teologis, keislaman orang Sunda sama saja dengan yang dianut oleh penduduk Nusantara yang akhirnya sangat dominan adalah Islam yang fikihnya adalah Syafiiyah, aqidahnya adalah asyariyah, dan tasawufnya adalah Sunni yang aneka ragam. Akan tetapi dari sudut pengembangan budaya, Islam yang diserap dan jadi agama masyarakat adalah Islam yang tidak atau kurang memberi dorongan bagi kemajuan kebudayaan. Kemudian secara sosiologis, masyarakat Sunda sudah adaptasi, integrasi dan negosiasi. Pila yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan yang dipetakan Ali Sadiqin sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Lihat Imam Muhsin, Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal (t.k.: Badan Litbang dan Diklat KEMENAG RI, 2010), 233-258.
10
Ajip Rosidi, Masa Depan Budaya Daerah (Jakarta: Pustaka Jaya, 2010), 58.
11
Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural Studies Center (Yogyakarta: Bentang, 2005), 48-50.
(36)
27
dibangun sesuai dengan aspek tertentu dari sistem masyarakat Islam, dalam arti hubungan antara individu dengan kegiatan masyarakat banyak berdasarkan prinsip
Islam.12
Sikap Islam terhadap budaya lokal yang ditemuinya dapat dipilah menjadi tiga, yaitu menerima dan mengembagkan budaya yang sesuai dengan prinsip Islam, menolak tradisi dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan prinsip Islam serta
membiarkan saja.13
B. Adat dan Tradisi dalam Masyarakat Sunda 1. Adat Istiadat
Dalam adat-istiadat masyarakat Sunda lama dikenal beberapa kebiasaan. Misalnya, saat bayi masih dalam kandungan ada berbagai macam upacara dan pantangan yang harus dijalankan. Seorang ibu yang sedang hamil sering mempunyai
keinginan atau perilaku yang aneh-aneh. Hal ini dianggap sebagai “bawaan” bayi
yang dikandungnya. Ada ungkapan nurut buat, artinya yang dilakukan orangtua si
bayi dapat berpengaruh pada bayi yang dikandung sehingga ayah si bayi, misalnya, dilarang menyembelih atau menyabung ayam karena bisa berpengaruh buruk kepada si bayi. Ketika usia kandungan sudah mencapai delapan bulan, biasanya diadakan
12Ujang Saefullah, “Dialektika Komunikasi”, 75. 13
Tipologi ini juga tidak jauh berbeda dengan pemetaan Ali Sadiqin dan Imam Muhsin. Hal ini menegaskan bahwa teks apapun tidak berangkat dari ruang hampa. Oleh karena itu, sebagai teks
al-Qur’an dan yafsir al-Qur’an juga selalu berdialog dengan budaya yang ada. Bandingkan dengan Machsin, Islam Dinamis Islam Harmonis, ed,. Abdul Wahid Hasan (Yogyakarta: LKiS, 2011), 186-187.
(37)
28
upacara selamatan bubur lolos agar si bayi dapat dilahirkan dengan lancar.14
Contoh diatas yang berlaku di masyarakat Sunda dahulu, sebagiannya masih dilakukan oleh masyarakat Sunda sekarang. Bila seorang bayi sakit panas, si
ibu menyembur si bayi dengan kunyahan panglay (semacam kunyit besar), dan
membakar kemenyan. Di sini tampak, bahwa penyembuhan dengan mengandalkan obat tradisional dibarengi dengan usaha yang lebih bersifat adikodrati (supranatural). Bila seorang bayi menangis terusmenerus, dibakarkan kemenyan pada tempat tembuni dikubur atau tempat menghanyutkannya karena tembuni dianggap sebagai saudara kembar si bayi. Adat kebiasaan tersebut menunjukkan, bahwa masyarakat Sunda dahulu sebenarnya sudah mengenal budaya sehat yang berkaitan dengan kehidupan seorang manusia saat masih dalam kandungan dan ketika baru lahir, meskipun mereka menghubungkan gejala tentang sesuatu dengan hal-hal yang
abstrak.15
2. Upacara Tradisional
Upacara tradisional mengandung kegiatan sosialisasi di mana rasa keterlibatan bersama dari anggota masyarakat penduduknya mendorong mereka untuk berperan serta hingga mempertebal rasa solidaritas kelompok. Dalam upacara tradisional akan terungkap bebagai nilai sosial secara simbolis yang dapat dihayati oleh anggota masyarakatnya. Nilai-nilai yang dijumai merupakan pendorong proses
14
Nina H. Lubis, Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda (Bandung: Humaniora Utama Press, 2000), 127.
15
(38)
29
sisoalisasi bagi anggota masyarakatnya untuk menyiapkan diri menjadi anggota masyarakt yang lebih dewasa dan dapat diterima oleh lingkungannya.
Norma-norma dan nilai-nilai budaya dalam kehidupan yang dianut dalam masyarakat akan menjadi pedoman bagi tiap warga masyarakat dalam tatanan pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Upacara tradisional merupakan salah satu pengokoh norma-norma dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh warga pendukungnya. Nilai-nilai budaya yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya akan tetap bertahan. Sebagai unsur budaya yang tinggi hal itu harus tetap dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan hingga dapat menunjang terwujudnya kebudayaan nasional dan bisa diterima dalam masyarakat Indonesia di daerah mana pun atau dari kelompok sosial apa pun.
Kebudayaan Indonesia yang mengandung nilai-nilai yang luhur harus tetap dipelihara dan dilesatrikan. Upacara tradisional yang hingga kini masih berfungsi dan didukung oleh masyarakat banyak yang mengandung hal-hal positif untuk memperkaya dan mempertinggi kebudayaan bangsa Indonesia. Bentuk-bentuk kebudayaan sebagai pengejawentahan pribadi manusia Indonesia banyak yang menunjukkan nilai hidup dan makna kesusilaan yang dijiwai Pancasila. Sedangkan kebudayaan itu sendiri banyak yang merupakan penghayatan nilai-nilai leluhur, sehingga tidak dapat dipisahkan daripada manusia budaya Indonesia sebagai
pendukungnya.16 Salah satu dari segi kebudayaan adalah adat istiadat, sesuai dengan
16
Depdikbud, Upacara Tradisional Daerah Jawa Barat (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan JABAR, 1983/1984), 1.
(39)
30
semboyan “Bhineka Tunggal Ika” di Indonesia terdapat beraneka ragam adat yang semuanya itu menjadi milik bangsa.
Upacara tradisional kematian di Jawa Barat merupakan salah satu bagian dari adat istiadat masyarakat Jawa Barat, di samping upacara kelahiran, khitanan, dan perkawinan. Upacara tersebut sampai saat ini masih bersifat tradisional dan masih berfingsi serta dilaksanakan oleh masyarakat pada waktunya. Tidak berbeda jauh dengan upacara tradisional kematian yang ada di Jawa. Bahakan sudah menjadi tradisi pada masyarakat Jawa dan Sunda, apabila ada orang atau keluarga yang meninggal, malam harinya ada tamu-tamu yang bersilaturahmi baik itu kerabat, tetangga dekat maupun jauh. Mereka ikut berbela sungkawa atas orang yang
meninggal maupun yang ditinggalkan.17 Upacara Tradisional kematian yang
mengandung nilai-nilai budaya tinggi, yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, penting dan perlu diinventarisasikan dan didokumentasikan agar tidak pernah dan tetap berfungsi. Hal ini perlu dilakukan dengan deskripsi penyelenggaraan upacara, perlengkapannya, segala hal yang berkaitan dengan upacara, dan berbagai lambang yang terkandung di dalamnya.
Seperti yang telah disebutkan bahwa upacara tradisional kematian di Tatar Sunda tidak berbeda jauh dengan upacara tradisional kematian yang ada di Jawa. Sebagai contoh adalah upacara tradisional kematian yang ada di Sukabumi, tepatnya di tanah kelahiran Ahmad Sanusi yaitu, Desa Cantayan Kecamatan Cikembar. Di Desa Cantayan terdapat sebuah tradisi pemberitahuan jika ada orang yang meninggal
17
(40)
31
dunia ialah dengan bunyi bedug, atau melalui pengeras suara di masjid-masjid. Setelah keluarga, kerabat, dan tetangga berkumpul, segera disiapkan segala keperluan untuk mengurus jenazah. Pada saat itu juga secara bergotong royong mereka
menyiapkan kuburan, padung, gebog, air secukupnya, sabun, handuk, boeh, dan
kapas.18
Jenazah dibaringkan pada gebog yang sudah disediakan, kemudian
dimandikan oleh tokoh masyarakat yang dibantu oleh beberapa orang. Setelah bersih kemudian jenazah diwudlukan oleh petugas. Setelah selesai dimandikan, jenazah dibawa ke dalam rumah untuk dikeringkan dengan handuk. Setelah kering, bagian persendihan jenazah ditutup dengan kapas seperti hidung, telinga, dan kemaluan,
serta diberi bedak di muka jenazah. Setelah itu dibungkus dengan kain kafan.19 Kain
pembungkus jenazah (kafan) terdiri atas tiga lapis untuk laki-laki,20 dan jenazah
wanita memakai kerudung. Setelah selesai dikafani, jenazah dibaringkan membujur
dari utara ke selatan. Kepala di sebelah utara dan kaki di sebelah selatan.21
Selanjutnya jenazah yang sudah selesai dikafani tersebut dimasukkan ke
dalam pasaran (keranda) dan siap dibawa ke masjid untuk disembahyangkan. Selain
di masjid, kadang-kadang sembahyang jenazah dilaksanakan pula di halaman. Sembahyang jenazah ini diikuti oleh keluarga, kerabat dan tetangga. Yang bertindak
sebagai imam biasanya yang dianggap sebagai tokoh agama. Selesai
18
Depdikbud, Upacara Tradisional , 95.
19Moh. Khairudin, “Tradisi Selametan Kematian dalam Tinjauan Hukum Islam dan Budaya”
.Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 2, Juli 2015, 54.
20
Ibid.
21
(41)
32
disembahyangkan, selanjutnya jenazah dibawa ke kuburan. Kedalaman kuburan kurang lebih dua meter. Kemudian mayat diusung ke dalam lubang lahat. Para pengantar membacakan doa. Setelah dibaringkan, tubuh jenazah ditutup dengan padung, lalu ditimbun dengan tanah kembali.22
Pada hari pertama meninggalnya seseorang, setelah melakukan
penguburan, biasanya disebut nyusur tanah.23 Namun, di Desa Cantayan terdapat
tradisi yang agak lain yaitu Jenazah tidak pernah ditangguhkan penguburannya, meskipun ada orang meninggal dunia pada malam hari. Begitu pula umumnya
masyarakat di Desa Cantayan tidak pernah melaksanakan tradisi nyusur taneuh,
tiluna, tujuhna, matang puluh, natus dan seterusnya. Meskipun demikian ada juga
sebagian kecil anggota masyarakat yang melaksanakannya.24
3. Pamali (pantangan/larangan)
Dialektika ini merupakan nasihat-nasihat yang tidak boleh dilakukan dan
sudah menjadi norma budaya yang mengikat bagi seluruh masyarakat Sunda.25
Dialektika pamali tersebut merupakan produk budaya yang dihasilkan masyarakat di
Tatar Sunda. Karena kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah hasil dari cipta,
karsa, dan rasa (manusia).26
Bagi masyarakat Sunda, orangtua sering memberikan nasihat-nasihat
22
Ibid,. 96
23
Capt. R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa; Roh, Ritual, Benda Magis (Yogyakarta, LKis, 2007), 147.
24
Depdikbud, Upacara Tradisional . 95.
25Saefullah, “Dialektika Komunikasi”, 79 . 26
(42)
33
berupa larangan-larangan kepada anaknya, tujuannya agar mereka tidak sembarangan melakukan kesalahan atau melanggar sesuatu hal yang dilarang. Hal ini mereka anggap efektif karena anak-anak akan patuh apabila diceritakan sesuatu yang membuat mereka takut. Orangtua terkadang memberi nasihat dengan jalan menceritakan para leluhur dan menakut-nakuti dengan sesuatu agar lebih mudah melekat dalam hatinya dan bertambah kepercayaannya, cukup dengan perkataan: jangan melakukan sesuatu yang dianggap tabu, diantaranya: “tidak boleh bermain pada waktu matahari terbenam, bisa diganggu setan”; “jangan makan makanan yang masam-masam pada saat matahari sudah terbenam mengakibatkan ditinggal mati ibunya”; “tidak boleh melangkahi padi, akibatnya mendapat penyakit yang
disebabkan oleh setan”.27
Seperti yang diuraikan di atas, dialektika pamali (panatangam/laranga)
yang diberikan oleh orangtua tidak lebih untuk menasihati anak-anaknya agar mau memperhatikan dan menghormati perkataan yang disampaikan kepadanya. Mereka ditakut-takuti, tujuannya agar ia dapat menyadari bahwa apabila ia melakukan kesalahan akibatnya akan ia tanggung sendiri. Sehingga kedepannya ia dapat menjadi manusia yang beragama, mengetahui baik dan buruk, dan berperilaku sopan.
4. Budaya Komusikasi Masyarakat Sunda
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang artinya
memberitahukan. Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa inggris
27
(43)
34
communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan, perasaan dan lain-lain antara dua orang atau lebih. Secara sederhana dapat dikemukakan pengertian kominikasi, ialah proses pengiriman pesan atau simbol-simbol yang mengandung arti dari seorang sumber atau komunikator kepada seorang
penerima atau komunikan dengan tujuan tertentu.28
a. Budaya Rengkuh
Budaya rengkuh adalah ungkapan menghormati orang lain yang dianggap
lebih tua dengan cara membungkukkan badan. Sebagai contoh ketika seseorang berjalan melintasi kerumunan, maka orang tersebut akan membungkukkan badan
seraya berkata punten dan lain sebagainya. Kemudian ketika hendak bersalaman atau
memulai percakapan dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya, maka kecenderungan yang terjadi adalah orang tersebut membungkukkan badannya sebagai bentuk penghormatan bagi orang lain. Kemudian contoh lain ketika berbicara
terhadap orang yang lebih tua, guru, atau kyai/ajeungan, maka tidak hanya
membungkukkan badan, tetapi intonasi suara pun ikut direndahkan. Orang Sunda pada umumnya tak sungkan untuk mengajak bertamu bahkan menyuguhkan makanan kepada orang yang baru dikenal. Hal ini tentu tidak lazim atau bahkan dianggap berbahaya oleh kebudayaan di negara-negara Asia atau Eropa. Hal ini terjadi
semata-m karena perbedaan budaya.29
28
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 2.
29Dasa Lukman, “Sistem Komunikasi Masyarakat Sunda”,
https://dasalukman21.blogspot.co.id /2017/01/contoh-makalah-sistem-komunikasi.html?m=1 (Minggu, 21 Mei 2017, 01.45)
(44)
35
b. Budaya Someah
Selain budaya rengkuh sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yang
tergambar dalam sosok orang Sunda adalah orang yang apabila berbicara, bergerak, dan bersikap menyiratkan kehangatan dan rasa hormat. Kemudian citra lain yang melekat pada orang Sunda adalah ramah, rendah hati, dan mudah menerima
kehadiran orang lain. Konsep ini tercermin dalam sebuah peribahasa “someah hade
ka semah” (ramah terhadap tamu/orang lain). Secara garis besar konsep tersebut bersifat akomodatif dan apresiatif terhadap orang lain. Bagi masyarakat Sunda, sikap tersebut merupakan kewajiban yang memiliki makna kesalehan sosial. Budaya someah telah memberikan manfaat yang luar biasa. Banyak orang-orang dari luar darah bahkan dari mancanegara yang tertarik dan mengagumi keramahan orang sunda
sehingga berbondong-bondong ingin mengunjungi tatar Sunda.30
C. Nilai-Nilai Sosial Kemasyarakatan
Masyarakat Sunda dalam interaksi sosialnya dituntut untuk mematuhi berbagai nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan sosial. Di antaranya adalah yang
berhubungan dengan etika Sunda. Dilingkungan budaya Sunda ada ungkapan ciri
sabumi ciri sadesa. Secara harfiah, ungkapan tersebut menekankan bahwa di setiap lingkungan ada ciri dan cara tersediri yang mempengaruhi tindak tanduk para penghuninya. Jika ungkapan ini dikaitkan dengan bidang etika, dapat dikatakan bahwa pada orang Sunda pun ada kesadaran bahwa di setiap lingkungan budaya, tak
30
(45)
36
terkecuali lingkungan budaya Sunda, tentu ada nilai-nilai etis yang diterima oleh para penghuni lingkungan tersebut. Nilai-nilai etika Sunda yang dimaksud di sini adalah titik acuan moral bagi masyarakat Sunda secara umum.
1. Harmoni Sosial
Harmoni, kerukunan, kedamaian, dan ketentraman dalam pandangan orang Sunda tampak menduduki peringkat utama dalam urutan kebutuhan untuk hidup bersama dalam masyarakat. Mengalah demi memenuhi kebutuhan itu merupakan perbuatan terpuji (bukan aib) dalam pandangan orang Sunda, sepanjang tidak menyinggung nilai anutan atau kebenaran yang dianggapnya paling tinggi: harga diri, kehormatan, keyakinan, dan kata (suara) hati. Keributan sedapat mungkin
dihindari, lebih baik menahan diri dengan diam-diam, memendam rasa (pundung)
daripda melawan dengan kekasaran atau adu otot, sehingga tampak dari luar seperti tak ada keberanian; perlawanan dengan kekasaran adalah pilihan yang paling akhir. Semua ini melandasi perilaku dan peran sosial orang Sunda dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.31
2. Pergaulan hidup
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari
kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar
Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual.
31
Suwarsih Warnaen. dkk., Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (t.k.: t.p., 1987), 164.
(46)
37
Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih
asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan
atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk mempertahankannya.
D. Dialektika Teks dan Konteks
Teks dan konteks bagai dua sisi dari satu mata uang: satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Pemahaman keduanya juga merupakan persyaratan utama agar umat Islam tidak hanya memahami pesan-pesan pewahyuan terbatas pada teks
al-Qur’an saja secara literal, akan tetapi juga harus memperhatikan konteks sosial
budaya yang ingin direspon oleh teks al-Qur’an sehingga mampu melakukan
“pembacaan kontekstual” atau “signifikansi” al-Qur’an untuk konteks kekinian.32
Pada masa modern, telah terjadi pergeseran paradigma (shifting paradigm)
dalam studi-studi al-Qur’an, dari berwatak literal ke arah yang lebih rasional dan
kontekstual. Kehadiran Sayyid Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh (1849-1905) di Mesir merupakan tonggak penting dalam mengubah persepsi kaum
32Iqbal Hasanudin, “Pendekatan hermeneutik dalam Studi al
-Qur’an Kontemporer:
(47)
38
Muslimin tentang makna teks al-Qur’an yang tidak lagi dianggap statis, melainkan
dinamis dan historis. Historitas makna ini semakin didasari ketika para pemikir Muslim mulai bersentuhan dengan temuan-temuan terbaru di bidang ilmu-ilmu sosial-humaniora, linguistik, kritik sastra dan filsafat dalam pemikiran Barat kontemporer. Tokoh-tokoh semisal Fazlur Rahman, Mohammad Abduh, Hasan Hanafi, Amina Wadud Muhsin dan Nashr Hamid Abu Zayd, merupakan para pemikir
garda depan yang berupaya merumuskan metodologi penafsiran al-Qur’an secara
sistematis dengan berpijak pada pandangan tentang historitas makna al-Qur’an.33
Studi terhadap al-Qur’an dan metodologi tafsir sebenarnya mengalami
perkembangan yang cukup signifikan, produk-produk tafsir dari suatu generasi kepada generasi berikutnya memiliki corak dan karakteristik yang berbeda seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam
untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan
perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (wa>qa‘i) yang terus berkembang. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi
pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu s}ahih li kulli zama>n wa makan.34
Ketika al-Qur’an diturunkan kepada Nabi saw. Dengan membawa misi
utama sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia,35 maka ia tidak dapat menghindar
33
Ibid., 42.
34Arif Budiono, “Penafsiran al
-Qur’an Melalui Pendekatan Semiotik dan Antropologi: telaah
pemikiran Muhammad Arkoun” Miyah, Vol. XI No. 02 (Agustus 2015), 282.
35
(48)
39
dari “intervensi” manusia beserta kebudayaannya. Di sini al-Qur’an bukan lagi
sebagai makna abstrak yang tidak terjamah oleh manusia, melainkan sebuah entitas yang begitu dekat dan lekat dengan manusia lebih karena perwujudan dan keberadaannya merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam konteks ini, interaksi al-Qur’an dengan nilai-nilai budaya sebagai hasil cipta,
rasa, dan karsa manusia menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan.36
Karenanya, sebagaimana dikatakan Sahrur “al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai
dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia”.37
Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang
dianggap mampu menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis,
reformatif, komunikatif-inklusif serta mampu menjawab perubahan dan
perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat Islam.
Al-Qur’an secara teks tidak berubah, tetapi penanfsiran atas teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari
al-Qur’an itu. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan hermeneutika.
36
Imam Muhsin, Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal (t.k.: Badan Litbang dan Diklat KEMENAG RI, 2010),220.
37
Budiono, Penafsiran al-Qur’an, 282. Lihat. Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’atsirah (Damaskus: Ahl li al-Nashr wa al-Tawzi, 1990), 33.
(49)
40
Hermeneutika dalam bahasa inggris adalah hermeneutics berasal dari kata
yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti menafsirkan dan
penafsiran. Hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti.38
Dalam konsep hermeneutika dikenal istilah lingkaran hermeneutika yang
meliputi teks (text), pembaca (reader) dan pengarang (author).39 Ketiga komponen
tersebut saling berkaitan. hermeneutika sebagai metode sebuah penafsiran tidak hanya memandang teks. Tetapi hal yang tidak bisa ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, pembaca dan horizon teks itu sendiri. Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan upaya pemahaman atau penafsiran yang dilakukan akan menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks. Dengan demikian untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap teks tidak boleh lepas dari konteks, karena pada dasarnya telah terjadi dialektika antara
keduanya.40
Bentuk konkrit terjadinya dialektika teks dan konteks bisa dilihat dari
dialektika teks al-Qur’an dan konteks masyarakat Arab. Secara empiris, al-Qur’an
38
Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Internationalisme dan Gadamerian (Yogyakarta, al-Ruzz Media, 2008), 27-27.
39
Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 29.
40
Dalam istilah ulu>m al-Qur’an dikenal dengan asba>b al-nuzu>l, yaitu merupakan metode untuk mengungkapkan hubungan teks dengan ruang dan waktu. Lihat Ali Sadiqin, Antropologi al-Qur’an: Metode Dialektika Wahyu dan Budaya (Yogyakarta: al-Ruzz Media, 2013), 185.
(50)
41
diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kebudayaan yang mengakar.
Hal itu menegaskan bahwa secara historis al-Qur’an tidak turun dalam ruang hampa
yang tanpa konteks. Sasaran al-Qur’an tentunya tertuju kepada masyarakat Arab VII
Masehi. Pemilihan Rasul sebagai penyampai pesan al-Qur’an juga mengindikasikan
adanya penggunaan pendekatan budaya. Selain itu, al-Quran juga menggunakan budaya lokal sebagai media untuk mentrasformasikan ajaran-Nya. Fakta tersebut bisa
dilihat dari banyaknya adat istiadat Arab yang terekam dalam al-Qur’an serta
berdialektika dengan-Nya. Dengan demikian, meminjam bahasa Abu Zayd tampak
bahwa teks al-Qur’an terbentuk atas realitas sosial budaya.41
Menurut Ali Sodiqin, Secara umum, respon al-Qur’an terhadap berbagai
budaya yang berkembang dalam masyarakat Arab dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu:42 pertama, Islam hadir sebagai tah}mi>l (adoptive-complement) yang merupakan
sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuah tradisi yang sudah ada dimasyarakat. Seperti penghormatan terhadap bulan-bulan yang diharamkan terjadi
peperangan dan pertumpahan darah antar suku. Kedua, Islam hadir sebagai tah}ri>m
(destructive) yang merupakan sikap menolak keberlakuan tradisi yang berlaku di masyarakat yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam, dilarang untuk tetap dilaksanakan. Dalam pelarangan ini ada yang serta merta, namun ada yang sifatnya bertahap. Tradisi dan
41
Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoirin Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2013), 19-20.
42
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an, Model Dialektika Wahyu dan budaya (Yogyakarta: Arruz Media, 2008), 116-135.
(51)
42
kebiasaan bangsa Arab yang dilarang ini misalnya judi, minum khamar, riba dan
perbudakan. dan Ketiga, Islam hadir sebagai taghyi>r (adoptive-reconstructive) yang
merupakan sikap menerima terhadap tradisi. Tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya sehingga lebih sesuai dengan ajaran Islam.
Misalnya pelaksanaan haji yang dengan tetap melaksanakan thawaf, sa’i, namun
tujuannya tidak lagi dipersembahkan kepada :atta dan Uzza tapi ditunjukkan kepada
Allah Swt dengan melantunkan kalimat t}oyyibat. Selain ibadah haji, tradisi mahar
dalam perkawinan juga mengalami rekonstruksi dengan merubah tradisi yang pada kebiasaan bangsa Arab dengan merybah jumlah mahar yang sedikit.
(1)
85
pemahaman ayat secara netral tanpa membawa pesan khusus, seperti aqidah, fiqh, tasawuf, dan lain sebagainya.
3. Dialektika al-Qur’an dan nilai-nilai budaya Sunda dalam tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an merupakan proses pergumulan antara al-Qur’an, warisan budaya Sunda yang dimiliki pengarang dan fakta-fakta sejarah yang dialami serta kondisi sosial-budaya Sunda yang melingkupinya.diantaranya adalah pelestarian stratifikasi bahasa, tradisi membayar zakat kepada ulama pakauman, tradisi abdaka maula, hingga tradisi pagelaran wayang golek sebagai media dakwah. Pembahasan tradisi dan budaya Sunda tersebut membuktikan bahwa telah terjadi dialektika antara upaya menerapkan nilai-nilai al-Qur’an dengan tradisi dan budaya Sunda. Wujud dialektika tersebut dibagi menjadi tiga pola dialektika, yaitu pola tah}mi>l (adoptive-complement), tah}ri>m (destructive) dan taghyi>r (adoptive-reconstructive).
B. Saran
Dari pelacakan penulis tentang karya-karya Ahmad Sanusi ini, penulis mendapat banyak kendala terutama mimimnya referensi yang tersedia. Penulis berharap bahwa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat pada Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir memberikan peluang yang sangat besar kepada para mahasiswa untuk melakukan penelitian-penelitian seperti ini terutama pada karya-karya lokal yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam karya tersebut. Dan
(2)
86
diharapkan ada penelitian selanjutnya yang mengkaji secara spesifik terkait pemikiran Ahmad Sanusi dalam tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
Demikian sedikit saran, semoga dapat dijadikan perhatian, kurang lebihnya penulis sandarkan seutuhnya kepada Allah swt, atas izin-Nya penulis mohon petunjuk. Penulispun sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang peduli dengan penelitian ini.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif dan Mudjud, Nurcholis, dkk, Ensiklopedia Islam 2. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
Amin, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Tangerang: Madzhab Ciputat, 2013. AW, Suranto. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Baidan, Nasruddin. Metode Penafsiran Alquran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012.
Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Barker, Chris. Cultural Studies, Teori dan Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural Studies Center. Yogyakarta: Bentang, 2005
Budiono, Arif. “Penafsiran al-Qur’an Melalui Pendekatan Semiotik dan Antropologi:
telaah pemikiran Muhammad Arkoun” Miyah, Vol. XI No. 02. Agustus 2015.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Upacara Tradisional Daerah Jawa Barat. t.k.: t.p., 1983/1984.
Djalal, Abdul. Urgensi Tafsir Maudlin‘i Pada Masa Kin. Jakarta: Kalam Mulia,1990. Al-Dzahabiy, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa Mufassirun. Vol.I. Kairo: Dar
al-Hadis, 2005.
Falah, Miftahul. Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi. Sukabumi: MSI Cabang Jawa Barat, 2009.
Fatah, Munawir Abdul. Tradisi Orang-Orang NU. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2006.
(4)
Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa. Yogyakarta: UGM Press, 1986.
Rani Siti Fitriani, “Efeuisme Dalam Bahasa Sunda Sebagai Pendidikan Karakter”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indinesia.
H. Lubis, Nina. Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda Bandung: Humaniora Utama Press, 2000.
Haryanto, S. Bayang-Bayang Adhiluhung Filsafat Simbolis dan Mistik dalam Wayang. Semarang: Dahara Prize, 1992.
Iskandar, Mohammad. Kyai Haji Ahmad Sanusi: Biografi Singkat Guru dan Pejuang Pedesaan. Depok: Fakultas Sastra UI, 1991.
Iskandar, Mohammad. Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi. Jakarta: Pengurus Besar Persatuan Ummat Islam 1993
Iskandar, Mohammad. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.
Iqbal Hasanudin, “Pendekatan hermeneutik dalam Studi al-Qur’an Kontemporer:
Mempertimbangkan Model Pembacaan Nashr Hamid Abu Zayd”, Perta, Vol.
VII No.2, 2005
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.
Khairudin, Moh. “Tradisi Selametan Kematian dalam Tinjauan Hukum Islam dan
Budaya”. Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 2. Juli 2015.
Khalid, Abdul. Mazahib al-Tafsir. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2003. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1975. Kurnia , Rohmat. Mengenal Keanekaragaman Suku Sunda. Depok: Arya Duta, 2011. al-Mahdi, Abdullah. “Rawdhat al-Irfan fi Ma’rifat al-Qur’an”. Skripsi tidak
diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Mawardi, Asep Mukhtar. “Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan Pemikiran Keislaman dan Pergerakan Kebangsaan Sukabumi 1888-1950” Tesis tidak diterbitkan Universitas Diponegoro Semarang, 2011.
(5)
KEMENAG RI, 2010.
Nazarudin, Muhamad Indra. “Kajian Tafsir Indonesia; Analisis Terhadap Tafsir Tamsyiyyah al-Muslimin Fi Kalam Rabb al-‘Alamin”. Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Rohmana, Jajang A. “Memahami al-Qur’an dengan kearifan lokal: Nuansa Budaya Sunda dalam Tafsir al-Qur’an berbahasa Sunda” Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol.3 No. 1. 2014.
Rosidi, Ajip. Manusia Sunda. Jakarta: Inti Idayu Press, cet.I, 1984.
Sayid, M. Ringkasan Sejarah Wayang. Bandung: Pradnya Paramita, 1981.
Shaleh, Munandi. K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Nasional. Tangerang: Jelajah Nusa, 2014.
Shaleh, Munandi. Peran Politik K.H. Ahmad Sanusi di BPUPKI. Tim peneliti YMSI cabang Sjawa Barat.
Shihab, Quraish Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan, 1996.
Soehada, Moh. Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama. Yogyakarta: Suka Press, 2012.
Sulasman, K.H. Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen (Bandung: PW PUI Jawa Barat, 2007)
Tim MKD UIN Sunan Ampel. Ilmu Kalam. Surabaya: UIN SA Press, 2013.
Saefullah, Ujang. “Dialektika Komunikasi, Islam, dan Budaya Sunda”, Jurnal Penelitian Komunikasi, Vol. 16 No. 1. Juli, 2013.
Sanusi, Ahmad. Raudhatul Irfan Fi Ma’rifatil Qur’an. Sukabumi: Yayasan Asrama Pesantren Gunung Puyuh, t.t.
Sastrawijaya, Maya. Adat Istiadat Orang Sunda. Bandung: Alumni, 1985.
Shaleh, K.H.Q. dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007.
Sodiqin, Ali. Antropologi Al-Qur’an, Model Dialektika Wahyu dan budaya. Yogyakarta: Arruz Media, 2008.
(6)
Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Sumpena, Deden. “Islam dan Budaya Lokal”. Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 6, No. 19.
Edisi Januari-Juni 2012.
Suyono, Capt. R. P. Dunia Mistik Orang Jawa; Roh, Ritual, Benda Magis Yogyakarta, LKis, 2007.
Raharjo, Mudjia. Dasar-dasar Hermeneutika antara Internationalisme dan Gadamerian Yogyakarta, al-Ruzz Media, 2008.
Rosidi, Ajip. Masa Deoan Budaya Daerah. Jakarta: Pustaka Jaya, 2010.
Warnaen, Suwarsih. dkk., Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. t.k.: t.p., 1987.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoirin Nahdliyyin. Yogyakarta: LKiS, 2013.
https://id.wikipedia.org
Lukman, Dasa. “Sistem Komunikasi Masyarakat Sunda”, https://dasalukman21.blogspot.co.id/2017/01/contoh-makalah-sistem