Kajian tafsir indonesia : analisis terhadap tafsir tansyiyyat al-muslimin fi tafsir kalam rabb al-alamin karya K.H.Ahmad sanusi

(1)

KAJIAN TAFSIR INDONESIA:

ANALISIS TERHADAP TAFSIR

TAMSYIYYAT AL-MUSLIMÎN

FÎ TAFSÎR KALÂM RABB AL-

‘ÂLAM

ÎN

KARYA K.H. AHMAD SANUSI

Oleh:

Muhamad Indra Nazarudin

NIM: 101034021875

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Kalimat puji dan syukur sepantasnya penulis panjatkan kepada Allah SWT., yang memang selalu menjadi milik-Nya, yang telah memberikan kekuatan dan kesabaran yang tiada hentinya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skrpsi ini. Satu tahun lebih penulis bergelut melawan segala rintangan dan cobaan, baik dari segi psikologis, fisik, teknis, materi bahkan hadangan alam demi menyelesaikan skripsi ini.

Limpahan salawat beserta salam senantiasa tercurah kepada sang uswah al-hasanah, semulya-mulya ciptaan-Nya, Nabi besar ummat Islam Muhammad SAW., seluruh keluarga dan juga para sahabatnya. Tebaran sabda agungnya mampu menggugah decak kagum seluruh manusia dari Timur hingga Barat.

Selaku hamba yang diperintahkan untuk berinteraksi dengan sesama, penulis merasa mempunyai kewajiban untuk menguntai kata terima kasih yang tak terhingga kepada fihak yang telah berperan dan membantu secara tulus dalam proses perampungan skripsi ini. Tanpa keterlibatan mereka, boleh jadi skripsi ini tidak akan mewujud dalam nyata dengan mulus sebagaimana terlihat sekarang ini.

Ucapan terima kasih pertama penulis sampaikan sedalam-dalamnya kepada Dr. M. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Drs. Bustamin, M.B.A. dan Rifqi Muhammad Fatkhi, S.Ag., selaku Ketua Jurusan dan sekretaris Tafsir Hadis, atas semua dedikasi, jasa dan pengabdiannya terhadap kelangsungan dinamika fakultas dimana saya mengukir jejak studi.

Terima kasih selanjutnya penulis tujukan kepada Drs. H.M. Suryadinata, M.A., dan Dra. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., dua pembimbing penulis dalam penulisan skripsi


(5)

ini. Tanpa arahan, kritik, masukan, dan bantuannya baik secara teknis maupun non teknis keduanya, rasa-rasanya skripsi ini tidak mungkin terselesaikan dengan lancar.

Berikutnya, terima kasih banyak penulis haturkan kepada keluarga besar K.H.

Ahmad Sanusi dan seluruh jajaran yayasan Pondok Pesantren Syams al-‗ulûm yang telah

membantu dan menyediakan fasilitas data maupun informasi tentang objek kajian penulisan skripsi yang sangat berarti dan penulis butuhkan. Tanpa bantuan dan sokongan dari mereka, penulis ragu apakah mampu menyelesaikan skripsi ini.

Dalam petualangan studi di Jurusan Tafsir Hadis, penulis telah banyak mendapat pengalaman berharga, motivasi, dan inspirasi tentang luasnya bahtera mozaik kajian Islam dari pergaulan yang intens dengan kawan-kawan (TH-A angkatan 2001). Untuk itu, terima kasihku juga teralamatkan pada Tajuddin, Faisal, Helmi, Syarif, Hasan, dan semuanya yang sudah menciptakan suasana nan unik serta bersahabat, baik dalam diskusi kelas maupun diluar itu.

Perantauan penulis selama menjalani Kuliah Kerja Nyata sempat diwarnai pergulatan hidup yang berharga dan mengajarkan makna kesederhanaan, solidaritas, dan survive atas kerasnya hidup bersama teman-teman KKN Darmareja. Untuk itu penulis berikan rasa terima kasih kepada Irfan, Dervi, Via, Ulfah, Nuni, fitri, Andi, Syakur, dan yang lainnya.

Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih setinggi-tinginya kepada Deni Rahman Septiana dan Ipad Badru atas dorongan dan kesabarannya yang tak kenal lelah terhadap kelemahan penulis dalam membantu menyelesaikan skripsi ini dan rumitnya birokrasi penyelesaian studi akhir. Tanpa mereka berdua penulis tidak akan terlecut untuk menyadari pentingnya sebuah penyelesaian dengan segera terhadap suatu kegiatan.


(6)

Tak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada Jaza Zarkasih dan Sahal Mubarrok yang telah memberi masukan kepada penulis dan memompa semangat penulis

dengan penuh eleg dan pikaseurieun untuk menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada

sahabat (TH-C angkatan 2000), terima kasih atas suasana pergaulan hangat penuh warna selama hidup di Pondok Ijo. Untuk itu, penulis serahkan rasa terima kasih kepada Beha, Weah, Ronald, Basmin, dan lainnya yang tak mungkin penulis sebut semuanya.

Paling akhir tapi yang terpenting, penulis haturkan terima kasih setulus-tulusnya atas pengorbanan dan dedikasinya selama ini kepada kedua orang tua penulis, Hj. Emma Malya, ibunda tercinta dan tersabar dimuka bumi, dan ayahhanda H. Zainal M. Burhan, the goodfather and The strong man. Tanpa jasa-jasa mereka penulis sekarang ini tidak akan menjadi seorang yang mereka cita-citakan. Rasa-rasanya penulis tidak akan mampu membalas segala kebaikannya dengan materi. Jazâkum Allah Khairân Katsîrâ.

Walhasil, tanpa mengecilkan kontribusi pihak-pihak yang telah disebut diatas, karya ini tentunya tidak luput dari beragam kekurangan dan jauh sekali dari sempurna. Karena itu, segenap masukan dan juga kritikan yang yang datang kemudian penulis berikan penghargaan setinggi-tingginya.

Pondok Hijau, 25 Mei 2007 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

BAB I

PENDAHULUAN

... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Telaah Kepustakaan ... 7

E. Metodologi Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II SKETSA BIOGRAFIS K. H. AHMAD SANUSI (1888-1950) ... 11

A. Latar Belakang Intelektual dan Pemikiran ... 11

B. Karir dan Aktivitas ... 16

C. Karya Tafsir ... 26

BAB III TINJAUAN UMUM TAFSIR DI INDONESIA ... 31

A. Sejarah Awal Penulisan Tafsir di Indonesia ... 31


(8)

C. Aspek Teknis Penulisan Tafsir ... 44

1. Sistematika Penyajian ... 45

2. Bentuk Penyajian ... 47

3. Bentuk Penulisan ... 48

4. Sifat Mufassir ... 50

5. Sumber-Sumber Rujukan ... 50

D. Aspek Metodologis Penulisan Tafsir ... 51

1. Metode Tafsir ... 51

2. Nuansa Tafsir ... 54

3. Pendekatan Tafsir ... 54

BAB IV ANALISIS TERHADAP TAFSÎR TAMSYIYYAT AL-MUSLIMÎN... 55

A. Gambaran Umum Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ... 55

B. Kontroversi penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ... 57

C. Aspek Teknis Penulisan Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn ... 61

1. Sistematika Penyajian Tafsir ... 62

2. Bentuk Penyajian Tafsir ... 64

3. Bentuk Penulisan Tafsir ... 67

4. Sifat Mufassir ... 68

5. Sumber-Sumber Rujukan ... 68

D. Aspek Metodologis Penafsiran Tamsyiyyat al-Muslimîn ... 70


(9)

2. Nuansa Tafsir ... 72

3. Pendekatan Tafsir ... 73

E. Analisis Penulis ... 79

BAB V

PENUTUP

... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran-Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA

... 82

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Biografi Kronologis K.H. Ahmad Sanusi

2. Karya Tulis K.H. Ahmad Sanusi

3. Sistem Transliterasi Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn


(10)

BAB I PENDAHULUAN

G. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan proses awal masuknya agama Islam di Nusantara, kitab suci

al-Quran diperkenalkan oleh para penyebar Islam (da‘i), kepada penduduk pribumi

setempat. Bagi para penyebar Islam tersebut, pengenalan awal terhadap al-Quran tentu merupakan suatu hal sangat penting, karena al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang diimani sebagai pedoman hidup. Keharusan memahami kandungan al-Quran tidak bisa ditawar lagi bila seseorang ingin menjadi Muslim yang baik.

Menurut analisis Mahmud Yunus – sebagaimana dikutip Islah Gusmian – tentang

sejarah sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia, al-Quran telah diperkenalkan pada setiap Muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai ―pengajian al-Quran‖ di surau -surau, langgar dan masjid. Yunus mengatakan bahwa, pada waktu itu, pendidikan al-Quran adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak didik, sebelum

mereka diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah (fiqh).1 Proses awal pembelajaran

ini dimulai dengan pengenalan dasar-dasar pelajaran al-Quran seperti baca dan tulis huruf

al-Quran hingga hafalan beberapa teks sûrah-sûrah penting dan pendek. Setelah

menamatkan pengajian al-Quran tersebut, para murid kemudian diperkenalkan dengan pengajian kitab-kitab dari berbagai disiplin ilmu keislaman. Dalam pengajian kitab inilah, al-Quran diperkenalkan dengan lebih mendalam melalui kitab tafsir al-Quran.

Pembelajaran al-Quran tumbuh berkembang dengan baik dan meyakinkan di wilayah Sumatra, khususnya Aceh. Dengan merujuk pada naskah-naskah yang ditulis

1 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), cet. ke-1, h. 42. Lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1984), h. 24


(11)

ulama Aceh, dapat diketahui bahwa pada abad ke-17 telah muncul upaya penafsiran al-Quran. Ini terbukti dengan ditemukannya sebuah naskah melayu asal Aceh di Universitas

Cambridge, yaitu tafsir sûrah al-Kahfi,2 walaupun hanya ditulis dengan tekhnik dan

metode penafsiran yang tergolong sederhana.3 Selanjutnya, pada paruh kedua abad ke-17

muncul karya tafsir utuh yakni Tarjumân al-Mustafîd yang ditulis oleh Abdurrauf Sinkel

(1615-1693).4 Ini adalah tafsir utuh pertama yang ditulis secara lengkap 30 juz.

Di kawasan Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat proses pengajaran al-Qur‘an yang dilakukan melalui lembaga-lembaga tradisional pesantren dan madrasah semakin menemukan momentumnya. Melalui lembaga-lembaga tersebut kajian tafsir al-Quran makin diintensifkan. Beberapa tafsir klasik yang sering dijadikan rujukan di antaranya Tafsîr al-Jalâlain, Tafsîr al-Baidâwi, Tafsîr Ibn Katsîr dan lain-lain.

Dalam berbagai hasil penelitian, telah diuraikan tentang pertumbuhan lembaga pengajaran Islam beberapa daerah di Indonesia, baik berupa surau, pesantren madrasah,

langgar dan lain-lain.5 Uraian tersebut telah cukup menunjukkan bahwa sejak semula

umat Islam Indonesia memiliki perhatian besar terhadap al-Quran, mulai dari hal

pengajaran tata cara membaca al-Quran yang baik sesuai ilmu tajwīd hingga kajian-kajian

mendalam mengenai kandungan al-Quran (tafsir). Perhatian besar umat Islam Indonesia

terhadap bidang kajian tafsir telah banyak melahirkan sejumlah tokoh mufassir lokal

berikut karya-karya tafsirnya. Sejarah mencatat terhitung sejak proses penulisan tafsir telah dimulai pada abad ke-17 dengan ditemukannya naskah anonim tafsir sûrah al-Kahfi

2

Michael R. Feener, Notes Towards the History of Qur’anic Exegesis in Southeast Asia Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998, h. 47

3 Naskah anonim tafsir sûrahal-Kahfi ini ditulis dengan tinta merah disertai terjemahan serta komentar dalam tinta hitam. Teknik penulisan dalam naskah ini belum memisahkan ruang antara teks arab al-Qur’an, Terjemahan dan tafsir. Model ini terus diterapkan hingga abad 19. Feener, ―Notes Towards‖, Studia Islamika, h.48

4 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 43


(12)

[18]: 9 yang sekarang menjadi koleksi Cambridge University Library.6 Sekedar menyebut

beberapa tokoh mufassir asli orang Indonesia lainnya adalah ‗Abdu al-Raûf al-Sinkilî,

Syaikh Nawaw Banten (meskipun tafsirnya tidak ditulis di bumi Indonesia), H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Mahmud Yunus, A. Hasan dan sederet nama lainnya. Untuk memudahkan pengkajian tradisi penulisan tafsir di Indonesia para peneliti seperti:

Howard M. Federspiel,7 M. Yunan Yusuf,8 telah menyusun berbagai periodisasi tafsir

Indonesia.

Dari sederet nama tokoh mufassir Indonesia terselip satu nama yang nyaris

terlewatkan. Dia adalah Ahmad Sanusi, ajengan kelahiran Kampung Cantayan, Cibadak, Sukabumi pada 18 September 1888. Disebut nyaris terlewatkan, karena memang nama dan karya tafsirnya, hampir tidak disebut oleh beberapa penelitian tentang perkembangan tafsir di Indonesia, kecuali singgungan sangat singkat dan nukilan dalam catatan kaki.

Hal ini tentunya, menurut penulis, merupakan sebuah ironi.9 Padahal, tidak

kurang dari tiga hasil karya tafsir al-Quran dan sejumlah tafsir sûrah-sûrah lainnya telah

dihasilkan oleh Ahmad Sanusi.10 Dengan tiga karya agungnya dalam bidang tafsir

al-Quran, yakni: Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, Raudat al-‘Irfân

Ma’rifat al-Qur’ân 30 Juz (dua jilid) dan Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb

6 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 54

7

Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraisy Syihab, terj. Tajul, (Bandung: Mizan, 1994)

8

Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20 , dalam Jurnal Ulumul Qura , No. 4, Volume III, 1992

9 Beberapa peneliti seperti Howard M. Federspiel dan M. Yunan Yusuf tidak menyinggung nama K.H. Ahmad Sanusi dan tafsir-tafsirnya. Hal ini juga terlihat dari absennya nama K.H. Ahmad Sanusi dan karya-karya tafsirnya dalam silabus mata kuliah Perkembangan Tafsir di Indonesia di Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10 Ahmad Sanusi (1888-1950 M) termasuk salah satu ulama di Indonesia Awal abad ke-20 M yang paling produktif menulis karya. Gunsaikanbu mencatat tidak kurang dari 101 karya yang ditulisnya dalam berbagai bidang keagamaan. Lihat Gunsaikanbu, Orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), h. 442-443. Menurut penulis, ia juga berhak


(13)

al-‘Âlamîn ,11 tidaklah berlebihan jika Ahmad Sanusi dipandang sebagai salah satu ulama tafsir (mufassir) terpenting yang pernah dimiliki Indonesia.

Dari ketiga karya tafsir Ahmad Sanusi tersebut di atas, tafsir Tamsyiyyat

al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn (Selanjutrnya ditulis: Tamsyiyyat al-Muslimîn) akan menjadi objek kajian penelitian ini. Tafsir tersebut berjudul lengkap dan

bertulisan asli Tamsjijjatoel Moeslimin fie Tafsieri Kalami Rabbil ’Alamien. Tafsir ini

pada mulanya terbit secara berkala satu bulan sekali sejak 1 Oktober 1934, dicetak di

percetakan al-Ittihâd Sukabumi dan beredar di kalangan terbatas di daerah Jakarta,

Bandung, Bengkulu dan Singapura. Beberapa sumber menyebutkan tidak diketahui

berapa jumlah edisi yang pernah terbit. Penulis mencatat tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn

memiliki edisi tahun ke-1 no.1 (1934) hingga tahun ke-5 no. 53 (1939) yang sebagiannya ada di tangan penulis. Tafsir ini ditulis dengan huruf latin dan bahasa melayu dengan ejaan Ch. A. van Ophuijsen. Tulisan Arabnya (teks al-Quran) disertai dengan transliterasi huruf Latin. Saat ini tafsir tersebut sedang mengalami reproduksi untuk diterbitkan kembali oleh tim yang diketuai oleh Dr. K.H. Dedi Ismatullah, MA., salah seorang cucu dan penerus Ahmad Sanusi.

Pemilihan objek ini didasari dengan pertimbangan bahwa tafsir tersebut memiliki beberapa kekhasan, di antaranya: (1) ditinjau dari aspek latar belakang, tafsir ini lahir di tengah panasnya kontroversi transliterasi (alih aksara) al-Quran ke dalam huruf Latin, (2) aspek penyebaran, tafsir ini ditulis sebagai edisi bulanan majalah (3) aspek teknis penulisan dan metodologis penafsiran, dan lain-lain.

11 Nashruddin baidan dalam bukunya, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003) telah salah menyebutkan Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimin karya Ahmad Sanusi dengan menyebutnya dengan Tafsîr asy-Syamsiyah. Setelah ditelisik oleh penulis, ternyata Baidan mengutip dari buku tafsir Departemen Agama R.I. yang berjudul Al-Qur’an dan


(14)

Berpijak pada beberapa pertimbangan tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn tersebut dalam bentuk skripsi ini.

H. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penelitian ini akan mengungkap sebuah tafsir karya Ahmad Sanusi yang berjudul Tamsyiyyat al-Muslimîn. Fokus analisisnya meliputi dua hal pokok saja. Pertama, teknis

penulisan Tafsîr Tamsyiyyah al-Muslimîn. Analisis ini bergerak menelusuri aspek-aspek

―luar‖ yang tampak dalam bangunan penulisan tafsir tersebut. Kedua, metodologi

penafsirannya, analisis terhadap aspek-aspek ―dalam‖ yang berkaitan dengan prinsip

-prinsip metodologi penafsirannya.12

Berdasarkan batasan masalah tersebut di muka, permasalahan yang hendak dijawab oleh penelitian ini adalah bagaimanakah aspek-aspek teknis dan metodologis tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn?

I. Tujuan Penelitian

Secara formal, penelitian ini ditulis dalam rangka pemenuhan salah satu syarat mencapai gelar sarjana teologi Islam (S.Th.I) pada program strata satu (S-1), Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sedangkan secara non-formal, penelitian ini ditujukan untuk memperkenalkan lebih jauh dan luas sosok Ahmad Sanusi sebagai seorang tokoh penting tafsir di

Indonesia. Di samping itu, secara khusus, penelitian ini berupaya membedah Tafsîr

12 Sejatinya, model pembahasan penelitian ini diilhami oleh hasil penelitian Islah Gusmian yang berjudul Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta:

Teraju, 2003). Istilah ―aspek teknis‖ dan ―aspek metodologis‖ adalah istilah yang penulis adopsi

dari buku tersebut. Kendati demikian, penulis tidak secara ketat mengacu pada buku tersebut. Tetapi melakukan beberapa penyesuaian guna relevansi dengan objek kajian penulis.


(15)

Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, salah satu, di samping dua lainnya, karya besar Ahmad Sanusi dalam bidang tafsir al-Qurân, baik dari segi teknis penulisan maupun segi metodologis penafsiran. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya beberapa penulis untuk memperkenalkan Ahmad Sanusi dan karya-karya tafsirnya ke pentas publik akademis dalam maupun luar UIN Jakarta, sekaligus melecut kajian historis khazanah tafsir al-Quran warisan para ulama Nusantara.

Lebih dari itu, penelitian ini sejatinya didorong oleh beban tanggung jawab moral dan intelektual penulis sendiri sebagai keturunan langsung (cicit) dari Ahmad Sanusi. Saat ini, warisan intelektual Ahmad Sanusi yang berupa peninggalan karya-karya tulisnya cenderung terbengkalai dan tidak terawat. Dengan niat tulus dan tekad bulat, penulis hendak melestarikan warisan tersebut.

J. Telaah Kepustakaan

Walaupun secara pribadi sosok Ahmad Sanusi relatif belum dikenal secara luas di publik akademis Indonesia, beberapa karya berupa hasil penelitian dan buku utuh yang membahas tentang beliau telah cukup banyak dihasilkan. Sebut saja, misalnya,

Muhammad Iskandar, dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI, dengan bukunya Para

Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat (1900-1950)

(2001). Buku yang pada mulanya adalah tesis S2-nya pada program sandwich (sisipan)

kerjasama antara Universitas Indonesia dan Vrije Universiteit, Amsterdam, ini secara umum membahas gejolak pemikiran keislaman kalangan kiai dan ulama di bumi priangan Jawa Barat antara 1900-1950. Pembahasan tentang pribadi K.H. Ahmad Sanusi, sebagai salah satu subjek sentral pergulatan tersebut, dan kiprahnya dalam bidang sosial, politik, agama dan pendidikan, mendapat porsi cukup besar dalam buku ini. Selain buku tersebut, Iskandar telah menulis sebuah buku kecil mengenai biografi Ahmad Sanusi yang berjudul


(16)

Kiyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Persatuan Umat Islam (PUI) pada tahun 1993.

Tiga hasil penelitian tentang Ahmad Sanusi dalam bentuk skripsi dan satu berupa

tesis telah dihasilkan pula. Pertama, skripsi yang ditulis A. Mukhtar Mawardi, Haji

Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1985). Kedua, skripsi berjudul KH. Ahmad Sanusi dan Perjuangannya dalam Pengembangan Agama Islam di Sukabumi Jawa Barat Tahun 1915-1950 M (2001) ditulis oleh Iwan Pratama, dan kedua skripsi ini berasal dari Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karenanya, semuanya menekankan pembahasannya pada aspek kesejarahan pribadi Ahmad Sanusi (deskripsi biografis). Satu lagi, sebuah tesis ditulis oleh A. Saifuddin dengan judul Perbuatan Manusia dalam Teologi Haji Ahmad Sanusi: Studi mengenai Pemikiran Teologi Islam Salah Seorang Ulama Indonesia (1993). Sebagaimana tersurat dari judulnya, tesis tersebut menekankan pembahasannya pada aspek teologis pemikiran Ahmad Sanusi.

Dari beberapa tebaran pustaka disebut di muka, tampak bahwa upaya-upaya untuk memperkenalkan sosok Ahmad Sanusi sebagai seorang tokoh intelektual penting Indonesia awal abad ke-20 ke permukaan publik akademis telah banyak dilakukan. Tetapi, hampir semua usaha tersebut baru sebatas ulasan historis kehidupan pribadi Ahmad Sanusi baik sebagai seorang tokoh agama, pendidik, pemikir dan pemikiran teologisnya. Penelitian-penelitian tersebut belum menukik pada pembahasan tentang perannya sebagai seorang tokoh tafsir penting di Indonesia, kecuali karya Hasan Husein Basri. Skripsi ini telah cukup memfokuskan pembahasan pada sosok Ahmad Sanusi

sebagai seorang mufassir dan dua tafsirnya, Tamsyiyyat al-Muslimîn – tafsir yang

menjadi objek penelitian penulis – dan Malja’. Kendati demikian, penelitian ini belum

menyentuh semua sisi KH. Ahmad Sanusi sebagai seorang mufassir dan pembahasannnya tentang Tamsyiyyat al-Muslimîn terbatas pada sejarah gambaran umum tentang tafsirnya


(17)

– itu pun dilakukannya dengan sangat singkat – tidak mengungkap aspek teknis dan metodologis pemafsirannya.

K. Metodologi Penelitian

Dalam proses pengumpulan data penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan (library research). Ada dua jenis data: sekunder dan

primer.13 Data primer adalah data kepustakaan yang berasal dari sumber pertamanya,

yakni Tamsyiyyat al-Muslimîn karya Ahmad Sanusi, di samping dua karya tafsir lainnya, Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn dan Raudat al-‘Irfân sebagai bahan pembanding. Sedangkan data sekunder adalah data-data pendukung berupa karya tulis Ahmad Sanusi lainnya serta

buku-buku dan hasil penelitian seputar perkembangan tafsir di Indonesia seperti: Kajian

al-Qur’an di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraish Shihab karya Federspiel, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi tulisan Islah Gusmian, dan lain-lain.

Data-data terolah kemudian akan dibahas dengan metode deskriptif-analitis, yakni menjelaskan objek permasalahan secara apa adanya tanpa untuk kemudian diekplorasi, dianalisis, diinterpretasi, diberi penilaian dan terakhir di tarik kesimpulan.

Untuk teknik penulisan dan teknik alih aksara (transliterasi) Arab-Latin, penulis berpedoman pada teknik penulisan skripsi dan sistem transliterasi yang dimuat dalam

buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2005/2006.14

13 Sumadi Suryadibarata, Metode Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet. ke-16, h. 39

14 Tim Penyusun, Pedoman Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah


(18)

L. Sistematika Penulisan

Setelah mengurai bab I yang berisi gambaran umum penelitian meliputi: latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah kepustakaan, metodologi penelitian, dan terakhir sistematika penulisan, berikutnya, dalam bab II akan digambarkan sketsa biografis pribadi Ahmad Sanusi. Isinya meliputi latar belakang intelektual dan pemikiran, karir dan aktifitas serta karya-karya tafsir yang telah ditulis. Penjelasan studi biografis tersebut penting disajikan, karena Ahmad Sanusi adalah tokoh sentral yang dibahas dalam penelitian ini. Penjelasan ini diharapkan, nanti, dapat membantu penulis menangkap konteks psikologis dan historisnya.

Bab selanjutnya, bab III hendak menyajikan sejarah perkembangan tafsir di Indonesia serta periodesasinya. Penjelasan dilanjutkan pada tinjauan umum tentang aspek teknis dan aspek metodologis penulisan karya tafsir.

Sementara itu, pada bab IV, inti utama pembahasan, akan disajikan bedah dan

telaah Tamsyiyyat al-Muslimîn. Analisis kitab akan diarahkan pada dua aspek, yakni

aspek teknis penulisan (eksternal) dan aspek metodologis penafsiran (internal). Tetapi sebelumnya, akan diuraikan terlebih dahulu historisitas dan latar belakang kemunculan

tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn. Dan yang terakhir, penulis akan memberikan beberapa

catatan analisis kritis sebagai hasil dari analisa pribadi.

Kesimpulan tentang telaah yang penulis lakukan terhadap kitab tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn akan dijabarkan pada bab V. Kesimpulan ini juga akan menjadi titik pijak saran ke depan menyangkut penelitian terhadap kajian karya-karya tafsir warisan para ulama terdahulu.

Setelah bab V, penulis mencantumkan daftar pustaka dan beberapa data tambahan yang secara tidak langsung menyangkut objek penelitian ini, yakni: biografi


(19)

kronologis, daftar lengkap karya-karyanya dalam berbagai disiplin ilmu serta contoh halaman dari tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn.


(20)

BAB II

SKETSA BIOGRAFIS K.H. AHMAD SANUSI

D. Latar Belakang Intelektual dan Pemikiran

Kyai Haji Ajengan15 Ahmad Sanusi dilahirkan di Desa Cantayan, Kecamatan

Cibadak, Sukabumi Jawa Barat, pada tanggal 18 september 1888.16 Ayahnya bernama

Abdurrahim bin H. Yasin (w. 1950), seorang pemimpin Pondok Pesantren Cantayan Sukabumi.

Layaknya anak seorang kyai, ia memperoleh perlakuan-perlakuan cukup istimewa, baik dari para santri maupun masyarakat di lingkungan pesantren ayahnya. Kemauannya jarang ditentang, tapi sebaliknya apabila tindakannya ada yang dianggap keliru serta menyalahi kaidah dan norma agama, maka banyak orang memperingatkan bahkan mencegahnnya. Bukan saja karena hal itu dianggap berdosa, melainkan juga bisa

15 Istilah ajengan adalah istilah populer di kalangan masyarakat Sunda yang merupakan sebutan kepada ulama baik karena ketinggian ilmunya maupun prilaku dan akhlaknya yang menjadi panutan dan diakui sebagai pemimpin umat di lingkungannya. Ahmad Sanusi sendiri tidak menyebut dirinya sebagai seorang kyai maupun ajeungan dalam semua buku yang ia tulis. penyebutan gelar tersebut diberikan oleh para pengikutnya, terlebih setelah beliau meninggal dunia. Istilah ajengan juga sering diterapkan bagi pemimpin sebuah pesantren dan sering disandarkan kepada nama tempat dimana pesantren itu berdiri, seperti sebutan Ajengan Gunung Puyuh Kepada Ahmad Sanusi karena mempunyai pesantren yang berada kampung di Gunung Puyuh. Sedangkan istilah kyai di wilayah Sunda hanya berlaku bagi tokoh agama saja dan tidak harus disandarkan kepada tempat atau pesantren di mana ia berdomisili. Hal ini sedikit berbeda dengan pemakaian istilah kyai di wilayah jawa lainnya, yang bisa ditujukan untuk benda-benda keramat. Lihat Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam Manusia dan Budaya, (Jakarta: Pustaka Jaya: 2000) h. 347

16 Ada berbagai pendapat mengenai tahun kelahiran Ahmad Sanusi. Pendapat pertama: tahun 1881, pendapat ini dikemukakan oleh S. Wanta dalam bukunya K.H. Ahmad Sanusi dan Perjuangannya, (Jakarta, PBPUI, 1986). Pendapat kedua tahun 1889. Pendapat ini dilontarkan oleh Muhammad Iskandar berdasarkan keterangan koleksi arsip R.A. Kern. Lihat Mohammad Iskandar, Kyai Haji Ajeungan Ahmad Sanusi, (Jakarta, Pengurus Besar PUI, 1993). Pendapat ketiga, tahun 1888. Tahun ini diambil berdasarkan tahun yang tertera pada batu nisan kuburan K.H. Ahmad Sanusi yang terletak di samping pesantren yang didirikan beliau yaitu Pesantren Syams al-‗Ulûm. Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang terkuat. Lihat A.M. Sipahoetar,

Lukisan Tentang Para Pemimpin, (Semarang: Pustaka Harapan, 1946) dan A. Mukhtar Mawardi,

―Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (Skripsi S1 Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1985)


(21)

menjatuhkan nama dan wibawa orang tuanya sebagai seorang kyai. Jadi proses

internalisasi terhadap masalah keagamaan telah terjadi sejak ia masih kecil.17

Sejak usia tujuh tahun sampai lima belas tahun, Ahmad Sanusi menuntut pengetahuan agama dari ayah kandungnya sendiri. Demikian pula halnya dengan keterampilan menulis huruf Arab dan Latin. Keterampilan ini dipelajarinya bersama-sama dengan saudaranya dan juga para santri ayahnya di Pesantren Cantayan. Sehingga hampir dipastikan selama pendidikan masa mudanya, ia tidak pernah mengenyam pendidikan

umum.18

Pada tahun 1903 atas anjuran ayahnya, ia mulai ―turun gunung‖ untuk berguru kepada sejumlah ulama di Wilayah Jawa Barat. Secara berurutan Ia belajar kepada K.H. Muhammad Anwar (Pesantren Salajambe Cisaat), K.H. Muhammad Siddik (Pesantren Sukamantri Cisaat), K.H. Djenal Arif (Sukaraja), kemudian ke Pesantren Cilaku dan Ciajag Cianjur, K.H. Sudjai‗ (Pesantren Gudang Tasikmalaya) dan K.H. Syatibi

(Pesantren Gentur).19 Di tiap pesantren yang pernah ia singgahi, Ahmad Sanusi hanya

belajar antara dua bulan hingga satu tahun.20

Tak lama setelah meninggalkan Pesantren Gentur, pada tahun 1909 Ahmad Sanusi berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil bermukim memperdalam ilmu agama di sana. Di Mekkah ia berguru langsung kepada beberapa muftî mazhab Syâfi‗î, seperti: pada Syaikh ‗Alî al-Mâlikî, Syaikh ‗Alî al-Tayyibî, Syaikh

Junaedi, Syaikh Saleh Bafadil dan Sa‗îd Jawani. Di samping itu, ia juga pernah berguru

kepada Syaikh Mahfudz Termas.21 Selain belajar masalah-masalah agama, ia juga mulai

17 Iskandar, Kiyai HajiAhmad Sanusi , h. 3

18 Hasan Basri, ―Laporan Penelitian dan Penulisan K.H. Ahmad Sanusi (Proyek Penelitian Departemen Agama, 1986), h. 22

19 Sipahoetar, Lukisan Tentang Pemimpin, h. 71

20 Basri, ―Laporan Penelitian dan Penulisan‖, Proyek Penelitian Departemen Agama, 1986, h. 22

21 Dari sekian ulama-ulama asal Indonesia yang pernah menjadi guru Ahmad Sanusi di Mekkah, yang paling termasyhur adalah Syaikh Mahfuzh Termas, ulama kelahiran Termas, Jawa


(22)

mempelajari buku-buku tentang modernisme Islam dan juga pelajaran umum seperti fisika.22

Bulan Juli 1915 Ahmad Sanusi kembali ke Pesantren Cantayan dan membantu pekerjaan ayahnya mengajar para santri. Di sana ia mencoba memperbaharui kurikulum dengan mulai menerapkan sistem klasikal termasuk teknik mengajar Pesantren Cantayan. Di samping itu, dengan bekal keilmuan dan pengalaman hasil pergaulannya yang luas selama di Makkah, ia sering mengadakan diskusi-diskusi keilmuan seputar persoalan-persoalan yang berkembang pada waktu itu. Kebebasan akademik pun diberikan kepada murid-muridnya sehingga mereka bebas bertanya dan mengeluarkan pendapat untuk mendalami agama Islam. Sehingga dalam waktu yang tak begitu lama, Ia mulai disenangi para santri.23

Pengaruhnya di wilayah Sukabumi lebih terasa ketika pada tahun 1917 ia mulai

menerbitkan sebuah buku yang berjudul al-Lu’lu’ al-Nadîd, sebuah kitab yang

menguraikan persoalan tauhîd dalam bentuk tanya jawab. Ini adalah buku pertama yang

ditulis oleh Ahmad Sanusi ketika ia kembali ke tanah kelahirannya. Setelah buku itu beredar luas, Ahmad Sanusi mulai dikenal oleh kalangan di wilayah ini yang lebih luas lagi cakupannya. Akibatnya banyak para santri yang mulai membanjiri pesantren ayahnya sehingga kapasitas pesantren itu tidak dapat menampung lagi. Kemudian ayahnya menganjurkan Ahmad Sanusi untuk mendirikan pesantren sendiri di daerah Genteng,

Sukabumi yang kemudian dikenal dengan Pesantren Genteng.24

Timur. Ia adalah salah satu guru besar ahli qirâ‘ah di Masjid al-Harâm dan juga ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab shahih al-Bukhârî. Untuk lebih jelas tentang profil syaikh Mahfuzh, lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), h. 38-39

22 Basri, Laporan penelitian dan Penulisan‖, Proyek Penelitian Departemen Agama, 1986,

h. 5

23 Iskandar, Kyai Haji Ajeungan Ahmad Sanusi, h. 4

24 Basri, Laporan Penelitian dan Penulisan‖, Proyek Penelitian Departemen Agama, h.10


(23)

Pesantren Genteng bagi Ahmad Sanusi dijadikan tempat untuk merefleksikan dan memformulasikan ide-ide yang terkandung dalam al-Quran. Maka, tak heran kalau Ahmad Sanusi menjadikan tafsir sebagai mata pelajaran yang utama di Pesantren Genteng. Sebelumnya juga di pesantren ayahnya di Cantayan ia memegang spesialisasi pelajaran tafsir, di mana ia menekankan dalam mengajar tafsir itu agar ajaran-ajaran Islam di Sukabumi khususnya dan di priangan umumnya dapat terlihat membumi. Keinginanya itu bukan hanya sebatas teori saja, lebih jauh lagi ia mengimplementasikannya dalam bentuk aksi.

Misalnya ia berani mengkritisi intitusi-institusi keagamaan yang dibentuk dan dilegitimasi oleh pemerintah Belanda sebagai lembaga kepenghuluan. Di antara

pemikiran-pemikiaran kritisnya ini adalah: pertama, pendapatnya tentang tidak wajibnya

zakat fitrah dikumpulkan oleh para ‘âmil dari pekauman untuk kemudian disetorkan

kepada na‘ib dan diteruskan ke penghulu kepala di kabupaten.25 Kedua Ahmad Sanusi

berpendapat mengenai makruhnya tradisi selametan ketiga harinya, ketujuh harinya, dan

seterusnya bagi yang telah meninggal yang menurut asumsinya, tradisi itu berasal dari

pengaruh agama Hindu, bukan murni ajaran Islam. Ketiga, pendapatnya tentang tidak

wajibnya mendoakan bupati dalam khutbah jum‘at yang terkenal dengan peristiwa ‘abdaka maulânâ.26

Disamping itu, pemikiran Kritis Ahmad Sanusi lainnya adalah ia berusaha menafsirkan al-Quran kedalam bahasa selain bahasa Arab, padahal pada waktu itu penafsiran al-Quran kedalam bahasa selain arab adalah jarang dilakukan, bahkan

25 Pekauman atau menak kaum adalah elit birokrasi keagamaan. Didaerah priengan, umunya para menak kauum yang bertitel Hoofd penghulu mempunyai hubungan keluarga dengan bupati dan dekat sekali dengan pemjajah Belanda. Biasanya kelompok pekauman mengurus masjid raya di tingkat kecamatan atau kabupaten yang saat itu berfungsi sebagai Kantor Urusan Agama (KUA). Lihat Iskandar, Para pengemban Amanah, h. 49. Untuk melihat lebih jelas kajian tentang penghulu, lihat, G.F. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 (Jakarta: UII-Press, 1985), h. 67-100

26 K.H. Ahmad Sanusi Qowânin al-Dîniyyah (Sukabumi: Sajjid Yahya bin Oestman), 1928, h. 8-9 dan 16


(24)

dianggap menyalahi ajaran Islam. Tetapi peda tanggal 28 Januari 1931 Ahmad Sanusi berani menerbitkan sebuah buku tafsir pertamanya dalam bahasa Sunda dengan

menggunakan huruf Arab (aksara pegon) yang berjudul Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm

Rabb al-‘Âlamîn, walaupun ia harus berhadapan dengan para ulama setempat yang masih berpendapat bahwa menafsirkan al-Quran ke bahasa selain Bahasa Arab adalah haram hukumnya.

Tindakan antagonis yang dilakukan ulama setempat menjadi lebih keras lagi ketika ia menerbitkan buku tafsir keduanya yang mentransliterasi hurup Arab al-Quran kedalam bahasa Indonesia dengan judul Tamsyiyyat Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘ÂlamÎn. Bahkan selanjutnya ia dianggap telah menjadi kafir dan dirinya halal untuk dibunuh. Tetapi keadaan demikian tidak menyurutkan niatnya untuk menerbitkan tafsir tersebut. Karena ia berkeyakinan tindakannya itu adalah benar demi memajukan pemikiran dan apresiasi umat Islam terhadap al-Quran sebagai dasar hukum pertama

dalam agama Islam.27

Bila dilihat dari guru-gurunya, baik itu yang menjadi guru ketika ia belajar di Jawa Barat maupun ketika ia bermukim di Tanah Suci dan juga isi dari buku-buku yang

diterbitkannya dapat diketahui bahwa ia adalah seorang penganut Asy‘âriah atau Ahl

al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah dalam bidang teologi,28 dan bermazhab Syafi‗î dalam bidang fiqh. Aliran inilah yang selanjutnya banyak mempengaruhi jalan pikirannya untuk mengaplikasikan semua kegiatannya sehari-hari termasuk dalam menulis semua karya yang ditulisnya

Jika kita lihat kembali ide-ide reformasi yang dikemukakan oleh Ahmad Sanusi, sebenarnya mempunyai kesamaan dengan yang dikemukakan reformis lainnya yang

27 Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 192-205

28 Untuk melihat lebih jauh pemikiran Ahmad Sanusi dalam bidang teologi, lihat A.

Saipudin, ―Perbuatan Manusia dalamTeologi Haji Ahmad Sanusi:Studi Mengenai Pemikiran Teologi Islam Seorang Ulama Indonesia(Tesis Megister, Progam Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993)


(25)

berdomisili di Jawa Barat, seperti Persatuan Islam (PERSIS) dan Majelis Ahli Sunnah

Cilame (MASC).29 Namun demikian, Ahmad Sanusi mengatakan bahwa pintu ijtihâd

masih terbuka, ia sendiri mengaku tidak berijtihâd dan masih berpegang kepada Imam

yang Empat, sehingga ia pun mendapat serangan dari organisasi diatas. Oleh sebab itu, Ahmad Sanusi pada waktu itu mendapat lawan dari dua arah. Disatu sisi ia bersebrangan dengan Islam tradisional yang diwakili oleh fihak pekauman, disisi lain, ia pun membela

Islam tradisional dari gempuran organisasi tajdîd yang mempunyai jargon ―kembali

kepada al-Quran dan Hadis Sahîh‖.

E. Karir dan Aktivitas

Selama bermukim di Makkah, selain belajar dan memperdalam ilmu agama, Ahmad Sanusi juga mulai berkecimpung dalam dunia politik. Terjunnya di bidang ini diawali dengan perjumpaannya dengan tokoh Sarekat Islam (SI) di Mekkah yang bernama ‗Abd al-Mulûk. Setelah memperlihatkan sebagian besar anggaran dasar organisasi SI, Ahmad Sanusi mengatakan setuju untuk bergabung ke dalam organisasi tersebut. Sehingga di sana ia mulai bergaul dan bertukar informasi dengan tokoh-tokoh

pergerakan yang ada di sana yang sedikit banyaknya mempengaruhi pola pemikirannya.30

Setelah enam tahun mencari ilmu di kota suci Makkah, akhirmya tahun 1915 Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi. Dia langsung ditawari oleh presiden SI Sukabumi

29 PERSIS didirikan didirikan oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Junus pada tanggal 17 Agustus 1923. setelah masuknya A. Hassan, organisasi ini semakin terkenal dan mulai melebarkan fahamnya ke beberapa daerah di Indonesia. Untuk lebih detil tentang PERSIS, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1944 (Jakarta: LP3ES, 1996), cet. ke-8, h. 95-96. Sedangkan MASC, tidak ada yang tahu pasti kapan organisasi ini didirikan. Organisasi yang salah satunya dianggotai K.H. Yusuf Tojiri ini, dianggap mempunyai faham tajdîd dan yang paling radikal dibandingkan persis. Untuk lebih detil tentang MASC, lihat Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 170-175

30 Keterlibatannya dengan politik ini semakin jelas ketika tahun 1914 di Makkah tersebar surat kaleng yang menyudutkan SI. Akibat tulisan ini, banyak jemaah dari Indonesia menjadi resah. Ahmad Sanusi sebagai salah satu anggota SI mulai terpanggil. Untuk merespon ini, kemudian Ahmad Sanusi menulis sebuah buku yang diberi judul Nahrat al-Darhâm yang isinya membeberkan kebaikan SI. Selain menulis buku, Ahmad Sanusi terlibat juga dalam perdebatan dengan ulama yang tidak begitu suka dengan SI. Lihat Iskandar, Kiyai Haji Ajeungan , h. 4-5


(26)

untuk menjadi penasihat organisasi tersebut. Ia mengabulkan permintaan tersebut tetapi disertai dengan beberapa syarat. Ia meminta angota SI lebih meningkatkan diri dalam masalah keislaman. SI lokal sungguh-sungguh mempraktekan tujuannya membantu anggotanya dalam meningkatkan kemampuan perniagaan mereka dengan cara memberi pinjaman modal yang diambil dari uang kontribusi. Tegasnya, ia meminta uang kontribusi anggota SI tidak semuanya diserahkan ke pimpinan pusat, melainkan separuhnya

disimpan di kas SI setempat sebagai himpunan dan bantuan tadi.31

Namun ia tidak lama duduk sebagai Penasihat SI lokal. Ia mengajukan berhenti dengan alasan tidak lagi mengerti akan sepak terjang SI. Di samping itu ia juga melihat apa yang diajukannya sebagai pra-syarat keterlibatannya dengan SI tidak ditepati. Kendati demikian ia masih sering berhubungan dengan SI lewat para santrinya yang menjadi anggota organisasi itu. Dalam rapat-rapat terbuka SI pun ia masih sering diundang. Mungkin karena ada hubungan semacam itulah, maka banyak pihak yang menganggap Ahmad Sanusi masih menjadi anggota SI. Termasuk yang mempunyai anggapan demikian adalah para pejabat daerah Priangan Barat. Oleh karena itu, ketika terjadi

peristiwa afdeling B tahun 1919,32 dia termasuk salah seorang kyai yang dianggap terlibat

dalam kasus ini. Malah dia dituduh menyembunyikan Kyai Arda‘i, tokoh utama afdeling B yang saat itu masih buron. Sehingga ia sempat dikurung selama 7 malam dalam

penjara. Tetapi karena tidak ada bukti kuat, dia dibebaskan kembali.33

Pada tahun 1927 terjadi aksi sabotase pada jaringan kawat telepon di 2 tempat yang menghubungkan kota Sukabumi-Bandung dan Sukabumi-Bogor. Pihak penguasa sempat langsung mengalamatkan dalang aksi pengrusakan kepada Ahmad Sanusi.

31 Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 139

32 Kasus afdeling B ini cukup mengguncangkan dan menjatuhkan nama baik SI. Afdeling ini baru diketahui keberadaannya setelah terjadi proses pembangkangan H. Hasan Cimareme Garut tahun 1919 yang menolak penjualan padinya kepada pemerintah seperti yang telah ditetapkan. Mengenai afdeling B ini sampai sekarang masih diperdebatkan. Apakah organisasi ini dibentuk SI ataukah oleh fihak pemerintah Belanda dalam rangka menjatuhkan nama baik SI


(27)

Asumsi penguasa tersebut adalah kejadian itu terjadi dekat pesantren genteng yang

dipimpinnya.34

Walaupun pemerintah Imperialisme tidak mampu membuktikan semua tuduhannya itu, keputusan surat penahanan tetap dikeluar juga. Atas pertimbangan yang

diberikan Gubernur Jawa Barat Hanelust; Adviseur Voor Inlandse Zaken; Procereur

Generaal J.K. Onnen; Raad Van Indie, J. Van der Marel; dan Direktur kehakiman, D. Rutgers; Gubernur jenderal memutuskan untuk mengasingkan Ahmad Sanusi ke tanah

tinggi, Batavia Centrum.35

Alasan utama yang dijadikan dasar pengasingan tersebut adalah demi menjaga ketentraman umum (rust en orde), khususnya didaerah Priangan Barat. Pemikiran Ahmad Sanusi dinilai dapat mempengaruhi sebagian masyarakat yang nantinya bisa menjadi ladang yang sangat subur bagi satu faham revolusioner yang anti penjajah. karena kyai itu sumbernya maka dia perlu disingkirkan agar perkembangan faham tersebut dapat dicegah sedini mungkin.

Pengasingan di Batavia merupakan awal untuk memasuki babak baru bagi sejarah Ahmad Sanusi dalam kehidupan tulis menulis. Tinggal dipengasingan membuat ia tidak bisa lagi dengan para santrinya apalagi mengajar pengetahuan agama Islam. Situasi ini menjadi kesempatan sekaligus mendorong Ahmad Sanusi untuk menulis dan menerbitkan buku seperti buku tafsîr, fiqh, tauhîd dan lain-lain. Bahkan dari peristiwa ini

sampai akhir hayatnya,—menurut S. Wanta dalam penelitiannya—lebih dari 404 karya

dalam bidang keagamaan yang telah dihasilkan oleh Ahmad Sanusi.36 Selain itu

34 Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, h. 5 35 Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, h. 9


(28)

Gunsaikanbu sebagai badan pertahanan negara jepang telah mendokumentasikan karya

tulis Ahmad Sanusi sebanyak 101 buah sewaktu pemerintahannya menjajah indonesia.37

Masuknya faham Tajdīd (pembaharuan) ke Sukabumi sekitar tahun 1920-an telah

membawa keresahan umum di masyarakat. Terjadinya kelompok yang pro dan kontra antara keduanya menimbulkan kebingungan kaum awam untuk memilih salah satunya. Agresifitas kaum pembaru (Mujaddid) yang mengobrak- abrik nilai-nilai keagamaan yang sudah terlebih dahulu mempunyai kemapanan di daerah Jawa Barat itu telah membentuk masyarakat Sukabumi menjadi kelompok-kelompok yang antara satu dengan yang

lainnya saling mempertahankan fahamnya secara egoistis.38

Keadaan semacam ini tidak lepas dari monitoring Ahmad Sanusi yang pada waktu itu sedang ada dalam pengasingan di Batavia untuk kemudian melontarkan sebuah ide agar para tokoh-tokoh Islam di daerah Priangan bersatu dalam satu langkah dan pemikiran. Gagasan ini disampaikannya kepada para tokoh yang sering menjenguknya ke tempat pengasingannya untuk selanjutnya dimusyawarahkan bersama para tokoh lainnya agar keadaan sosial keagamaan di Sukabumi menjadi semakin kondusif.

Setelah para kyai yang berdomisili di Sukabumi tersebut melakukan diskusi dan

saling tukar pikiran, maka diputuskan untuk mendirikan organisasi yang diberi nama

al-Ittihâdiyat al-Islāmiyyah (AII) di Batavia pada bulan November 1931. Pembuatan anggaran dasar Organisasi tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Ahmad Sanusi Pada tahapan selanjutnya, AII menyelenggararakan kongres pertamanya pada tanggal 21-22 November untuk menetapkan anggaran dasar organisasi dan mengadakan rapat pemilihan pimpinan pusat, di mana terpilih sebagai ketuanya adalah Ahmad Sanusi dan A.H. Wignyadisatra sebagai wakilnya. Secara resmi organisasi ini merupakan organisasi sosial

37 Gunsaikanbu, Orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa (Yogyakarta: UGM Press, 1986), h. 442-443


(29)

yang berlandaskan keagamaan. Seperti juga Muhammadiyah dan Persis, atau perserikatan ulama, AII juga mendirikan dan mengelola sekolah, rumah sakit, yayasan anak yatim

piatu, koperasi toko, dan Bait al-Mâl.39

Disamping itu, AII juga menerbitkan buku-buku pelajaran agama dan majalah yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara mereka dan masyarakat. Majalah

atau buletin yang mereka terbitkan yaitu: al-Hidayat al-Islâmiyyah, al-Tablîgh al-Islâm,

al-Mīzân, dan al-Dalīl. Melalui media itu antara lain mereka menjawab masalah-masalah yang disampaikan masyarakat kepada AII, tidak saja masalah praktek keagamaan,

melainkan juga masalah ekonomi dan sosial.40

Sampai dengan tahun 1935, AII mempunyai 24 cabang yang tersebar diseluruh wilayah Jawa Barat. Namum umumnya cabangnya itu paling banyak terdapat diwilayah kabupaten Sukabumi dan Cianjur. Pada setiap cabang AII dibangun sebuah madrasah, atau meningkatkan kualitas madrasah yang sudah ada yang menjadi milik anggota AII. Pada 1 Agustus tahun 1939, organisasi ini membuka sekolah yang mengajarkan pengetahuan umum yang berlandaskan Islam dengan kurikulum baru yang lebih

disempurnakan yang diberi nama AII School met den Qoer’an.41

Dari rapat pertama sampai Kongres keempat yang diadakan di Jakarta pada tanggal 23-26 Desember 1941, Organisasi ini telah mempunyai enam buah majelis, yakni:

Majelis Tarjîh, Majelis Tablîgh dan Propaganda, Majelis Sosial, Majelis ekonomi,

Majelis Ittihâdiyyah Madâris al-Islâmiyyah (IMI), dan Majelis Pers. Selain itu, organisasi ini juga mendirikan dua anak Organisasi yang bertanggung jawab pada AII yaitu:

39 Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 178 40 Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 177

41 Anwar Shaleh, Sedjarah Perdjoangan Pemuda Persatuan Ummat Islam (PPUI), (Bandung: Pimpinan Pusat PPUI, 1966), h. 23


(30)

organisasi para wanita yang bernama Zainabiyyah dan organisasi para pemuda yang

diberi nama Barisan Islam Indonesia (BII).42

Meskipun secara resmi AII menyatakan dirinya Organisasi non politik, tetapi dalam perkembangannya AII menjadi sebuah organisasi yang menjadi sebuah organisasi sosial yang paling militan di Jawa Barat. Hal ini terlihat dari hubungan yang erat antara AII dengan Pasundan, Partindo, dan PNI. Banyak para tokoh AII yang menjadi

pemimpin–pemipin Partindo dan Gerindo. Sebaliknya juga banyak para fungsionaris PNI

dan Partindo yang mengajar di sekolah-sekolah AII. Keterlibannya dalam politik terlihat juga dalam tulisan-tulisan mereka, misalnya: Indonesia Ibu Kita dan Islam dalam Politik Internasional yang intinya menggugah bangsa Indonesia untuk memperjuangkan nasib serta tanah kelahirannya, Yang dimuat dalam majalah tengah bulanan Swara Muslim, yang beredar bulan Juli dan Agustus tahun 1933.

Keterlibatan organisasi AII yang mewarnai dunia politik tersebut lambat laun membuat khawatir dan curiga fihak Kolonialisme Belanda. Sehingga ada keinginan dari penguasa setempat agar penahanan Ahmad Sanusi sebagai tokoh utama AII diperpanjang, supaya tidak mempertajam pengaruh AII kepada masyarakat.

Namun usul itu kemudian berubah, terutama setelah Gobee memberikan pandangannya terhadap Ahmad Sanusi dalam surat yang ditulisnya tanggal 5 Pebruari 1934. menurutnya kekhawatiran pejabat setempat terhadap Ahmad Sanusi, pada dasarnya dilandasi oleh rasa sentimen pribadi. Menurut Gobee sebagaimana dikutip Iskandar, memang tidak dapat disangkal bahwa Ahmad Sanusi cukup pintar dan berintelejensia tinggi, sehingga membuat ahli tafsir sejawatnya menjadi iri. Ditambah lagi dengan keberanian dan kepercayaan dirinya yang begitu tinggi telah menggoyahkan kyai pekauman serta ulama lainnya dimata masyarakat. Bagaimanapun menurut Gobee,


(31)

membawa kembali Ahmad Sanusi ke daerah Sukabumi harus terlaksana. Sebab dengan kehadirannya di wilayah itu, justru supaya dia bisa dimintai tanggung jawab atas semua aktivitas AII.Selanjutnya pemerintah akan mempunyai alasan kuat untuk

mengasingkannya kembali dari daerah itu.43

Kurang lebih tiga bulan kemudian, Procureur Generaal mengirim surat kepada

Gubernur Jendral yang isinya setuju dengan sebagian pemikiran Gobee. Dia setuju Ahmad Sanusi dikirim kembali ke Sukabumi asalkan tetap dalam status tahanan kota dan tidak boleh kembali ke pesantrennya di Kampung Genteng. Artinya ketentuan-ketentuan yang berlaku di Batavia atas tokoh AII itu tetap dipertahankan, hanya tempatnya saja yang dipindahkan ke kota Sukabumi.dalam hal ini Direktur Kehakiman menyatakan

setuju dengan Procureur Generaal. Persetujuan juga datang dari Raad Van Indie. Atas

dasar surat-surat dan saran itulah akhirnya Gubernur Jenderal mengeluarkan satu

keputusan untuk memindahkan penahanan Ahmad Sanusi ke Sukabumi.44

Bulan Agustus 1934 setelah rumah tahanan Ahmad Sanusi dipindahkan, dia memboyong kembali keluarganya ke Sukabumi. Karena tidak bisa kembali ke Pesantennya di Genteng, maka ia memutuskan untuk membeli sebidang tanah di Jalan Bhayangkara no. 31 Sukabumi. Disana ia mendirikan pesantren yang dinamakan

Pesantren Syams al-‗Ulûm atau yang kemudian hari lebih dikenal dengan Pesantren

Gunung Puyuh, yang dibuka pertama kali untuk umum pada tanggal 20 Desember 1937. Sistem pendidikan yang dipakai oleh pesantren ini adalah sistem pendidikan klasikal yang telah disusun kurikulum serta jenjang pendidikannya, mulai dari tingkat dasar; tingkat menengah; dan tingkat tinggi dengan lama pendidikan yang ditempuh

43 Lihat, Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, h. 14-15 44 Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, h. 16


(32)

masing-masing sekitar 4 tahun. Dengan demikian maka bentuk dari pesantren ini adalah

sebuah perguruan pendidikan yang bersifat modern.45

Pada tahun 1942, ketika tentara Jepang ketika tentara jepang mendarat di pulau Jawa, Ahmad Sanusi memanfaatkan kehadiran mereka dalam rangka membersihkan

unsur-unsur penjajah Belanda dari Indonesia. Disamping itu—dengan kedok kerja

sama—tenaga dan keterampilannya bisa dimanfaatkan untuk mendidik pribumi dalam

bidang militer. Kecerdikannya untuk mendekatkan diri kepada para jajaran elit negara Jepang, dikemudian hari memudahkan Ahmad Sanusi dalam berbagai kegiatan dan aktivitasnya.

Ini terbukti pada pada Mei 1943 ia diangkat menjadi instruktur sebuah latihan permanen bagi para kyai (Kaikyo Kyoshi Koshu-co) yang diselenggarakan oleh Jepang dalam rangka konsolidasi politiknya terhadap Umat Islam Indonesia. Selain itu, salah satu anggota AII yang diketuai oleh Ahmad Sanusi, yakni R.M. Syamsuddin diangkat menjadi ketua gerakan Tiga-A (Nipon Pemimpin Asia, Nipon Pelindung Asia dan Nipon Cahaya Asia) yang bertugas mengorganisir kaum intelektual, kelompok-kelompok Agama,

pejabat pemerintah dan priyayi,46 dan juga anggota AII lainnya, yakni H.M. Basyuni dan

K.H. Abdullah bin Nuh yang juga diangkat sebagai perwira tinggi PETA.47

AII sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan pada 27 Juli 1942 pernah dibubarkan oleh Jepang. Namun dengan kemampun diplomasi yang dimiliki Ahmad Sanusi, ia dapat bernegosiasi dengan fihak Jepang, pada tanggal 1 Pebruari 1944 organisasi tersebut dihidupkan kembali dengan syarat nama Arab al-Ittihâd al-Islâmiyyah

45 Ahmad Sanoesi, Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn (Sukabumi: Al-Ittihad, 1937), no. 40, h. 926

46 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit: Islam Indonesia Pada Masa

Pendudukan Jepang (Bandung: Mizan, 1999), cet. ke-3, h. 321 47 Benda, Bulan Sabit, h. 218


(33)

diganti dengan nama Indonesia, menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII).48

Dengan diakuinya PUII secara resmi oleh jepang, organisasi ini menjadi anggota istimewa di dalam Masyumi. Ahmad Sanusi sendiri diangkat menjadi anggota dewan Majlis Syûrâ Masyumi yang diketuai oleh K.H.Hasyim Asy‗ari.49

Pada bulan Januari 1944 ia diangkat menjadi Syuu Sangi Kai (dewan penasehat

keresidenan Bogor. Tidak lama kemudian, pada bulan Desember 1944 ia diangkat

menjadi Foku Shuchokan (Wakil Residen) Bogor, dimana ia satu-satunya dari kalangan

kyai di Indonesia yang diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Sedangkan wakil

residen yang lain biasanya diambil dari galongan para priyayi yang berpangkat tinggi.50

Kedudukannya yang dekat dengan Jepang telah menjadikannya bisa duduk dalam keanggotaan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hal ini pula yang menyebabkan Ahmad Sanusi diangkat Menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan duduk sebagai anggota Komisi Pembela

Tanah Air.51

Seperti halnya peranan kebanyakan pemimpin lain yang terlibat disana, ia pun cukup tanggap dalam mengikuti setiap sidang dan mampu menyesuaikan diri dengan para pemimpin lain yang memiliki ―pendidikan dari barat‖. Seperti misalnya, dalam masalah bentuk pemerintahan, Ahmad Sanusi mengusulkan konsep bentuk pemerintahan berbentuk Imâmah atau republik. Ia menolak bentuk negara ini menjadi kerajaan. Karena

asumsinya, raja biasanya bertindak diktator dan berkuasa penuh.52

48 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 23

49 Noer, Partai Islam, h. 100-101 50 Benda, bulan Sabit, h. 218 51 Noer, Partai Islam, h. 33

52 Untuk melihat lebih jauh keterlibatan Ahmad Sanusi dalam sidang BPUPKI, lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang 1945 (Jakarta: Siguntang, 1971), Cet. 2, h. 101-182


(34)

Ahmad Sanusi wafat di kota Sukabumi senin malam, tanggal 15 Syawwâl 1369 H (1950 M.) dalam usia 63 tahun. Ia dikuburkan di samping pesantren yang didirikannya

yakni, Pesantren Syams al-‗Ulûm Gunung Puyuh.

C. Karya Tafsir

Untuk ukuran kebanyakan seorang kyai pada zamannya, bahkan untuk ukuran tokoh pada zaman sekarang sekalipun, Ahmad Sanusi adalah kyai yang sangat produktif melahirkan karya tulis. Hal ini menjadikan Ahmad Sanusi sebagai tokoh yang istimewa. Multi-peran yang dimainkannya, serta berbagai aktivitas yang dijalaninnya tidak menghalanginya untuk berkarya membuat karya tulis. Ia adalah sosok ulama-mubalig, pendidik, aktifis sosial dan pejuang politik yang sangat aktif menulis. Bahkan keistimewaannya ini jelas terlihat dari jumlah karya tulisannya yang mencapai puluhan, bahkan ratusan judul yang meliputi berbagai bidang, terutama tentang ilmu-ilmu Islam.

Tentang jumlah karya tulis Ahmad Sanusi, ada banyak pendapat berbeda. Diantara pendapat-pendapat tersebut dikemukakan A. Mukhtar Mawardi yang berhasil

mencatat dan mengumpulkan karya Ahmad Sanusi berjumlah 75 judul.53 Jumlah yang

lebih banyak dicatat Gunsaikanbu dengan menyebut 102 karangan dalam bahasa Sunda

dan 24 karangan dalam bahasa Indonesia.54 Sedangkan S. Wanta menyebut karya-karya

Ahmad Sanusi berjumlah 480 macam buku.55 penulis sendiri, selama lebih kurang satu

tahun, telah berhasil mengoleksi karya-karyanya hingga skripsi ini ditulis, sebanyak 52 judul.

Karya-karyanya ini dicetak dan diterbitkan oleh banyak percetakan dan penerbit. Seperti dari pengakuan Ahmad Sanusi sendiri, karangan-karangannya kebanyakan dicetak

53 Lihat dalam lampiran A. Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup dan

Perjuangannya (Skripsi Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985) 54 Gunsaikanbu, orang Indonesia, h. 442-443


(35)

di percetakan Sayyid Yahya bin Usman Tanah, Abang Weltevredan. ada juga yang dicetak di percetakan Sayyîd ‗Abdullâh bin ‗Utsmân, Petamburan. Disamping kedua percetakan itu, sebenarnya tidak sedikit karangan-karangan Ahmad Sanusi yang dicetak di percetakan Harûn bin ‗Alî Ibrâhîm, Pakojan Betawi, percetakan al-Ittihâd baik yang di Batavia/Jakarta maupun yang di Sukabumi dan percetakan Sayyîd ‗Alî Idrûs. Adapun Percetakan di Sukabumi yang beralamat di Vogelweg No. 100 Sukabumi (sekarang menjadi jalan Bhayangkara nomor 33 Sukabumi), merupakan percetakan bagi karya-karya Ahmad Sanusi yang akan dicetak ulang.

Tetapi dibanding dengan karya-karya lain dalam berbagai bidang keilmuan tradisional Islam, karya-karya dalam bidang tafsirlah yang menjadikan reputasi hasil karya tulis Ahmad Sanusi mendapat tempat istimewa dan paling diperhitungkan oleh masyarakat Indonesia pada umunya.

Karya pertamanya dalam bidang tafsir adalah Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm

Rabb al-‘Âlamîn,56 (Tempat Panyalindungan Para Santri dina Nafsiierkeun al-Quran [Tempat berlindungnya Para Santri dalam Menafsirkan al-Quran]). Tafsir ini ditulis

dalam bahasa Sunda dengan huruf Arab (aksara pegon). Seperti terlihat dari judulnya

dalam bahasa Arab yang kemudian diikuti terjemaha dalam bahasa Sunda—Tafsîr Maljâ’

ditujukan khusus bagi masyarakat yang mengerti bahasa Sunda dan lebih khusus lagi bagi para santri yang berada di pesantren, yang bisa mengerti huruf Arab.

Sedangkan cakupan distribusinya meliputi wilayah sekitar Priangan. Hal ini

bisa dilihat dari berita tentang para pelanggan Tafsîr Maljâ’ yang meninggal dunia—yang

boleh jadi dimaksudkan sebagai informasi tambahan—. Berita ini dimuat dalam lembar

I’lân (pengumuman) pada halaman terakhir tafsir ini. Para pelanggan tersebut umumnya


(36)

berasal dari Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Tetapi ada juga pelanggan yang berasal dari daerah Batavia, Rangkasbitung dan Purwakarta.

Tafsir ini terbit ketika Ahmad Sanusi berada dipengasingan di Batavia. Penulis

tidak mengetahui secara persis kapan Tafsîr Maljâ’ mulai ditulis. Tetapi jika melihat

tanggal, bulan dan tahun dalam edisi no 1, tafsir ini terbit 28 januari 1931. sedangkan tempat pengumpulan bahan-bahan dilakukan di Tanah Tinggi Senen Welverden ketika ia berada dalam masa pembuangan di Batavia.

Tafsîr Maljâ’ berbentuk sambungan dari satu nomor atau jilid ke nomor atau jilid yang lain. Tafsir ini terbit 20 jilid di Batavia dan 8 jilid di Sukabumi dan kemudian terhenti. Adapun terbitan yang ada pada penulis hanya sampai jilid ke-20. Dari jilid ke-20 itu, sepuluh jilid pertama berjumlah 496 halaman. Terdiri dari; jilid pertama dan kedua berjumlah masing 56 halaman, sedangkan jilid ke-3 sampai jilid ke-10 masing berisi 48 halaman. Adapun sepuluh jilid yang kedua berjumlah 484 yang masing-masing jilid ke-11 sampai ke-20 berisi 48 halaman kecuali jilid ke 10 yang berisi 52 halaman.

Setiap satu jilid paling banyak berisi setengah juz al-Quran. Misalnya, jilid ke-1 dan ke-2 untuk juz I. Tetapi tidak setiap dua jilid Tafsîr Maljâ’ tepat untuk satu juz, kadang-kadang ada satu ayat atau dua ayat yang masih ditulis pada jilid berikutnya. Misalnya, untuk juz II al-Quran terdapat pada jilid ke-3, ke-4 dan ditambah empat halaman pada jilid ke-5. Sebaliknya untuk satu surat tidak tentu menghabiskan 2, 3 atau 4

jilid, melainkan tergantung banyak atau sedikitnya yang diuraikan. Untuk sûrah

al-Fâtihah hanya terbatas pada jilid ke-1 dan menghabiskan kurang lebih sembilan halaman.

Untuk selanjutnya sûrah-sûrah seperti sûrah al-Baqarah terdapat pada jilid ke-1 sampai

akhir jilid ke-5 dan menghabiskan 230 halaman. Untuk sûrah al-‘Imrân terdapat pada


(37)

pada jilid 8 dan menghabiskan 124 halaman. Sûrah al-Mâidah terdapat pada jilid ke-11 sampai pertengahan jilid ke-13 dan menghabiskan ke-110 halaman.

Dalam setiap sampul depan dituliskan informasi tentang kesalahan-kesalahan cetakan, judul-judul kitab yang telah dan akan terbit beserta dengan harganya. Pada

halaman pertama jilid ke-1 Tafsîr Maljâ’ ditulis para ahli qirât yang berjumlah tujuh

orang beserta perawi-perawinya. Sebelum menafsirkan suatu sûrah al-Fâtihah, Ahmad

Sanusi terlebih dahulu menjelaskan sebagian ilmu-ilmu al-Quran, jumlah sûrah, ayat,

kata, dan huruf-hurif al-Quran beserta sejarah pengumpulan al-Quran.

Kemudian ketika kembali ke Sukabumi dari masa pembuangannya di Batavia,

Ahmad Sanusi menulis menulis tafsir serupa—meski lebih terlihat bentuk terjemahan

al-Quran—yang berjudul Raudat al-‘Irfân fî Ma‘rifat al-Qur’ân.57 Selanjutnya, Ahmad

Sanusi menerbitkan sebuah karya tafsir lainnya yang berjudul Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al ‘Âlamîn. Tafsir ini ditulis dalam bahasa melayu berajaan lama dengan huruf Latin dengan pengalih-aksaraan (Transliterasi) Arab-Latin. Tampaknya, tafsir ini sengaja ditulisnya untuk bisa dibaca oleh masyarakat yang tidak mengerti bahasa dan tidak mampu membaca huruf Arab.

Disamping karya-karya tafsir tersebut dimuka, ada juga karya Ahmad Sanusi di bidang tafsir yang hanya membahas satu ayat atau sûrah-sûrah tertentu. seperti Kasyf al-Zunūn fî Tafsīr Lâ Yamassuhû illâ al-Mutahharûn adalah tafsir terhadap sûrah al-Wâqi‗ah ayat ke-79.58 Adapun tafsir-tafsir yang membahas sûrah-sûrah tertentu adalah:

(1) Tafrîj al-Qulûb al-Mu’minîn fî Tafsîr Kalimât Sûrah Yâsîn,59 (2) Hidâyah al- Qulûb

57 Ahmad Sanusi, Raudat al-‘Irfân fî Ma‘rifat al-Qur’ân (Batavia: Habib Usman, 1934) 58 Ahmad Sanusi, Kasyf al-Zunūn fî Tafsīr Yamassuhû illâ al-Mutahharûn (Sukabumi:

al-Ittihād, 1938)

59Ahmad Sanusi, Tafrîj Qulûb al-Mu’minîn fî Tafsîr Kalimât Sûrat Yâsîn (Tanah Abang: Sayyid Yahya, 1936)


(38)

al-Sibyân fî Fadâ‘il Sûrat al- Tabârak al-Mulk min al-Qur’ân,60 (3) Tanbīh al-Hairân fî Tafsîr Sûrat al-Dukhân,61 (4) Kanz al-Rahmah wa al-Lutf fî Tafsîr Sûrat al-Kahf,62(5) Kasyf al-Sa‘âdah fî Tafsîr Sūrat al- Wâqi‘ah,63 dan (6) Usûl Islâm fî Tafsîr Kalâm al-Mulk al-‘alâm fî Tafsîr Sûrat al-Fâtihah.64

60 Ahmad Sanusi, Hidâyat Qulûb al-Sibyân fî Fadâ‘il Sûrat Tabârak al-Mulk min

al-Qur’ân (Sukabumi: Masduki, 1936)

61 Ahmad Sanusi, Tanbīh al-Hayrân Fî Tafsîr Sûrat al-Dukhân (Tanah Abang: Sayyid Yahya, t.th)

62 Ahmad Sanusi, Kanz al-Rahmah wa al-Lutf fî Tafsîr Sûrat al-Kahf (Batavia: Habib Usman, 1932)

63 Ahmad Sanusi, Kasyf al-Sa‘âdah fî Tafsîr Sūrat al- Wâqi‘at (Sukabumi: Masduki, 1936)

64 Ahmad Sanusi, Ushûl al-Islâm fî Tafsîr Kalâm al-Mulk al-‘alâm fî Tafsîr Sûrat


(39)

BAB III

TINJAUAN UMUM TAFSIR DI INDONESIA

Tradisi penulisan tafsir di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak lama dengan berbagai keragaman baik dari segi teknis penulisan, corak ataupun bahasa yang dipakai. Keragaman tersebut sedikit demi sedikit berkembang lebih maju searah dengan perkembangan peradaban Indonesia yang semakin modern. Pada bagian ini penulis mencoba untuk menguraikan tentang sejarah dan perjalanan penulisan tafsir sekaligus mengungkap proses dan dinamika penulisan tafsir yang dilakukan oleh Intelektual muslim di Indonesia.

A. Sejarah Penulisan Tafsir di Indonesia

Sebenarnya sejak abad ke-17 para peneliti telah menemukan bukti tekstual yang ditemukan pertama kali dalam bidang penafsiran al-Quran di Indonesia, yakni sebuah

manuskrip anonim sûrah al-Kahf.65 Tafsir ini di tulis dengan parsial berdasarkan surah

tertentu dan menggunakan teknik penafsiran yang sangat sederhana. Di dalam sûrah

al-Kahf tersebut, teks al-Qurannya, ditulis dengan tinta merah disertai terjemah serta komentar yang ditulis dengan tinta hitam dengan menggunakan aksara Arab-Melayu.

Titik-titik beragam sepanjang surat tersebut diselingi ―penambahan- penambahan

anekdotis yang panjang‖ dalam bahasa melayu yang baik. Peter Riddle berpendapat

65 Manuskrip ini dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda, Epernus (w. 1624) pada awal abad 17 M. Sekarang manuskrip ini menjadi koleksi Cambridge University dengan katalog MS Ii.6.45. Diduga manuskrip ini dibuat antara masa awal

pemerintahan Sultan ‗ala‘ al-Dîn Ri‗ayat Syah Sayyîd al-Mukammil (1537-1604) dimana Mufti kesultanannya Hamzah al-Fansûri, sampai masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636 M) dimana mufti kesultanannya adalah Syam al-Dîn al-Sumatrâni. Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Heurmeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003) h. 54


(40)

bahwa teks ini pokoknya berdasarkan Tafsir al-Khâzin dalam Mu‘allim al-Tanzîl, namun

juga menggambarkan tafsiran lain juga, termasuk penafsiran al-Baidâwī.66

Upaya penafsiran al-Quran secara utuh baru dilakukan pada paruh abad

berikutnya. Adalah karya tafsir Tarjumân al-Mustafīd karya ‗Abd al-Ra‘ûf al-Sinkîli

(1615-1693) yang muncul sebagai Tafsir perintis di Indonesia.67 Riddle dalam telaahnya

memberikan kesimpulan tentatif dalam tahun penulisannya, yakni tahun 1675 M.68

Sebagai tafsir paling konprehensif paling awal, tidak mengherankan kalau karya ini beredar luas di wilayah Nusantara. Bahkan edisi cetaknya dapat ditemukan dikalangan Melayu sampai ke Afrika Selatan. Cetakan paling awal yang kini masih ada, dicetak abad ke-17 dan awal abad ke-18 M. Yang lebih penting lagi, edisi-edisi tercetaknya tidak hanya diterbitkan di Singapura, Penang, dan Bombay, tetapi juga di Timur tengah. Di

Istanbul karya ini diterbitkan pada tahun 1884 dan 1906 M oleh Matba‘at al

-‘Usmâniyyah dan kemudian hari diterbitkan juga di Cairo dan Mekkah. Edisi terakhirnya

diterbitkan di Jakarta pada tahun 1981.69 Kenyataan penerbitan demi penerbitan ini

mencerminkan bahwa Tarjumān al-Mustafīd ini adalah sebuah karya yang mempunyai

nilai yang sangat tinggi sehingga keberadaannya bisa diterima oleh kalangan yang sangat luas. Maka pantas, tafsir tersebut dapat bertahan hingga berabad-abad lamanya.

Dalam keterangan singkat dan sisipan tafsirnya ia sering mengemukakan pendapatnya yang didukung oleh hadis dan sedikit pendapat pendahulunya. Di sini

66 Michael R. Feener, ―Notes Towards‖, dalam Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998, h. 52-53

67‗Abd al-Ra‘ûf ibn ‗Ali al-Jâwi al-Fansûri al-Sinkîlī adalah seorang melayu dari Fansur, Singkil (modern: Singkel). Tahun 1642 ia pergi ke Arabia dan mempunyai guru spritual dan mistis Ahmad al-Qusyasyî dan Ibrâhim al-Kuranî sebagai guru intelektualnya. Setelah pulang ke Nusantara ia tidak terjebak dalam pertikaian antara faham keagamaan Hamzah al-Fansûri, Syams al-dîn al-Sumatrâni dengan Nûr al-dîn al-Ranîri sehingga faham keagamaan yang dianutnya dapat diterima secara luas di nusantara. lihat Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (Bandung: Mizan, 1998), h. 189-191

68 Peter Riddlell, ―Earliest Qur‘anic Exegetical activity in the malay-speaking states‖, dalam Archipel, 1989, h. 108-109

69 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad


(41)

mencirikan bahwa penafsirannya yang ditempuh masih bersifat tradisional. Sedangkan

teknis penafsirannya mengikuti prosedur Tafsîr Jalâlain. Ia menafsirkan ayat demi ayat

sesuai dengan susunan mushaf ‘Utsmânî. Penjelasannya singkat dan lugas. Motif

kelugasan kalimat didorong oleh kepentingan tafsir ini yang dikhususkan bagi pemula dalam memahami Islam.

Pada abad ke-19 M., muncul sebuah karya tafsir yang menggunakan bahasa

Melayu-Jawi, yaitu Kitâb Farâid al-Qur’ân. Tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya

(anonim). Ditulis dalam bentuk yang sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan hurup kecil dan spasi rangkap. Naskahnya masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama Aceh yang diedit oleh Ismâ‗il ibn ‗Abd al-Mutallib al-Âsyî, Jâm‘ al-Jawâmi‘ al-Musannafât: Majmû‘, Kitab Karangan Beberapa Ulama Aceh. Manuskrip buku ini disimpan di perpustakaan Universitas

Amsterdam dengan kode katalog: Amst.IT.481/92(2) dan diterbitkan di Bulaq, Mesir.70

Pada abad ini juga, kita juga bisa menemukan karya tafsir utuh yang ditulis oleh

ulama asal Indonesia yakni Syaikh Nawawî al-Bantâni (1815-1897).71 Tafsir ini berjudul

lengkap Marah al-Labîd li Kasyf al-Ma’na al-Qur’ân al-Majîd atau lebih dikenal dengan

Tafsīr al-Munîr yang ditulis di kota Makkah oleh Imam Nawawī sebagai jawaban atas pemintaan dari beberapa kolegannya. Karya tafsir yang ditulis dengan bahasa Arab ini

70 Gusmian, Khazanah Tafsir (Jakarta: Teraju, 2003), h. 54-55

71 Abû ‗Abd al-Mu‘tî Muhammad ibn ‗Umar al-Tanâra al-Bantâni atau lebih dikenal

Nawawī al-Bantâni. Ia dilahirkan dikampung Tanara, Serang, Banten. Ia merupakan keturunan kesultanan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati Cirebon). Umur 15 tahun ia pergi ke Makkah dan memperdalam ilmu agama disana, dengan gurunya antara lain Syaikh al-khâtib al-Sambâsi dan Muhammad al-al-khâtib al-Hambalî. Kemudian ke Mesir dengan gurunya antara lain Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syaikh Ahmad Nahrawî. Di Mekkah Ia mengajar di Masjid al- Harâm, Mahad Nasr al-Ma‘ârif al-Dîniyyah. Lihat Mamat S. Burhanuddin,

Hermeuneutik al-Qur’ān ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H.

Nawawi Banten, (Yogyakarta: UII Press, 2006) h. 19-27. Di Mesir para ulama memberikan gelar

kepadanya ―Sayyid ‗Ulama al-Hijāz‖ (pemimpin ulama Hizaz). Lihat Didin Hafiduddin, ―Tinjauan atas ―Tafsīr al-Munīr‖ Karya Imam Muhammad Nawawi Tanara‖ dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia (Bandung: Mizan 1987), h. 44


(42)

diselesaikan penulisannya pada periode terakhir masa hidupnya tahun 1884 M.72 dan

diterbitkan pertama kali di Mekkah setelah sebelumnya disodorkan dulu kepada

ulama-ulama Mekkah untuk diteliti pada tahun 1887.73

Dalam tafsir ini teks al-Qur‘an, terjemah serta komentarnya menggunakan bahasa

Arab. Metode penafsirannya merupakan gabungan antara rinci dan global. Begitu juga

dengan sumber penafsirannya, gabungan antara riwayat dan pemikiran. Tafsir ini

mempunyai kecenderungan teologis mazhab Ahl al-sunnah wa al-jamâ‘ah. Sedangkan

corak fiqhnya mempunyai kecenderungan Syâfi‘iyyah, walaupun ia juga suka

memaparkan mazhab-mazhab fiqh lainnya. Dalam tafsir ini, banyak pula ditemukan yang bernuansa sufistik dan tafsir ini pun tak luput dari kisah-kisah Israilliyât.

Pada awal abad ke-20 aktivitas penulisan tafsir semakin meningkat intensitasnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor, pertama pada akhir abad 19 M. dan awal abad ke-20 M., Pemerintah Kolonial Belanda sudah mulai menerapkan politik makro yang dikenal dengan ―politik etis‖ yang salah satu poinnya adalah memajukan edukasi masyarakat Indonesia. Sehingga pada saat itu muncul kesadaran terhadap pendidikan yang

mengakibatkan tingkat intelektualitas masyarakat Indonesia mulai meningkat. Kedua

adalah semakin majunya dunia percetakan yang menyebabkan penyampaian informasi lebih mudah dan cepat didapatkan masyarakat Indonesia. Disamping itu faktor yang lebih penting lainnya adalah besarnya pengaruh pembaruan Islam yang di pelopori oleh Muhammad ‗Abduh dengan semboyan ―kembali kepada al-Quran dan hadis sahih‖ di

Indonesia. Akibatnya, kebutuhan Umat Islam akan tafsir al-Qur‘ān semakin diperlukan.

Karya-karya tafsir yang muncul pada abad ini cenderung lebih maju. Diantaranya

adalah tafsîr al-Qur’ân al- karîm yang ditulis pada tahun 1922 oleh mahmud yunus,

Tafsīr al-Furqān (1928 M) karya A. Hassan, Tafsīr Tamsyiyyat al-Muslimīn (1934 M)

72 Burhanuddin, Hermeuneutik al-Qur’ān, h. 40 73Hafiduddin, ―Tinjauan atas‖. h. 44


(43)

karya Ahmad Sanusi, dan lain-lain. Untuk membahas aspek teknis dan metodologis karya-karya tafsir pada abad ini, sebelumnya penulis akan menguraikan periodisasi penulisan tafsir di Indonesia.

B. Periodisasi Karya Tafsir di Indonesia

Sudah banyak sekali para peneliti kajian tafsir Indonesia yang memaparkan periodesasi penulisan tafsir di Indonesia. Salah Satunya adalah Howard M. Federspiel

dalam bukunya yang berjudul Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga

Quraish Shihab yang melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al-Quran di Indonesia dari segi generasi. Ia membagi periodisasi tersebut berdasarkan pada tahun, dalam tiga generasi. Generasi ke-1, kira-kira dari permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an, yang ditandai dengan adanya penerjemahan secara terpisah dan

cenderung pada sûrah-sûrah tertentu sebagai objek tafsir. Generasi ke-2, merupakan

penyempurnaan atas generasi pertama yang muncul pada pertengahan 1960-an sampai tahun 1970-an, yang mempunysi ciri diantaranya terdapat beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata, dan kadang-kadang disertai dengan indeks yang sederhana. Sedangkan generasi ke-3 dimulai antara pertengahan tahun 1970-an, merupakan

penafsiran lengkap dengan uraian yang sangat luas.74

Menurut Gusmian periodisasi yang diberikan oleh Federspiel ini memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Namun, dari segi tahun pemilahannya dinilai agak kacau oleh Gusmian. Misalnya, ketika Federspiel

memasukkan tiga karya tafsir, yaitu: (1) Tafsîr al-Furqân karya A. Hassan (1962); (2)

Tafsîr al-Qurân karya H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.(1959), dan (3) Tafsîr

74

Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraisy Syihab, terj. Tajul (Bandung: Mizan, 1994), h. 129


(44)

Qur-ân al-Karîm karya H. Mahmud Yunus, sebagai karya tafsir yang representatif untuk mewakili generasi ke-2. Padahal menurut Gusmian, ketiga tafsir itu muncul pada pertengahan dan akhir 1950-an, yang dalam kategorisasi yang ia susun masuk dalam

generasi pertama.75 Setelah mengkritisi periodisasi federspiel. Gusmian memaparkan

kategori tafsir al-Quran di Indonesia dengan mengacu pada periodisasi tahun, yaitu: (1) Periode ke-1, yakni antara awal abad ke-20 hingga tahun 1960; (2) Periode ke-2, tahun

1970-an sampai tahun 1980-an. (3) Periode ke-3, antara 1990-an hingga seterusnya.76

Selanjutnya Nashruddin Baidan dalam bukunya yang berjudul Perkembangan

tafsir al-Quran di Indonesia memaparkan periodisasi yang agak berbeda dengan Federspiel maupun Gusmian. Baidan membagi periodisasi perkembangan tafsir di Indonesia dalam empat periode, yaitu: (1) periode klasik, dimulai antara abad ke-8 hingga abad ke-15 M. (2) periode tengah, yang dimulai antara abad ke-16 sampai abad ke-18, (3) periode pramodern yang terjadi pada abad ke-19, (4) adalah periode Modern, yang dimulai abad ke-20 hingga seterusnya. Periode modern ini dibagi lagi oleh Baidan menjadi tiga bagian yaitu: kurun waktu pertama (1900-1950), kurun waktu ke-2

(1951-1980), dan terakhir adalah kurun waktu ke-3 (1981-2000).77

Perbedaan periodesasi diatas, bisa terjadi antara lain disebabkan karena terdapat perbedaan data yang diperoleh oleh para peneliti perkembangan tafsir di Indonesia. Selain itu perbedaan sudut pandang tentang objek kajian, bisa menjadi salah satu sebab timbulnya perbedaan pemilahan tahun yang terjadi diantara-tafsir-tafsir diatas.

Sejatinya, penulis disini bukan berada dalam posisi sebagai pengkritik terhadap periodisasi yang telah dipaparkan diatas. Tetapi disini penulis mencoba melakukan periodisasi sendiri guna relevansi bagi objek penelitian penulis.

75 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 65 76 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 66-69

77 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003), h. 31-109


(45)

1. Periode Klasik (Sebelum Abad ke- 20)

Dari karya-karya tafsir pada periode ini didapati beberapa kecenderungan, pertama, penafsiran yang dilakukan bergerak dalam model yang sederhana serta tekhnis penulisan yang tergolong elementer. Dalam naskah Cambridge misalnya, tidak ada pemisahan ruang antara teks arab al-Quran, terjemah dan tafsirnya. Ketiganya diletakkan dalam halaman yang sama tanpa pemisahan yang tegas kecuali warna tinta. Manuskrip ini

menulis Sûrah al-Kahf dalam tinta merah diiringi dengan terjemah serta komentar dalam

tinta hitam. Model seperti ini menurut feener memang terus diterapkan didunia melayu

sampai abad ke-19.78

Kecenderungan yang kedua adalah tulisan yang dipakai rata-rata adalah hurup

pegon meski dalam bahasa Melayu, Jawa maupun Sunda.79 Hal ini dimungkinkan terjadi

karena pada akhir abad ke-16 terjadi pembahasa-lokalan Islam di berbagai wilayah

Nusantara. Misalnya hurup ini dipakai dalam tafsir Tarjumān al-Mustafīd serta naskah

Sûrah al-Kahf dan naskah anonim lainnya yakni Kitāb Farāid al-Qur’ân.80

Kecenderungan ketiga yang terjadi pada periode klasik ini adalah terlihat adanya persinggungan para penafsiran al-Quran dengan sufisme yang kala itu kental mewarnai

keberislaman penduduk Nusantara—utamanya kawasan Melayu / Sumatra dan Jawa—

Walaupun A. John merasa heran dengan sedikitnya tafsir sufistik yang ditemukan, karena memang awal kegiatan intelektual dikawasan ini masih didomonasi oleh tradisi lisan

78Feener, :Notes Towards‖, h. 47

79

Aksara pegon adalah teks-teks Jawa, Sunda ataupun Melayu yang ditulis dalam aksara Arab. Di komunitas muslim yang tersebar dalam masa periode klasik ini, aksara pegon menjadi aksara yang lebih populer dibanding variasinya, yakni hurup gundil (hurup gundul). Karena kondisi keilmuan masyarakat muslim pada waktu itu belum begitu tinggi dalam bahasa arab. Untuk melihat secara lengkap sejarah aksara pegon dalam Jawa dan Sunda, lihat, Ervan Nurtawab, Khazanah Tafsir Al-Quran Klasik di Nusantara: Tradisi Penulisan Tafsir dan Terjemah Al-Quran dalam Masyarakat Jawa dan Sunda Hingga Abad Ke-19 M (Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2003)


(1)

 ئ   شإ Ilmu Bahasa  ت ف

 : , ,  اغ : " "  ح ف

" "

 ئ ف

" "  ف  ش  أ ء ش

 ت " ش " 

إ ش ف ف

 غ ت "

ت "

Tentang Sejarah/Biografi

 ء ا ف

 ء أ ت ف ء أ

 ئأ ف ا إ

أ ف أ ف

 غ


(2)

Lain-lain

 ا

 خ

 ا إ ت

 أ

 ت


(3)

Lampiran 3

Transliterasi Arab-Latin Tafsir Tamsiyyah al-Muslimīn I. Konsonan


(4)

= tidak dilambangkan

= b

= t

= ts

= dj

= h

= ch

= d

= dz

= r

= z

= s

= sj

= sh

= dl

= th

= dh

= …‗

= g

ف

= f

= q

= k

=

l

= m

= n

= w

= ‗h

ء

= …‘


(5)

II. Vokal Pendek

—— = a

kecuali tanda (——) untuk hurup arab ( ), ( ), ( ), ( ), ( ), ( ),( ), ( ), ditransliterasikan kedalam hurup latin dengan O, contoh dibaca sirôtho

—— = i

—— = oe

IV. Vokal Panjang

= à

= ie

= òe

III. Diftong

= aw

= ai

kecuali untuk hurup ( ), ( ), ( ), ( ), ( ), ( ),( ), ( ) translitersinya dibaca oi.

V. Syaddah

—— = rangkap huruf


(6)

... = al-

… = asj-

... = wal-